PENDAHULUAN
Perforasi esofagus atau rupture esofagus adalah pecahnya dinding
esofagus, yakni saluran pencernaan yang menghubungkan antara rongga mulut
dengan lambung. Penyakit ini ditemukan pertama kali oleh Herman Boerhaave
sekitar 200 tahun silam. Pada hasil otopsi pasien, ditemukan sisa makanan dan
obat-obatan pada rongga dada kiri pasien. Perforasi esofagus merupakan kasus
yang jarang terjadi di masyarakat, namun kasus ini tergolong dalam kasus gawat
darurat dan memerlukan penanganan yang tepat (Addas dkk, 2012).
Insiden perforasi esofagus sebanyak 3 dari 100.000 orang di Amerika
Serikat. Perforasi esofagus dapat terjadi di bagian esofagus manapun. Lokasi
terbanyak adalah servikal (27%), intratorakal (54%), dan intraabdomen (19%).
Penyebab tersering dari perforasi adalah iatrogenik (56%), yaitu karena prosedur
medis yang menggunakan instrument diagnostic atau terapeutik ke dalam
esofagus, contohnya esofagogastroduodenoskopi (EGD). Penyebab lainnya yaitu
muntah hebat (16%), trauma (11%), dan satu persen lainnya berupa tumor,
ulserasi karena penyakit GERD, corpus alienum, kondisi patologis aorta, dan
penyakit esofageal.
Gejala awal dari perforasi esofagus adalah nyeri yang terlokalisir pada
tempat perforasi, seringkali dengan riwayat muntah hebat. Kadang gejala juga
tidak jelas di mana pasien hanya mengeluhkan nyeri dada dan odinofagia,
sehingga kadang membingungkan dengan diagnosis lain seperti infark miokardial,
pankreatitis, abses paru, dan pneumotoraks spontan (William dkk, 2008).
Diagnosis yang tepat sangatlah diperlukan dalam penanganan perforasi esofagus.
Diagnosis ditegakkan dengan foto polos toraks dan CT-Scan toraks (Marx dkk,
2010)
Penatalaksanaan juga diharapkan tepat dan cepat, mengingat mortalitas
tanpa terapi mendekati 100 persen. Komplikasi berupa sepsis, mediastinitis, multi
organ failure, dan dapat berakibat fatal (Sengul dkk, 2013). Penanganan yang
dilakukan mencakup medikamentosa dan operatif.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi esofagus
Esofagus adalah suatu organ berbentuk silindris berongga dengan panjang
sekitar 25 cm, terbentang dari hipofaring pada daerah pertemuan faring dan
esofagus (vertebra servikal 5-6) di bawah kartilago krikoid, kemudian melewati
diafragma melalui hiatus diafragma (vertebra torakal 10) hingga ke daerah
pertemuan esofagus dan lambung dan berakhir di orifisum kardia lambung
(vertebra torakal 11). (Beasley, 1987). Esofagus memiliki diameter yang
bervariasi tergantung ada tidaknya bolus makanan atau cairan yang melewatinya.
Diantara proses menelan, esofagus ada pada keadaan kolaps, tetapi lumen
esofagus dapat melebar kurang lebih 2 cm di bagian anterior dan posterior serta ke
3 cm ke lateral untuk memudahkan dalam proses menelan makanan. (gambar 1)
torakal yang memanjang dari suprasternal notch ke dalam hiatus diafragma. Pada
bagian torakal dapat dibagi lagi menjadi 3 bagian yaitu: esofagus torakal bagian
atas yang memanjang pada level margin superior dari manubrium sterni ke level
margin inferior dari percabangan trakea, esofagus torakal bagian tengah yang
memanjang dari level margin inferior percabangan trakea sampai dengan daerah
pertengahan antara percabangan trakea dan daerah pertemuan esofagus-lambung,
terakhir esofagus torakal bagian bawah yang memanjang dari daerah pertengahan
tersebut sampai level diafragma. (Postma, 2009). Esofagus abdominal memanjang
dari hiatus diafragma hingga ke orifisium dari kardia lambung.(gambar 2)
esofagus. Hal ini berkaitan dengan intensitas muntah yang tinggi dan berat, yang
diakibatkan oleh peningkatan tekanan intra abdomen atau yang biasa disebut
Boerhaave Syndrome. Sindrom ini merupakan sindrom yang sangat jarang
ditemui dan sering disalah artikan dengan penyakit jantung, sehingga sering
mendapatkan pertolongan yang tidak tepat. Boerhaaves yndrome juga dapat
terjadi pada orang yang mengangkat beban, melahirkan, status epileptikus, buang
air besar, ataupun tindakan Heimlich manuver. Sejauh ini belum ada mekanisme
yang jelas mengenai terjadinya Boerhaave syndrome. (Soreide & Viste, 2011)
Ingesti benda asing berkaitan dengan terjadinya striktur esofagus dan
perforasiesofagus. hal ini berhubugan dengan cairan kaustik yang biasanya
digunakan sebagai cairan pembersih dan industrial. Resiko terjadinya perforasi
esofagus tinggi pada balita yang secara tidak sengaja meminum cairan tersebut.
Selain itu pada kelompok dewasa sering terjadi pada individu yang memiliki
permasalahan psikologis, seperti percobaan bunuh diri. Teradinya perforasi
esofagus akibat dari cairan kaustik berhubungan dengan jumlah cairan yang
masuk, kejenuhan cairan, durasi kontak, serta jenis cairan. Jenis cairan yang
paling sering menyebabkan perforasi adalah cairan basa kuat, yang mampu
menyebabkan necrosis liquefactive pada jaringan dan mampu cepat menyebar ke
jaringanlain, sedangkan airan asam cenderung membentuk jaringan koagulatif
yang cenderng memiliki daya penetrasi yang lemah. (Soreide & Viste, 2011).
Selain diakibatkan zat kaustik, perforasi juga dapat terjadi akibat dari ingsti
makanan yang besar, ireguler, tajam, dan dengan waktu yang lama dapat pula
menyebabkan terjadinya perforasi esofagus. (Paspatis dkk, 2014 )
2.5 Patofisiologi
Esofagus lebih rentan daripada sisa saluran pencernaan karena kurangnya
lapisan serosa, yang menyediakan stabilitas melalui serat elastin dan kolagen.
Perforasi mungkin karena beberapa mekanisme, termasuk menusuk langsung,
geser sepanjang sumbu longitudinal, meledak dari pasukan radial, dan menipis
dari nekrosis dinding esofagus. Cedera iatrogenik melalui instrumentasi esofagus
adalah penyebab utama perforasi dengan baik menusuk atau geser dan mungkin
karena sejumlah prosedur, terutama endoskopi dan dilatasi striktur. air mata
seperti sering terjadi di dekat persimpangan pharyngoesophageal mana dinding
paling lemah. Karena kerongkongan dikelilingi oleh jaringan ikat longgar stroma,
respon menular dan inflamasi dapat menyebarkan mudah ke organ vital di
dekatnya, sehingga membuat perforasi esofagus keadaan darurat medis dan
meningkatkan kemungkinan gejala sisa yang serius. usia yang lebih tua (> 65 y)
dan penyakit esofagus yang mendasari (tumor, striktur) predisposisi terhadap
perforasi dengan instrumentasi, yang sering terjadi distal ke daerah yang terkena.
Perforasi selama operasi yang paling sering terjadi di kerongkongan perut.
Ruptur spontan esofagus (Boerhaave syndrome) terjadi sekunder untuk
peningkatan mendadak dalam tekanan intraluminal, biasanya karena muntah
kekerasan atau muntah-muntah, dan sering mengikuti makanan berat dan asupan
alkohol. Ruptur spontan dapat terjadi tepat di atas diafragma di dinding
posterolateral dari kerongkongan. Perforasi biasanya memanjang (panjang 0,6-8,9
cm), dengan sisi kiri lebih sering terkena daripada hak (90%). Dalam lebih dari
90% kasus, terjadi perforasi di sepertiga bagian bawah esofagus; paling sering, air
mata berada di kawasan posterolateral kiri (90%) dan dapat memperpanjang
superior. Trauma, hampir seragam menembus, menunjukkan ketertarikan untuk
esofagus bagian atas, sementara ingestions beracun dan benda asing dapat
langsung
merusak
kerongkongan
serviks
atau
menjadi
bersarang
menyebabkan erosi berbahaya dari dinding otot. (Fachzi Fitri et all, 2014)
dan
2.7 Diagnosis
Anamnesis :
Nyeri dada adalah salah satu genjala cardinal dari perforasi esophagus. Nyeri yang
dirasakan bersifat akut dan muncul mendadak dapat teradiasi ke punggung atau ke
pundak kiri. Dapat pula terjadi muntah dan sesak napas. Trias Mackler yaitu nyeri
dada, muntah dan adanya emfisema subkutan. Terdapat nyeri pada leher ketika
esophagus di bagian servikal mengalami perforasi. Disfoni, disfagi, emfisema
subkutan, suara parau juga dapat menjadi sekelompok gejala pada pasien. Kadang
pasien dapat mengalami nyeri abdomen atau epigastrik akut ketika perforasi
terjadi pada gastroesophageal junction. Hematemesis dan melena jarang menjadi
gejala pada pasien. Perlu pula ditanyakan riwayat sebelumnya misalnya
menggunakan instrument medis atau intervensi pada esophagus, episode dari
muntah yang akut, tertelan benda asing.
Pemeriksaan fisik :
Takikardi dengan demam, perhatikan apabila ada krepitasi pada region leher atau
pada dinding dada yang merupakan salah satu karakter dari emfisema subkutan.
Respon inflamasi sistemik biasanya berkembang cepat setelah terjadi perforasi
dan adanya infeksi bakteri mediastinitis menyebabkan kolapsnya cardiopulmonary
dan kegagalan multiorgan.
Pemeriksaan penunjang :
1.
2.
3.
4.
5.
Infark Miokard
Pankreatitis
Abses paru
Perikarditis
Pneumothoraks
2.9 Penatalaksanaan
Pasien yang diduga menderita perforasi esophagus harus segera di tangani
sebagai penyakit kritis. Pendekatan diagnostic yang langsung dan agresif sangat
penting digunakan untuk memastikan diagnosis dan mengidentifikasi gangguan
tambahan lainnya. Pemberian Antibiotika spectrum luas harus segera diberikan
secara intravena, dan saturasi oksigen harus selalu di perhatikan. Observasi dan
penanganan yang sesuai pada pasien dengan penyakit seperti ini biasanya
memerlukan perlataan dari Intensive Care Unit (Jon Arne, 2011)
Hampir semua penyakit pada esophagus di tangani oleh divisi
Gastroenterology atau divisi thoracic surgery, akan tetapi kembali pada di negara
dan isntitusi manakah pasien tersebut di tangani (Jon Arne, 2011)
Penanganan non-operatif sudah cukup untuk kebanyakan pasien dengan
perforasi iatrogenic. Pada pasien dengan dengan luka minimal pada dinding
esophageal dan terdapat kebocoran tanpa penyakit sistemik seperti infeksi dan
gangguan sirkulasi, observasi yang optimal, serta pengobatan yang seusai dengan
antibiotika spectrum luas dan proton pump inhibitors (PPIs) dan dukungan nutrisi
sudah cukup untuk keberhasilan penyembuhan pasien (Jon Arne, 2011).
Primary Repair untuk esophagus juga sangat memungkinkan, khususnya
pada pasien yang dating ke rumah sakit dalam kurun waktu 24 jam sejak gejala
pertama kali muncul. Myotomi adalah jenis operasi yang bisa dilakukan.
Mengeluarkan secret dari esophagus juga dapat mempercepat penyembuhan dan
pada saat yang sama juga dapat meminimalkan resiko kontaminasi dan infeksi
yang lebih luas (Jon Arne, 2011)
2.10 Komplikasi
11
BAB III
12
KESIMPULAN
Perforasi esophagus adalah pecahnya esofagus yang umumnya disebabkan
oleh peningkatan tekanan intraesophageal dan peningkatan tekanan negatif
intratorakal. Lubang yang muncul akibat perforasi esofagus menyebabkan
makanan yang masuk dari mulut dapat keluar menuju area sekitar esofagus seperti
mediastinum sehingga mengakibatkan mediastinitis. Faktor resiko terjadinya
perforasi esofagus dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu iatrogenik, idiopatik,
dan ingesti benda asing. Salah satu gejala yang paling sering muncul pada
perforasi esophagus, terutama pada full thickness perforation dari esophagus
intratorakal adalah nyeri dada (70%), banyak gejala yang terbilang tidak spesifik
pada banyak pasien Nyeri terkait perforasi esophagus biasanya bersifat akut,
menjalar ke punggung atau bahu kiri. Trias yang biasa digunakan adalah Trias
Mackler yang terdiri dari muntah, nyeri dada, dan emfisema subkutis.
Pemeriksaan penunjang adalah Radiografi,Ct-scan, endoskopi. Komplikasi yang
dapat timbul pada pasien dengan perforasi esophagus bisa berupa terjadinya
kerusakan yang bersifat permanen pada esophagus seperti pada dinding
esophagus, kerusakan yang dapat ditimbulkan bisa berupa penyempitan maupun
timbulnya stricture.Penanganan non-operatif sudah cukup untuk kebanyakan
pasien dengan perforasi iatrogenic. Pada pasien dengan dengan luka minimal pada
dinding esophageal dan terdapat kebocoran tanpa penyakit sistemik seperti infeksi
dan gangguan sirkulasi, observasi yang optimal, serta pengobatan yang seusai
dengan antibiotika spectrum luas dan proton pump inhibitors (PPIs) dan dukungan
nutrisi sudah cukup untuk keberhasilan penyembuhan pasien. Primary Repair
untuk esophagus juga sangat memungkinkan, khususnya pada pasien yang dateng
ke rumah sakit dalam kurun waktu 24 jam sejak gejala pertama kali muncul.
Myotomi adalah jenis operasi yang bisa dilakukan. Mengeluarkan secret dari
esophagus juga dapat mempercepat penyembuhan dan pada saat yang sama juga
dapat meminimalkan resiko kontaminasi dan infeksi yang lebih luas. Jika
DAFTAR PUSTAKA
13
pada:
http://emedicine.medscape.com/article/425410-treatment?
src=refgatesrc1#d12
Paspatis GA, Dumonceau JM, Bathet M, dkk. 2014. Diagnosis and
management of iatrogenic endoscopic perforations: European Society of
Gastrointestinal Endoscopy (ESGE) Position Statement. ESGE. Diakses pada
14
https://www.esge.com/assets/downloads/pdfs/
guidelines/2014_s_0034_1377561.pdf tanggal 21 Desember 2016
Postma GN, Seybt MW, Rees CJ. Esophagology. In : Snow JB, Wackym PA,
eds. Ballengers otorhinolaryngology head and neck surgery.Spain: BC Decker
Inc, 2009 : 975-8.
Raju GS & Richter JE. 2012. Advance in Gerd: Esophageal perforation.
Gastroenterology & Hepatology. Vol. 8, issue 8, Agustus 2012
Sancheti MS, Fernandez FG. 2016. Surgical Management of Esofageal
Perforation. Operative Techniques in Thoracic and Cardiovascular Surgery 20
(3): 234-250.
Shockley WW, Rose AS. Esophageal disorders. In : Bailey BJ, ed. Head and
neck surgery-otolaryngology. 4th edition. Philadelphia: JB
Lippincott
William N, Bulstrode C, OConnel PR. 2008. Bailey & Love Short Practice of
Surgery (edisi ke-25). United Kingdom: Taylor & Francis.
16