1. SEJARAH
Buru adalah kelompok etnik yang berdiam di Pulau Buru. Provinsi Maluku Tengah. Selain
orang Buru, di pulau ini juga menetap suku bangsa Galela dan Sula, yang kebanyakan
berdiam di daerah pantai. Seperti halnya penduduk Kepulauan Maluku lainnya, suku bangsa
ini biasa disebut orang Alfuru. Jumlah penduduk di pulau ini tercatat sekitar 7.000 jiwa.
Seorang calon suami harus memberikan sejumlah mas kawin kepada pihak wanita. Adat
menetap sesudah nikahnya menentukan bahwa pasangan pengantin baru menetap di
kediaman kerabat suami (patrilokal).
Setiap fena dikepalai oleh seorang matlea (gebha), dengan wakilnya yang disebut perwies.
Pemimpin fena ini ditentukan berdasarkan pemilihan di kalangan anggota fena menurut garis
laki-laki. Beberapa fena membentuk sebuah federasi yang lebih besar, disebut feulolin
(fugmolin). Kepala feulolin, yaitu kepala jabu, dan wakilnya, hermolon, merupakan wakil
terpilih fena-fena yang ada.
2. KONDISI GEOGRAFIS
Secara Geografis Kabupaten Buru terletak antara 2º25’ – 3º83’ Lintang Selatan dan 125º08’
– 127º20’ Bujur Timur. Luas wilayah Kabupaten Buru menjadi 7.595,58 Km² yang terdiri
dari luas daratan 5.577,48 Km2dan luas lautan/perairan 1.972,50 Km2 dengan panjang garis
pantai 232,18 Km2.
Secara Geografis Kabupaten Buru memiliki batas wilayah :
Rumah Adat masyarakat Buru berupa rumah panggung yang terbuat dari bambu dengan
atap alang-alang atau daun kelapa.
4. PAKAIAN ADAT
5. TARIAN
Tarian Kuda Lumping merupakan akulturasi budaya yang bermula dari masuknya
Tahanan Politik yang berpusat di Markas Komando (Mako) pada tahun 1970-an dan
kedatangan Transmigrasi dari Pulau Jawa pada tahun 1979. Tarian ini biasanya
ditampilkan pada acara-acara syukuran panen raya (Padi), pesta perkawinan dan
penjemputan tamu daerah
Tarian Cakalele
Tarian ini sering ditampilkan pada acara pesta panen sebagai ungkapan rasa syukur dan
kegembiraan masyarakat Buru. Penari berjumlah 12 orang yang terdiri dari 6 orang pria
dan 6 orang wanita. Alat penggiring tari berupa Tifa kecil dan besar
Nyanyian Inafuka
Selain itu, mereka juga percaya akan adanya roh abadi yang disebut esmangin, roh alam yang
disebut sanane, roh orang mati yang disebut nituro, dan sebagainya. Kepercayaan terhadap
kekuatan-kekuatan gaib ini diwujudkan dengan pemberian sesaji dan upacara pada waktu-
waktu tertentu.
7. BAHASA
Suku Buru berkomunikasi dengan menggunakan bahasa bahasa Buru. Selain itu juga mereka
juga menggunakan bahasa Melayu Ambon dengan logat khas Buru.