Anda di halaman 1dari 89
KAJIAN ANATOMIS KAYU JATI (Tectona grandis L.f) DARI PERBANYAKAN KULTUR JARINGAN DAN PERBANYAKAN BENIH Oleh: GUSTI EVA TAVITA PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2001 ABSTRAK GUSTI EVA TAVITA. Kajian Anatomis Kayu Jati (Tectona grandis L.f} dari Perbanyakan Kultur Jaringan dan Perbanyakan Beni, Dibawah bimbingan KURNIA SOFYAN, Alm, TOGAR L TOBING dan CORRYANTI, Twn Permintaan akan kayu jati yang terus meningkat sedangkan ketersediaan bahan baku terbatas menyebabkan Perum Perhutani mengembangkan teknologi kultur jaringan. Dengan teknik ini jati berumur 15 tahun telah mencapai diameter 30 - 40 ‘em, sedangkan cara konvensional untuk mencapai diameter yang sama dibutuhkan 40 tahun, Pada tahun pertama pertumbuhan tinggi lebih cepat sehingga batang melentur dan tidak berdiri tegak. Tujuan penelitian adalah mempelajari perkembangan jaringan primer dan sekunder serta mempelajari anatomi kayu jati dari perbanyakan kultur jaringan dan perbanyakan benih. ‘Anakan dipotong setebal + 5 cm mulai dari pucuk hingga pangkal, difiksasi dalam larutan FAA, disayat longitudinal dan transversal dengan rotary mikrotom yang mengacu pada metode Sass (1958) dan diamati di bawah mikroskop. Lempengan kayu jati setebal 5 cm dibuat maserasi dan slide mikrotom. ‘Hasil penelitian pada sampel anakan dan sampel kayu dewasa menunjukkan pertumbuhan primer dan sekunder kayu Kultur jaringan pada 6 bulan pertama cenderung lebih cepat dibandingkan dengan perbanyakan benih. Dimensi_serabut, frekuensi pori dan diameter tangensial pori kayu asal perbanyakan benih berada dalam kisaran yang sama dengan kultur jaringan. Umur dengan panjang serabut kayu jati kultur jaringan pada ketinggian dan posisi pada pohon menunjukkan pola hubungan positif, yaitu meningkat dengan bertambahnya umur pohon untuk semua faktor, sedangkan pada non kuljar terdapat pola hubungan yang positif dan kuadratik. Umur dengan diameter lumen pada kayu jati kultur jaringan maupun non kuitur jaringan menunjukkan pola hubungan negatif, yaitu menurun dengan bertambahnya umur kayu. Umur dengan tebal dinding sei pada jati kultur jaringan maupun non kultur jaringan menunjukkan pola hubungan yang positif, yaitu meningkat dengan bertambahnya umur kayu. SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul : “KAJIAN ANATOMIS KAYU JATI (Tectona grandis. L.f) DARI PERBANYAKAN KULTUR JARINGAN DAN PERBANYAKAN BENIH” adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya Bogor, September 2001 KAJIAN ANATOMIS KAYU JATI (Tectona grandis L.f) DARI PERBANYAKAN KULTUR JARINGAN DAN PERBANYAKAN BENIH Oleh: GUSTI EVA TAVITA Tesis Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains Pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2001 Judul Tesis : KAJIAN ANATOMIS KAYU JATI (Tectona grandis Lf) DARI PERBANYAKAN KULTUR JARINGAN DAN PERBANYAKAN BENIH Nama : GUSTIEVA TAVITA NRP > 98213 Program Studi: ILMU PENGETAHUAN KEHUTANAN Menyetuj 1. Komisi Pembimbing aa Prof,Dr.ir, Kurnia Sofyan, MS Ketua ‘Anggota ‘Anggota ‘Syafrida Manuwoto, MSc O4ocT 201 -Dr.Ir,Dodi Nandika, MS ‘Tanggal Lulus: 24 September 2001 Riwayat Hidup Penulis dilahirkan di Singkawang Kalimantan Barat tanggal 12 Maret 1965, merupakan anak ke tiga dari tujuh bersaudara dari pasangan H. Gusti ‘Ahmad Ruslan dan Hj, Urai Aida. Pendidikan sarjana diraih di Universitas Tanjungpura Pontianak, pada Falultas Pertanian Jurusan Kehutanan dan lulus pada Tahun 1989. Selanjutnya pada tahun 1991 bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Pertanian Jurusan Kehutanan Universitas Tanjungpura. Menikah dengan Ir. Nurkirana dan telah dikaruniai 2 orang putera yaitu Muhammad Evan Pubescen (11 tahun) dan Muhammad Khairil Akbar (7 tahun). Pada tahun 1998 dengan Biaya Program Pasca Sarjana (BPPS) dari Departemen Pendidikan Nasional, penulis mengikuti pendidikan Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada program studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan dengan spesialisasi Anatomi Kayu. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains penulis menyusun tesis dengan judul “Kajian Anatomis Kayu Jati (Tectona grandis Lf) dari Perbanyakan Kultur Jaringan dan Perbanyakan Benih” dibawah bimbingan ProfDr.Ir-HKurnia Sofyan, Alm. Ir. Togar L-Tobing, M.Sc dan Ir. Corryanti Twn, MSi PRAKATA Segala puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, Karena hanya atas perkenan-Nya penulisan tesis yang berjudul “Kajian Anatomis Kayu Jati (Tectona grandis Lf) dari Perbanyakan Kultur Jaringan dan Perbanyakan Benih” dapat diselesaikan. Dengan selesainya penulisan tesis ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada keluarga tercinta, khususnya suami Ir. Nurkirana dan anak-anakku Evan dan Aril yang selalu menyertai setiap langkah dengan doa dan kasih sayangnya, Ibu dan Abah serta Mama Almarhumah Hj. Rafiah dan Bapak H. Nurdin. Tidak lupa ucapan terima kasih kepada Bapak ProfDr.Ir.-HKumia Sofyan, MS, Bapak Almarhum Ir, Togar L.Tobing, MSc dan Ibu Ir, Corryanti Twn., MSi atas bimbingan dan saran yang diberikan selama penelitian dan penulisan tesis, Bapak Ir. Sadharjo, MSc Ka. Pusbang SDH Perum Perhutani di Cepu, Bapak Dr.Ir. Supriyanto, DEA atas bantuan fasilitas di Laboratorium Silvikultur Biotrop beserta staf (Bapak Yadi). Teman- temanku Esti, Debi, Prela, bu Marlina, Trixa, Linda, Endang dan Dian atas persaudaraan yang inda, teman-teman se kost 98 (Ina, Ratna, Nani, Yaya dan kak Salmah) serta teman-teman IPK 98 atas persahabatan yang baik. ‘Akhirnya, semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang Anatomi Kayu. Bogor, September 2001 DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK RIWAYAT HIDUP PRAKATA DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN ... PENDAHULUAN Latar Belakang. .. Tujuan Penelitian Hipotesis Manfaat Penelitian .. TINJAUAN PUSTAKA ... Kayu Jati (Tectona grandis L.£) Anatomi Kayu Kultur Jaringan Tanaman Kehutanan Pertumbuhan Primer dan Sekunder Batang, Kayu Awal dan Kayu Akhir BAHAN DAN METODA PENELITIAN Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metoda Penelitian Analisis Data. HASIL DAN PEMBAHASAN Sel-sel Inisial Fusiform . Proporsi Kayu Awal dan Kayu Akhir Diameter Tangensial Pori Dimensi Serabut ....... KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan . Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN: wane wwnoeweSe SHH. Skema Pengambilan Contoh Uji Mikroskopis OP D> PD > pw Pp > Grafik Hubungan Antara Umur dan Panjang Serabut Jati Kultur Jaringan .. |. Grafik Hubungan Antara Umur dan Panjang Serabut Jati Non Kultur Jaringan ... Grafik Hubungan ‘Antara Umur dan Diameter Lumen Jati Kultur Jaringan .. . Sel-sel inisial fusiform jati kuljar umur 4 bulan ... DAFTAR GAMBAR Halaman ‘Apeks pucuk Jati Kultur Jaringan Umur 2 bulan ‘Apeks pucuk Jati Non Kultur Jaringan Umur 2 bulan 0... Apeks pucuk Jati Kultur Jaringan Umur 4 bulan .... Apeks pucuk Jati Non Kultur Jaringan Umur 4 bulan Jaringan Sekunder Jati Kultur Jaringan Umur 2 bulan... Jaringan Sekunder Jati Non Kultur Jaringan Umur 2 bulan... Jaringan Sekunder Jati Kultur Jaringan Umur 4 bulan.... Jaringan Sekunder Jati Non Kultur Jaringan Umur 4 bulan. Jaringan Sekunder Jati Kultur Jaringan Umur 6 bulat Jaringan Sekunder Jati Non Kultur Jaringan Umur 6 bular Sel-sel inisial fusiform jati kuljar umur 2 bulan ... Sel-sel inisial fusiform jati non kuljar umur 2 bulan... Sel-sel inisial fusiform jati non kuljar umur 4 bulan. Grafik Hubungan Antara Umur dan Diameter Lumen Jati Non Kultur Jaringan .. Grafik Hubungan Antara Umur dan Tebal Dinding Sel Jati Kultur Saringan. . Grafik Hubungan Antara Umur dan Tebal Dinding Sel Kayu Jati Non Kultur Jaringan ... 20 27 27 28 32 32 34 34 35 35 37 37 38 38 45 47 50 .. 57 wawn DAFTAR TABEL Halaman Perbandingan Jumlah, Panjang dan Diameter Sel Inisial Pada Pinus strobus..... Lokasi Pengambilan Contoh 4 17 Jarak Apeks Pucuk ke Jaringan Meristem .... 29 Diameter apeks pucuk Pada Primordia Daun Pertama... 30 Proporsi Kayu Awal dan Kayu Akhir Kayu Jati Kultur Jaringan dan Non Kultur Jaringan Pada Berbagai Tingkat Umur.. 40 Diameter Tangensial Pori Kayu Kultur Jaringan dan Non Kultur Jaringan Pada Beberapa Tingkat umur .. 41 Nilai Rata-rata Panjang Serabut Kayu Jati Kultur Jaringan dan Non Kultur Jaringan Pada Beberapa Tingkat Umur dan Ketinggian Pada Pohon .... 43 Hasil Uji Duncan Nilai Rata-rata Panjang Serabut Kayu Jati Kultur Jaringan ..... 44 Hasil Uji Duncan Nilai Rata-rata Panjang Serabut Kayu Jati Non Kultur Jaringan : sess 46 Nilai rata-rata Diameter Lumen Kayu Jati Kultur Jaringan dan Non Kultur Jaringan Pada Beberapa Tingkat Umur dan Ketinggian Pada Pohon. 48 Hasil Uji Duncan Nilai Rata-rata Diameter Lumen Kayu Jati Kultur Jaringan Hasil Uji Duncan Nilai Rata-rata Diameter Lumen Kayu Jati Non Kultur Jaringan 51 Nilai Rata-rata Tebal Dinding Sel Kayu Jati Kultur Jaringan dan Non Kultur Jaringan Pada Beberapa Tingkat Umur dan Ketinggian Pada Pohon .. 33 Hasil Uji Duncan Nilai Rata-rata Tebal Dinding Sel Kayu Jati Kultur Jaringan 35 Hasil Uji Duncan Nilai Rata-rata Tebal Dinding Sel Kayu Jeti Non Kultur Jaringan ... 1 12. 13. 14. 15. 16. DAFTAR LAMPIRAN Halaman Prosedur Pembuatan Sediaan Maserasi dan Mikrotom .. Bagan Urutan Kerja Pembuatan Slide Mikrotom Rotary pada Kayu Jati dengan Metoda Sass (1961) Unutan Proses Penjernihan (Clearing) Sampel dengan Metode Sass (1961) .. Diameter Tangensial Kayu Awal dan Kayu Akhie Jati Kuljar dan Non Kuljar Pada Berbagai Umur .. Analisis Sidik Ragam Nilai Rata-rata Panjang Serabut Kayu Jati Kultur Jaringan ve . Analisis Sidik Ragam Nilai Rata-rata Panjang Serabut Kayu Jati Non Kuitur Jaringan ... Analisis Sidik Ragam Nilai Rata-rata Diameter Lumen Kayu Jati Kultur Jaringan te . Analisis Sidik Ragam Nilai Rata-rata Diameter Lumen Kayu Jati Non Kultur Jaringan ....... . Analisis Sidik Ragam Nilai Rata-rata Tebal Dinding Sel Kayu Jati Kultur Jaringan .. Analisis Sidik Ragam Nilai Rata-rata Tebal Dinding Sel Kayu Jati Non Kultur Jaringan ... Nilai Rata-rata Panjang Serabut Kayu Jati Kultur Jaringan Nilai Rata Rata Diameter Lumen Kayu Jati Kultur Jaringan Nilai Rata-rata Tebal Dinding Sel kayu Jati Kultur jaringan. Nilai Rata-rata Panjang Serabut Kayu Jati Non Kultur Jaringan Nilai Rata Rata Diameter Lumen Kayu Jati Non Kultur Jaringan Nilai Rata-rata Tebal Dinding Sel kayu Jati Non Kultur Jaringan. 65 67 68 69 70 70 at 7 2 72 B 4 7 76 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Kayu jati (Tectona grandis Lf) merupakan jenis kayu yang sampai saat ini banyak kelebihan dibandingkan jenis lain karena mempunyai kelas awet tinggi, sifat kayu masih menjadi komoditas utama Perum Perhutani, Kayu jati memilil yang keras namun mudah pengerjaannya sehingge baik untuk bahan baku konstruksi, perkakas, penggergajian, venir dan sebagainya. Jati sangat mudah dikenali dengan citi utama kayu terasnya berwarna kuning emas kecoklatan sampai coklat kemerahan, lingkaran tumbuh yang jelas sehingga memiliki nilai dekoratif yang sangat indah. Karena kelebihannya tersebut menyebabkan penggunaan kayu jati sangat luas dan sangat diminati. Untuk mengantisipasi permintaan yang terus meningkat sedangkan ketersediaan bahan baku terbatas dan riap pertumbuhan yang lambat sebingga membutuhkan waktu pemanenan yang lama, maka Perum Perhotani mengembangkan jati dengan memanfaatkan teknologi kultur jaringan. Kultur jaringan adalah suatu teknik perbanyakan mikro (mikropropagasi) dengan cara mengambil potongan jaringan/organ dari tanaman donor kemudian dikwltur secara aseptik pada medium yang mengandung unsur-unsur hara (Bonga dan Durzan, 1985). Teknik ini diharapkan dapat menjamin kualitas genetik yang sama dengan tanaman induknya, menghasilkan bibit dalam jumlah banyak dalam waktu singkat dan tidak tergantung musim. Dengan menggunakan teknik pembiakan kultur jaringan, telah diperoleh tanaman jati yang berumur 15 tahun dengan diameter 30 - 40 om (Perum Perhutani, 1999). Pertumbuhan tersebut tergolong cepat dibandingkan dengan tanaman jati_yang bukan dari perbanyakan kultur jaringan pada umur yang sama, ‘Namun demikian terdapat kelemahan pada teknik ini dimana pada tahun pertama pertumbuhan pohon, pertambaban tinggi lebih cepat dibandingkan dengan pertambaban diameternya. Pertambahan tinggi atau pertumbuhan primer yang terlalu cepat dan pertumbuhan diameter atau pembemtukan jaringan sekunder yang lambat pada awal pertumbuhan mengakibatkan batang yang masih muda agak melentur dan tidak dapat berdiri dengan tegak. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dipandang perlu untuk melakukan penelitian secara mikroskopis perkembangan jaringan primer dan sekunder anakan jati, susunan elemen-elemen penyusun kayu jeti, bentuk, ukurannya di dalam batang pada kayu yang berasal dari perbanyakan kultur jaringan dan perbanyakan benih (non kultur jaringan). Penelitian yang dilakukan berjudul “Kajian Anatomis Kayu Jati (Tectona grandis L.f) dari Perbanyakan Kultur Jaringan dan Perbanyakan Benih” ‘Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah: 1. Untuk mempelajari perkembangan jaringan primer dan sekunder berdasarkan aktivitas apikal meristem pada pucuk dan vaskular kambium pada anakan jati asal perbanyakan kultur jaringan dan benih (non kultur jaringan). 2, Untuk mempelajari anatomi kayu jati yang berasal dari asal perbanyakan ‘kultur jaringan dan asal perbanyakan benih pada umur kayu yang sama. Hipotesis Perbanyakan jati kultur jaringan diduga memiliki struktur sel yang sama dengan dimensi dan proporsi yang berbeda dengan jati asal perbanyakan benih. Manfaat Penelitian . Hasilpenelitian ini diharapkan dapat memperoleh keterangan yang lengkap mengenai_perkembangan jaringan primer dan sekunder pada anakan jati. n Dapat memperoleh keterangan tentang anatomi kayu jati dari perbanyakan kkultur jaringan dan perbanyakan benih e Dapat menduga sifat-sifat kaya jati Kultur jaringan dewasa berdasarkan anatomi kayu yang masih muda sehingga dapat dijadikan dasar penggunaannya dan pemanfaatannya demi mengantisipasi kebutuhan akan kayu jati dimasa- masa mendatang. TINJAUAN PUSTAKA Kayu Sati (Tectona grandis L.f) Jati termasuk famili Verbenaceae, Ordo Tubliflorae dengan daerah penyebarannya di Asia Tenggara seperti Burma, India, Thailand dan Vietnam. Di Indonesia penyebarannya terutama di pulau Jawa, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat (Sumbawa), Maluku dan Lampung (Martawijaya, dkk., 1995). Kayu jati memiliki karakteri ‘ik yaitu warna kayu terasnya yang kuning emas kecoklatan sampai merah kecoklatan dan mudah dibedakan dengan kayu gubalnya berwarna putih agek keabu-abuan. Kayu jati memiliki dekoratif yang indah berkat jelasnya lingkaran tumbuh (Mandang dan Pandit, 1997). Kayu jati memiliki susunan pori tata lingkar, dimana pori berukuran besar melingkar secara konsentris yang diikuti oleh pori-pori yang berukuran kecil, Diameter pori pada kayu awal 340 - 370 y, dan pada kayu akhir 50 - 290 1 dengan frekuensi 3 - 7 pori per mm?. Sebagian porinya berisi deposit wama putih dan tilosis, Panjang serabut rata-rata kayu jati adalah 1.316 }1 dengan diameter serabut 24,8 yw, teal dinding 3,3 1 dan diameter lumen 18,2 y. Parenkim aksial pada kayu jati mempunyai dua pola penyebaran, yaitu paratrakeal berbentuk sclubung tipis dan apotrakeal, Parenkim paratrakeal pada bagian kayu awal selubung ini agak melebar sampai membentuk pita marginal, tetapi tidak semua memiliki pita marginal, Parenkim apotrakeal agak jarang, umumnya membentuk rantai yang terdiri dari empat sel. Jari-jari lebar, terdiri dari empat seri atau lebih dan berjumlah 4 - 7 per mm arah tangensial. Anatomi Kayu 1. Pengertian Struktur Kayn Menurat Wangaard (1981), yang dimaksud dengan struktur kayu adalah bagaimana elemen-elemen atau sel-sel tersusun sehingga berwujud kayu, macam elemen yang menyusunnya, bagaimana masing-masing bentuknya, ukuran serta fungsiny di dalam batang. Berdasarkan fungsinye di dalam batang elemen-elemen yang menyusun kayu ada 3 macam : 1, Elemen yang berfungsi sebagai jaringan penguat agar pohon dapat berdiri ‘tegak menahan tajuk. 2. Elemen yang berfingsi sebagai penyalur cairan (sap) dan hara mineral dari dan ke seluruh bagian tanaman. Elemen tersebut adalah floem (kulit dalam) dan xylem terutama bagian kayu gubal. 3. Blemen yang berfiungsi sebagai jaringan penyimpan makanan, jaringan ini secara anatomi disebut sebagai jaringan parenkim. Pengamatan terhadap corak maupun komponen sel-sel penyusun kayu dilakukan secara’ makroskopis, mikroskopis dan — submikroskopis (ultramikroskopis). Ciri kayn yang dapat dilihat dengan mata biasa dinamakan makroskopis karena untuk pengamatan ini tidak membutuhkan mikroskop. Pengamatan terhadap susunan sel kayu dilakukan secara mikroskopis, sedangkan komponen dinding sel kayu (submikroskopis) hanya dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop elektron, sinar-X atau mikroskop polarisasi (Tsoumis, 1991). Struktur yang dapat diamati secara makroskopis adalah warna kayu, kayu gubal, kayu teras dan lingkaran tumbuh. Adapun karakter fisik lain yang dapat dilihat secara makroskopis meliputi warna, rasa, bau, tekstur, kilau dan serat, Sedangkan pengamatan secara mikroskopis meliputi seluruh elemen- elemen penyusun kayu besarta dimensinya serta saluran interseluler. Pengamatan secara submikroskopis meliputi struktur unit terkecil pada dinding sel kayu, yaitu mikrofibril dan makrofibril. . Macam Elemen Sel-sel Penyusun Kayu a. Arah Aksial Sel-sel aksial terdiri dari pembuluh, serabut (fiber), se? parenkim aksial dan sel epitel. Sel-sel aksial merupakan hasil diferensiasi dari sel- sel inisial fusiform, Pembuluh. Pada bidang lintang pembuluh sering disebut pori, dengan Panjang rata-rata 0,19 - 1,3 mm dan diameter tangensial 20 ~ 300 pm. Tipe sel ini hanya terdapat pada kayu daun lebar, schingga merupakan tanda yang khas untuk membedakan kayu daun lebar dari kayu daun jarum, Sel pembuluh berbentuk seperti tabung dan umumnya memiliki diameter yang lebih besar dari sel-sel aksial lainnya, akan tetapi sel pembulub ini Jebih pendek dari pada serabut pada kayu daun lebar (Panshin dan de Zeouw, 1980). Biasanya sejumlah sel pembuluh sambung menyambung dari ujung ke ujung sepanjang serat membentuk pipa yang berfungsi untuk menyalurkan cairan dan hara mineral di dalam pohon. Karena diameternya besar, pembuluh sering nampak seperti Iubang pada potongan melintang. Berdasarkan ukuran dan penyebarannya, pori terdiri 3 kelompok, yaitu pori tata lingkar, tata baur dan semi tata baur, Berdasarkan bidang pertemuan antara dua sel pembuluh pada arah aksial (bidang perforasi) dibagi menjadi bidang perforasi sederhana, tangga (scalariform) dan jala (reticulate). Adapun berdasarkan tipe pemoktahan antar sel pembuluh dibagi menjadi tipe noktah sederhana, noktah halaman dan tangga (Harada dan W.A. Cote, Jr., 1984), Kadang-kadang pada unsur _pembuluh berisi zat tertentu yang memupakan hasil proliferasi protoplasma yang disebut tilosis. Kayu jati memiliki sebaran pori dengan pola tata lingkar dengan bidang perforasi sederhana. Sebagian pembuluh pada jati umumnya berisi tilosis atau endapan berwarna putih (Pandit dan Mandang, 1997). Serabut, Serabut hanya terdapat pada kayu daun lebar. Istilah serabut digunakan secara umum untuk satu macam sei kayu. Ada dua tipe serabut pada kayu, yaitu trakeid serabut (fiber tracheid) dan serabut libriform (libriform fibers). Kedua tipe sel serabut ini memiliki dinding sel yang tebal. Perbedaan diantara kedua serabut ini berdasar pada noktahnya. Trakeid serabut memiliki noktah halaman, sedangkan serabut libriform memiliki noktah sederhana. Panjang sel serabut berkisar 0,64 - 2,3 mm dan persentase volume berkisar 34,7 - 75,7 % (Harada dan W.A. Cote, 1984). Dalam satu riap tumbuh panjang serabut kayu awal berbeda dengan kaya akhir. Pada kayu daun lebar prosentase panjang serabut kaya akhir pertambahannya tergantung dari panjang serabut kayu awal. Serabut kayu awal dengan panjang 1 mm atau lebih pertambahan panjangnya kurang, dari 15% dan bila panjang serabut kayu awal kurang dari 1 mm pertambahan panjangnya 75 - 80 % (Panshin dan de Zeeuw, 1980). Panjang rata-rata serabut pada kayu jati adalah 1.316 y dengan diameter serabut 24,8 1, tebal dinding serabut 3,3 2 dan diameter lumen 18,2 1 (Pandit dan Mandang, 1997). Parenkim aksial. Sel parenkim aksial umumnya pendek dan berbentuk seperti bata (sel baring atau sel tegak) atau bentuk persegi. Berdasarkan penyebaran pada bidang lintang, sel parenkim aksial dibagi menjadi parenkim apotrakeal dan parenkim paratrakeal. Parenkim apotrakeal adalah parenkim aksial yang tidak bersinggungan dengan pori pada bidang lintang. Parenkim apotrakeal dibagi menjadi parenkim sebar, parenkim retikulat, parenkim skalariform, parenkim inisial, parenkim terminal, parenkim sebar dalam agregat dan parenkim apotrakeal pita. Parenkim paratrakeal adalah parenkim aksial yang menyentuh sebagian atau menyelubungi pori, Parenkim paratrakeal dibagi menjadi paratrakeal scanty, selubung, aliform, confluen dan sepihak. Pada kayu jati komposisi sel parenkim aksial adalah homoseluler, yaitu hanya terdiri dari sel-sel baring dengan tinggi mencapai 0,9 mm (Pandit dan Mandang, 1997). Sel Epitel Sel epitel adalah sel yang melingkari atau membatasi saluran getah atau saluran interseluler. b. Arah Transversal Sel penyusun transversal kayu adalah sel parenkim jari-jari dan sel epitel jari-jari. ‘Sel parenkim jari-jari. Sel parenkim jari-jari digolongkan menjadi dua tipe, yaitu sel baring (procumben cell), dimana selnya tipis dan memanjang secara radial dan sel tegak (upright cell) yang sel-selnya pendek dan berorientasi vertikal dan sel persegi yang berbentuk hampir seperti persegi empat pada bidang radial. Jari-jari pada kayu keras diklasifikasikan oleh ukuran, distribusi dan bentuk sel di dalam jari-jari. Jari-jari uniseriate apabila mempunyai lebar jari-jari satu sel. Jari-jati multiseriate bila lebar jari-jari lebih dari satu sel. Sel parenkim jari-jari mengandung kristal,silika dan sejumlah bahan lain seperti resin, tanin minyak dan lateks (Harada dan W.A Cote, 1984). Kayu jati memiliki sel jari-jari multiseriate dengan lebar 4 sel atau lebih dan berjumlah 4 - 7 per mm (Pandit dan Mandang, 1997). Kultur Jaringan Tanaman Kehutanan Menurut Bonga dan Durzan (1985), kultur jaringan adalah suatu teknik dimana potongan jaringan kecil/organ yang diambil dari tanaman donor, dikultur secara aseptik pada suata medium yang mengandung unsur-unsur hara. Selanjutnya menurut Gunawan (1992), metode Kultur jaringan adalah mengisolasi bagian tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel jaringan atau organ dan menumbuhkannya dalam kondisi yang aseptik sehingga bagian- bagian tanaman tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap. Perbanyakan (propagasi) tanaman kehutanan dengan teknik kultur jaringan telah banyak dilakukan dengan sumber eksplan seperti pucuk, akar, daun, cabang, kambium atau bagian tanaman lainnya. Perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan ini sesuai dengan teori sel Schwann dan Schleiden (1838-1839), yaitu bahwa setiap sel tersusun pada suatu individu memiliki informasi genetis yang sama, babwa tanaman memiliki kemampuan totipotensi sel, yaitu kemampuan sel tanaman untuk menjadi tanaman utuh asalkan tumbuh pada lingkungan dan media yang sesuai. Selanjutnya dikatakan oleh Murashige (1977), faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan teknik kultur jaringan adalah (1) sifat bahan tanaman (eksplan) dan cara sterilisasi, (2)komposisi medium tumbuh dan (3) keadaan lingkungan fisik kultur. Beberapa penelitian Kultur jaringan pada tanaman kehutanan telah dilakukan oleh Gupta pada Tectona grandis dengan sumber eksplan pucuk dan tangkai kotiledon serta penelitian oleh Sita pada Santalum album menghasilkan tanaman dewasa pada umur 5 tahun (Bonga dan Durzan, 1985) Tujuan dikembangkannya mikropropagasi pada tanaman jati dengan teknik kultur jaringan adalah untuk mendapatkan sifat genetis dan fenotipe yang sama dengan tanaman induknya (pohon plus), menghasilkan bibit dalam jumlah yang banyak dan dalam waktu singkat serta tidak tergantung dengan kondisi musim, Pertumbuhan Primer dan Sekunder Batang 1. Jaringan Primer dan Sekunder Menurut Haygreen dan Bowyer (1989), Harada dan W.A Cote (1984), pertumbuhan batang pohon terjadi dalam dua arah, yaitu pertumbuhan tinggi dan diameter. Pertumbuhan tinggi pada pohon akan menghasilkan jaringan yang berasal dari apeks pucuk (pucuk apikal). Jaringan ini bersifat meristematik dan dinamakan meristem apikal, sedangkan jaringan yang dihasitkan dinamakan jaringan primer. Apeks pucuk merupakan daerah permulaan organisasi pertumbuhan berlangsung yang berada tepat di atas primordium daun paling atas (Fahn 1995, Panshin dan de Zeeuw, 1980). Schmidt (1924) membagi apeks menjadi dua daerah, yaitu tunika dan korpus. Tunika terdiri atas lapisan sel paling Ivar yang menyelimuti massa sel bagian dalam (korpus). Bidang pembelahan tunika bersifat antiklinal (tegak Juris permukean) sedangkan korpus bidang pembelahannya ke segala arah. Pertumbuhan tebal atau pertumbuhan sekunder yang menghasilkan jaringan sekunder, berasal dari meristem lateral, yaitu kambium vaskular Prokambium merupakan salah satu jaringan primer yang berdiferensiasi menjadi berkas vaskular primer yang membuat xilem primer dan floem primer. Sebagian prokambium yang terletak diantara floem dan xylem primer berdiferensiasi menjadi kambium vaskuler. Kambium vaskular saling 2 berhubungan menjadi kambium interfasikular yang mengawali pembentukan jaringan sekunder, yaitu xylem dan floem sekunder. Pertumbuhan sekunder dipengarubi berbagai faktor baik internal ‘maupun ekstemnal. Pengaruh salah satu foktor tersebut telah diteliti pada anakan Picea sitchensis oleh Philipson dan Coutts (1980), yang menunjukkan bahwa peningkatan pemberian hormon tertentu berpengaruh terhadap inisial jari-jari yang menghasilkan peningkatan terhadap proporsi sel jari-jari xylem. Kambium Kambium vaskular atau kembium adalah jaringan meristem lateral yang tumbuh sebagai untai membujur atau sebagai silinder kosong (Fahn, 1995), berupa cincin selebar satu sel sampai beberapa sel meristematik yang terletak diantara xylem sekunder dan floem sekunder (Haygreen dan Bowyer, 1989). Kambium mengandung dua tipe inisial, yaitu inisial fusiform (sel induk fusiform) yang merupakan sel-sel panjang dengan ujung meruncing sehingga berbentuk kumparan dan inisial jari-jari (sel induk jari-jari) yang terus melakukan pembelahan hingga menjadi sel dewasa. Inisial fusiform menghasitkan semua sel-sel aksial dan inisial jari-jari menghasilkan sel jari- jari xylem dan floem (Hidayat, 1995). Masih menjadi kontroversi di kalangan para abli apakah kambium merupakan jaringan selebar satu sel dalam setiap arah radial pada meristem lateral atau meliputi sel-sel yang tidak terdiferensiasi (Bannan, 1955 dalam Owens, 1993). Oleh karena itu untuk menghindari perdebatan maka daerah dimana sel-sel tidak terdiferensiasi disebut zona kambium dan sel sel tunggal yang meristematik dinamakan inisial kambium. Menurut Hidayat (1995), sel kambium pada daerah beriklim sedang sudah terbentuk sebelum berakhimnya pertumbuhan pucuk di tahun pertama, Selanjutnya penelitian Rensing dan Owens (1993) pada anakan Douglas fir menunjukkan bahwa pada anakan berumur 3 bulan kambium sudah mulai membentuk sel-sel floem. }. Pembelahan Sel Kambium Harada dan W.A Cote (1984), Hidayat (1995) dan Fahn (1995) mengemukakan bahwa sel-sel inisial fusiform membelah secara tangensial yaitu menurut bidang sejajar permukaan tangensial, sehingga membentuk xylem sekunder dan floem sekunder. Pembelahan ini disebut pembelaban secara periklinal. Disamping itu sel-sel inisial fusiform juga membelah secara antiklinal yaitu menurut bidang yang tegak lurus dengan permukaan radial atau membelah secara pseudotransverse yaitu membelah miring ‘menurut bidang lintang untuk tujuan pembesaran kambium. Pembelahan sel-sel yang dilakuken oleh kambium ke arah dalam (xylem sekunder) menyebabkan pohon mengalami pertambahan diameternya, Pertambahan diameter ini harus diimbangi oleh penambahan pada keliling kambium. Bailey dalam Pandit (1996) mengemukakan bahwa faktor yang paling dominan dalam penambahan keliling kambium kayu adalah penambahan sel-sel inisial baru secara antiklinal baik jumlah maupun ukuran selnya. Apabila kambium aktif zona kambium lebar dan terdiri atas banyak Japisan sel, namun bila kambium tidak aktif (dorman), maka zona kambium biasanya tereduksi sampai hanya satu atau beberapa lapis sel (Rao dan Dave, 1981). Menurut Rao dan Dave (1981), reaktivasi kambjum pada Tectona ditandai dengan peningkatan jumiah sel-sel pada zona kambium serta penurunan panjang sel-sel inisial fusiform. Selanjutnya menurut Panshin dan de Zeeuw (1980), dimensi dan ukuran sel-sel kayu dewasa secara proporsional ditentukan oleh kayu yang berumur masih muda, yaitu apabila kayu masih muda mempunyai sel-se! berukuran panjang akan menghasilkan sel-sel_panjang pula setelah dewasa dibandingkan kayu muda yang berukuran sel-sel pendek. Perbandingan yang diambil pada Pius strobus yang berumur 1 tahun dengan 60 tahun dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perbandingan Jumlah, Panjang dan Diameter Sel Inisial Pada Pinus strobus Panjang sel inisial fusiform Diameter sel inisial jari-jari Jumiah sel induk fusiform Jumlah sel induk jari-jari Diameter se! inisial fusiform Sumber: Bailey dalam Pandit (1996) Pada kayo yang cepat tumbuh pembentukan sel-sel inisial fusiform berlangsung lebih cepat schingga menghasilkan sel-sel yang lebih pendek dan jumlah sel yang lebih banyak, Pembentukan sel-sel inisial pendek akan menghasilkan serat-serat yang juga pendek yang merupakan ciri dari kayu awal, Ha! ini menyebabkan bagian dari kayu awal lebih besar pada kayu cepat tumbuh. Kayu Awal dan Kayu Akhir Menurut Panshin dan de Zeeuw (1980) adanya periodisitas aktivitas kambium akan menimbulkan riap-riap pertumbuhan. Riap pertumbuhan pada bidang lintang terlihat seperti cincin konsentris yang berpusat di empulur. Pada bidang tangensial cincin tersebut akan terlihat seperti parabola yang saling tersusun terbalik, sedang pada bidang radial tampak seperti pita-pita atau garis- garis yang sejajar. Pada daerah tropis dalam satu tahun dapat terjadi musim pertumbuhan yang lebih dari satu kali dan sebagian besar jenis kayu tropik tidak ada batas yang tegas diantara riap pertumbuhan, kecuali pada beberapa jenis kayu diantaranya jatil Bagian riap pertumbuhan yang dibentuk pada musim tumbub yang baik akan menghasilkan sel-sel yang berdinding tipis dengan diameter lumen yang besar. Lumen yang besar menyebabkan bagian kayu ini terlihat lebih terang dan disebut kaya awal (early wood). Adapun riap pertumbuhan yang dibentuk kemudian yaitu pada saat musim tumbuh yang baik telah berakhir, akan menghasilkan sel-sel yang berdiameter lebih keoil dan dinding sel yang lebib tebal sehingga bagian kayu ini terlihat lebih gelap yaita kayu akhir (latewood) {Panshin dan de Zeeuw, 1980). Dalam satu periode pertumbuhan selalu diawali dengan adanya bagian kayu awal di sebelah datam kemudian diikuti oleh bagian kayu akhir di sebelah luar. Pada kayu yang memiliki laju pertumbuhan cepat dengan produksi auksin yang berlimpah akan memperpanjang jangka waktu pertumbuhan primer. Pembentukan sel-sel inisial yang berlangsung cepat pada masa pertumbuhan primer akan menghasilkan lingkaran tahun yang lebih besar dengan proporsi kayu juvenil lebih besar, Salah satu sifat kayu juvenil adalah sel-selnya lebih pendek daripada kayu dewasa dan pada daerah juvenil sel-sel kayu akhir lebih sedikit. Kebanyakan sel-sel pada kayu juvenil memiliki kayu akhir yang lebih sedikit serta kebanyakan dengan dinding sel yang tipis. Proporsi kayu juvenil yang besar akan mengakibatkan kayu menjadi tidak stabil dan mudah bengkok karena kualitas kayu juvenil yang lebih rendah dibanding kayu dewasa (Haygreen dan Bowyer, 1989). BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Pengambilan contoh ji dilakukan di Perum Perhutani KPH Cepu dan Ngawi, sedangkan pengamatan di Laboratorium Silvikultur BIOTROP dan Laboratorium Kayu Solid Fakultas Kehutanan IPB. Penelitian dilaksanakan selama 4 (empat) bulan. Bahan dan Alat Bahan penelitian berupa: anakan jati kultur jaringan dan non kultur jaringan berumur 2 bulan, 4 bulan dan 6 bulan diambil di persemaian Pusbanghut Perum Perhutani Cepu, untuk pengamatan jaringan primer, sekunder dan sel-sel inisial fusiform; Kayu jati Kultur jaringan dan CSO (clone seed orchad)/Areal Produksi Benih (APB) yang berumur 1 tahun, 6 tahun 12 tahun untuk pengamatan dimensi serabut, lebar kayu awal/kayu akhir, diameter tangensial pori dan frekuensi pori. Lokasi pengambilan contoh uji dapat dilihat pada Tabel 2. ‘Tabel 2. Lokasi Pengambilan Contoh Uji Pohon ‘Umur Pohon Kultur Jaringan Non Kultur Jaringan 1 tahun Petak 71 b RPH Gendingan | Petak 72 g RPH Gendingan BKPH Walikukun (Ngawi) | BKPH Walikukun Ngawi (Asal CSO) 6 tahun Petak 35 a RPH Payaman | Petak 35 a RPH Payaman BKPH BKPH Blungun (Cepu) Blungun Cepu (Asal APB) 12 tahun Petak 4027 RPH Kejalen | Petek 4028 RPH Kejalen BKPH BKPH Ledok Cepu Ledok Cepu (Asal APB) Bahan lainnya adalah bahan kimia yang dibutuhkan untuk pembuatan. contoh uji mikroskopis yang meliputi Formalin Asetat Alkohol (FAA dengan perbandingan $ ml formalin 40%, 5 ml asam asetat glasial dan 90 ml alkohol 90% atau 95%), alkohol, xylol, hidrogen peroksida, aquades, parafin, safranin, aician blue, albumin dan antellan, Peralatan yang digunakan adalah: 1, Mikrotom rotary dan slide mikrotom untuk membuat sayatan mikroskopis 2. Gelas objek dan gelas penutup untuk melihat hasil sayatan mikroskopis 3. Mikroskop monokuler, mikrometer dan fibroskop untuk pengamatan dan pengukuran anatomi 4, Mikroskop foto untuk mendapatkan dokumen hasil sayatan mikroskopis. 5, Aspirator (pompa vakum) untuk mengeluarkan udara dari contoh uji 6. Alat pencetak balok parafin yang terbuat dari logam 7. Oven pemanas untuk menghilangkan parafin pada sayatan mikroskopis Metode Penelitian 1, Pembuatan Contoh Uji Pembuatan contoh uji dilakukan dengan memotong anakan setebal +0,5 om mulai dari bagian pucuk hingga pangkal. Selanjutnya memfiksasi dan mematikan jaringan ke dalam larutan FAA untuk kemudian melakukan penyayatan pada rotary mikrotom. Pembuatan sayatan pada anakan mengacu pada metode Sass (1958), Tahapan pembuatan sayatan adalah pematian jaringan, fiksasi, mengeluarkan air dari jaringan (dehicrasi), praparafinasi, parafinasi, pembenaman sayatan dalam parafin (embedding), penyayatan (slicing), penempelan sayatan di gelas objek (mounting), penjernihan (clearing), pewarnaan (staining) dan pemanasan di oven. Untuk pengamatan jaringan primer dan inisial fusiform dilakukan penyayatan pada bidang longitudinal, sedangkan jaringan sekunder penyayatan pada bidang transversal. Contoh uji untuk tingkat pohon diambil dari tiga tempat yaitu bagian pangkal terendah, tengah dan ujung dan dibuat lempengan setebal 5 cm. Selanjutnya dibuat contoh uji dengan cara maserasi yang mengacu pada metode Forest Product Laboratory (Pandit, 1996), Dimensi serabut melip Panjang serabut, diameter lumen dan tebal dinding serabut. Contoh uji merupakan potongan kecil dari setiap lingkaran tumbuh mulai dari lingkaran pertama dekat empulur hingga lingkaran terakhir dekat kulit. Contoh uji slide mikrotom untuk pengukuran lebar kayu awal, Kayu akhir, diameter tangensial pori, dan jumlah pori per mm diambit pada bidang pengamatan transversal Adapun skema pengambilan contoh uji penelitian untuk pohon dapat dilihat pada Gambar 1. 20 Som 8 7 Son keterangan : 1 contoh vj B=Barat T=Timur Gambar 1. Skema Pengambilan Contoh Uji Pohon Untuk Pengamatan Mikroskopis 2. Pengamatan mikroskopis Pembuatan sayatan rotary mikrotom dilakukan dengan mengacu pada metode Sass (1958) yang dimodifikasi. Sedangkan pengamatan mikroskopis pada contoh uji pohon pada sediaan maserasi berdasarkan metode Forest Product Laboratory (Pandit, 1996) dengan urutan pekerjaan pada Lampiran 1. Tahapen parafinasi adalah sebagai berikut sedangkan bagan urutan kerja disajikan pada Lampiran 2. 2 + Pematian jaringan dan fiksasi Pematian dilakukan pada jaringan kayu dengan meminimalkan kerusakan pada struktur sel sesta meminimalkan distorsi susunan sel-sel dalam jaringan, sedangkan fiksasi dilakukan untuk mengawetkan semua struktur sel sehingga sedapat mungkin berada dalam keadaan yang sama dengan pada saat masih hidup. Untuk kegiatan ini diperlukan larutan FAA yang terdiri dari 5 ml formalin 40%, 5 ml asam asetat glasial dan 90 ml etanol 90% atau 95%. Pematian dan fiksasi dilakukan dengan merendam contoh vji ke dalam larutan minimal selama 24 jam. Apabila pada saat fiksasi terdapat gelembung udara pada kayu maka dilakukan aspirasi dengan menggunakan aspirator (vacuum pump) selama beberapa menit. Aspirasi dimaksudkan untuk memudahkan proses penetrasi arutan fiksasi kedalam jaringan + Dehidrasi Dehidrasi bertujuan untuk menghilangkan air dari jaringan kayu agar mudah dimasuki oleh parafin, Dehidrasi dilakukan dengan merendam potongan kayu secara bertahap melalui seri alkohol bestingkat, yaitu 20%, 40%, 60%, 80%, 95% dan 100%. Lama perendaman masing-masing adalah 3 x 5 menit. + Praparafinasi Praparafinasi bertujuan untuk menghilangkan alkohol dalam jaringan ~~. kayu yang telah didehidrasi, Pengeluaran alkohol dilakukan dengan terlebih Gaeve TS ba tay, “ae memasukkan potongan kayu ke dalam campuran alkohol 100% dan 10 A chai dengan perbandingan 4 : 0, selanjutnya alkohol perlahan-lahan i dengan perbandingan alkohol dan xylol 3 : t, kemudian 2: 2, 1: 2 3, 0: 4 masing-masing selama 3 x 5 menit. Selanjutnya potongan kayu dimasukkan ke dalam cairan xyiol murni selama | jam. * Parafinasi Parafinasi adalah memasukkan parafin ke dalam rongga pada jaringan kayu, Dalam kegiatan ini digunakan dua macam parafin, yaitu parafin lunak dengan perbandingan parafin dan xyiol 1 ; 1 dan parafin keras. Parafin dimasukkan secara bertahap, dimulai dengan memasukkan parafin lunak sedikit demi sedikit ke dalam botol yang berisikan xylol dan potongan kayu. Perbandingan xylol dengan parafin lunak berturut-turut adalah 4:0, 3:1, 2:2, 1:3, danO:4, Parafin dimasukan hingga mencapai titik jenuh, sehingga parafin tidak lagi larut di dalam xylol, Botol kemudian dimasukkan ke dalam oven dengan duhu 56°C selama 24 jam, Setelah kegiatan selesai, parafin lunak Gibuang dan diganti dengan parafin murni dan di oven pada suhu 56° C. Perendaman dengen parafin murni dilakukan selama 24 jam * Pembenaman (Embedding) Pembenaman adalah penyimpanan materi kayu ke dalam balok parafin dengan tujuan agar memudahkan dalam penyayatan. Pembenaman dilakukan pada cetakan parafin dari logam. Logam tersebut diisi oleh parafin cair. Sebelum parafin mengeras, potongan kayu dimasukkan kedalam balok parafin, kemudian dengan menggunakan pinset dan diarahkan sesuai dengan arah potongan yang diinginkan, kemudian diberi label sesuai perlakuan, Parafin dikeluarkan dari cetakan setelah mengeras selama 5 - 10 menit. 23 * Penyayatan Pada proses penyayatan, balok parafin yang berisi potongan kayu ditempelkan pada penjepit yang terdapat pada mesin mikrotom putar. Penjepit dapat diatur dengan sekrup-sekrup sedemikian rupa sehingga sisi horizontal dari permukean parafin dibuat sejajar dengan pisau penyayat. Hal ini dilakukan agar diperoleh hasil sayatan sesuai dengan yang diinginkan. * Penempelan Sayatan (Mounting) Sayatan kayu ditempelkan pada gelas objek dengan menggunakan perekat albumin. Hasil sayatan akan member 2 kesan, yaitu mengkilat dan kasar. Bagian yang mengkilat yang ditempelkan pada gelas objek. Pemberian perekat dilakukan beberapa menit sebelum penempelan sayatan. Setelah penempelan dilakukan, gelas objek diletakkan pada alat pemanas agar sayatan melekat dengan sempurna. * Penjernihan (Clearing) Penjerniban bertujuan untuk menghilangkan parafin dari jaringan sehingga memudahkan bahan pewarna masuk ke dalam jaringan kayu. Kegiatan penjemihan dilakukan dengan mencelupkan potongan kayu ke dalam larutan xylol dan alkohol. Adapun bagan kegiatan penjernihan disajikan pada Lampiran 3 * Pewarnaan (Staining) Pewamaan dimaksudkan agar bagian-bagian tertentu pada sel warnanya lebih menonjol sehingga memudahkan pengamatan pada mikroskop. Bahan pewarna safranin yang dilarutkan dalam air dituangkan ke dalam tempat pewarnaan, contoh uji dimasukkan ke dalam bahan pewamna selama 15 menit. 2 Pengukuran Pengukuran terhadap jaringan primer meliputi lebar pucuk apikai, jarak dari pucuk apikal ke jaringan primer (protoderm, meristem dasar dan prokambium) dan lebar apeks pucuk pada primordium (bakal daun) pertama. Pengamatan perkembangan jaringan sekunder dilakukan secara visual dan Giskriptif terhadap sequense (urutan) mikroskopis hasil sayatan transversal. Sedangkan sel inisial fusiform diukur berdasarkan hasil sayatan longitudinal menggunakan Pengukuran dimensi serabut kayu (panjang, diameter lumen dan tebal dinding) dilakukan dengan mengambil + 25 buah serabut dan diukur dengan menggunakan mikrometer dibawah mikroskop. Lebar dan proporsi kayu awal dan kayu akhir dari masing-masing umur pohon diukur menggunakan mistar, sedangkan diameter tangensial pori menggunakan mistar. Analisis Data Data-data yang diperoleh dari hasil pengamatan jaringan primer dan sekunder pada anakan berumur 2, 4 dan 6 bulan disajikan dalam bentuk visual (foto) mikroskopis dan dianalisis secara deskriptif dan kuantitatif, Sedangkan hasil pengukuran dimensi serabut (panjang serabut, diameter lumen dan tebal dinding sel) dianalisis. menggunakan pola Faktorial Rancangan Acak Lengkap dengan dua kali ulangan. Model linier dari Pola Faktorial Rancangan Acak Lengkap pada penelitian ini adalah sebagai berikut: Yijkl =p +o +B} tak +aB) i+ (apik + BxOik + (AB Dik + eijkl dimana : Yijkl = variabel yang divkcur (respons) " = nila tengah umum ai = pengaruh faktor umur ke- i 8) = pengaruh faktor ketinggian pada pohon ke-j xk = pengaruh faktor posisi (ky awal &ky akhir) ke- ke (eB) ij = pengaruh pengaruh interaksi antara umur ke-i dan ketinggian pada pohon ke-j (ox)ik = pengaruh interaksi antara uur ke-i dan posisi kayu ke-Kk (Bpjk = pengaruh interaksi amtara ketinggian pada pohon kej dan posisi kayu ke-k (aBx)ijk ~ pengaruh interaksi antara umur ke-i, ketinggian ke-j dan posisi kayu ke-k sijkl = pengaruh galat percobaan Apabila dari hasil analisis ragam menunjukkan adanya perbedaan yang nyata maka dilakukan uji lanjut yaitu Uji Wilayah Berganda Duncan untuk mengetahui perbedaan setiap tarafnya. Selanjutnya untuk melihat pola hubungan antara umur kayu pada berbagai ketinggian dan posisi pada pohon dilakukan analisis regresi. HASIL DAN PEMBAHASAN Jaringan Primer a, Jarak Apeks Pucuk ke Jaringan Primer Jaringan primer pada irisan longitudinal apeks pucuk disajikan pada Gambar 2 dan 3. ” Hasil pengukuran jarak rata-rata dari apeks pucuk ke jaringan primer, yaitu meristem dasar, prokambium dan protoderm dibawahnya menunjukkan bahwa jarak pada jati kultur jaringan lebih lebar dibandingkan dengan non kkultur jaringan. Jarak apeks pucuk ke meristem dasar yaitu 899 mikron, sedangkan pada non kultur jaringan adalah 735 mikron, Jarak rata-rata dari apeks pucuk ke jaringan prokambium pada jati kultur jaringan adalah 1662 mikron, dan pada non kultur jaringan adalah 852,1 mikron. Sedangkan jarak rata-rata dari apeks pucuk ke jaringan protoderm pada jati kultur jaringan adalah 1538,3 mikron dan pada non kultur jaringen adalah 603,1 mikron. Namun demikian pada anakan Kultur jaringan yang berumor 2 dan 4 bulan, jarak rata-rata dari apeks pucuk ke jaringan meristem dasar di bawabnya lebih dekat dibandingkan dengan jarak rata-rata apeks pucuk ke jaringan meristem dasar untuk umur yang sama pada anakan non kultur jaringan. Sedangkan pada umur 6 bulan perbedaan jarak apeks pucuk pada anakan kultur jaringan dan non kuljar sangat mencolok (Tabel 3). Gambar 2. A. Apeks pucuk jati kuljar umur 2 bulan (Perbesaran 30x) B. Apeks pucuk jati non kuljar Umur 2 bulan (a: jaringan meristem dasar b: jaringan prokambium. Perbesaran 30x) 27 28 Gambar 3. A. Apeks pucuk jati kuljar umur 4 bulan (Perbesaran 60x) B. Apeks pucuk jati non kuljar umur 4 bulan (a: jaringan meristem dasar b: jaringan prokambium. Perbesaran 60x)) 29 Tabel 3. Jarak Apeks Pucuk ke Jaringan Primer Jarak Apeks Pucuk (mikron) ke- ont" [7 Meristem Dasar Prokambium Protoderm (bin) | Kuljar Kuler Kuljar kar Kuljar Keer 2 1286 1328 2407 1494 1261,6 929,6 4 166 381,8 602 564,4 1992 547,8 6 1245 498 1992 498 1361,2 332 Rata-rata 899 735 1662 852,1 1538,3 603,1 Semakin dekat jarak antara apeks pucuk dengan daerah meristem dibawabnya memunjukkan bahwa perkembangan sel-sel pada apikal meristem berlangsung lebih singkat, sedangkan semakin jauh jarak antara apeks pucuk menunjukkan bahwa aktivitas pembelahan sel-sel primer untuk pertumbuhan tinggi di meristem apikal masih terus berlangsung (jangka waktu pertumbuhan primer lebih lama). Pembelahan dan pembentukan sel- sel tersebut menghasilkan jaringan yang berfungsi untuk memperpanjang batang, Produksi sel-sel bara kemudian diikuti pemanjangan sel-sel yang meningkatkan tinggi pohon, karena kuncup ujung akan bergerak ke atas meninggalkan sel-sel baru yang sedang membelah dibelakangnya (Haygreen dan Bowyer, 1989). Jaringan primer yang dibentuk di bawah apeks pucuk meliputi meristem dasar yang mengembangkan jaringan dasar yaitu empulur, sedangkan jaringan prokambium —mengembangkan jaringan kambium yang akan menghasilkan sel-sel xylem dan floem, serta protoderm yang akan mengembangkan sistem epidermis pada tumbuhan (Harada dan Cote, 1984). 30 b. Diameter Apeks Pucuk Pengukuran diameter apeks pucuk dilakukan pada dasar pucuk yang berbatasan dengan primordia daun pertama, Hasilnya menunjukkan babwa diameter pucuk anakan jati kultur jaringan lebih sempit dibandingkan dengan non kultur jaringan dengan nilai rata-rata pucuk kultur jaringan 306,4 mikron, sedangkan non kultur jaringan nilainya 364,8 mikron. (abel 4). Tabel 4. Diameter Apeks Pucuk Pada Primordia Daun Pertama Umur Anakan Diameter Apeks Pucuk (mikron) (bln) Kuljar Non Kuljar 2 354,9 264,4 4 149,4 332 6 41s 498 Rata-rata 306,4 364,8 Pada anakan berumur 2 bulan, diameter apeks pucuk kaultur jaringan lebih lebar —dibandingkan non kultur jaringan, Diameter apeks pucuk menurun pada umur anakan 4 bulan dan kembali meningkat pada umur 6 bulan, Pada non Kultur jaringan diameter apeks meningkat seiring dengan bertambahnya umur anakan. Hal ini diduga berhubungan dengan aktivitas sel- sel tunika dan korpus pada pucuk yang terus melakukan pembelahan untuk memperluas permukaan sel dan meningkatkan ukuran sel (Ross dan Salisbury, 1995), Menurut Mauseth (1988), ukuran diameter apeks pucuk Angiosperma bervariasi dari 80 — 1500 mikron, dimana diameter pada meristem anakan umumanya lebih kecil dari meristem dewasa, Ukuran diameter apeks berubah setiap terjadinya primordium baru. Sebelum. pembentukan setiap daun 31 meristem apikal akan sangat melebar dan sesudah muncul primordium daun maka meristem pada pucuk apikal kembali lagi akan menyempit. Selanjutnya menurut Fahn (1995), fenomena ini berubah, yaitu akan muncul kembali dengan adanya pemunculan awal setiap daun atau pasangan daun. Jaringan Sekunder Pengamatan jaringan sekunder ditakukan pada irisan transversal dibawah pucuk. Hasilnya menunjukkan terdapat perbedaan tingkatan diferensiasi sel-sel selama enam bulan pertama masa pertumbuhan jati kultur jaringan maupun non ‘kultur jaringan. Pada anakan jati kultur jaringan berumur 2 bulan, jaringan sekunder sudah terbentuk mendabulvi perkembangan jaringan sekunder pada anakan non kultur jaringan dimana kambium telah mengalami diferensiasi menjadi jaringan xylem, floem dan jari-jari pembuluh (Gambar 4 A). | Kambium vasikuler berkesinambungan membentuk lingkaran di sekeliling batang, Perkembangan tersebut lebih cepat dari kambium pada Douglas fir (Rensing dan Owens, 1993), yang mulai membentuk sel-sel floem pada umur 3 bulan. Adapun pada anakan jati non kultur jaringan berumur 2 bulan kambium berupa berkas yang terpisah dengan berkas pembuluh di sebelahnya dan dihubungkan oleh kambium interfasikuler den parenkim (Gambar 4 B). 32 Gambar 4, A. Jaringan sekunder jati kuljar umur 2 bulan (Perbesaran 150x) B. Jaringan sekunder jati non Kuljar umur 2 bulan (a: kambium vasikuler, b: xylem, ¢: floem d: kambium interfasikuler, Perbesaran 150 x) 33 Pada anakan kultur jaringan 4 bulan, jaringan xylem dan floem yang terbentuk merupakan hasil pembelahan dari sel kambium yang belum sempurna. Jaringan sekunder masih berupa berkas pembuluh yang terpisah dengan berkas pembuluh di sebelahnya. Kedua berkas tersebut dibatasi oleh parenkim, kambium interfasikuler dan jari-jari pembuluh (Gambar 5 A). Sedangkan pada anakan non kuljar Derumur 4 bulan berkas pembuluh sudah bersambung dengan berkas pembuluh di sebelahnya, kambium tersusun berkesinambungan di sekeliling batang (Gambar 5 B). Pada jeti kultur jaringan yang berumur 6 bulan diferensiasi sudah berlangsung dengan sempurna dimana sel-sel xylem dan floem sekunder yang berada dalam berkas pembuluh serta kambium tersusun berkesinambungan membentuk lingkaran mengelilingi batang (Gambar 6 A). Sedangkan pada anakan non kuljar berumur 6 bulan berkas pembuluh yang berdampingan dipisabkan oleh jari-jari pembuluh, kambium interfasikuler dan parenkim (Gambar 6 B). Diferensiasi atau proses tumbuh dapat terjadi jika tanaman menerima rangsangan yang tepat dan sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Kondisi Tingkungan dan rangsangan yang berbeda menyebabkan pendewasaan sel yang tidak sama pada setiap umur tanaman (Ross dan Salisbury, 1995). Selanjutnya menurut Zahner (1970) dalam Baker (1987), nutrisi karbohidrat dan konsentrasi hormon turut mengontrol tipe diferensiasi se-sel di kambium, Selanjutnya ‘Manseth (1988) menyatakan setelah beberapa bulan atau tahun pertumbuhannya, kambium fasikuler dan interfasikuler menjadi identik sebagai vaskular kambium. 34 Gambar 5. A. Jaringan sekunder jati kuljar umur 4 bulan (Perbesaran 150 x) B, Jaringan sekunder jati non Kuljar umur 4 bulan (a: kambium vasikuler, b:xylem, ¢: floem, d: jari-jari empulur, e: kambium interfasikuler. Perbesaran 150 x). 35 ‘Gambar 6, A. Jaringan Sekunder jati Kuljar umur 6 bulan (Perbesaran 150 X) B. Jaringan sekunder jati non kuljar umur 6 bulan. (Keterangan gambar: 2. Kambium fasikuler b. xylem, c. floem, d. jari-jari pembuluh, e. kambium Interfasikuler, f. parenkim. (Perbesaran 150 Xx) 36 Sel-sel Inisial Fusiform Dari pengamatan fotomikroskop terlihat bahwa tipe kambium kayu jati berdasarkan susunan sel-sel inisial fusiform adalah tak bertingkat (unstratified) (Gambar 7 dan 8). Ukuran sel-sel inisial fusiform meningkat dengan meningketnya umur tanaman, dimana pada kayu jati kultur jaringan berumur 2 bulan adalah 217,8 mikron dengan kisaran 143 ~ 314,6 mikron, sedangkan jati bukan lutur jaringan berumur sama ukuran sel-sel inisial fusiform adalah 304,2 mikron dengan kisaran 171,6 - 457,6 mikron, Adapun ukuran sel-sel inisial fusiform kayu jati kultur jaringan berumur 4 bulan adalah 383,7 mikron dengan kisaran 286 - 00,5 mikron, sedangken jati bukan kultur jaringan berumur sama ukuran sel- selnya adalah 431,6 mikron dengan kisaran 286 - 572 mikron, Pada jati kultur jaringan berumur 6 bulan ukuran sel-se! inisial fusiform adalah 493,35 mikron dengan kisaran 357,5 — 715 mikron, sedangkan jati bukan kultur jaringan yang berumur sama ukuran sel selnya adalah 606,3 mikron dengan kisaran $72 - 858 mikron. Adapun nilai panjang sel-sel inisial fusoform dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Tabel 4, Perbandingan Panjang Sel inisial Fusiform Jati Kuljar dan Non Kuljar Umur Anakan Panjang Sel Inisial Fusiform (bulan) Kuljar ‘Non Kuljar 2 27,8 304,2 4 383,7 B16 6 4535 606 37 Gambar 7. A. Scl-sel inisial fusiform jati kuljar umur 2 bulan (perbesaran 150 x) B. Sel-sel inisial fusiform jati non kuljar umur 2 bulan (tanda panah; pembelahan sel secara_pseudotransverse. Perbesaran 150 x) 38 Gambar 8. A. Sel-sel in isial jati kuljar umur 4 bulan (perbesaran 150 x) B. Sel-sel inisial fusiform kayu non kuljar umur 4 bulan, Tanda Panah: pembelahan pseudotransverse (Perbesaran 150 x) 39 Menurut Haygreen dan Bowyer (1989), sel inisial fusiform adalah se) induk kambium yang menghasilkan semua sel aksial. Set aksial hasil diferensiasi dari sel-sel inisial fusiform antara tain sel serabut. Selanjutnya menurut Bailey dalam Pandit (1996) dan Mauseth (1988), panjang sel-sel inisial fusiform akan bertambah dengan meningkatnya umur tanaman dan mempengaruhi panjang sel turunannya, Sedangkan penambahan jumlah sel-sel inisial baru berperanan dalam menambah keliling kambium kayu sehingga mempercepat terbentuknya sel-sel xylem dan floem.- Pembelahan yang terjadi secara antiklinal atau pseudotransverse dengan panjang set terdapat hubungan yang negatif, artinya semakin cepat pembelahan berlangsung akan menghasilkan sel-sel yang berukuran lebih pendek (Panshin dan de Zeeuw, 1980), Bailey dalam Pandit (1996). Tanaman jati yang diperbanyak dengan kultur jaringan pertambahan tingginya lebih cepat dibandingkan dengan peningkatan diameter. Hal ini diduga menyebabkan diferensiasi sel pada pertumbuhan primer lebih lama sehingga menghasilkan sel- sel dalam jumlah yang banyak dan berukuran pendek. Proporsi Kayu Awal dan Kayu Akhir Kayu akhir dicirikan oleh diameter dinding sel yang lebih tebal. Pengamatan kayn awal dan kayu akhir pada jati dilihat pada diameter pori- porinya, dimana pori yang berdiameter besar menandakan kayu awal dan pori yang berdiameter kecil kayu akhir. Perhitungan pori dimulai dari batas pori yang berukuran besar dalam satu riap untuk kayu awal dan batas pori berukuran 40 kecil untuk kayu akhir, Hasil perhitungan proporsi kayu awal dan kayu akhir pada masing-masing umur kayu disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Proporsi Kayu Awal dan Kayu Akhir Kayu Jati Kultur jaringan dan Non Kultur Jaringan Pada Berbagai Umur mur | Eebarriap (mm) | Proporsi Kayu awal %) Por Oo u Tanaman Kultur ‘Non Kultur Non Kultur ‘Non jaringan | Kuljar | jaringan_ | Kuljar_| jarmgan | Kuljar | 1__tahun 1s 6,6 65 51 35 49 6 tahun 10,2 6,4 61 60, 39 40. 12 tahun 5,53 6,47 62 55, 38 [45 Dari tabel di ates terlihat bahwa proporsi kayu awal cenderung lebih besar Tengah, Koyu Awa 7 jung, Kaya Air Un, Kays Awal Gambar 13, Grafik Hubungan Antara Umur dan Tebal Dinding Sel Kayu Jati Kultur Jaringan Dari gambar 13 dapat dilihat bahwa umur pohon dan tebal dinding sel serabut pada jati non kultur jaringan terdapat pola hubungan yang positif, yaitu meningkat dengan pertambahan umur, ketinggian dan posisi pada pohon. Hubungan ini terdapat pada bagian tengah kayu awal dengan persamaan 36 regresi Y= 0,0085 X + 2,9987, ujung kayu awal dengan persamaan ‘Y= 0,0013X? + 0,0062 X + 2,9935 dan ujung kayu akhir dengan persamaan Y= 0,0103X + 2,9936 Namun terdapat juga pola hubungan kuadratik, yaitu menurun dengan bertambahnya umur, kemudian meningkat kembali dengan semakin meningkat umur kayu. Hubungan tersebut terdapat pada pangkal kayu awal dengan persamaan Y= 0,0015X?— 0,012 X + 3,0457, pangkal kay akhir dengan persamaan Y= - 0,011 X? + 0,0242 X + 3,0019; dan tengah kayu akhir dengan persamaan Y= - 0,001X? + 0,0235 X + 2,975. Dari hasil analisis sidik ragam (Lampiran 10) menunjukkan bahwa faktor umur, ketinggian dan posisi pada pohon memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap tebal dinding sel kayu non kultur jaringan. Interaksi umur dan ketinggian mempunyai kontribusi nyata terhadap tebal dinding sel. Berdasarkan hasil uji Duncan (Tabel 15) dapat dilihat bahwa nilai tertinggi tebal dinding sel kayu non Kultur jaringan diperoleh pada bagian pangkal kayu umur 12 tahun dan tidak berbeda pada bagian tengah pada umur kayu yang sama, namun berbeda pada bagian pangkal umur kayu 6 tahun. Hal ini diduga bahwa pada saat perkembangan tajuk berakhir jumlah bahan-bahan yang diuraikan daun sebagai hasil fotosintesis menjadi lebih banyak, sehingge produk fotosintesis yang diterima di daerah kambium cukup banyak sehingga menyebabkan penambahan tebal dinding sel. 57 Tabel 15. Hasil Uji Duncan Nilai Rata-rata Tebal Dinding Sel (mikron) Kaya Jati Non Kultur Jaringan Faktor Umur dan ‘Nilai Rata-rata Grup Duncan, ketinggian 12P 3.163 a 12T 3.163 a 6P 3.160 ab 12U 3.145 ab 6T 3.124 b 6U 3.075 © 1U 3.025 d IP, 3.000 d 1T 3.000 d Ket: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom adalah tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 0.01 Selanjutnya untuk mengetahui pola hubungan antara umur dengan tebal dinding sel kayu jati non kultur jaringan dapat dilihat pada Gambar 14. Pangral Kaya Aiear Pangkal, Kayu Awal | | ‘Tengah, Kayu Akhir Tengan, Kay Awat Ujung, Kayu Akhir , jung. Kayu wal | Pangkal, Kays Ake] | = Panga, Kayu Ava = 77 Tengah, Kayu attr = Lung, Kayu Air —— Viung, Kayu Ava [= Tengah, Kaye Awal = doe sagt 3308 3351 gorae” sos 2556 wearer ‘yoga? + 000+ 29060 0960 oxmrne FES Ge + Rests 1" 2000 «Otter + 29731 weaaet we Gambar 14. Grafik Hubungan Antara Umur dan Tebat Dinding Sel Kayu Jati Non Kultur Jaringan Dari gambar 14 dapat dilihat bahwa umur kayu dan tebal dinding sel serabut pada jati non ukur jaringan terdapat pola bubungen positif; yaitu 58 meningkat dengan bertambahnye umur, ketinggian dan posisi pada pohon. ‘Hubungan ini terdapat pada bagian ujung kay awal dengan persamaan regresi Y= 0,004X? + 0,0069 X + 2,9926 dan ujung kayu akhir dengan persamaan regresi ¥ = 0,0139 X + 2,996. Pola hubungan kuadratik negatif, yaitu menurun dengan bertambahnya umur untuk kemudian mengalami peningkatan kembali dengan semakin bertambahnya umur kayu. Hubungan tersebut terdapat pada pangkat kayu awal dengan persamaan regresi Y= - 0,0024X? + 0,047 X + 2,9554; Pangkal kayu _akhir dengan persamaan regresi Y= - 0,007 X? + 0,0138 X + 3,11; Tengah kayu awal dengan persamaan regresi Y= - 0,0009 X? + 0,0258 X + 2,975 dan tengah kayu akhir dengan persamaan regresi Y= - 0,0024X? + 0,047 X + 2,9554. Berdasarkan hasil pengamatan tethadap sampel anakan jati dari perbanyakan kultur jaringan dan perbanyakan benih (non kultur jaringan) dapat dilihat bahwa perkembangan jaringan primer dan sekunder pada 6 bulan pertama pertumbuhan menunjukkan perbedaan pada tingkat diferensiasi sel. Pada anakan kultur jaringan yang berumur 2 bulan pembentukan jaringan primer untuk pertumbuhan tinggi telah berlangsung bersamaan dengan terbentuknya jaringan sekunder untuk pertambahan diameter. Perkembangan tersebut cenderung lebih cepat dibandingkan perkembangan pada non kultur jaringan, Pada anakan kultur jaringan berumur 4 bulan pembentukan jaringan primer juga menunjukkan kecenderungan yang lebih cepat dibandingkan non kultur jaringan, namun perkembangan jaringan sekunder anakan — kultur jaringan lebih lambat dari pada non kultur jaringan. 59 Pada umur anakan 6 bulan perkembangan jaringan primer dan sekunder cenderung berlangsung lebih cepat pada kultur jaringan dibandingkan non kultur jaringan. Perkembangan jaringan sekunder sudah berlangsung dengan sempurma dimana sel-sel xylem dan floem sekunder yang berada dalam berkas pembuluh maupun sel-sel kambium tersusun secara bersambung membentuk ingkaran pada batang, sedangkan pada anakan non kultur jaringan perkembangan jaringan sekunder masih berupa berkas pembuluh belum sempurna. Kambium masih merupakan kambium interfasikuler yang belum dewasa dan belum terbentuk sel kambium sempurna di sekeliling batang. Berkas-berkas pembuluh yang berdampingan dipisahkan oleh jari-jari pembuluh, kambium interfasikuler dan parenkim. Meskipun jaringan primer dan sekunder sudah berlangsung pada umur anakan 6 bulan namun yang dijumpai di lapangan pertumbuhan tinggi kayu kultur jaringan berumur 1 tahun sangat cepat dan tidak sebanding dengan pertambahan diameter batang. Akibatnya batang pohon yang masih muda tumbuh meninggi yang mengakibatkan batang melentur dan tidak dapat berdiri tegak. Hal ini diduga bahwa kondisi pertumbuban yang baik di persemaian mendukung pertumbuhan tanaman sehingga diferensiasi sel-sel untuk pertumbuhan tinggi berlangsung lebih cepat. Agar pertumbuhan tinggi dan pertambahan diameter pada tahun pertama lebih seimbang, dianggap perlu untuk memberi perlakuan pada anakan sebelum ditanam di lapangan seperti pengurangan pemberian zat hara tertentu agar pertumbuhan tinggi tidak terlalu cepat, tetapi seimbang dengan pertambahan diameter, Dengan demikian diharapkan dapat menghasilkan kayu jati dewasa dengan pertumbuhan dan kualitas yang baik, Kualitas kayu adalah kesesuaian kayu untuk suatu penggunaan tertentu yang ditentukan oleh satu atau lebih variabel yang mempengaruhinya amara Jain variabel anatomi. Variabel anatomi yang penting seperti perubahan dalam panjang serabut, tebal dinding sel dan diameter lumen, frekuensi dan diameter pori serta jumlah sel serabut adalah penting untuk penilaian kualitas kayu sebagai bahan yang dicerminkan oleh perubahan sifat-sifat lainnya seperti berat jenis. Kayu yang memiliki komposisi sel yang meliputi panjang serabut, dinding sel yang tebal dan jumlah sel serabut banyak cenderung memiliki massa zat kayu lebih padat, frekuensi pori yang sedikit menjadikan kayu lebih solid sehingga memiliki kemampuan untuk menahan beban (berfungsi untuk kekuatan). Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap sampel kayu jati dewasa keultur jaringan maupun non kultur jaringan memperlihatkan bahwa kedua asal perbanyakan tersebut secara anatomis memiliki kecenderungan yang sama baik dalam dimensi serabut (panjang serabut, diameter lumen dan tebal dinding sel) maupun frekuensi dan diameter pori. Hal ini memberikan indikasi bahwa prospek perbanyakan jati secara kultur jaringan adalah sangat baik karena berpotensi menghasilkan kayu dewasa yang secara anstomis cenderung memiliki kualitas yang sama dengan kayu jati yang berasal dari perbanyakan benih, KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasi! penelitian yang telah dilakukan terhadap sampel anakan maupun sampel kayu jati sebagai objek penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1, Pada sampel anakan jati kultur jaringan umur 2 bulan pertumbuhan tinggi dan pertambahan diameter cenderung lebih cepat dibandingkan dengan perbanyaken benih (non Kultur jaringan), pada anakan umur 4 bulan pertumbuhan tinggi cenderung lebih cepat namun pertambahan diameter lebih lambat dibandingkan perbanyakan benih, sedangkan pada anakan umur 6 bulan pertumbuhan tinggi dan pertambahan diameter cenderung lebih cepat pada kultur jaringan dibandingkan perbanyakan benih, 2. Pada sampel kayu jati dewasa dari perbanyakan kultur jaringan maupun perbanyakan benih, dimensi serabut, frekuensi pori dan diameter tangensial pori berada dalam kisaran yang relatif sama, Panjang serabut cenderung meningkat dengan bertambahnya umur kayu, diameter lumen cenderung menurun seiring dengan pertambahan umur, sedangkan tebal dinding sel meningkat dengan bertambahnya umur kaye Saran Perlu diJakukan penelitian yang lebih mendalam untuk mengamati perkembangan jaringan primer dan sekunder pada anakan maupun anatomi kayu jati_kultur jaringan dewasa agar diperoleh informasi yang cukup tentang perkembangan jaringan primer dan sekunder yang berperanan dalam 62 pembentukan sel-sel untuk pertumbuhan, Hal ini dirasakan sangat bermanfaet mengingat prospek jati kultur jaringan untuk pemenuhan kebutuhan akan kayu jati dimasa yang akan datang DAFTAR PUSTAKA Bonga, IM dan D.J. Durzan. 1985. Tissue Culture In Forestry. Dordrecht Boston / Lancaster: Martinus Nijhoff/Dr. W. Junk. Fahn, 1995. Anatorni Tumbuhan. Edisi Ketiga. Yogyakarta: Gadjahmada Univ Pr. Foster, 1943. Zonal Structure and Growth Of The Shoot Apex in Microcycas calcoma. Amer. J. Bot. (30):56-73. Gunawan, L. W. 1992. Teknik Kultur Jaringan. Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman. Bogor: Pusat Antar Universitas IPB. Harada, H., dan Cote, Jr. 1984. Structure of Wood. Jn Biosynthesis and Biodegradation of Wood Component, New York: Syracuse Univ Pr. Haygreen, John. G. dan Jim. L. Bowyer. 1989. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu Suatu Pengantar. Yogyakarta: Gajahmada Univ Pr. Hidayat, Estiti. 1995. Anatomi Tumbuhan Berbiji, Bandung: Institut Teknologi Bandung, Martawijaya, Kartasujana Al, Kadir K, Prawira SA. 1995. Atlas Kayu Indonesia. Jilid 1. Bogor: Balai Penelitian Hasil Hutan. Mauseth, J.D. 1988. Plant Anatomy. California: The Benjamin Cunnings Publishing. ‘Murashige, T. 1977. Manipulation of Organ Initiation Plant Tissue Culture. Bot. Bull. Acad. Sinica 18; 1-24 Pandit, LK. N. dan Yance Mandang. 1997. Pedoman Identifikasi Jenis Kayu di Lapangan. Prosea Network Off. Bogor: Yayasan Prosea. Panshin AJ, Cart de Zeeuw. 1970. Text Book of Wood Technology. Third Edition. Vol. I. New York: Mc Graw-Hill. Panshin AJ, Carl de Zeeuw. 1980. Text Book of Wood Technology. New York: Mc Graw-Hill. Perum Perhutani, 1999. Majalah Duta Rimba No. 234/XXIV him. 11 Philipson JJ, Coutts MP. 1980. Effects of Growth Hormone Aplication on The Secondary Growth of Roots and Stems in Picea sifchensis (Bong,) Carr. Ann, Bot. (46): 747- 755. ot Priya PB, Bhat KM. 1999. Influence of Rainfall, Irrigation and Age on the Growth Periodicity and Wood Structure in Teak (Tectona grandis). IAWA. (20): 181 - 192. Rao KS, Dave YS. 1981. Seasonal Variation in the Cambial Anatomy of Tectona grandis (Verbenaceae). Nord.J.Bot. (1): 535 — 542. Rensing KH, Owens JN. 1993, Bud and Cambial Zone Phenology of Lateral Branches from Douglas fir (Pseudotsuga menziesii) seedlings. Can.J.For.Res. (24): 286 -296. Salisbury, Ross. 1995, Fisiologi Tumbuhan. 7erjemahan. Bandung: ITB Press. Sass, JE. 1958, Botanical Microtechnique. USA: The IOWA State Univ Pr. Taylor, Wooten TE. 1973, Wood Property Variation of Missisipi Delta Hardwood. Wood & Fiber. 5 (1): 2— 13. Tsoumis, G. 1968. Wood As Raw Material. London: Pergamon Pr. Tsoumis, G. 1991. Science and Technology of Wood. Structure, Properties and Utilization. Newyork: Van Nostrand Reinhold. Voothies G, Jameson DA. 1969. Fiber Length in Southwestem Young-Growth Ponderosa Pine. For. Prod, J. 19 (5): 52 - 55 Wangaard FF. 1981. Wood: Its Structure and Properties. The Pensylvannia State University. USA. Yudiarti Y. 2001. Sifat-sifat Anatomi Kayu Jati (Tectona grandis L.f) Pada Berbagai Kelas Umar, Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kehutanan, 65 Lampiran 1. Prosedur Pembuatan Sediaan Maserasi dan Mikrotom A. Prosedur Pembuatan Sediaan Maserasi Pembuatan sediaan maserasi dilakukan menurut metode yang umum digunakan di Laboratorium Kayw Solid Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB dengan urutan kerja sebagai berikut. 1. Contoh uji dipotong-potong menjadi poitongan berukuran kecil sebesar batang korek api agar penetrasi bahan kimia ke dalam kayu lebih cepat sehingga serat- serat mudah lepas, 2. Potongan contoh uji dimasukkan ke tabung reaksi yang telah diberi label untuk masing-masing contoh uji, agar tidak tertukar, lalu diberi Jarutan campuran asam asetat (CH;COOH) dan Hidrogen Peroksida (H2O2) dengan perbandingan 1 : 20 sampai contoh uji terendam seluruhnya, 3. Kemudian tabung reaksi dipanaskan pada suhu 60 °C selama kurang lebih 10 jam dalam alat penangas 4 Pemanasan dihentikan apabila terlihat sel-sel serabut mulai terlepas yanitu terlihat adanya endapan putih serta serabut berwarna putih. 5. Tabung reaksi didinginkan dengan menyemprotkan aquadestilata ke dalam tabung reaksi 6. Serat-serat yang terlepas kemudian dicuci dengan menggunakan kertas saring yang diletakkan di atas corong hingga bebas asam. Selanjutnya contoh uji yang telah bebas asam tersebut dipindahkan ke cawan petri dan diberi safranin 2% dan biarkan sampai kurang lebih 6 — 8 jam agar saftanin masuk ke dalam serabut. 7. Setelah itu dicuci dengan air sampai benar-benar bebas asam untuk kemudian dilakukan dehidrasi dengan menggunakan alkohol bertahap yaitu 20%, 30%, 50%, 70%, 95% dan 100%, Hal ini dimaksudkan agar tidak ada lagi air yang tersisa di dalam serat 8. Kemudian serat dipindahkan gelas objek dengan kues dan ditetesi larutan xylol agar serabut mudah dipisah-pisahkan. Tetesi dengan canada balsam, ialu tutup dengan gelas penutup B. Prosedur Pembuatan Slide Mikrotom Pembuatan sediaan slide mikrotom dilakukan dengan cara sebagai berikut. 1. Contoh uji kay yang berukuran 2 x 2x5 direbus di dalam penangas air hingga lunak kemudian disayat 2. Pembuatan sayatan dilakukan pada tiga bidang orientasi (transversal, tangensial, radial) dengan menggunakan pisau mikrotom spenser dengen tebal sayatan 10 — 20 mikron, Selanjutnya direndam dalam alkohol 50%. 3. Perendaman dilakukan berturut-turut dengan alkohol 30 %, 20%, 10%, lalul dengan aquades. 4. Sayatan diberi safranin 2% dan disimpan selama 6 - 8 jam 5. Safranin dibuang dan diganti berturut-nurut dengan alkohol bertingkat 330%, 50%, 70%, 90%, 100% dan terakhir dengan xylol. 6. Sayatan secepat mungkin dipindahkan ke gelas objek dan dibubuhi canada balsem, lalu ditutup cover glass. or Lampiran 2. Bagan Urutan Kerja Pembuatan Slide Mikrotom Rotary Pada Kayu Jati Dengan Metode Sass (1958). Fiksasi (dalam larutan FAA) Aspirasi (dalam vacuum pump) Dehidrasi (dalam alkohol bertingkat) 20% 40% 60% PH 80% 95% —»100% (masing-masing 3 x 15 menit) t Praparafinasi (dalam perbandingan alkohol : xylol) 4:0% 3:10 2:2> 133% 0:4 (masing-masing 3 x 15 menit, sedangkan xylol murni 1 jam) ‘ Parafinasi Parafinlunak =» Parafinlunak = -> Parafin keras | Pembenaman (embedding) (Pembenaman sampel ke dalam blok parafin) | Penyayatan (dengan rotary microtom) Penempelan sayatan pada gelas objek (Mounting) y Penjernihan (clearing) Pewamaan (Staining) Lampiran 3. Unutan Proses Penjernihan (Clearing) Sampel dengan Metode Sass (1958) 68 Xylol murni I (5 mnt) Xylol murni I (5 mnt) Xylot murni II (5 mnt) Xylol murni II (5 mnt) Xylol : alkohol (1: 1) Xylol : alkohol (1 : 1) (S mnt) (5 mnt) Alkohol (100%) Alkohol (100%) (S mnt) (5 mnt) Alkohol (95%) Alkohol (95%) (S mnt) (5 mnt) Alkohol (80%) Alkohol (80%) (5 mnt) (5 mnt) Alkohol (60%) Alkoho} (60%) (S mn) (5 mnt) Alkohol (40%) Alkohol (40%) (5 mnt) mnt) Alkohol (20%) Alkohol (20%) (S mnt) (5 mot) ‘ t Air murni _ Zat pewarna =——® Air murni 69 Lampiran 4. Nilai Diameter Tangensial Pori Kayo Jati Kultur Jaringan dan Non Kultur Jaringan Pada Beberapa Tingkat Umur Umur ‘Diameter Tangensial Pori (mikron) Frekuensi Koltor jaringan Non Kultur Jaringan Pori/ mm Kayu Awal | Kayu Akhir_| Kayu Awal | Kayu Akhir 1 17 157 143 128 6-7 143 2 171 2 112 112 143 in 157 143 143 143, im 128 2 143, 143 143 157 128 143, 17 143 128 143 157 143 128 i 71 157 157 157 im 137 143 137} Rata-rata 152 144 145 139 | 6 190 171 200 2 | (4-6 157 143 171 157 | } 96 157 4300) 143 143 143 143 143, 214 143 143 ; 200 214 sr | st | ; 157 m 157 | 87 i m 137 71 43 i 157 m1 143 143 i 157 in 13 200 | Rata-rata 165 158 187 152 | 12 200 100 171 157 3-6 | 200 286 286 128 | 171 128 143 7 i 228 157 200 128 | 200 128 100 rd] | 214 157 200 143, | 17h 150 228 186 | 214 200 “143 186 | 228 157 214 157 214 137 200 157 Rata-rata 204 162 188 158 j Lampiran 5. Analisis Sidik Ragam Nilai Rata-rata Panjang Serabut Kayu Jati Kultur Jaringan ‘Sumber Keragaman Db [Jumiah Kuadrat_ | Fvalue | Pr>F Kuadrat Tengah Umur 2 | 740058,400 [370029200 [2706.53 | 0.0001** Ketinggian 2 | 73854.98447 | 36927.492 | 270.10 | 0.0001** Umur*ketinggian 4 | 36457.94671 | 9114.4866 | 66.67 | 0.0001** Posisi Kayu 1 | 44583.9002 | 44583,9002 | 326.10 | 0.0001** Umur*Posisi Kayu 2 | 12374.2140 | 6187.1070 | 45.25 | 0.0001** Ketinggian*Kayu 2 | 4550.2864 | 275.1432 | 16.64 | 0.0001** Umur*ktinggian*P.Kayu | 4 | 3686.6229 | 921.6557 6.74 | 0.0001** Error 18 | 24609112 | 136.717 Total 35 | 918027.266 Lampiran 6. Analisis Sidik Ragam Nilai Rata-rata Panjang Serabut Kayu Jati Non Kultur Jaringan Sumber Keragaman Db | Jumlah Kuadrat Fvalue | Pr>F Kuadrat Tengah Umur 2 | 903472.137 | 451736.068 [ 25.21 | 0.0001** Ketinggian 2 | 118685.046 | 59342.523 3.31 9.0596, Umur*ketinggian 4 | 141661.740 | 35415.435 1.98 0.1414 Posisi Kayu 1 | 31072.1010 | 31072.101 1.73 0.2044 Umur*Posisi Kayu 2 | 109697.151 | 54848.575 3.06 0.0717 Ketinggian*Kayu 2 | 40164.619 20082.309 1.12 0.3478 Umur*ketinggian*P.Kayu | 4 | 89763.054 22440.763 1.25 0.3247 Error 18 | 322535.244 | 17918.624 Total 35 | 1757051.09 n Lampiran 7. Analisis Sidik Ragam Nilai Rata-rata Diameter Lumen Kayu Jati Kultur Jaringan ‘Sumber Keragaman Db |Jumlah |Kuadrat | Fvalue |Pr>F Kuadrat | Tengah Umur 2 [0.14358i6 [00717758 [34.73 | 0.0001"* Ketinggian 2 0.1004874 | 0.0502437 | 24.31 0.0001** Umur*ketinggian 4 0.0090466 | 0.0022616 1.09 0.3893 Posisi Kayu 1 | 1.3030222 | 1.3030222 | 630.4 | 0.0001** Umur*Posisi Kayu 2 | 0.0547220 | 0.0273610 | 13.24 | 0.0003+* Tinggi*Posisi Kaya 2 |0.2255817 | 0.012775 | 5.46 0.0141* Umur*ketinggian*P Kayu | 4 0.0095057 | 0.0023764 Lis 0.3653 Error 18 | 0.0372053 Total 35 | Lampiran 8. Analisis Sidik Ragam Nilai Rata-rata Diameter Lumen Kayu Jati Non Kultur Jaringan Sumber Keragaman Db |Jumlah | Kuadrat__ | Fvalue | Pr>F Kuadrat | Tengah Umur 2 [7.097596 [3.548798 | 559.64 | 0.0001" Ketinggian 2 | 1.203587 | 0.601793 94.9 | 0.0001** Umur*ketinggian 4 |4634953 | 1.158738 | 182,73 | 0.0001 Posisi Kayu 1 | 0.956543 | 0.956543 | 150.85 | 0.0001** Umur*Posisi Kayu 2 1.143787 | 0.571893 90.19 0.0001** Tinggi*Posisi Kayu 2 0.012142 | 0.006071 0.96 0.4026 Umurtketinggian*P.Kayu |4 | 0.017784 | 0.004446 0.70 | 0.6013 Error 18 0.114141 Total 35 | 15.180536 n Lampiran 9, Analisis Sidik Ragam Nilai Rata-rata Tebal Dinding Sel Kayu Jati Kultur Jaringan Sumber Keragaman, Db | Jumlah Kuadrat Fvalue | Pr>F Kuadrat | Tengah Umar 2 0.0823438 | 0.04117193 321.44 | 0.0001** Ketinggian 2 0,0042947 | 0.002474 16.77 | 0,0001** Umur*ketinggian: 4 0.0005554 | 0.0001388 1.08 0.3938 Posisi Kayu 1 0.0056250 | 0.0056250 43.92 | 0.0001** ‘Umur*Posisi Kayu 2 0.0082348 | 0.00411742 32.15 | G.0001** Tinggi*Posisi Kayu 2 0,0004688 | 0.00023443 1.83 0.1890 Umur*ketinggian*P.Kayu | 4 0.0002778 | 0.00006947 0.54 0.7067 Enor 18 | 0.0023055 | 0.00012809 Total 35 | 0.1041062 _Lampiran 10, Analisis Sidik Ragam Nilai Rata-rata Tebal Dinding Sel Kayu Jati ‘Non Kultur Jaringan ‘Sumber Keragaman Db |Jumlah |Kuadrat |Fvalue [Pr>F Kuadrat | Tengah Umur 2 [01440840 | 0.072042 _|~17553 | 0.0001" Ketinggian 2 0.0109147 0.005457 13.60 0.0003** Umur*ketinggian 4 |0.0062692 | 0.001567 | 3.91 | 0.0187* Posisi Kayu 1 | 0.004825 | 0.004822 { 12.02 | 0.0028+* Umur*Posisi Kayu 2 |.0,0014409 | 0.000720 18 | 0.1946 Tinggi*Posisi Kayu 2 0.0000366 | 0.000018 0.05 0.9555 Umur*ketinggian*P.Kayu | 4 0,0022739 | 0.000568 1.42 0.2687 Error 18 | 0,0072231 | 0.000401 Total 35. | 0.170651 Lampiran 11. Nilal Rata-rata Panjang Serabut Kayu Jat! Kultur Jaringan Sanbt Urmur KKetingglan jLingk. wmuh Ky eval Ky ake z Tz pagar 3] 1021] —~o5rg| "was a al razz x a) af 70007 1250.0] ——“Yzaa a 2405] cmH 3[ 1387] Yass ———ta7] 1300 | _t900.8| —“¥s0%-7]-—Ta00.q| Tara 7 rasa] —r96051| —~ ase] — al —taoas| ——sara.7| rasa] tan a 1370.2] 1385] 1380.21 F007 iol 1236] vests] ts] att 1s] 13517] 1168] rave. Ta 12] tata) vasa] “tae rat oo resi7] —Ta7a35] — 1962 575] Tas} nga [| sera] arg 2] aoiza} Toe 3] iie62| 1378 ai 72 3 i203. 3 1304 7 Tara 155 137 1369 ‘snl 137 1eo1 Tait 3| rae Teer —Wsrst ——t [ew Eo) { To26 11297 fb za 1328 Tz ont 17a8 3] i300] tar To] — 1323] —ra20 Ti] Wee] —Taea.a] 317 13 re] — tos s| — tase it — tare 7 [rataata $234,505] 1242 62033] 1262,86667| _1770,039] Taran oan a a s325- 329.3 —osi| — rasa 3] ares 43] 1120] soi] —— 38 a] 388.1] 1002, seal 337.5} 51035] ——rr3i —— rapa) vise ee aime Torayaa| Tore] Wee Baass] THiT seca lena | a8 | — sees] 3a] Zi 320.4] 502.3] —s300:3| Toe 3 “ost s| —ra0.3| — ‘se5 2] — Tors | — 036] —1083| —aza-a] ——“Tr39 = ft a — ee — a e295] — t384] ——r290] — 1307 Tamas ier Tae sie] tis fa a 2750.6] Fre s} 1087.3] Toa] 3 28:3] ~—s09.5| ——e50.4] —— a0 a rai ar 3} ore 12H | 900.4 123 es Taka Ta =) B Lampiran 12. Nilal Rata-rata Diameter Lumen Kayu Jati Kultur Jaringan Diameter himen. ‘umur | Ketingnin | ingk, suman tahun lpenpiar Fung Tahar Lampiran 43, Nila! Rata-ata Tebal Dinding Set Kayu Jati Kultur Jaringan Umar | Ketinggian | Ung mba Ryaval 3a 33] 3 zal 271 5) 33] 31 3 aa 33 33] 33] 33] zal Za75| 2a 335] 33] 3.1 Tebal anding sol z 33] 33] 3 3 27] 33] 33] 3 3 33] 33] 33] 33 33] 33] 273 275 33] rd i 33] 33] 3] EX EI ai EX 3a 32] 3 32] 33] ‘aTeeee7 33] 33] 3 z 8 Lampiran 14. Nilal Rata-rata Panjang Serabut Kay Jati Bukan Kultur Jaringan Seat cumue | Katingan Taw heat pane ‘ 7 aa 7 a eat seg a3] Tass.8| ———to079.8 7710 "206 Taraz] 8 T3778 “374 7487 TH 7438 “479 7a] 1473.8 13a 7 14097 aad rH Taso] Raat Tseaearsial gan i z yaaa] 9557 3] izes 1355. I tsa] ¥a533[ 137 5] ‘ze0| 13783] 1700.7] 128: [73687 1378] ——toe9,i] 1348.4 7] 1986 3] 13607] 13187] 319 5 344 ise] i209. 1304 3[ tase] tees} terra] __ 299. 7a] 304] 13187] 352 1369 if 7350 1373 "20h 1329 a] ony co] 12047] i203 IRacrara | 13ra sosoar| ist Sse] Taos eTaTex| —TyeT TaTATS oo WP vraag oa 20 1704 al ——taoa| ‘zi 12395] 31 3} 1512 5[ 298, ‘38s|_—vose3} at 722358 727] | 3] 1354.4) T3547) 3320.5) 3 i329 7300} 7} T2808 268] 324.1 | 131202 1308 308] 3 in a0 Taz 75] sei 36H 366 co 1 369 1344 1355 7 7309 135i Baa [stszla | 1564 769776| 1505-10708) Tam 7ea257 Bahan pagal 7 “oa6| roa Toa a{_—2ar] aera 25a. 3[—To1a,76| 7283 1707 [tose [ 11003 139 3] 1622 7159 a 1784 72382 aise | Tore roa Tiioss} feng ip sr 5 2 i008. Torr a sot a7 a az 5] 068] Ti24 g] za zai ae [ives] Tosa abSS7 i me |e 73 af roar. 352, c a] 29] a] — a8] Te2t| 3] T1325] 11983] “ites “700. isa — | Toes TOES i6e67] Tahini {aa Tay asa Tengah {a —roon] ai Esa ox a TW 16 ‘Lamplran 18, Nilal Rata-rata Diameter Lumen Kayu Jatl Bukan Kultur Jaringan ameter omen, ketinggian ea zl 7a 18.8 “al wa Wt 175] 183] 73] Te] 7 18.53] 18.3] 77] i TETTEHS455| 1a, 1oOeDCG] Ta TTT SIS 7a Teal 737) Te 173] 36, 787 77 7 72 179) 762 77) 79.38 357) 79] 20] 20) 3] TE TISISIB| 9] Tea 7. Te] a7 zea 20.4 785 70l al 735] i) TearereTe2| im, a 783) 718.3 78] 7a 7a 185) Te 7 782 16,1 Teis45| Fe TsESSI5 ral Ta 13 a7] Ta 78 1353 Ta. 19.4 v9 18.3 ES] Lampiran 16, Nil Rata-rata Tebal Dinding Sel Kayu Jat! Bukan Kultur Jaringan "Tabal ining eat Kaye aoe i EB 33 umue | Ketinggian eal z 3 Ex) 33 33 3a 33] 23] 33] 3 3a] 31 3 7 33] ESI EE 33] 33] 34] 34 27] 23] EE 3 33] z zal Bik 33] 33] 33] 3 I 33] 331 3a 33] 23] 27 I 33] 3 3s] 32 “I STeTwTw ea] 3. voTeTeTes| 33] 33] 33] l 3 2 3a] 235] saa 3 33] 33] 3a 25) 33] 3 33] 3 3 3 33 3 TSSeaESS| a 32] slat Sof) ol Jet [Ble 8

Anda mungkin juga menyukai