Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis spinal yang dikenal pula dengan
nama Potts disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis
merupakan suatu penyakit yang banyak terjadi di seluruh dunia. Indonesia
merupakan negara dengan pasien TB terbanyak ke-3 di dunia setelah India dan
Cina. Diperkirakan terdapat 583.000 kasus baru tuberkulosis per tahun, sebagian
besar berada dalarn usia produktif (15-54 tahun), dengan tingkat sosioekonomi
dan pendidikan yang rendah. Terhitung kurang lebih 3 juta kematian terjadi setiap
tahunnya

dikarenakan

penyakit

ini.

Spondilitis

tuberkulosa

merupakan

peradangan granulomatosa yang bersifat kronik destruktif oleh mikobakterium


tuberkulosa.
Terapi konservatif yang diberikan pada pasien tuberkulosa tulang belakang
sebenarnya memberikan hasil yang baik, namun pada kasus kasus tertentu
diperlukan tindakan operatif serta tindakan rehabilitasi yang harus dilakukan
dengan baik sebelum ataupun setelah penderita menjalani tindakan operatif.

BAB II
ISI
2.1 Definisi
Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis tuberkulosa
merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronik destruktif oleh
mikobakterium tuberkulosa. Tuberkulosis tulang belakang selalu merupakan
infeksi sekunder dari fokus di tempat I tubuh. Percivall Pott (1793) yang pertama
kali menulis tentang penyakit ini dan menyatakan bahwa terdapat hubungan
antara penyakit ini dengan deformitas tulang belakang yang terjadi sehingga
penyakit ini disebut juga sebagai penyakit Pott. Penyakit Pott disertai paraplegi
atau defisit neurologis. Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra Th 8L3 dan paling jarang pada vertebra C2. Spondilitis TB biasanya mengenai korpus
vertebra, sehingga jarang menyerang arkus vertebra.1
2.2 Epidemiologi
Insidensi spondilitis tuberkulosa bervariasi di seluruh dunia dan biasanya
berhubungan dengan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat yang
tersedia serta kondisi sosial di negara tersebut. Saat ini spondilitis tuberkulosa
merupakan sumber morbiditas dan mortalitas utama pada negara yang belum dan
sedang berkembang, terutama di Asia, dimana malnutrisi dan kepadatan penduduk
masih menjadi masalah utama.2
Berdasarkan data surveilans dan survei, WHO memperkirakan terdapat 9.27 juta
kasus baru tuberkulosis pada tahun 2007 (139 per 100.000 populasi). Dari 9.27
kasus baru ini, diperkirakan 44% atau 4.1 juta (61 per 100.000 populasi) adalah
kasus baru dengan smear-positif. India, China, Indonesia, Nigeria dan Afrika
Selatan menduduki peringkat pertama hingga kelima dalam hal jumlah total
insiden kasus. Menurut laporan WHO tahun 2009, insidensi tuberkulosa di
Indonesia pada tahun 2007 adalah 528.000 kasus atau 228 per 100.000 populasi
per tahun. Dari jumlah ini, 236.000 merupakan kasus dengan smear positif atau
102 per 100.000. Prevalensi tuberkulosis di Indonesia pada tahun 2007adalah
566.000 atau 244 per 100.000 populasi per tahun.3

Pada kasus-kasus pasien dengan tuberkulosa, keterlibatan tulang dan sendi terjadi
pada kurang lebih 10% kasus dan lebih kurang 50% kasus tuberkulosa tulang
adalah spondilitis tuberkulosa. Lebih kurang 45% pasien dengan keterlibatan
spinal mengalami defisit neurologis.6 Tulang belakang adalah daerah yang paling
sering terlibat, yaitu 50% dari seluruh kasus tuberkulosa tulang, 15% dari kasus
tuberkulosa ekstrapulmonal dan 3-5% dari seluruh kasus tuberkulosa.4

2.3 Etiologi
Spondilitis TB merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat lain di
tubuh, 90-95% disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik dan 5-10% oleh
mikobakterium tuberkulosa atipik. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat
khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula
sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari
langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan
lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dorman, tertidur lama selama
beberapa tahun. 5,6
2.4 Patogenesis
Spondilitis TB dapat terjadi akibat penyebaran secara hematogen/limfogen
melalui nodus limfatikus para-aorta dari fokus tuberkulosis di luar tulang
belakang yang sebelumnya sudah ada. Pada anak, sumber infeksi biasanya berasal
dari fokus primer di paru, sedangkan pada orang dewasa berasal dari fokus
ekstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil).7 Dari paru-paru, kuman dapat sampai ke
tulang belakang melalui pleksus venosus paravertebral Batson.
Lesi tuberkulosis pada tulang belakang dimulai dengan inflamasi paradiskus.
Setelah tulang mengalami infeksi, hiperemia, edema sumsum tulang belakang dan
osteoporosis terjadi pada tulang. Destruksi tulang terjadi akibat lisis jaringan
tulang, sehingga tulang menjadi lunak dan gepeng terjadi akibat gaya gravitasi
dan tarikan otot torakolumbal. Selanjutnya, destruksi tulang diperberat oleh
iskemi sekunder akibat tromboemboli, periarteritis, endarteritis. Karena transmisi

beban gravitasi pada vertebra torakal lebih terletak pada setengah bagian anterior
badan vertebra, maka lesi kompresi lebih banyak ditemukan pada bagian anterior
badan vertebra sehingga badan vertebra bagian anterior menjadi lebih pipih
daripada bagian posterior.8 Resultan dari hal-hal tersebut mengakibatkan
deformitas kifotik. Deformitas kifotik inilah yang sering disebut sebagai gibbus.
Deformitas gibbus adalah bentuk dari structural kifosis, dimana satu atau lebih
vertebra yang berdekatan menjadi terjepit satu sama lain. Deformitas gibbus dapat
menjadi hasil dari tuberculosis tulang yang lama dan hasil dari badan vertebra
yang jatuh.
Beratnya kifosis tergantung pada jumlah vertebra yang terlibat, banyaknya
ketinggian dari badan vertebra yang hilang, dan segmen tulang belakang yang
terlibat. Vertebra torakal lebih sering mengalami deformitas kifotik.9 Pada vertebra
servikal dan lumbal, transmisi beban lebih terletak pada setengah bagian
posterior badan vertebra sehingga bila segmen ini terinfeksi, maka bentuk lordosis
fisiologis dari vertebra servikal dan lumbal perlahan-lahan akan menghilang dan
mulai menjadi kifosis. Cold abscess terbentuk jika infeksi spinal telah menyebar
ke otot psoas (disebut juga abses psoas) atau jaringan ikat sekitar. Cold abscess
dibentuk dari akumulasi produk likuefaksi dan eksudasi reaktif proses infeksi
yang disebabkan oleh kurangnya inflamasi yang intens dari suatu infeksi. Abses
ini sebagian besar dibentuk dari leukosit, materi kaseosa, debris tulang, dan
tuberkel basil.8 Cold abscess biasanya terbentuk pada infeksi bakteri yang tidak
menstimulasi inflamasi akut seperti tuberculosis dan fungi.
Abses di daerah lumbar akan mencari daerah dengan tekanan terendah hingga
kemudian membentuk traktus sinus/fistel di kulit hingga di bawah ligamentum
inguinal atau regio gluteal.10 Adakalanya lesi tuberkulosis terdiri dari lebih dari
satu fokus infeksi vertebra. Hal ini disebut sebagai spondilitis TB non-contiguous,
atau skipping lesion. Peristiwa ini dianggap merupakan penyebaran dari lesi
secara hematogen melalui pleksus venosus Batson dari satu fokus infeksi vertebra.
Bila dibandingkan antara pasien spondilitis TB dengan defisit neurologis dan
tanpa defisit neurologis, maka defisit biasanya terjadi jika lesi TB pada vertebra

torakal. Defisit neurologis dan deformitas kifotik lebih jarang ditemukan apabila
lesi terdapat pada vertebra lumbalis.
2.4 Gejala Klinis
Spondilitis tuberkulosis merupakan kasus dengan onset akut namun biasanya
perjalanan klinisnya terjadi perlahan lahan.12 Gejala utama dari spondilitis TB
itu sendiri adalah nyeri tulang belakang. Nyeri biasanya bersifat kronis, dapat
lokal maupun radikular. Penderita dengan keterlibatan vertebra segmen servikal
dan torakal cenderung menderita defisit neurologis yang lebih akut sedangkan
keterlibatan lumbal biasanya bermanifestasi sebagai nyeri radikular. 4 Keluhan
biasanya disertai dengan gejala sistemik berupa demam, malaise, keringat malam,
peningkatan suhu tubuh pada sore hari dan penurunan berat badan. Tulang
belakang terasa kaku dan nyeri pada pergerakan.13
Secara garis besar spondilitis TB dibagi menjadi dua stadium, yaitu stadium akut
dan penyembuhan. Pada stadium aktif, gejala dan tanda-tandanya biasanya tidak
jelas tetapi dapat juga akut. Gejala yang sering terjadi pada stadium akut adalah
nyeri pinggang yang terdapat pada setengah kasus spondilitis TB. Disertai
demam, menggigil, keringat malam, penurunan berat badan, tidak ada nafsu
makan, lemas dan kelelahan yang tidak spesifik. Punggung jadi kaku dan sakit
waktu digerakkan disertai benjolan (gibus) yang juga terasa sakit bila ditekan.
Otot-otot paravertebral menjadi kejang/spasme. Secara klinis sering ditemukan
abses dingin di daerah inguinal. Kenyataannya beberapa gejala dan keluhan
tersebut tidak selalu terjadi pada stadium akut, sehingga adanya riwayat keluarga
yang menderita TB saja sudah dapat dipakai untuk menduga kelainan yang ada
pada tulang belakang mempunyai kaitan dengan TB. Jika seorang klinikus secara
rutin melakukan palpasi prosesus spinosus dari leher sampai ke sakrum akan
dapat mendeteksi perubahan bentuk sekecil apapun sehingga dapat mendiagnosa
TB tulang belakang sebelum penyakitnya berlanjut dan terjadinya destruksi
korpus yang lebih luas dan gibus yang lebih menonjol.12

Pada stadium penyembuhan, bila penyakit sudah sembuh penderita tidak nampak
atau merasa sakit sama sekali. Tidak ada keringat malam dan panas sore hari lagi.
Nyeri pada punggung dan spasme otot hilang. Tetapi deformitas yang terjadi pada
stadium akut akan menetap. 12
Infeksi pada craniocervical juntion menghasilkan gejala progresif. Gejala utama
adalah nyeri pada belakang kepala dan leher. Sebagian besar disertai gejala umum
infeksi tuberkulosis. Para penderita harus selalu dicoba dicari focus primer
tuberculosis yaitu dapat berupa infeksi di paru-paru, saluran kemih maupun
saluran cerna.11
2.5 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
1. Anamnesis
Tahap awal untuk menegakkan diagnosa adalah dengan menggali
anamnesis. Anamnesis tersebut mencakup tempat kelahiran, riwayat
penderita/keluarga dan lingkungannya terhadap TB, riwayat imunisasi,
sejarah kontak dengan penderita TB dan penyakit-penyakit lain yang
terutama dapat menurunkan daya tahan/immunitas tubuh.
Riwayat penderita :
1. Apakah berasal dari daerah endemis TB ?
2. Apakah ada kontak dengan penderita TB ?
3. Adakah riwayat atau sedang menderita TB Pulmonal atau ekstra
pulmonal lain diluar tulang belakang?
4. Riwayat Imunisasi; apakah pernah/tidak pernah dilakukan, atau pernah
dilakukan tetapi tidak lengkap?
5. Apakah sedang menderita penyakit lain yang menurunkan daya tahan
tubuh seperti HIV, dll?

2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, perlu diperhatikan dan dinilai:

Inspeksi kulit pada tulang belakang, dengan perhatian ada tidaknya


sinus

Alignment tulang belakang, adanya spasme otot-otot paravertebral

Diperhatikan ada tidaknya massa subkutan pada regio flank,


inguinal, perineal atau gluteal

Defisit neurologis dapat muncul awal atau pada fase penyembuhan.


Gejala yang timbul tergantung pada level medula spinalis atau
syaraf spinal yang terlibat.

Infeksi

pada craniocervical

junction,

ruang lingkup

pada

pemeriksaan fisik ditemukan keterbatasan gerak sendi leher, nyeri


tekan dan spasme otot-otot posterior leher. Hampir pada semua
kasus terbentuk abses retrofaring, selain itu dapat muncul disfagia,
stridor, tortikolis dan suara.
2.6 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada spondilitis tuberkulosa yaitu:
a. Pemeriksaan darah lengkap dan studi hematologis. 12
Pemeriksaan darah lengkap didapatkan leukositosis dan LED meningkat. Laju
endap darah (LED) biasanya meningkat, namun tidak spesifik menunjukkan
proses infeksi granulomatosa TB. Studi di Malaysia mengemukakan bahwa
kelainan hematologis yang paling sering ditemukan pada pasien spondilitis TB
adalah

anemia

normositik

normokrom,

trombositosis

dengan/tanpa

peningkatan LED dan leukositosis. Laju endap darah meningkat (tidak


spesifik), dari 20 sampai lebih dari 100mm/jam. Apus darah tepi menunjukkan
leukositosis dengan limfositosis yang bersifat relatif. Tes darah untuk titer

anti-staphylococcal dan anti-streptolysin haemolysins, typhoid, paratyphoid


dan brucellosis (pada kasus-kasus yang sulit dan pada pusat kesehatan dengan
peralatan yang cukup canggih) untuk menyingkirkan diagnosis banding.
b. Tuberculin skin test/Mantoux test/Tuberculine Purified Protein Derivative
(PPD)
Tuberculin skin test/Mantoux test/Tuberculine Purified Protein Derivative
(PPD) positif. Hasil yang positif dapat timbul pada kondisi pemaparan dahulu
maupun yang baru terjadi oleh mycobacterium. Tuberculin skin test ini
dikatakan positif jika tampak area berindurasi, kemerahan dengan diameter 10
mm di sekitar tempat suntikan 48-72 jam setelah suntikan. Hasil yang negatif
tampak pada 20% kasus (Tandon and Pathak 1973; Kocen 1977) dengan
tuberkulosis berat (tuberkulosis milier) dan pada pasien yang immunitas
selulernya tertekan (seperti baru saja terinfeksi, malnutrisi atau disertai
penyakit lain). Uji Mantoux positif pada sebagian besar pasien (8495 persen)
namun hanya memberi petunjuk tentang paparan kuman TB sebelumnya atau
saat ini. 13
Penilaian hasil uji tuberculin test:

Pembengkakan (Indurasi): 04 mm, uji mantoux negatif.


Arti klinis: tidak ada infeksi Mikobakterium tuberkulosa

Pembengkakan (Indurasi): 39 mm, uji mantoux meragukan.


Hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi atau silang dengan
Mikobakterium atipik setelah vaksinasi BCG

Pembengkakan (Indurasi): = 10 mm, uji mantoux positif.


Arti klinis: sedang atau pernah terinfeksi Mikobakterium
tuberkulosa. 13

c. Biopsi tulang belakang atau aspirasi abses. 14


Untuk memastikan diagnosis secara pasti, perlu dilakukan biopsi tulang
belakang atau aspirasi abses. Biopsi tulang dapat dilakukan secara perkutan
dan dipandu dengan CT scan atau fluoroskopi. Spesimen kemudian dikirim ke
laboratorium untuk pemeriksaan histologis, kultur dan pewarnaan basil tahan
asam (BTA), gram, jamur dan tumor.
Studi histologi jaringan penting untuk memastikan diagnosis jika kultur
negatif, pewarnaan BTA negatif, sekaligus menyingkirkan diagnosis banding
lainnya. Temuan histologi pada infeksi TB jaringan adalah akumulasi sel
epiteloid (granuloma epiteloid), sel datia langhans dan nekrosis kaseosa. Sel
epiteloid adalah sel mononuklear yang mem-fagositosis basil tuberkulosis
dengan sisa-sisa lemak kuman pada sitoplasmanya. Granuloma epiteloid dapat
ditemukan pada 89 persen spesimen yang merupakan gambaran khas histologi
infeksi TB.
Uji kultur biakan bakteri dan BTA ditemukan Mycobacterium. Kultur BTA
positif pada 6089 persen kasus.
Pemeriksaan histopatologis ditemukan tuberkel.
d. Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional. 12
Jika biopsi jarum tidak dapat memastikan diagnosis, biopsi bedah yang diikuti
dengan kultur dapat dipertimbangkan. Biopsi bedah umumnya dilakukan pada
keadaan dimana biopsi jarum sangat berbahaya dan tidak menghasilkan
spesimen (dry tap). Kultur umumnya memerlukan waktu yang relatif lama,
yaitu 2 minggu. Kultur sebaiknya diikuti dengan uji resistensi OAT. Spesimen
yang cocok untuk dijadikan kultur adalah organ-organ dalam, tulang, pus,
cairan sinovial, atau jaringan sinovial. Media yang dapat digunakan adalah
media berbasis telur, seperti media Lowenstein-Jensen dan media berbasis
cairan, seperti Becton-Dickinson dan BACTECTM. Pajanan pasien dengan
fluorokuinolon sebelumnya akan memperlambat pertumbuhan kultur hingga 2
minggu.14

BACTECTM merupakan pemeriksaan teknik yang lebih terbaru yang dapat


mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat.

Metode yang

digunakan adalah metode radiometrik. M. Tuberkulosis metabolisme asam


lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth
indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternative
pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis dan
melakukan uji kepekaan. 13
e. Pungsi lumbal.12
Pungsi lumbal didapati tekanan cairan serebrospinalis rendah. Cairan
serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis tuberkulosa).
Normalnya cairan serebrospinal tidak mengeksklusikan kemungkinan infeksi
TBC. Pemeriksaan cairan serebrospinal secara serial akan memberikan hasil
yang lebih baik. Cairan serebrospinal akan tampak:

Xantokrom (kekuningan). Cairan serebrospinal normal tidak berwarna.


Adanya warna pada cairan ini biasanya menunjukkan hal abnormal.

Bila dibiarkan pada suhu ruangan akan menggumpal.

Pleositosis (dengan dominasi limfosit dan mononuklear). Pada tahap akut


responnya bisa berupa neutrofilik seperti pada meningitis piogenik (Kocen
and Parsons 1970; Traub et al 1984). Cairan serebrospinal normal hanya
mengandung 0-5 leukosit/mm3.

Kandungan protein meningkat. Protein pada cairan serebrospinal normal


mengandung

18-58

mg/dL

protein.

Kandungan

protein

cairan

serebrospinal dalam kondisi spinal terblok spinal dapat mencapai 14g/100ml.

Kandungan gula normal pada tahap awal tetapi jika gambaran klinis sangat
kuat mendukung diagnosis, ulangi pemeriksaan.

Kultur cairan serebrospinal. Adanya basil tuberkel merupakan tes


konfirmasi yang absolut tetapi hal ini tergantung dari pengalaman
pemeriksa dan tahap infeksi.

f. Uji Serologi.14

Peningkatan

CRP

(C-Reaktif

Protein).

Peningkatan

kadar

CRP

diasosiasikan kuat dengan formasi abses.

Teknik ELISA (Enzyme-Linked Immunoadsorbent Assay). Teknik ini


merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respons humoral
berupa proses antigen antibodi yang terjadi. Kelemahan utama dari teknik
ELISA ini adalah pengenceran serum yang tinggi dan perlu dilakukan
untuk mencegah ikatan nonspesifik dari imunoglobulin manusia pada
plastik. Pemeriksaan ELISA tetapi menghasilkan negatif palsu pada
penderita dengan alergi.

Immuno crhomotografi tuberculosis (ITC). Uji ICT adalah uji serologi


untuk mendeteksi antibodi M. Tuberkulosis dalam serum. Uji ini
merupakan uji diagnostik tuberkulosis yang menggunakan lima antigen
spesifik yang berasal dari membran sitoplasma M. Tuberculosis.

IgG TB. Uji ini adalah salah satu pemeriksaan serologi dengan cara
mendeteksi antibodi IgG dengan antigen spesifik untuk mikobakterium
tuberkulosis. Di luar negeri metode ini lebih sering digunakan untuk
mendiagnosa TB ekstraparu, tetapi kurang baik untuk diagnose TB pada
anak.

g. Identifikasi PCR (Polymerase Chain Reaction)


Identifikasi PCR meliputi denaturasi DNA kuman tuberkulosis melekatkan
nukleotida tertentu pada fragmen DNA dan amplifikasi menggunakan DNA
polimerase sampai terbentuk rantai DNA utuh yang diidentifikasi dengan gel.
Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat digunakan untuk mendeteksi DNA
kuman tuberkulosis. Lain halnya dengan kultur yang memerlukan waktu lama,

pemeriksaan ini sangat akurat dan cepat (24 jam), namun memerlukan biaya
yang lebih mahal dibandingkan pemeriksaan lainnya.4 Prinsip kerja PCR
adalah memperbanyak DNA kuman secara eksponensial sehingga dapat
terdeteksi meski kuman dalam jumlah yang sedikit (10 hingga 1000 kuman).
PCR memiliki sensitivitas sekitar 8098 persen dan spesifisitas 98 persen.
Pemeriksaan imunologi seperti deteksi antigen excretory-secretory ES-31
mycobacterial, IgG anti-TB, IgM anti-TB, IgA anti-TB, dan antigen 31 kDa
dikatakan dapat berguna, namun efektivitasnya masih diuji lebih lanjut.
2. Pemeriksaan Radiologi 13
Pemeriksaan penunjang spondilitis tuberkulosa adalah dari pemeriksaan
radiologi dengan menunjukkan kelainan fisik pada tulang belakang. Antara
pemeriksaan radiologi yang dilakukan adalah sinar X, Computed Tomography
Scan (CT-Scan) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI).
Pada spodilitis TB, kita dapat menemukan penyempitan jarak antara diskus
invertebralis, erosi dan irregularitas dari badan vertebra, sekuestrasi, serta
massa para vertebra. Pada keadaan lanjut, vertebra akan kolaps ke arah
anterior sehingga menyerupai akordion (concertina), sehingga disebut sebagai
concertina collapse.
Sinar X merupakan pemeriksaan yang paling awal dilakukan pada tiap pasien
dengan nyeri punggung kronis dan progesif. Proyeksi yang diambil adalah
proyeksi AP dan lateral. Pada fase awal, akan tampak lesi osteolitik pada
bagian anterior badan vertebra dan osteoporosis regional. Selain itu, dapat
juga terjadi penyempitan ruang diskus intervertebralis yang menandakan
kerusakan diskus. Pembengkakan jaringan lunak disekitarnya akan memberi
gambaran fusiformis. Pada fase lanjut, kerusakan bagian anterior menjadi
semakin berat dan membentuk angulasi kifotik (gibbus). Cold absess, iaitu
bayangan opak yang memanjang paravertebral dapat terlihat. Dengan proyeksi
lateral, angulasi kifotik diukur dengan metode Konstam dapat dinilai. Cara
menilai, pertama, tarik garis khayal sejajar end-plate superior badan vertebra
yang sehat di atas dan di bawah lesi. Kedua garis tersebut diperpanjang ke

anterior sehingga bersilangan. Sudut K pada gambar adalah sudut Konstam,


sedangkan sudut A adalah angulasi aktual yang dihitung. Pada contoh gambar
dibawah, angulasi kifotik adalah sebesar 30. Gambar 2 menunjukkan Sinar-X
memperlihatkan iregularitas dan berkurangnya ketinggian dari badan vertebra
T9 (tanda bintang), serta juga dapat terlihat massa paravertebral yang samar,

Gambar 1. Pengukuran angulasi kifotik metode Konstam.

Gambar 2. Pencitraan sinar-X proyeksi AP pasien spondilitis tuberkulosa.


Pemeriksaan CT Scan dapat memperlihatkan dengan jelas sklerosis tulang,
destruksi badan vertebra, abses epidural, fragmentasi tulang, dan penyempitan
kanalis spinalis (gambar 3). CT myelography juga dapat menilai dengan
akurat kompresi medula spinalis apabila tidak tersedia pemeriksaan MRI.
Pemeriksaan ini meliputi penyuntikan kontras melalui punksi lumbal ke dalam

rongga subdural, lalu dilanjutkan dengan CT scan. Selain hal yang disebutkan
di atas, CT scan dapat juga berguna untuk memandu tindakan biopsi perkutan
dan menentukan luas kerusakan jaringan tulang.

Gambar 3. Pencitraan CT-scan pasien spondilitis TB potongan aksial setingkat


T 12. Pada CT-scan dapat terlihat destruksi pedikel kiri vertebra L3 (panah
hitam), edema jaringan perivertebra (kepala panah putih), penjepitan medula
spinalis (panah kecil putih), dan abses psoas (panah putih besar)
Pemeriksaan MRI merupakan pencitraan terbaik untuk mengevaluasi jaringan
lunak.

Pemeriksaan

ini

menilai,

kondisi

badan

vertebra,

diskus

intervertebralis, perubahan sumsum tulang, termasuk abses paraspinal. Untuk


mengevaluasi spondilitis TB, sebaiknya dilakukan pencitraan MRI aksial, dan
sagital yang meliputi seluruh vertebra untuk mencegah terlewatkannya lesi
noncontiguous.
MRI juga dapat digunakan untuk mengevaluasi perbaikan jaringan.
Peningkatan sinyal-T1 pada sumsum tulang mengindikasikan pergantian
jaringan radang granulomatosa oleh jaringan lemak dan perubahan MRI ini
berkorelasi dengan gejala klinis. Gambar 4 dibawah menunjukkan pencitraan
MRI potongan sagittal pasien spondilitis tuberkulosa. Pada MRI dapat dilihat
destruksi dari badan vertebra L3-L4 yang menyebabkan kifosis berat (gibbus),

infiltrasi jaringan lemak (panah putih), penyempitan kanalis spinalis, dan


penjepitan medula spinalis.

Gambar 4. Pencitraan MRI potongan sagital pasien spondilitis TB.


Selain itu, ultrasonografi dapat digunakan untuk mencari massa pada daerah
lumbar. Pemeriksaan ini dapat mengevaluasi letak dan volume abses atau
massa iliopsoas yang mencurigakan suatu lesi tuberculosis. Pada awalnya,
bone scan selalu digunakan, namun pemeriksaan ini hanya bernilai positif
pada awal perjalanan penyakit. Bone scan tidak spesifik dan ber-resolusi
rendah. Penyakit lain seperti degenerasi, infeksi, keganasan dan trauma dapat
memberikan hasil positif yang sama seperti spondilitis tuberkulosa. Pencitraan
dengan Gadolinium diketahui berguna untuk mendeteksi infeksi TB

diseminata, namun penggunaan pencitraan ini masih belum lazim pada


spondilitis tuberkulosa.
BAB III
SIMPULAN
Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis tuberkulosa
merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronik destruktif oleh
mikobakterium tuberkulosa. Saat ini spondilitis tuberkulosa merupakan sumber
morbiditas dan mortalitas utama pada negara yang belum dan sedang berkembang,
terutama di Asia, dimana malnutrisi dan kepadatan penduduk masih menjadi
masalah utama. Spondilitis TB merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di
tempat lain di tubuh, 90-95% disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik
dan 5-10% oleh mikobakterium tuberkulosa atipik. Tahap awal untuk menegakkan
diagnosa adalah dengan menggali anamnesis yang mencakup tempat kelahiran,
riwayat penderita/keluarga dan lingkungannya terhadap TB, riwayat imunisasi,
sejarah kontak dengan penderita TB dan penyakit-penyakit lain yang terutama
dapat menurunkan daya tahan/immunitas tubuh. Pada pemeriksaan fisik, penting
untuk melakukan inspeksi dan menilai apakah ada defisit neurologis. Pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium dan
pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan laboratorium diantaranya adalah studi
hematologi, Mantoux test, biopsi tulang dan uji serologi. Sedangkan untuk
pemeriksaan radiologi, dapat dilakukan rontgen, CT-Scan dan MRI. Penegakan
diagnosis perlu suatu kesinambungan antara anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.

Anda mungkin juga menyukai