Anda di halaman 1dari 7

Mengenal Imam Ibnu Asakir

admin September 28, 2016


0 1 1.2k 6

Nama dan Nasabnya

Nama Imam Ibnu Asakir adalah Ali bin al-Hasan bin Habbatullah bin Abdullah bin Husein adDimasyqi asy-Syafii (ulama madzhab Syafii). Kun-yahnya Abu al-Qasim. Ia dilahirkan pada
bulan Muharram tahun 499 H/1105 M di Kota Damaskus.
Beliau belajar ilmu fikih sedari kecil di Kota Damaskus. Ayahnya, al-Hasan bin Habbatullah,
adalah seorang guru yang shaleh, adil, cinta ilmu, teladan bagi para ulama, dan memiliki
perhatian yang besar terhadap ilmu agama, khususnya bidang fikih.
Lingkungan Masa Kecilnya
Shalahuddin al-Munjid dalam pengantar Tarikh Ibnu Asakir jilid satu mengatakan, Lingkungan
pertumbuhan al-Hafizh Ibnu Asakir memiliki pengaruh besar yang mengarahkan beliau kepada
ilmu dan menjadikannya seorang yang cerdas. Ia tinggal di rumah dimana perkara-perkara
diputuskan, hadits-hadits dan fikih dikaji. Rumahnya dipenuhi dengan ulama-ulama besar dan
hakim-hakim Damaskus. Sejak kecil Ibnu Asakir melihat para ulama dan mendapat pemahaman
ilmu.
Kakak Ibnu Asakir yang bernama Shainuddin Habbatullah bin al-Hasan (488 563H) adalah
seorang ahli fikih, mufti, dan ahli hadits. Ia membaca Alquran dengan beberapa riwayat. Ia
seorang yang fakih dan cerdas. Sang kakak pernah bersafar ke berbagai wilayah dan mempelajari
banyak cabang ilmu, seperti ilmu-ilmu ushul dan nahwu. Ia berguru dengan Abu al-Hishn asSulmi. Di sela-sela kegiatan belajar, ia juga memberikan fatwa dan produktif menulis.
Shainuddin adalah seorang imam yang tsiqah, kuat agamanya, dan wara.

Saudara Ibnu Asakir yang lainnya adalah Abu Abdillah Muhammad bin al-Hasan. Ia juga
seorang hakim. Artinya ia adalah ulama. Anak-anak Abu Abdillah yang berjumlah enam orang
juga seorang dai dalam ilmu dan hadits.
Ibu Ibnu Asakir adalah wanita keturunan Quraisy. Kakek dari pihak ibu adalah Yahya bin Ali bin
Abdul Aziz al-Qurasyi. Seorang hakim dan fakih yang senior. Ia sangat pakar dalam bahasa
Arab, tsiqah, dan menyampaikan ceramah dengan fasih. Ia belajar kepada Abu Bakr asy-Syasyi.
Di Damaskus, ia belajar kepada al-Qadhi al-Marwazi dan al-Faqih Nashr. Ibnu Asakir
meriwayatkan hadits dari kakeknya ini.
Pamannya dari pihak ibu adalah Muhammad bin Yahya. Seorang ulama yang menjabat hakim.
Laki-laki Quraisy yang terpercaya dan bijak dalam memutuskan masalah. Sejumlah ulama di
masanya belajar dan meriwayatkan ilmu darinya. Termasuk Ibnu Asakir. As-Samani berkata
tentangnya, Ia adalah seorang yang terpuji. Perjalanan hidupnya baik. Penyayng dan terhormat.
Juga seorang yang menarik penampilannya.
Satu lagi paman dari pihak ibunya yang juga seorang ulama, Sulthan bin Yahya. Ia dijuluki
zainul qudha, perhiasan para hakim. Seorang laki-laki Quraisy yang mulia.
Dengan lingkungan keluarga yang demikian, wajar Ibnu Asakir mulai mengkaji ilmu di usia dini.
Saat berumur 6 tahun, ia sudah belajar dari ayahnya serta dua orang kakaknya. Kemudian Abul
Qashim, Qawam bin Zaid, Sabigh bin Qirath, Abu Thahir al-Hanai, Abul Hasan bin Mawazini,
dan juga ke majelis-mejelis ilmu lainnya.
Dalam pengantar Tarikh Ibnu Asakir jilid satu, Shalahuddin al-Munjid mengatakan, Inilah
lingkungannya. Ia bertemu dengan ahli hadits yang membantunya membuka potensi kecerdasan
dan memenuhi keinginannya. Sehingga di kemudian hari Ibnu Asakir mencapai derajat seorang
ahli sejarah Syam dan ahli hadits di zamannya.
Perjalanan Belajar
Perjalanan Pertama: Ke Baghdad
Pada tahun 520 H/1126 M, saat itu Ibnu Asakir menginjak usia 21 tahun. Sambil terus belajar, ia
juga mengisi waktunya dengan mengajar. Pengetahuannya yang luas tentang riwayat-riwayat
hadits ia dapatkan ketika mengumpulkan matan-matan, sanad-sanad, menghafal, dan membaca.
Kesungguhannya ini membuatnya mencapai derajat seorang ahli hadits dan ulama. Ia tidak
berpuas diri hanya dengan mendapatkan ilmu Dari halaqah-halaqah, masjid-masjid, madrasahmadrasah, dan para ulama di Damaskus. Ia berusaha untuk mendapat sesuatu yang lebih.
Akhirnya, ia memutuskan untuk bersafar keluar Damaskus. Belajar hadits dari ulama-ulama dan
ahli fikih ternama.
Dalam pengantar Tarikh Ibnu Asakir jilid satu, Shalahuddin al-Munjid mengatakan,
Perjalanannya dalam belajar hadits dan mendengar dari banyak guru memiliki pengaruh yang
signifikan. Tak seorang ahli hadits besar pun dalam perjalannya ia lewatkan. Sehingga ia
memperoleh sanad yang tinggi. Pusat-pusat ilmu tersebar di wilayah-wilayah Islam. Banyak

ulama dan ahli fikih yang membagi-bagi ilmu mereka. Saat itu halaqah-halaqah belajar dan
diskusi digelar di madrasah-madrasah dan masjid-masjid oleh para ahli fikih, ahli hadits, dan
ulama-ulama.
Kota Baghdad di masa itu adalah surga dunia karena keindahan tata kotanya. Kota yang menjadi
pusat ilmu. Dan banyak dikunjungi oleh orang-orang dari penjuru negeri. Walaupun banyak
kota-kota ilmu fikih dan hadits di wilayah Islam, seperti: Mesir, Mekah, Madinah, Khurasan,
Naisabur, Ashbahan, Hirah, Thus, dll. namun Baghdad tetap menjadi kota yang utama. Penduduk
Baghdad dikenal sebagai orang yang paling bersemangat dalam mempelajari dan menulis hadits.
al-Khatib al-Baghdadi mengatakan, Penduduk Baghdad dikenal sebagai orang-orang intelektual
dan teliti dalam meriwayatkan hadits dan adabnya. Mereka adalah orang-orang yang paling
berhati-hati dalam meriwayatkannya. Mereka dikenal dengan sifat ini (Tarikh Baghdad oleh alKhatib al-Baghdadi)
Pada tahun 521 H, Ibnu Asakir pergi menuju Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Ia
menggunakan kesempatan ini untuk mendengar riwayat hadits dari ulama-ulama Mekah, Mina,
dan Madinah. Di antranya Abdullah bin Muhammad al-Mishri dan Abdul Khalaq bin Abdul
Wasi al-Hawari.
Saat kembali ke Baghdad, orang-orang Irak kian takjub padanya. Mereka berkata, Kami belum
pernah melihat orang semisalnya.
Setelah merasa cukup menimba ilmu dari tokoh-tokoh ulama Baghdad, Ibnu Asakir memutuskan
untuk kembali ke Damaskus pada tahun 525 H/1131 M.
Perjalanan Kedua: Ke Negeri-Negeri non Arab
Debu-debu safarnya belum juga bersih, namun Ibnu Asakir telah berpikir untuk melanjutkan
pencarian riwayat hadits. Ia berangkat ke Asbahan, Naisabur, Merv, Tabriz, Khosrowjerd,
Bastam, Damghan, Ray, Zanjan, Hamadan, Herat, Sarakhs, Semnan, Abhar, Khuwi, Marand, dll.
Dalam perjalanan menuju Khurasan, di jalan-jalan Azerbaijan, tepatnya di Naisabur, ia berjumpa
dengan as-Samani. As-Samani memuji Ibnu Asakir dengan mengatakan, Abul Qasim seorang
yang luas ilmunya dan banyak keutamaannya. Seorang penghafal yang kokoh hafalan dan
agamanya. Baik akhlaknya. Ia seorang yang menggabungkan pengetahuan akan matan dan sanad
dengan baiknya bacaan dan tulisan Ia mengumpulkan sesuatu yang belum pernah dilakukan
oleh selainnya artinya ilmu beliau luas-. Ia masuk ke Naisabur satu bulan sebelumku. Aku
meriwayatkan darinya dan dia juga meriwayatkan dariku. Ia menulis sebuah buku sejarah yang
tebal untuk Damaskus (Tadzhib Siyar Alam an-Nubala Jilid 3 Hal: 81).
Di Naisabur, Ibnu Asakir belajar dari Abu Abdullah al-Farawi. Ia bermulazamah beberapa waktu
kepadanya. Al-Farawi mengatakan, Ibnu Asakir datang. Ia membaca (meminta koreksi) di
hadapanku 3 hadits lebih. Aku pun merasa berat. Muncul keinginan di hatiku agar menutup pintu
untuknya. Kemudian kata as-Samani, Di pagi harinya, ada seseorang datang kepadaku (dalam
mimpi). Laki-laki itu berkata, Aku adalah Rasulullah . Marhaban bik ya Rasulullah-,
kataku. Kemudian beliau berkata, Temuilah al-Farawi dan katakan padanya, Datang seorang

laki-laki berkulit coklat dari Syam ke negeri kalian. Ia ingin meriwayatkan haditsku. Jangan
kalian sia-siakan dia. (al-Inayatu bi Thullab al-Ilmi Inda Ulama al-Muslimin oleh Abdul Hakim
Unais)
Saat di Khurasan Ibnu Asakir sibuk mendengar hadits dari ulama-ulama negeri tersebut.
Sedangkan di Asbahan dan Naisabur, selain menyimak, para ulama yang lebih senior darinya
juga mendengar hadits-hadits darinya.
Perjalanannya di negeri non Arab berlangsung selama empat tahun. Ia habiskan waktu-waktu
tersebut untuk bermulazamah kepada para ulama, ahli fikih, ahli hadits, meneliti hadits baik
thuruq-nya, orang-orang yang meriwayatkan dan apa yang mereka riwayatkan, serta sanadsanadnya. Karena inilah ia mencapai kedudukan yang tidak dicapai oleh orang selainnya. Setelah
menyelesaikan perjalanan ini, ia kembali ke Baghdad kemudian ke Damaskus.
Dalam perjalannya ke negeri-negeri non Arab, Ibnu Asakir berhasil bertemu setidaknya 1300
ulama. 80an di antara mereka adalah perempuan. Banyak pelajaran yang ia dapatkan dari gurugurunya. Dan ia pun berhasil menghafal banyak buku
Kembali ke Damaskus
Pada saat berumur 43 tahun, Ibnu Asakir kembali ke Damaskus dan menetap di kota tertua di
dunia itu. Ia merasa saat ini adalah saat yang tepat untuk fokus mengajar dan memberi kontribusi
besar dalam membina umat. Ia berkata kepada salah seorang muridnya, Abul Mawahib, Ketika
aku sudah membulatkan tekad untuk menyampaikan hadits demi Allah- sungguh aku tidak
menginginkan kepemimpinan dan diunggulkan. Aku berkata, Kapan aku akan meriwayatkan
apa yang telah kudengar? Faidah apa yang bisa aku tuliskan? Aku beristikhoroh kepada Allah,
meminta izin guru-guruku, dan tokoh-tokoh masyarakat, kutemui mereka semua. Mereka
berkata, Siapa lagi yang lebih berhak darimu? Aku pun mulai menyampaikan hadits pada tahun
533 H/1138 M.
Perjalanan menuntut ilmu ini adalah fase terpanjang dalam umur Ibnu Asakir. Ibnu Najjar
mengatakan, Mungkin di masanya, ia mencapai kedudukan yang tertinggi dalam hafalan,
kekokohan ilmu, pengetahuan tentang ilmu hadits dan ke-tsiqah-annya, kecerdasan, dan tajwid.
Bahauddin berkata tentang ayahnya Ibnu Asakir, Ayahku berkata kepadaku, Saat ibuku
mengandungku, ia melihat di dalam mimpinya ada seorang yang berkata, Engkau akan
melahirkan seorang anak laki-laki yang memiliki kedudukan tinggi. Melalui dirinya, Allah
memberkahimu dan juga kaum muslimin.
Benarlah mimpi sang ibu. Ia melahirkan seorang anak yang bergadang di malam hari untuk
mempelajari agama yang mulia ini.
Karya-Karyanya
Setelah membekali diri dengan ilmu dengan riwayat perjalanan yang luar biasa, Ibnu Asakir
mulai menuangkan buah pikirannya dalam tulisan-tulisan. Para sejarawan mengumpulkan dan

menghitung karya-karya Ibnu Asakir lebih dari 60 buku. Sebagian besar tulisannya adalah
tentang ilmu hadits dan sisanya tentang keutamaan amalan. Karya utamanya adalah Tarikh
Dimasyq.

Kit
ab Tarikh Dimasyq karya Ibnu Asakir
Di antara karya tulisanya adalah:
Tarikh Dimasyq, al-Ijtihad fi Iqamati Fardhi al-Jihad, al-Ahadits al-Khumasiyat wa Akhbar Ibnu
Abi Dunya, al-Ahadits al-Mutakhayyirat fi Fadhail al-Asyrati fi Juzain, Amali fi al-Hadits,
Tabyin Kadzabi al-Muftari fima Nasaba ila Abil Hasan al-Asyari, Tsawabu ash-Shabr ala alMashaib bil Walad, Fadhlu Ashhabul Hadits, Kitab Fadhlu Makkah, Kitab Fadhlu al-Madinah,
Kitab Dzammu Man La Yamal Biilmihi, Kitab Fadhail ash-Shiddiq, dll.
Produktifitasnya ini menunjukan kesungguhannya dalam berdakwah dan sebelumnya membekali
diri dengan ilmu pengetahuan yang luas. Dengan karya-karyanya itu, namanya tetap abadi
hingga kini.
Madrasah Darul Hadits An-Nuriyah
Madrasah Darul Hadits an-Nuriyah adalah sekolah negeri pada masa Dinasti Nuriyah. Sekolah
ini seolah menjadi laboratorium bagi Ibnu Asakir. Karena, disinilah Ibnu Asakir banyak
menelurkan buah pemikirannya: mengajar dan menulis. Ia jadi semakin sibuk dengan
kegemarannya, ilmu dan ibadah. Dan semakin mengalihkannya dari kegemerlapan dunia.
Madrasah an-Nuriyah menunjukkan dekatnya hubungan ulama dan umara. Raja Nuruddin azZanki Raja Dinasti Nuriyah- lah yang membangunnya untuk Ibnu Asakir.
Wafatnya Sang Imam
Ibnu Asakir rahimahullah wafat di malam senin 11 Rajab 571 H/1176 M. Sultan Shalahuddin alAyyubi turut serta menghadiri jenazahnya. Ia dimakamkan di sisi makam ayahnya. Pemakaman
yang sama dengan jenazah Muawiyah bin Abu Sufyan radhiallahu anhu dimakamkan.
Daftar Pustaka:
Al-Inayah bi ath-Thullab al-Ilmi Inda Ulama al-Muslimin oleh Abdul Hakim al-Unais.
Tahdzib Siyar Alamu an-Nubala karya Imam adz-Dzahabi ditadzhib oleh Ahmad Fayiz alHumsha.

Tarikh Baghdad oleh al-Khatib al-Baghdadi

Read more https://kisahmuslim.com/5652-mengenal-imam-ibnu-asakir.html

Anda mungkin juga menyukai