Anda di halaman 1dari 10

PEMBAHASAN MODUL 2

Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan pemeriksaan kadar asam urat
yang bertujuan agar praktikan dapat memahami metode enzimatik dalam
penentuan pemeriksaan kadar asam urat, dapat menentukan kadar asam urat dalam
sampel dan dapat menentukan kadar asam urat dalam penentuan diagnosis kondisi
patologis untuk melihat keberhasilan terapi. Pemeriksaan kadar asam urat sangat
penting dilakukan untuk penegakan diagnosa suatu penyakit sehingga terapi dapat
dilakukan dengan tepat. Asam urat adalah asam yang terbentuk dari kristal-kristal
yang merupakan produk akhir metabolisme purin (bentuk turunan nukleoprotein)
yang berasal dari metabolisme dalam tubuh atau faktor endogen (genetik) dan dari
luar tubuh atau faktor eksogen (sumber makanan). Asam urat sangat erat
kaitannya dengan pola makan. Umumnya karena pola makan yang tidak
seimbang, salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kadar asam urat adalah
makanan yang mengandung tinggi purin (Azari RA ,2014).

Pengelompokan makanan berdasarkan kandungan purin ada 3 golongan,


yaitu Golongan A makanan yang mengandung purin tinggi (150-800 mg) yaitu
jeroan, udang, remis, kerang, sardine, herring, ekstrak daging(abon dan dendeng),
ragi, alkohol derta makanan dalam kaleng. Golongan B makanan yang
mengandung purin sedang (50-150 mg) yaitu ikan yang tidak termasuk golongan
A, daging sapi, kacang-kacangan,kembang kol, bayam, asparagus, buncis, jamur,
daun singkong, daun pepaya dan kangkung. Golongan C makanan yang
mengandung purin lebuh ringan (0-50 mg) yaitu keju, susu dan telur (Indriawan,
2009). Gangguan metabolik asam urat adalah peningakatan kadar asam urat dalam
darah yang di sebabkan oleh peningkatan produksi (overproduxtion), penurunan
pengeluaran (underexcreation) asam urat melalui ginjal. Purin selain didapat dari
makanan juga berasal dari penghancuran sel-sel yang sudah tua. Pembuatan atau
sintesa purin juga dilakukan oleh tubuh sendiri dari bahan-bahan seperti CO,
glutamin, glisin, asam aspartat dan folat. Metabolit purin diangkut ke hati,
kemudian mengalami oksidasi menjadi asam urat dan kelebihan asam urat
dibuang melalui ginjal dan usus (Budiman dan Riyanto, 2013).
Metabolisme asam urat didasarkan pada sintesis dan pemecahan purin
yang bisa terjadi disemua jaringan, namun asam urat dihasilkan dalam jaringan
yang mengandung xantin oksidase, terutama dalam hati dan usus kecil. Basa purin
yang terdiri dari adenin dan guanin yang merupakan konstituen dari asam nukleat
DNA (deoxy nuxleic acid) dan RNA (ribo nucleic acid). Adenin dan guanin akan
diubah menjadi hipoxantin, yang kemudian hipoxantin akan diubah menjadi
xantin, kemudian xantin diubah menjadi asam urat. Asam urat diginjal akan di
filtrasi, di reabsorpsi dan disekresi. Keadaan normal 98% asam urat yang di
filtrasi, di reabsorpsi 2% dan sisanya sekitar 20% jumlah yang di ekskresi dan
80% lainnya berasal dari sekresi tubulus (Ganong, 2008).

Asam urat yang merupakan asam lemah dapat menimbulkan serangan


berulang, yang terdapat pada plasma ekstraseluler dan cairan synovial atau cairan
sendi. Sebagian urat terdapat dalam bentuk kristal monosodium urat pada pH 7,4
dan larut di dalam plasma pada konsentrasi 6,8 mg/dL dan apabila kadar asam
urat lebih tinggi, plasma menjadi jenuh dan dapat mengendap membentuk kristal
urat (Widdy B, 2011).

Metode pemeriksaan kadar asam urat dapat ditentukan dengan 2 metode,


yaitu metode kolorimetri dan enzimatik. Metode kolorimetri merupakan metode
spektrokopi sinar tampak yang berdasarkan pada panjang sinar tampak oleh suatu
larutan berwarna, hanya senyawa berwarna yang dapat ditentukan dengan metode
spektroskopi dan senyawa yang tidak berwarna dapat dibuat menjadi berwarna
dengan penambahan reagen warna. Metode ini sering digunakan dalam
menentukan konsentrasi besi dalam minuman. Kelebihan metode kolorimetri
adalah kemudahannya dalam menetapkan kuantitas zat yang sangat kecil. Faktor
yang mempengaruhi kolorimetri adalah pemakaian indikator yang tidak cocok
dengan pH larutan. Selain itu dengan adanya protein dan asam amino, sehingga
dapat bereaksi dengan asam ataupun basa, sehingga memungkinkan terjadinya
kesalahan besar bila dibandingkan dengan metode enzimatik. Selain itu, reagen-
reagen pada metode ini bersifat korosif pada alat laboratorium (Guder W.G dkk,
2009). Maka dalam percobaan kali ini kita menggunakan metode enzimatik.
Prinsip pemeriksaan kadar asam urat metode enzimatik adalah asam urat
dioksidasi dengan bantuan enzim urikase membentuk allantoin, karbon diaksida
dan peroksida. Kemudian peroksida yang terbentuk akan direaksikan dengan 4-
aminoantipirin dan DHBS (C6H3Cl2NaO4S/Alanil glutamin) dengan bantuan
hidrogen peroksida dan membentuk senyawa berwarna merah muda yaitu
quinoneimina. Intensitas warna merah yang terjadi sebanding dengan konsentrasi
asam urat. Prinsip dari pemeriksaan kadar asam urat dengan metode enzimatik
menggunakan enzim urikase pada reaksi utama dan peroksodase pada reaksi
indikasi :

Urikase
Asam urat + H2O + O2 Allantoin + CO2 +H2O2
hidogen peroksidase
DHBS + 4-aminoantipirin + 2H2O2 Quinoneimina + 3H2O
(Barhannuddin, 2014).
Pemeriksaan kadar asam urat menggunakan metode enzimatik karena
memiliki kelebihan yaitu mempunyai presisi tinggi, spesifik, relatif bebas dari
gangguan (kadar hematikrit, vitamin C, lipid, volume sampel dan suhu). Adapun
kekurangan pada metode enzimatik yaitu memiliki ketergantungan pada reagen,
membutuhkan sampel darah yang banyak, pemeliharaan alat dan reagen
memerlukan tempat khusus dan membutuhkan biaya yang cukup mahal (Lingga
L, 2012).
Hal yang dilakukan pertama adalah pengambilan sampel yaitu berupa darah
seorang praktikan. Bagian yang digunakan untuk pemeriksaan yaitu serum
(spesimen), karena serum tidak terdapat fibrinogen, protombin, faktor VIII, V dan
XIII dan juga untuk mencegah pencemaran antikoagulan terhadap specimen.
Apabila menggunakan darah lengkap kandungan paling banyak berupa air dan
protein atau hemoglobin dan bukan pembentuk faktor koagulasi sedangkan serum
memiliki kandungan glukosa yang lebih besar (Kiswari R, 2014). Maka untuk
memisahkan plasma dengan serum atau filtrat darah bebas protein maka dilakukan
sentrifugasi untuk memisahkan larutan gula dengan protein. Protein akan
terkumpul di bagian bawah disebut juga pellet sedangkan larutan gula menjadi
supernatan (berwarna bening). Sampel darah dalam tabung ditambahkan
antikoagulan yang mampu menghambat proses glikolisis sehingga dapat
mempertahankan stabilitas kadar asam urat dalam sampel dengan menghambat
kerja enzim xantin oksidase. Kemudian sampel di sentrifugasi selama 10 menit
dengan kecepatan 3000 rpm dan dipisahkan serum yaitu lapisan jernih
(supernatan) dengan menggunakan pipet tetes pada tabung reaksi yang lain.

Berikutnya dilakukan preparasi dimulai dari pembuatan larutan blangko


yang berisikan campuran aquadest 25 µL yang berfungsi sebagai pelarut dan
reagen 1,0 µL ke dalam tabung reaksi tujuan dari pembuatan larutan blangko
tersebut adalah untuk menetralkan ataupun membuktikan bahwa pelarut yang
digunakan tidak memiliki daya absorbansi (sama dengan nol) sehingga ketika kita
mengukur sampel menggunakan spektrofotometri dan penggunaan bangko
untukmenghilangkan pengaruh pelarut, sehingga hasil yang didapat adalah hasil
yang sebenarnya dan tidak ada pengaruh pelarut yang digunakan, hanya kadar
yang ingin kita ukur (kadar asam urat) saja yang terbaca. Kemudian membuat
larutan standar dengan mencampurkan larutan standar yang berisikan reagent 1,0
mL dengan larutan standar 25 µL ke dalam tabung reaksi. Tujuan pembuatan
larutan standar ini sebagai acuan atau pembanding spesimen uji, sehingga hasil
dikatakan baik apabila hasil dari larutan uji sama dengan atau mendekati nilai
larutan standar, kemudian untuk menyiapkan spesimen uji (serum) dimana serum
yang didapat diambil sebanyak 25 µL dan ditambahkan reagent sebanyak 1,0 mL
dalam tabung reaksi adapun tujuan pembuatan larutan uji ini yaitu untuk menguji
atau memeriksa kadar asam urat dalam serum sehingga dapat ditentukan kadar
asam urat dalam sampel kategori normal, hiperurikemia atau hipourikemia. Untuk
larutan uji dilakukan lima kali dari kelompok 2 sampai dengan kelompok 6 hal ini
dilakukan bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi yang tepat pada saat
pengukuran absorbansi sehingga data yang diperoleh lebih valid.
Penambahan reagent tersebut berfungsi sebagai tempat melekatnya enzim
dan pemberi warna. Pada setiap penyiapan tabung reaksi satu dengan yang lainnya
diberi jeda atau didiamkan di suhu ruang selama 10 menit hal ini bertujuan untuk
pengkondisian agar enzim tersebut dapat berikatan dengan substrat sehingga dapat
bereaksi secara optimal dan didapat hasil yang optimal juga. Suhu tubuh manusia
hampir mirip dengan suhu ruangan sehingga hal ini dimaksudkan agar enzim-
enzim yang digunakan dalam reaksi dapat bekerja secara optimal seperti berada
pada kondisi dalam tubuh selain itu suhu tersebut bertujuan untuk mempercepat
agar reaksi berjalan sempurna dan menyesuaikan dengan kondisi suhu
pengukuran yang stabil, karena enzim akan bekerja lebih lambat bahkan sampai
inaktif pada suhu rendah namun akan rusak pada suhu tinggi. Pada setiap proses
pengambilan bahan digunakan mikropipet karena alat ini memiliki akurasi dan
presisi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis pipet ukur biasa (Luk A.J,
2005).
Pada awal penambahan reagent larutan tidak berwarna setelah di diamkan
10 menit larutan berubah warna menjadi merah muda, hal ini di sebabkan pada
komposisi reagen yang terdiri dari 4-aminoantipirin, DHBS, urikase dan hidrogen
peroksida. Didasarkan padaprinsip pemeriksaan kadar asam urat dengab metode
enzimatik adalah asam urat dioksidasi oleh uricase menjadi allantoin dan
hidrogen peroksida, dan dengan adanya perosidase menghasilkan chromogen
berwarna. Dimana, 4-aminoantipirin dan DHBS (C6H3Cl2NaO4S/Alanil glutamin)
yang berfungsi sebagai kromogen. Kromogen merupakan senyawa yang bisa
menghasilkan zat berwarna. Dibantu oleh urikase dan hidrogen peroksida sebagai
katalis yang berfungsi untuk mempercepat laju reaksi (Guder W.G dkk, 2009).
Namun perbedaan warna yang terjadi tidak di lampirkan dalam bentuk foto pada
saat praktikum hanya diamati secara visual pada saat pengerjaan. Kemudian
setelah penambahan reagent menjadi senyawa berwarna yang dinamakan
quinoneimine.
Quinoneimine ini merupakan indikator yang menunjukan kadar glukosa
dalam darah berupa senyawa berwarna yang memiliki ikatan terkonjugasi
sehingga memenuhi persyaratan sampel pada pengukuran kadar menggunakan
spektrofotometri. Intensitas warna yang terbentuk dari senyawa tersebut
sebanding dengan kadar glukosa dalam darah. Semakin pekat warna larutan yang
dihasilkan, maka semakin banyak kadar senyawa yang di analisis. Berdasarkan
hukum Lambert Beer bagian sinar yang diserap akan tergantung pada berapa
banyak molekul yang beinteraksi dengan sinar sehingga jika zat warna tersebut
berupa larutan pekat, maka akan diperoleh absorbansi yang sangat tinggi karena
terdapat banyak molekul yang berinteraksi dengam sinar (Soeroso J, 2011).

Kemudian tahap selanjutnya yaitu dilakukan pengukuran absorbansi


larutan tes dan larutan standar dengan alat spektrofotometri uv-visibel pada
panjang gelombang 520 nm. Spektrofotometer adalah untuk mengukur
transmitans atau absorbansi suatu sampel yang dinyatakan dalam fungsi panjang
gelombang. Adapun prinsip kerja spektrofotometri uv-visibel yaitu interaksi yang
terjadi antara energi yang berupa sinar monokromatis dari sumber sinar dengan
materi yang berupa molekul, besar energi yang diserap tertentu dan menyebabkan
elektron terekstasi dari keadaan dasar ke keadaan terekstasi yang memiliki energi
yang lebih tinggi. Hukum Lambert Beer menyatakan absorbansi cahaya
berbanding lurus dengan konsentrasi, artinya konsentrasi makin tinggi maka
absorbansi yang dihasilkan makin tinggi, begitupun sebaliknya konsentrasi makin
rendah absorbansi yang dihasilkan makin rendah (Lingga L, 2012). Pada
pemeriksaan kadar asam urat mengggunakan panjang gelombang 520 nm yang
merupakan panjang gelombang maksimum, pada panjang gelombang ini asam
urat akan mengabsorbsi rradiasi dengan kuat sehingga memberikan hasil yang
sebenarnya, tidak ada pengaruh pelarut yang digunakan. Sementara pengukuran
standar dilakukan untuk membandingkan hasil agar senyawa yang di ukur benar-
benar senyawa yangdi tuju. Sehingga untuk mengukur absorbansinya
menggunakan spektrofotometri uv-visibel karena mempunyai panjang gelombang
antara 400-750 nm. Karena panjang gelombang tersebut merupakan panjang
gelombang yang menghasilkan absorbansi tertinggi dan akan dihasilkan daya
absorbansi yang optimal untuk senyawa yang akan di analisis (Widdy B, 2011).

Berdasarkan hasil pengamatan spektrofotometri uv-vis didapat nilai


absorbansi pada larutan standar 0.186 nm, dan pada larutan uji 1 sampai 5 didapat
nilai 0.067 nm, 0.063 nm, 0.062 nm, 0.064 nm dan 0.055 nm. Dilihat dari Hukum
Lambert beer nilai absorbansi yang memiliki presisi maksimum yaitu pada
rentang 0,2 - 0,8 nm. Sedangkan pada larutan uji 1 sampai 5 memiliki nilai
absorbasi kurang dari rentang tersebut sehingga pengukuran absorbansi tersebut
memiliki presisi (ketelitian) yang kurang baik. Hal ini kemungkinan pengambilan
sampel dan waktu yang kurang teliti dalam mereaksikan larutan uji dan larutan
standar dengan reagen, sehingga produk yang dihasilkan juga terlalu sedikit. Hasil
absorbansi tiap larutan uji berbeda beda hal ini kemungkinan dikarenakan ketidak
akuratan praktikan dalam pempipetan, adanya gelembung, adanya pengotor,
pengambilan serum yang kurang atau melebihi jumlah, kuvet yang kurang bersih
sehingga dapat mempengaruhi hasil absorbansi dari larutan uji (Widdy B, 2011).

Setelah data absorbansi maka selanjutnya menghitung konsentrasi atau


kadar glukosa yang terkandung pada setiap larutan uji. Berdasarkan hasil
perhitungan kadar glukosa uji 1 sampai uji 5 didapatkan nilai glukosa darah
masing masing uji yaitu 2.16 mg/dL, 2.03 mg/dL, 2.00 mg/dL, 2.06 mg/dL dan
1.77 mg/dL. Kemudian dihitung kadar rata rata yaitu 2.00 mg/dL. Berhubung
pengambilan darah dilakukan terhadap seseorang berjenis kelamin perempuan,
maka kadar batas normal asam urat yaitu 2.5-6.2 mg/dL. Didasarkan pada kadar
batas normal tersebut, dapat diketahui bahwa pendonor memiliki kadar asam urat
dalam tubuh dibawah normal. Artinya, yang menentukan seseorang di diagnosis
memiliki kadar asam urat yang tinngi atau rendah bukan hanya dari masalah
makanan saja. Bisa jadi pendonor memiliki kecenderungan dalam memproduksi
kadar asam urat yang rendah secara genetis (Luk, 2005). Sehingga, kadar asam
urat pendonor berada di bawah rentang 2,5-6,2 mg/dL.

Kadar batas normal pada perempuan lebih rendah dibandingkan dengan


kadar batas normal pada laki-laki, ini disebabkan perempuan memiliki hormon
estrogen dan progesterone dalam jumlah lebih banyak dari laki-laki yang dapat
berfungsi sebagai penghambat produksi asam urat dalam tubuh. Kadar asam urat
normal pada laki-laki lebih rendah yaitu 3,4-7 mg/dL. Dan untuk kestabilan kadar
asam urat dalam darah yaitu 6,8 mg/dL. Dalam NHANES III, perbandingan antara
laki-laki dan perempuan yang mngalami hiperurikemia adalah 4:1 pada usia
kurang dari 60 tahun. Hal ini memperlihatkan bahwa pada usia dewasa laki-laki
memiliki kadar asam urat lebih tinggi dari pada perempuan dan setelah
menopause kadar asam urat perempuan akan meningkat seimbang dengan laki-
laki pada usia yang sama (Luk, 2005).

Kemudian dilakukan perhitungan standar deviasi dan koefisien variasi atau


simpangan baku relatif untuk melihat presisi atau keseksamaan yang mengacu
pada kesepakatan antara hasil uji. Pada percobaan kali ini hasil perhitungan
standar deviasi yaitu 0,145 mg/dL, tujuannya untuk menghitung simpangan baku
relatif (RSD). Kemudian dihitung simpangan baku relatif. Adapun kriteria
seksama atau presisi diberikan jika metode memberikan nilai % RSD ≤ 2%.
Kriteria ini sangat fleksibel tergantung pada konsentrasi analit yang dianalisis,
jumlah sampel dan kondisi laboratorium. Semakin kecil jumlah komponen terukur
dalam sampel maka tingkat presisi atau % RSD semakin meningkat dan semakin
tidak presisi sebaliknya besarnya RSD menyatakan tingkat ketelitian analis,
semakin kecil % RSD yang dihasilkan maka semakin tinggi tingkat ketelitiannya
(Soeroso, 2011). Karena dari hasil pengamatan diperoleh RSD 7,25 % maka
metode uji tersebut mempunyai presisi yang tidak baik. Hal ini dapat disebabkan
oleh beberapa faktor, diantaranya (Azari RA, 2014) :

 Cara memipet yang kurang tepat


Pemipetan yang tidak benar dapat mempengaruhi hasil karena banyak atau
sedikitnya larutanyang dimasukan sangat berpengaruh terhadap hasil.
 Waktu inkubasi
Waktu inkubasi pada tabung yang didiamkan selama kurang lebih selama 10
menit tepat juga sangat mempengaruhi hasil pemeriksaan karena bisa jadi
antara waktu dan larutan tidak berbarengan saat stopwatch dinyalakan.
 Kondisi spektrofotometer
Alat yang digunakan, termasuk spektrofotometer harus dalam keadaan baik
agar hasil yang didapat merupakan hasil yang sebenarnya.
 Cara membawa tabung
Membawa tabung dari meja praktikum ke meja spektrofotometer pun harus
dilakukan dengan prosedur yang sesuai. Karena apabila cara membawa
tabung dengan cara digenggam oleh tangan, maka akan dipengaruhi oleh suhu
tubuh (tidak hanya oleh suhu ruang) maka hasil yang didapat pun berbeda.

KESIMPULAN

1. Pemeriksaan kadar asam urat dilakukan dengan metode enzimatik karena


metode ini memiliki kelebihan yaitu mempunyai presisi tinggi, spesifik,
relatif bebas dari gangguan oleh senyawa lain seperti bilirubin.
2. Nilai rata-rata pada pemeriksaan kadar asam urat yang di dapat pada
pengujian sampel yaitu 2.00 mg/dL.
3. Berdasarkan hasil penentuan pemeriksaan kadar asam urat dari sampel dapat
ditentukan bahwa sampel serum yang digunakan tidak masuk rentang 2,5-6,2
mg/dL diperkirakan bahwa pendonor memiliki kecenderungan dalam
memproduksi kadar asam urat yang rendah secara genetis.

DAFTAR PUSTAKA

Azari RA. (2014). Journal Reading : Artritis Gout. Semarang : Fakultas


Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung.

Budiman dan Riyanto. (2013). Kuesioner Pengetahuan dan Sikap Dalam


Penelitian Kesehatan. Jakarta : Salemba Medika.

Aalje.M. Widdy.B. (2011). Prevalensi Hiperurisemia Pada Remaja Obase di kota


Tomohon. Manado : Universitas Sam Ratulanggi.

Guder W.G, Narayan. S, Wisser. H, Zawta. B. (2009). Pre-Analytical Variables.


Brochure In : Samples: From The Patient to the Laboratory.
Darmstadt : GIT Verlag.

Ganong W.F. (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Editor Edisi Bahasa
Indonesia, H.M., Amalia, H. Edisi 10. Jakarta : EGC.
Lingga L. (2012). Bebas Penyakit Asam Urat Tanpa Obat. Jakarta : Agromedia
Pustaka.

Kiswari, R. (2014). Hematologi Transfusi. Jakarta : Erlangga.

Nengsi.S.W. Barhannuddin. (2014). Gambaran Asupan Purin, Penyakit Artritis


Gout, Kualitas Hidup Lanjut Usia di Kecamatan Tamalanrea.
Makassar : Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Hasanuddin.

Luk, A.J. dan Peter A.S. (2005). Epidemiology of Hiperuricemia and Gout. The
American Journal Of Managed Care, 11(15): 435-442.

Soeroso, J., Algristian. H. (2011). Asam Urat. Jakarta : Penebar Plus.

Anda mungkin juga menyukai