Sejarah Uang Indonesia Masa Pra
Sejarah Uang Indonesia Masa Pra
Sejarah dan perkembangan mata uang di Indonesia sudah dimulai sejak masa
jaya Kerajaan Mataram Kuno, yakni sekitar tahun 850 M. Kerajaan ini
menggunakan koin-koin emas dan perak berbentuk kotak sebagai alat
tukarnya.Koin-koin Kerajaan Mataram memiliki tiga satuan berbeda, yang
nominalnya paling besar yakni Masa atau Ma dengan berat 2,4 gram; satu
langkah di bawah Ma adalah Atak dengan berat 1,2 gram, 1 Atak setara dengan
Ma; dan Kupang atau Ku dengan berat 0,6 gram, 1 Ku setara dengan Atak.
2. Uang masa Kerajaan Jenggala
Keberadaan uang di Indonesia pun tidak terlepas dari sebuah kerajaan digdaya
di nusantara, Kerajaan Majapahit. Berdiri pada 1293 1500 M, Kerajaan
Majapahit kembali menggunakan mata uang Ma, seperti Kerajaan Mataram Kuno.
Tidak hanya Ma, kerajaan ini juga memiliki satuan mata uang Tahil, yang juga
berupa koin emas. Selain itu, Kerajaan Majapahit juga menggunakan uang-uang
dari emas dan perak dalam berbagai bentuk: segiempat, setengah atau
seperempat lingkaran, segitiga, trapesium, bahkan bentuk yang tidak jelas.Ini
menunjukkan bahwa rupa uang tersebut tidak penting. Selama ada cap
bergambar teratai atau jambangan di permukaannya, uang tersebut bisa
digunakan. Ada juga Gobog Wayang, sebuah keeping uang dengan lubang di
tengahnya. Gobog Wayang merupakan bentuk satuan mata uang yang ada
dalam pengaruh budaya Cina.
4. Uang masa Kerajaan Samudra Pasai
Zahir dan Sultan al Adul di sisi yang lain.Malik al Zahir adalah petinggi teladan.
Uang yang dikeluarkan setiap periode selalu mencantumkan nama Malik Al Zahir.
Nilai 16 Dirham sama nilainya dengan 1 Real Spanyol atau nilai 5 Dirham sama
dengan 1 Silling Inggris. Dirham Samudra Pasai berkadar emas 70% dan 22
karat. Kemudian dalam perkembangannya kandungan emas terus diturunkan.
Nilai mata uang Dirham dibuat dengan nilai 1 Dirham dan 1/2 Dirham.
5. Uang masa Kerajaan Buton
Dalam sejarah uang Indonesia sebelum era penjajahan, uang Kasha adalah mata
uang Kesultanan Banten. Dibuat pada 1550 1596 M, koin emas ini juga
mencerminkan pengaruh Cina pada desainnya dan pengaruh Arab pada
ukirannya. Selain itu terdapat pula koin-koin tembaga dan timah.
7. Uang masa Kerajaan Gowa
Kerajaan yang terkenal dengan kisah patriotik Sultan Hasanuddin ini mengukir
sejarah uang Indonesia dengan mengeluarkan mata uang Jingara. Jingara
menggunakan campuran timah dan tembaga sebagai bahannya.
8. Uang masa Kesultanan Cirebon
Sejarah uang Indonesia pada masa Kesultanan Cirebon juga tidak terlepas dari
pengaruh Cina. Kesultanan Cirebon membuat mata uang dengan bantuan
seorang Cina, mata uang tersebut disebut Picis. Picis terbuat dari timah tipis dan
mudah pecah.
9. Uang Kesultanan Sumenep
Sumatra dan rupiah Jawa (keduanya hanya bertahan sampai tahun 1824
Masehi). Keduanya punah karena pemerintah kolonial menegaskan penggunaan
gulden.
Gulden pada sejarah uang Indonesia sempat ditarik dari peredaran karena
berukirkan Ratu Wilhelmina dengan rambut yang terurai. Penarikan dari
peredaran ini dilakukan karena dianggap sebagai penggambaran tidak sopan
kepada seorang bangsawan. Gulden berjaya di Indonesia untuk waktu yang
relatif lama. Bahkan pada masa pemerintahan kolonial Jepang pun mata uang
Belanda ini masih digunakan. Hanya saja, pada gulden di masa penjajahan
Jepang tertera tulisan De Japansche Regering (pemerintah Jepang). Selain
itu, pemerintah kolonial Jepang juga mengedarkan mata uangnya sendiri, yaitu
Dai Nippon Teikoku Seihu. Selain gulden dan mata uang Jepang, mata uang lain
yang pernah beredar dalam masa sejarah Indonesia adalah mata uang rupiah
Hindia-Belanda. Mata uang ini diperkenalkan di tahun 1944 tetapi hanya
bertahan satu tahun karena terimbas peperangan (Perang Dunia II).
Sejarah Uang Indonesia Pasca-Kemerdekaan
Dalam sejarah Indonesia, mata uang yang secara resmi beredar pada awal masa
kemerdekaan adalah mata uang Jepang, gulden Hindia-Belanda, dan mata uang
De Javasche Bank.Inflasi mata uang sempat terjadi pada mata uang Jepang,
terkait kekalahannya dalam Perang Dunia II. Rakyat kecil Indonesia adalah pihak
yang paling dirugikan atas inflasi tersebut, karena rakyat kecil Indonesia saat itu
paling banyak menggunakan mata uang Jepang dalam kegiatan ekonomi seharihari. Kerugian rakyat kecil dalam sejarah uang Indonesia diperparah dengan
diturunkannya kebijakan Panglima AFNEI yang menduduki Indonesia tahun 1946.
Kebijakan tersebut berisi pemberlakuan mata uang NICA sebagai alat transaksi
resmi di Indonesia. Kebijakan ini menuai protes dari pihak pemerintah Indonesia
karena mata uang NICA dianggap merugikan rakyat pribumi dan mengacaukan
stabilitas perekonomian Indonesia yang baru saja merdeka. Sikap protes
pemerintah Indonesia ditunjukkan dengan dikeluarkannya kebijakan pelarangan
menggunakan mata uang NICA dalam bertransaksi. Langkah besar sejarah uang
Indonesia yang pertama dalam mengatasi dilema penggunaan mata uang
dengan pasukan AFNEI adalah diterbitkannya ORI (Oeang Republik Indonesia).
Uang dalam ilmu ekonomi tradisional didefinisikan sebagai setiap alat tukar yang
dapat diterima secara umum. Alat tukar itu dapat berupa benda apapun yang
dapat diterima oleh setiap orang di masyarakat dalam proses pertukaran barang
dan jasa. Dalam ilmu ekonomi modern, uang didefinisikan sebagai sesuatu yang
tersedia dan secara umum diterima sebagai alat pembayaran bagi pembelian
barang-barang dan jasa-jasa serta kekayaan berharga lainnya serta untuk
pembayaran hutang.Beberapa ahli juga menyebutkan fungsi uang sebagai alat
penunda pembayaran. Rupiah adalah mata uang resmi Indonesia. Mata uang ini
dicetak dan diatur penggunaannya oleh Bank Indonesia dengan kode ISO 4217
IDR. Secara tidak formal, orang Indonesia juga menyebut mata uang ini dengan
nama "perak". Satu rupiah dibagi menjadi 100 sen, walaupun inflasi telah
membuatnya tidak digunakan lagi kecuali hanya pada pencatatan di pembukuan
bank.
Pada awalnya seorang pemilik koin emas yang ingin mengamankannya dari
bahaya akan menitipkannya pada seorang pandai emas atau seseorang yang
memiliki peti yang kuat dan loket untuk penebusannya. Ia akan
meninggalkannya tentu saja dengan syarat ia dapat menariknya kembali,
Tapi itu baru awal dari cerita. Sebab sebagaimana kita ketahui, para bankir akan
menerbitkan tanda terima, kuitansi, atau istilah resminya janji pembayaran
(promissory note), sebagai bukti penitipan koin emas itu. Oleh nasabahnya,
kuitansi itu diterima seolah sebagai benar-benar pembayaran. Kertas ini, hari ini
kita sebut sebagai cek.
Kemudian beredar dari satu tangan ke tangan yang lain untuk sewaktu-waktu dicash kan (ditukar dengan koin emas di bank). Secarik kertas inipun di bawah
hukum alat tukar (law of legal tender) akhirnya menjadi uang itu sendiri. Dengan
instrumen ini para bankir mendapatkan keuntungan secara luar biasa karena,
dengan mengeluarkan kerta-kertas janji pembayaran ini, telah menciptakan
uang dari kehampaan.
Anda dan saya dengan 1100 Poundsterling dapat mengupah 11 orang untuk
membangunkan sebuah rumah untuk kita dalam waktu 6 bulan. Tapi seorang
bankir dengan 1100 Pound dapat sekaligus membangun 10 rumah. Anda dan
saya dapat meminjamkan uang kita yang 1100 Pound itu dengan 5% bungan dan
mendapatkan 50 Pound dalam setahun; tapi seorang bankir, dengan dasar yang
sama, dapat memperoleh sebanyak 550 Pound dalam setahun.
Ini juga belum akhir dari cerita, karena dengan berlakunya janji pembayaran
tersebut sebagai uang itu sendiri, para bankir dapat melipat gandakan uangnya
lagi, dengan cara menciptakan utang kepada para nasabah. Dengan teknik
cadangan sebagaian ini, seorang bankir kemudian dapat memperbanyak uang
-nya sampai jumlah hampir tak terbatas, dengan jalan mengutangkan (tepatnya:
membukukan utang) dengan bunga tersebut. Dalam istilah perbankan praktek
ini disebut sebagai ekspansi kredit. Syarat cadangan sebagian atau fractional
reserve requirement lazimnya pada mulanya adalah antara 8-10%. Dengan
teknologi yang lebih baru, kartu kredit, sebuah bank bahkan praktis dapat
membukukan utang dengan demikian menciptakan uang tanpa cadangan
sama sekali.
Loan dari IMF, dapat berarti utang untuk menggali kuburnya sendiri. Contoh
kasusnya utang kepada Daulah Utsmani dan, semakin dapat dibuktikan
kebenarannya, yang diberikan kepada bangsa kita sendiri sebagaimana kita
alami hari-hari ini. Kita akan melihat fakta-faktanya di bawah nanti.
Semuanya sudah makin jelas kini. Tapi masih ada juga kesalahpahaman lain
tentang uang kertas dan implikasinya. Sebagian beranggapan bahwa uang
kertas lebih memajaki (membebani) kaum yang kaya yang punya lebih banyak
uang daripada kaum miskin yang lebih sedikit memegangnya. Ini kekeliruan
fatal, karena yang sebaliknyalah yang terjadi. Inflasi adalah pajak yang jauh lebih
dibebankan kepada orang miskin. Sebab, meskipun inflasi menurunkan nilai
semua mata uang dalam suatu waktu tanpa melihat siapa yang memilikinya,
inflasi lebih menguntungkan orang-orang yang tengah berutang. Sebab, mereka
yang berutang, akan melunasinya dengan nilai uang yang secara riel lebih kecil
dari nilai asal yang menjadi kewajibannya semula. Karena yang mendapatkan
kredit ini kebanyakan adalah orang kaya, merekalah yang lebih diuntungkan oleh
sistem ini, dengan dua alasan:
1. Inflasi menurunkan nilai riel uang yang harus dibayarkan oleh debitur kaya
tersebut.
2. Sistem uang kertas memberikan keistimewaan eksklusif yang luar biasa
kepada orang kaya berupa akses untuk mendapatkan modal dari perbankan.
Secara keseluruhan sistem uang kertas adalah suatu bentuk ketidakadilan
berupa pajak yang paling berat bagi warga negara, terlepas dari kelas sosial dan
kondisi lainnya, demi keuntungan segelintir pribadi-pribadi. Semakin banyak
uang yang diciptakan dalam bentuk kredit yang dikeluarkan oleh bank, semakin
tinggi pajak yang harus ditanggung oleh masyarakat. Tingkatnya melebihi inflasi,
karena harus kita tambahkan di sini dengan tidak meratanya peredaran uang,
karena berlakunya formula uang-datang-kepada-uang. Seseorang yang akan
meminta kredit kepada bank, katakanlah Rp. 1 Milyar, harus menyediakan
ekuitas senilai yang sama, Rp 1 Milyar. Mungkinkah Rp 1 Milyar ini disediakan
oleh seorang nelayan di Muara Angke? Kredit perbankan hanya akan datang
kepada kaum kaya, yang akibatnya akan makin mempertajam jurang
ketimpangan antara si kaya dan si miskin.
Itulah, boleh jadi, sisi terburuk dari sistem uang kertas: perpajakan terselubung,
yang tidak terlihat karena tidak mudah, dan tidak pernah, dihitung seperti halnya
inflasi. Secara keseluruhan itulah kapitalisme, yang ditopang oleh dua sumber
daya hidupnya, riba sebagai jantung kiri dan pajak sebagai jantung kanannya.
Dalam skala global kapitalisme, sebagaimana akan segera kita perlihatkan di
bawah ini, telah menggantikan kekuatan militer sebagai alat untuk
mengendalikan (baca: menjajah) warga masyarakat.
Selain alat dan cara penjajahannya ada perbedaan penting lain pada
kolonialisme baru dibanding yang lama yang patut diketahui, meski pelaku dan
korbannya sama. Ketika kolonialisme berlangsung secara fisik-militer, para
pelakunya memperalat suatu pemerintahan (nasional) untuk menduduki secara