Anda di halaman 1dari 12

Parasetamol berikatan dengan sulfat dan glukuronida terjadi di hati.

Metabolisme utamanya
meliputi senyawa sulfat yang tidak aktif dan konjugat glukoronida yang dikeluarkan lewat ginjal.
Sedangkan sebagian kecil, dimetabolismekan dengan bantuan enzim sitokrom P450. Hanya
sedikit jumlah parasetamol yang bertanggung jawab terhadap efek toksik (racun) yang
diakibatkan oleh metabolit NAPQI (N-asetil-p- benzo-kuinon imina). Bila pasien mengkonsumsi
parasetamol pada dosis normal, metabolit toksik NAPQI ini segera didetoksifikasi menjadi
konjugat yang tidak toksik dan segera dikeluarkan melalui ginjal. Perlu diketahui bahwa
sebagian kecil dimetabolisme cytochrome P450 (CYP) atau N-acetyl-p-benzo-quinone-imine
(NAPQI) bereaksi dengan sulfidril.
Namun apabila pasien mengkonsumsi parasetamol pada dosis tinggi, konsentrasi
metabolit beracun ini menjadi jenuh sehingga menyebabkan kerusakan hati. Pada dosis normal
bereaksi dengan sulfhidril pada glutation metabolit non-toxic diekskresi oleh ginjal.
PEMBAHASAN
Pada praktikum ini telah dilakukan identifikasi kualitatif suatu senyawa obat yang telah
dimetabolisme oleh tubuh yang diekskresikan lewat urin untuk mengetahui apakah parasetamol
masih tersisa di dalam urin setelah rentang waktu tertentu . Obat yang kami gunakan pada
percobaan ini adalah parasetamol. Telah diketahui bahwa Parasetamol adalah drivat paminofenol yang mempunyai sifat antipiretik / analgesik. Paracetamol utamanya digunakan
untuk menurunkan panas badan yang disebabkan oleh karena infeksi atau sebab yang lainnya.
Disamping itu, paracetamol juga dapat digunakan untuk meringankan gejala nyeri dengan
intensitas ringan sampai sedang. Ia aman dalam dosis standar, tetapi karena mudah didapati,
overdosis obat baik sengaja atau tidak sengaja sering terjadi.
Kami menggunakan parasetamol karena Parasetamol dapat diabsorpsi cepat dan
sempurna melalui saluran cerna. Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu jam
dan massa paruh plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebar keseluruh cairan tubuh. Dalam plasma
25% parasetamol sehingga identifikasinya pun akan lebih mudah, Kedua obat ini dimetabolisme
oleh enzim mikrosom hati. Sebagian asetaminofen (80%) dikonjugasikan dengan asam
glukoronat dan sebagian kecil lainnya dengan dengan asam sulfat. Selain itu kedua obat ini dapat
mengalami hidroksilasi. Metabolit hasil hidroksilasi ini dapat menimbulkan methemoglobinemia
dan hemolisis eritrosit. Kedua obat ini diekskresi melalui ginjal, sebagian kecil sebagai
parasetamol (3%) dan sebagian besar dalam bentuk terkonjugasi. Parasetamol berikatan dengan

sulfat dan glukuronida terjadi di hati. Metabolisme utamanya meliputi senyawa sulfat yang tidak
aktif dan konjugat glukoronida yang dikeluarkan lewat ginjal sehingga kami mengidentifikasi
senyawa ini dalam benttuk konjugatnya yaitu senyawa glukoronida, sulfat dan fenol.
Langkah pertama dalam identifikasi ini yaitu seorang probandus harus meminum
parasetamol 3-4 jam sebelum pengujian dilakukan dikarenakan parasetamol mencapai waktu
paruh plasma antara 1-3 jam kemudian dieliminasikan. Langkah selanjutnya yaitu Pengambilan
cuplikan urin dilakukan dalam selang waktu 120 dan 150 menit. Langkah selanjutnya yaitu
dilakukan pengujian dengan cara, setiap cuplikan urin dibagi menjadi 2 tabungh reaksi kemudian
dilakukan uji glukoronida, sulfat dan fenol.
Tahap pertama yang dilakukan adalah uji naftoresorsinol untuk konjugat glukuronida
dilakukan dengan cara memanaskan 0,5 ml cuplikan urin ditambahkan naftoresorsinol padat
secukupnya serta ditambahkan dengan HCL pekat 1ml kemudian didinginkan. setelah dingin
kemudian ditambah dengan etil asetat sebanyak 3ml, dikocok hingga homogen, akan terbentuk
warna ungu bila positif mengandung asam glukoronat.
Tahap kedua adalah uji barium klorida untuk konjugat sulfat dilakukan dengan cara mereaksikan
urin sebanyak 0,5 ml cuplikan urin kemudian ditambahkan BaCl 2% kemudian terbentuk dua
lapisan, kemudian ditambahkan dengan 2 tetes HCl pekat, dan dididihkan di lemari asam selama
3 menit, kemudian amati yang terjadi terbentuknya endapan atau kekeruhan menunjukan
adanya konjugat sulfat.
Tahap ketiga adalah uji besi (III) klorida untuk fenol dilakukan dengan cara mereaksikan 0,5 ml
cuplikan urin dengan FeCl3 2% kemudian diamati perubahannya perubahan warna menjadi
ungu menunjukan adanya senyawa fenol.
Dari hasil pengamatan dapat diketahui bahwa pada pengujian konjugat glukoronida
cuplikan pada menit ke 120 ,menunjukan positif adanya asam glukoronat karena terbentuknya
warna ungu setelah direkasikan. Sementara pada cuplikan menit ke 150 tidak didapatkan asam
glukoronat karena pada pengujiannya dengan naftoresorsinol dengan HCl pekat tidak
menimbulkan warna ungu sehingga negative terdapat asam glukoronat.
Pada pengujian konjugat sulfat kedua cuplikan yaitu menit ke 120 berwarna lebih bening
dan terdiri dua lapisan yang tinggi lapisan bagian bawah lebih banyak dari lapisan bagian
atas.Pada menit ke 150 terlihat lebih keruh dan terdiri dari dua lapisan bagian dan bawah sama
banyak.menunjukan hasil yang positif dikarenakan terbentuknya endapan atau kekeruhan setelah

dilakukan pengujian dengan BaCl 2% den 2 tetes HCl pekat. Terbentuk endapan putih yang
menunjukkan adanya belerang anorganik, reaksi yang terjadi adalah :
BaCl2 + SO42- BaSO4 + 2 ClPada pengujian fenol jika cuplikan positif berwarna ungu atau hijau setelah direaksikan,
menunjukkan adanya senyawa fenol. Namun, dari hasil praktikum tidak menghasilkan larutan
berwarnaungu hanya menjadi kuning disertai endapan putih pada kedua tabung setelah
pemanasan. Pada tabung reaksi menit ke 120 berwarna kuning kecoklatan + endapan putih dan
tabung reaksi menit ke 150 berwarna kuning lebih muda + endapan putih.Hal ini, menunjukkan
tidak adanya fenol dalam cuplikan sampel urine tersebut yang seharusnya menghasilkan warna
ungu atau hijau yang menandakan positif jika ada fenol.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Judul Percobaan


Analisis parasetamol total dalam cuplikan urin
1.2. Tujuan Percobaan
1. Dapat memahami langkah-langkah analisa parasetamol dalam cuplikan urin.
2. Dapat melakukan analisa parasetamol dalam cuplikan urin.

1.3. Dasar Teori


A.

Parasetamol

Parasetamol atau asetaminofen adalah obat analgesik dan antipiretik yang populer dan digunakan
untuk melegakan sakit kepala, sengal-sengal dan sakit ringan, dan demam. Digunakan dalam
sebagian besar resep obat analgesik salesma dan flu. Ia aman dalam dosis standar, tetapi karena
mudah didapati, overdosis obat baik sengaja atau tidak sengaja sering terjadi.
Berbeda dengan obat analgesik yang lain seperti aspirin dan ibuprofen, parasetamol tak memiliki
sifat antiradang. Jadi parasetamol tidak tergolong dalam obat jenis NSAID. Dalam dosis normal,

parasetamol tidak menyakiti permukaan dalam perut atau mengganggu gumpalan darah, ginjal
atau duktus arteriosus pada janin.
Farmakokinetik
Parasetamol yang diberikan secara oral diserap secara cepat dan mencapai kadar serum puncak
dalam waktu 30 120 menit. Adanya makanan dalam lambung akan sedikit memperlambat
penyerapan sediaan parasetamol lepas lambat. Parasetamol terdistribusi dengan cepat pada
hampir seluruh jaringan tubuh. Lebih kurang 25% parasetamol dalam darah terikat pada protein
plasma.
Waktu paruh parasetamol adalah antara 1 3 jam. Parasetamol diekskresikan melalui urine
sebagai metabolitnya, yaitu asetaminofen glukoronid, asetaminofen sulfat, merkaptat dan bentuk
yang tidak berubah.
Sebagian asetaminofen 80% dikonjugasi dengan asam glukoronat dan sebagian kecil lainnya
dengan asam sulfat. Selain itu dapat mengalami hidroksilasi. Metabolit hasil hidroksilasi ini
dapat menimbulkan methemoglobinemia dan hemolisis eritrosit. Obat ini diekskresi melalui
ginjal, sebagian kecil sebagai parasetamol (3%) dan sebagian besar dalam bentuk terkonjugasi.
B.

Analisis Parasetamol

Parameter farmakokinetika obat dapat diperoleh berdasarkan hasil pengukuran kadar obat utuh
dan / atau metabolitnya di dalam cairan hayati (darah, urin, saliva atau cairan tubuh lainnya).
Oleh karena itu agar nilai-nilai parameter kinetik obat dapat dipercaya, metode penetapan kadar
harus memenuhi berbagai kriteria yaitu meliputi perolehan kembali (recovery), presisi dan
akurasi.
Persyaratan yang dituntut bagi suatu metode analisa adalah jika metode tersebut dapat
memberikan nilai perolehan kembali yang tinggi (75-90% atau lebih), kesalahan acak dan
sistematik kurang dari 10%.
Kepekaan dan selektivitas merupakan kriteria lain yang penting dan nilainya tergantung pula dari
alat pengukur yang dipakai. Dalam percobaan ini akan dilakukan langkah-langkah yang perlu
dikerjakan untuk optimalisasi analisis meliputi:
1. Penentuan jangka waktu larutan obat yang memberikan resapan tetap (khusus untuk
reaksi warna).
2. Penetapan panjang gelombang larutan obat yang memberikan resapan maksimum
(parasetamol).
3. Pembuatan kurva baku (parasetamol).
4. Perhitungan nilai perolehan kembali, kesalahan acak dan kesalahan sistematik.

Ketersediaan hayati merupakan kecepatan dan jumlah obat yang mencapai sirkulasi sistemik dan
secara keseluruhan menunjukkan kinetic dan perbandingan zat aktif yang mencapai peredaran
darah terhadap jumlah obat yang diberikan. Ketersediaan hayati obat yang diformulasi menjadi
sediaan farmasi merupakan bagian dari salah satu tujuan rancangan bentuk sediaan dan yang
terpenting untuk keefektifan obat tersebut. Pegkajian terhadap ketersediaan hayati ini tergantung
pada absorpsi obat ke dalam sirkulasi umum serta pengukuran dari obat yang terabsorpsi
tersebut. Dalam menaksir ketersediaan hayati ada tiga parameter yang biasanya diukur yang an
profil konsentrasi dalam darah dan waktu dari obat yang diberikan.
Konsentrasi puncak (Cmax), menggambarkan konsentrasi obat tertinggi dalam sirkulasi sistemik.
Konsentrasi ini tergantung pada konstanta absorbsi, dosis, volume distribusi dan waktu
pencapaian konsentrasi obat maksimum dalam darah. Konsentrasi puncak sering kali dikaitkan
dengan intensitas respon biologis dan harus di atas MEC dan tidak melebihi MTC.
Waktu untuk konsentrasi puncak (tmax) menggambarkan lamanya waktu tersedia untuk
mencapai konsentrasi puncak dari obat sirkulasi sistemik. Parameter ini tergantung pada
konstanta absorbs yang menggambarkan permulaan dari level puncak dari respon biologis dan
bias digunakan sebagai perkiraan kasar untuk laju absorbsi.
Luas daerah di bawah kurva (AUC), merupakan total area di bawah kurva konsentrasi vs waktu
yang menggambarkan perkiraan jumlah obat yang berada dalam sirkulasi sistemik. Bila
membandingkan suatu formulasi untuk acuan, parameter ini menggambarkan jumlah
ketersediaan hayati dan biasa digunakan sebagai perkiraan kasar jumlah obat diabsorbsi.
Ketersediaan hayati merupakan suatu penerapan baru yang kegunaannya tidak perlu diragukan
lagi. Penerapan ketersediaan hayati berkembang dalam dua arah, yaitu:
1.
Farmasi klinik yang berkaitan dengan rasionalisasi keadaan individu penderita, artinya
penyesuaian pasologi yang tepat pada setiap penderita, dengan mempertimbangkan
perubahan farmakokinetika in vivo, baik karena interaksi obat maupun karena fungsi
fisiolagi.
2.
Farmasetika yang berkaitan dengan rasionalisasi pengembangan suatu obat, yaitu
penyesuaian optimal jalur pemberian obat dan bentuk sediaan terhadap karakteristik
farmakokinetika zat aktif.
Kedua arah pengembangan tersebut tercakup dalam lingkup penelitian biofarmasetika dan
berkaitan dengan penyesuaian pada kurva profil kadar zat aktif dalam darah penderita dan efek
yang diteliti.
Data ketersediaan hayati digunakan untuk menentukan:
1.

Banyaknya obat yang diabsorbsi dari formulasi sediaan.

2.

Kecapatan obat yang diabsorbsi.

3.
Lama obat berada dalam cairan biologi atau jaringan dan dikorelasikan dengan respon
pasien.
4.
Hubungan antara kadar obat dalam darah dan efikasi klinis serta toksisitas.
Metode penilaian ketersediaan hayati.
Penelitian ketersediaan hayati pada sukarelawan dapat dilakukan dengan beberapa metode:
a.

Metode dengan menggunakan data darah

b.

Data urin

c.

Data efek farmakologis

d.

Data respon klinis

Pemilihan metode bergantung pada tujuan studi, metode analisis untuk penetapan kadar obat dan
sifat produk obat. Data darah dan data urin lazim digunakan untuk menilai ketersediaan hayati
sediaan obat yang metode analisis zat berkhasiat telah diketahui cara dann validitasnya. Jika cara
dan validitasnya belum diketahui dapat digunakan data farmakologi dengan syarat efek
farmakologi yang timbul dapat diukur secara kuantitatif, seperti efek pada kecepata denyut
jantung atau tekanan darah yang dapat digunakan sebagai indeks ketersediaan hayati obat. Untuk
evaluasi ketersediaan hayati menggunakan data respon klinis dapat mengalami perbedaan antar
individu akibat farkokinetika dan farmakodinamik obat yang berbeda. Factor farmakodinamik
yang berpengaruh meliputi: umur, toleransi obat, interaksi obat dan factor-faktor patofisiologik
yang tidak diketahui.
Faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan hayati oabat yang digunakan secara oral:
1)

Sifat fisikokimia zat aktif.

a.
Bentuk isomer; alkaloid-alkaloid dan steroid-steroid terdapat dalam bentuk isomer, seperti
misalnya isomer d atau l. seringkali yang aktif atau diaktif hanya salah satu saja, misalnya detambutol, d-propoksipen, d-amfetamin, l-kloramfenikol.
b.
Polimorfisme; bentuk kristal yang kurang stabil lebih mudah larut dan kemudian cepat
terabsorbsi daripada bentuk kristalnya yang stabil, misak kloramfenikol mempunyai 2 bentuk
polimorf A dan B; kristal bentuk A bersifat tidak aktif.
c.
Ukuran partikel; bila ukuran partikel lebih kecil maka luas permukaan akan besar sehingga
obat obat akan cepat melarut dan diabsorbsi.
d.
Hidrat dan solvate; kadang kadang beberapa bahan obat cenderung untuk mengikat
beberapa molekul pelarut. Ikatan ini disebut solvate, dan kalau pelarutnya adalah air maka ikatan
ini disebut hidrat. Ampisilin anhidrat lebih mudah larut dibandingkan ampisilin trihidrat,
sehingga pemakaian peroral akan memberiakan blood level yang tinggi.

e.
Bentuk garam, ester dan lainnya; gugusan estolat dari eritromisin estolat dapat
menyebabkan hepatotoksisitas, sedangkan stearatnya tidak. Tapi sifat fisik eritromisin
mempersulit pengisian dalam jumlah yang cukup ke dalam kapsul yang berukuran wajar.
Pemadatan yang tidak tepat atas bahan baku ini sebaliknya dapat menimbulkan persoalan
disolusi dan ketersediaan hayati.
f.
Kemurnian; bahan baku penisilin yang tidak murni bias mengandung mikrokontaminan
berupa hasil degradasi penisilin sendiri bahkan inferior ini yang dapat menyebabkan alergi.
Namun meskipun telah menggunakan bahan bahan baku murni jika cara dan kondisi produksi
dalam hal ini kebersihan,temperature, dan kelembapan kurang baik, bahan penisilin akan
menimbulkan efek samping yang sama.
Bahan bahan pembantu; banyak obat obatan dimana pengaruh bahan bahan pembantu dapat
merubah secara drastic pola absorbsinya dan oleh karena itu efek terapi dan toksisitasnya juga
berpengaruh, seperti meningkatnya toksisitas fenitoin setelah bahan pembantu yang semula
dipakai CaSO4 diganti dengan laktosa.
2)

Cara cara prosesing

a.
Formulasi obat yang sudah baik dalam suatu pabrik bisa sama sekali berubah bila dibuat
oleh pabrik lain dengan menggunakan alat alat yang berbeda. Hal ini menjadi masalah kritis
apabila digunakan untuk memproduksi tablet tablet dengan kadar zat khasiat yang rendah
seperti digoksin 0,25 mg/tablet 200 mg.
b.
Ruangan dan kondisi kondisinya ( temperature, kelembaban, penerangan, dan sebagainya
) yang memenuhi syarat. Misalnya pada pembuatan sediaan tetrasiklin yang merupakan bahan
baku yang kurang stabil pada kondisi tertentu sehingga dapat mengakibatkan penguraian
tetrasiklin menjadi nonaktif, hepatotoksik, dan nefrotoksik.
c.

Tenaga tenaga yang kompeten.

d.
Dikerjakan dengan system produksi dan system control yang baik. Dalam hal ini
persyaratan persyaratan Good Manufacturing Practices ( GMP ) menjadi penting.

BAB II
METODE KERJA

2.1. Alat dan Bahan


A. Alat :

Spektrofotometer

Botol

Pipet ukur

Tabung reaksi

Rak tabung

Beaker glass

Pipet

B.

Bahan :

Paracetamol

Urin

Sarung tangan

Masker

2.2. Metode Kerja


A.

Pemberian Paracetamol dengan Pengumpulan Urin

Cuplikan urin harus dikumpulkan selama waktu 6 jam. Probandus dapat meminum obat dan
dapat mengumpulkan cuplikan urin sehari sebelum dianalisis. Cuplikan urin dapat disimpan
selama 1 malam pada suhu 40C tanpa penguraian yang berarti.
1.
Untuk menjaga aliran urin, subjek harus minum 200 ml air setelah 30 menit.
Cuplikan ini digunakan sebagai blanko, catat volumenya.
2.
Paracetamol 500 mg diminum dengan 200 ml air dan waktu mulai dicatat. Ini
adalah waktu jam ke nol.
3.
Setelah 1 jam, kandung kemih dikosongkan, banyaknya volume urin diukur
dan dicatat serta ditandai. Ambil kurang lebih 15 ml. Probandus minum 200 ml air.
4.
Prosedur yang sama (seperti angka 3) diulang dengan interval waktu: 2,3,4,5
dan 6 jam.

B.

Analisis Cuplikan Paracetamol Total dalam Urin


1. Tentukan kadar paracetamol total dalam cuplikan urin pada masing-masing
interval waktu yang telah ditentukan (jam ke-1, 2, 3, 4, 5 dan 6). Untuk penetapan
kadarnya:
Ambil 1 ml cuplikan urin dan tambahkan 4 ml HCL 4 M kedalam tabung
reaksi.
Cukupkan volumenya menjadi 10 ml dengan aquadestcampur homogen.
Lakukan pembacaan serapan pada panjang gelombang 252 nm.
Lakukan duplo.
2.

Selanjutnya hitung parameter farmakokinetik paracetamol.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Data Pengamatan

Waktu
interval

Vu

Cu

Du
Dukum

Du-Dukum

Ln(DuDukum)

(mL)

(mg/mL)

(mg)

0-8,5

80

0,0726

5,808

5,808

8,839

2,1792

8,5-9,5

50

0,0637

3,185

8,993

5,654

1,7324

9,5-10,5

50

0,0645

3,225

12,218

2,429

0,8875

10,5-11,5

100

0,0119

1,19

13,408

1,239

0,2143

(jam)

11,5-12,5

70

0,0049

0,343

13,751

0,896

-0,1098

12,5-13,5

70

0,0128

0,896

14,647

Nilai Serapan Sampel

Sampel

Ao

1,421

1,247

1,264

0,242

0,108

0,259

Tabel Regresi Linear

X= Waktu interval
(jam)

Y= Ln(Du-Dukum)

8,5

2,1792

9,5

1,7324

10,5

0,8875

11,5

0,2143

12,5

-0,1098

IV.2 Perhitungan
X = Cu =
X1 = = 72,6367
X2 = = 63,6723
X3 = = 64,5481
X4 = = 11,8948
X5 = = 4,9912
X6 = = 12,7707

Regresi:
b = -0,60961
kel = - (-0,60961) = 0,60961
t1/2 = = 1,1368

IV.2 Pembahasan

Pada praktikum kali ini, kami melakukan uji analisis parasetamol dalam urin. Sebelum meminum
paracetamol probandus berpuasa selama 6 jam. Hal ini dilakukan agar parasetamol yang
diberikan secara oral diserap secara cepat dan mencapai kadar serum puncak, adanya makanan
dalam lambung akan sedikit memperlambat penyerapan sediaan parasetamol lepas
lambat.Menggunakan larutan parasetamol dengan konsentrasi larutan induk 0,01 mg/ml.
Konsentrasi yang telah dibuat diukur serapannya menggunakan spektrofotometer.
Setelah perlakuan di atas, sampel diambil untuk diukur serapannya pada spektrofotometer
dengan panjang gelombang maksimum 252 nm. Hasil nilai serapan tersebut dimasukkan dalam
rumus regresi linear y = bx + a , dimana y adalah nilai serapan dan nilai x yang diperoleh adalah
konsentrasi paracetamol dalam urin (mg/mL). Dari nilai x tersebut ditentukan nilai Ln(DuDukum) kemudian dimasukkan dalam grafik regresi linear antara waktu dan Ln(Du-Dukum). Dari
hasil perhitungan regresi yang diperoleh, didapatkan nilai b = -0,60961 untuk dihitung nilai t1/2
dan diperoleh sebesar 1,1368 jam. Hasil tersebut memenuhi syarat t1/2 untuk paracetamol yaitu 13 jam. Waktu paruh sangat penting untuk menentukan interval dosis

BAB V
KESIMPULAN

1.

Konstanta eliminasi menunjukkan kecepatan eliminasi obat dalam tubuh.

2.

Waktu paruh adalah waktu yang dibutuhkan untuk mengeliminasi obat dari tubuh.

3. Waktu paruh dan kecepatan eliminasi dapat ditentukan dengan mengetahui konsentrasi
obat dalam urin (cairan biologis)

Anda mungkin juga menyukai