Oleh:
Kelompok 7
Golongan II
2.1 Urine
Urin merupakan cairan sisa metabolisme yang dieksresikan oleh ginjal
yang kemudian akan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses urinisasi
(Mukarramah dkk., 2018). Eksresi urin diperlukan untuk membuang molekul
sisa yang disaring oleh ginjal dan juga untuk menjaga hemostasis cairan tubuh
(Naid dkk., 2014). Urin dibentuk dari filtrasi darah, lalu dilanjutkan dengan
reabsorpsi zat penting dan kemudian sekresi tubular zat yang sudah tidak lagi
berguna bagi tubuh. Setelah urin terbentuk di dalam ginjal, urin disalurkan
dari ureter ke dalam saluran kemih, dimana urin tersebut akan kemudian
ditampung sementara sebelum diekskresikan melalui uretra (Mundt dan
Shanahan, 2016). Komposisi urine mencerminkan bahwa kemampuan ginjal
untuk menahan dan menyerap bahan-bahan yang penting untuk metabolisme
dasar dan mempertahankan homeostasis tubuh. Normalnya jumlah bahan yang
terdapat dalam urine selama 24 jam adalah 35gram bahan organik dan 25gram
bahan anorganik (Ma’arufah, 2004). Komposisi urine tergantung dari jenis
makanan serta air yang dikonsumsi. Urine normal biasanya berwarna jernih
transparan, sedangkan urine yang berwarna kuning muda urine ini biasanya
berasal dari zat warna empedu (bilirubin dan biliverdin). Urine normal pada
manusia terdiri dari urea, asam urat, klorida, air, kreatin, amoniak, asam laktat,
asam sulfat, garam terutama garam dapur, dan zat zat yang berlebihan didalam
darah misalnya vitamin C dan obat-obatan.
2.2 Pemeriksaan Protein Urine Secara Kualitatif (Tes Rebus)
Uji kualitatif dalam urine dapat dilakukan dengan tes rebus. Tes rebus
merupakan pengujian yang bertujuan untuk mengidentifikasi ada tidaknya
protein dalam urine (Washudi dkk., 2016). Prinsip dari uji ini, yaitu protein
dalam susunan asam lemah apabila dipanaskan akan mengalami denaturasi.
Tes rebus dilakukan dengan cara merebus urine dalam suasana asam
menggunakan asam asetat 6% dikatakan positif apabila muncul endapan atau
kekeruhan pada larutan uji (Santhi, 2020). Tingkat kekeruhan yang muncul
menjadi indikator kadar protein dalam urin (Astuti, 2017). Berikut merupakan
nilai normal untuk uji kualitatif protein pada urin dengan metode tes rebus.
Tabel 1. Nilai Normal Untuk Uji Kualitatif Protein Pada Urin Dengan
Metode Tes Rebus (Santhi, 2020)
- Tetap jernih dibandingkan urine kontrol
+1 Tampak kekeruhan minimal, dimana huruf cetak pada kertas masih
dapat terbaca, menembus kekeruhan ini
(kuantitatif~ 0,01-0,05 g%)
+2 Kekeruhan nyata dengan butir-butir halus, garis tebal dibaliknya
masih dapat terlihat
(kuantitatif~ 0,05-0,20 g%)
+3 Tampak gumpalan-gumpalan nyata
(kuantitatif~ 0,2- 0,50 g%)
+4 Tampak gumpalan-gumpalan besar dan membeku
(kuantitatif > 0,05 g%)
Syarat urine yang dipakai dalam metode ini harus jernih. Apabila tidak
jernih, maka harus dilakukan sentrifugasi dan yang digunakan adalah bagian
supernatan (Washudi dkk., 2016).
2.3 Pemeriksaan Protein Urine Secara Kuantitatif (Tes Esbach)
Uji kuantitatif protein dalam urine dapat dilakukan dengan menggunakan
Tes Esbach. Uji Esbach merupakan pemeriksaan untuk menilai kadar protein
dalam urine (proteinuria). Pemeriksaan kuantitatif albumin dalam urine
dilakukan dengan mencampurkan larutan asam pikrat 1% dalam air dan
larutan asam sitrat 2% dalam air dengan urine. Asam pikrat dapat
mengendapkan protein dan endapan ini dapat diukur secara kuantitatif.
Sedangkan asam sitrat digunakan untuk menjaga keasaman cairan. Hasil
positif dapat dilihat dengan adanya kekeruhan dan tingkat kekeruhan sesuai
dengan jumlah protein (Kurniati, 2010).
Tes Esbach yang disebut juga metode dipstick umumnya dilaporkan atau
interpretasi sebagai negatif, sedikit sekali, 1+ (paling dekat ke 30 mg/dL), 2+
(paling dekat ke 100 mg/dL), 3+ (paling dekat ke 300 mg/dL), dan 4+ (lebih
besar dari 2.000 mg/dL). Dipstick terutama mendeteksi albuminuria dan
kurang sensitif untuk bentuk protein lainnya misalnya, protein dengan berat
molekul rendah, protein Bence Jones, gamma globulin. Warna reaksi dipstick
bertambah tua dengan semakin meningkatnya kadar protein, hal ini
dikarenakan sensitifitasnya tinggi, dipstick dapat mendeteksi sejumlah protein
yang berada di urin dalam batas-batas normal. Karena reaksi dipstick tidak
dapat secara tepat mengukur ekskresi protein, maka proteinuria harus diukur
dengan metode yang lebih tepat antara lain asam sulfosalisilat pada
urintampungan selama waktu tertentu (lebih baik 24 jam) (Tjiptaningrum dan
Bayu, 2016).
Pada protein loss dalam urin menyebabkan retensi natrium, sehingga
menyebabkan ekspansi volume intravascular dimana ditandai dengan adanya
protein dalam urin. Selain itu, jika memiliki protein dalam bisa menjadi tanda
awal dari perkembangan penyakit ginjal. Penyebab protein loss oleh ginjal
berhubungan dengan kehilangan albumin, kehilangan gastrointestinal sering
menyebabkan rendahnya tingkat immunoglobulin, fibrinogen, transferin serta
seruloplasmin. Berbagai kondisi yang mempengaruhi setiap bagian dari
saluran pencernaan dapat menyebabkan protein loss.
Adapun cara perhitungan protein loss adalah sebagai berikut:
Protein loss = a g/L x V L/24 jam
Keterangan:
V L/24 jam = Volume Urine
a g/L = Tinggi Endapan
(Downie et al., 2017; Santhi, 2020)
BAB III
CARA KERJA
3.1 Alat
a. Tabung reaksi
b. Api bunsen
c. Penjepit kayu
d. Spuite
e. Tabung Esbach
f. Kertas lakmus merah
3.2 Bahan
a. Sampel urine
b. Asam asetat 6%
c. Reagen Esbach
Komposisi:
- Asam pikrat 10
- Asam sitrat 10
- Aquadest 1 L
d. Serbuk barium sulfat
3.3 Cara Kerja
A. Pemeriksaan Protein Urine Secara Kualitatif
Diambil urine sebanyak 5cc dengan menggunakan spuite
Jika diketahui urine sudah bersifat asam (kertas lakmus merah tidak
berubah warna) maka tidak perlu penambahan asam asetat 6%
Diisi tabung Esbach dengan urine sampai tanda U dan reagen esbach
sampai tanda R
Dibaca tingginya endapan yang terjadi setelah 24 jam dalam satuan g/L,
misalnya a g/L
Keterangan:
6.1 Pada hasil sampel urin dengan metode kualitatif menggunakan tes rebus,
diketahui bahwa urin tampak kekeruhan minimal dimana huruf cetak pada
kertas masih dapat terbaca dan menembus kekeruhan ini sehingga terdapat
sekitar 0,01-0,05 g% protein pada sampel urin tersebut. Serta apabila
mendapatkan hasil yang positif pada uji kualitatif, maka dapat dilanjutkan ke
uji kuantitatif.
6.2 Untuk dapat mengetahui kadar protein pada urin secara kuantitatif dengan tes
Esbach, maka dilakukan pemeriksaan dengan membaca tinggi endapan pada
tabung Esbach setelah dibiarkan selama 24 jam. Diketahui bahwa endapan
urin selama 24 jam adalah 1,2 L/jam dengan tinggi endapan adalah 1,5 g/liter
serta volume urin yang dipakai adalah 0,9 L/24 jam. Kemudian, dihitung
perolehan protein loss pada urin.
6.3 Untuk dapat mengetahui protein loss pada urine, maka perlu dihitung
perolehan protein loss pada urin dengan cara mengkalikan tinggi endapan
dengan jumlah urine selama 24 jam. Sehingga diperoleh hasilnya yaitu jumlah
protein loss dalam sampel adalah 1,35 gram/24 jam. Dari hasil tersebut, maka
dapat diketahui bahwa pasien mengandung protein pada urin diatas normal
bagi orang dewasa yaitu 150 mg/24 jam dan pasien mengalami proteinuria.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, D. S. 2017. Kadar Protein Urin Menggunakan Uji Asam Asetat pada
Mahasiswa Pendidikan Biologi Semester VI FKIP UMS 2017. Proceeding
Biology Education Conference. 14 (1): 36-38.
Baburaj, P. 2008. Hari’s Essentials of Clinical Medicine. New Delhi: Jaypee
Brothers Medical Publisher Ltd.
Brunzel, N.A. 2013. Fundamentals of Urin and Body Fluid Analysis Third
Edition. USA: Elsevier Saunders. Hal 126.
Downie, M.L., C. Gallibois, R.S. Parekh, and D.G. Noone. 2017. Nephrotic
Syndrome in Infants and Children: Pathophysiology and Management.
Paediatrics and International Child Health. 2017 (1): 1 – 11.
Farizal, J. 2020. Protein Urin pada Pekerja Buruh Sawit di PT. Palma Mas Sejati
Bengkulu Tengah. Journal of Nursing and Public Health. 8 (1): 54-57.
Indranila, K. S., dan Lukitaning, P. 2012. Akurasi Pemeriksaan Carik Celup pada
Urinalisis Proteinuria dan Glukosuria Dibandingkan dengan Metoda
Standard. Molucca Medica. 5 (1): 19-23.
Kurniati, M. 2010. Analisa Pemeriksaan Urine. Palembang: Universitas
Sriwijaya.
Lamb, J. E., Finlay, M., and Paul, E. S. 2009. How Should Proteinuria be
Detected and Measured. Annals of Clinical Biochemistry. 46: 205-217.
Loesnihari, R. 2012. Peran Analisa Urin pada Penanganan Penyakit Ginjal dan
Traktus Urinarius. Majalah Kedokteran Nusantara. 45 (3): 167-176.
Ma’arufah. 2004. Perbedaan antara Hasil Carik Celup dengan Metode
Mikroskopis sebagai Indikator adanya Sel Darah dalam Urin. Jurnal
Akademi Analisis Malang. 2 (2): 1-12.
Mukarramah, R., Nardin, dan Utami, N. 2018. Studi Hasil Pemeriksaan Protein
Urin Segera Pada Pasien Infeksi Saluran Kemih Menggunakan Asam
Sulfosalisilat Di RSU Wisata Universitas Indonesia Timur. Jurnal Media
Laboran. 8 (1): 21-26
Mundt, L. A., dan Shanahan, K. 2016. Graff’s Textbook of Urinalysis and Body
Fluids. 3rd Edition. Philadelphia: Wolters Kluwer.
Naid, T., Mangerangi, F., Almahdaly, H. 2014. Pengaruh Penundaan Waktu
terhadap Hasil Urinalisis Sedimen Urin. As-Syifaa. 6 (2): 212-219.
Pangulimang, A. P., Kaligis, S. H., dan Paruntu, M. E. 2018. Gambaran Kadar
Protein Urin pada Ibu Hamil Trimester III di Rumah Sakit Robert Wolter
Mongisidi Manado. e-Biomedik. 6 (2): 184-188.
Sacher, R. A. dan R. A. McPherson. 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan.
Cetakan 1. Jakarta: EGC.
Santhi, D.G.D.D. 2020. Penuntun Praktikum Kimia Klinik Therapeutic Drug
Monitoring melalui Pemeriksaan Urinalisis. Denpasar: Universitas
Udayana.
Syapera, N. W., Zamharira, M., dan Jon, F. 2020. Perbedaan Kadar Protein Urin
Sebelum dan Sesudah Latihan Fisik pada Atlet di Pusat Pendidikan dan
Latihan Pelajar (PPLP) Provinsi Bengkulu. Jurnal Analis Medika Biosains
(JAMBS). 7 (1): 75-80.
Tjiptaningrum, A. dan Hartanto, B. A. 2016. Dampak Proteinuria pada Anak.
Jurnal Majority. 5 (2): 22-26.
Washudi., Hariyanto, T., Kirnantoro. 2016. Praktikum Biomedik Dasar dalam
Keperawatan. Jakarta Selatan: Pusdik SDM Kesehatan.