Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
Perforasi esofagus atau rupture esofagus adalah pecahnya dinding
esofagus, yakni saluran pencernaan yang menghubungkan antara rongga mulut
dengan lambung. Penyakit ini ditemukan pertama kali oleh Herman Boerhaave
sekitar 200 tahun silam. Pada hasil otopsi pasien, ditemukan sisa makanan dan
obat-obatan pada rongga dada kiri pasien. Perforasi esofagus merupakan kasus
yang jarang terjadi di masyarakat, namun kasus ini tergolong dalam kasus gawat
darurat dan memerlukan penanganan yang tepat (Addas dkk, 2012).
Insiden perforasi esofagus sebanyak 3 dari 100.000 orang di Amerika
Serikat. Perforasi esofagus dapat terjadi di bagian esofagus manapun. Lokasi
terbanyak adalah servikal (27%), intratorakal (54%), dan intraabdomen (19%).
Penyebab tersering dari perforasi adalah iatrogenik (56%), yaitu karena prosedur
medis yang menggunakan instrument diagnostic atau terapeutik ke dalam
esofagus, contohnya esofagogastroduodenoskopi (EGD). Penyebab lainnya yaitu
muntah hebat (16%), trauma (11%), dan satu persen lainnya berupa tumor,
ulserasi karena penyakit GERD, corpus alienum, kondisi patologis aorta, dan
penyakit esofageal.
Gejala awal dari perforasi esofagus adalah nyeri yang terlokalisir pada
tempat perforasi, seringkali dengan riwayat muntah hebat. Kadang gejala juga
tidak jelas di mana pasien hanya mengeluhkan nyeri dada dan odinofagia,
sehingga kadang membingungkan dengan diagnosis lain seperti infark miokardial,
pankreatitis, abses paru, dan pneumotoraks spontan (William dkk, 2008).
Diagnosis yang tepat sangatlah diperlukan dalam penanganan perforasi esofagus.
Diagnosis ditegakkan dengan foto polos toraks dan CT-Scan toraks (Marx dkk,
2010)
Penatalaksanaan juga diharapkan tepat dan cepat, mengingat mortalitas
tanpa terapi mendekati 100 persen. Komplikasi berupa sepsis, mediastinitis, multi
organ failure, dan dapat berakibat fatal (Sengul dkk, 2013). Penanganan yang
dilakukan mencakup medikamentosa dan operatif.
1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi esofagus
Esofagus adalah suatu organ berbentuk silindris berongga dengan panjang
sekitar 25 cm, terbentang dari hipofaring pada daerah pertemuan faring dan
esofagus (vertebra servikal 5-6) di bawah kartilago krikoid, kemudian melewati
diafragma melalui hiatus diafragma (vertebra torakal 10) hingga ke daerah
pertemuan esofagus dan lambung dan berakhir di orifisum kardia lambung
(vertebra torakal 11). (Beasley, 1987). Esofagus memiliki diameter yang
bervariasi tergantung ada tidaknya bolus makanan atau cairan yang melewatinya.
Diantara proses menelan, esofagus ada pada keadaan kolaps, tetapi lumen
esofagus dapat melebar kurang lebih 2 cm di bagian anterior dan posterior serta ke
3 cm ke lateral untuk memudahkan dalam proses menelan makanan. (gambar 1)

Gambar 1. Anatomi Esofagus


Esofagus dibagi menjadi 3 bagian yaitu, servikal, torakal dan abdominal.
(Squier CA, 2009). Esofagus servikal merupakan segmen yang pendek, dimulai
dari pertemuan faring dan esofagus menuju ke suprasternal notch sekitar 4-5 cm,
di bagian depannya dibatasi oleh trakea, belakang oleh vertebra dan di lateral
dibatasi oleh carotid sheaths dan kelenjar tiroid. Kemudian dilanjutkan esofagus
2

torakal yang memanjang dari suprasternal notch ke dalam hiatus diafragma. Pada
bagian torakal dapat dibagi lagi menjadi 3 bagian yaitu: esofagus torakal bagian
atas yang memanjang pada level margin superior dari manubrium sterni ke level
margin inferior dari percabangan trakea, esofagus torakal bagian tengah yang
memanjang dari level margin inferior percabangan trakea sampai dengan daerah
pertengahan antara percabangan trakea dan daerah pertemuan esofagus-lambung,
terakhir esofagus torakal bagian bawah yang memanjang dari daerah pertengahan
tersebut sampai level diafragma. (Postma, 2009). Esofagus abdominal memanjang
dari hiatus diafragma hingga ke orifisium dari kardia lambung.(gambar 2)

Gambar 2. Pembagian esofagus


Pada esofagus terdapat 2 daerah bertekanan tinggi yang berfungsi untuk
mencegah terjadinya aliran balik dari makanan yaitu: sfingter esofagus atas dan
bawah. Sfingter esofagus atas terletak diantara faring dan esofagus servikal dan
sfingter esofagus bawah terletak pada perbatasan antara esofagus dan lambung.
Kedua sfingter tersebut selalu dalam keadaan tertutup kecuali saat ada makanan
yang melewatinya. (Beasley, 1987)
Esofagus servikal dan sfingter esofagus atas mendapatkan suplai darah
dari cabang arteri tiroid inferior, sedangkan esofagus torakal mendapatkan suplai
darah dari sepasang arteri esofageal aorta atau cabang terminal dari arteri

bronkial. Esofagus abdominal dan daerah esofagus bagian bawah mendapatkan


suplai darah arteri gastrik kiri dan arteri phrenik kiri. (Beasley, 1987)
Lapisan otot yang membentuk esofagus adalah serabut longitudinal
di bagian luar dan serabut sirkuler di bagian dalam. Serabut longitudinal melapisi
hampir keseluruhan bagian luar dari esofagus kecuali pada daerah 3-4 cm di
bawah kartilago krikoid, dimana serabut longitudinal bercabang menjadi 2 ke arah
depan dari esofagus dan melekat pada permukaan posterior kartilago krikoid
melalui tendon. Serabut longitudinal pada esofagus lebih tebal daripada serabut
sirkuler. Pada sepertiga atas esofagus, kedua lapisan otot tersebut adalah otot
bergaris, di bagian tengah adalah transisi dari otot bergaris ke otot polos, dan pada
sepertiga bawah keseluruhannya terdiri dari otot polos. (Beasley, 1987). Otot
bergaris dan polos pada esofagus terutama diinervasi oleh cabang dari nervus
vagus.
Dinding esofagus terdiri dari 4 lapisan yaitu : mukosa, submukosa, lapisan
otot dan jaringan fibrous. (Postma, 2009). Berbeda dengan daerah lain pada
saluran pencernaan, esofagus tidak memiliki lapisan serosa.4 Hal ini
menyebabkan esofagus lebih sensitif terhadap trauma mekanik.(gambar 3)

Gambar 3. Histologi Esofagus


2.2 Definisi dan Epidemiologi
Pecahnya esofagus yang umumnya disebabkan oleh peningkatan tekanan
intraesophageal dan peningkatan tekanan negatif intratorakal. Lubang yang
muncul akibat perforasi esofagus menyebabkan makanan yang masuk dari mulut
4

dapat keluar menuju area sekitar esofagus seperti mediastinum sehingga


mengakibatkan mediastinitis. Perforasi esophagus karena muntah-muntah
disebut juga dengan Boerhaav Syndrome. (Eckstein M, 2009)
2.3 Etiologi
Peptic esofageal sricture merupakan salah satu komplikasi jangka panjang dari
GERD. Sekitar 40-65% kasus GERD akan berkembang menjadi esofagitis erosif
dan bila tidak diobati sekitar 4-23% esofagitis erosif ini akan berkembang menjadi
striktur esofagus (Thomas,2006)
Striktur esofagus dapat terjadi kongenital atau didapat. Hal ini disebabkan
oleh kerusakan pada dinding esofagus yang diikuti oleh penebalan lapisan-lapisan
dinding esofagus dan terbentuknya jaringan parut (Bittencourt, 2006)
Striktur esofagus kongenital disebut juga stenosis esofagus kongenital.
Insidennya sangat jarang, hanya 1:25.000-50.000 kelahiran hidup. Kondisi ini
diperkirakan akibat abnormalitas perkembangan embriogenik dari kanalisasi
esofagus yang disebabkan oleh anoksia intrauterin. Gejala kliniknya sudah terlihat
pada bayi baru lahir berupa disfagia, muntah dan adanya aspirasi pneumoni.14
Kelainan ini dapat juga disertai dengan fistula trakeoesofagus dan atresia
esofagus. Terdapat 3 tipe histologi dari stenosis esofagus kongenital yaitu (1)
penebalan fibromuskuler, (2) Cartilaginous ring, dan (3)membranous web
(Vasudevan,2002)
Striktur esofagus yang didapat terbagi menjadi dua yaitu striktur esofagus
benigna dan maligna. Penyebab striktur esofagus benigna yang tersering adalah
peptic esophageal striktur (70-80%) sedangkan striktur maligna paling sering
disebabkan oleh keganasan esofagus terutama Squamous sel karsinoma dan
adenokarsinoma (Khanna, 2006)
Menurut Wang YG17 dkk (2002) yang melakukan penelitian terhadap 55
pasien striktur esofagus yang akan dilakukan dilatasi, didapatkan 25 pasien
dengan striktur esofagus benigna dan 30 pasien dengan striktur maligna.
Penyebab striktur esofagus benigna terbanyak adalah post anastomosis striktur

sedangkan striktur esofagus maligna terbanyak disebabkan oleh keganasan pada


esofagus bagian tengah.
2.4 Faktor resiko
Terdapat berbagai faktor resiko yang mampu menyebabkan terjadinya perforasi
esofagus. Faktor resiko terjadinya perforasi esofagus dapat dibagi menjadi 3
kelompok yaitu iatrogenik, idiopatik, dan ingesti benda asing.
Resiko terjadinya perforasi esofagus pada iatrigenik berkaitan dengan
tindakan bedah seperti: endoskopi, tindakan dilatasi, reseksi tumor, dan tindakan
anastomosis oleh ahli bedah . Terjadinya perforasi esofagus akibat endoskopi
paling sering terjadi pada esofagus di daerah thorax. Hal ini berkaitan dengan
keahlian operator bedah ataupun klinisi dalam melakukan tindakan invasif
tersebut. Resiko teradinya perforasi esofagus pada saat endoskopi bertambah pada
kasus-kasus sulit, seperti pada kasus reseksi tumor memiliki resiko yang lebih
tinggi dibandingkan dengan melakukan dilatasi pada striktur esofagus.
Selain oleh operator dependen dan jenis kasus yang ditangani, resiko terjadinya
perforasi meningkat pada pasien dengan usia tua. Hal ini berkaitan dengan
perubahan-perubahan anatomis tubuh yang berkautan dengan usia, seperti:
penurunan elastisitas esofagus, meningkatnya kekakuan leher pada usia tua, dan
adanya spondilitis pada vertebra pada kelompok usia tua. Sehingga pada usia tua
lebih sering mengalami perforasi esofagus.
Selain itu penyebab iatrogenik juga berkaitann dengan asupan nutrisi dan
terapi radiasi yang diterima pasien, makan ketika dilakukan endoskopi akan
mengalami ruptur dan perforasi. (Raju, 2012)
Resiko terjadinya perforasi cukup rendah pada penanganan simple ring
atau peptic ulcers (0,09%-2,2%), dan meningkat jika melakukan tindakan yang
kompleks. Pada penanganan dilatasi pada akalasia memiliki resiko terjadinya
perforasi sebesar

0,4%-14%. Pada tindakan reseksi tumor esofagus dengan

metode EMR (endoscopic mucosal resection) memiliki resiko sebesar 0%-3%


untuk terjadinya perforasi.(Paspatis dkk, 2014 )
Pada 15% kasus perforasi esofagus terjadi secara spontan, yang
disebabkan oleh adanya mekanisme patologis yang mendahului di dalam
6

esofagus. Hal ini berkaitan dengan intensitas muntah yang tinggi dan berat, yang
diakibatkan oleh peningkatan tekanan intra abdomen atau yang biasa disebut
Boerhaave Syndrome. Sindrom ini merupakan sindrom yang sangat jarang
ditemui dan sering disalah artikan dengan penyakit jantung, sehingga sering
mendapatkan pertolongan yang tidak tepat. Boerhaaves yndrome juga dapat
terjadi pada orang yang mengangkat beban, melahirkan, status epileptikus, buang
air besar, ataupun tindakan Heimlich manuver. Sejauh ini belum ada mekanisme
yang jelas mengenai terjadinya Boerhaave syndrome. (Soreide & Viste, 2011)
Ingesti benda asing berkaitan dengan terjadinya striktur esofagus dan
perforasiesofagus. hal ini berhubugan dengan cairan kaustik yang biasanya
digunakan sebagai cairan pembersih dan industrial. Resiko terjadinya perforasi
esofagus tinggi pada balita yang secara tidak sengaja meminum cairan tersebut.
Selain itu pada kelompok dewasa sering terjadi pada individu yang memiliki
permasalahan psikologis, seperti percobaan bunuh diri. Teradinya perforasi
esofagus akibat dari cairan kaustik berhubungan dengan jumlah cairan yang
masuk, kejenuhan cairan, durasi kontak, serta jenis cairan. Jenis cairan yang
paling sering menyebabkan perforasi adalah cairan basa kuat, yang mampu
menyebabkan necrosis liquefactive pada jaringan dan mampu cepat menyebar ke
jaringanlain, sedangkan airan asam cenderung membentuk jaringan koagulatif
yang cenderng memiliki daya penetrasi yang lemah. (Soreide & Viste, 2011).
Selain diakibatkan zat kaustik, perforasi juga dapat terjadi akibat dari ingsti
makanan yang besar, ireguler, tajam, dan dengan waktu yang lama dapat pula
menyebabkan terjadinya perforasi esofagus. (Paspatis dkk, 2014 )

2.5 Patofisiologi
Esofagus lebih rentan daripada sisa saluran pencernaan karena kurangnya
lapisan serosa, yang menyediakan stabilitas melalui serat elastin dan kolagen.
Perforasi mungkin karena beberapa mekanisme, termasuk menusuk langsung,
geser sepanjang sumbu longitudinal, meledak dari pasukan radial, dan menipis
dari nekrosis dinding esofagus. Cedera iatrogenik melalui instrumentasi esofagus
adalah penyebab utama perforasi dengan baik menusuk atau geser dan mungkin
karena sejumlah prosedur, terutama endoskopi dan dilatasi striktur. air mata
seperti sering terjadi di dekat persimpangan pharyngoesophageal mana dinding
paling lemah. Karena kerongkongan dikelilingi oleh jaringan ikat longgar stroma,
respon menular dan inflamasi dapat menyebarkan mudah ke organ vital di
dekatnya, sehingga membuat perforasi esofagus keadaan darurat medis dan
meningkatkan kemungkinan gejala sisa yang serius. usia yang lebih tua (> 65 y)
dan penyakit esofagus yang mendasari (tumor, striktur) predisposisi terhadap
perforasi dengan instrumentasi, yang sering terjadi distal ke daerah yang terkena.
Perforasi selama operasi yang paling sering terjadi di kerongkongan perut.
Ruptur spontan esofagus (Boerhaave syndrome) terjadi sekunder untuk
peningkatan mendadak dalam tekanan intraluminal, biasanya karena muntah
kekerasan atau muntah-muntah, dan sering mengikuti makanan berat dan asupan
alkohol. Ruptur spontan dapat terjadi tepat di atas diafragma di dinding
posterolateral dari kerongkongan. Perforasi biasanya memanjang (panjang 0,6-8,9
cm), dengan sisi kiri lebih sering terkena daripada hak (90%). Dalam lebih dari
90% kasus, terjadi perforasi di sepertiga bagian bawah esofagus; paling sering, air
mata berada di kawasan posterolateral kiri (90%) dan dapat memperpanjang
superior. Trauma, hampir seragam menembus, menunjukkan ketertarikan untuk
esofagus bagian atas, sementara ingestions beracun dan benda asing dapat
langsung

merusak

kerongkongan

serviks

atau

menjadi

bersarang

menyebabkan erosi berbahaya dari dinding otot. (Fachzi Fitri et all, 2014)

dan

2.6 Manifestasi Klinis


Salah satu gejala yang paling sering muncul pada perforasi esophagus, terutama
pada full thickness perforation dari esophagus intratorakal adalah nyeri dada
(70%), banyak gejala yang terbilang tidak spesifik pada banyak pasien. Pada
autopsy, didapatkan 17% missed diagnosis. Nyeri terkait perforasi esophagus
biasanya bersifat akut, menjalar ke punggung atau bahu kiri. Pada 25% pasien,
nyeri ini diikuti oleh muntah dan sesak nafas. Trias yang biasa digunakan adalah
Trias Mackler yang terdiri dari muntah, nyeri dada, dan emfisema subkutis.
Saat terjadi perforasi, salah satu keluhan yang muncul adalah nyeri leher.
Ditemukan juga kombinasi antara disfonia, suara parah, dan disfagia servikal serta
emfisema subkutis. Terkadang ditemukan juga akut abdomen atau nyeri epigastik
dengan perforasi pada percabangan esophagus. Kebanyakan pasien berada dalam
kondisi distress saat pemeriksaan. Takikardi terbilang sering, dengan suhu febris
(>38,5oC) sebagai gejala belakangan. Karakteristik emfisema subkutis seperti
krepitasi pada daerah dada leher juga harus diperhatikan. SIRS biasa muncul
dengan cepat setelah perforasi, biasanya dalam 24-48 jam, dan juga mediastinitis
bakteri yang menyebabkan kolaps kardiopulmoner dan gagal organ multipel.
Karena itu, pemeriksaan diagnostik harus dilakukan secepat mungkin ketika
perforasi esophagus dicurgai dari gejala klinis (Soreide JA,2011).

2.7 Diagnosis
Anamnesis :
Nyeri dada adalah salah satu genjala cardinal dari perforasi esophagus. Nyeri yang
dirasakan bersifat akut dan muncul mendadak dapat teradiasi ke punggung atau ke
pundak kiri. Dapat pula terjadi muntah dan sesak napas. Trias Mackler yaitu nyeri
dada, muntah dan adanya emfisema subkutan. Terdapat nyeri pada leher ketika
esophagus di bagian servikal mengalami perforasi. Disfoni, disfagi, emfisema
subkutan, suara parau juga dapat menjadi sekelompok gejala pada pasien. Kadang
pasien dapat mengalami nyeri abdomen atau epigastrik akut ketika perforasi
terjadi pada gastroesophageal junction. Hematemesis dan melena jarang menjadi
gejala pada pasien. Perlu pula ditanyakan riwayat sebelumnya misalnya
menggunakan instrument medis atau intervensi pada esophagus, episode dari
muntah yang akut, tertelan benda asing.
Pemeriksaan fisik :
Takikardi dengan demam, perhatikan apabila ada krepitasi pada region leher atau
pada dinding dada yang merupakan salah satu karakter dari emfisema subkutan.
Respon inflamasi sistemik biasanya berkembang cepat setelah terjadi perforasi
dan adanya infeksi bakteri mediastinitis menyebabkan kolapsnya cardiopulmonary
dan kegagalan multiorgan.
Pemeriksaan penunjang :

Radiografi : X-Ray PA melihat adanya efusi pleura, pneumomediastinum,

emfisema subkutan, hydrothoraks, pneumothoraks, dan kolapsnya paru.


CT-Scan pada dada dan abdomen bagian atas, dapat memperlihatkan edem
dan penebalan pada dinding esophagus, udara pada ekstraesofageal, air pada
periesofageal dengan atau tanpa udara, pelebaran mediastinum dan udara atau

air pada pleura, retroperitoneum atau lesser sac


Endoskopi digunakan pada pasien dengan kecurigaan perforasi yang tinggi
dengan radiografi yang negatif

2.8 Diagnosis Banding


10

1.
2.
3.
4.
5.

Infark Miokard
Pankreatitis
Abses paru
Perikarditis
Pneumothoraks

2.9 Penatalaksanaan
Pasien yang diduga menderita perforasi esophagus harus segera di tangani
sebagai penyakit kritis. Pendekatan diagnostic yang langsung dan agresif sangat
penting digunakan untuk memastikan diagnosis dan mengidentifikasi gangguan
tambahan lainnya. Pemberian Antibiotika spectrum luas harus segera diberikan
secara intravena, dan saturasi oksigen harus selalu di perhatikan. Observasi dan
penanganan yang sesuai pada pasien dengan penyakit seperti ini biasanya
memerlukan perlataan dari Intensive Care Unit (Jon Arne, 2011)
Hampir semua penyakit pada esophagus di tangani oleh divisi
Gastroenterology atau divisi thoracic surgery, akan tetapi kembali pada di negara
dan isntitusi manakah pasien tersebut di tangani (Jon Arne, 2011)
Penanganan non-operatif sudah cukup untuk kebanyakan pasien dengan
perforasi iatrogenic. Pada pasien dengan dengan luka minimal pada dinding
esophageal dan terdapat kebocoran tanpa penyakit sistemik seperti infeksi dan
gangguan sirkulasi, observasi yang optimal, serta pengobatan yang seusai dengan
antibiotika spectrum luas dan proton pump inhibitors (PPIs) dan dukungan nutrisi
sudah cukup untuk keberhasilan penyembuhan pasien (Jon Arne, 2011).
Primary Repair untuk esophagus juga sangat memungkinkan, khususnya
pada pasien yang dating ke rumah sakit dalam kurun waktu 24 jam sejak gejala
pertama kali muncul. Myotomi adalah jenis operasi yang bisa dilakukan.
Mengeluarkan secret dari esophagus juga dapat mempercepat penyembuhan dan
pada saat yang sama juga dapat meminimalkan resiko kontaminasi dan infeksi
yang lebih luas (Jon Arne, 2011)
2.10 Komplikasi

11

Komplikasi yang dapat timbul pada pasien dengan perforasi esophagus


bisa berupa terjadinya kerusakan yang bersifat permanen pada esophagus seperti
pada dinding esophagus, kerusakan yang dapat ditimbulkan bisa berupa
penyempitan maupun timbulnya stricture. Abses juga dapat terbentuk di
esophagus maupun di sekitarnya akibat infeksi yang meluas, infeksi ini juga dapat
menyerang hingga ke paru-paru yang nantinya akan mengakibatkan kerusakan
yang lebih besar.
2.11 PROGNOSIS
Perforasi esophagus tetap menjadi kondisi dengan angka morbiditas yang tinggi,
dan dapat mengarah pada mortalitas jika tidak didiagnosis. Mortalitas yang
berhasil dilaporkan berkisar dari 5% sampai 89%, tergantung dari sebab dan
waktu sampai perforasi diidentifikasi. Mortalitas lebih tinggi didapatkan pada
perforasi postemetik (25%-89%), di mana perforasi iatrogenic menunjukkan
angka yang lebih rendah (5-26%).
Jika pengobatan diberikan dalam waktu 24 jam setelah gejala, mortalitas
yang didapatkan adalah 25%, kemudian meningkat sampai lebih dari 65% setelah
24 jam dan 75-89% setelah 48 jam. Mortalitas lebih tinggi pada pasien dengan
presentasi atau penanganan tertunda. Studi internasional yang membandingkan
keluaran dari penggunakan stent endoskopik dengan manajemen operatif primer
untuk rupture spontan esophagus menemukan bahwa tidak ada perbedaan yang
berarti terkait morbiditas, rawat di ICU, atau rawat rumah sakit. Sebagai
tambahan, stent endoskopik diasosiasikan dengan seringkalinya kegagalan terapi,
yang pada akhirnya tetap membutuhkan intervensi pembedahan (MS/BMG).

BAB III

12

KESIMPULAN
Perforasi esophagus adalah pecahnya esofagus yang umumnya disebabkan
oleh peningkatan tekanan intraesophageal dan peningkatan tekanan negatif
intratorakal. Lubang yang muncul akibat perforasi esofagus menyebabkan
makanan yang masuk dari mulut dapat keluar menuju area sekitar esofagus seperti
mediastinum sehingga mengakibatkan mediastinitis. Faktor resiko terjadinya
perforasi esofagus dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu iatrogenik, idiopatik,
dan ingesti benda asing. Salah satu gejala yang paling sering muncul pada
perforasi esophagus, terutama pada full thickness perforation dari esophagus
intratorakal adalah nyeri dada (70%), banyak gejala yang terbilang tidak spesifik
pada banyak pasien Nyeri terkait perforasi esophagus biasanya bersifat akut,
menjalar ke punggung atau bahu kiri. Trias yang biasa digunakan adalah Trias
Mackler yang terdiri dari muntah, nyeri dada, dan emfisema subkutis.
Pemeriksaan penunjang adalah Radiografi,Ct-scan, endoskopi. Komplikasi yang
dapat timbul pada pasien dengan perforasi esophagus bisa berupa terjadinya
kerusakan yang bersifat permanen pada esophagus seperti pada dinding
esophagus, kerusakan yang dapat ditimbulkan bisa berupa penyempitan maupun
timbulnya stricture.Penanganan non-operatif sudah cukup untuk kebanyakan
pasien dengan perforasi iatrogenic. Pada pasien dengan dengan luka minimal pada
dinding esophageal dan terdapat kebocoran tanpa penyakit sistemik seperti infeksi
dan gangguan sirkulasi, observasi yang optimal, serta pengobatan yang seusai
dengan antibiotika spectrum luas dan proton pump inhibitors (PPIs) dan dukungan
nutrisi sudah cukup untuk keberhasilan penyembuhan pasien. Primary Repair
untuk esophagus juga sangat memungkinkan, khususnya pada pasien yang dateng
ke rumah sakit dalam kurun waktu 24 jam sejak gejala pertama kali muncul.
Myotomi adalah jenis operasi yang bisa dilakukan. Mengeluarkan secret dari
esophagus juga dapat mempercepat penyembuhan dan pada saat yang sama juga
dapat meminimalkan resiko kontaminasi dan infeksi yang lebih luas. Jika

DAFTAR PUSTAKA
13

Addas R, Berjaud J, Renaud C, Berthoumieu P, Dahan M, Brouchet L.


Esofageal Perforation Management: A Single-Center Experience. 2012. Open
Journal of Thoracal 111-117. http://dx.doi.org/10.4236/ojts.2012.24023.
Beasley P. Anatomy of the pharynx and oesophagus. In: Kerr AG,Groves J,
eds. Scott-Browns Otolaryngology. 5th edition. London: Butterworth CO,
1987 :271-5.
Bittencourt PFS, Carvalho SD, Ferreira AR et al. Endoscopic dilatation of
esophageal strictures in children and adolescent. Journal de pediatria 2006,
82(2): 127-31
Eckstein M, Henderson SO. Thoracic trauma. In: Marx JA, Hockberger RS,
Walls RM, et al, eds. Rosen's Emergency Medicine: Concepts and Clinical
Practice. 8th ed. Philadelphia, PA: Elsevier Mosby; 2013:chap 45.
Fachzi Fitri, Novialdi, Wahyu Triana Diagnosis dan Penatalaksanaan Striktur
Esofagus 2014; 3(2)
Jon Arne Soreide, Asgaut Viste. Esophageal perforation: diagnostic work-up
and clinical decision making in the first 24 hours. 2011. 3-5.
Khanna N. How do I dilate a benign esophageal stricture?. Can J
Gastroenterol 2006, 20(3): 153-5.
Marx JA, Hockberger RS, Walls, Ron M, Adams, James. 2010. Rosen's
Emergency Medicine: Concepts and Clinical Practice 1 (edisi ke-7). St. Louis:
Mosby/Elsevier. ISBN 0-323-05472-2
MS/BMG- Mueller D, Milliken JC, Kowalski TE, Govil Y. Esophageal
Rupture. Medscape, 2015 (Dikutip pada tanggal 21 Desember 2016). Dapat
diakses

pada:

http://emedicine.medscape.com/article/425410-treatment?

src=refgatesrc1#d12
Paspatis GA, Dumonceau JM, Bathet M, dkk. 2014. Diagnosis and
management of iatrogenic endoscopic perforations: European Society of
Gastrointestinal Endoscopy (ESGE) Position Statement. ESGE. Diakses pada

14

https://www.esge.com/assets/downloads/pdfs/
guidelines/2014_s_0034_1377561.pdf tanggal 21 Desember 2016
Postma GN, Seybt MW, Rees CJ. Esophagology. In : Snow JB, Wackym PA,
eds. Ballengers otorhinolaryngology head and neck surgery.Spain: BC Decker
Inc, 2009 : 975-8.
Raju GS & Richter JE. 2012. Advance in Gerd: Esophageal perforation.
Gastroenterology & Hepatology. Vol. 8, issue 8, Agustus 2012
Sancheti MS, Fernandez FG. 2016. Surgical Management of Esofageal
Perforation. Operative Techniques in Thoracic and Cardiovascular Surgery 20
(3): 234-250.
Shockley WW, Rose AS. Esophageal disorders. In : Bailey BJ, ed. Head and
neck surgery-otolaryngology. 4th edition. Philadelphia: JB

Lippincott

Company, 2006: 649-50.


Squier CA, Kremer MJ. Biology of oral mucosa and esophagus. Published
2001. Available from: http://jncimono.oxfordjournals.org. Accessed August
30, 2009.
Soreide JA & Viste A. 2011. Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation
and Emergency Medicine 2011, 19:66.
Soreide JA, Viste A. Esophageal Perforation: diagnostic work-up and clinical
decision making in the first 24 hours. Scandinavian Journal of Trauma,
Resuscitation, and Emergency Medicine; 2011, 19: 66-72.
Sengul AT, Buyukkarabacak YB, Yetim TD, Pirzirenli MG, Celik B, Basoglu
A. Early diagnosis saves lives in esofageal perforations. 2013. Turk J Med Sci
43: 939-945.
Thomas GR, Raynor T. Complete esophageal stenosis secondary to Peptic
Stricture in the cervical esofagus: case report. ENT-Ear,Nose & Throat Journal
2006, 85(3): 187-9.
Vasudevan SA, Kerendi F, Lee H et al. Management of congenital esophageal
stenosis. Journal of pediatric surgery 2002, 37(3): 1024-6
15

William N, Bulstrode C, OConnel PR. 2008. Bailey & Love Short Practice of
Surgery (edisi ke-25). United Kingdom: Taylor & Francis.

16

Anda mungkin juga menyukai