Anda di halaman 1dari 16

PEMBAHASAN

Pasien datang dengan penurunan kesadaran. Hal yang pertama kita lakukan
adalah menilai dan memastikan bahwa airway, breathing, dan circulation pasien dalam
keadaan aman. Airway dikatakan aman jika jalan napas bebas dari sumbatan dan tidak
terdengar stridor. Breathing dikatakan aman jika tidak tampak kesulitan bernapas atau
sesak napas berat yang dapat dilihat dari tidak terdapatnya retraksi dinding dada,
grunting, dan sianosis. Circulation dikatakan aman bila tidak terdapat tanda syok, seperti
akral dingin, CRT >2 detik, nadi cepat dan lemah. Setelah memastikan bahwa ABC aman,
kita menilai kesadaran pasien dengan skala AVPU.1 Pada pasien ini, anak tidak sadar
tetapi masih merespon terhadap suara/nyeri, sehingga anak dikatakan letargis, sedangkan
dengan penilaian GCS didapati E3M5V2 (Pasien dapat membuka mata spontan tetapi
tidak ada kontak, dapat bergerak aktif namun tidak dapat mengikuti perintah, dan
mengerang), stupor (GCS 10). Laju napas, denyut nadi, saturasi O2, tekanan darah, suhu
tetap dipantau setiap 15 menit. Pasien kemudian dipasangkan jalur intravena untuk
pemberian cairan, dan pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan
laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksan gas darah, urinalisis, glukosa darah
(meskipun glukosa kapiler normal), urea dan elektrolit, fungsi liver, plasma ammonia,
FBC, kultur darah, Pemeriksaan glukosa darah juga perlu dilakukan. Pada anak dengan
glukosa darah <45 mg/dl perlu diberikan larutan glukosa 10% bolus IV.2 Pada pasien ini,
glukosa darah 151 mg/dl, sehingga tidak perlu diberikan glukosa, dan keadaan
hipoglikemia dapat dieksklusi. Setelah tatalaksana kegawat-daruratan telah kita lakukan,
kita melakukan anamnesis yang lebih detil. Anamnesis yang ditanyakan berhubungan
dengan diagnosis banding penurunan kesadaran pada anak, yaitu seputar riwayat muntah,
sakit kepala, demam, kejang, periode tidak sadar, trauma, konsumsi obat, onset.
Diagnosis banding pada anak tidak sadar, sebagai berikut.2
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Syok
Sepsis
Trauma
Penyakit metabolik
Infeksi intracranial
SOL, Abses serebri
Gangguan elektrolit (Ex. Hiponatremia)

8. Prolonged convulsions atau post-convulsion state


9. Hipertensi
10. Tidak diketahui: Obat.
Pada pasien ini, berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
didapatkan, sebagai berikut.
ANAMNESIS
1. Beberapa minggu terakhir, pasien mengalami batuk tidak berdahak, jarang, tetapi
terjadi sepanjang hari.
2. Pasien tampak lebih kurus
3. Demam selama 1 minggu, terutama pada malam hari, menggigil, dan berkeringat
4. Sakit kepala beberapa hari terakhir semakin memberat, pada seluruh bagian
kepala terutama pada bagian kiri.
5. 6 jam SMRS, kejang secondary generalized diawali sisi tubuh kiri kemudian
seluruh tubuh selama 10 menit
6. Penurunan kesadaran sejak 1 hari SMRS, perlahan, memberat beberapa jam
SMRS.
7. Riwayat kontak TB (+)
PEMERIKSAAN FISIK
1. Kesadaran stupor, GCS E3M5V2
2. Tanda rangsang meningeal (+)
3. Refleks patologis( (+) bilateral
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium:
a. Penurunan Hemoglobin
b. Penurunan MCV dan MCH
c. Peningkatan leukosit
d. Peningkatan neutrophil segmen
e. Penurunan Na dan Cl
f. Anti-HIV (-)
Penurunan Kesadaran

Diagnosis syok dapat kita singkirkan karena pada pasien tidak tampak 1 atau lebih
tanda shock, seperti CRT>2 detik, akral dingin, denyut nadi menurun/lemah,

Tekanan darah <5 persentil, dan BAK <1ml//kg/jam.


Diagnosis sepsis dapat kita singkirkan karena pada pasien tidak tampak 2 atau
lebih tanda sepsis, yaitu suhu >38C atau <36C, takikardia, takipnea, WBC <4000

atau >12000, non-blancing rash.


Diagnosis Trauma dapat kita singkirkan karena pada pasien tidak memiliki
riwayat trauma dan pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda trauma.
Diagnosis penyakit metabolik
Hipoglikemia dapat kita singkirkan karena glukosa darah pada pasien ini

normal.
Hiperammonaemia dapat kita singkirkan karena tidak ada riwayat

penyakit liver, atau jaundice, walaupun ammonia tidak diperiksa.


DKA dapat kita singkirkan karena tidak terdapat riwayat diabetes pada
pasien, glukosa kapiler <200mg/dl, walaupun pH dan ketone tidak

diperiksa.
Diagnosis infeksi intrakranial
Meningitis, trias meningitis, yaitu kaku kuduk, sakit kepala, dan demam

terpenuhi pada pasien ini.


Ensefalitis, trias ensefalitis, yaitu penurunan kesadaran, kejang, dan

demam terpenuhi pada pasien ini.


Abses, masih dapat menjadi diagnosis karena terdapat penurunan
kesadaran,

demam,

dan

kejang

secondary

generalized

yang

mengindikasikan adanya fokus infeksi pada serebri.

Gangguan elektrolit (ex. Hiponatremia)


Hiponatremia dibagi dalam 3 kategori.3

Ringan: kadar natrium plasma antara 130 dan 135 mmol/L

Sedang: kadar natrium plasma antara 125 dan 129 mmol/L

Berat: kadar natrium plasma <125 mmol/L

Pada kasus ini, pasien mengalami hiponatremia berat (kadar Na plasma: 118
mmol/L). Penurunan kesadaran juga bisa saja disebabkan oleh hiponatremia ini.

Diagnosis Prolonged convulsions dapat kita singkirkan karena kejang tidak


melebihi 10 menit.

Diagnosis Post-convulsion state dapat kita singkirkan karena penurunan


kesadaran sudah terjadi bahkan 1 hari sebelum kejang, dan masih terjadi lebih

dari 1 jam setelah kejang.


Diagnosis ensefalopati hipertensi dapat kita singkirkan karena tekanan darah

sistolik tidak >95 persentil sesuai usia.


Diagnosis keracunan obat dapat kita singkirkan karena tidak terdapat riwayat
konsumsi obat.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, diagnosis

lebih mengarah ke infeksi intrakranial. Selanjutnya, kita harus mencari etiologi dari
infeksi untuk menentukan terapi yang tepat. Etiologi bisa disebabkan oleh infeksi virus,
bakteri, Mycobacterium tuberculosis, jamur, atau parasit.

Gambar 1. Algoritma infeksi otak.4


Pada pasien ini, uji HIV menunjukkan hasil negatif, sehingga kita bisa
menggunakkan algoritma C.

Gambar 2. Algoritma infeksi otak pada HIV positif.4

Gambar 3. Algoritma infeksi otak pada HIV negatif.4

Infeksi toksoplasma dan jamur sering terjadi pada pasien dengan defisiensi imun,
seperti anak dengan HIV. Jamur yang sering menyebabkan meningitis adalah
Cryptococcus. Pada pemeriksaan LCS, tekanan biasanya tinggi, dan sakit kepala
cepat mereda setelah pungsi lumbal dilakukan. Pada toksoplasma, dari anamnesis
kita bisa mendapatkan riwayat pasien suka memakan makanan yang kurang
matang, atau riwayat pengobatan toksoplasmosis, serta terdapat lesi fokal pada
CT/MRI otak. Pada pasien ini, uji HIV menunjukan hasil negatif, sehingga

kemungkinan toksoplasma dan jamur dapat disingkirkan.


Infeksi virus biasanya diawali demam tinggi dengan onset akut. Pada pasien ini,
onset penyakit sudah melebihi 1 minggu, demam subfebris, sehingga

kemungkinan virus dapat kita singkirkan.


Menurut algoritma C, terdapat 2 kemungkinan etiologi, yaitu bakteri dan TB.
Pada pasien ini, onset sudah melebihi 6 hari, terdapat riwayat kontak TB, batuk
lama, dan penurunan berat badan. Pada pemeriksaan lab, didapati anemia
mikrositik hipokrom, peningkatan leukosit namun hanya sedikit, dan peningkatan
neutrofil segmen. Peningkatan neutrofil segmen dapat mengindikasikan adanya
infeksi bakteri. Anemia mikrositik hipokrom dapat terjadi akibat defisiensi besi
atau penyakit kronis. Gambaran radiologi menunjukan adanya pembesaran KGB
perihilus yang merupakan gambaran tuberkulosis pada anak. Gambaran CT Scan
brain non-contrast menunjukan adanya lesi hipodens batas tidak tegas yang
diduga sebagai tuberkuloma. Abses serebri dapat disingkirkan karena abses
serebri pada CT Scan menunjukan lesi dengan kapsul, sementara pada gambaran
CT Scan pada pasien ini tidak terdapat kapsul. SOL juga dapat disingkirkan
karena SOL menunjukan gejala yang kronik dan progresif, sementara pada pasien
ini gejala baru timbul kurang lebiih 1 minggu, dan kelainan neurologis fokal tidak
terlihat jelas.
Meningitis TB dibagi dalam 3 stadium.5
Stadium I (stadium inisial / stadium non spesifik / fase prodromal)
Stadium II (stadium transisional / fase meningitik)
Stadium III (koma / fase paralitik)
Pada kasus ini, pasien mengalami meningitis TB stadium II, dimana pasien
mengalami penurunan kesadaran dan tampak kelainan neurologis, tetapi
belum masuk stadium koma (stadium III).

Lumbal pungsi penting untuk menginvestigasi kasus suspek infeksi SSP. Pada
kasus ini, lumbal pungsi merupaka kontraindikasi karena dari hasil CT scan
terdapat suspek SOL (tuberkuloma) dan GCS <12.6

Tabel 1. Kontraindikasi untuk lumbal pungsi.6

Apabila pada pasien ini dapat dilakukan lumbal pungsi, hasil yang diharapkan
adalah sebagai berikut.7

Warna: jernih (khas), bila dibiarkan mengendap akan membentuk batangbatang. Dapat juga berwarna xanhtochrom bila penyakitnya telah

berlangsung lama dan ada hambatan di medulla spinalis.


Jumlah sel: 100 500 sel / l. Mula-mula, sel polimorfonuklear dan
limfosit

sama

banyak

jumlahnya,

atau

kadang-kadang

sel

polimorfonuklear lebih banyak (pleositosis mononuklear). Kadang

kadang, jumlah sel pada fase akut dapat mencapai 1000 / mm3.
Kadar protein: meningkat (dapat lebih dari 200 mg / mm 3). Hal ini
menyebabkan liquor cerebrospinalis dapat berwarna xanthochrom dan
pada permukaan dapat tampak sarang laba-laba ataupun bekuan yang

menunjukkan tingginya kadar fibrinogen.


Kadar glukosa: biasanya menurun (liquor cerebrospinalis dikenal sebagai
hipoglikorazia. Adapun kadar glukosa normal pada liquor cerebrospinalis

adalah 60% dari kadar glukosa darah.


Kadar klorida normal pada stadium awal, kemudian menurun.
Pada pewarnaan Gram dan kultur liquor cerebrospinalis dapat ditemukan

kuman.
Uij tuberkulin tidak dilakukan pada pasien ini. Bila uji dilakukan, hasil yang
diharapkan adalah indurasi 10 mm.
Anemia mikrositik hipokrom
Pasien mengalami anemia mikrositik hipokrom. Anemia mikrositik hipokrom
dapat disebabkan oleh defisiensi besi, penyakit kronik, thalassemia, atau anemia
sideroblastik. Untuk menentukan penyebab tersebut, kita dapat melakukan pemeriksaan
serum besi, TIBC, dan ferritin seperti pada algoritma berikut ini.8

Gambar 4. Anemia mikrositik hipokrom.8

Pada kasus ini tidak dilakukan pemeriksaan serum besi, TIBC, dan ferritin, serta
peripheral blood smear, sehingga kita harus mengandalkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Thalasemia disingkirkan karena pasien tidak memiliki tulang frontal, maksila, dan
malar yang menonjol, tidak terdapat sklrea ikterik,

riwayat transfusi berulang, dan

penurunan hemoglobin juga tidak cukup signifikan. Anemia sideroblastik disingkirkan


karena pasien ini tidak memiliki riwayat anemia sebelumnya yang refrakter dengan
pengobatan. Anemia defisiensi besi masih dapat dipikirkan karena riwayat nutrisi pasien
yang kurang baik, tetapi belum tampak adanya koilonikia, atrofi papil lidah, stomatitis
angularis, disfagia. Anemia akibat penyakit kronik masih dapat dipikirkan karena adanya
infeksi tuberkulosis.

Berdasarkan hal tersebut, didapatkan 3 diagnosis pada pasien ini.


1. Meningoensefalitis TB
2. Hiponatremia
3. Anemia mikrositik hipokrom susp. penyakit kronik
TATALAKSANA
Meningoensefalitis TB
Pasien dengan pengobatan tahap intensif diberikan minimal 4 macam obat (INH,
Rifampisin, Pirazinamid, Etambutol atau Streptomisin) selama 2 bulan.Pada tahap
lanjutan, pasien diberikan INH dan Rifampisin selama 10 bulan.9
Dosis OAT

INH
Rifampisin
Pirazinamid
Etambutol
Streptomisin

: 5-15 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 300 mg/hari


: 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari
: 15-30 mg/kgBB/hari, dosis maksiymal 2 000 mg/hari
: 15-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1 250 mg/hari
: 1540 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1 000 mg/hari

Dosis OAT yang diberikan pada pasien, sebagai berikut.

INH
: 300 mg 6,7mg/kgBB/hari
Rifampisin
: 450 mg 13,3 mg/kgBB/hari
Pirazinamid : 750 mg 16,7 mg/kgBB/hari
Etambutol
: 750 mg 16,7 mg/kgBB/hari
Pemberian obat sudah sesuai dengan dosis yang dianjurkan.

Untuk kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB
endobronkial, meningitis TB dan peritonitis TB diberikan kortikosteroid (prednisone)
untuk mengurangi proses inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan jaringan. Prednisone
diberikan dengan dosis 12 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Lama pemberian
kortikosteroid adalah 24 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off dalam

jangka waktu 26 minggu. Dosis untuk deksametason injeksi dan oral dapat dilihat pada
tabel berikut ini.9

Tabel 2. Dosis deksametason pada tuberkulosis.10

Dosis deksametason sesuai berat badan pasien

Deksametason injeksi diberikan selama 8 minggu.


o Hari 1-7
: 18 mg per hari
o Hari 8-14
: 13,5 mg per hari
o Hari 15-21
: 9 mg per hari
o Hari 22-28
: 4,5 mg per hari
Dikuti dengan deksametason tablet
o Hari 29-35
: 4mg/ hari oral
o Hari 36-42
: 3 mg/hari oral
o Hari 43-49
: 2 mg/hari oral
o Hari 50-56
: 1 mg/hari oral

Dosis deksametason yang diberikan pada pasien, sebagai berikut.

Deksametason injeksi

o
o
o
o

Hari 1-7
Hari 8-10
Hari 11-12
Hari 13

: 4 x 5 mg
: 3x 5 mg
: 2x 5mg
: 1x5mg

Hiponatremia

Kenaikan Natrium per hari max. 12 meq, jadi kita menentukan target kenaikan

cukup 10meq
Rumus koreksi Na:

(Target Na-118) x 0,6 x BB

= 270

(128-118)

= 270 meq

x 0,6 x 45 kg

Kebutuhan Na per hari: 2-4 meq/kgbb 2-4 meq x 45 kg = 90 -180 meq


Natrium yang diberikan
= Kebutuhan + koreksi
= 270 + (90 s/d 180)
= 360-450 meq

Berikan:
o Kebutuhan cairan 2000cc/24 jam.
o NaCl 3% 630 cc
324 meq
o D51/4NS 1370 cc
52,7 meq
Total: 376,7 meq

Anemia Penyakit Kronik:

Jika penyakit dasar diobati dengan baik, anemia akan sembuh dengan
sendirinya

Kejang
Bila terjadi kejang ikuti algoritma kejang.

Gambar 5. Algoritma tata laksana kejang akut dan status epileptikus.11


Rumatan Fenitoin 3 x 100 mg.
Kontrol pengobatan:9
Tahap intensif kontrol setiap minggu. Lihat kepatuhan, toleransi dan kemungkinan
adanya efek samping obat.
Tahap lanjutan kontrol setiap bulan
Respon pengobatan baik:

Gejala klinis berkurang


Nafsu makan meningkat
BB meningkat

Demam menghilang
Batuk berkurang

Prognosis pasien

Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien didiagnosis
dan diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk prognosisnya. Apabila
tidak diobati sama sekali, pasien meningitis tuberkulosis dapat meninggal dunia.
Prognosis juga tergantung pada umur pasien. Pasien yang berumur kurang dari 3 tahun
mempunyai prognosis yang lebih buruk daripada pasien yang lebih tua usianya.12
Pada kasus ini, pasien berumur 14 tahun, prognosis lebih baik dibanding anak
dengan usia yang lebih kecil. Selain itu, setelah pengobatan 2 hari dengan OAT dan
deksametason, kesadaran membaik (dari stuporsomnolencompos mentis kembali).
Nafsu makan membaik, demam menghilang, batuk hanya terdengar sesekali. Oleh karena
itu, prognosis ad vitam, ad functionam, dan ad sanationam pada pasien ini adalah bonam.

Daftar Pustaka

1. Dimiyati Y. 2006. Algoritme tatalakssana kejang akut dan status epileptikus pada
anak. Divisi Saraf Anak. Medan; Departemen IKA FK USU/UKK Neurologi. Hal
3-4, 13-4.
2. Gawat darurat
3. Kania N. 2007. Penanganan kejang pada anak. Bandung; AMC Hospital. Hal 1-6.
4. 10-11Cohrane
Data
Based
http://criticall.org/webconcepteurcontent63/000023720000/
upload/pdf/Pediatric_Status_Epilepticus_CPG.pdf. Diunduh tanggal 1 Maret2013
5. Mangunatmadja I. Kejang pada anak. Dalam: Trihono PP, Purnamawati S, Syarif
DR dkk. Hot topics in Pediatrics II. Jakarta: Departemen IKA FKUI-RSCM,
2002. h. 245-61

Anda mungkin juga menyukai