Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA KLINIK

PRAKTIKUM URINALISIS 2
UJI KUALITATIF PROTEIN DALAM URINE (TES
REBUS), UJI KUANTITATIF PROTEIN DALAM URINE
(TES ESBACH) DAN PEMERIKSAAN PROTEIN LOSS

OLEH:
GOLONGAN 1
KELOMPOK 4A

ANDREW BORNEO SALIAN P. (1608551023)


NI LUH GEDE WIWIN PEBRIANI (1608551024)
PUTU ARISTIAWATI DUARSA (1608551026)
NI LUH CINTYA DARMIA PUTRI (1608551027)
LUH PUTU AYU MERYTA (1608551028)
NI PUTU AYU INTEN ARTANIA (1608551029)

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2019
PRAKTIKUM URINALISIS 2
UJI KUALITATIF PROTEIN DALAM URINE (TES REBUS), UJI
KUANTITATIF PROTEIN DALAM URINE (TES ESBACH) DAN
PEMERIKSAAN PROTEIN LOSS

I. TUJUAN
1.1 Untuk mengetahui kadar protein dalam urine secara kualitatif.
1.2 Untuk mengetahui kadar protein dalam urine secara kuantitatif.

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Urin
Urin merupakan produk metabolisme yang memiliki kandungan berbagai
zat yang tidak digunakan lagi oleh tubuh. Zat tersebut diantaranya adalah
nitrogen, urea, dan amonia. Kandungan urin menjadi indikasi berbagai fungsi faal
dalam tubuh yang berkaitan dengan metabolisme dan ekskresi, diantaranya adalah
kondisi ginjal, liver, dan pankreas (Astuti, 2017). Urine 24 jam merupakan semua
urin yang ditampung selama 24 jam yang mana urine yang keluar pertama kali
pada pagi hari tidak ditampung, karena merupakan hasil dari malam harinya.
Sehingga urin mulai ditampung setelah berkemih pertama kali pada pagi hari
sampai pasien berkemih pertama kali pada pagi hari di hari berikutnya
(Sukmawati dan Suarta, 2007).
2.2 Proteinuria
Proteinuria merupakan suatu keadaan terdapatnya protein dalam urin.
Deteksi protein yang diekskresikan dalam urin telah banyak digunakan dalam
pemeriksaan penyakit ginjal. Proteinuria mengidentifikasi pasien dengan
kerusakan ginjal dan mereka yang berisiko untuk memburuknya penyakit ginjal
dan peningkatan morbiditas kardiovaskular. Seseorang dengan proteinuria dalam
pengaturan laju filtrasi glomerulus normal [Glomerular Filtration Rate (GFR)]
beresiko tinggi kehilangan fungsi ginjal secara progresif (Glassock et al., 2015;
Levey et al., 2015).

1
Ekskresi protein urin normal adalah <150 mg / 24 jam dan sebagian besar
terdiri dari protein yang disekresikan seperti protein Tamm-Horsfall. Tingkat
ekskresi albumin rata-rata normal [Albumin Excretion Rate (AER)] adalah 5-10
mg / hari, dengan AER> 30 mg / hari dianggap abnormal. AER antara 30 hingga
300 mg / hari disebut peningkatan albuminuria. Kadar lebih besar dari 300 mg /
hari disebut albuminuria yang sangat meningkat. Dahulu, peningkatan
albuminuria sedang dan berat masing-masing disebut sebagai mikroalbuminuria
dan makroalbuminuria. Albuminuria yang bertahan selama 3 bulan dianggap
CKD (Chronic Kidney Diseases). Proteinuria rentang nefrotik didefinisikan
sebagai lebih dari 3,5 g protein yang diekskresikan dalam urin selama 24 jam
(Glassock et al., 2015; Levey et al., 2015). .
Proteinuria dapat dibedakan berdasarkan hal-hal berikut:
 Jumlah protein (nefrotik atau non-nefrotik)
 Jenis protein (albuminuria atau proteinuria dengan berat molekul rendah)
 Kerusakan patologis yang mendasarinya (glomerulus vs non-glomerulus).
2.3 Koagulasi Protein
Kebanyakan protein hanya berfungsi aktif biologis pada daerah pH dan suhu
yang terbatas. Jika pH dan suhu melewati batas-batas tersebut, protein akan
mengalami denaturasi. Proses kembalinya protein ke bentuk asal setelah terjadi
denaturasi disebut renaturasi. Untuk pengembalian ini tidak diperlukan bahan
kimia, biasanya terjadi karena perubahan pH atau suhu. Protein jika berada dalam
bentuk larutan akan berupa koloid sebab tergolong molekul koloid. Faktor-faktor
yang mempengaruhi koagulasi protein adalah (Naga et al., 2010) :
 pH.
Protein akan menggumpal pada pH asam, yaitu pada pH sekitar 4,5. Tetapi
pH yang digunakan jangan terlalu asam, karena dapat menimbulkan aroma
yang berbau asam.
 Suhu.
Semakin tinggi suhu, protein yang mengendap akan semakin banyak,
tetapi bila protein yang digumpalkan akan dibuat menjadi makanan, suhu

2
yang digunakan tidak boleh terlalu tinggi karena akan merusak protein
tersebut.
2.4 Uji Kualitatif
Metode rebus dengan asam asetat 6% merupakan slaah satu metode
pemeriksaan kualitatif protein pada urin yang sederhana. Metode ini bekerja
berdasarkan prinsip koagulasi protein dalam peningkatan temperatur dan suasana
asam. Dalam pemeriksaaannya urin dipanaskan terlebih dahulu dan jika terbentuk
koagulasi, kemudian dilakukan penambahan asam asetat untuk memastikan bahwa
yang mengalami koagulasi adalah protein. Jika endapan koagulan terlarut setelah
penambahan asam, endapan tersebut bukan merupakan hasil koagulai protein,
namun merupakan endapan fosfat dan karbonat. Jika endapan koagulasi tidak
melarut, maka itu merupakan koagulasi protein (Mundt and Shanahan, 2011).
Tingkat kekeruhan yang ditimbulkan akibat koagulasi protein dapat ditentukan
dengan cara seperti gambar dibawah ini (Dissanayake et al., 2004).

Gambar 1. Cara Mengintepretasikan Hasil Metode Rebus dengan Asam Asetat


Metode rebus dengan asam asetat memiliki sensitifitas pemeriksaan 5-10
mg/dl. Pemeriksaan ini lebih sensitive jika untuk memeriksa albumin, pepton dan
protein bence jones. Pemeriksaan protein urin metode rebus dengan asam asetat
6% memiliki kelebihan yaitu cukup senditif karena protein sebanyak 0,004%
dapat dinyatakan menggunakan metode ini, namun terdapat kekurangan yaitu
apabila urin encer yang memiliki berat jenis rendah tidak dapat diperiksa

3
mengggunakan metode ini karena menyebabkan hasil negative palsu
(Gandasoebrata R, 2007).

2.5 Uji Kuantitatif


Pengujian kuantitatif kandungan protein dalam urin dapat dilakukan dengan
menggunakan suatu reagen yang spesifik untuk menguji adanya protein dalam
urin. Reagen yang digunakan untuk pengujian adalah reagen Esbach, yang mana
reagen Esbach terdiri dari asam pikrat, asam sitrat, dan air. Asam pikrat inilah
yang dapat mengendapkan protein dan endapan yang terbentuk dapat diukur
secara kuantitatif. Pemeriksaan urin dengan tes Esbach sensitif terhadap 60mg/L
albumin (protein), tetapi kurang sensitif terhadap protein Bence Jones dan protein
lain yang berat molekulnya rendah, misalnya β2-mikroglobulin (Sacher dan
McPherson, 2004).
Beberapa kelemahan uji Esbach seperti pada pengukuran kualitatif sulit
dilakukan pada anak-anak terutama pada yang tidak bisa mengendalikan buang air
kecil karena hal ini akan menimbulkan kesulitan dalam pengumpulan urin 24 jam
atau urin semalam, sering terjadi kesalahan selama menghitung waktu dan saat
mengakomodasi urin, dan hasil yang didapat tidak akurat (Sukmawati dan Suarta,
2007).

III. ALAT DAN BAHAN


a. Tabung reaksi
b. Api bunsen
c. Pipet ukur 2 mL, 1 mL, dan 5 mL
d. Bull filler
e. Penjepit buaya
f. Gelas beker
g. Strip carik celup (Strip dipstick)
h. Reagen Fehling A dan Fehling B
i. Sampel urine mahasiswa

4
j. Sampel urine pasien

IV. CARA KERJA


4.1 Pemeriksaan Urine Secara Kualitatif

Diambil urine sebanyak 5cc dengan spuite dan dimasukkan ke


dalam tabung reaksi.

Dipanaskan di atas api Bunsen dengan keadaan tabung reaksi


miring untuk mencegah letupan, hingga mendidih.

Diamati perubahan warna yang terjadi.

Ditambahkan 3 tetes asam asetat 6% dan dipanaskan kembali


tabung reaksi hingga mendidih.

Dibiarkan dingin dan dibaca hasilnya berdasarkan tabel nilai


normal dan interpretasi.

Tabel nilai normal dan interpretasi


- Tetap jernih dibandingkan urine kontrol

+1 Tampak kekeruhan minimal, dimana huruf cetak pada kertas masih


dapat terbaca, menembus kekeruhan ini (kuantitatif  0,01 – 0,05
g%)

+2 Kekeruhan nyata dengan butir-butir halus, garis tebal dibaliknya


masih dapat terlihat (kuantitatif  0,05 – 0,20 g%)

5
+3 Tampak gumpalan gumpalan nyata (kuantitatif  0,2 – 0,50 g%)

+4 Tampak gumpalan-gumpalan besar dan membeku


(kuantitatif > 0,50 g%)

4.2 Pemeriksaan Urine Secara Kuantitatif

Dilakukan pengukuran urine dengan kertas pH universal

Jika pH urine sudah bersifat asam, maka tidak perlu penambahan


asam asetat 6%.

Diisi tabunga Esbach dengan urine sampai tanda U dan reagen


Esbach sampai tanda R.

Ditutup tabung Esbach dengan gabus penutupnya, kemudian


dikocok hingga tercampur homogen.

Ditambahkan serbuk barium sulfat untuk mempercepat


pengendapan, ditutup tabung dan dikocok kembali hingga
homogeny.

Ditunggu 30 menit hingga terbentuk endapan dan diukur tinggi


endapan.

V. HASIL DAN PENGAMATAN


5.1 Pemeriksaan Protein Secara Kualitatif: Tes Rebus
No Sampel Hasil Interpratasi Dokumentasi

6
1. Urine (−) Jernih
Mahasiswa dibandingkan urine
control. Sehingga
dapat dikatakan
bahwa urine
mahasiswa tidak
mengandung
protein.
2. Urine (+3) Tampak gumpalan-
pasien gumpalan nyata.
(Kuantitatif~ 0,2-
0,509 %)

5.2 Pemeriksaan Protein Secara Kuantitatif

Gambar 2. Hasil pemeriksaan protein secara kuantitatif


Diketahui :
Volume urine = 2 L/24 jam
Tinggi endapan = 0,8 g/L
Ditanya : Protein loss =…….?
Jawab:

7
Protein loss = tinggi endapan × volume urine
= 0,8 g/L × 2 L/24 jam
= 1,6 gram/24 jam
Jadi, dapat disimpulkan bahwa sampel urine pada pasien mengalami
proteinuria karena jumlah protein loss melebihi batas normal 0,15g/24 jam.

VI. PEMBAHASAN
Urin adalah cairan sisa yang dieksresikan oleh ginjal dan dikeluarkan dari
tubuh melalui proses urinasi. Hal ini diperlukan untuk membuang molekul-
molekul sisa dalam darah yang disaring oleh ginjal dan untuk menjaga hemostasis
cairan tubuh. Air merupakan komponen terbesar dari urin yang di dalamnya
terkandung garam-garam anorganik dan senyawa-senyawa organik. Senyawa-
senyawa anorganik berupa kation: Na+, K+, Ca+2, Mg+2, NH+4, sedikit Fe+3, Cu+2,
Zn+2, sedangkan anion berupa: Cl-, PO4-3, SO4-2, CO3-2 dan sedikit NO3-. Sebagian
besar sisa metabolisme seperti ureum, asam urat, keratin, kreatinin, asam hipurat,
indikan, asam-asam amino, asam-asam organik, enzim, hormon dan vitamin. Urin
patologis kemungkinan mengandung protein, glukosa, aseton, bilirubin,
urobilinogen dan urobilin (Sumardjo, 2009).
Urin sebagai produk metabolisme memiliki kandungan berbagai zat yang
sudah tidak digunakan lagi oleh tubuh. Zat tersebut diantaranya adalah nitrogen,
urea, dan amonia. Kandungan urin menjadi indikasi dari berbagai fungsi faal
dalam tubuh yang berkaitan dengan metabolisme dan ekskresi, diantaranya adalah
kondisi ginjal, hati, dan pankreas. Salah satunya adalah keberadaan zat protein
dalam urin yang mana zat ini masih diperlukan oleh tubuh sehingga hal ini dapat
digunakan sebagai penanda bahwa terdapat kesalahan fungsi ginjal yang bekerja
sebagai filter. Dalam kondisi normal, protein tidak akan melewati glomerulus,
melainkan akan langsung menuju arteri efferent dan kembali ke jantung. Apabila
proses ini tidak terjadi, maka terdapat kebocoran pada glomerulus. Kebocoran dan
kerusakan glomerulus akan menyebabkan beberapa zat yang masih berguna akan

8
ikut terbuang. Keberadaan protein dalam urin secara sederhana dapat dideteksi
menggunakan uji asam asetat (Astuti, 2017).
Pemeriksaan protein dalam urin dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif.
Pengujian yang dilakukan pertama kali adalah pengujian protein dalam urin secara
kualitatif, kemudian apabila positif mengandung urin, maka dilanjutkan dengan
pengujian protein dalam urin secara kuantitatif. Hal ini dilakukan untuk
mengetahui apakah dalam urin mengandung protein atau tidak, apabila
mengandung protein, maka perlu diuji secara kuantitatif untuk mengetahui jumlah
protein dalam urin, apakah jumlahnya tidak melewati batas yang telah ditentukan.
Urin yang digunakan untuk pemeriksaan ini adalah urin 24 jam karena urin yang
diambil selama 24 jam menghasilkan ekskresi yang optimal dan mampu
membandingkan pola eksresi dari hari ke hari. Urin 24 jam diambil dengan cara
membuang urin yang pertama kali dikeluarkan pada hari pertama, misalkan pada
pukul 7 pagi hari pertama, kemudian pada pukul 11 pagi mengeluarkan urin untuk
yang kedua kalinya, maka urin ini ditampung, begitupun dengan urin berikutnya.
Pengambilan urin 24 jam berhenti pada saat telah menampung urin pertama pada
hari kedua dengan pukul waktu yang sama pada saat urin pertama kali dikeluarkan
di hari pertama, yaitu pukul 7 pagi hari (Brunzel, 2018).
Pemeriksaan protein dalam urin secara kualitatif dilakukan dengan metode
rebus dimana pada metode ini urin dipanaskan terlebih dahulu di atas api Bunsen.
Kemudian, ditambahkan 3 tetes asam asetat 6% dan dipanaskan kembali. Fungsi
pemanasan yang dilakukan adalah untuk mendenaturasi protein dalam urin
sehingga protein akan terurai. Protein yang telah terurai pada urin akan
ditambahkan dengan asam asetat 6% dimana asam asetat berfungsi untuk
mempresipitasi dari kristal, bahan amorf, fosfat, ammonium urate, dan karbonat
sehingga menyebabkan urin menjadi keruh (Loesnihari, 2012). Kekeruhan urin
merupakan indikator kadar protein secara kualitatif menggunakan metode rebus.
Interpretasi data dari pengujian protein dalam urin secara kualitatif adalah sebagai
berikut.
- : Tidak ada kekeruhan sedikit pun
(Negatif)

9
1+ : Kekeruhan ringan tanpa butir-butir; kadar protein 0,01-0,05%
(Positif +)
2+ : Kekeruhan mudah terlihat dan tampak butir-butir dalam
kekeruhan; kadar protein 0,05-0,2%
(Positif ++)
3+ : Jelas keruh dengan kepingan-kepingan; kadar protein kira-kira
0,2-0,5%
(Positif +++)
4+ : Sangat keruh dengan kepingan-kepingan besar atau bergumpal-
gumpal, atau memadat; kadar protein kira-kira lebih dari 0,5%
(Positif ++++)
(Astuti, 2017).
Sampel yang digunakan pada uji ini adalah urin mahasiswa dan urin
pasien dari Rumah Sakit Sanglah. Hasil yang diperoleh adalah pada urin
mahasiswa, tidak terjadi kekeruhan atau jernih sehingga dapat dikatakan bahwa
urin mahasiswa negatif mengandung protein sehingga tidak perlu melanjutkan uji
kuantitatif pada urin mahasiswa. Pada urin pasien, terjadi jelas keruh dengan
adanya kepingan-kepingan yang mana pada interpretasi data dinyatakan bahwa
urin pasien positif 3+ dengan perkiraan kadar sekitar 0,2-0,5% sehingga perlu
dilanjutkan dengan uji kuantitatif pada urin pasien untuk mengetahui kadar
protein dalam urin pasien.
Setelah dilakukan uji kualitatif dengan metode rebus, sampel urin yang
diketahahui mengandung protein diuji kembali secara kuantitatif dengan metode
Esbach. Metode Esbach didasarkan pada terjadinya pengendapan protein oleh
asam pikrat yang berasal dari reagen Esbach. Pada ujin ini, pemeriksaan dilakukan
dengan mencampurkan larutan asam pikrat 1% dalam air dan larutan asam sitrat
2% dalam air dengan urin. Asam sitrat digunakan untuk menjaga keasaman cairan
sedangkan asam pikrat dapat mengndapkan protein kemudian endapan yang
terbentuk dapat diukur secara kuantitatif (Santhi, 2019). Metode Esbach sensitif
terhadap 60 mg/L albumin, tetapi kurang sensitif terhadap protein Bence Jones
dan protein lain yang berat molekulnya rendah seperti β2-mikroglobulin.

10
Keuntungan metode Esbach adalah mudah dilakukan dan sampel urin yang
digunakan berupa sampel urine yang ditampung selama 24 jam yang
(Djojodibroto, 2001).
Pada praktikum sampel urin 24 jam yang telah dikumpulkan dan diukur
volumenya kemudian diuji dengan menggunakan kertas lakmus untuk
menentukan pH awal sample urine. Pemeriksaan urine dengan metode Esbach
diharapkan memiliki pH <6 sehingga apabila sampel urine belum memenuhi nilai
pH yang dianjurkan maka perlu dilakukan penambahan asam asetat untuk
menurunkan pH. Namun pada praktikum ini sampel urin yang digunakan sudah
memiliki pH 6 sehingga tidak perlu dilakukan penambahan asam asetat.
Tabung Esbach yang telah diisi dengan sampel urin hingga tanda U dan
reagen Esbach hingga tanda R kemudian diisi dengan garam barium sulfat
(BaSO4) yang bertujuan untuk mempercepat terjadinya pengendapan (Santhi,
2019). Penambahan BaSO4 ke dalam sampel urine B, mengakibatkan kadar
garam dalam sampel tinggi dan mengakibatkan jumlah molekul air juga menurun
dengan terjadinya proses pelarutan BaSO4 sehingga dapat menyebabkan terjadinya
denaturasi protein. Tabung Esbach kemudian ditutup rapat dan dikocok sehingga
urine dan reagen tercampur dengan homogen. Setelah 30 menit pada tabung
terjadi proses salting out atau proses pengendapan protein akibat adanya
penambangan garam dengan konsentrasi tinggi (Thenawidjaja, dkk., 2017).
Endapan yang terbentuk kemudian dihitungan dengan menggunakan perhitungan
protein loss. Hasil endapan yang diperoleh berupa gumpalan-gumpalan nyata
protein dengan tinggi endapan 0,8 g/L. Berdasarkan tinggi tersebut diperoleh
perhitungan nilai protein loss sampel urin pasien adalah 1,6 g/24jam. Jumlah
protein tersebut melebihi jumlah protein normal dalam urine yaitu 0,15 g/24 jam
(Baburaj, 2008). Hasil protein sebesar 1,6 g/24 jam mengindikasikan bahwa
pasien kemungkinan mengalami proteinuria yang disebabkan oleh gangguan pada
glomerulus ginjal (Rubenstein, dkk., 2007).

VII. KESIMPULAN

11
7.1 Organoleptis urine mahasiswa secara manual yang diamati, berupa warna
urine mahasiswa berwarna kuning jernih yang menunjukkan bahwa sampel
urin tidak menunjukkan suatu implikasi klinik, bau urine berbau pesing,
buih urine berwarna putih yang tidak bertahan lama, dan urine yang tidak
mengalami kekeruhan, sehingga urine dapat dikatakan normal.
7.2 Organoleptis urine mahasiwa dengan menggunakan metode carik celup
yang menguji berat jenis (1.005), pH (6), leukosit (negatif), nitrit (negatif),
glukosa (negatif), keton (negatif), urobilin (negatif), bilirubin (negatif), dan
darah (+4).
7.3 Pemeriksaan glukosa urine menggunakan reagen Fehling A dan B serta
didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa sampel urin mahasiswa
menunjukkan warna biru, sampel urin pasien 2 dan pasien 4 menunjukkan
warna hijau, sehingga dapat disimpulkan bahwa ketiga urine ini tidak
mengandung glukosa.

12
DAFTAR PUSTAKA

Astuti, D.S.. 2017. Kadar Protein Urin Menggunakan Uji Asam Asetat pada
Mahasiswa Pendidikan Biologi Semester VI FKIP UMS 2017. Proceeding
Biology Education Conference 14(1): 36-38.
Baburaj, P. 2008. Hari’s Essentials of Clinical Medicine. New Delhi: Jaypee
Brothers Medical Publisher Ltd.
Brunzel, N.A.. 2018. Fundamentals of Urine and Body Fluid Analysis. Fourth
Edition. USA: Elsevier.
Dissanayake, V. H. W., Morgan, L., Pipkin, F. B., Vathanan, V., Premaratne, S.,
Jayasekara, R. W., & Seneviratne, H. R. 2004. The Urine Protein Heat
Coagulation Test-A Useful Screening Test For Proteinuria In Pregnancy In
Developing Countries: A Method Validation Study. BJOG: An International
Journal of Obstetrics and Gynaecology, 111(5) : 491–494
Djojodibroto, D.. 2001. Seluk Beluk Pemeriksaan Kesehatan. Jakarta: Pustaka
Populer Obor.
Gandasoebrata. 2007. Penuntun Laboratorium. Jakarta : Dian Rakyat
Glassock RJ, Fervenza FC, Hebert L, Cameron JS. 2015. Nephrotic syndrome
redux. Nephrol Dial Transplant. 30 (1):12-7.
Levey AS, Becker C, Inker LA. 2015. Glomerular Filtration Rate And
Albuminuria For Detection And Staging of Acute And Chronic Kidney
Disease In Adults: A Systematic Review. JAMA. 313(8): 837-46.
Loesnihari, R.. 2012. Peran Analisa Urin pada Penanganan Penyakit Ginjal dan
Traktus Urinarius. Majalah Kedokteran Nusantara 45(3): 167-176.
Mundt, L. A., Graff, L., & Shanahan, K. 2011. Graff's Textbook of Routine
Urinalysis and Body Fluids. 2nd Ed.. Philadelphia: Wolters
Kluwer/Lippincott Williams & Wilkins Health
Naga W. S., Adiguna B., Retnoningtyas E., S., Ayucitra A. 2010. Koagulasi
Protein Dari Ekstrak Biji Kecipir Dengan Metode Pemanasan. Widya
Teknik. 9(1): 1-11
Rubernstein, D., D. Wayne, J. Bradley. 2007. Kedokteran Klinis. Edisi Keenam.
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Sacher, R. A dan R. A. McPherson. 2004. Tinjauan Klinis Atas Hasil Pemeriksaan
Laboratorium Cetakan 1. Jakarta: EGC.
Santhi, D.G.D.D. 2019. Penuntun Praktikum Urinalisa. Denpasar: Departemen
Patologi Klinik Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana.
Sukmawati, M., K. Suarta. 2007. Validity of Protein-Creatinine and
ProteinOsmolality Ratios in The Estimation of Massive Proteinuria in
Children with Nephritic Syndrome. Paediatry Indonesia 4(4): 139-145.
Sumardjo, D. 2009. Pengantar Kimia: Buku Panduan Kuliah Mahasiswa
Kedokteran dan Program Strata I Fakultas Bioeksakta. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Thenawidjaja, M., W. T. Ismaya, D.B. Retnoningrum. 2017. Protein. Jakarta:
Grasindo.

13
Wirawan, R.,S.. Immanuel, dan R. Dharma. 1983. Penilaian Hasil Pemeriksaan
Urin 1983. Jakarta: Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.

14

Anda mungkin juga menyukai