Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN AKHIR

PRAKTIKUM PATOLOGI DAN KIMIA KLINIK


URINALISIS 2

Oleh:
Kelompok 7
Golongan II

Ni Luh Putri Aristha Dewi (1908551084)


Ni Made Frida Yanti (1908551085)
Diah Mawarni Fitriari (1908551086)
Dinda Dwi Prameswari (1908551087)
Ni Putu Dhea Prameswari Awidiya Putri (1908551088)

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Urin merupakan cairan sisa yang diekskresikan oleh ginjal yang akan
dikeluarkan melalui proses urinari dimana urin sebagai produk metabolisme
memiliki kandungan berbagai zat yang sudah tak digunakan oleh tubuh.
Keberadaan zat yang masih berguna bagi tubuh dalam kandungan urin
menandakan berkaitan dengan metabolisme dan ekskresi seperti kondisi
ginjal, liver, dan pankreas dimana salah satunya adalah kesalahan fungsi
ginjal dalam bekerja sebagai filter. Salah satu zat yang berguna dalam tubuh
namun sering terdapat di dalam urin adalah protein. Protein memiliki fungsi
yaitu zat pembangun atau pembentuk struktur sel seperti untuk
pembentukan kulit, otot, rambut, membran sel, hati, ginjal dan beberapa
organ penting lainnya (Astuti, 2017; Mukarramah dkk., 2018).
Keberadaan protein pada urin menandakan terdapat kebocoran pada
glomerulus dimana glomerulus adalah bagian nefron yang berfungsi
memfilter berbagai zat sisa metabolisme. Pada kondisi normal, protein akan
menuju arteri efferent dan kembali ke jantung. Namun, kebocoran dan
kerusakan glomerulus menyebabkan molekul protein terbuang pada urin
sehinga dapat mengakibatkan proteinuria yaitu protein yang terdapat urin
melebihi kadar normalnya yaitu lebih dari 150 mg/ 24 jam. Hal ini biasanya
menandakan penyakit ginjal atau nefritis (Farizal, 2020; Syapera dkk.,
2020).
Pemeriksaan terhadap protein urin diketahui dari timbulnya kekeruhan
dimana tingkat kekeruhan tersebut yang menjadi indikator dari kadar protein
dalam urin (Mukarramah dkk., 2018). Uji protein menggunakan asam asetat
6% merupakan pengujian kadar protein secara kualitatif dimana hasil yang
diperoleh disimpulkan dari penilaian kondisi urin yang menunjukkan reaksi
positif terhadap reagen uji dengan cara dipanaskan. (Astuti, 2017). Tes
Esbach adalah pemeriksaan untuk menilai kadar protein dalam urin
(proteinuria) dimana tes ini juga disebut dengan metode dipstick. Metode ini
merupakan pemeriksaan kuantitatif. Metode ini sangat sensitif terhadap
albumin namun kurang sensitif terhadap protein (Indranila dan Lukitaning,
2012). Oleh karena itu, kehilangan albumin pada urin dapat terjadi tanpa
menyebabkan peningkatan yang signifikan dan terukur dalam kehilangan
protein loss urin (Lamb et al., 2009).
1.2 Tujuan Praktikum
1.2.1 Mahasiswa mampu mengetahui kadar protein di dalam urine secara
kualitatif dengan tes rebus.
1.2.2 Mahasiswa mampu mengetahui kadar protein di dalam urine secara
kuantitatif dengan tes Esbach.
1.2.3 Mahasiswa mampu mengetahui protein loss pada urine.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Urine
Urin merupakan cairan sisa metabolisme yang dieksresikan oleh ginjal
yang kemudian akan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses urinisasi
(Mukarramah dkk., 2018). Eksresi urin diperlukan untuk membuang molekul
sisa yang disaring oleh ginjal dan juga untuk menjaga hemostasis cairan tubuh
(Naid dkk., 2014). Urin dibentuk dari filtrasi darah, lalu dilanjutkan dengan
reabsorpsi zat penting dan kemudian sekresi tubular zat yang sudah tidak lagi
berguna bagi tubuh. Setelah urin terbentuk di dalam ginjal, urin disalurkan
dari ureter ke dalam saluran kemih, dimana urin tersebut akan kemudian
ditampung sementara sebelum diekskresikan melalui uretra (Mundt dan
Shanahan, 2016). Komposisi urine mencerminkan bahwa kemampuan ginjal
untuk menahan dan menyerap bahan-bahan yang penting untuk metabolisme
dasar dan mempertahankan homeostasis tubuh. Normalnya jumlah bahan yang
terdapat dalam urine selama 24 jam adalah 35gram bahan organik dan 25gram
bahan anorganik (Ma’arufah, 2004). Komposisi urine tergantung dari jenis
makanan serta air yang dikonsumsi. Urine normal biasanya berwarna jernih
transparan, sedangkan urine yang berwarna kuning muda urine ini biasanya
berasal dari zat warna empedu (bilirubin dan biliverdin). Urine normal pada
manusia terdiri dari urea, asam urat, klorida, air, kreatin, amoniak, asam laktat,
asam sulfat, garam terutama garam dapur, dan zat zat yang berlebihan didalam
darah misalnya vitamin C dan obat-obatan.
2.2 Pemeriksaan Protein Urine Secara Kualitatif (Tes Rebus)
Uji kualitatif dalam urine dapat dilakukan dengan tes rebus. Tes rebus
merupakan pengujian yang bertujuan untuk mengidentifikasi ada tidaknya
protein dalam urine (Washudi dkk., 2016). Prinsip dari uji ini, yaitu protein
dalam susunan asam lemah apabila dipanaskan akan mengalami denaturasi.
Tes rebus dilakukan dengan cara merebus urine dalam suasana asam
menggunakan asam asetat 6% dikatakan positif apabila muncul endapan atau
kekeruhan pada larutan uji (Santhi, 2020). Tingkat kekeruhan yang muncul
menjadi indikator kadar protein dalam urin (Astuti, 2017). Berikut merupakan
nilai normal untuk uji kualitatif protein pada urin dengan metode tes rebus.
Tabel 1. Nilai Normal Untuk Uji Kualitatif Protein Pada Urin Dengan
Metode Tes Rebus (Santhi, 2020)
- Tetap jernih dibandingkan urine kontrol
+1 Tampak kekeruhan minimal, dimana huruf cetak pada kertas masih
dapat terbaca, menembus kekeruhan ini
(kuantitatif~ 0,01-0,05 g%)
+2 Kekeruhan nyata dengan butir-butir halus, garis tebal dibaliknya
masih dapat terlihat
(kuantitatif~ 0,05-0,20 g%)
+3 Tampak gumpalan-gumpalan nyata
(kuantitatif~ 0,2- 0,50 g%)
+4 Tampak gumpalan-gumpalan besar dan membeku
(kuantitatif > 0,05 g%)
Syarat urine yang dipakai dalam metode ini harus jernih. Apabila tidak
jernih, maka harus dilakukan sentrifugasi dan yang digunakan adalah bagian
supernatan (Washudi dkk., 2016).
2.3 Pemeriksaan Protein Urine Secara Kuantitatif (Tes Esbach)
Uji kuantitatif protein dalam urine dapat dilakukan dengan menggunakan
Tes Esbach. Uji Esbach merupakan pemeriksaan untuk menilai kadar protein
dalam urine (proteinuria). Pemeriksaan kuantitatif albumin dalam urine
dilakukan dengan mencampurkan larutan asam pikrat 1% dalam air dan
larutan asam sitrat 2% dalam air dengan urine. Asam pikrat dapat
mengendapkan protein dan endapan ini dapat diukur secara kuantitatif.
Sedangkan asam sitrat digunakan untuk menjaga keasaman cairan. Hasil
positif dapat dilihat dengan adanya kekeruhan dan tingkat kekeruhan sesuai
dengan jumlah protein (Kurniati, 2010).
Tes Esbach yang disebut juga metode dipstick umumnya dilaporkan atau
interpretasi sebagai negatif, sedikit sekali, 1+ (paling dekat ke 30 mg/dL), 2+
(paling dekat ke 100 mg/dL), 3+ (paling dekat ke 300 mg/dL), dan 4+ (lebih
besar dari 2.000 mg/dL). Dipstick terutama mendeteksi albuminuria dan
kurang sensitif untuk bentuk protein lainnya misalnya, protein dengan berat
molekul rendah, protein Bence Jones, gamma globulin. Warna reaksi dipstick
bertambah tua dengan semakin meningkatnya kadar protein, hal ini
dikarenakan sensitifitasnya tinggi, dipstick dapat mendeteksi sejumlah protein
yang berada di urin dalam batas-batas normal. Karena reaksi dipstick tidak
dapat secara tepat mengukur ekskresi protein, maka proteinuria harus diukur
dengan metode yang lebih tepat antara lain asam sulfosalisilat pada
urintampungan selama waktu tertentu (lebih baik 24 jam) (Tjiptaningrum dan
Bayu, 2016).
Pada protein loss dalam urin menyebabkan retensi natrium, sehingga
menyebabkan ekspansi volume intravascular dimana ditandai dengan adanya
protein dalam urin. Selain itu, jika memiliki protein dalam bisa menjadi tanda
awal dari perkembangan penyakit ginjal. Penyebab protein loss oleh ginjal
berhubungan dengan kehilangan albumin, kehilangan gastrointestinal sering
menyebabkan rendahnya tingkat immunoglobulin, fibrinogen, transferin serta
seruloplasmin. Berbagai kondisi yang mempengaruhi setiap bagian dari
saluran pencernaan dapat menyebabkan protein loss.
Adapun cara perhitungan protein loss adalah sebagai berikut:
Protein loss = a g/L x V L/24 jam
Keterangan:
V L/24 jam = Volume Urine
a g/L = Tinggi Endapan
(Downie et al., 2017; Santhi, 2020)
BAB III
CARA KERJA
3.1 Alat
a. Tabung reaksi
b. Api bunsen
c. Penjepit kayu
d. Spuite
e. Tabung Esbach
f. Kertas lakmus merah
3.2 Bahan
a. Sampel urine
b. Asam asetat 6%
c. Reagen Esbach
Komposisi:
- Asam pikrat 10
- Asam sitrat 10
- Aquadest 1 L
d. Serbuk barium sulfat
3.3 Cara Kerja
A. Pemeriksaan Protein Urine Secara Kualitatif
Diambil urine sebanyak 5cc dengan menggunakan spuite

Dimasukkan urine ke dalam tabung reaksi

Dipanaskan diatas api Bunsen dengan keadaan tabung reaksi miring


(untuk mencegah letupan) hingga mendidih

Diamati perubahan warna yang terjadi


Dipanaskan kembali tabung reaksi tersebut setelah ditetesi asam asetat
6% sebanyak 3 tetes hingga mendidih

Dibiarkan dingin dan dibaca hasilnya.

B. Pemeriksaan Protein Urine Secara Kuantitatif


Dilakukan pengukuran pH urine dengan menggunakan kertas lakmus
merah pada urine

Jika diketahui urine sudah bersifat asam (kertas lakmus merah tidak
berubah warna) maka tidak perlu penambahan asam asetat 6%

Diisi tabung Esbach dengan urine sampai tanda U dan reagen esbach
sampai tanda R

Ditutup tabung Esbach dengan gabus penutupnya, bolak balik beberapa


kali agar urine dan reagen Esbach tercampur baik, biarkan pada suhu
kamar selama 24 jam

Dibaca tingginya endapan yang terjadi setelah 24 jam dalam satuan g/L,
misalnya a g/L

Pada praktikum biasanya ditambahkan serbuk barium sulfat (untuk


mempercepat pengendapan) ditutup tabung dan kocok kembali.
Ditunggu 30 menit hingga terbentuk endapan dan diukur tinggi
endapan.
Dihitung protein loss dengan perhitungan sebagai berikut.

Keterangan:

Volume urine = V L/24 jam

Tinggi endapan = a g/L

Protein loss = (a g/L × V L/24 jam) = aV g/24 jam


BAB IV
HASIL KEGIATAN PRAKTIKUM

4.1 Uji Kualitatif Protein Urine (Tes Rebus)

Gambar 1. Uji Protein Urin dengan Tes Rebus


Tabel 2. Hasil Uji Kualitatif Protein Urin Sampel
Sampel Hasil Interpretasi Kualititatif
(Positif/
Negatif)
Sampel Urin Tampak +1 Tampak kekeruhan
Segar Kelompok kekeruhan minimal, dimana
7B minimal, huruf cetak pada
dimana huruf kertas masih dapat
cetak pada terbaca, menembus
kertas masih kekeruhan ini (+1)
dapat terbaca, yang artinya terdapat
menembus sekitar 0,01- 0,05 g%
kekeruhan ini. protein dalam sampel
tersebut.
4.2 Uji Kuantitatif Urine (Tes Esbach) dan Protein Loss

Gambar 2. Uji Protein Urin dengan Tes Esbach


a. Perhitungan Protein Loss
Tabel 3. Hasil Uji Kuantitatif Protein Urin Sampel
Sampel Sampel urin 24 jam
Hasil (g/L) 1,5
Volume Urine 0,9
(L/24 jam)
Protein Loss Diketahui:
(g/24 jam) Volume urine = 0,9 L/24 jam
Tinggi endapan = 1,5 g/L
Ditanya:
Protein Loss =…?
Jawab:
Protein Loss = a (g/L) x V (L/24 jam)
= 1,5 g/L x 0,9 L/24 jam
= 1,35 g/24 jam
Interpretasi Dari hasil protein loss yang diperoleh 1,35 g/24
jam dengan nilai berada di atas normal yaitu
150mg/24 jam (0,15g/24 jam), dari hasil
tersebut dapat dikatakan bahwa pasien
mengalami proteinuria yang kemungkinan
disebabkan karena rusaknya fungsi ginjal pada
pasien.
BAB V
PEMBAHASAN
Pada praktikum ini, dilakukan uji adanya protein pada urin secara kualitatif
menggunakan metode tes rebus sedangkan secara kuantitatif menggunakan
metode tes Esbach. Pemeriksaan terhadap urin dapat membantu menetapkan
diagnose suatu penyakit sehingga lebih mudah menetapkan terapi yang tepat. Pada
pemeriksaan protein pada urin ini termasuk pemeriksaan rutin dimana untuk
menyatakan adanya protein pada urin maka urin akan timbul kekeruhan sehingga
harus dibandingkan dengan urin yang jernih agar dapat dibedakan mana urin yang
normal dan mana urin yang mengandung protein (Mukarramah dkk., 2018).
5.1 Pemeriksaan Protein Urine Secara Kualitatif (Tes Rebus)
Pemeriksaan protein dalam urin secara kualitatif dilakukan dengan metode
rebus. Tes rebus bertujuan untuk mengidentifikasi ada tidaknya protein dalam
urin. Prinsip tes rebus, yaitu protein dalam suasana lemah apabila dipanaskan
akan mengalami denaturasi (Washudi dkk., 2016). Uji ini dilakukan dengan
mengambil urine sebanyak 5cc menggunakan spuite kemudian dimasukkan ke
dalam tabung reaksi. Panaskan tabung diatas api Bunsen dalam keadaan
miring hingga mendidih. Tabung diletakkan miring untuk mencegah
terjadinya letupan. Kemudian amati perubahan yang terjadi dan bandingkan
dengan urine kontrol. Panaskan kembali tabung reaksi tersebut. Apabila
terjadi kekeruhan, ditambahkan 3 tetes asam asetat 6% ke dalam sampel
dimana asam asetat tersebut berfungsi untuk mempresipitasi dari kristal, bahan
amorf, fosfat, ammonium urate, dan karbonat sehingga menyebabkan urin
menjadi keruh. Penambahan asam asetat juga bertujuan untuk memberikan
suasana asam lemah pada urine (Loesnihari, 2012). Kemudian, panaskan
kembali hingga mendidih. Dibiarkan hingga dingin lalu bandingkan dengan
sampel urine. Berdasarkan pemeriksaan protein urine dengan tes rebus
diperoleh hasil tampak kekeruhan minimal yang mana huruf cetak pada
kertas masih dapat terbaca dan menembus kekeruhan (+1). Hasil ini
menunjukkan mengandung sekitar 0,01- 0,05 g% protein dalam sampel,
sehingga perlu dilanjutkan dengan uji kuantitatif pada urin pasien untuk
mengetahui kadar protein dalam urin pasien.
Apabila dalam uji kualitatif sampel urin mendapatkan hasil yang positif
mengandung protein yang ditandai dengan adanya endapan protein dalam
suasana asam akibat pemanasan, maka dilakukan uji kuantitatif pada sampel
urin untuk mengetahui kadar protein yang ada dalam urin tersebut.
Mekanisme keluarnya albumin atau protein dari dalam tubuh melalui urin
adalah peningkatan permeabilitas di tingkat glomerulus yang menyebabkan
protein lolos ke dalam filtrat glomerulus. Konsentrasi protein tersebut
melebihi kemampuan sel-sel tubulus ginjal mengreabsorpsi dan
memprosesnya. Secara tradisional, kadar proteinuria diperkirakan bermakna
untuk menilai keparahan penyakit ginjal. Pada keadaan normal, seharusnya
urin yang diuji tidak mengandung protein sama sekali. Tetapi, apabila terjadi
peradangan pada ginjal maka akan terjadi proteinuria (Sacher dan McPherson,
2004).
5.2 Pemeriksaan Protein Urine Secara Kuantitatif (Tes Esbach)
Uji Esbach merupakan pemeriksaan untuk menilai kadar protein dalam
urine (proteinuria). Pemeriksaan protein urine secara kuantitatif dilakukan
dengan menggunakan sampel urine 24 jam. Langkah pertama dalam
pemeriksaan kuantitatif adalah diukur pH urine terlebih dahulu menggunakan
kertas lakmus merah, apabila lakmus tetap berwarna merah maka
menunjukkan pH sampel urine tersebut bersifat asam. Sampel urine yang
digunakan diharapkan memiliki pH asam, apabila tidak bersifat asam maka
sampel ditambahkan asam asetat 6% untuk menurunkan pH sehingga urin
dapat bersifat asam. Selanjutnya urine dimasukkan ke dalam tabung esbach
hingga tanda U. Pemeriksaan urine secara kuantitatif dilakukan dengan
menambahkan reagen esbach ke dalam sampel urine hingga tanda R dimana
reagen esbach dibuat dengan mencampurkan larutan asam pikrat 1% dalam air
dan larutan asam sitrat 2% dalam air dengan urine. Asam pikrat dapat
mengendapkan protein dan endapan ini dapat diukur secara kuantitatif.
Sedangkan asam sitrat digunakan untuk menjaga keasaman cairan (Kurniati,
2010). Kemudian tutup tabung Esbach dengan gabus penutupnya, bolak balik
beberapa kali agar urine dan reagen esbach tercampur baik. Selanjutnya urine
dibiarkan selama 24 jam. Apabila ingin mempercepat proses pengendapan
maka dilakukan dengan menambahkan Barium Sulfat kemudian didiamkan
selama 30 menit hingga terbentuk endapan. Barium sulfat merupakan salah
satu garam anorganik yang dapat mempengaruhi kelarutan protein. Adanya
penambahan Barium sulfat akan mempercepat proses salting out, sehingga
mempercepat proses pengendapan protein.
Pada praktikum kali ini hasil pemeriksaan dilakukan dengan membaca
tinggi endapan pada tabung Esbach setelah dibiarkan selama 24 jam, pada
sampel didapatkan tinggi endapan 1,5 g/liter. Dihitung perolehan protein loss
dengan cara mengkalikan tinggi endapan dengan jumlah urine selama 24 jam.
Diperoleh endapan selama 24 jam adalah 1,2 Liter/jam. Dari hal tersebut
diperoleh jumlah protein loss di dalam sampel 1,35 gram/24 jam dapat
disimpulkan bahwa pasien hasil kandungan protein pada urine pasien di atas
normal untuk orang dewasa yakni 150mg/24jam (0,15g/24 jam) dan dapat
disimpulkan bahwa pasien mengalami proteinuria. Proteinuria atau
albuminuria terjadi ketika protein yang terdapat dalam urine lebih dari batas
normal, yaitu lebih dari 0,15 gram/24 jam (Baburaj, 2008).
Terdapat dua jenis proteinuria yakni yang kedua terdapat proteinuria tipe
patologik umumnya mengindikasikan adanya penyakit pada pasien
(Pangulimang dkk., 2018). Penyakit penyebab proteinuria patologik dapat
digolongkan kembali menjadi tiga. Tipe pertama merupakan pre-renal yang
dapat disebabkan karena cedera otot, hemolisis, infeksi, peradangan dan
kerusakan pada organ-organ sebelum ginjal seperti hati. Tipe kedua adalah
renal yang dapat disebabkan oleh kerusakan ginjal. Serta tipe terakhir adalah
post-renal yang mana dapat disebabkan oleh peradangan, cedera ataupun
trauma, serta kerusakan pada organ-organ setelah ginjal misalnya saluran
vesika urinaria dan ureter (Brunzel, 2013). Yang kedua yaitu proteinuria
fisiologis yang bersifat sementara dan umumnya kadar protein dalam urine
berkisar < 200mg/24 jam. Proteinuria ini umumnya terjadi karena kondisi
tertentu seperti wanita hamil, demam, hipertensi, kerja berat, dan lain lain.
Jenis yang lain adalah proteinuria patologik, proteinuria ini umumnya
memiliki kadar urine > 200mg/24 jam. Berdasarkan kadar protein pada urine
yang diperoleh yakni 1,35gram/24 jam maka dapat disimpulkan bahwa pasien
mengalami proteinuria patologik dan perlu dilakukan pemeriksaan penyakit
yang dialami oleh pasien.
BAB VI
KESIMPULAN

6.1 Pada hasil sampel urin dengan metode kualitatif menggunakan tes rebus,
diketahui bahwa urin tampak kekeruhan minimal dimana huruf cetak pada
kertas masih dapat terbaca dan menembus kekeruhan ini sehingga terdapat
sekitar 0,01-0,05 g% protein pada sampel urin tersebut. Serta apabila
mendapatkan hasil yang positif pada uji kualitatif, maka dapat dilanjutkan ke
uji kuantitatif.
6.2 Untuk dapat mengetahui kadar protein pada urin secara kuantitatif dengan tes
Esbach, maka dilakukan pemeriksaan dengan membaca tinggi endapan pada
tabung Esbach setelah dibiarkan selama 24 jam. Diketahui bahwa endapan
urin selama 24 jam adalah 1,2 L/jam dengan tinggi endapan adalah 1,5 g/liter
serta volume urin yang dipakai adalah 0,9 L/24 jam. Kemudian, dihitung
perolehan protein loss pada urin.
6.3 Untuk dapat mengetahui protein loss pada urine, maka perlu dihitung
perolehan protein loss pada urin dengan cara mengkalikan tinggi endapan
dengan jumlah urine selama 24 jam. Sehingga diperoleh hasilnya yaitu jumlah
protein loss dalam sampel adalah 1,35 gram/24 jam. Dari hasil tersebut, maka
dapat diketahui bahwa pasien mengandung protein pada urin diatas normal
bagi orang dewasa yaitu 150 mg/24 jam dan pasien mengalami proteinuria.
DAFTAR PUSTAKA

Astuti, D. S. 2017. Kadar Protein Urin Menggunakan Uji Asam Asetat pada
Mahasiswa Pendidikan Biologi Semester VI FKIP UMS 2017. Proceeding
Biology Education Conference. 14 (1): 36-38.
Baburaj, P. 2008. Hari’s Essentials of Clinical Medicine. New Delhi: Jaypee
Brothers Medical Publisher Ltd.
Brunzel, N.A. 2013. Fundamentals of Urin and Body Fluid Analysis Third
Edition. USA: Elsevier Saunders. Hal 126.
Downie, M.L., C. Gallibois, R.S. Parekh, and D.G. Noone. 2017. Nephrotic
Syndrome in Infants and Children: Pathophysiology and Management.
Paediatrics and International Child Health. 2017 (1): 1 – 11.
Farizal, J. 2020. Protein Urin pada Pekerja Buruh Sawit di PT. Palma Mas Sejati
Bengkulu Tengah. Journal of Nursing and Public Health. 8 (1): 54-57.
Indranila, K. S., dan Lukitaning, P. 2012. Akurasi Pemeriksaan Carik Celup pada
Urinalisis Proteinuria dan Glukosuria Dibandingkan dengan Metoda
Standard. Molucca Medica. 5 (1): 19-23.
Kurniati, M. 2010. Analisa Pemeriksaan Urine. Palembang: Universitas
Sriwijaya.
Lamb, J. E., Finlay, M., and Paul, E. S. 2009. How Should Proteinuria be
Detected and Measured. Annals of Clinical Biochemistry. 46: 205-217.
Loesnihari, R. 2012. Peran Analisa Urin pada Penanganan Penyakit Ginjal dan
Traktus Urinarius. Majalah Kedokteran Nusantara. 45 (3): 167-176.
Ma’arufah. 2004. Perbedaan antara Hasil Carik Celup dengan Metode
Mikroskopis sebagai Indikator adanya Sel Darah dalam Urin. Jurnal
Akademi Analisis Malang. 2 (2): 1-12.
Mukarramah, R., Nardin, dan Utami, N. 2018. Studi Hasil Pemeriksaan Protein
Urin Segera Pada Pasien Infeksi Saluran Kemih Menggunakan Asam
Sulfosalisilat Di RSU Wisata Universitas Indonesia Timur. Jurnal Media
Laboran. 8 (1): 21-26
Mundt, L. A., dan Shanahan, K. 2016. Graff’s Textbook of Urinalysis and Body
Fluids. 3rd Edition. Philadelphia: Wolters Kluwer.
Naid, T., Mangerangi, F., Almahdaly, H. 2014. Pengaruh Penundaan Waktu
terhadap Hasil Urinalisis Sedimen Urin. As-Syifaa. 6 (2): 212-219.
Pangulimang, A. P., Kaligis, S. H., dan Paruntu, M. E. 2018. Gambaran Kadar
Protein Urin pada Ibu Hamil Trimester III di Rumah Sakit Robert Wolter
Mongisidi Manado. e-Biomedik. 6 (2): 184-188.
Sacher, R. A. dan R. A. McPherson. 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan.
Cetakan 1. Jakarta: EGC.
Santhi, D.G.D.D. 2020. Penuntun Praktikum Kimia Klinik Therapeutic Drug
Monitoring melalui Pemeriksaan Urinalisis. Denpasar: Universitas
Udayana.
Syapera, N. W., Zamharira, M., dan Jon, F. 2020. Perbedaan Kadar Protein Urin
Sebelum dan Sesudah Latihan Fisik pada Atlet di Pusat Pendidikan dan
Latihan Pelajar (PPLP) Provinsi Bengkulu. Jurnal Analis Medika Biosains
(JAMBS). 7 (1): 75-80.
Tjiptaningrum, A. dan Hartanto, B. A. 2016. Dampak Proteinuria pada Anak.
Jurnal Majority. 5 (2): 22-26.
Washudi., Hariyanto, T., Kirnantoro. 2016. Praktikum Biomedik Dasar dalam
Keperawatan. Jakarta Selatan: Pusdik SDM Kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai