Anda di halaman 1dari 12

Hari-hari ini aneka produk teknologi Korea bertebaran, dengan beragam jenis dan kualitas.

Sebut
saja aneka merek seperti Hyundai, KIA, Samsung, LG, atau Line.
Padahal, satu atau dua dekade lalu, produk Korea masih dianggap sebagai barang abal-abal.
(Samsung Electronics dan Perjuangan Menjadi Pemimpin dalam Industri Electronik, Tony Michell,
Elex Media Komputindo, Jakarta: 2014).
Lompatan seperti apa yang mereka jalani selama tiga dekade terakhir sampai memunculkan
rupa Korea dan capaian teknologinya seperti terlihat pada hari ini? "Revolusi mental" macam apa
yang sudah menempa rakyat Korea?

Prolog
Sebuah Perubahan
Lahan pertanian kami sempit dan tidak akan cukup untuk memproduksi makanan untuk
seluruh rakyat Korea Selatan. Kami bahkan tidak punya minyak setetes pun,
ujar profesor Park Sang-il dari Seoul National University of Technology and Science, pada awal
September 2014 (Negeri Yang Terus Berlari Kencang: Kompas, 20 September 2014).
Pasca Perang Korea 1950-1953, Korea Selatan tidak lebih dari tumpukan debu. Perang hanya
menyisakan desa-desa yang compang-camping, tanah telantar, serta 48 jutaan warga miskin
dan kurang makan. Sejarawan militer Amerika Serikat, Russel Gugeler, menggambarkan kondisi
negeri itu pada 1966, dalam buku Korea 1988: A Nation at the Crossroads (editor G Cameron
Hurst III, 1988).
Hingga 1980, kondisi ekonomi Korea lebih buruk ketimbang Indonesia yang sama-sama sedang
berusaha bangkit setelah melewati masa perang kemerdekaan dan pergolakan politik. Saat itu,
produk domestik bruto (PDB) Korea hanya 64,4 miliar dollar AS, sementara PDB Indonesia 86,3
miliar dollar AS. Sumber daya alam Korea juga hanya seujung kuku sumber daya alam Indonesia.
Hanya dalam dua dasawarsa sejak program pembangunan ekonomi nasional dicanangkan pada
1960-an, Korea bergerak untuk berubah menjadi negara industri baru. Pada 1984, PDB Korea
mulai melewati Indonesia dan selanjutnya berlari kencang tanpa pernah bisa terkejar oleh
Indonesia hingga saat ini.
Pada 2014, PDB Korea mencapai 1,308 triliun dollar AS dan berada di peringkat ke-14 dunia,
sedangkan Indonesia 868,34 miliar dollar AS.
Pendapatan per kapita Korea mencapai 25.977 dollar AS (2013), Indonesia 3.590 dollar AS.
Dalam bahasa awam, pendapatan rata-rata setiap warga Korea per tahun adalah tujuh kali lipat
dari pendapatan per tahun rata-rata orang Indonesia.

Wajah Korea berubah drastis. Desa-desa yang compang-camping dan warganya kelaparan akibat
perang saudara tidak ditemukan lagi. Potret Korea yang sejahtera terlihat amat nyata tanpa

perlu penjelasan lanjutan. Jembatan-jembatan kokoh dan panjang melintang di atas sungaisungai besar, transportasi massal seperti kereta bawah tanah dan bus menghampiri stasiun dan
halte setiap tiga menit sekali.
Jalan-jalan di tengah kota mirip catwalk, tempat orang-orang berpakaian modis dan mahal
berseliweran nyaris setiap detik. Di restoran, setiap orang makan dalam porsi besar. Satu lagi,
industri Korea juga tumbuh melebihi apa yang bisa dibayangkan ketika Perang Korea usai.
Semua kemajuan ini tak diraih dalam satu malam. Direktur Pusat Kebudayaan Korea di Jakarta,
Rezky Seokgi Kim, mengatakan para pemimpin Korea menyusun rencana pembangunan lima
tahunan dan mempercepat pembangunan infrastruktur, selepas Perang Korea pada 1953.
Rencana itu kami jalankan dengan disiplin tinggi dan kerja keras di bawah kepemimpinan kuat,
ujarnya.
Karena sumber daya alam Korea sangat minim, lanjut Rezky, pemerintah mendorong negeri itu
menjadi negara industri. Mereka menyalurkan utang luar negeri ke pengusaha lokal dalam
bentuk skema pinjaman lunak, subsidi, dan insentif. Pemerintah juga memberikan perlindungan
terhadap produk yang mereka hasilkan.
Setelah Korea jadi negara industri, seperti dikutip dari AFP edisi 8 Juni 2014, Samsung kini
menguasai 25,2 persen pasar ponsel pintar dunia, mengalahkan produk AS, Apple, yang
menguasai 11,9 persen. Adapun LG mendesak ke atas sebagai peringkat kelima dengan
penguasaan pasar 4,9 persen.
Pasang surut juga bukan tak dialami industri Korsel. Kemampuan industri Korea untuk terus
melaju ketika industri besar macam Nokia, IBM, dan Sony surut "termakan" zaman, tentu saja
bukan durian runtuh yang tak perlu ekstra usaha. Kualitas sumber daya manusia, jelas menjadi
salah satu faktor kunci, di luar keberpihakan pemerintah dengan program, insentif, dan
kepemimpinannya.
Hari ini, pengaruh Korea benar-benar terasa kehadirannya dalam kehidupan sehari-hari. Kita
makin terbiasa memakai ponsel pintar Samsung, mesin cuci dan AC LG, mobil Hyundai, belanja
di Lotte Mart, merawat wajah dengan BB cream Korea, hingga mengunyah kimchi dan roti Korea.
Seperti apa gambaran perjalanan Korea dengan pasang-surut dan nilai-nilai yang diterapkannya?
Ini tuturan multimedianya.

1977
Ira melihat divisi elektronik Samsung tidak begitu bagus. Lantai pabriknya tidak bersemen dan
para pekerja menggunakan roda tangan ke dan dari lini industri. Laboratorium risetnya bagai
laboratorium sains sekolah menengah yang bobrok
1977
Tetapi pekerjaan yang berlangsung di sana menarik perhatian saya. Mereka mengumpulkan
semua televisi berwarna dari setiap perusahaan besar di dunia--RCA, GE, Hitachi--dan
menggunakan TV-TV tersebut untuk mendesain model mereka sendiri.

Ira Magaziner
1982
Laboratorium Riset dan Pengembangan berubah dari yang tampak seperti laboratorium sains
sekolah menengah yang bobrok menjadi laboratorium modern yang besar

Kasus Samsung yang dianggap mewakili lompatan ekonomi dan industri Korea--yang oleh orang
Barat disebut sebagai "Keajaiban Ekonomi Asia"-- ini terus mencuat seiring waktu, seiring
rontoknya perusahaan-perusahaan yang semula merajai industri elektronik dan IT.
Berhadapan dengan kejenuhan pasar, terjangan krisis moneter di tahun 1997-1998, dan masih
berstatus perang dengan Korea Utara, apa rahasia Samsung dan perusahaan teknologi Korea
lainnya hingga masih bertahan di jajaran atas dan punya daya saing tinggi?

Keajaiban Sungai Han


Keajaiban Sungai Han menjadi istilah untuk capaian kemajuan industri di Korea Selatan.
Penggerak utama industri dan ekonomi Korea pada saat ini adalah lima perusahaan besar.
Jaebol, adalah sebutan untuk para "raksasa penggerak ekonomi" ini.

Lima jaebol tersebut adalah Samsung Group, Hyundai-Kia, SK, LG, dan Lotte. Meski bergerak di
bidang yang berbeda, perjalanan mereka sampai ke puncak punya dinamika dan kelokan yang
tak jauh berbeda, termasuk bergesekan di persimpangan.
Tony Michell dalam buku Samsung Electronics dan Perjuangan Menjadi Pemimpin dalam Industri
Electronic, menggambarkan lompatan industri dan teknologi Korea dengan menjadikan Samsung
sebagai contoh kasus.

BISNIS
SEMIKONDUKTOR
Samsung Electronics gencar mengembangkan bisnis semikonduktor pada awal 1980-an. Mulanya
pendiri Samsung, Lee Byung-chull, tertarik menjalankan bisnis tersebut saat mengetahui bahwa
perusahaan Jepang kesulitan mendapatkan semikonduktor selama krisis minyak. Tanpa pasokan
komponen semikonduktor yang stabil, kegiatan produksi televisi dan kulkas di Jepang akan
terhenti. Itu sebabnya Byung-chull yakin bisnis semikonduktor akan menentukan masa depan
Korea Selatan.
Pengunjung sedang melihat-lihat ruang pameran kantor pusat Samsung Electronics di Seoul,
Korea Selatan, 30 Oktober 2014. AFP PHOTO / JUNG YEON-JE
BERGURU PADA
NEGERI SAKURA
Menjadi produsen semikonduktor bukanlah perkara mudah. Apalagi sumber daya manusia Korea
Selatan ketika itu belum siap 100 persen untuk menjalankan bisnis teknologi tinggi tersebut.
Byung-Chull pun mendatangkan ahli semikonduktor Jepang untuk memperbaiki fasilitas produksi
dan mereorganisasi pekerja teknis Samsung semikonduktor.
(Kompas.com/Reza Wahyudi)

Memimpin Pasar Elektronik


Berbekal ilmu yang didapat dari Jepang, Samsung Electronics mengembangkan bisnis memori
atau penyimpanan data elektronik. Produk andalannya, DRAM 256K, sukses di pasaran pada
pertengahan 1987.
(Kompas.com/Reza Wahyudi)
JUARA
PRODUSEN
TELEPON PINTAR
Selanjutnya, langkah Samsung di bisnis elektronik kian kencang. Berbagai produk mereka
produksi mulai dari televisi, penyejuk ruangan, hingga telepon pintar berbasis teknologi Android.
Telepon pintar Samsung kini menjadi pemimpin pasar. Dikutip dari AFP, 8 Juni 2014, Samsung
saat ini menguasai 25,2 persen pasar telepon pintar dunia (74,3 juta unit). Laporan Forbes April
2014, pada 2013 Samsung Electronics menjual 314 juta telepon seluler ke pasar dunia.
LOMBA
LARI
Seperti pada lomba lari, jika kita ingin cepat berlari, kita harus memastikan selalu berlari di
samping pelari cepat. Ketika dia kelelahan, kita punya kesempatan untuk menyalip. Pelari cepat
itu Jepang, dan setiap orang Korea Selatan punya semangat mengalahkan Jepang karena faktor
sejarah, yakni penjajahan Jepang terhadap Korea.

-- REZKY KIM SEOK-GI,


DIREKTUR PUSAT KEBUDAYAAN KOREA

0:07

Doktrin dan Pendidikan


"Jika tidak jadi manusia yang unggul, kami akan mati."
Itulah prinsip yang dipegang erat-erat oleh bangsa Korea Selatan yang miskin sumber daya alam
dan secara geopolitik dikepung empat kekuatan besar: Tiongkok, Rusia, Korea Utara, dan Jepang.
Saat ditemui di Seoul National University of Technology and Science, Profesor Park Sang-il
mengatakan, sejak awal membangun negeri, Korea sadar bahwa mereka hanyalah negara
miskin, dengan penduduk yang juga miskin. Maka, satu-satunya cara agar bisa bertahan adalah
dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

Pada periode 1980-an dan 1990-an, lanjut Park, banyak anak muda yang dikirim ke AS dan
Jepang untuk belajar, terutama tentang teknologi tinggi. Park adalah salah seorang di antara
mereka. Ia berangkat ke AS untuk melanjutkan studi pascasarjana strata dua dan doktor di
bidang elektronika. Setelah menyerap banyak ilmu dan pengalaman bekerja di bidang
semikonduktor di AS, ia kembali ke Korea dan bekerja di Samsung. Selanjutnya, ia menjadi salah
satu dari sejumlah orang penting di balik kesuksesan Samsung dalam mengembangkan sejumlah
teknologi telepon pintar.

Felix Moos dalam artikel Korea Globalizes: A Tiger Cub Growing (1988) menuliskan, selain
kepemimpinan yang kuat, ada faktor lain yang menentukan keberhasilan Korea, yakni Amerika
Serikat. Di awal pembangunan Korea, AS menggelontorkan banyak uang dan gagasan. Tanpa AS
dan Jepang, Korea tidak mungkin bisa bangkit dari perang dan konflik dengan Korut, tulis Felix.

Rezky Seok-gi Kim , Direktur Pusat Kebudayaan Korea di Jakarta, mengatakan pada awalnya
pembangunan ekonomi Korea memang meniru Jepang. Selanjutnya, Korea menjadikan Jepang
sebagai patokan pencapaian (benchmark) yang harus dilewati.

Mengapa Jepang yang dijadikan patokan? Seperti yang sudah ditulis sebelumnya, Rezky
menganalogikan hal ini sebagai lomba lari. Jika Korea ingin berlari cepat, Korea harus
memastikan selalu berlari di samping pelari cepat. Pelari cepat itu Jepang. Semua orang Korea
punya semangat mengalahkan Jepang karena penjajahan Jepang terhadap Korea di masa lalu.

Park Sang-il juga mengakui Jepang merupakan guru sekaligus target yang mesti dikalahkan
hingga saat ini. Perusahaan elektronik Korea umumnya menargetkan Sony sebagai salah satu
perusahaan elektronik Jepang yang harus dikalahkan. Target itu kini telah tercapai.
Pendidikan Ekstrem
Korea pun menggenjot pendidikan formal bangsanya. Pemerintah mewajibkan semua warga
Korea menempuh pendidikan dasar 12 tahun atau minimal hingga selesai SMA. Hasilnya, Korea
menjadi salah satu negara dengan angka melek huruf tertinggi di dunia.

Pendidikan Ekstrem
Skor Pisa yang mengukur kemampuan siswa membaca, matematika, dan ilmu pengetahuan
tertinggi kelima di dunia pada 2012 versi OECD.

Selain itu, 84,6 persen siswa laki-laki dan 82,4 persen siswa perempuan tamatan SMA
melanjutkan ke sekolah tinggi atau universitas.
Kepala Sekolah Daewon Kim Il Hyoung yang Kompas temui di ruang kerjanya mengatakan,
sekolahnya fokus memprioritaskan penguasaan bahasa asing oleh siswanya, antara lain Inggris,
Jerman, Tiongkok, dan Spanyol. Siswa-siswa kami belajar bahasa ketiga di sini. Banyak di antara
mereka yang kemudian kuliah di Harvard, AS, atau Oxford, Inggris, ujar Kim.

Ketika Kompas datang ke sekolah itu, sejumlah murid perempuan sedang memainkan kenchi
benda berbahan kulit sebesar uang logam yang diikat beberapa helai bulu angsadengan
kakinya. Murid laki-laki bermain basket dengan riang. Beberapa murid yang berpapasan dengan
kami segera menundukkan kepala dan sedikit membungkukkan badan sebagai tanda hormat.
Jam bermain dan olahraga barangkali jam paling menyenangkan buat murid-murid itu.
Selanjutnya, mereka harus berkutat dengan berbagai pelajaran sepanjang hari dari pagi hingga
malam.

Tidak heran jika Korea sempat dinobatkan sebagai negara dengan jam pelajaran sekolah terlama
di dunia.
Jam pelajaran sepanjang itu pun dianggap belum cukup. Saat kelas berakhir, sebagian siswa
melanjutkan kegiatan dengan belajar bersama di aula. Bus sekolah lalu mengantar mereka
pulang pada pukul 22.30. Mereka yang tidak belajar di aula sebagian pergi ke tempat les buat
belajar lagi hingga larut malam.
Direktur Konseling Daewon Eric Cho mengatakan, jam pelajaran sebelumnya lebih panjang lagi.
Dulu, kelas baru berakhir pukul 21.45 dan murid masuk sekolah pada Sabtu. Masa-masa itu
memang sangat berat, lanjut Eric, tetapi orang Korea harus menjalaninya. Sebab, mereka sadar,
pendidikan satu-satunya jalan untuk sukses.

Demi berjalannya sistem pendidikan yang baik, pemerintah Korea mengalokasikan dana
anggaran yang besar di sektor ini.

Sistem pendidikan yang begitu keras bukannya tanpa ekses. Banyak anak yang tak tahan
dengan tekanan pelajaran akhirnya memilih bunuh diri. Belakangan ini, pemerintah mencoba
memperbaiki sistem pendidikan yang kelewat ekstrem.
Bulan ini, mereka (pemerintah) mencoba jam pelajaran sekolah dasar dimulai pukul 09.00
sehingga anak- anak punya waktu lebih untuk tidur dan sarapan bersama orangtua. Lembaga
kursus swasta di Hagwan juga harus tutup pukul 21.00 demi kesehatan anak-anak, ujar Eric.
Buat kami, sukses pendidikan itu adalah masalah hidup dan mati, ujar Lee Kang-hyun, Presiden
Korean Chamber of Commerce in Indonesia.
Dari zaman ke zaman, Korea terus bermetamorfosis hingga negara ini dijuluki sebagai Negeri
Mustahil. Sebutan itu dikemukakan Daniel Tudor, koresponden majalah The Economist di Korea
Selatan, dalam bukunya yang berjudul The Impossible Country (2012). Dalam buku tersebut
Korea Selatan dikisahkan sebagai negeri yang tadinya dibelit kemiskinan dan diduduki oleh
kekuasaan tangan diktator kini menjelma menjadi negeri modern, demokratis, makmur, dan
penuh semangat.
Korea Selatan, menurut Daniel Tudor, memiliki dua mukjizat yang telah menjadikan Negeri
Ginseng itu seperti sekarang ini. Pertama, Mukjizat Sungai Han. Han adalah sungai besar di
Semenanjung Korea dan merupakan sungai terpanjang keempat (494 kilometer) setelah Sungai
Amnok, Duman, dan Nakdong. Empat provinsitiga di Korea Selatan, yakni Gangwon, Gyeonggi,
dan Seoul; serta satu di Korea Utara, yakni North Hwanghaedilewati Sungai Han.

Istilah Mukjizat Sungai Han digunakan untuk menggambarkan pertumbuhan ekonomi Korea
setelah Perang Korea 1953 yang demikian cepat: dari sebuah negara yang terpuruk karena
perang, terbelakang secara ekonomi dan fisik, pengangguran menumpuk, serta infrastruktur
hancur, menjadi negara modern dan makmur.

Secara lebih khusus, istilah Mukjizat Sungai Han menunjuk pada pertumbuhan perekonomian
Seoul, ibu kota negara yang dilalui Sungai Han. Perekonomian Korea Selatan tumbuh cepat sejak
1960-an.Pertumbuhannya pun dapat dikatakan stabil, yakni 8 persen, sampai 1980-an.

Istilah Mukjizat Sungai Han berasal dari istilah di Jerman setelah akhir PD II, yakni Mukjizat
Sungai Rhein. Kedua negara, Jerman dan Korea Selatan, muncul dari reruntuhan perang menjadi
negara maju.

Mukjizat kedua adalah transformasi politik dari negara diktator militer menjadi negara
demokratis. Negeri ini menjunjung tinggi nilai-nilai rule of law, pemerintahan berdasarkan hukum
dan hak-hak warga negaranya. Yang terbukti bertindak melanggar hukum, seperti korupsi,
dihukum berat, siapa pun mereka, termasuk dua presiden: Chun Doo-hwan (1980-1988) dan Roh
Tae-woo (1988-1993).
Doktrin, Perencanaan, dan Revolusi Mental

Park Sang-il, Profesor di Seoul National University of Technology and Science, adalah produk
pendidikan generasi yang terlibat dalam perang. Ketika ia sekolah di SMA awal 1970-an, bangsa
Korea sedang membangun diri jadi negara industri. Hampir semua anak muda ingin jadi insinyur
ketika itu, ujarnya. Maka, selepas SMA, Park kuliah di jurusan elektronika di Yonsei University.
Tahun 1980-an, ia sadar, industri masa depan ada di bidang semikonduktor. Ia lantas mengejar
cita-cita menjadi ahli semikonduktor ke AS hingga jenjang doktor. Sepulang dari AS, ia menjadi
bagian kisah sukses Samsung Electronics. Generasi saya bisa seperti sekarang karena disiplin,
tidak mau kalah, dan bekerja ekstra keras untuk memenangi persaingan. Nilai-nilai itu masih
dipegang anak muda sekarang. Mereka bahkan lebih pintar," ujar Park Bersamaan dengan
pendidikan ekstrem dan insentif untuk para pengusaha, Pemerintah Korea juga menanamkan
doktrin yang tidak bisa ditawar-tawar tentang cinta produk lokal sebagai bagian dari sikap
patriot. Kalau menggunakan produk asing, kami merasa malu karena dianggap tidak membantu
negara. Inilah yang membuat perusahaan Korea bisa hidup dan terus berkembang karena
mereka punya pasar, ujar Direktur Korea Cultural Center di Jakarta, Rezky Seokgi Kim.

Louis Go (39), pengusaha bidang hiburan, menceritakan, ia dididik dengan kisah tentang bangsa
Korea yang sejak dulu lebih baik daripada Jepang dan Tiongkok. Kerajaan-kerajaan Korea pernah
ekspansi hingga daratan Tiongkok dan Jepang, kata Go mengulang kisah yang sejak kecil
dituturkan orangtuanya. Soal penjajahan Jepang atas Korea pada awal abad ke-20, ayah Go
berpendapat, Kami hanya kalah cepat dari Jepang. Akan tetapi, Korea tetap lebih baik daripada
Jepang. Ketika Go mulai sekolah pada 1982, ia ingat setiap minggu gurunya memeriksa semua
tas murid. Kalau guru menemukan pensil atau pulpen buatan Tiongkok atau Jepang, ia akan
menegur. Guru lalu mengingatkan semua murid agar menggunakan produk lokal, tambah Go,
dalam perbincangan dengan Kompas.com dan Kompas pada medio Agustus 2014 di Jakarta.
Saat itu, Go sebenarnya punya pensil buatan Jepang yang kualitasnya bagus dibandingkan
dengan pensil Korea. Namun, ia tak pernah berani memakainya, apalagi membawanya ke
sekolah. Rasanya malu sekali kalau sampai ketahuan punya produk Jepang atau Tiongkok.
Sebab, Jepang dulu pernah menjajah kami dan Tiongkok negara komunis yang membuat kami
perang saudara, ucapnya. Semua cerita yang dijalani bangsa Korea sejak hari pertama
kemerdekaannya ini, menurut Rezky tak beda dengan seruan Revolusi Mental yang
dikumandangkan Presiden Joko Widodo di Indonesia pada saat ini. Dia pun berkeyakinan, bila
proses yang sama bisa berjalan di Indonesia, maka kemajuan yang bisa diraih Korea Selatan pun

akan terjadi di Indonesia. "Ini hanya soal waktu dan skala. Korea bisa lebih cepat karena
penduduk kami hanya 50-an juta, sementara Indonesia sudah 250-an juta," kata Rezky. Namun,
imbuh dia, perencanaan langkah dan insentif yang tepat dari Pemerintah juga harus seiring
sejalan dengan Revolusi Mental. "Pasti bisa!" tegas Rezky.

Anda mungkin juga menyukai