Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Undescended testis (UDT) atau cryptorchidism adalah salah satu kelainan yang
paling sering terjadi pada bayi laki-laki. Pada kelainan ini testis tidak terletak didalam
skrotum. Sekitar 20% atau lebih bayi prematur mengalami kelainan ini, mengingat tahap
terakhir dari penurunan testis mencapai skrotum adalah pada minggu ke-25 sampai
minggu ke-35 usia kehamilan. Sekitar 4-5% bayi laki-laki mengalami UDT saat lahir,
tetapi pada setengah dari jumlah bayi laki-laki tersebut, testis akan turun dalam 3 bulan
pertama setelah mereka lahir. Sehingga jumlah kejadian dari kelainan ini menjadi sekitar
1-2% pada bayi laki-laki berumur 3 bulan.
Posisi tetstis memiliki keterlibatan yang signifikan pada kelanjutan hidup
penderita. Kelainan ini dapat mengakibatkan penurunan tingkat kesuburan dan
meningkatkan resiko timbulnya tumor testis pada usia dewasa muda. Oleh karena itu,
pembedahan untuk menangani UDT ini sangat signifikan.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
1. Menambah pengetahuan mengenai ilmu kedokteran tentang undesensus testis
2. Mampu mendiagnosa dan menatalaksana pasien dengan undesensus testis
3. Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti kepaniteraan
klinik ilmu bedah

1.2.2 Tujuan Khusus

Mengetahui tentang penyakit tiroid yang meliputi :


1. Anatomi
2. Definisi
3. Epidemiologi
4. Etiologi
5. Patofisiologi
6. Manifestasi klinis
7. Diagnosis
8. Diagnosa banding
9. Penatalaksanaan
10. Komplikasi
11. Prognosis

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan fisiologi testis

a) Anatomi

Setelah pubertas, selain sebagai organ reproduksi (menghasilkan spermatozoa) juga


sebagai kelenjar endokrin yang menghasilkan hormon androgen yang berguna untuk
mempertahankan tanda-tanda kelamin sekunder. Testis bersama tunica vaginalis proprianya
terletak daalm cavum scrotii. Testis terletak lebih rendah dari pada yang kanan. Testis
3

berbentuk oval dengan berat 10-14gr dengan panjang 4 cm ukuran dari anterior ke posterior 3
cm dan lebar 2,5 cm dan memiliki bagian-bagian yakni ekstremitas superior, ekstremitas
inferior, facies lateralis, facies medialis, margo anterior (convex), margo posterior (datar).
Testis terletak didalam cavum scrota yang ditutupi oleh scrotum. Dimana lapisannya
dari luar ke dalam yakni:
-

Cutis
Tunica dartos
Fascia spermatica eksterna
M. Cremasterica
Fascia spermatica interna
Tunica vaginalis propia
Tunica albuginea
Innervasi testis
Testis dipersarafi oleh serabut saraf dari plexus nervacus tertucularis. Plexus ini
dibentuk oleh nervus thoracalis VI-XII.
Vaskularisasi Testis
- A. Testicularis dekstra dan sinistra cabang dari aorta abdominalis
- V. Testicularis dekstra yang akan bermuara ke V. Cava inferior
- V. Testicularis sinistra yang akan bermuara ke V. Renalis sinistra lalu bermuara ke
vena cava inferior

b) Fisiologi
Pada testis secara mikroskop dibagi menjadi 2 bangunan utama yaitu, tubulus
seminiferus dan sel intersisal Leydig. Tubulus seminiferus mmiliki fungsi untuk
pembentukan sel spermatozoa. Sel Leydig berada diantara tubulus seminiferus dan
memiliki fungsi utama untuk memproduksi hormon androen pada pria. Sekresi sel
Leydig distimulasi adanya Luteinizing Hormone (LH) yang disekresi dari hipofisis
anterior.
Testis berperan untuk memproduksi hormon androgen yang akan digunakan
untuk proses spermatogenesis. Reaksi enzimatik yang terjadi pada proses
pembentukan hormon seks pria disebut dengan proses steroidogenesis. Proses
spermatogenesis dan steroidogenesis terjadi pada kompartemen intersisial. Walaupun
secara anatomis posisinya berbeda namun keduanya memiliki hubungan erat dalam
menjalankan fungsi masing-masing. Pada kompartemen tubulus terdapat tubulus
seminiferus yang berfungsi sebagai tempat spermatogenesis dan pada basal membran
tubulus seminiferus terdapat sel sartoli sebagai penyokong tubulus seminiferus.

Regulasi hormonal mengatur fungsi testis melalui hipothalamic-pituitary-gonadal


axis, namun peran hormonal lokal juga memengaruhi fungsi testis.
- Tubulus seminiferus
Kompartemen tubulus menempati 60-80% bagian dari volume total testis.
Didalam

kompartemen

tubulus,

terjadi

proses

spermatogenesis

untuk

memproduksi sperma. Proses spermatogenesis membutuhkan rangsangan dari


hormon testosteron ang di produksi oleh sel Leydig dan membutuhkan ormon
-

estrogen yang dikatalisis oleh sel sartoli.


Sel sartoli
Sel sartoli terletak pada lapisan basalis tubulus seminiferus. Pada dewasa aktifitas
mitosis pada sel sartoli tidak aktif. Sel sartoli dikenal dengan sel penyokong pada
tubulus seminiferus. Sel sartoli mensintesis bebagai faktor seperti protein, sitokin,
growth factor, opioid, steroid, dan prostaglandin. Sel sartolii juga mensintesis
Androgen Binding Protein (ABP) yang akan berikatan dengan testosteron untuk

membawa testosteron masuk ke dalam tubulus seminiferus.


Sel Leydig
Sel Leydig memproduksi hormon testtosteron merupakan hormon seks pria yang
paling penting. Letak sel Leydig berada diantara tubulus seminiferus, sehingga
mempunyai nama lain yaitu sel intersisial Leydig.

2.2 Definisi

UDT atau cryptorchidism didefinisikan sebagai testis yang tidak dapat turun ke skrotum
hingga bayi berusia 12 minggu. Hal ini berbeda dengan acquired UDT atau disebut juga
dengan ascending testis. Pada acquired UDT, testis dapat turun secara normal sampai ke
skrotum saat bayi lahir hingga bayi berusia sekitar 3 bulan, namun setelah itu, semakin
bertambahnya usia bayi testis semakin bergerak naik keluar dari skrotum.
2.3 Epidemiologi
UDT terjadi pada 4-5% bayi laki-laki dengan umur kehamilan yang cukup, dan terjadi
hingga 33% pada bayi laki-laki prematur. Pada usia 1 tahun, jumlah kejadian dari UDT
sebanyak 1%, tetapi sebanyak 2-3% bayi laki-laki menjalani orchidopexy. Pada sejumlah
bayi laki-laki, testis tidak bisa bertahan didalam skrotum yang menunjukkan bahwa mereka
mengalami acquired UDT atau disebut juga dengan ascending testis. Kelainan ini mungkin
disebabkan oleh gagalnya spermatic cord untuk memanjang sesuai dengan proporsi tubuh
anak tersebut. Hal inilah yang menjelaskan ketidaksesuaian antara jumlah orchidopexy yang
lebih tinggi dari pada jumlah kejadian dari UDT itu sendiri.
UDT dapat dideteksi melalui palpasi pada 3 dari 4 kasus, teriutama pada daerah kanali
inguinalis. UDT juga berhubungan dengan kelainan lain, seperti patent prosesus vaginalis,
kelainan epididimis, hypospodia, dan kelainan saluran kencing bagian atas. Meningkat atau
menurunnya jumlah kejadian dari UDT masih dalam kontroversi.
2.4 Embriologi dan proses penurunan testis

Sebelum minggu ke-7 atau ke-8 usia kehamilan, posisi gonad adalah sama pada kedua
jenis kelamin. Adanya gen penentu seks (SRY), mengawali perkembangan genitalia interna
6

dan eksterna, dan penurunan testis. Pada masa awal embrio, testis memproduksi 3 hormon,
yaitu testosteron yang diproduksi oleh sel leydig, insulin like hormon 3 (Insl3), dan Mullerian
Inhibiting Substance (MIS) atau anti mullerian hormon (AMH) yang diproduksi oleh sel
sartoli. Segera setelah terjadinya diferensiasi gonad menjadi testis, sel sartoli mulai
memproduksi MIS yang mengakibatkan regresi duktus Muller. Pada minggu ke-9, sel leydig
memproduksi testosteron dan merangsang perkembangan struktur wolff, termasuk epididimis
dan vas deferens. Dengan regresi dari mesonefros pada daerah urogenital dan regresi duktus
paramesonefros (duktus Muller) oleh MIS, testis dan duktus mesonefros (duktus Wolff)
dilekatkan pada dinding perut bagian posterior ke arah kranial oleh ligamen genitalis kranial,
dan ke arah kaudal oleh ligamentum genitoguinalis atau gubernakulum. Dengan regresi dari
mesonefros ini, testis juga memperoleh mesentrium yang memungkinkan testis untuk berada
rongga perut.
Pada fase pertama dari penurunan testis, ligamen suspensorium kranial beregresi
dibawah pengaruh androgen. Ujung kaudal dari gubernakulum yang melekat pada dinding
perut anterior mengalami penebalan, yang diketahui sebagai reaksi pembengkakan yang
dimediasi terutama oleh Insl3. Proses ini mengakibatkan dilatasi kanalis inguinalis dan
membuat jalan untuk penurunan testis. Fase pertama ini berlangsung hingga minggu ke-15
usia kehamilan.
Pada sekitar minggu ke-25 usia kehamilan, prosesus vaginalis memanjang di dalam
gubernakulum dan membuat divertikulum peritoneal yang memungkinkan testis untuk turun.
Ujung distal dari gubernakulum lalu menonjol keluar dari muskular perut dan mulai
memanjang menuju skrotum. Antara minggu ke-30 sampai minggu ke-35, ujung distal dari
gubernakulum ini sampai di skrotum. Testis bergerak turun didalam prosesus vaginalis, yang
tetap terbuka hingga penurunan testis selesai, dan lalu mengalami obliterasi proximal. Fase
ke-2 dari penurunan testis ini diatur oleh testosteron yang melepas suatu neurotrasnmitter,
yaitu calcitonin gene related peptide (CGRP), yang menyebabkan perpindahan gubernakulum
ke skrotum. Penurunan testis di dalam prosesus vaginalis dibantu oleh adanya tekanan intra
abdomen.
2.5 Etiologi
UDT dapat disebabkan oleh kelainan dari kontrol hormon atau proses anatomi yang
diperlukan dalam proses penurunan testis secara normal. Kelainan hormon androgen, MIS,
atau Insl 3 jarang terjadi, tetapi telah diketahui dapat menyebabkan UDT. Kelainan fase
7

pertama dari penurunan testis juga jarang terjadi. Sebaliknya, migrasi testis pada fase ke-2
dari penurunan testis adalh proses yang kompleks, diatur oleh hormon, dan sering mengalami
kelainan. Hal ini ditunjukkan dengan gagalnya gubernakulum bermigrasi ke skrotum, dan
testis teraba didaerah inguinal. Penyebab dari kelainan ini masih tidak secara pasti, namun
kemungkinan disebabkan oleh tidak baiknya fungsi plasenta sehingga menghasilkan
androgen dan stimulasi gonadotropin yang tidak cukup.
Mekanisme terjadinya UDT berhubungan dengan banyak faktor (multifaktorial) yaitu (1)
perbedaan pertumbuhan relatif tubuh terhadap funikulus spermatikus atau gubernakulum, (2)
peningkatan tekanan abdomen, (3) faktor hormonal: testosteron, MIS, dan ekstrinsik estrogen
(4) perkembangan epididimis, (5) perlekatan gubernakular (6) genito femoral nerve/calcitonin
generelated peptide (CGRP), (7) Sekunder pasca operasi inguinal yang menyebabkan
jaringan ikat. UDT juga dapat terjadi karena adanya kelainan pada (1) gubernakulumtestis (2)
kelainan instrinsik testis, atau (3) defisiensi hormmon gonadotropin yang memacu proses
desensus testis. Beberapa penelitian telh mengidentifikasi kelompok bayi baru lahir yang
beresiko mengalami UDT untuk mencari riwayat alami dan faktor-faktor yang mempengaruhi
desensus setelah lahir. Penelitian inni menemukan bahwa UDT secara signifikan lebih banyak
ditemukan pada bayi prematur, kecil untuk masa kehamilan, berat bayi baru lahir yang rendah
dan kembar.
Beberapa gangguan jaringan ikat dan sistem saraf berhubungan dengan UDT, seperti
arthrogryposis multiplex congenita, spina bifida dan gangguan hypotalamus. Kerusakan
dinding abdomen yang menyebabkan gangguan tekanan abdomen juga meningkatkan
frekwensi UDT , seperti exomphalos, gastrochisis, dan bladder, exstrophy. Prune Belly
syndrome adalah kasus yang spesial dimana terjadi pembesaran kandung kemih yang
menghalangi pembentukan gubernakulum didaerah inguinal secara normal, atau menghalangi
penurunan gubernakulum dari dinding abdomen karena kandung kemih menjadi sangat besar.
Hal ini lalu menghalangi prosesus vaginalis membentuk kanalis inguiinnalis secara normal
dan oleh sebab itu testis tetap berada pada daerah intra abdomen dibelakang kandung yang
membesar tersebut.
UDT dapat merupakan kelainan tunggal yang berdiri sendiri (isolated anomaly), ataupun
bersamaan dengna kelainan kromosom, endokrin, interssex, dan kelainan bawaan lainnya.
Bila disertai dengan kelainan bawaan lain seperti hipospadia kemungkinan lebih tinggi
disertai dengan kelainan kromosom (sekitar 12 -25%). Terdapat faktor keturunan terjadinya
8

UDT pada kasus-kasus yang isolated, disamping itu testis sebelah kanan lebih sering
megalami UDT. Sekitar 4,0% anak-anak UDT mempunyai ayah yang UDT, dan 6,2-9,8%
mempunyai saudara laki-laki UDT atau secara umum terdapatt resiko 3,6 kali terjadi UDT
pada laki-laki yang mempunyai anggota keluarga UDT dibanding dengan populasi umum.
2.6 Klasifikasi
UDT dapat dibedakan menjadi palpable dan non palpable. UDT dapat ditemukan
sepanjang jalur pertama penurunan testis yang normal atau didaerah lain seperti didaerah
inguinal, perineum, kanalis femoralis, penopubic, dan hemiskrotum kontralateral. Testis
mungkin tidak teraba karena lokasinya pada intra abdomen. Non palpable UDT dapat
dibedakan lagi menjadi unilateral dan bilateral. Pembedaaan antara palpable dan non palpable
UDT mungkin dikaburkan oleh fakta bahwa palpable UDT dengan open ring dapat menjadi
nonplapable UDT jika testis turun ke abdomen melalui anulus internal yang terbuka. UDT
dikelompokkan menjadi 3 tipe :
-

UDT sesungguhnya / trus undescended : testis mengalami penurunan parsial melalui

jalur yang normal tetapi terhenti. Dibedakan menjadi teraba dan tidak teraba
Testis ektopik : testis mengalami penurunan diluar jalur penurunan yang normal
Testis retractile : testis dapat diraba / dibawa ke dasar skrotum tetapi akibat refleks
kremaster yang berlebihan dapat kembali segera ke kanalis inguinalis, bukan

termasuk UDT yang sebenarnya.


a) Klasifikasi berdasarkan etiopatogenesis:
Mekanis / anatomik (perlekatan-perlekatan, kelainan kanalis inguinalis)
Endokrin / hormonal (kelainan axis hipotalamus-hipofisis-testis)
Disgenetik (kelainan interseks multiple)
Herediter/genetik
b) Klasifikasi berdasarkan lokasi:
Skrotal tinggi (supraskrotal) : 40%
Intrakanalikuler (inguinal) : 20%
Intraabdominal (abdominal) : 10%
Terobstruksi : 30%

2.7 Presentasi Klinis


Pada sebagian besar kasus UDT, testis berada pada leher skrotum atau diluar annulus
inguinalis eksternal diruang subkutan dibawah fascia scarpa. Posisi ini biasanya bukan
disebabkan oleh karena migrasi ectopic dari gubernakulum, melainkan oleh karena lapisan
fascia dari dinding abdomen. Bahkan testis masih berada pada sebuah mesentry didalam
tunika vaginalis. Adanya mesentry ini berarti testis dapat berpindah didalam tunika vaginalis
saat dilakukan palpasi.
Panjang spermatic cord pada bayi adalah sekitar 4-5 cm dari annulus inguinalis eksternal
sampai ke puncak testis. Sebaliknya panjang spermatic cord pada anak usia 10 tahun adalah
sekitar 8-10 cm. Hal inni dikarenakan oleh perubahan bentuk pelvis sehingga jarak anatara
annulus inguinalis eksternal dengan skrotum semakin bertambah. Perlunya spermatic cord
unutk memanjang ini kini diketahui sebagai kemungkinan penyebab dari acquired UDT.
Sebagian besar acquired UDT ini disebabkan oleh karena kegagalan obliterasi dari prosesus
vaginalis yang menyisakan fibrosa yang tidak dapat memanjang sesuai dengan bertambahnya
usia.
2.8 Patogenesis dan patofisiologi
Suhu di dalam rongga abdomen kurang lebih 1-20c lebih tinggi dari pada suhu didalam
skrotum, sehingga testis abdominal selalu mendapatkan suhu yang lebih tinggi daripada testis
normal, hal ini mengakibatkan kerusakan sel-sel germinal testis. Pada usia 2 tahun, sebanyak
1/5 bagian dari sel-sel germinal testis telah mengalami kerusakan, sedangkan pada usia 3
10

tahun hanya 1/3 sel-sel germinal yang masih normal. Kerusakan ini makin lama makin
progresif dan akhirnya testis menjadi mengecil. Karena sel-sel Leydig sebagai penghasil
hormon andogen tidak ikut rusak, maka potensi seksual tidak mengalami ganguan. Akibat
lain yang ditimbulkan dari letak berada di skrotum adalah mudah terpluntir (torsio), mudah
terkena trauma, dan lebih mudah mengalami degenerasi maligna.
2.9 Diagnosis
a) Anamnesis
- Tentukan apakah testis pernah teraba di skrotum
- Riwayat operasi daerah inguinal
- Riwayat prenatal: terapi hormonal pada ibu untuk reproduksi, kehamilan kembar,
-

prematuritas
Riwayat keluarga: UDT, hipospadia, infertilitas, intersex, pubertas prekoks

b) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan sebaiknya dilakukan diruangan yang tenang dan hangat. Pemeriksaan
secara umum harus dilakukan dengan mencari adanya tanda-tanda sindrom tertentu,
dismorfik, hipospadia atau genitalia ambigua. Saat pemeriksaan fisik kondisi pasien
harus dalam keadaan relaksasi dan posisi seperti frog-leg atau crosslegd. Pada pasien
yang terlalu gemuk, dapat dilakukan dalam posisi sitting cross-legged atau baseball
catchers. Tangan pemeriksa harus dalam keadaan hangat untuk menghindari
tertarinya testis keatas. Untuk kepentingan klinis dan penatalaksanaan terapi,
klasifikasi cukup dibedakan menjadi teraba atau tidak. Pemeriksaan testis
kontralateral juga perlu dilakukan. Pemeriksaan fisik dimulai dari antero-superior iliac
spine, meraba daerah inguinal dari lateral ke medial dengan tangan yang tidak
ominan. Jika teraba testis, testis dipegang dengan tangan dominan dan ditarik kearah
skrotum.
c) Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan Laboratorium
Pada anak dengan UDT unilateral tidak memerlukan pemeriksaan laboratorium
lebih lanjut. Sedangkan pada UDT bilateral tidak teraba testis dengan disertai
hipospadia dan virilisasi, diperlukan pemeriksaan analisis kromosom dan
hormonal untuk menyingkirkan kemungkinan intersex.
Setelah menyingkirkan kemungkinan inttersex, pada penderita UDT bilateral
dengan usia < 3 bulan dan tidak teraba testis, pemeriksaan LH, FSH, dan
testosteron akan dapat membantu menentukan apakah terdapat testis atau tidak.
Bila umur telah mencapai diatas 3 bulan pemeriksaan hormonal tersebut harus
11

dilakukan dengan melakuka stimulasi test menggunakan hCG. Ketiadaan


peningkatan kadar testosteron disertai peningkatan LH/FSH setelah dilakukan
stimulasi mengindikasikan anorchia.
Prinsip stimulasi test dengan hCG test adalah mengukur kadar hormon testosteron
pada keadaaan basal dan 24-48 jam setelah stimulasi. Respon testosteron normal
pada hCG test sangat tergantung umur penderita. Pada bayi, rspon normal setelah
hCG test bervariasi antara 2-10x bahkan 20x. Pada masa kanak-kanak,
peningkatannya

seitar

5-10x.

Sedangkan

pada

masa

pubertas,

dengan

meningkatnya kadar testosteron basal, maka peningkatan setelah stimulasi hCG


-

hanya sekitar 2-3x.


Pemeriksaan radiologi
USG hanya dapat membantu menentukan lokasi testis terutama didaerah inguinal,
di mana hal ini akan mudah sekali dilakukan perabaan dengan tangan. Pada
penelitian terhadap 66 kasus rujukan dengan UDT tidak teraba testis, USG hanya
dapat mendeteksi 37,5% testis inguinal, dan tidak dapat mendeteksi testis
intraabdomen
Hal ini tentunya sangat tergantung dari pengalaman dan kwalitas alat yang
digunakan. CT scan dan MRI mempunyai ketepatan yang lebih tinggi
dibandingkan USG terutama diperuntukkan testis intraabdomen (tak teraba testis).
MRI mempunyai sensifitas yang lebih baik untuk digunakan pada anak-anak yang
lebih besar (belasan tahun). MRI juga dapat mendeteksi kecurigaan risiko
keganasan testis.
Dengan ditemukannya metode-metode yang non-invasif maka penggunaan
angiografi untuk mendeteksi testis yang tidak teraba menjadi semakin berkurang.
Metode ini paling baik digunakan untuk menentukan vanishing testis ataupun
anorchia. Dengan metode ini akan dapat dievaluasi pampinofiris, parenkim testis,
dan blind-ending dari vena testis. Kelemahannya selain invasif, juga terbatas pada

umur anak-anak yang lebih besar mengingat kecilnya ukuran vena-vena gonad.
Laparoskopi
Metode laparoskopi pertama kali digunakan untuk mendeteksi UDT tidak teraba
testis pada tahun 1976. Metode ini merupakan metode invasif yang cukup aman
oleh ahli yang berpengalaman. Sebaiknya dilakukan pada anak yang lebih besar
dan setelah pemeriksaan lain tidak dapat mendeteksi adanya testis diinguinal.
Beberapa hal yang dapat dievaluasi selama laparoskopi adalah: kondisi cincin
inguinnalis interna, processus vaginalis (patent atau non patent), testis dan
vaskularisasinya serta struktur wolfiannya. Tiga hal yang sering dijumpai saat
12

laparoskopi adalah: blind-ending pembuluh darah testis yang mengindikasikan


anorchia testis intraabdomen (36%) dan struktur cord (vasa dan vasdeferens) yang
keluar ke dalam cincin inguinalis interna.

2.10 Diagnosis Banding


Diagnosis banding meliputi testis letak ektopik dan sering kali dijumpai testis yang
biasanya berada di kantong skrotum tiba-tiba berada didaerah inguinal dan pada keadaan
lain kembali ke tmpat semula. Keadaaan ini terjadi karena reflek otot kremaster yang
terlalu kuat akibat cuaca dingin, atau setelah melakukan aktifitas fisik. Hal ini disebut
sebagai testis retraktil atau kriptorkismus fisiologis dan kelainan ini tidak perlu diobat.
Selain itu UDT perlu dibedakan dengan anorkismus, yaitu testis memang tidak ada. Hal
ini biasa terjadi secara congenital memang tidak terbentuk testis, atau testis yang
mengalami atrofi akibat torsio in utero atau torsio pada saat neonatus.

2.11 Penatalaksanaan
Tujuan terapi UDT yang utama dan dianut hingga saat ini adalah memperkecil
risiko terjadinya infertilitas dan keganasan dengna melakukan reposisi testis ke dalam
skrotum baik dengan menggunakan terapi hormonal ataupun dengan cara pembedahan
(orchiopexy). Penatalaksanaan yang terlambat pada UDT akan menimbulkan efek pada
testis dikemudian hari. Dengan asumsi bahwa jika dibiarkan testis tidak dapat turun
sendiri seteleh usia 1 tahun, sdangkan setelah usia 2 tahun terjadi ekrusakan testis yang
cukup bermakna, maka saat yang tepat untuk melakukan terapi adalah pada usia 1
tahun. Pada prinsipnya testis tidak berada di skrotum harus diturunkan ke tempatnya,
baik dengan cara medikamentosa maupun pembedahan
UDT meningkatkan risiko infertilitas dan berhubungan dengan risiko tumor sel
germinal yang meningkat 3-10 kali. Atrofi testis terjadi pada usia 5-7 tahun, akan tetapi
perubahan morfologi dimulai pada usia 1-2 tahun. Risiko kerusakan histologi testis juga
berhubungan dengan letak abnormal testis. Pada awal pubertas lebih dari 90% testis
kehilangan sel germinalnya pada kasus intraabdomen, sedangkan pada kasus testis
inguinal dan preskrotal, penurunan germinal mencapai 41% dan 20%.

13

Acquired Undescended Testes


Retracted testis (the testis is up in
the groin) or Acquired
Undescended Testis (UDT) (5-10
years of age)

Acquired UDT (testicle


cannot sit in scrotum by it
self spontaneously)

Retractable testicle (testicle


can be pulled down into
scrotum and will stay there by
it self, spontaneously)

Surgery (Orchidopexy)

Yearly review

Congenital Undescended Testes


Birth

Undescended testes
(UDT) found

Normal

14

Testes
havereview
now come
Undescended
testesSee
stillatdoctor again at 12
Surgery
(Orchidopexy)
Yearly
weeks
down
present
age 6-12
months

a) Terapi hormonal
Terapi hormonal primer leihbanyak digunakan di Eropa. Hormon yang
diberikan adalah hCG, gonadotropin releasing hormon (GnRH) atau LH-releasing
hormon (LHRH). Terapi hormonal meningkatkan produksi testosteron dengan
menstimulasi berbagai tingkat jalur hipotalamus-pituitary-gonadal. Terapi ini
berdasarkan observasi bahwa proses turunnya testis berhubungan dengan androgen.
Tingkat testosteron lebih tinggi bila diberikan hCG dibadningkan GnRH. Semakin
rendah letak testis, semakin besar kemungkinan kbehasilan terapi hormonal.
International Health Foundation menyaankan dosis hCG sebanyak 250IU/kali
pada bayi, 500 IU anak sampai usia 6 tahun dan 1000 IU pada anak lebih dari 6 tahun.
Terapi diberikan 2 kali seminggu selama 5 minggu. Angka keberhasilannya 6-55%.
Secra keseluruhan, terapi hormon efektif pada beberapa kelompok kasus, ayitu tastis
yang terletak di leher skrotum atau UDT bilateral. Efek samping adalah peningkatan
rugae skrotum, pigmentasi, rambut pubis dan pertumbuhan penis. Pemberian dosis
lebih dari 1500 IU dapat menginduksi fusie piphyseal plate dan mengurangi
pertumbuhan somatik. Pemberian hormonal pada kriptrokismus banyak memberikan
hasil terutama pada kelainan bilateral, sedangkan pada kelainan unilateral hasilnya
masih belum memuaskan. Obat yang sering dipergunakan adalah hormon hCG yang
disemprotkan intransal.
b) Pembedahan
Apabila hormonal telah gagal, terapi standar pembedahan untuk kasus UDT adalah
orchiopexy. Keputusan untuk melakukan orchiopexy harus mempertimbangkan
berbagai faktor, antara lain teknis, resiko anastesi, psikologis anak, dan risiko bila
operasi tersebut ditunda. Tujuan operasi pada kriptorkismus adalah :
- Mempertahankan fertilitas
- Mencegah timbulnya degenerasi maligna
15

Mencegah kemungkinan terjadinya torsio testis


Melakukan koreksi hernia
Secara psikologis mencegah terjadinya rasa rendah diri karena tidak mempunyai

testis.
Operasi yang dikerjakan adalah orkidopeksi yaitu meletakkan testis ke dalam skrotum
dengan melakukan fiksasi pada kantung sub dartos. Prinsip dasar orchipexy adalah :
- Mobilisasi yang cukup dari testis dan pembuluh darah
- Ligasi kantong hernia
- Fiksasi yang kuat testis pada skrotum
Tindakan operasi sebaiknya dilakukan sebelum pasien usia 2 tahun, bahkan beberapa
penelitian menyarankan pada usia 6-12 bulan. Penelitian melaporkan spermatogonia
akan menurun setelah usia 2 tahun.
Indikasi absolut dilakukan operasi pembedahan primer adalah :
- Kegagalan terapi hormonal
- Testis ektopik
- Terdapat kelainan lain seperti hernia dengan atau tanpa prosesus vaginalis yang
terbuka.
Komplikasi Orchiopexy
Beberapa komplikasi yang dapat timbul akibat tindakan pembedahan Orchiopexy
antara lain :
- Posisi testis yang tidak baik karena diseksi retroperitoneal yang tidak komplit
- Atrofi testis karena devaskularisasi saat membuka funikulus
- Trauma pada vas deferens
- Pasca-operasi torsio
- Epididimoorkhitis
- Pembengkakan skrotum
2.12 Komplikasi UDT
Telah lama diketahui bahwa komplikasi utama yang dapat terjadi pada UDT adlah
keganasan testis dan infertilitas akibat degenerasi testis. Disamping itu disebut juga tejadinya
torsio testis dan hernia inguinalis.
a) Risiko Keganasan
Terdapat hubungan yang erat antara UDT dan keganasan testis. Insiden
keganasan testis sebesar 1-6 pada setiap 500 laki-laki UDT di Amerika. Risiko
terjadinya keganasan testis yang tidak turun pada anak dengan UDT dilaporkan
berkisar 10-20 kali dibandingkan pad anak dengan testis normal. Makin tinggi lokasi
UDT makin tinggi risiko keganasannya, testis abdominal mempunyai risiko menjadi
ganas 4x lebih besar dibanding testis inguinal.
Orchipexy sendiri tidak akan mengurangi risiko terjadinya keganasan, tetapi
akan lebih mudah melakukan deteksi dinni keganasan pada penderita yang telah
dilakukan orchiopexy.
b) Infertilitas
16

Penderita UDT bilateral mengalami penurunan fertilitas yang lebih berat


dibandingkan penderita UDT unilateral, dan apalagi dibandingkan dengan populasi
normal. Penderita UDT bilateral mempunyai risiko infertilitas 6x lebih besar
dibandingkan populasi normal (38% infertil pada UDT bilateral dibandingkan 6%
infertil pada populasi normal), sedangkan pad UDT unilateral berisiko hanya 2x lebih
besar.
Komplikasi infertilitas ini berkaitan dengan terjadinya degenerasi pada UDT.
Biopsi pada anak-anak dan binatang coba UDT menunjukkan adanya penurunan
volume testis, jumlah germ cells dan spermatogonia dibandingkan dengan testis yang
normal. Biopsi testis pada anak dengan UDT unilateral yang dilakukan sebelum umur
1 tahun menunjukkan gambaran yang tidak berbeda bermakna dengan testis yang
normal.
Perubahan gambaran histologis yang bermakna mulai tampak setelah umur 1
tahun, semakin memburuk dengan bertambahnya umur. Tidak seperti risiko
keganasan, penurunan testis lebih dini akan mencegah proses degenrasi lebih lanjut.

BAB III
PENUTUP
Undescended testis (UDT) adalah suatu kondisi dimana testis tidak dijumpai pada
tempat yang semestinya yaitu didalam skrotum. UDT juga dapat terjadi karena adanya
kelainan pada (1) gubernakulumtestis, (2) kelainan instrinsik testis, atau (3) defisiensi
hormon gonadotropin yang memacu proses desensus testis. Penegakkan diagnosis UDT harus
17

dapat dilakukan lebih awal sehingga penatalaksanaan baik hormonal atau pembedahan dapat
dilakukan lebih awal. Dengan penatalaksanaan lebih awal, diharapakan terjadi penurunan
risiko yang terjadi pada testis terutama risiko infertilitas. Esensi terapi rasional yang dianut
hingga saat ini adalah memperkecil terjadinya risiko komplikasi dengan melakukan reposisi
testis ke dalam skrotum baik dengan menggunakan terapi hormonal ataupu dengan cara
pembedahan (orchiopexy)

DAFTAR PUSTAKA

1. Moh. Adjie Pratignyo. 2011. Bedah Saluran Cerna Anak. Edisi 1. SAP Publish
Indonesia: Tangerang
2. Sjamjuhidayat & Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC
3. Seymour, Schwartz. 2000. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah Edisi 6. Jakarta : EGC
4. Sadler. Embriologi Kedokteran LANGMAN. Edisi ke 7. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC: 2000
5. Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. Edisi 2. Jakarta: Sagung Seto: 2003
18

6. Batubara JRL. Terapi hormonal pada kriptorkismus. Disampaikan pada simposium


sehari Tatalaksana Optimal Kriptorkismus, Jakarta
7. Kolon. TF, Patel RP, Huff DS, Cryptorrchidism: diagnosis, treatment, and long term
prognosis. Urol Clin North Am 2004
8. Himaawan S. Segi patologik kriptokismus. Disampaikan pada Simposium sehari
Tatalaksana Optimal Kriptorkismus

19

Anda mungkin juga menyukai

  • Demensia Alzheimer
    Demensia Alzheimer
    Dokumen27 halaman
    Demensia Alzheimer
    putri diana
    Belum ada peringkat
  • FAAL PARU Rsam
    FAAL PARU Rsam
    Dokumen18 halaman
    FAAL PARU Rsam
    putri diana
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar Difteri
    Kata Pengantar Difteri
    Dokumen2 halaman
    Kata Pengantar Difteri
    putri diana
    Belum ada peringkat
  • FAAL PARU Rsam
    FAAL PARU Rsam
    Dokumen18 halaman
    FAAL PARU Rsam
    putri diana
    Belum ada peringkat
  • Arsen
    Arsen
    Dokumen20 halaman
    Arsen
    putri diana
    Belum ada peringkat
  • Fisiologi Hidung
    Fisiologi Hidung
    Dokumen3 halaman
    Fisiologi Hidung
    putri diana
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus Pak Aprizal
    Laporan Kasus Pak Aprizal
    Dokumen34 halaman
    Laporan Kasus Pak Aprizal
    putri diana
    Belum ada peringkat
  • Cover Interne
    Cover Interne
    Dokumen1 halaman
    Cover Interne
    putri diana
    Belum ada peringkat
  • Anto
    Anto
    Dokumen2 halaman
    Anto
    putri diana
    Belum ada peringkat
  • THT 2
    THT 2
    Dokumen2 halaman
    THT 2
    putri diana
    Belum ada peringkat
  • Lembar Pengesahan
    Lembar Pengesahan
    Dokumen6 halaman
    Lembar Pengesahan
    putri diana
    Belum ada peringkat
  • Abstrak Jurnal Acne
    Abstrak Jurnal Acne
    Dokumen3 halaman
    Abstrak Jurnal Acne
    putri diana
    Belum ada peringkat
  • Surat Skripsi
    Surat Skripsi
    Dokumen1 halaman
    Surat Skripsi
    putri diana
    Belum ada peringkat
  • Tatalaksana Sifilis
    Tatalaksana Sifilis
    Dokumen1 halaman
    Tatalaksana Sifilis
    putri diana
    Belum ada peringkat
  • THT 2
    THT 2
    Dokumen2 halaman
    THT 2
    putri diana
    Belum ada peringkat
  • BP Popi
    BP Popi
    Dokumen9 halaman
    BP Popi
    putri diana
    Belum ada peringkat
  • C
    C
    Dokumen2 halaman
    C
    putri diana
    Belum ada peringkat
  • Artikel Bhs Indonesia
    Artikel Bhs Indonesia
    Dokumen9 halaman
    Artikel Bhs Indonesia
    putri diana
    Belum ada peringkat
  • Traskripsi
    Traskripsi
    Dokumen27 halaman
    Traskripsi
    Haris Tikna
    Belum ada peringkat
  • Grave Disease
    Grave Disease
    Dokumen25 halaman
    Grave Disease
    putri diana
    Belum ada peringkat
  • Arsen Forensik
    Arsen Forensik
    Dokumen21 halaman
    Arsen Forensik
    putri diana
    Belum ada peringkat
  • Atrofi
    Atrofi
    Dokumen2 halaman
    Atrofi
    putri diana
    Belum ada peringkat
  • Toksisitas ARSEN
    Toksisitas ARSEN
    Dokumen16 halaman
    Toksisitas ARSEN
    putri diana
    Belum ada peringkat
  • Sifat Pemurah
    Sifat Pemurah
    Dokumen1 halaman
    Sifat Pemurah
    putri diana
    100% (1)
  • Macam-Macam Abortus
    Macam-Macam Abortus
    Dokumen20 halaman
    Macam-Macam Abortus
    Rima Karthesa Rini
    Belum ada peringkat
  • Devid
    Devid
    Dokumen4 halaman
    Devid
    putri diana
    Belum ada peringkat
  • TUGAS
    TUGAS
    Dokumen2 halaman
    TUGAS
    putri diana
    Belum ada peringkat
  • Surat Skripsi
    Surat Skripsi
    Dokumen1 halaman
    Surat Skripsi
    putri diana
    Belum ada peringkat
  • Tulang
    Tulang
    Dokumen3 halaman
    Tulang
    putri diana
    Belum ada peringkat