Anda di halaman 1dari 8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pemeriksaan Makroskopis
1. Warna
Urin normal tampak jernih atau sedikit berkabut dan berwarna kuning
akibat pigmen urokrom dan urobilin. Intensitas warna urin sejalan dengan
konsentrasi urin. Urin yang encer akan menunjukkan warna kuning yang lebih
pudar sedangkan urin pekat menunjukkan warna kuning tua atau sawo matang.
Kekeruhan pada urin dapat terjadi akibat proses kristalisasi dan pengendapan
urat atau fosfat. Bahan seluler atau protein yang berlebihan pada urin juga
dapat menyebabkan kekeruhan (Iswara et al, 2018).
2. Bau
Bau urin secara normal yang khas disebabkan oleh asam organik yang
mudah menguap dan baunya tidak menyengat. Urin tanpa bau dapat dijumpai
pada kondisi nekrosis tubular. Bau pada urin dapat disebabkan oleh keadaan
patologik atau masalah pengelolaan spesimen urin. Bau busuk dapat dijumpai
pada infeksi saluran kemih. Bau seperti buah dapat dijumpai pada ketonuria.
Bau pada urin juga bisa disebabkan oleh makanan seperti jengkol, pete, dan
durian. Bau urin dipengaruhi oleh kadar amonia yang sebanding dengan
jumlah konsumsi cairan (Amani & Syauqy, 2017)
3. Volume Urin
Pengukuran volume urin dapat menentukan keparahan kelainan ginjal dan
ketidakseimbangan cairan tubuh secara kuantitatif dan semi kuantitatif.
Volume urin dewasa normal daerah tropis dalam 24 jam antara 800-1300 ml,
banyak faktor yang berpengaruh kepada diueresis seperti umur, berat badan,
kelamin, makanan dan minuman, suhu badan, iklim dan aktifitas seseorang
yang bersangkutan (Wiratama & Pardani, 2018).
4. Berat Jenis
Pengukuran berat jenis urin dapat digunakan untuk mengetahui daya
konsentrasi dan data dilusi ginjal. Nilai normal berat jenis berbanding terbalik
dengan jumlah urin. Normal berat jenis urin adalah 1003-1030. Tingginya
berat jenis urin berkaitan dengan kepekatan urin yang mungkin terjadi akibat
kerusakkan ginjal. Pemeriksaan Bobot jenis Urin : (Kurniawati et al., 2021)
a. Berat Jenis < 1,005 : Diabetes insipidus, banyak minum, kelebihan cairan,
penyakit ginjal, kekurangan dan kelebihan kalium; berat jenis.
b. Berat jenis > 1,026 : Kurang minum, diabetes militus, muntah, diare,
dehidrasi, penggunaan zat kontras pada sinar x
B. Pemeriksaan Mikroskopis
Komponen pemeriksaan mikroskropis urin adalah sebagai berikut:
1. Eritrosit. Normalnya ditemukan 0 – 2 sel eritrosit dalam urin. Peningkatan
jumlah eritrosit menggambarkan adanya trauma atau perdarahan pada ginjal dan
saluran kemih, infeksi, tumor, batu ginjal (Purnama, 2018).
2. Leukosit. Jumlah normal leukosit dalam urin adalah 0 – 4 sel. Peningkatan
jumlah lekosit menunjukkan adanya peradangan, infeksi atau tumor (Purnama,
2018).
3. Epitel. Sel epitel yang ditemukan dalam urin berasal dari lapisan sistem
genitourinaria, termasuk berasal dari kandung kemih (vesica urinaria), urethra
dan vagina. Sel ini dapat dijumpai dalam jumlah besar atau normal yang
merupakan pengelupasan dari sel-sel tua, atau merupakan epitel yang rusak dan
pengelupasan yang disebabkan oleh proses inflamasi atau penyakit ginjal.
Beberapa jenis sel dapat menunjukkan bahwa spesimen tidak secara benar
dikumpulkan, sedangkan peningkatan jumlah sel yang ada menunjukkan proses
patologis yang parah. Setiap kali dijumpai sel-sel epitel dengan ciri khas yang
abnormal maka perlu pengujian sitologi tambahan (Hasan & Rafika, 2021).
4. Silinder (cast). Terdapat beberapa jenis silinder yang mungkin ditemukan dalam
sedimen urin, yaitu : silinder hialin, silinder granuler, silinder eritrosit, silinder
lekosit, silinder epitel dan silinder lilin (wax cast). Silinder hialin menunjukkan
kepada iritasi atau kelainan yang ringan. Sedangkan silinder-silinder yang
lainnya menunjukkan kelainan atau kerusakan yang lebih berat pada tubulus
ginjal (Handayani et al., 2018).
5. Kristal
Dalam keadaan fisiologik / normal, garam-garam yang dikeluarkan bersama
urine (misal oksalat, asam urat, fosfat, cystin) akan terkristalisasi (mengeras)
dan sering tidak dianggap sesuatu yang berarti. Pembentukan kristal atau garam
amorf dipengaruhi oleh jenis makanan, banyaknya makanan, kecepatan
metabolisme dan konsentrasi urin (tergantung banyak-sedikitnya minum).Yang
perlu diwaspadai jika kristal-kristal tersebut ternyata berpotensi terhadap
pembentukan batu ginjal. Batu terbentuk jika konsentrasi garam-garam tersebut
melampaui keseimbangan kelarutan. Butir-butir mengendap dalam saluran
urine, mengeras dan terbentuk batu (Dhea et al., 2019).
Pemeriksaan mikroskopis digunakan menilai unsur-unsur sedimen yang
terdiri dari unsur organik yaitu epitel, eritrosit, leukosit, dan silinder dan unsur
anorganik kristal, fosfat, karbonat, sistin dan leusin. Urin yang diperiksa haruslah
segar dikumpulkan paling tidak 4 jam dari berkemih terakhir. Hanya lebih baik
dipilih urin pagi, diperiksa harus dalam 1 jam dan 4 jam bila disimpan di dalam
lemari es pada suhu 2-4C (Kamil et al, 2017).

C. Pemeriksaan Kimia
1. Derajat Keasaman (pH)
Clinical and Laboratory Standard Institute (CLSI) menganjurkan
pemeriksaan urin dilakukan paling lambat 2 jam dari waktu urin dikemihkan.
Penundaan pemeriksaan urin selama 2 jam tanpa disimpan pada suhu 2-80 oC
dan penambahan zat pengawet dapat menurunkan kualitas hasil pemeriksaan
unsur organik urin termasuk eritrosit, leukosit dan bakteri. Hasil pemeriksaan
urin yang berubah akibat penundaan pemeriksaan tidak dapat menggambarkan
keadaan pasien dengan baik, sehingga dapat terjadi kesalahan dalam diagnosis
(Susianti & Parwati, 2018).
Pemeriksaan urin perlu ditambahkan pengawet apabila lebih dari 2 jam.
Apabila urin terlalu lama didiamkan, dapat menurunkan kualitas hasil
pemeriksaan terutama jumlah sel eritrosit pada urin. Hal ini terjadi karena sel
eritrosit memiliki berat jenis yang kurang dari 1.010 dengan pH alkali. Waktu
pemeriksaan yang ditunda menyebabkan bakteri berkembang di dalam urin
yang akan menyebabkan pH alkali berubah dan menghancurkan eritrosit (Arsid
et al, 2019).
Bahan pengawet digunakan untuk menghambat perubahan susunan kimiawi
urin. Ada bermacam-macam bahan pengawet urin yang dipakai secara universal
untuk menghindari urin dari segala macam perubahan yang mungkin terjadi.
Asam sulfat pekat dipakai untuk mengawetkan urin pada saat penetapan
kuantitatif kalsium, nitrogen, dan sebagian besar zat organik lainnya. Pengawet
tersebut harus terus diberikan hingga pH urin lebih rendah dari 4,5 (Arsid et al,
2019).
Urin yang normal warnanya bening oranye pucat tanpa endapan, baunya
tajam, reaksinya sedikit asam terhadap lakmus dengan pH rata-rata 6, berat
jenisnya berkisar dari 1003 sampai 1030. Pembentukan silinder pada urin
dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain osmositas, volume, pH, adanya
glikoprotein yang disekresikan oleh tubulus ginjal. Urin yang disimpan akan
mempengaruhi susunan oleh bakteri, karena urin tidak ditampung di wadah
yang steril dan tidak disimpan pada suhu 40 oC dalam lemari es. Bakteri
mengurai ureum dengan membentuk amoniak dan karbondioksida. Amonium
menyebabkan pH urin menjadi lindi dan menjadikan pengendapan calcium dan
magnesium fosfat. Reaksi lindi dapat merusakan silinder. Sebagian dari
amoniak hilang ke udara sehingga urin tidak dapat dipakai untuk penetapan
ureum. Glukosa akan dicerai oleh bakteri sehingga hilang dari urin (Susianti &
Parwati, 2018).
2. Pemeriksaan Reduksi Metode Benedict
Pemeriksaan glukosa urin metode benedict memanfaatkan sifat glukosa
sebagai pereduksi. Prinsip pemeriksaan benedict adalah glukosa dalam urin
akan mereduksi cuprisulfat menjadi cuprosulfat yang terlihat dengan perubahan
warna dari larutan benedict. Hasil positif ditunjukkan dengan adanya kekeruhan
dan perubahan warna dari biru menjadi hijau kekuningan sampai merah bata.
Pemeriksaan metode benedict dapat dilakukan menggunakan pemanasan
dengan api spirtus hingga mendidih. Kelemahan metode ini dengan
menggunakan api spirtus antara lain untuk mendapatkan hasil diperlukan
waktunya lebih lama, hanya bisa mengerjakan satu per satu sampel, dan resiko
terjadi kecelakaan pada laboratorium relatif tinggi (Susianti & Parwati, 2018).
Pemeriksaan reduksi metode benedict mudah untuk dilakukan. Pemeriksaan
ini juga dapat secara luas dipakai untuk screening penduduk pada penyelidikan
epidemiologi. Pemeriksaan ini tidak khas untuk glukosa. Hasil pemeriksaan
dapat positif pada diabetes mellitus, glukosuria renal (wanita hamil), laktosuria
(wanita hamil trimester III atau laktasi), fruktosuria (misalnya karena banyak
minum madu), pentosuria dan karena obat-obatan seperti vitamin C, salisilat
(Kurniyawati et al, 2019).
3. Pemeriksaan Protein
Pemeriksaan protein urin cukup efektif dalam mendiagnosis gangguan
fungsi ginjal dan dapat dijadikan sebagai biomarker untuk penyakit ginjal
kronik. Pemeriksaan protein urin merupakan pemeriksaan rutin yang dilakukan
untuk mengetahui fungsi ginjal. Protein dapat masuk ke dalam urin jika terjadi
kerusakan pada glomerulus dan tubular. Pemeriksaan protein urin
direkomendasikan supaya penyakit ginjal mudah dideteksi dan diobati sebelum
menjadi kronik dan semakin parah. Proteinuria atau albumin urin merupakan
prediktor potensial dalam menentukan mortality rate pada kasus gagal ginjal
kronik (Surya et al, 2018).
Pemeriksaan protein urin dapat dilakukan secara kuantitatif, semikuantitatif
dan kualitatif. Tes kuantitatif protein urin dilakukan dengan turbidimetri,
metode biuret, metode Folin-Lowry, Esbach dengan urin tampung 24 jam dan
carik celup menggunakan fotometer refleksi. Pemeriksaan semikuantitatif
dilakukan dengan tes rebus, tes sulfosalisilat dan carik celup visual.
Pemeriksaan kualitatif dilakukan dengan metode dipstick, Heller’s nitric acid
ring test, Robert ring test, Heat test dan Sulfosalicylic acid test (Rahmawati,
2017).
Pemeriksaaan metode rebus lebih sensitif dalam memeriksa albumin dan
pepton. Pemeriksaan protein metode rebus memiliki kelebihan berupa
terdeteksinya 0.004% protein yang menandakan adanya proteinuria, namun
pemeriksaaan ini tidak bisa digunakan pada urin yang sangat encer. Hasil dari
pemeriksaan metode rebus dapat diinterpretasikan sebagai berikut (Surya et al,
2018):
a. Negatif: apabila urin tetap jernih.
b. Positif 1 (+): bila terjadi kekeruhan minimal, huruf cetak pada kertas masih
dapat dibaca menembus kekeruhan.
c. Positif 2 (++): bila kekeruhan nyata dan terlihat butir - butir halus. Garis
tebal dibalik tabung masih dapat dilihat.
d. Positif 3 (+++): bila terlihat gumpalan - gumpalan yang nyata.
e. Positif 4 (++++): bila terlihat gumpalan - gumpalan besar atau membeku.
Metode sulfosalisilat dapat digunakan sebagai penentu ada tidaknya protein
pada urin, karena ikatan kimia yang ada didalamnya mampu menyebabkan
presipitasi protein terlarut, diukur dan ditentukan menggunakan derajat
turbiditas. Adanya protein dalam urin bersifat penting dan perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut dalam menentukan penyakit yang mendasari. Proteinuria
dapat ditemukan saat pemeriksaan penyaring rutin, pada orang sehat sekitar
3,5%. Jadi proteinuria tidak selalu merupakan manifestasi penyakit ginjal
(Rahmawati, 2017).
Pemeriksaan urin dapat membantu menetapkan diagnosis suatu penyakit,
sehingga lebih memudahkan dalam menetapkan terapi yang tepat. Selain itu
sebagaimana pemeriksaan-pemeriksaan lainnya, pemeriksaan urin dapat pula
dipakai untuk follow up suatu penyakit tertentu terutama penyakit-penyakit yang
bersangkutan dengan ginjal. Pemeriksaan terhadap protein urin termasuk
pemeriksaan rutin. Kebanyakan cara rutin untuk menyatakan adanya protein
dalam urin berdasarkan timbulnnya kekeruhan. Kekeruhan itu menjadi satu
ukuran untuk jumlah protein yang ada, maka menggunakan urin yang jernih
menjadi syarat penting pada pemeriksaan protein. Untuk itu, hasil
pemeriksaan protein hendaknya diperiksakan dengan cara semi kuantitatif
seperti tes dengan asam sulfosalisilat. Hasil tes negatif pada pemeriksaan
sulfosalisilat dapat menyingkirkan kemungkinan adanya protein urin
(Mukarramah et al., 2018).
DAFTAR PUSTAKA

Amani, R. Z., & Syauqy, D. 2017. Sistem pendeteksi dehidrasi berdasarkan warna
dan kadar amonia pada urin berbasis sensor TCS3200 dan mq135 dengan
metode naive bayes. Jurnal Pengembangan Teknologi Informasi dan Ilmu
Komputer e-ISSN, 2548, 964X.
Arsid, R., Praja, A., Sabir, M., Diana, V. 2019. Glomerulonefritis Akut Pasca
Streptococcus. Jurnal Medical Profession. Vol. 1(2): 98-104.
Dhea, B., Kristinawati, E., & Ernawati, F. 2019. Pengaruh Konsumsi Air Putih
Terhadap Hasil Pemeriksaan Kristal Oksalat Dalam Urin Pada Pasien Rawat
Jalan Di Puskesmas Pagesangan. Jurnal Analis Medika Biosains (JAMBS), 6(1),
51-57.
Handayani, I., Rusli, B., & Hardjoeno, H. 2018. Gambaran Kadar Kolesterol,
Albumin Dan Sedimen Urin Penderita Anak Sindroma Nefrotik. Indonesian
Journal Of Clinical Pathology And Medical Laboratory, 13(2), 49-52.
Hasan, Z. A., & Rafika, R. 2021. Profil Pemeriksaan Pada Sedimen Urin Pasien
Infeksi Saluran Kemih Menggunakan Alat Dirui Fus-100. Jurnal Media Analis
Kesehatan, 12(1), 41-46.
Iswara. V., Sitepu. B. P., Suprayekti. 2018. Pengembangan Buku Panduan
“Urinalisis” di Laboratorium. Jurnal Pembelajaran. Vol. 1(1) Hal: 49-57
Kamil, Sendi I. P., Trisnawati. 2017. Pengaruh Waktu Penyimpanan Sampel Urin
Selama 2 Jam dan 4 Jam pada Suhu 2-8C terhadap Hasil Pemeriksaan Kimia
Urin. Jurnal Medika. Vol 2 (1) : 1-6
Kurniawati, F., Sitoayu, L., Melani, V., Nuzrina, R., & Wahyuni, Y. 2021. Hubungan
Pengetahuan, Konsumsi Cairan Dan Status Gizi Dengan Status Hidrasi Pada
Kurir Ekspedisi. Jurnal Riset Gizi, 9(1), 46-52.
Kurniyawati, A., Fadhillah, F., Nopiani, A. 2019. Perbandingan Reduksi Glukosa
Pada Urin Menggunakan Pemanasan Api Spirtus Dan Waterbath 100oC Dengan
Metode Benedict. Jurnal Teknologi Kesehatan. Vol. 15(1): 33-38.
Mukarramah, R., Nardin, Utami, N. 2018. Studi Hasil Pemeriksaan Protein Urin
Segera Pada Pasien Infeksi Saluran Kemih Menggunakan Asam Sulfosalisilat di
RSU Wisata Universitas Indonesia Timur. Jurnal Medika Laboran. Vol. 8(1):
21–26.
Purnama, T. 2018. Gambaran Hasil Pemeriksaan Eritrosit Dan Leukosit Pada Sampel
Urin Dengan Metode Dipstick Dan Mikroskopis Di RSUD Batheramas Provinsi
Sulawesi Tenggara. Jurnal MediLab Mandala Waluya, Vol 2(1), 68-74.
Rahmawati, F. 2017. Aspek Laboratorium Gagal Ginjal Kronik. Jurnal Ilmiah
Kedokteran Wijaya Kusuma. Vol. 6(1): 14-22.
Riswanto & Mohammad R. 2015. Menerjemahkan Pesan Klinis Urine. Yogyakarta :
Pustaka Rasmedia.
Surya, A. M., Pertiwi, D., Masrul. 2018. Hubungan Protein Urin dengan Laju Filtrasi
Glomerulus pada Penderita Ginjal Kronik Dewasa di RSUP Dr. M. Djamil
Padang tahun 2015-2017. Jurnal Kesehatan Andalas. Vol. 7(4): 469-474.
Susianti H & Parwati I. 2018. Pemeriksaan laboratorium urin rutin. Penerbit
PDSPatklin

Anda mungkin juga menyukai