Anda di halaman 1dari 14

PENGENDALIAN PENCEMARAN LINGKUNGAN LAUT

DAN PESISIR
BAB I PENDAHULUAN
Negra Republik Indonesia yang membentang dari Sabang sampai ke
Merauke, merupakan negara kepulauan yang terdiri atas 17.508 pulau, dan
memiliki garis pantai sepanjang 81.000 kilometer persegi. Manuputty (1995:69)
mengemukakan bahwa dengan konsep wawasan nusantara, maka luas daratan
mencapai 1,9 juta kilometer persegi, sedangkan lautan (termasuk zona ekonomi
eksklusif sebagaimana diatur dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982)
diperkirakan luasnya 7,9 juta kilometer persegi. Dengan demikian, luas kawasan
perairan adalah 81% dari seluruh wilayah tanah air kita.
Dengan luasan kawasan laut dan pesisir yang sedemikian besar, dibarengi
dengan kekayaan sumberdaya laut yang besar pula.Berkenaan dengan itu
Ramadhani (1999:151) menyatakan bahwa beragam jenis biota dan satwa yang
hidup dipesisir dan lautan antara lain:
- 800 species rumput laut
- 75 golongan coral reef
- 5 species kura-kura
- 155 species burung laut
- 25 species ikan paus dan lumba-lumba jenis dan ragam binatang laut yang tak
terhitung
- serta lahan basah yang sangat produktif dan lain-lain.
Bachtiar Rifai (Ohorella, 1993:47) menyatakan bahwa secara potensial
lautan itu adalah penghasil bahan pangan lebih produktif daripada daratan.
Kehidupan di laut ada yang membaginya dalam beberapa daerah :
1. Daerah pantai atau tidal zone yakni bertemunya daratan dan lautan.
2. Daerah laut dangkal sekitar benua sampai sedalam kurang lebih 150
meter.
3. Daerah samudera dalam, yang terbagi lagi dalam :

a. daerah cahaya sampai sedalam kurang lebih 185 meter.


b. Daerah gelap yang terus menerus.
Dalam daerah pantai dan daerah laut dangkal terdapat mayoritas dari segala
kehidupan laut, sedangkan dalam daerah samudera dalam yang gelap terus menerus
tidak terdapat cukup cahaya untuk mendukung tumbuhnya rumput laut, yakni
tumbuh-tumbuhan hijau bersel satu yang dengan sinar matahari mampu
membentuk gula dan tepung, dan merupakan dasar dari piramida makanan di
samudera.
Seyogyanya kekayaan alam yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa
yang terdapat di laut dan pesisir harus dijaga, dilestarikan, dan tetap terjaga kualitas
lingkungannya. Namun realitas menunjukkan bahwa akibat aktivitas manusia
menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan laut dan pesisir, yang berdampak
pada menurunya kualitas lingkungan maupun terancamnya kelestarian sumberdaya
alam laut dan pesisir. Pencemaran tersebut terjadi bukan saja akibat eksploitasi
yang berlebihan, tetapi juga akibat pencemaran yang datang dari darat maupun laut.
Oleh karena itu upaya pengendalian pencemaran lingkungan laut dan
pesisir, merupakan suatu kemutlakan, guna menyelamatkan laut dan pesisir beserta
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dan sekaligus dapat dimanfaatkan
guna mensejahterakan masyarakat bangsa dan negara Indonesia tercinta ini.
Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan yang dianalisis dalam
tulisan ini adalah Bagaimana pengendaliaan pencemaran lingkungan laut dan
pesisir di negara Republik Indonesia.

BAB II PEMBAHASAN
2.1.

Deskripsi Potensi Laut dan Pesisir


Sumber daya laut dan pesisir merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan

untuk meningkatkan pembangunan. Bahkan dalam masa-masa mendatang laut dan


pesisir merupakan primadona. Hal ini disebabkan selama ini perhatian pemerintah
lebih banyak ke daratan ketimbang laut. Sebagai akibat eksploitasi yang berlebihan
di daratan, mengakibatkan hutan gundul, banjir dan suhu panas semakin tinggi.
Kondisi tersebut seharusnya tidak boleh tertjadi pada kawasan laut dan pesisir,
yang merupakan sebagian besar wilayah negara Indonesia. Potensi sumberdaya laut
dan pesisir adalah perikanan, magrove, dan terumbu karang.
a. Perikanan
Menurut Butarbutar (1999:22) potensi perikanan laut di Indonesia sekitar
6,6 juta ton setiap tahun yang terdiri atas 4,5 ton perairan teritorial dan perairan
nusantara dan 2,1 juta ton dari ZEE (zona ekonomi ekslusif) Indonesia.Sampai
sekarang produksi penangkapan ikan mencapai 1,9 juta ton setiap tahun atau
kenaikan rata-rata 5,6 % setiap tahun. Namun lanjutnya, asumbangan perikanan
laut terhadap pembangunan masih kecil yaitu o,8 %. Menurut para ahli, dalam
tahun-tahun mendatang produksi ikan dapat ditambah sekitar 1,5 juta ton setiap
tahun dengan pembudidayaan hutan mangrove menjadi lahan pertambakan seluas
10-20% dari seluruh hutan mangrove. Sektor perikanan ini berhubungan erat
dengan keberadaan hutan magrove dan terumbu karang, terutama sebagai habitat
yanag diperlukan ikan. Keterkaitan tersebut begitu eratnya sehingga penanganan
masalah

ini

memerlukan

suatu

sistem

pengelolaan

yang

mampu

mempertimbangkan dan mengakomodasikan berbagai kepentingan pembangunan.


b. Hutan Mangrove
Berdasarkan data dari Ditjen Pelestarian Hutan dan Perlindungan Alam
(PHPA) tahun 1987 hutan mangrove di Indonesia tinggal 3,24 juta hektar. Hutan
mangrove telah dimanfaatkan secara komersial untuk bahan baku kertas dan kayu
bakar, sebagaian lahan bekas hutan mangrove dimanfaatkan untuk kegiatan
perikanan (Butarbutar, 1999:22).
Hutan mangrove terdiri atas hutan produksi dan kawasan suaka alam. Hutan
produksi seluas 1.077.000 hektar atau 25,34% dan kawasan lindung seluas 742.828
hektar. Dalam lokakarya pemantapan strategi pengelolaan lingkungan kawasan

pesisir dan laut tahun 1993, terungkap bahwa telah direncanakan untuk
mengkonversi hutan mangrove menjadi lahan pertanian pasang surut, perikanan
dan pemukiman seluas 20.871 hektar. Rencana ini menurut Butarbutar (1999:23)
selain memberikan harapan tumbuhnya keanekaragaman kegiatan ekonomi yang
berbasis pada kawasan dan pesisir juga merupakan tantangan bagi semua pihak
untuk menjaga keberadaan hutan mangrove sebagi bagian penting dari ekosistem
kawasan tersebut. Selanjutnya dinyatakan bahwa pengalaman menunjukkan,
perubahan daerah pesisir menjadi lahan pertanian pasang surut dan tambak yang
tidak hati-hati dapat menyebabkan kerusakan ekosistem setempat.
Pengelolaan hutan mangrove masih menghadapi kendala antara lain belum
berkembangnya sistem pengelolaan, termasuk perencanaan, pelaksanaan dan
pengawasan daerah pantai yang mampu mendorong penerapan prinsip-prinsip
pemanfaatan dan perlindungan hutan mangrove yang terencana sesuai dengan
peruntukannya. Kerusakan hutan mangrove ini akan mengancam ekosistem pesisir
baik sebagai penyangga daera pantai maupun sebagai habitat ikan dan mahkluk lain
dikawsan pesisir.
c. Terumbu karang
Terumbu karang di Indonesia menempati area seluas 7.500 km 2 . Yang
memprihatinkan, menurut Butarbutar (1999:24) adalah kondisi terumbu karang
makin lama makin menurun. Pada tahun 1993, dari seluruh terumbu karang di
Indonesia ada sekitar 14% terumbu karang dalam keadaan kritis, 46% mengalami
kerusakan, sekitar 33% yang masih baik, dan hanya 7% yang kondisinya sangat
bagus. Hal ini menunjukan bahwa terumbu karang tersebut selain berkaitan dengan
pembanagunan sektor perikanan juga berhubungan erat dengan prospek
pengembangan wisata bahari di masa depan. Kendala pengelolaan terumbu karang
disebabkan kegiatan manusia berupa kegiatan-kegoatana yang berlokasi di kawasan
pesisir dan laut, dan kegiatan-kegiatan yang yang berlokasi di darat.

2.2. Dasar Hukum Pengendalian Pencemaran

Lingkungan Laut dan Pesisir


Optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam didasari atas keyakinan bahwa
kebahagiaan hidup dapat tercapai apabila didasarkan atas keserasian, keselarasan
dan keseimbangan baik dalam hidup manusia sebagai pribadi, manusia dengan
manusia, hubungan manusia dengan alam maupun hubungan manusia dengan
Tuhan Yang Maha Esa.
Pemanfaatan sumberdaya alam di Republik ini mengacu pada UndangUndang Dasar 1945, pada Pembukaan alinia keempat dinyatakan bahwa Negara
melindungi segenap bangsa Indoneasia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Kemudia pada pasal 33 ayat 3 yaitu bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
di

dalamnya

dikuasai

oleh

negara

dan didpergunakan

sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat.
Landasan operasional (Tap MPR No. IV/MPR/99 tentang GBHN) yang
menghendaki agar sumber daya alam dipergunakan sebesar-besar kemakmuran
rakyat dengan memperhatikan keseimbangan antara kemakmuran lahiriah dan
kepuasan batiniah. Khusus yang berkenaan dengan lingkungan hidup dinyatakan
bahwa kelestarian fungsi lingkungan hidup menjadi pertimbangan dalam
pembangunan yang berkesinambungan dan berlanjut.
Sebagai implementasi berbagai kebijakan pembangunan yang berwawasan
lingkungan, maka ditetapkanlah Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pasal-pasal yang berkenaan dengan penulisan ini sebagai berikut: Dalam pasal 5
ayat (1) setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik
dan sehat.
Pasal 6 ayat (1) Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi
lingkungan hidup serta mencegah dan menaggulangi pencemaran dan perusakan
lingkungan hidup.
Pasal 9 ayat (1) pemerintah menetapkan kebijaksanaan nasional tentang
pengelolaan lingkungan hidup dan penataan ruang dengan tetap memperhatikan
nilai-nilai agama, adat istiadat, nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

Pasal 8 ayat (1) sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, serta pengaturannya ditentukan oleh
pemerintah. Pada ayat (2) dinyatakan bahwa Pemerintah:
a.

mengatur daan mengembangkan kebijaksanaan dalam rangka pengelolaan


lingkungan hidup;

b.

mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, pengelolaan lingkungan hidup,


dan pemanfaatan kembali sumber daya alam, termasuk sumber daya genetika;

c.

mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang dan/atau


subyek hukum lainnya serta perbuatan hukum terhadap sumber daya alam dan
sumber daya buatan, termasuk sumber daya genetika;

d.

mengendalikan kegiatan yang mempunyai dampak sosial;

e.

mengembangkan pendanaan bagi upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup


sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Di dalam Undang

Undang

No.

Tahun 1994

Perindustrian,

pasal 9

ayat

(4)

dinyatakan

pada

tentang
bahwa

pencegahan timbulnya kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup, serta


pengamanan terhadap keseimbangan dan kelestarian sumber daya alam.
Sedangkan pada pasal 21 dinyatakan bahwa perusakan mempunyai kewajiban
melaksanakan upaya keseimbangan dan kelestarian sumber daya alam serta
mencegah timbulnya kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup
akibat kegiatan industri yang dilakukan.
Menurut Rachmat dkk (1999:163) pada prinsipnya ketentuan pengendalian
kerusakan dan pencemaran lingkungan ini berlaku bagi setiap orang ( UU No.
23/1997, Pasal 6 ayat 1), dan bagi setiap bidang usaha (UU No.23/1997, Pasal 6
ayat 2), termasuk golongan ekonomi lemah. Namun mengingat kondisi dan kendala
yang dimiliki serta fungsi strategis usaha golongan ekonomi lemah maka kewajiban
tersebut dikecualikan untuk jenis industri tertentu dalam kelompok industri kecil.
(Undang-Undang No. 5/1984. Pasal 21 ayat 3). Selanjutnya dinyatakan bahwa
Pemerintah berkewajiban membina dan membantu usaha golongan ekonomi lemah
dalam mengendalikan kerusakan dan pencemaran lingkungan yanag diakibatkan
oleh kegiatan usahanya.
2.3.

Pencemaran Laut dan Pesisir

Ancaman terhadap lingkungan laut dan pesisir semakin meningkat akibat


bertambahnya jumlah penduduk dan bertambah pula eksploitasi penduduk di
pesisir, di samping bertambahnya industri besar maupun kecil.
Pencemaran, dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, dinyatakan bahwa Pencemaran Lingkungan Hidup
adalah masuknya atau dimasukkannya mahkluk hidup, zat, energi, dan/atau
komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga
kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup
tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.
Menurut Ramadhani (1999:151) sumber pencemaran berasak dari aktivitas
di pedalaman melalui transportasi sungai dan udara, aktivitas di pesisir dan laut,
serta pencemaran udara di atas perairan. Aktivitas di pedalaman dapat berupa,
kegiatan industri, transportasi sungai, pertambangan, komunitas dan lain-lain.
Aktivitas di pesisir dapat berupa, kegiatan di pelabuhan, komunitas dan aktivitas
nelayan, hotel dan rekreasi pantai, reklamasi dan pengerukan, penambangan
deposite, dan lain-lain.
Selanjutnya dinyatakan bahwa transportasi udara yang umumnya memilih
lokasi bandara di tepi pantai serta jalur penerbangan yang menyusuri garis pantai di
atas lautan, ikut mengotori udara dalam jangka panjang. Sumber pencemaran
terbesar di laut yaitu adanya kegiatan bongkar muat dan transportasi laut yang
mengangkut bahan-bahan petrolium, petrochemical serta bahan kimia/cair lainnya,
termasuk kegiatan pengeboran lepas pantai dengan pipa-pipa bawah airnya.
Manuputty (1995:72) menyatakan bahwa pencemaran laut yang bersumber
dari kapal secara tradisional merupakan sumber konflik antara maritime interest
dan coastal interest. Kepentingan-kepentingan dimaksud dimiliki oleh hampir
setiap negara, sehingga konflik kepentingan seperti itu dapat timbul tidak saja
dalam hubungan antar negara, tetrapi juga di dalam negara itu sendiri.
Berkenaan

dengan

sumber

pencemaran,

menurut

Rachmat

dkk

(1999:165)dalam perpektif global,pencemaran lingkungan pesisir dan laut dapat


diakibatkan oleh limbah buangan kegiatan atau aktivitas di daratan maupun
kegiatan atau aktivitas di lautan. Selanjutnya dinyatakan bahwa pencemaran
bersumber dari akrivitas di daratan (Land-based pollution) antara lain:

- Penebangan hutan (deforestation)


- Buangan limbah industri (disposal of industrial waste)
- Buangan limba pertanian (disposal of agricultural waste)
- Buangan limbah cair domestik (sewage disposal)
- Buangan limbah pada (solid waste disposal)
- Konversi lahan mangrove dan lamun (mangrove swamp conversion)
- Reklamasi di kawasan pesisir (reclamation)
Sedangkan pencemaran bersumber dari aktivitas di laut (sea-based
pollution) adalah:
- Pelayaran (shipping)
- Dumping di laut (ocean dumping)
- Pertambangan (mining)
- Eksplorasi dan eksploitasi minyak (oil exploiration and explotation)
- Budidaya laut (mariculture)
- Perikanan (fishing).
2.4.

Pengendalian Pencemaran Pesisir dan Laut


Menurut Rachmat, dkk ( 1999:168) dalam penyusunan strategi pengendalian

pencemaran, ada tiga langkah aksi yang penting untuk diperhatikan, yaitu:
1. Standar baku mutu
2. Pelaksanaan program monitoring
3. Penegakan hukum.
Pengendalian kualitas lingkungan laut, didasarkan pada standar kualitas
lingkungan laut, disusun berdasarkan batasab kualitas air, biota dan sedimen yang
harus dijaga untuk suatu tingkat pemanfaatan tertentu. Sedangkan penentuan
standar emisi pada suatu jenis kegiatan sebagai sumber pencemaran umumnya
disasarkan pada kemampuan atau ketersediaan teknologi yang dapat digunakan
untuk mengurangi emisi kontaminan dari kegiatan tersebut.
Rachmat, dkk (1999:171) mengemukakan bahwa program pemantauan
pencemaran laut dan pesisir merupakan kegiatan atau program secara berkelanjutan
dalam pengukuran, analisis, dan sintesis untuk mengkuantifikasikan dan
mendeskripsikan kadar kontaminan atau zat pencemar lingkungan. Informasi yang
dihasilkan dari program pemantauan tersebut merupakan dasar umtuk pengambilan

keputusan langkah pengelolaan dan penanganan lebih lanjut yang diperlukan.


Selanjutnya dinyatakan bahwa pemantauan dapat dilaksanakan dengan fokus dan
sarana antara lain terhadap:
a. Kualitas buangan
b. Penataan hukum dan peraturan
c. Dampak dari buangan limbah
d. Daya dukung lingkungan
e. Model prediksi perubahan lingkungan.
Program pemantauan meliputi pemantauan terhadap limbah cair dari
berbagai industri, dan pemantauan terhadap kualitas perairan sungai di mana
limbah industri dibuang. Pemantauan juga dilakukan terhadap industri-industri
untuk menjalankan UPL (upaya pemanatauan lingkungan) dan UKL (upaya
pengelolaan lingkungan) yang telah tercantum dalam dokumen AMDAL (analisis
mengenai dampak lingkungan), termasuk penyediaan/perbaikan fasulitas IPAL
(instalasi pengolahan limbah). Di samping itu terdapat pula suatu program
pemantauan yaitu dengan membuat dalam surat pernyataan yang dilakukan oleh
pihak industri sendiri. Upaya ini tentunya sangat baik terutama dalam
meningkatkan peran serta pengusaha untuk membantu pemerintah dalam menjaga
kelestarian lingkungan ( Prartono, 1999:176).
Dalam pengendalian pencemaran lingkungan, ada berbagai tipe mekanisme
yang digunakan dalam implementasi pengendalian pencemaran (Rachmat, dkk,
1999:171) antara lain:
1. Peraturan perundang-undangan
2. Baku mutu limbah dan Baku mutu lingkungan
3. Pembinaan teknis dan Pedoman pelaksanaan
4. Perijinan
5. Pengendalian produk
6. Insentif dan disintensif
7. Penataan hukum
8. Perencanaan dan pengawasan penggunahan lahan
9. Pemantauan dan pengawasan.

Pengelolaan wilayah laut dan pesisr harus dilakaukan secara terpadu,


mencakup perencanaan, penggunaan lahan, pemeliharaan. Kontrol, evaluasi dan
restorasi, rehabilitasi, pembuangan dan konservasi lingkungan laut dan pesisir.
Pendekatan ini, menurut Rachmat, dkk (1999:170) untuk mengalokasikan
atau memanfaatkan sumberdaya dukung lingkungan wilayah pesisir. Pendekatan ini
memberikan solusi untuk memilih antara pemanfaat sumberdaya yang saling
bertentangan dan menetapkan batasan tentang akselerasi kegiatan pembangunan
secara berkelanjutan.
Perencanaan pemanafaatan sumberdaya pesisir berkelanjutan didasarkan
pada skala prioritas yang ditentukan oleh pertimbangan teknis, sosial ekonomi,
budaya, dan lingkungan. Kemudian segenap prioritas ini diterjemahkan menjadi
kebijakan, strategi dan program pembangunan sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapai.
Rachmat, dkk (1999:170-171)mengemukakan bahwa secara umum, terdapat
bebebrapa hal yang penting untuk dipertimbangkan dalam mendesain dan
melaksanakan program pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (Integrated
Coastal Zone Management disingkat ICM), yaitu antara lain:
a. Adopsi pendekatan yang sistematis

dalam pengembangan dan

implementasi proyek atau program ICM:


1. Penerapan Kerangka ICM dalam pengelolaan sektoral
2. Penggunaan kombinasi option-option pengelolaan
3. Adopsi prndekatan pencegahan
b. Pelibatan seektoral masyarakat umum dalam proses ICM
c. Pengintegrasian informasi lingkungan, ekonomi dan sosial sejak tahap
awal dari proses ICM
d. Pembentukan mekanisme bagi keterpaduan dan koordinasi
e. Pembentukan mekanisme pendanaan secara berkelanjutan
f. Pengembangan kapasitas ICM semua tingkatan
g. Pemantauan efektivitas proyek atau program ICM.
Prartono (1999:185-186) mengemukakan bahwa agar masalah pencemaran
dapat dikendalikan, pemerintah telah membuat berbagai program yang dilakukan
oleh pemerintah daerah. Kebijakan program-program tersebut antara lain:

1. Program inventarisasi dan evaluasi sumberdaya alam lingkungan.


Program ini bertujuan untuk menyediakan informasi pada kuantitas dan
kualitas sumberdaya alam, dan untuk membangun keseimbangan dan
pemanfaatan

sumberdaya

alam

dan lingkungan

sesuai

dengan

pembangunan berkelanjutan.
2. Program konservasi hutan, tanah dan air untuk mengamankan fungsi
konservasi sumberdaya alam, dan lingkungan baik secara biologi
maupun non biologi
3. Program penyuluhan untuk pengelolaan lingkungan untuk menyediakan
sumberdaya lingkungan baik untuk pegawai maupun masyarakat
4. Program

pengendalian

pencemaran

lingkungan

dengan

tujuan

menghindari, mengurangi dan mengendalikan pencemaran lingkungan


akibat kegiatan pembangunan. Hal ini dilakukan melalui;
a. Perbaikan fungsi dan kualitas sungai-sungai
b. Pengendalian pencemaran udara
c. Pembangunan fasilitas pengolahan untuk limbah rumah tangga
d. Pembangunan fasilitas pusat pengolahan limbah untuk industri
e. Pembangunan teknologi daur ulang untuk pengolahan sampah
f. Penerapan standar kualitas air untuk limbah cair induftri dan
lingkungan berdasarkan kemampuan lembaga dan teknologi yang
digunakan untuk pemantauan
g. Pembentukan sistem bagi pengusaha dan masyarakat dalam
meningkatkan kesadaran akan mempertahankan kualitas lingkungan.
5. Program penyuluhan akan pentingnya wilayah laut dan pantai. Program
ini bertujuan untuk mengamankan fungsi ekosistem pantai dan laut,
mengendalikan kerusakan pantai dan laut, mendorong masyarakat pantai
dalam mengelola lingkungan pantai dan laut.
6. Program rehabilitasi lahan kritis dengan tujuan memfungsikan kembali
ekosistem hutan dan tanah, mengurangi erosi dan
sedimentasi, mengendalikan banjir dan kekeringan, dan juga mendirikan
lembaga masyarakat dalam rangka menghindari dan mengurangi
kerusakan lingkungan.

Hal yang sangat penting dalam rangka pengendalian pencemaran


lingkungan di sekitar laut dan pesisir adalah penegakan hukum. Secara
konsepsional penegakan hukum terletak pada menyerasikan hubungan nilai-nilai
yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang termanifestasi dalam sikap tindak
manusia, guna menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian
pergaulan hidup. Dalam penegakan hukum ada berbagai faktor yang mempengaruhi
( Soekanto,1993:5) adalah sebagai berikut:
1.

Faktor hukumnya sendiri.

2.

Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun


yang menerapkan hukum.

3.

Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4.

Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku


atau diterapkan.

5.

Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan
hidup.

Kelima faktor tersebut di atas menurut Soekanto (1993:5) saling berkaitan


dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, serta juga
merupakan tolok ukur dari efektivitas penegakan hukum. Kelima faktor penegakan
hukum tersebut dapat dipadatkan menjadi tiga faktor yakni struktur, substansi dan
budaya hukum.
Penegakan hukum seharusnya diterapkan kepada siapa saja (baik orang
maupun badan hukum) yang terbukti melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum.
Selama ini banyak diberitakan terjadinya kerusakan hutan mangrove dan terumbu
karang, maupun berbagai racun yang digunakan nelayan yang tak bertanggung
jawab untuk mendapatkan hasil ikan yang banyak, serta kapal-kapal yang
membuang limbah; namun hampir tak satu pun diperhadapkan hinga ke sidang
pengadilan dengan berbagai alasan, antara lain kurang cukup bukti.
Padahal apabila diamati secara cermat bahwa laut dan pesisir menghidupi
sebagian besar rakyat Indonesia, yang pada umumnya bermatapencaharian petani
dan nelayan, bahkan pada umumnya bermatapencaharian ganda yakni petani dan
nelayan. Mereka ini hidupnya tergantung pada laut dan pesisir. Misalnya di

kawasan mangrove, selain sebagai penyangga ombak/gelombang laut, juga sebagai


tempat potensial hidup ikan, udang dan kepiting sebagai tempat pencaharian
nelayan tradisional. Namun dewasa ini hutan mangrove dibabat oleh baik
pemegang Hak Pengusahaan Hutan, maupun masyarakat tanpa prosedur dan alas
hak yang jelas, namun tidak tersentuh hukum.
Suatu contoh yang paling aktual adalah penanaman kembali mangrove di
kabupaten Sinjai, sekaligus pembudidayaan ikan, udang dan kepiting oleh
masyarakat, yang kini menjadi daerah percontohan di Sulawesi Selatan.Hal ini
dapat terjadi dari adanya kesadaran masyarakat dan pemerintah tentang pentingnya
hutan mangrove bagi kehidupan manusia.
Contoh yang lain dapat dikemukakan adalah pengrusakan terumbu karang
yang dilakukan oleh nelayan modern maupun tradisional. Nelayan modern
menggunakan jaring/pukat harimau kendatipun telah dilarang untuk menangkap
ikan, tentu saja selain merusak terumbu karang, juga menyapu bersih ikan-ikan
yang belum layak untuk diambil. Selain itu penggunaan bahan beracun dan bahan
peledak baik oleh nelayan modern maupun tradisional juga merusak terumbu
karang. Padahal untuk kembali pada keadaan semula, pertumbuhan terumbu karang
membutuhkan waktu puluhan, bahkan ratusan tahun.
Kerusakan dan pencemaran laut dan pesisir, sebagaimana telah diuraikan
terjadi akibat limbah industri maupun dikibatkan tumpahan minyak dan zat-zat
beracun lainnya dari kapal-kapal niaga maupun non niaga perlu diambil tindakan
tegas.
Disadari bahwa penegakan hukum tidak semudah membalik telapak tangan,
karena hal ini berkaitan dengan berbagai faktor, antara lain sarana yang dimiliki
aparat, pengetahuan hukum aparat, pengetahuan hukum masyarakat, budaya hukum
masyarakat, dan faktor-faktor sosial lainnya. Namun demikian sudah merupakan
kewajiban bersama sebagai bangsa dan negara hukum Indonesia untuk menjadikan
hukum sebagai panglima.
BAB IV PENUTUP
Pencemaran lingkungan laut dan pesisir sangat sensitif karena berdampak
ekologis. Akibat pencemaran akan membawa kerugian yang tak terbilang

banyaknya, karena selain menyangkut hewan dan tumbuhan yang berada dalam
kawasan laut dan pesisir, juga manusia yang selama ini menggantungkan hidupnya
pada laut dan pesisir, bahkan seluruh umat manusia. Oleh karena itu pengendalian
pencemaran lingkungan laut dan pesisir sepatutnya dijadikan perhatian utama
semua pihak (pemerintah, investor, dan

masyarakat)

mencegah terjadinya pencemaran yang lebih parah.

agar

menghindari,

Anda mungkin juga menyukai