Anda di halaman 1dari 77

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keberhasilan pembangunan suatu bangsa bergantung pada keberhasilan
bangsa tersebut dalam membangun sumberdaya manusia. Salah satu indikator
keberhasilan pembangunan sumberdaya manusia adalah Indeks Pembangunan
Manusia (IPM). Pada tahun 2013, IPM Indonesia menenmpati urutan ke 121 dari
186 negara (UNDP 2013). Salah satu fakto rpenyebab rendahnya IPM adalah
rendahnya kesehatan penduduk Indonesia, ditandai oleh tingginya angka
kematian bayi sebesar 28 per 1000 kelahiran hidup, angka kematian anak balita
32 per 1000 kelahiran hidup, dan angka kematian ibu 228 per 100.000 kelahiran
hidup.1
Tingginya angka kematian bayi dan angka kematian anak balita berkaitan
tingginya prevalensi masalah kekurangan gizi pada balita dan anak balita. Hal ini
ditunjukkan oleh prevalensi bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR)
sebesar 11,1%, underweight 17,9%, stunting 35,6%, dan wasting 13,3%
(Kemenkes,2010). Menurut Pelletier et al (1995) factor kekurangan gizi
memberikan kontribusi terhadap kematian anak balita sebesar 13% sampa 66%
kematian balita dan tiga perempatan kematian berkaitan dengan gizi
kurang(mild-to-moderate malnutrition). Anak balita kurang gizi mempunyai
risiko meninggal lebih tinggi dibandingkan balita yang tidak kurang gizi.S etiap

tahun kurang lebih 2,1juta dan balita di seluruh dunia meninggal oleh karena
kekurangan gizi dan merupakan sepertiga dari seluruh kematian anakbalita. 1
Secara Nasional, prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita tahun
2013 adalah 19,6 persen, terdiri dari 5,7 persen gizi buruk dan 13,9 persen gizi
kurang. Jika dibandingkan dengan angka prevalensi nasional pada tahun 2007
(18,4 %) dan tahun 2010 (17,9 %) terlihat meningkat. Menurut Riskesdas,
Sulawesi Tengah merupakan provinsi yang memiliki prevalensi gizi buruk dan
gizi kurang di atas prevalensi nasional. Sedangkan 3 provinsi yang paling tinggi
angka kejadian gizi kurang dan gizi buruk adalah Sulawesi Barat, Papua Barat,
dan Nusa Tenggara Timur.

Berdasarkan Survey Demografi dan Kesehatan

Indonesia (SKDI) tahun 2012, kelahiran anak dari ibu yang muda dan ibu yang
tidak tamat SD memiliki cenderung memiliki anak berat badan lahir rendah.
Menurut data Direktorat Bina Gizi tahun 2014, di Sulawesi Tengah terdapat
1.250 penderita gizi buruk. Di Puskesmas Perawatan Pantoloan sendiri masih
terdapat 43 anak yang menderita gizi kurang.2,3
Berdasarkan Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SKDI) tahun
2012, angka kematian ibu (yang berkaitan dengan kehamilan, persalinan, dan
nifas) sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini masih cukup tinggi
dibandingkan negara-negara tetangga.Menurut Riskesdes, angka kematian ibu di
Indonesia tahun 2012 sebesar 359/100.000 kelahiran dan Sulawesi Tengah
merupakan salah satu dari lima provinsi dengan angka kematian ibu terbesar,

yakni 358/100.000 kelahiran, angka ini meningkat dibandingkan tahun 2007,


dimana angka kematian ibu pada tahun 2007 sebanyak 227/100.000 kehamilan.2
Berdasarkan laporan puskesmas se- Kota Palu, padatahun 2014 prevalensi
balita dengan gizi kurang adalah 1,99% dan prevalensi gizi buruk adalah 0,17%.
Selama tahun 2014, di kota Palu terjadi 53 kasus gizi buruk (laki laki 19 kasus,
perempuan 34 kasus) dan terjadi 629 kasus gizi kurang (laki laki 275 kasus,
perempuan 356 kasus). 4
Melihat masih tingginya kasus gizi kurang pada anak balita saat ini,
tentunya membuat keresahan bagi pemerintah pada umumnya dan bagi instansi
kesehatan pada khususnya. Penanganan kasus gizi buruk dan gizi kurang pernah
dilakukan di Sepatan melalui klinik gizi yaitu Community Feeding Centre (CFC)
atau pos gizi di Puskesmas Sepatan dinyatakan berhasil. Berdasarkan hal
tersebut, penanganan gizi kurang pada anak balita pada puskesmas Sepatan
kemudian diadopsi oleh provinsi Sulawesi Tengah.5
Kota Palu memiliki 12 Puskesmas yang tersebar di 8 wilayah Kecamatan.
Dari 12 Puskesmas tersebut, penanganan kasus gizi kurang dipusatkan di
Puskesmas,

yaitu

Puskesmas

Bulili,

Puskesmas

Birobuli,

Puskesmas

Mabelopura, Puskesmas Pantoloan, Puskesmas Sangurara, Puskesmas Talise


(Poskesdes Lagarutu)danPuskesmas Kamonji. Kasus gizi kurang di wilayah kerja
Puskesmas Kamonji pada tahun 2014 adalah sebanyak 43 kasus dan kasus gizi
buruk 4 orang dan balita yang terdaftar sebagai peserta CFC sebanyak 36

orang.Community Feeding Centre (CFC) hadir dengan harapan dapat menjadi


solusi untuk penanganan kasus anak balita gizi kurang di kota Palu. Community
Feeding Centre (CFC) adalah bentuk kegiatan pemberian makanan tambahan
berupa makanan pendamping ASI lokal yang berbasis komunitas. 4
Penanganan

terhadap

kasus

gizi

kurang

sangat

penting

dengan

diselenggarakannya program CFC, oleh karena itu penulis tertarik untuk


melakukan penelitian dengan judul Evaluasi asuhan CFC sebagai program
penanganan gizi kurang pada anak balita di Puskesmas Kamonji Kecamatan
Palu Barat Kota Palu.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalah di dalam
penelitian ini adalah :Bagaimanakah pelaksanaan asuhan CFC sebagai program
pemulihan gizi kurang pada anak balita di Puskesmas Kamonji Kecamatan Palu Barat
Kota Palu?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui pelaksanaan asuhan CFC sebagai program
pemulihan gizi kurang pada anak balita di Puskesmas Kamonji Kecamatan
Palu Barat Kota Palu.

2. Tujuan khusus
a. Untuk mengevaluasi pelaksanaan asuhan CFC sebagai program pemulihan
gizi kurang pada anak balita di Puskesmas Kamonji yang di nilai dari aspek
input yang berkaitan dengan baik sumber dana, tenaga kesehatan maupun
fasilitas yang menunjang pelaksanaan program gizi kurang
b. Untuk mengevaluasi pelaksanaan asuhan CFC sebagai program pemulihan
gizi kurang pada anak balita di Puskesmas Kamonji yang di nilai dari aspek
process yang menitik beratkan pada pelaksanaan program gizi kurang
c. Untuk mengevaluasi pelaksanaan asuhan CFC sebagai program pemulihan
gizi kurang pada anak balita di PuskesmasKamonji yang di nilai dari aspek
output, yaitu hasil yang dicapai dari pelaksanakan program gizi kurang
d. Untuk mengevaluasi pelaksanaan asuhan CFC sebagai program pemulihan
gizi kurang pada balita di Puskesmas Kamonji yang di nilai dari aspek
outcome yang meliputi dampak program gizi kurang
D. Manfaat Penelitian
Adapun hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat seperti :
1

Aspek Pendidikan ( keilmuan )


Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana guna mengaplikasikan
berbagai konsep teori yang telah dipelajari. Hal ini berguna untuk
mengembangkan pemahaman, penalaran dan pengalaman peneliti terkait
asuhan CFC sebagai program pemulihan gizi kurang.

Aspek Pengembangan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai langkah awal untuk


penelitian selanjutnya.
3

Aspek Pelayanan Masyarakat


Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai
bahan masukan dan evaluasi terhadap asuhan CFC sebagai program
pemulihan

gizi

kurang

dalam

pengambilan

kebijakan

kesehatan

dalamrangka menurunkan angka status gizi kurang dan meningkatkan


derajat kesehatan masyarakat kota Palu.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Status gizi balita
2.1.1 Pengertian status gizi

Gizi adalah suatu proses menggunakan makanan yang dikonsumsi


secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan,
metabolisme, dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk
mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari organorgan, serta menghasilkan energi.6
Keadaan gizi adalah keadaan akibat dari keseimbangan antara
konsumsi dan penyerapan gizi dan penggunaan zat gizi tersebut atau
keadaan fisiologi akibat dari tersedianya zat gizi dalam sel tubuh. Jadi,
status gizi merupakan keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan
dan penggunaan zat gizi. Dibedakan atas status gizi buruk, gizi kurang,
gizi baik, dan gizi lebih. Status gizi merupakan faktor yang terdapat dalam
level individu (level yang paling mikro). Faktor yang mempengaruhi
secara langsung adalah asupan makanan dan infeksi. Pengaruh tidak
langsung dari status gizi ada tiga faktor yaitu ketahanan pangan di
keluarga, pola pengasuhan anak, dan lingkungan kesehatan yang tepat,
termasuk akses terhadap pelayanan kesehatan. 6
Masalah gizi anak secara garis besar merupakan dampak dari
ketidakseimbangan antara asupan dan keluaran zat gizi (nutritional
imbalance), yaitu asupan yang melebihi keluaran atau sebaliknya, di
samping kesalahan dalam memilih bahan makanan untuk disantap.7
Status gizi merupakan faktor yang terdapat dalam level individu
(level yang paling mikro). Faktor yang mempengaruhi secara langsung
adalah asupan makanan dan infeksi. Pengaruh tidak langsung dari status

gizi ada tiga faktor yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan
anak dan lingkungan kesehatan yang tepat, termasuk akses terhadap
pelayanan kesehatan.8
Status gizi kurang atau yang lebih sering disebut undernutrition
merupakan keadaan gizi seseorang dimana jumlah energi yang masuk
lebih sedikit dari energi yang dikeluarkan. Hal ini dapat terjadi karena
jumlah energi yang masuk lebih sedikit dari anjuran kebutuhan individu.9
Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi, yaitu :
a. Faktor langsung
1. Asupan berbagai makanan
2. Penyakit
b. Faktor tidak langsung
1. Ekonomi keluarga, penghasilan keluarga merupakan faktor yang
mempengaruhi kedua faktor yang berperan langsung terhadap status
gizi
2. Produksi pangan, peranan pertanian dianggap penting karena
kemampuannya menghasilkan produk pangan.
3. Budaya, masih ada kepercayaan untuk memantang makanan
tertentu yang dipandang dari segi gizi sebenarnya mengandung zat
gizi yang baik
4. Kebersihan lingkungan, kebersihan lingkungan yang jelek akan
memudahkan anak menderita penyakit tertentu seperti ISPA, infeksi
saluran pencernaan.
5. Fasilitas pelayanan kesehatan sangat penting untuk menyokong
status kesehatan dan gizi anak.10
Gambar 2.1 Riwayat Alamiah Terjadinya Masalah Gizi

\
Sumber : Patogenesis Penyakit Defisiensi Gizi 11

2.1.2

Pengertian Balita
Masa balita merupakan masa yang menentukan dalam tumbuh
kembangnya yang akan menjadikan dasar terbentuknya manusia seutuhnya.
Karena itu pemerintah memandang perlu untuk memberikan suatu bentuk
pelayanan yang menunjang tumbuh kembang balita secara menyeluruh
terutama dalam aspek mental dan sosial. Pertumbuhan dan perkembangan
saling mendukung satu sama lain perkembangan seorang anak tidak dapat
maksimal tanpa dukungan atau optimalnya pertumbuhan. Salah satu indikator
untuk melihat pertumbuhan fisik anak adalah dengan melihat status gizi anak
dalam hal ini balita. Sebagai alat ukur untuk mengetahui tingkat
perkembangan seorang anak dengan menggunakan Kartu Menuju Sehat
(KMS).12.

Balita adalah anak usia kurang dari lima tahun termasuk bayi usia di
bawah satu tahun juga termasuk dalam golongan ini. Sesuai dengan
pertumbuhan badan dan perkembangan kecerdasannya, balita mengalami
perkembangan sehingga jenis makanan dan cara pemberiannya harus
disesuaikan dengan keadaannya.13

Balita adalah individu atau sekelompok individu dari suatu


penduduk yang berada dalam rentang usia tertentu. Usia balita dapat
dikelompokkan menjadi tiga golongan, yaitu golongan usia bayi (0-2
tahun), golongan balita (2-3 tahun) dan golongan prasekolah (>3-5 tahun).
Adapun menurut WHO, kelompok usia balita adalah 0-60 bulan. Sumber
lain mengatakan bahwa usia balita adalah 1-5 tahun.10
2.1.3 Balita gizi kurang
Gizi adalah adalah suatu proses organisme menggunakan makanan
yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi,
transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang
tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan
fungsi normal dari organ-organ serta menghasilkan energi.6
Gizi kurang termasuk dalam kategori penyakit yang sebagian besar
banyak diderita di Indonesia. Gizi kurang atau biasa juga disebut
malnutrition merupakan kesalahan pangan yang terutama terletak dalam
ketidakseimbangan komposisi makanan yang dikonsumsi .14
Gizi kurang paling banyak diderita oleh anak-anak khususnya
kelompok anak BALITA (Bawah Lima Tahun). Yang paling menonjol
dari kasus ini adalah Kurang Kalori dan Kurang Protein (KKP). Gejala
subyektif paling utama diderita adalah perasaan lapar, sehingga gizi
kurang ini biasa disebut juga sebagai penyakit gizi lapar atau
undernutrition. 14
Gizi kurang merupakan banyak terjadi pada usia balita. Balita gizi
kurang adalah balita dengan status gizi kurang berdasarkan indikator

10

BB/U dengan nilai Z-score : -2 SD sampai dengan <-3 SD. Gizi kurang
juga menyebabkan balita menjadi kurus. Balita kurus adalah balita
dengan status gizi kurang berdasarkan indikator BB/PB atau BB/TB
dengan nilai z-score : -2 SD sampai dengan <-3 SD.15
Anak balita yang mengalami gizi kurang atau infeksi maka tumbuh
kembang otak pun tidak dapat optimal dan tidak terpulihkan sehingga
akan menghasilkan sumber daya manusia yang tidak berguna.
Pertumbuhan otak yang tidak optimal terjadi akibat terlambatnya
perlakuan yang tepat pada usia yang tepat pula. Berbeda dengan anak
yang mendapatkan asupan gizi yang cukup dan sehat perkembangan sel
otak pun akan seoptimal perkembangan tubuhnya.10
2.1.4 Penilaian status gizi
Penilaian status gizi adalah interpretasi dari data yang didapatkan
dengan menggunakan berbagai metode untuk mengidentifikasi populasi
atau individu yang berisiko atau dengan status gizi buruk.16
Tujuan penilaian status gizi menurut Hammond (2004) antara lain:
Mengidentifikasi individu yang membutuhkan dukungan nutrisi cukup;
mempertahankan status gizi seseorang; mengidentifikasi penatalaksanaan
medis yang sesuai; dan memonitor efektivitas intervensi yang telah
dilakukan.17
Menurut Supariasa (2012), pengukuran status gizi dibedakan menjadi dua
bagian yaitu sebagai berikut :6
1. Pengukuran Status Gizi Secara Langsung

11

Pengukuran status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat


penilaian, yaitu:
1) Antropometri, adalah pengukuran berat badan, tinggi badan atau
merujuk bagian tertentu seperti lingkar lengan, lingkar kepala,
tebal lapisan lemak dan lain-lain. Antropometri berasal dari kata
anthropos dan metros. Anthropos artinya tubuh dan metros artinya
ukuran. Jadi antropometri adalah ukuran dari tubuh. Antropometri
sangat umum digunakan untuk mengukur status gizi dari berbagai
ketidakseimbangan antara asupan protein dan energi. Gangguan
ini biasanya terlihat dari pola pertumbuhan fisik dan proporsi
jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh.
Keunggulan antropometri, yaitu sebagai berikut :
a) Prosedurnya sederhana, aman dan dapat dilakukan dalam
jumlah sampel yang besar.
b) Relatif tidak membutuhkan tenaga ahli, tetapi cukup
dilakukan oleh tenaga yang sudah dilatih dalam waktu singkat
dapat melakukan pengukuran antropometri. Kader gizi
(Posyandu) tidak perlu seorang ahli, tetapi dengan pelatihan
singkat ia dapat melaksanakn kegiatannya secar rutin.
c) Alatnya murah, mudah dibawa, tahan lama, dapat dipesan dan
dibuat di daerah setempat. Memang ada alat antropometri
yang mahal dan harus diimpor dari luar negeri, tetapi
penggunaan alat itu hanya tertentu saja seperti Skin Fold
Caliper untuk mengukur tebal lemak dibawah kulit.
d) Metode ini tepat dan akurat karena dapat dibakukan.
12

e) Dapat mendeteksi atau menggambarkan riwayat gizi di masa


lampau.
f) Umumnya dapat mengidentifikasi status gizi sedang, kurus
dan gizi buruk karena sudah ada ambang batas yang jelas.
g) Metode antropometri dapat mengevaluasi perubahan status
gizi pada periode tertentu atau dari satu generasi berikutnya.
h) Metode antropometri gizi dapat digunakan untuk penapisan
kelompok yang rawan terhadap gizi.
Kelemahan antropometri, yaitu sebagai berikut :
a. Tidak sensitif. Metode ini tidak dapat mendeteksi status gizi
dalam waktu singkat. Disamping itu, tidak dapat membedakan
kekurangan zat gizi tertentu seperti zinc dan Fe.
b. Faktor diluar gizi (penyakit, genetik dan penurunan
penggunan energi) dapat menurunkan spesifisitas dan
sensitifitas pengukuran antropometri.
c. Kesalahan yang terjadi pada saat

pengukuran

dapat

mempengaruhi presisi, akurasi dan validitas pengukuran


antropometri gizi.
d. Kesalahan ini terjadi karena :
1. Pengukuran
2. Perubahan hasil pengukuran baik fisik maupun komposisi
jaringan
3. Analisis dan asumsi yang keliru

e. Sumber kesalahan, biasanya berhubungan dengan :


1. Latihan petugas yang tidak cukup
2. Kesalahan alat atau alat tidak ditera
3. Kesulitan pengukuran

13

2) Klinis, adalah pemeriksaan fisik dan gejala atau riwayat penyakit


dengan melihat jaringan pada mata, kulit, rambut dan mukosa oral
atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh
seperti kelenjar tiroid.
3) Biokimia, adalah pemeriksaan spesimen yang diuji secara
laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh,
seperti darah, urine, tinja dan juga beberapa jaringan tubuh (hati
dan otot).
4) Biofisik, adalah metode penentuan staus gizi dengan melihat
kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan
struktur dari jaringan.
2. Pengukuran status gizi secara tidak langsung
Pengukuran gizi secara tidak langsung dapat dibagi tiga yaitu :
a. Survei konsumsi makanan, adalah metode dengan melihat jumlah
dan jenis zat gizi yang dikonsumsi.
b. Statistik vital
c. Faktor ekologi

Status gizi anak balita diukur berdasarkan umur, berat badan


(BB) dan tinggi badan (TB). Berat badan anak balita ditimbang
menggunakan timbangan digital yang memiliki presisi 0,1 kg, panjang
atau tinggi badan diukur menggunakan alat ukur panjang/tinggi dengan
presisi 0,1 cm. Variabel BB dan TB/PB anak balita disajikan dalam
bentuk tiga indeks antropometri, yaitu BB/U, TB/U, dan BB/TB.
Untuk menilai status gizi anak balita, maka angka berat badan dan

14

tinggi badan setiap anak balita dikonversikan ke dalam nilai terstandar


(Z-score) menggunakan baku antropometri anak balita WHO 2005. 2
Tabel 2.1 Kategori Ambang Batas Status Gizi Anak 0-59 Bulan Beradasarkan
Indeks
Indeks
Kategori Status Gizi
Ambang Batas (Z-Score)
BB/U
Gizi Buruk
<-3 SD
Gizi Kurang
-3 SD sampai dengan <-2 SD
Gizi Baik
-2 SD sampai dengan +2 SD
Gizi Lebih
>2 SD
TB/U atau PB/U
Sangat Pendek
<-3 SD
Pendek
-3 SD sampai dengan <-2 SD
Normal
-2 SD sampai dengan +2 SD
Tinggi
>2 SD
BB/TB
atau Sangat Kurus
<-3 SD
BB/PB
Kurus
-3 SD sampai dengan <-2 SD
Normal
-2 SD sampai dengan +2 SD
Gemuk
>2 SD
IMT/U
Sangat Kurus
<-3 SD
Kurus
-3 SD sampai dengan <-2 SD
Normal
-2 SD sampai dengan +2 SD
Gemuk
>2 SD
Sumber : Kemenkes RI, 2011
2.2 Evaluasi
2.2.1 Pengertian Evaluasi
Evaluasi adalah proses yang memungkinkan kita untuk menetapkan
kebenaran atau nilai dari sesuatu. Evaluasi meliputi dua proses yaitu:
observasi (pengamatan) dan pengukuran, serta membandingkan hasil
pengamatan dengan kriteria atau standar yang dianggap merupakan hal
yang baik. Evaluasi juga meliputi pengamatan dan pengumpulan hasil
pengukuran tentang operasionalisasi program dan pengaruh progam
terhadap masalah dibandingkan dengan sebelum pelaksanaan program.

15

Evaluasi adalah penilaian secara sistemik untuk menentukan atau


menilai kegunaan, keefektifan sesuatu yang didasarkan pada kriteria
tertentu dari program. Evaluasi harus memiliki tujuan yang jelas, sesuai
dengan tujuan yang ditetapkan dalam program. Ada tiga elemen penting
dalam evaluasi yaitu (1) kriteria/pembanding yaitu merupakan ciri ideal
dari situasi yang diinginkan yang dapat dirumuskan melalui tujuan
operasional, (2) bukti /kejadian adalah kenyataan yang ada yang diperoleh
dari hasil penelitian, dan (3) penilaian (judgement) yang dibentuk dengan
membandingkan kriteria dengan kejadian.18
Dalam evaluasi proses terdapat empat hal yang dinilai yaitu: cakupan
program terhadap kelompok target (apakah semua bagian program
menjangkau semua bagian dari kelompok target?), kepuasan partisipan
terhadap program, pelaksanaan kegiatan program dan penilaian terhadap
kualitas materi dan komponen program. Evaluasi dilakukan dalam setiap
tahapan pelaksanaan program.
Evaluasi outcome dilakukan untuk menilai pengaruh program terhadap
tujuan umum program (programme goal). Evaluasi ini berhubungan
dengan penilaian pengaruh program terhadap masalah kesehatan yang
dituju (menilai pengaruh jangka panjang program). Evaluasi impact
dilakukan untuk menilai pengaruh program terhadap tujuan khusus
program (objektif). Evaluasi ini berhubungan dengan penilaian pengaruh
program terhadap faktor risiko yang mempengaruhi masalah kesehatan
16

yang menjadi sasaran program. Evaluasi ini mengukur pengaruh


sementara program.
Sutjipta (2009) mengatakan lima ciri dalam evaluasi adalah (1)
kualitas: apakah program baik atau tidak baik, kualitas isi program,
kegiatan pendidik, media yang digunakan, penampilan pelaksana program,
(2) kesesuaian (suitability) : pemenuhan kebutuhan dan harapan
masyarakat. Program tidak menyulitkan atau membebani masyarakat,
sesuai dengan tingkat teknis, sosial dan ekonomis masyarakat, (3)
keefektifan : seberapa jauh tujuan tercapai, (4) efisiensi : penggunaan
sumber daya dengan baik, dan (5) kegunaan (importance): kegunaan bagi
masyarakat yang ikut terlibat dalam program.18
Evaluasi yang efektif dapat dinilai dari beberapa kriteria yaitu :
1. Memiliki tujuan evaluasi yang didefinisikan dengan jelas;
2. Pengukuran dilakukan dengan saksama menggunakan alat ukur yang
valid;
3. Evaluasi dilakukan subyektif mungkin yaitu bebas dari penilaian yang
bersifat pribadi;
4. Kriteria yang digunakan sebagai standar harus spesifik;
5. Evaluasi harus menggunakan metode ilmiah yang pantas sehingga
memiliki nilai kepercayaan yang tinggi;
6. Evaluasi harus dapat mengukur perubahan
7. evaluasi harus bersifat praktis.
2.2.2 Tujuan Evaluasi
1. Memperbaiki pelaksanaan dan perencanaan kembali suatu
program. Sehubungan dengan ini perlu adanya kegiatan-kegiatan
17

yang dilakukan antara lain memeriksa kembali kesesuaian dari


program dalam hal perubahan-perubahan kecil yang terusmenerus, mengukur kemajuan terhadap target yang direncanakan,
menentukan sebab dan faktor di dalam maupun di luar yang
mempengaruhi pelaksanaan suatu program.
2. Sebagai alat untuk memperbaiki kebijaksanaan perencanaan dan
pelaksanaan program yang akan datang. Hasil evaluasi akan
memberikan pengalaman mengenai hambatan dari pelaksanaan
program yang lalu dan selanjutnya dapat dipergunakan untuk
memperbaiki kebijaksanaan dan pelaksanaan program yang akan
datang.
3. Sebagai alat untuk memperbaiki alokasi sumber dana dan sumber
daya manajemen saat ini serta di masa mendatang.
2.2.3

Fungsi evaluasi
Secara umum, evaluasi sebagai suatu tindakan atau proses
setidaktidaknya memiliki tiga macam fungsi pokok, yaitu:
1. Mengukur kemajuan.
2. Menunjang penyusunan rencana.
3. Memperbaiki atau melakukan penyempurnaan kembali.19
Sedangkan menurut Akdon (2007:176), fungsi evaluasi adalah untuk
mengetahui tingkat keberhasilan dan kegagalan suatu organisasi dan
memberikan masukan untuk mengatasi permasalahan yang ada.

18

Keuntungan dari evaluasi bermanfaat untuk perbaikan perencanaan,


strategi, kebijakan; untuk pengambilan keputusan; untuk tujuan
pengendalian program/kegiatan; untuk perbaikan input, proses, dan
output, perbaikan tatanan atau sistem prosedur.20

Bagi para manajer yang melakukan evaluasi atau penilaian akan


menemukan satu dari tiga bentuk temuan, yaitu: (a) hasil yang dicapai
melebihi harapan dan target, (b) hasil yang dicapai sama dengan
harapandan target, (c) hasil yang dicapai kurang dari harapan dan
target.21
Keuntungan

dari

evaluasi

bermanfaat

untuk

perbaikan

perencanaan,Menurut Azwar (2010), terdapat 6 unsur pokok dalam


sistem pelayanan kesehatan yang sangat berperan menentukan berhasil
atau tidaknya program yang diselenggarakan, yaitu unsur masukan
(input), unsur proses (process), unsur keluaran (output), unsur umpan
balik (feed back), unsur dampak (outcome) dan unsur lingkungan
(environment). Adapun penjelasan masing-masing unsur tersebut
adalah sebagai berikut: 22
a. Masukan (input) adalah semua hal yang diperlukan untuk
terselenggaranya pelayanan gizi, yang terdiri dari 6 M yaitu man
(orang), money (dana), material (sarana dan prasarana), methode

19

(cara), market (sasaran), minute (jangka waktu pelaksanaan


kegiatan).
b. Proses adalah semua tindakan yang dilakukan dalam pelayanan gizi
yang terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, penggerakan,
pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian.
c. Keluaran (output) adalah yang menunjuk pada hasil pelayanan yang
dilakukan dalam bentuk cakupan kegiatan program yaitu jumlah
kelompok masyarakat yang sudah diberikan pelayanan kesehatan
dibandingkan dengan jumlah kelompok masyarakat yang menjadi
sasaran program.
d. Umpan balik (feed back) adalah kumpulan bagian atau elemen yang
merupakan keluaran dari sistem dan sekaligus sebagai masukan bagi
sistem tersebut
e. Dampak (impact) adalah akibat yang dihasilkan oleh keluaran suatu
sistem
f. Lingkungan (environment) adalah keadaan diluar sistem yang tidak
dikelola oleh sistem, tetapi mempunyai pengaruh besar terhadap
sistem.
2.3 Community Feeding Centre (CFC)
Dengan melihat masih banyaknya kasus gizi kurang pada anak balita, maka
perlu dilakukan penanganan khusus untuk menurunkan kasus gizi kurang tersebut.
Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan, salah satu strategi
tepat guna dalam program rehabilitasi balita gizi kurang yang sesuai dengan masalah
dan kebutuhan masyarakat adalah Klinik Gizi Puskesmas dan Pos Pergizi di
20

Posyandu. Community Feeding Centre (CFC) merupakan salah satu wadah


penanganan gizi kurang pada anak balita, dimana melibatkan berbagai sektor
termasuk layanan kesehatan (puskesmas dan posyandu) yang berbasis masyarakat.
Berdasarkan petunjuk teknis Community Feeding Centre (CFC) adalah bentuk
kegiatan pemberian makanan tambahan (PMT) berupa makanan pendamping ASI
(MPASI) lokal yang berbasis komunitas. Melalui wadah CFC diharapkan terjadi
proses pembelajaran bagi masyarakat, keluarga terutama ibu bagaimana pola asuh
yang baik dan cara mengolah dan memberikan makanan kepada bayi dan balita.
Sasaran CFC adalah anak balita gizi kurang 6-59 bulan beserta keluarga anak balita
gizi kurang.23
Tujuan dari Community Feeding Centre (CFC), antara lain :22.23
a. Tujuan umum : Memperbaiki status gizi bayi dan anak balita
b. Tujuan khusus :
1. Dilakukan penapisan anak gizi kurang
2. Terselenggaranya kegiatan perawatan anak gizi kurang
3. Meningkatnya hasil penanganan pemberian makanan tambahan bagi
anak balita
4. Meningkatnya pemahaman petugas dalam mengelola pemberian
makanan tambahan
5. Meningkatnya pemahaman dan keterampilan anggota keluarga dalam
mengolah, menyiapkan, dan memberikan makanan yang baik kepada
bayi dan anak balita
6. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam kegiatan posyandu dan
penemuan secara dini kasus gizi kurang
7. Meningkatnya kerjasama lintas sektor dalam penanggulangan masalah
gizi

21

Prinsip dasar dari CFC sesuai dengan petunjuk teknis Dinas Kesehatan Kota
Palu 2012, antara lain :
1. Meningkatnya jangkauan/cakupan pemulihan gizi
Penanganan anak balita gizi kurang dilaksanakan agar dapat
menjangkau sebanyak mungkin kasus gizi kurang yang membutuhkan
perawatan.
2. Ketepatan waktu
Penemuan kasus gizi kurang secara dini sehingga bisa dilakukan
penanganan lebih awal dan bersifat komperehensif.
3. Pelayanan yang tepat waktu
Penanganan anak bailta gizi kurang yang disesuaikan dengan kondisi
anak untuk menentukan apakah anak perlu rawat inap atau rawat jalan.
4. Pelayanan yang terintegrasi
Penanganan anak balita gizi kurang merupakan kegiatan yang
terintegrasi dengan sistem pelayanan kesehatan yang ada.
5. Penanganan anak balita gizi kurang melibatkan peran lintas sektor
terkait
6. Pemantauan secara rutin
Pemberian PMT lokal yang baik dan benar kepada bayi dan anak usia 6-24
bulan dari keluarga miskin merupakan cara yang tepat dalam mengatasi masalah gizi
yang dihadapi. Penggunanaan bahan makanan lokal diharapkan dalam pemberian
PMT lokal tidak saja memiliki dampak terhadap perbaikan gizi sasaram, tetapi juga
memberikan kontribusi pada perbaikan pendapatan masyarakat terutama dilokasi
kegiatan berlangsung dan dapat meningkatkan kegairahan kader bertugas di
posyandu.

22

Penyelenggaraan PMT lokal bagi anak balita gizi kurang menurut juknis CFC :
23,24

a. Kandungan gizi
Kandungan gizi PMT lokal gizi kurang harus sesuai dengan kebutuhan gizi
anak balita selama satu hari. Kandungan gizi yang perlu dipenuhi dari
makanan pendamping ASI adalah 250 kkal serta protein 5 gram untuk bayi
6-11 bulan, dan 450 kkal serta 15 gram untuk anak balita 12-24 bulan.
b. Bentuk PMT lokal gizi kurang
Pemberian PMT lokal gizi kurang dalam berbagai macam bentuk cair, lumat
halus dan padat. Pemberian PMT lokal disesuaikan dengan usia dan
kemampuan bayi dan anak balita.
c. Cara pemberian
Diberikan PMT lokal untuk satu kali makan sehari
d. Lama pemberian
PMT lokal diberikan berturut-turut setiap hari satu kali selama 30 hari.
e. Jumlah dana
Biaya makan anak sebesar Rp 5.000/anak per hari selama 30 hari. Selain
biaya tersebut, diberikan pula biaya transportasi sebanyak Rp 20.000/anak
per hari.
f. Persiapan dan pelaksanaan PMT lokal gizi kurang
Persiapan dilakukan oleh berbagai sektor yaitu Pemerintah kota Palu/Dinas
Kesehatan, Kecamatan/Puskesmas dan Kelurahan.
g. Pengawasan, pemantauan, evaluasi dan indikator gizi
1. Pengawasan meliputi penggunaan dana, mutu kandungan gizi PMT
lokal serta komponen PMT lokal (bahan makanan, sanitasi, peralatan,
sumber air, pemasak, cara penyimpanan bahan makanan, cara penyiapan
dan pemasakan dan cara penyajian).
2. Pemantauan merupakan aspek penting meliputi input dan process
3. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui gambaran hasil pelaksanaan
kegiatan PMT berupa output
23

4. Indikator gizi : adanya kenaikan berat badan, peningkatan kegiatan


posyandu, peningkatan ekonomi.23,24

2.4 Kerangka Teori


Input:
1. Tenaga
kesehatan
2. Dana
3. Fasilitas
kesehatan
EvaluasiPr
ogram
Community
Feeding
Center
pada balita

Process:
Pelaksanaan kegiatan

Output:
Hasil pelaksanaan
kegiatan
Outcome:
Dampak

Sumber: Dimodifikasi dari Azwar (2010) dan Petunjuk Teknis CFC Dinkes Kota Palu
(2012). 4,22

2.5 Kerangka Konsep

Asuhan CFC
Balita Gizi
Kurang

24

Evaluasi
Input

Proses
Output
Outcome

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif interaktif dengan
pendekatan studi kasus.

Penelitian kualitatif interaktif dengan metode studi

kasus merupakan studi yang memperdalam menggunakan teknik pengumpulan


dari orang dalam lingkaran alamiah yang meneliti suatu kesatuan sistem. Studi
25

kasus adalah suatu penelitian yang diarahkan untuk menghimpun data,


mengambil makna, memperoleh pemahaman dari kasus tersebut. Kasus sama
sekali tidak mewakili populasi dan tidak dimaksudkan untuk memperoleh
kesimpulan dari populasi. Kesimpulan studi kasus hanya berlaku untuk kasus
tersebut Peneliti menjadi instrumen kunci, dimana peneliti menginterpretasikan
fenomena dan membuat gambaran kompleks dan menyeluruh dari deskripsi
detail dari informan. Peneliti menggali segala hal yang menyangkut evaluasi
program asuhan CFC lebih mendalam dan mengungkapkan fenomena atau isu
penting yang berhubungan dengan program .25 Dalam penelitian studi kasus,
peneliti harus menetapkan kasus yang hendak diamati, berdasar tempat dan
waktu yang dibatasi.26

B. Subjektivitas Penelitian
Peneliti berperan aktif dalam pengumpulan data dengan melakukan
wawancara langsung dengan bertatap muka.
C. Tempat dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di salah satu titik pelaksanaan program
asuhan Community Feeding Center (CFC) yaitu Pustu Kabonena Puskesmas
Kamonji Kecamatan Palu Barat.Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 25
Oktober sampai dengan 20 November 2016.

D. Subjek / Informan Penelitian

26

Subjek utama penelitian adalah masyarakat dengan kriteria inklusi ibu


yang mempunyai anak balita gizi kurang yang terdaftar dalam program CFC
Puskesmas Kamonji selama 1 tahun terakhir. Selain ibu anak balita gizi kurang,
stakeholder program asuhan CFC juga menjadi informan dalam penelitian ini
yaitu kepala puskesmas Kamonji dan Penanggung jawab program CFC. Jumlah
informan dari ibu adalah 3 orang. Penentuan informan dipilih secara purposive
sampling yaitu sampel diambil bukan tergantung pada populasi melainkan
disesuaikan dengan tujuan penelitian sehingga dapat dikatakan sebagai sampel
bertujuan. Purposive sampling ini memberikan kebebasan kepada peneliti dari
keterikatan proses formal dalam mengambil sampel. Artinya penelitidapat
menentukan berapa saja jumlah sampel yang dibutuhkan sesuai dengan tujuan
penelitian berdasarkan kriteria inklusi yang telah ditetapkan.27

E. Definisi Konsep
1. Asuhan CFC (Community Feeding Center) adalah kegiatan pemberian
makanan tambahan (PMT) berupa makanan pendamping ASI (MPASI)
lokal.
2. Balita gizi kurang adalah balita (bayi usia 6-59 bulan dengan status gizi
kurang berdasarkan indikator BB/U dengan nilai Z-score : -2 SD sampai
dengan <-3 SD.
3. Input (masukan)

adalah

semua

hal

yang

dibutuhkan

untuk

menyelenggarakan program gizi kurang melalui asuhan CFC pada balita


27

melalui perangkat administrasi yakni tenaga kesehatan, dana dan sarana


(fasilitas).
4. Process adalah pelaksanaan program yang menyangkut input (tenaga
kesehatan, dana dan fasilitas) agar sesuai dengan perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan dan penilaian yang telah ditetapkan. Dari
pelaksanaan tersebut, dapat dilakukan pemeriksaan terperinci dan
menunjukkan bagaimana program dapat diperbaiki atau ditingkatkan dan
memberikan pengetahuan tentang penyelenggaraan program gizi kurang
melalui asuhan CFC pada balita.
5. Output (keluaran) adalah penilaian sejauh mana program berhasil atau
sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan tercapai. Hasil program yang
telah tercapai secara tidak langsung dapat digunakan untuk menilai
pelayanan kesehatan program gizi kurang melalui asuhan CFC pada balita.
6. Outcome (Dampak) adalah menilai sejauh mana program tersebut
mempunyai dampak terhadap peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
Dampak program kesehatan ini tercermin dari membaiknya atau
meningkatnya indikator-indikator kesehatan masyarakat. Misalnya terjadi
peningkatan berat badan pada balita gizi kurang yang mengikuti program
CFC.
F. Instrumen Penelitian dan Cara Pengumpulan Data
Peneliti menjadi instrumen utama dalam penelitian ini dalam
melakukan wawancara mendalam dan observasi. Dalam melakukan
wawancara mendalam digunakan pedoman wawancara yang berisi pertanyaan

28

terbuka tidak terstruktur yang dapat mengeksplorasi lebih mendalam tentang


program asuhan CFC di Puskesmas Kamonji.
Alat bantu yang digunakan oleh peneliti adalah sebagai berikut:: (a)
buku catatan dan alat tulis untuk mencatat semua percakapan dengan sumber
data, (b) alat perekam yang berfungsi untuk merekam semua percakapan
setelah mendapatkan izin dari informan bahwa hasil wawancara akan
direkam, (c) kamera, untuk memotret kalau peneliti sedang melakukan
pembicaraan selama di lapangan.
Pada penelitian ini cara pengumpulan data adalah dengan wawancara
mendalam dan observasi.Wawancara mendalam dilakukan pada satu orang
narasumber dengan satu orang pewawancara. Wawancara mendalam ini
bertujuan untukmenggali informasi tentang program asuhan CFC. Waktu
wawancara mendalam untuk setiap informan berbeda. Wawancara mendalam
dilakukandengan berpedoman pada pedoman wawancara yang telah disusun.
Dalamsebagian

wawancara

terdapat

gangguan

dari

anak

informan

sehinggainforman kurang konsentrasi dalam menjawab pertanyaan.


Observasi dilakukan pada teknis pelayanan program asuhan CFC.
Teknik observasiyang dipergunakan adalah observasi non-partisipatif artinya
peneliti tidak akan terlibat hubungan emosi dengan obyek penelitian.
Data Sekunder diperoleh dari berbagai sumber seperti Dinas
Kesehatan, Puskesmas, lokasi sasaran dan informasi lain yang berkaitan
dengan penelitian ini.
G. Analisis Data

29

Teknik

analisis

data

yang

digunakan

dalam

penelitian

ini

adalahanalisis data kualitatif, mengikuti konsep yang diberikan Miles and


Huberman(1984). Aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara
interaktif danberlangsung secara terus-menerus pada setiap tahapan penelitian
sehinggasampai tuntas dan datanya sampai jenuh. Aktivitas dalam analisis
data, yaitudata reduction, data display dan conclusion drawing/verification.
Menurut Sutopo (2006) model analisis interaktif adalah analisis data yang
dilakukansecara terus menerus dimulai dari pengumpulan data, reduksi data,
sajian

data

sampai

dengan

penarikan

kesimpulan.

Semua

proses

tersebutdilakukan secara interaktif yang berarti peneliti dapat kembali ke


prosessebelumnya apabila diketahui terdapat kekurangan pada tahap
sebelumnya.
H. Kesulitan Penelitian dan Keterbatasan Penelitian
1. Kesulitan Peneliti
Peneliti menemui

hambatan

dalam

melakukan

wawancara

mendalam, dimana selama wawancara informan ibu umumnya sambil


mengasuh anak sehingga menganggu jalannya wawancara, selain itu tidak
dapat dilakukan dalam waktu yang lama karena anak rewel. Untuk
mengurangi pengaruh dari hal tersebut peneliti melakukan review
informasi dengan melakukan wawancara tambahan kepada informan
mengenai informasi yang dirasakan belum mencukupi.
2.Keterbatasan Penelitian
30

Penelitian ini hanya dilakukan melalui jejak pendapat yaitu


wawancara dengan beberapa informan yang dipilih, sehingga data yang
diperoleh tidak begitu akurat.
Subjek yang digunakan dalam penelitian sangat terbatas, khususnya
untuk subjek informan yang berasal dari orang tua balita yang hanya
dipilih secara acak berdasarkan kebutuhan penelitian sebanyak tiga orang.
Sehingga kemungkinan besar perbedaan pendapat bisa saja terjadi.

BAB IV
HASIL PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum Puskesmas Kamonji


4.1.1 Keadaan Umum
UPTD Urusan Puskesmas Kamonji merupakan salah satu pusat
pelayanan kesehatan masyarakat yang berada di wilayah kecamatan Palu
Barat kota Palu dengan batas-batas sebagai berikut :
-

Sebelah Utara berbatasan dengan teluk Palu.

Sebelah Timur berbatasan dengan Sungai Palu.

Sebelah Selatan berbatasan dengan kelurahan Nunu, Boyaoge dan


Balaroa.

31

Sebelah Barat berbatasan dengan kelurahan Palu Kodi dan Kelurahan


TipoBalaroa.
Wilayah kerja UPTD Urusan Puskesmas Kamonji terletak pada

belahan Barat kota Palu, dengan wilayah seluas 20 km2 yang seluruhnya
dapat dilalui dengan kendaraan roda empat.Jenis tanah di wilayah kerja UPTD
Urusan Puskesmas Kamonji termasuk lempung berpasir dengan luas daratan
92%, perbukitan 6,0% dan pengunungan 2,0%.28
UPTD Urusan Puskesmas Kamonji Tahun 2014 memiliki luas wilayah
kerja sebesar 20 km2 yang secara administrasi pemerintahan terbagi atas 7
kelurahan yaitu kelurahan Silae, Kabonena, Lere, Baru, Ujuna, Kamonji dan
Siranindi. 28
Puskesmas Kamonji memiliki visi Puskesmas Kamonji mandiri
dengan pelayanan kesehatan prima menuju Kecamatan Sehat Tahun 2016.
Puskesmas Kamonji memiliki 3 misi yaitu; 1. Menyelenggarakan kegiatan
pelayanan kesehatan yang bermutu dan memuaskan masyarakat; 2.
Menyelenggarakan kegiatan dengan memanfaatkan secara optimal potensi
puskesmas yang ada untuk membiayai kebutuhannya; 3.Menyelenggarakan
kegiatan yang mengupayakan meningkatnya peran serta masyarakat dilintas
sektoral dalam bidang kesehatan secara optimal. 28
4.1.2

Kependudukan
Di Tahun 2015 Jumlah penduduk di wilayah kerja UPTD Urusan

Puskesmas Kamonji mencapai 52.441 jiwa atau mengalami penurunan sekitar


32

1,08% dibanding Tahun 2014 yang mencapai 55.624 jiwa. Kecenderungan


penurunan ini dimungkinkan oleh kondisi Kota Palu yang sedang dalam
pemerataan pembangunan sehingga terjadi mobilisasi penduduk ke arah lain
di wilayah Kota Palu. 28
Komposisi penduduk di wilayah kerja UPTD Urusan Puskesmas
Kamonji tahun 2015 menurut kelompok umur dan jenis kelamin dapat dilihat
pada tabel berikut : 28

Tabel 4.1
Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin
Di Wilayah Kerja UPTD Urusan Puskesmas Kamonji Tahun 2015

No

Kelompok Umur

Laki-laki

Perempuan

Total

1.

(tahun)
0 4 tahun

1.148

1.025

2.173

4.14

2.

5 14 tahun

5.000

4.667

9.667

18.4

3.

15 44 tahun

14.275

14.144

28.419

54.2

4.

45 64 tahun

4.953

4.874

9.827

18.7

1.239
25.949

2.355
52.441

4.5
100

5.

> 65 tahun
1.116
Total
26.492
Sumber Data : BPS Kota Palu Tahun 2015

Berdasarkan tabel di atas, disimpulkan bahwa komposisi penduduk di


wilayah kerja UPTD Urusan Puskesmas Kamonji masuk dalam klasifikasi

33

penduduk muda, dalam arti penduduk yang berusia di bawah 15 tahun cukup
tinggi (22,54%), dibandingkan jumlah penduduk yang lanjut usia (>65 tahun)
yang sangat rendah (4,5%). Selain itu penduduk di wilayah kerja UPTD
Urusan Puskesmas Kamonji yang terbesar tergolong dalam usia produktif (15
64 tahun) sebanyak 72,9%.28
Distribusi penduduk menurut jenis kelamin di wilayah kerja UPTD
Urusan Puskesmas Kamonji tahun 2015 yaitu 26.492 jiwa penduduk laki-laki
(50,52%) dan 25.949 jiwa penduduk perempuan atau 49,5%, yang berarti
jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dibanding jumlah penduduk
perempuan. 28
Perbandingan antara jumlah penduduk laki-laki dengan jumlah
penduduk perempuan di suatu daerah pada waktu tertentu yang disebut sex
rasio adalah merupakan indikator untuk mengetahui komposisi penduduk
menurut jenis kalamin. Komposisi ini sangat besar kaitannya dengan masalah
fertilitas semakin tinggi. 28
Rasio jenis kelamin di wilayah kerja UPTD Urusan Puskesmas
Kamonji tahun 2015 sebesar 102 dari 52.441 jiwa yang berarti setiap 100
penduduk perempuan terdapat 102 penduduk laki-laki atau jumlah penduduk
laki-laki lebih banyak daripada penduduk perempuan. 28

4.1.3

Sosial Ekonomi

34

Jumlah penduduk miskin dan rasio beban tanggungan ekonomi suatu


daerah merupakan beberapa faktor yang menghambat pembangunan ekonomi
dalam suatu wilayah diantaranya adalah khusus ratio beban tanggungan
memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap besarnya income perkapita.
Dapat dibayangkan jika kelompok usia produktif yang jumlahnya sedikit
mensubsidi usia tidak produktif, akibatnya adalah income perkapita dengan
sendirinya akan turun, demikian pula sebaliknya. 28
Rasio beban tanggungan di wilayah kerja UPTD Urusan Puskesmas
Kamonji sebesar 37 yang berarti setiap 1.000 orang yang masih produktif
menanggung 37 orang yang tidak produktif. 28
4.2 Karakteristik Informan
Informan dalam penelitian ini sebanyak 5 orang, yang terdiri dari Kepala
Puskesmas Kamonjii, tenaga kesehatan yaitu penanggung jawab program CFC,
dan 3 ibu balita gizi kurang yang mengikuti program CFC. Pengambilan
informasi dilakukan dengan metode indepht interview atau wawancara
mendalam, serta dilakukan observasi langsung dan dokumentasi. Secara rinci
informan dapat dilihat dari tabel berikut :
Tabel 4.2. Karakteristik Informan
No
.

Nama
Informan

Umur
(Tahun)

Pendidikan
Terakhir

RJ

47

S1

KM

35

S1

23

SMA

Keterangan
Kepala Puskesmas
Penanggung Jawab
program CFC
Ibu Balita
35

4
5

M
F

23
32

SD
SD

Ibu Balita
Ibu Balita

4.3 Input Pelaksanaan Asuhan CFC sebagai Program Penanganan Gizi


Kurang pada Anak Balita di Puskesmas Kamonji
Hasil wawancara mendalam peneliti kepada kepala puskesmas dan
pelaksana program CFC tentang jumlah petugas dalam penyelenggaraan
program CFC, kedua informan mengemukakan bahwa tenaga kesehatan dalam
penyelenggaraan program CFC terdapat 5 orang yakni selaku penanggung
jawab adalah kepala puskesmas, pelaksana program sekaligus pengelolah gizi
CFC, tukang masak, dan dibantu oleh dua bidan desa dan kelurahan dalam
pelaksanaannya. Seperti diungkapkan para informan sebagai berikut :
Kalo ko tanya petugas kesehatannya, ya berarti semua yang berhubungan
dengan kesehatan anak dia punya kewajiban untuk melakukan itu.Tapi kalo kau
tanya siapa penanggung jawab untuk program ini yah satu orang. Dan juga
semua bidan bidan . (RJ, 7 desember 2016).
Ada lima orang. Penanggung jawab kepala puskesmas, pelaksananya
pengelola gizi, ada satu tukang masak yang dibiayi yang digaji toh oleh dinas
kesehatan kota, kemudian ada juga dibantu dua bidan dari desa dan
kelurahan . (KM, 07 desember 2016).
Hasil wawancara mendalam peneliti kepada kepala puskesmas dan
pelaksana program tentang pelatihan khusus bagi petugas kesehatan dalam
penyelenggaraan program CFC, kedua informan mengemukakan bahwa petugas
program CFC mendapat pelatihan dari petugas dinas kesehatan mengenai
pelaksanaan program CFC. Akan tetapi tidak semua petugas, hanya beberapa
saja yang mendapatkan pelatihan tersebut. Adapun pernyataan informan yaitu:

36

kalo secara kusus hanya beberpa saja. Artinya dari dinas dapat pelatihan
bagaimana penanganan atau pelayanan untuk CFC itu untuk penanganan gizi
buruk dan gizi kurang jadi tidak semuanya, tetapi yang sudah dapat
pelatihan, mereka akan membagi informasi ke semua petugas lainnya. (RJ, 07
desember 2016)
eeh sebenranya mereka itu tidak ada. Berdasarkan juknis dinkes sebenarnya
cuman saya yang dapat pelatihan. Hanya karena kita menggunakan fasilitas
pustu, toh kita libatkan mereka. Tapi mereka punya pengetahuan tentang
antropometri. (KM, 07 desember 2016)
Hasil wawancara mendalam peneliti kepada kepala puskesmas dan
pelaksana program tentang sumber dana dalam penyelenggaraan program
CFC, kedua informan mengemukakan bahwa dana yang didapatkan berasal
dari DAU (Dana Alokasi Umum) yaitu dari Dinas Kesehatan Kota Palu.
Seperti diungkapkan para informan sebagai berikut :
dari dinas pasti, dari pemerintahan Kota Palu melalui dinas kesehatan (RJ,
07 desember 2016)
kalo CFC ini dibiayi dari DAU (Dana Alokasi Umum), itu pemda punya.
(KM, 07 desember 2016)
Hasil wawancara mendalam peneliti kepada kepala puskesmas dan
pelaksana program tentang cukupnya dana yang akan digunakan untuk
penyelenggaraan program CFC, kedua informan mengemukakan bahwa
pengelolaan dana program CFC tergantung dari sasaran. Karena dari sasaran itu
sudah ditentukan, jadi dana yang dianggarkan oleh dinkes sudah mampu untuk
mencukupi pengelolaan dana program ini. Adapun pernyataan informan yaitu:
Kalo mau dihitung cukup atau tidaknya tergantung dari beberapa sasarannya
kan. Karena setiap sasarannya itu sudah ditentuan sekian dia. misalnya satu
sasaran itu dalam satu hari penangnan sekitar 60 ribu. 60 ribu itu hitung

37

hitungan dari dinkes sudah mampu untuk memenuhi kebutuhan gizinyalah. .


(RJ, 07 desember 2016)
kalo bercerita dana, dia sudah cukup. Kalo kita ikuti konsep dari juknis yang
sebenarnya, harusnya dia mandiri. Tapi dananya cukup skali sudah.. (KM, 07
desember 2016)
Hasil wawancara mendalam peneliti kepala puskesmas dan pelaksana
program tentang apakah ada kendala dari segi pendanaan dalam pelaksanaan
program CFC, kedua informan mengemukakan bahwa selam ini tidak
ditemukan kendala karena dananya sudah disediakan oleh dinas kesehatan.
Adapun pernyataan informan yaitu:
selama ini tidak ada kendala, artinya memang dananya sudah disedikan ya
dari dinas kesehatan . (RJ, 07 desember 2016)
tidak ada. (RJ, 07 desember 2016)
4.4 Proses Pelaksanaan Asuhan CFC sebagai Program Penanganan Gizi
Kurang pada Anak Balita di Puskesmas Kamonji
Hasil wawancara mendalam peneliti kepada kepala puskesmas dan
pelaksana program CFC tentang teknis pelayanan program CFC, kedua
informan mengemukakan bahwa teknis pelayanan dalam program CFC telah
berjalan dengan baik sesuai dengan petunjuk teknis yang telah ditetapkan oleh
dinas kesehatan. Adapun pernyataan informan yaitu:
Kalo teknis pelayanannya cfc kamonji ini rujukan. Jadi yang sudah ada
kasusnya dibawa ke pustu Kabonena untuk ditangani. (RJ, 07 Desember
2016)
Pertama kita buat perencanaan, jadi perencanaan itu mulai dari penyusunan
menu, kalo setelah kita dapatkan kasus, kasus kan sudah ada memang tinggal
ditangani, kita susun daftar menunya lagi, siklus enam hari biasanya kita
38

gunakan, kadangkala penanganan awal dan berikutnya berbeda menunya,


kemudian kita buat daftar pertanggungjawabannya, daftar hadir, daftar
penerimaan keuangan, daftar nama anak dan berat badan dan segala macam,
kemudian kita siapkan dokumen-dokumen cfcnya nantinya, kita siapkan tenaga
yang membantunya, karena tiap penyelenggaraan terjadi pergantian tenaga
bidan, yang sebelumnya itu andi rahmawati, sekarang linda
Kemudian 2-3 hari sebelum pelaksanaan anak-anak itu orangtuannya sudah
disampaikan. Kemudian pada hari pelaksanaan, mereka datang, kita timbang,
ukur panjang badan, dan difoto pada saat itu untuk dokumentasi, sambil
menunggu yang lain datang, atau menunggu makanan, kita sampaikan pesanpesan, konseling, maupun bentuk penyuluhan, kemudian disitu juga diberikan
multivitamin, mereknya dari dinas curfit 80 mg. dilaksanakan 4 kali pertahun.
Tahun ini 3 kali pertahun, empat kali mestinya. (KM, 07 Desember 2016)

Hasil wawancara mendalam peneliti kepada kepala puskesmas dan


pelaksana

program

CFC

tentangperencanaan

yang

dibuat

untuk

penyelenggaraan program CFC di Puskesmas Kamonji, kedua informan


mengemukakan bahwa perencanaan yang telah dibuat sudah tepat dengan
sasaran yang telah disesuaikan dari petunjuk teknis yang telah ditetapkan oleh
dinas kesehatan. Adapun pernyataan informan yaitu:
Kalo perencanaannya kita hitung sasaran dulu yaa.. hitung sasaran,
dibuatkan mappingnya dimana semua ini, lokasinya tinggalnya dimana, kan
setiap sasaran ini , dicari sentranya dimana, diharapkan mendekati,
diharapkan dia datang, bukan diantarkan, namanya cfc, jadi makanya kemarin
di kabonena dianggap lebih mendekati dari kamonji, duyu, tipo, kabonena
dianggap ditengah-tengah, setelah sasarannya diketahui, kalo dari dinas itu
diperkirakan oh sekian, tiap orang sasaran dikalikan saja berapa orang
disana, habis itu dilakukan perencanaan menunya apa, apa yang harus
dianukan. (RJ, 07 Desember 2016)
Pertama kita buat perencanaan, jadi perencanaan itu mulai dari penyusunan
menu, susun daftar menu, daftar pertanggungjawaban, daftar hadir, daftar
penerimaan keuangan, daftar nama anak dan berat badan dan segala macam,

39

kemudian kita siapkan dokumen-dokumen cfcnya nantinya, kita siapkan tenaga


yang membantunya..(KM, 07 Desember 2016)
Hasil wawancara mendalam peneliti kepada kepala puskesmas dan
pelaksana

program

CFC

tentangperencanaan

yang

dibuat

untuk

penyelenggaraan program CFC di Puskesmas Kamonji, kedua informan


mengemukakan bahwa perencanaan yang telah dibuat sudah tepat dengan
sasaran yang telah disesuaikan dari petunjuk teknis yang telah ditetapkan oleh
dinas kesehatan. Adapun pernyataan informan yaitu:
Oh iyaa.. harus sesuai dengan prencanaan, berapa sasaran harus sesuai, kan
intinya semua sasaran ini, yang gizi buruk, gizi kurang ini, itu bisa terjangkau
dia, intinya kan disitu.... (RJ, 07 Desember 2016)
Ya sesuai dengan perencanaan... (KM, 07 Desember 2016)

Hasil wawancara mendalam peneliti kepada kepada kepala puskesmas


dan pelaksana program CFC tentang pengorganisasian program CFC sudah
tepatdi

Puskesmas

Kamonji,

kedua

informan

mengemukakan

bahwa

pengorganisasian program CFC yang ada di Puskesmas Birobuli sudah sesuai


dan tetap mendapat bantuan dari petugas bidang lain dalam pelaksanaannya.
Adapun pernyataan informan yaitu:
Kalo dilihat saat ini, kan simpel saja pengorganisasiannya, di dinas ada
penanggung jawab di dinas, terus di puskesmas ada penanggung jawab
puskesmas, kita kan libatkan masyarakat, kader-kadernya yaa, jadi ini
pengorganisasian, jadi bagaimana di organisasinya itu siapa yang petugas ini
siapa yang petugas ini... (RJ, 07 Desember 2016)

40

Pengorganisasian tenaga tidak ada masalah, saya terbantu sekali karena


kader itu bisa memasak, bisa mengatur, bisa memberikan penyuluhan sesuai
dengan metode mereka, memang mereka itu sukarelawan masyarakat biasa.
Pengorganisasian pada sasaran, ada masalah pada anak, kan biasanya kan
itemnya itu datang, makan, pulang. Kita juga tidak ambil risiko kalo anak
tersebut sakit, atau orangtuanya ada kegiatan, biasa juga petugasnya kita
antarkan. (KM, 07 Desember 2016)
Hasil wawancara mendalam peneliti kepada kepala puskesmas dan
pelaksana program CFC tentang ibu dari anak balita mendapatkan konseling
pada saat mengikuti program CFC, kedua informan mengemukakan bahwa
konseling bagi ibu balita gizi kurang telah dilaksanakan disetiap pertemuan
untuk memberikan pemahaman kepada ibu bahwa makanan yang dikonsumsi
harus tepat untuk memenuhi kebutuhan tubuh anak. Adapun pernyataan
informan yaitu:

Ya.. dia dapat, tiap anu pasti ada konseling dari petugas puskesmas..(RJ, 07
Desember 2016)
Semuanya dapat konseling 2 hari sebelum dan setelah dimulai pelaksanaan
program CFC. Cuman kan ada kita punya pengetahuan dasar yaitu tiga poin,
yang belum tentu kita bisa buat. Yaitu tau, mau, dan mampu toh. Awalnya kita
tau akhirnya jadi mau, tetapi mampu ini yang menjadi masalah
biasanya..(KM, 07 Desember 2016)
Hasil wawancara mendalam peneliti kepada kepala puskesmas dan
pelaksana program CFC tentang penyelenggaraan program CFC mendapatkan
dukungan dari masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Kamonji, kedua
informan

mengemukakan

bahwa

Dukungan

dari

masyarakat

sangat

41

berpengaruh untuk mendukung pelaksanaan program CFC yang ada di


Puskesmas Kamonji. Adapun pernyataan informan yaitu:
Ya besar dukungannya, ini kan yang anu dari kader kesehatan yang kita
serahkan sama kader-kader untuk memasak, untuk mengolah, jadi memang
betul-betul masyarakat yang turun, kita kan .. ya dananya dari kita.. (RJ, 07
Desember 2016)
Saya tidak bisa menyampaikan dengan benar kalo yang ini. Seharusnya dari
pihak masyarakatnya toh. Tapi kalo menurut laporan yah ada pro dan ada
yang kontra. Tapi sebagian besar mendukung.. (KM, 07 Desember 2016)
Hasil wawancara mendalam peneliti kepada kepala puskesmas dan
pelaksana program CFC tentang pelatihan Ibu dari anak balita untuk membuat
PMT lokal selama diselenggarakannya program CFC, kedua informan
mengemukakan bahwa belum ada pelatihan khusus untuk ibu dari anak balita
untuk membuat PMT local selama diselenggarakannya program CFC. Adapun
pernyataan informan yaitu:
Sebetulnya diharapkan cfc itu dia hanya stimulan saja, stimulus..ya hanya
stimulus saja bagaimana memberikan makanan yang bagus pada anak, jadi
kita kan selalu konseling orangtuanya, setelah itu kan ada batas waktunya,
kalo selesai, dia sudah gizi baik, atau status gizinya buruk atau gizi kurang,
kita ikutkan lagi sampai jadi gizi baik, diharapkan orangtuanya dia
memberikan makanan pada anaknya, tapi kendalanya faktor ekonomi, kan
tidak mungkin anaknya ditanggung terus sampai besar... (RJ, 07 Desember
2016)

Memang pelatihan kepada ibu ini yang kurang dan memang belum ada..
hanya sebatas konseling saja. Untuk membuat pelatihan ini juga saya rasa
harus buat waktu khusus, persiapan khusus, dan juga tentunya bisa jadi
anggaran khusus ya..(KM, 07 Desember 2016)

42

Hasil wawancara mendalam peneliti kepada kepala puskesmas dan


pelaksana program CFC tentang pelaksanaan monitoring dan evaluasi selama
diselenggarakannya program CFC, kedua informan mengemukakan bahwa
Monitoring dan evaluasi program CFC dilaksanakan setiap bulan atau 1-2
minggu per bulan dan pelaporannya bisa memantau terjadinya perubahan status
gizi yang ada di wilayah kerja Puskesmas Kamonji. Adapun pernyataan
informan yaitu:
Kalo monitoring dan evaluasinya, pertama sasarannya. Sasaran itu apakah
yang gizi buruk bisa naik menjadi gizi kurang, dan yang gizi kurang bisa naik
jadi gizi baik, ada waktunya secara berkala, setiap bulannya pasti ditimbang
balitanya, untuk sasarannya itu. untuk evaluasi manajemennya bagaimana dari
dinas..(RJ, 07 Desember 2016)
.. paling cepat satu minggu, paling lambat 2 minggu. Tapi biasanya 3 kali
dalam satu bulan, jadi setiap 10 hari dalam satu bulan dilakukan
penimbangan.. (KM, 07 Desember 2016)
Hasil wawancara mendalam peneliti kepada informan ibu dari anak balita
yang mengikuti program CFC dalam

mengetahui anaknya menderita gizi

kurang, informan mengemukakan bahwa mereka mendapatkan informasi dari


posyandu. Adapun pernyataan informan yaitu:
Pertama waktu dia ditimbang di posyandu, timbangann yakurang, umur 7
bulan timbangannya baru 5 kg, jadi suster itu bilang bawa di puskesmas dia..
nanti di anu to..ditulis semua itu anu.. anunya itu maudi depe makanan dan
ditulis, jadi perg ikesana dikasi tahu suster sudah ini makanan pagi, siang. ( I,
20 november 2016)
43

Karena dia ini waktu usia 1 3 bulan dia sehat, pas mau masuk 4 bulan
sudah tidak pernah lagi naik timbangannya begitu begitu saja.. (M, 20
november 2016)
Saya tidak tahu juga, karena saya dipanggil kadernya ini, mamanya kan
dipanggil so temau pi kemari baantar anaknya karena dia malu ditanya dokter,
jadi terpaksa saya yang babawa kemari. (F, 20 november 2016)

Hasil wawancara mendalam peneliti kepada informan ibu tentang


motivasi ibu dari anak balita untuk mengikutsertakan anaknya dalam program
CFC, informan mengemukakan bahwa mereka termotivasi agar anak mereka
mendapatkan tambahan makanan dan mengalami kenaikan berat badan. Adapun
pernyataan informan yaitu:
Karena apaya...karena timbangannya itu kurang, di bawah standa. (I, 20
november 2016)
supaya dia naik berat badannya, ada perubahan. (M, 20 november 2016)
Supaya dia ini naik badannya iya naik badannya..kurus badannya ini,
timbangannya lalu 6,9, ini turun, turun 1 kilo. (F, 20 november 2016)
4.5 Output Pelaksanaan Program Penanganan Gizi Kurang Melalui Asuhan
CFC pada Anak Balita di Puskesmas Kamonji
Hasil wawancara mendalam peneliti kepada kepala puskesmas dan
pelaksana program CFC tentang penurunan angka gizi kurang secara signifikan
pada balita yang merupakan sasaran program selama diselenggarakannya
44

program CFC, kedua informan mengemukakan bahwa terjadi penurunan angka


gizi kurang yang ada di wilayah kerja Puskesmas Kamonji untuk setiap
tahunnya. Adapun pernyataan informan yaitu:
Kalau kita bicara penurunan gizi kurang, jadi ee inikan hanya beberapa
persen dari jumlah bayi/balita dari wilayah kerja puskesmas. Tidak bisa
dipungkiri bahwa gizi kurang akan selalu ada, karena tidak semua terjangkau
oleh CFC. (RJ, 7 Desember 2016)
Secara umum turun. (KM,7 Desember 2016)
Hasil wawancara mendalam peneliti kepada kepala puskesmas dan
pelaksana program CFC tentang terjadinya kenaikan berat badan pada anak
balita yang telah mengikuti program CFC, kedua informan mengemukakan
bahwa terjadi kenaikan berat badan namun hal tersebut juga tidak lepas dari
dukungan orang tua balita tersebut untuk perawatan yang benar pada anak di
rumah . Adapun pernyataan informan yaitu:
Iya, Kalau bayi /balita itu mengikuti secara rutin dan benar , kan CFC hanya
di tempat CFCnanti bagaimana penanganan di rumah, kan tidak mungkin
anunya 1x24 jam petugasnya, kalau ibunya bisa melaksanakan perawatan
dengan baik pada anak itu, kita tidak bisa mendahului, tapi insya Allah akan
baik tapi tergantung dukungan orang tuanya. Kalau CFC selama ini selalu
terjadi kenaikan berat badan(RJ, 7 Desember 2016)
Iya ada yang naik, ada yang tidak,, tapi secara umum naik. (KM,7
Desember 2016 )
Hasil wawancara mendalam peneliti kepada kepala puskesmasdan
pelaksana program CFC tentang terjadinya perubahan pola asuh ibu dari anak

45

balita setelah mengikuti program CFC, kedua informan mengemukakan bahwa


belum ada evaluasi dari puskesmas pada ibu mengenai perubahan pola asuh
mereka namun diharapkan hal tersebut terjadi. Adapun pernyataan informan
yaitu:
Nah itu yang belum anu..agak sulit ya melakukan evaluasi terhadap perilaku
ibunya dalam melakukan pola asuh itu karena apa tidak mungkin petugas.. dan
yang kita bisa asumsikan hanya berdasarkan perubahan status gizi
anaknya(RJ, 7 Desember 2016)
Belum ada evaluasi tentang itu hanya pemantauan saja tapi kita harapkan
seperti itu, minimal pengetahuan mereka lebih dari yang kayak ditangani
(KM,7 Desember 2016 )

Hasil wawancara mendalam peneliti kepada kepala puskesmas dan


pelaksana program CFC biasa tentang respon ibu dari anak balita terhadap
pelaksanaan program CFC, kedua informan menyatakan bahwa orang tua balita
memberikan respon yang positifpada program CFC ini. Adapun pernyataan
informan yaitu:
Responnya. mereka sangat antusias dengan adanya program ini, namun tadi
itu ada beberapa hal yang membuat mereka kendala tidak bisa datang, nah itu
yang menjadi salah satu evaluasi bagi kita apakah dengan menghitung faktor
transportasi faktor jarak anu. Bagaimana supaya CFC ini lebih mendekati
pada sasaran. (RJ, 7 Desember 2016)
Mereka senang semua karena datang dikasi makan pulang dikasi uang
(KM,7 Desember 2016 )

46

4.6 Outcome Pelaksanaan Asuhan CFC sebagai Program Penanganan Gizi


Kurang pada Anak Balita di Puskesmas Kamonji
Hasil wawancara mendalam peneliti kepada kepala puskesmas dan
pelaksana program CFC terjadinya penurunan angka gizi kurang di wilayah
kerja Puskesmas Kamonji setiap tahun setelah diselenggarakan program CFC,
kedua informan mengemukakan bahwa setiap tahun selama dilaksanakannya
program CFC, angka gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas
Kamonji menurun. Adapun pernyataan informan yaitu:
Secara signifikan kalau kita melihat dari jumlah yang ikut CFC semua
bayi/balita yang gizi kurang diikutkan cfc setelah diikutkan cfc hasilnya
nengalami kenaikan berat badan semua menjadi gizi baik pasti menjadi
signifikan semua penurunan gizi kurang.(RJ, 7 Desember 2016)
Tetap ada penurunan pada akhir tahun(KM,7 Desember 2016 )
Hasil wawancara mendalam peneliti kepada informan ibu dari anak balita
yang mengikuti program CFC tentang kenaikan berat badan pada anak balita
setelah mengikuti program CFC, dua orang tua balita mengemukakan bahwa
terjadi kenaikan berat badan setelah balitanya mengikuti program CFC. Satu
orang tua lainnya mengemukakanbelum terjadi perubahan pada berat badan
anak balita setelah mengikuti program CFC. Adapun pernyataan informan
yaitu:
iya naik terus, pertama 6,8 kedua kalinya 7,6 ...aa pas ketiga ini sudah
7,8kg(I, 20 November 2016)
Sudah ada naik, ada naik 2 ons dari pertama ikuti program ini. (M, 20
November 2016)

47

Belum, turun timbangannya sekarang 6,8 lalu kan 6,9 turun ini. (F. 20
November 2016)

BAB V
PEMBAHASAN

5.1

Evaluasi Pelaksanaan Asuhan CFC sebagai Program Penanganan Gizi


Kurang pada Anak Balita di Puskesmas Kamonji
Evaluasi adalah penilaian secara sistemik untuk menentukan atau
menilai kegunaan, keefektifan sesuatu yang didasarkan pada kriteria tertentu

48

dari program. Akdon (2007:176), fungsi evaluasi adalah untuk mengetahui


tingkat keberhasilan dan kegagalan suatu organisasi dan memberikan masukan
untuk mengatasi permasalahan yang ada. Keuntungan dari evaluasi bermanfaat
untuk perbaikan perencanaan, strategi, kebijakan; untuk pengambilan
keputusan; untuk tujuan pengendalian program/kegiatan; untuk perbaikan input,
proses, dan output, perbaikan tatanan atau sistem prosedur.20
Hasil wawancara pelaksanaan program gizi kurang melalui asuhan
CFC di Puskesmas Kamonji sudah sesuai dengan petunjuk teknis yang telah
dibuat oleh Dinas Kesehatan pada tahun 2012. Petugas kesehatan yang
bertanggung jawab dalam program CFC mendapatkan pelatihan khusus dan
anggaran yang diterima sudah sesuai teknis pelayanan,, adanya dukungan
positif dari masyarakat, angka gizi kurang pada anak balita diwilayah kerja
Puskesmas Kamonji yang setiap tahunnya mengalami penurunan serta terjadi
peningkatan berat badan anak balita yang mengikuti program CFC.
5.2 Input Pelaksanaan Asuhan CFC sebagai Program Penanganan Gizi
Kurang pada Anak Balita di Puskesmas Kamonji
Input (masukan) adalah segala sesuatu yg dibutuhkan untuk dapat
melaksanakan pekerjaan manajemen. Input berfokus pada sistem yang
dipersiapkan dalam organisasi dari menejemen termasuk sumber tenaga,
sumber modal, serta kebijakan sarana dan prasarana fasilitas. 29
Hasil wawancara yang telah dilakukan peneliti, mengemukakan bahwa
masih terdapat masalah maupun hambatan dalam program CFC. Dari hasil

49

tersebut, dapat disimpulkan input pelaksanaan program CFC ini meliputi tenaga
kesehatan, dana dan fasilitas kesehatan.
5.2.1

Tenaga Kesehatan
Hasil wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti, menjelaskan

bahwa tenaga kesehatan khusunya pada program CFC di Puskesma Kamonji ini
memiliki empat petugas kesehatan yakni kepala puskesmas selaku penanggung
jawab, pelaksana program sekaligus pengelola gizi, bidan kelurahan dan bidan
desa sebagai petugas pengabdi. Dalam pelaksanaan program, prorgram bisa
berjalan dengan baik dan optimal dengan cara membagi waktu pelaksanaan
kegiatan dan membagi tugas dalam merekap data hasil kegiatan yang telah
terlaksana. Walaupun dengan kapasitas tenaga kesehatan yang minim, petugas
kesehatan program CFC tidak mengeluhkan beban kerja yang diberikan.
Petugas kesehatan mengganggap bahwa hal tersebut merupakan komitmen
untuk melaksanakan tanggu jawab yang telah diberikan. Pelaksana program ini
juga mengatakan bahwa dengan adanya petugas pengabdi serta kader yang
terlibat sudah sangat membantu dalam pelaksanaan program CFC. Namun,
penanggung jawba program mengajukan agar supaya petugas kesehatan yang
terlibat dalam program CFC mendapatkan pelatihan khusus dari petugas Dinas
Kesehatan tanpa terkecuali. Hal ini diperuntukkan agar petugas kesehatan dapat
meningkatkan kualitas pelaksanaan program CFC.
UU No. 36 Tahun 2014 menetapkan bahwa tenaga kesehatan adalah
setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki
50

pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan dibidang kesehatan


untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya
kesehatan.
Puskesmas mempunyai pengelolah gizi selaku pelaksana program
berjumlah 1 orang dan berlatar belakang sarjana kesehatan masyarakat.
Pengelola gizi di Puskesmas Kamonji telah mendapat pelatihan tentang PMTanak balita. Dalam pelaksanaan PMT, tenaga pelaksana Gizi puskesmas dan
bidan di desa dam kelurahan bertugas

melaksanakan pembinaan teknis

lapangan.
Tenaga

kesehatan

yang

bertanggung

jawab

dalam

program

penanggulangan gizi kurang melalui asuhan CFC memiliki kemampuan dalam


menanggulangi masalah pada anak balita. Hal ini sangat penting dikarenakan
kemampuan, pengetahuan dan keterampilan yang telah dimiliki dapat
menunjang pengoptimalan kinerja petugas ditambah lagi dengan mendapatkan
pelatihan khusus dari petugas Dinas Kesehatan. Pelatihan khusus tersebut
diharapkan dapat meningkatkan kualitas petugas kesehatan yang meliputi
pengetahuan,

sikap

dan

perilaku

serta

keterampilan

petugas

dalam

pelayanannya. Dalam penyelenggaraan program CFC di Puskesmas Kamonji


telah melibatkan kader - kader untuk membantu pelaksanaan program. Hal ini
sangat mempengaruhi kinerja petugas untuk mengoptimalkan pelaksanaan

51

program agar dapat menurunkan angka kasus gizi kurang pada anak balita di
wilayah kerja Puskesmas Kamonji.
5.2.2

Sumber Dana
Hasil wawancara yang telah dilakukan peneliti, kepala puskesmas dan

pelaksana program mengemukakan bahwa program CFC mendapatkan dana


yang berasal dari DAU (Dana Alokasi Umum) yaitu dana dari pemerintah Kota
palu melauli Dinas Kesehatan. Dana yang diterima merupakan Bantuan
Operasional Kesehatan yang menjadi salah satu program pemerintah melalui
Kementerian Kesehatan. Program CFC di Puskesmas Kamonji mendapatkan
bantuan dana dengan mengajukan jumlah kasus gizi kurang pada anak balita
yang telah didapatkan melalui posyandu atau kelurahan lalu dilaporkan ke
Dinas Kesehatan. Setelah laporan diterima oleh Dinas Kesehatan, petugas
Dinas Kesehatan membuat perencanaan anggaran program CFC yang akan
digunakan oleh Puskesmas Birobuli. Anggaran yang telah digunakan pada
program

CFC,

dibuatkan

pelaporan

oleh

petugas

kesehatan

dengan

melampirkan tanda bukti atau nota belanja bahan, daftar hadir peserta CFC,
tanda terima PMT dan hasil penanganan gizi kurang sebelum dan sesudah
program dilaksanakan mengalami perubahan atau tidak. Hal pendanaan ini
ditunjang dari petunjuk teknis program CFC tahun 2012, bahwa setiap anak
balita mendapatkan biaya makan sebesar Rp. 5000/hari serta mendapatkan
biaya transportasi sebesar Rp. 20.000/anak setiap hari selama 30 hari mengikuti
program CFC.
52

Dana adalah suatu kebutuhan yang diperlukan untuk menunjang


terselenggaranya program CFC di Puskesmas. Jika dana yang tersedia tidak
sesuai dengan kebutuhan, maka sulit diharapkan tercapainya program tersebut.
Dana sebagai faktor utama terselenggaranya suatu kegiatan atau program yang
ada di Puskesmas. Maka dapat dipastikan bahwa dana yang kurang atau tidak
sesuai dapat mempengaruhi berlangsungnya program.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2008), dana
mempunyai peranan yang sangat penting dalam melaksanakan program PMT
balita. Sumber dana didapatkan dari pemerintah daerah atau dari anggaran
pendapatan dan belanja daerah (APBD). Dana yang tersedia telah cukup untuk
pelaksanaan program PMT balita. Dana tersebut digunakan untuk pengadaan
paket PMT balita. Dana yang tersedia telah mencukupi kebutuhan pelaksanaan
PMT anak balita, karena telah disesuaikan dengan jumlah sasaran program.30
Dana yang diberikan oleh Dinas Kesehatan, telah disesuaikan dengan
keperluan dan kemampuan dari petugas kesehatan program CFC. Maka dari itu,
dana yang telah diberikan kepada tenaga kesehatan yang ada di Puskesmas
Kamonji khususnya pelaksana program CFC dituntut untuk menggunakan dana
sesuai dengan kebutuhan pokok dan yang harus diprioritaskan.
5.2.3 Fasilitas Kesehatan
Hasil wawancara yang telah dilakukan peneliti, selama program CFC
dilaksanakan

oleh

Dinas

Kesehatan

Kota

Palu

menetapkan

bahwa

penyelenggaraan program CFC, pengelolah, serta penyedia PMT- Lokal


sepenuhnya dilakukan secara mandiri oleh Puskesmas Kamonji. Adapun

53

fasilitas yang dimiliki antara lain, alat pengukur status gizi, obat obatan, dan
dapur untuk pengelolaan makanan. Namun, fasilitas Sumber Daya Manusia
(SDM) dalam hal ini ahli gizi masih belum dimilki oleh Puskesmas.
Fasilitas adalah segala sesuatu yang dapat memudahkan dan
memperlancar pelaksanaan suatu usaha dapat berupa benda benda maupun
uang. Dapat juga diartikan sebagai segala sesuatu yang bersifat fisik maupun
material, yang dapat memudahkan terselenggaranya suatu usaha .
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan peneliti, Puskesmas
Kamonji telah memilki dapur atau tempat pengelolaan makanan khusus CFC
serta tenaga memasak untuk mengelola makanan yang akan diberikan kepada
anak balita. Walaupun terdapat dapur dan tenaga pemasak, tetapi tidak dapat
membantu ibu dalam hal pembuatan PMT Lokal yang akan dimasak sendiri
dirumah. Hal ini diakibatkan karena tenaga pemasak tersebut bukanlah ahli gizi
maupun tenaga kesehatan lainnya yang dapat memberikan konseling berupa
informasi yang baik dan benar terhadap ibu balita. Tetapi mereka hanyalah
kader yang yang ditunjuk oleh pelaksana

membantu dalam pelaksanaan

program CFC. Hal ini belum sesuai dengan harapan dari program CFC ini
dibentuk, yaitu diharapkan terjadi proses pembelajaran bagi masyarakat,
keluarga terutama ibu mengenai bagaimana pola asuh yang baik dan cara
mengolah serta memberikan makanan kepada bayi maupun balita.
5.3 Proses Pelaksanaan Asuhan CFC sebagai Program Penanganan Gizi
Kurang pada Anak Balita di Puskesmas Kamonji

54

Evaluasi proses bertujuan untuk mengidentifikasi atau memprediksi


hambatan-hambatan dalam pelaksanaan kegiatan atau implementasi program.
Evaluasi dilakukan dengan mencatat atau mendokumentasikan setiap kejadian
dalam pelaksanaan kegiatan, memonitor kegiatan-kegiatan yang berpotensi
menghambat dan menimbulkan kesulitan yang tidak diharapkan, menemukan
informasi khusus yang berada diluar rencana; menilai dan menjelaskan proses
5.3.1

secara aktual.31
Teknis Pelaksanaan Program CFC
Hasil wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti, process
pelaksanaan program CFC di Puskesmas Kamonji telah berjalan sesuai dengan
petunjuk teknis Dinas Kesehatan Kota Palu Tahun 2012, namun terdapat satu
item yang tidak sesuai dengan petunjuk teknis Dinas Kesehatan Kota Palu
2012. Dalam teknis pelayanannya, petugas kesehatan menyelenggarakan
program mulai pukul 08.00-11.00 WITA berturut-turut setiap hari (seninminggu) satu kali selama tiga puluh hari, berbagai macam bentuk PMT Lokal
mulai dari cair, lumat dan padat yang disesuaikan dengan usia dan kemampuan
anak balita mengunyah makanannya. Adapun item yang tidak sesuai yaitu
penentuan kandungan gizi PMT local gizi kurang harus sesuai dengan
kebutuhan gizi anak balita selama satu hari, dimana menurut juknis kandungan
gizi yang perlu dipenuhi dari makanan pendamping ASI adalah 250 kkal serta
protein 5 gram untuk bayi 6-11 bulan, dan 450 kkal serta 15 gram untuk anak
balita 12-24 bulan, namun pada pelaksanaannya di puskesmas Kamonji tidak
dilakukan perhitungan ini, pemberiannya tidak berdasarkan kebutuhan.
55

Pelaksanaan adalah suatu tindakan atau pelaksanaan dari sebuah


rencana yang sudah disusun secara matang dan terperinci, implementasi
biasanya dilakukan setelah perencanaan sudah dianggap siap. Secara sederhana
pelaksanaan bisa diartikan penerapan. Majone dan Wildavsky mengemukakan
pelaksanaan sebagai evaluasi. Browne dan Wildavsky mengemukakan bahwa
Pelaksanaan adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan.32
Berdasarkan hasil observasi, program CFC dilaksanakan sekitar pukul
9 pagi setiap hari. Setelah makanan dibagikan, ibu menyuapi anak balitanya
disertai dengan diberikan pengarahan oleh petugas tentang gizi makanan apa
saja yang baik untuk dikonsumsi. Setelah program selesai, petugas memberikan
uang transportasi sebesar Rp.20.000 kepada ibu untuk masing-masing anak
balitanya. Hal ini diharapkan dalam pemberian PMT Lokal tidak saja memiliki
dampak terhadap perbaikan gizi sasaran, tetapi juga memberikan kontribusi
kepada perbaikan pendapatan masyarakat terutama diwilayah kerja Puskesmas
Kamonji. Akan tetapi, terdapat masalah dalam pelaksanaan program, yaitu
pelaksanaan program CFC tidak melibatkan lintas sektor. Hal ini telah
ditetapkan pada prnsip dibentuknya program CFC yaitu penanganan anak balita
gizi kurang harus melibatkan sektor terkait, dimana lintas sektor yang dimaksud
yaitu pihak kelurahan. Serta ibu anak balita tidak mendapatkan proses
pembelajaran cara mengolah menyiapkan dan memberikan makanan yang baik
kepada anaknya, khususnya pengetahuan kandungan gizi yang diperoleh dari
cara pemilihan bahan makanan sampai bahan makanan tersebut diolah. Hal ini
56

tidak sesuai dengan tujuan khusus dari dibentuknya program CFC oleh Dinas
Kesehatan.
5.3.2

Perencanaan Penyelenggaraan Program CFC


Hasil wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti, perencanaan

program CFC ditentukan dari penemuan kasus balita gizi kurang pada balita
diwilayah kerja Puskesmas Kamonji melalui laporan pasien yang datang
berobat, kader maupun posyandu. Setelah didapatkan kasus, petugas kesehatan
melaporkan kasus tersebut ke Dinas Kesehatan untuk menetapkan anggaran
yang akan digunakan dalam penanganan gizi kurang. Anggaran yang telah
diterima akan petugas bagi untuk penyelenggaraan program yang akan
dilaksanakan per triwulan. Disetiap pelaksanaannya, petugas kesehatan
memisahkan anggaran pembelian biaya makan untuk anak balita dengan biaya
transport yang akan diberikan agar anggaran selama program berlangsung tidak
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Untuk pembelian bahan makanan, petugas
kesehatan menyiapkan bahan setelah program CFC selesai dilaksanakan atau
setelah jam kerja selesai. Setelah selesai berbelanja, bahan makanan tersebut
diantar ke PustuKabonenauntuk keesokan harinya diolah oleh kader khusus
yang telah bertugas sebagai tukang masak untuk PMT Lokal balita gizi kurang.
Dari perencanaan tersebut dapat diketahui sasaran yang akan dicapai untuk
setiap diselenggarakannya program CFC. Perencanaan yang telah dibuat juga
bisa menjadi efektif apabila dilakukan dengan mendasari tujuan untuk

57

menurunkan angka gizi kurang pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas
Kamonji.
Upaya perencanaan dalam mengantisipasi kecenderungan dimasa yang
akan datang dengan menetapkan sasaran penemuan kasus gizi kurang
dikawasan terpencil yang kemungkinan besar sulit untuk mengakses tempat
pelayanan kesehatan. Hal ini sangat menguntungkan dimana balita yang
menderita gizi kurang maupun gizi buruk dapat diberikan penanganan lebih
awal dan bersifat komprehensif. Sesuai dengan petunjuk teknis program CFC
bahwa penanganan anak balita gizi kurang dilaksanakan agar dapat menjangkau
sebanyak mungkin kasus gizi kurang yang sangat membutuhkan perawatan.
Perencanaan ini dapat terlaksana dengan baik ditunjang dari segi jumlah tenaga
kesehatan yang memadai untuk mengoptimalkan pelaksanaan program CFC,
anggaran dana yang cukup serta fasilitas untuk menunjang keberhasilan
program terpenuhi.
Perencanaan kesehatan adalah sebuah proses untuk merumuskan
masalah-masalah kesehatan yang berkembang dimasyarakat, menentukan
kebutuhan dan sumber daya yang tersedia, menetapkan tujuan program yang
paling pokok dan menyusun langkah-langkah praktis untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan.33
5.3.3 Pengorganisasian Program CFC
Hasil wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti, pengorganisasian
yang ada di Puskesmas Kamonji sudah ada. Hal ini tidak dapat disesuaikan
dengan petunjuk teknis program CFC tahun 2012, dikarenakan tidak terdapat
syarat-syarat yang mengharuskan atau mengkhususkan latar belakang
58

pendidikan gizi yang bertanggung jawab dalam menjalankan program


CFC.Petugas yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan program CFC di
Puskesmas Kamonjiadalah petugas yang berlatar belakang pendidikan Sarjana
Kesehatan Masyarakat dan telah mendapatkan pelatihan khusus oleh Dinas
Kesehatan untuk menjalankan program CFC di Puskesmas Kamonji, dimana
petugas tersebut memiliki pemahaman dan keterampilan dalam menangani anak
balita gizi kurang yang lebih baik. Dalam pelaksanaan program CFC
hanyamemiliki satu petugas penanggung jawab program yang bertugas untuk
mengatur proses pelaksanaan program. Pengorganisasian di Puskesmas
Kamonji

sangat

berpengaruh

dalam

menjalankan

program

CFC.

Pengorganisasian yang sesuai dengan bidangnya dapat meningkatkan


efektivitas dan efesiensi dalam pelaksanaan program CFC. Dimana program
yang tepat sasaran memiliki pengaturan sumber daya atau petugas kesehatan
yang sesuai dengan bidang dari program CFC.
Proses yang menyangkut dalam strategi pengorganisasian dapat
didesain dalam sebuah struktur organisasi yang tepat dan tangguh dimana
penetapan penanggung jawab program CFC belum tepat yaitu bukana hli gizi,
yang dimana dapat memastikan dan mengontrol bahwa semua pihak dalam
organisasi dapat bekerja secara efektif dan efisien guna mencapai tujuan
organisasi. Maka dari itu, dalam mengoptimalkan kinerja dari petugas
kesehatan program CFC diharapkan mendapatkan penambahan tenaga
kesehatan terutama ahli gizi dan/atau memberikan pelatihan khusus penanganan

59

gizi kurang kepada petugas kesehatan yang bertanggung jawab terhadap CFC
agar dapat menggabungkan seluruh kemampuan yang dimilki untuk bekerja
sama guna mencapai tujuan dan sasaran menurunkan angka gizi kurang pada
anak balita diwilayah kerja Puskesmas Kamonji.
Berdasarkan observasi yang telah dilakukan oleh peneliti, untuk
pengorganisasian program CFC belum tepat karena penanggung jawab program
CFC bukan ahli gizi, melainkan sarjana kesehatan masyarakat. Selain itu,
peranan kader sangat penting dalam membantu pelaksanaan program. Dalam
membantu pelaksanaan program CFC, kader dapat membantu dengan cara
memasak dan membagikan makanan PMT Lokal kepada ibu balita dan
penanggung jawab program bertugas untuk memberikan penyuluhan kepada
ibu balita dalam menerangkan kandungan gizi yang baik untuk dikonsumsi oleh
anak balita. Sedangkan petugas pengabdi program CFC bertugas untuk
menginput data program yang telah terlaksana untuk dibuatkan pelaporan
pertanggung jawaban penyelenggaraan program.
5.3.4
Peserta Program CFC
Hasil wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti, petugas kesehatan
melakukan penyaringan kepada peserta program CFC untuk menentukan anak
balita yang sesuai diikutsertakan. Dalam penyaringan ini, petugas Puskesmas
Kamonji memilih daftar anak balita yang tergolong kategori bawah standar
anak gizi normal atau gizi kurang berdasarkan indikator BB/U dengan nilai Zscore: -2 SD sampai dengan <-3 SD dan BB/TB dengan nilai Z-score: -2 SD
sampai dengan <-3 SD.Bukan hanya penyaringan peserta, Puskesmas Kamonji

60

menetapkan batas untuk peserta disetiap triwulan yang diikutsertakan dalam


program CFC. Hal ini sesuai dengan petunjuk teknis program CFC tahun 2012,
bahwa program CFC dibentuk bertujuan untuk memperbaiki status gizi bayi
dan anak balita dengan tujuan khusus dilakukannya penapisan pada anak gizi
kurang yang berprioritas atau sangat membutuhkan penanganan.
Skrining atau penapisan adalah proses menggunakan tes dalam skala
besar untuk mengidentifikasi adanya penyakit pada orang sehat. Tes
skrining/penapisan biasanya tidak menegakkan diagnosis, melainkan untuk
mengidentifikasi faktor resiko pada individu, sehingga bisa menentukan apakah
individu membutuhkan tindak lanjut dan pengobatan. Untuk yang terdeteksi
sebagai individu yang sehat pun, bukan berarti terbebas 100% dari suatu
penyakit karena tes skrining/penapisan dapat salah.34
Berdasarkan observasi yang telah dilakukan, sebelum anak balita
didaftarkan sebagai peserta CFC di Puskesmas Kamonji, petugas CFC
menyaring anak balita yang diprioritaskan untuk mendapatkan penanganan
dengan cara melihat kategori ambang batas status gizi anak. Hal ini sangat
memprihatinkan dikarenakan masih juga terdapat anak balita yang setelah
selesai mengikuti program CFC, mengalami penurunan berat badan dan perlu
ditangani kembali.
5.3.5 Dukungan Masyarakat Terhadap Program CFC
Hasil wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti, bentuk dukungan
masyarakat terhadap program CFC yaitu masyarakat mempromosikan bahwa
adanya kegiatan CFC untuk membantu pengobatan anak balita yang menderita
61

gizi kurang dan apabila masyarakat sendiri yang menemukan kasus gizi kurang,
maka mereka yang akan melaporkan kepada petugas kesehatan agar anak balita
tersebut mendapatkan penanganan yang cepat dan tepat. Dukungan dalam
kegiatan program CFC dimaksudkan agar balita yang menderita gizi kurang
mendapatkan PMT Lokal yang tepat setiap hari selama 30 hari di luar jam
kegiatan CFC berlangsung dan setiap 10 haripertumbuhan balita dipantau
melalui penimbangan berat badan. Dukungan yang diberikan oleh masyarakat
sangat mempengaruhi keberhasilan dari program CFC yang ada di Puskesmas
Birobuli. Hal ini dikarenakan masyarakat ikut berperan penting dalam
menurunkan angka gizi kurang diwilayah kerja Puskesmas Kamonji. Program
CFC yang ada di Puskesmas Kamonji sangat membantu untuk meringankan
beban masyarakat yang kebanyakan tidak berprofesi sebagai PNS terkhususnya
bagi orang tua yang memiliki anak balita gizi kurang.
Menurut Sarafino (2006), dukungan adalah suatu bentuk kenyamanan,
perhatian,penghargaan, ataupun bantuan yang diterima individu dari orang yang
berarti, baik secara perorangan maupun kelompok.
Berdasarkan observasi, masyarakat yang ada di wilayah kerja
Puskesmas Kamonji sangat mendukung dengan adanya program CFC ini. Hal
ini sangat membantu dan memberikan motivasi kepada petugas program CFC
setiap diselenggarakannya program CFC untuk menurunkan angka gizi kurang
pada anak balita di Puskesmas Kamonji.
5.3.6 Konseling Ibu Dari Anak Balita Program CFC

62

Hasil wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti, konseling untuk


ibu balita telah dilakukan pada saat program CFC sedang berlangsung atau pada
saat ibu dari anak balita sedang menyuapi anak balitanya. Konseling yang
dilakukan oleh petugas CFC diberikan agar petugas mengetahui penyebab dari
anak balita bisa mengalami gizi kurang, cara penanggulangannya, memberikan
pemahaman asupan gizi yang sesuai dengan umur anak balita dan cara
mengasuh anak yang baik. Hal ini dikarenakan masyarakat yang memiliki
pendapatan rendah, dapat mempengaruhi status gizi seorang anak. Oleh karena
itu, konseling sangat penting untuk setiap diselenggarakan program CFC.
Konseling adalah pertemuan empat mata antara Klien dan Konselor
yang berisi usaha yang lurus, unik dan humanis yang dilakukan dalam
hubungan dengan masalahmasalah yang dihadapinya pada waktu yang akan
datang. Suasana keahlian didasarkan atas norma-norma yang berlaku.35
Berdasarkan hasil observasi, masih banyak ibu balita peserta program
CFC yang tidak mendapatkan konseling khusus atau konseling tatap muka
disetiap selesai program CFC diselenggarakan. Setelah mengikuti program
CFC, ibu balita beranjak pulang kerumah tanpa konsultasi yang sebenarnya
bertujuan untuk membantu masalah yang menyebabkan anaknya menderita gizi
kurang. Konseling ini diharapkan agar ibu bisa secara tenang menceritakan apa
saja masalah yang menyebabkan anak balitanya sakit, sehingga mendapatkan
bantuan solusi dan membuat anak balita tersebut mendapatkan asuhan orang tua
yang tepat.
63

5.3.7

Monitoring Dan Evaluasi Program CFC


Hasil wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti, monitoring dan

evaluasi program CFC di Puskesmas Kamonji berjalan dengan baik.


Monitoring program CFC dapat dilakukan setiap bulan dengan melihat laporan
kegiatan program bulanan dan laporan kegiatan program disetiap triwulan
program CFC. Untuk evaluasi program, dapat diketahui dari pelaporan jumlah
kasus gizi kurang yang ada diposyandu. Apabila kasus gizi kurang menurun,
maka dapat disimpulkan program CFC telah berjalan dengan baik. Hal ini dapat
mempengaruhi dan memperbaiki kualitas pelayanan yang diberikan oleh
petugas program CFC untuk menjadi lebih baik.
Monitoring merupakan aspek penting yang harus dilakukan dengan
baik dan berkesinambungan, aspek yang dimonitor meliputi input dan process
dan evaluasi dilakukam untuk mengetahui gambaran hasil pelaksanaan kegiatan
PMT Lokal Gizi Kurang yang meliputi output.4
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2008)
mengenai evaluasi program Pemberian Makanan Tambahan anak balita,
mekanisme pengawasan dilakukan oleh kepala puskesmas, petugas gizi
puskesmas dan bidan di masing-masing desa terhadap sasaran program PMTanak balita dengan pelaksanaan sesuai dengan pada petunjuk teknis yang sudah
ditetapkan. Pengawasan terhadap sasaran program sering dilakukan oleh
pengelola program PMT-anak balita. Keterbatasan petugas dalam memberikan
pengawasan terhadap makanan tambahan agar sampai pada balita yang telah
menjadi sasaran program karena petugas kesehatan puskesmas maupun petugas
64

kesehatan di desa tidak mungkin mengawasi ke rumah-rumah sasaran program


PMT-Balita.30
Hasil observasi yang telah dilakukan oleh peneliti, monitoring yang
dilakukan oleh petugas CFC hanya terfokus melihat buku laporan bulanan yang
dimiliki oleh posyandu. Hal ini sangat memprihatinkan, dimana petugas tidak
memantau secara langsung perkembangan dan pertumbuhan anak balita yang
telah mengikuti program CFC. Apabila petugas kesehatan secara langsung
untuk memonitoring, maka hal-hal yang menyebabkan timbulnya kembali
masalah gizi kurang dapat diantisipasi dengan cepat dan tepat serta dapat
memantau cara pengasuhan ibu kepada balitanya..
5.3.8

Pengetahuan Ibu Balita Terhadap Program CFC


Berdasarkan hasil penelitian, pengetahuan ibu kepada anaknya yang

menderita gizi kurang diketahui setelah ibu membawa anaknya ke Posyandu


untuk imunisasi dan pada saat anak balita ditimbang berat badannya oleh
petugas kesehatan, berat badannya belum memenuhi standar berat badan
normal untuk usia anak balita. Setelah diketahui anak balita menderita gizi
kurang, ibu diarahkan untuk mengikuti program khusus gizi kurang yaitu
program CFC.
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tau seorang
terhadap obyek melalui indera yang dimilikinya. Pengindraan terjadi melalui
pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa,
dan raba. Menurut teori WHO (World Health Organization) yang dikutip oleh
65

Notoatmodjo (2012), salah satu bentuk objek kesehatan dapat dijabarkan oleh
pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman sendiri.36
Tingkat pengetahuan ibu juga berpengaruh dalam mengelola dan
memberikan makanan kepada bayi dan balita sehingga tercukupi dengan baik.
Pada hasil observasi penelitian ini menyimpulkan bahwa tingkat pengetahuan
yang dimiliki ibu sangatlah minim karena pada umunya dilatar belakangi oleh
pendidikan terakhir yaitu sekolah dsasar. Dari program ini, ibu balita
diharapkan memahami pola asuh yang baik dan cara
Pengetahun atau kognitif merupakan domain yang sangat penting
untuk terbentuknya tindakan seseorang. Ada beberapa tingkatan pengetahuan
menurut

(Notoatmodjo,

2012),

yaitu

tahu

Know),

memahami

(Comprehention), dan aplikasi (Aplication). 36


5.3.9

Motivasi Ibu Mengikutsertakan Anak Balita Dalam Program CFC


Hasil wawancara yang telah peneliti lakukan, ibu memiliki motivasi

untuk mengikutsertakan anaknya dalam program CFC agar timbangan atau


berat badan anak balitanya mengalami perubahan yang lebih baik dan status
gizinya menjadi normal. Dari motivasi tersebut, diharapkan agar ibu anak balita
gizi kurang bukan hanya bergantung kepada petugas kesehatan dalam
menangani anaknya, melainkan ikut berperan dalam mengasuh dan
mempraktekkan dalam kesehariannya dirumah.
Motivasi berasal dari kata motif yang dapat diartikan sebagai kekuatan
yang terdapat dalam diri individu, yang menyebabkan individu tersebut

66

bertindak atau berbuat. Motif tidak dapat diamati secara langsung, tetapi dapat
diinterpretasikan dalam tingkah lakunya, berupa rangsangan dorongan, atau
pembangkit tenaga munculnya suatu tingkah laku tertentu.37
Hasil observasi yang dilakukan, ibu balita bukan hanya termotivasi
untuk memperbaiki status gizi anak balitanya, melainkan ibu balita
mendapatkan uang transportasi yang dimana uang tersebut digunakan sebagai
uang tambahan kehidupan sehari-hari. Hal ini tidak dipermasalahkan, yang
terpenting gizi anak balita tetap menjadi tujuan utama bagi ibu balitanya.

5.4

Output Pelaksanaan Asuhan CFC sebagai Program Penanganan Gizi


Kurang pada Anak Balita di Puskesmas Kamonji
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan kepala puskesmas dan
pelaksana program CFC mengenai output atau hasil program mengenai
penurunan angka gizi kurang secara signifikan pada balita yang merupakan
sasaran program selama diselenggarakannya program CFC didapatkan bahwa
terjadi penurunan angka gizi kurang yang ada di wilayah kerja Puskesmas
Kamonji untuk setiap tahunnya. Hal ini merupakan salah satu hasil akhir yang
diharapkan dari pelaksanaan program ini, oleh karena perubahan status gizi
seorang balita

saja akan berdampak pada penurunan angka kejadian gizi

kurang dalam satu wilayah kerja.


Penilaian perubahan status gizi ini juga dapat dengan mudah dinilai
berdasarkan hasil wawancara mengenai kenaikan berat badan pada anak balita
67

yang telah mengikuti program CFC dimana pada hasil wawancara didapatkan
bahwa terjadi kenaikan berat badan balita ibu yang mengikuti program ini, dan
hal ini pula tidak terlepas dari peran serta orang tua yang melanjutkan
perawatan di rumah.
Perubahan pola asuh ibu dari anak balita setelah mengikuti program
CFC di Puskesmas Kamonji belum dapat dievaluasi oleh karena petugas belum
terjun langsung untuk menilai setiap ibu dari balita dalam penerapan pola asuh
yang baik dan benar di rumah. Berdasarkan wawancara dengan orang tua balita
yang ikut dalam program tersebut, dikatakan bahwa selama penyelenggaraan
program ini belum pernah dilakukan konseling dan pembelajaran keluarga
terutama ibu tentang bagaimana pola asuh yang baik oleh petugas kesehatan
program CFC agar dapat dilakukan sehari-hari. Akibatnya salah satu tujuan dari
penyelenggaran

program

CFC

yakni

meningkatnya

pemahaman

dan

keterampilan anggota keluarga dalam mengolah, menyiapkan, dan memberikan


makanan yang baik kepada bayi dan anak balita belum dapat tercapai.
Hetherington & Whiting (1999) menyatakan bahwa pola asuh sebagai
proses interaksi total antara orang tua dengan anak, seperti proses pemeliharaan,
pemberian makan, membersihkan, melindungi dan proses sosialisasi anak
dengan lingkungan sekitar. Orang tua akan menerapkan pola asuh yang terbaik
bagi anaknya dan orang tua akan menjadi contoh bagi anaknya. 38

68

Respon yang positif datang dari orang tua balita yang ikut dalam
program CFC ini, mereka merasa sangat terbantu. Selain itu juga keuntungan
berlipat dirasakan oleh para orang tua balita selain mendapatkan makanan
tambahan, juga diberikan uang transportasi bagi setiap anak balita yang
terdaftar sebagai peserta program CFC.
5.4 Outcome Pelaksnaan Asuhan CFC sebagai Program Penanganan Gizi
Kurang pada Anak Balita di Puskesmas Kamonji
Evaluasi outcome dilakukan untuk menilai pengaruh program terhadap
tujuan umum program (programme goal). Evaluasi ini berhubungan dengan
penilaian pengaruh program terhadap masalah kesehatan yang dituju (menilai
pengaruh jangka panjang program). Tujuan umum dari program ini adalah
memperbaiki status gizi bayi dan anak balita. Berdasarkan hasil wawancara
dengan kepala puskesmas dan pelaksana program CFC, didapatkan bahwa
terjadi perbaikan gizi pada sebagian besar anak balita yang megikuti program
ini. Hal ini juga diperkuat oleh hasil wawancara dengan ibu anak balita yang
menyatakan bahwa anak mereka mengalami peningkatan berat badan.
Walaupun salah satu anak tidak mengalami kenaikan berat badan, namun hal ini
juga dapat dipengaruhi oleh faktor faktor lain seperti ketidak patuhan dalam
mengikuti program ataupun pola asuh orang tua di rumah yang tidak sesuai
dengan yang seharusnya,
Status gizi anak balita diukur berdasarkan umur, berat badan (BB) dan
tinggi badan (TB). Berat badan anak balita ditimbang menggunakan timbangan
69

digital yang memiliki presisi 0,1 kg, panjang atau tinggi badan diukur
menggunakan alat ukur panjang/tinggi dengan presisi 0,1 cm. Variabel BB dan
TB/PB anak balita disajikan dalam bentuk tiga indeks antropometri, yaitu
BB/U, TB/U, dan BB/TB. Untuk menilai status gizi anak balita, maka angka
berat badan dan tinggi badan setiap anak balita dikonversikan ke dalam nilai
terstandar (Z-score) menggunakan baku antropometri anak balita WHO 2005.2

70

BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Input pelaksanaan program CFC di Puskesmas Kamonji terdiri atas tenaga
kesehatan, sumber dana dan fasilitas kesehatan. Tenaga kesehatan pada
program CFC meliputi empat petugas kesehatan yakni kepala puskesmas
selaku penanggung jawab, pelaksana program sekaligus pengelola gizi,
bidan kelurahan dan bidan desa sebagai petugas pengabdi. Dana yang
digunakan berasal dari DAU (Dana Alokasi Umum) yaitu dana dari
pemerintah Kota Palu melalui dinas kesehatan. Fasilitas yang dimiliki
sudah tergolong memadai disamping karena penyelenggaraan program
CFC, pengelolah, serta penyediaan PMT- Lokal sepenuhnya dilakukan
secara mandiri oleh Puskesmas Kamonji.
b. Process dalam pelaksanaan program CFC yang terdiri atas teknis
pelaksanaan

program

CFC,

perencanaan

penyelenggaraan

pengorganisasian program, dan perekrutan peserta program, secara umum


sudah berjalan dengan baik dan beberapa sudah sesuai dengan pedoman
pelaksanaan asuhan CFC namun belum begitu maksimal. Dukungan positif

71

juga didapatkan dari masyarakat untuk pelaksanaan pogram ini, konseling


ibu dari anak balita sudah dilakukan, dan ibu ibu dari balita ter motivasi
untuk mengikutsertakan anak balita mereka dalam rangka perbaikan status
gizinya.

c. Output pelaksanaan program CFC dinilai dari status gizi anak yang
mengikuti program CFC sudah mengalami perbaikan. Penilaian perubahan
pola asuh ibu dari anak balita belum dilakukan oleh pihak Puskesmas
Kamonji namun ibu dari anak balita pada umumnya merasa sangat terbantu
dalam perbaikan gizi anak mereka dan sangat mendukung program ini.
d. Outcome pelaksanaan program CFC dinilai dari angka gizi kurang sudah
mengalami penurunan setiap tahunnya dan terjadi peningkatan berat badan
anak balita yang mengikuti program CFC.
6.2 Saran
Adapun beberapa saran yang dapat peneliti berikan sesuai dengan hasil penelitian
ini adalah sebagai berikut:
a.
Bagi Dinas Kesehatan untuk menambah kapasitas tenaga kesehatan untuk
lebih mengoptimalkan program CFC. Serta menyediakan tenaga pemasak
PMT Lokal program CFC untuk mengolah makanan sendiri. Hal ini dapat
mengajarkan secara langsung kepada ibu anak balita cara menyiapkan
b.

makanan yang tepat dan memiliki gizi tepat untuk anak balitanya.
Bagi petugas kesehatan diharapkan agar melaksanakan program mengikuti
perencanaan yang telah dibuat. Hal ini dapat mengoptimalkan sasaran dan
berkurangnya kasus gizi kurang pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas
Kamonji.

72

c.

Bagi peneliti selanjutnya diharapkan agar lebih baik lagi dalam


mengevaluasi suatu program khususnya untuk gizi kurang pada anak balita
melalui asuhan CFC sehingga memudahkan dalam mencari jalan keluar dari
permasalahan gizi anak di Kota Palu.

73

DAFTAR PUSTAKA
1. UNICEF, WHO, UNESCO, UNFPA, UNDP, UNAIDS, WFP, the World
Bank, dan Kementerian Kesehatan. Jakarta. 2010
2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI,
Riset Kesehatan Dasar 2013, Kementrian Kesehatan RI, Jakarta, 2013
3. Direktorat Bina Gizi, Sistem Informasi Gizi Direktorat Bina Gizi 2014,
Kementrian Kesehatan RI, 2014.
4. Dinkes Kota Palu. Profil Kesehatan Kota Palu Tahun 2014. Palu. 2014
5. Ingolo, F.,Sulteng Adopsi Penanganan Community Feeding Center
(CFC), Bantenpos. 2013.
6. Supariasa., Pengkajian Status Gizi Studi Epidemiologi. RSCM Instalasi
Gizi, Penerbit EGC. Jakarta. 2006
7. Arisman. Gizi Dalam Dasar Kehidupan. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2010
8. Simarmata. D,. Kajian Ketersediaan Pangan Rumah Tangga, Status
Ekonomi Keluarga, Pengetahuan Gizi Ibu Dengan Status Gizi Anak
Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Melati KecamatanPerbaungan Tahun
2009. Skripsi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
Utara, Medan. 2009
9. Wardlaw, G.M & Jeffrey, S.H. Perspectives in Nutrition. Seventh Edition.
Mc Graw Hill Companies Inc, New York. 2007.
10. Adriani dan Wijatmadi. Peranan Gizi dalam Siklus Kehidupan. Kencana
Prenada Media Group. Jakarta. 2012
11.

Ali, M & Asrori, M. Psikologi Remaja (Perkembangan Peserta Didik. Jakarta.


Bumi Aksara. 2009

12. Soetjiningsih. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC. 2012.


13. Proverawati, A & Wati, E K. Ilmu Gizi dan Kesehatan Gizi. Yulia Medika. 2011
14. Sediaoetama, A. Ilmu Gizi. Jakarta : Dian Rakyat. 2010.

74

15.Kemenkes
Kesehatan
RI.
Profil
http://www.depkes.go.id. 2011.

Kesehatan

Indonesia

2010.

16. Hartriyanti ,Y & Triyanti. Penilaian Status Gizi. In : Syafiq, A. Et all, eds. Gizi
Dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Rajagrafindo Persada. 2007.
17. Hammond, K. A. Dietary and Clinical Assessment. USA : Sauderr. 2004
18. Sutjipta. I Nyoman. Manajemen Sumberdaya Manusia. Universitas Udayana.
Bali. 2009
19. Anas Sudijono. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Ed.1 Cetakan.5. Jakarta : Raja
Grafindo Persada. 2005
20. Akdon . Strategic Management For Educational management. Bandung :
Alfabeta. 2007
21. Siagian, Sondang P. Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi pertama, Cetakan
Keempatbelas, Penerbit Bumi Aksara , Jakarta. 2007.
22. Azwar, Azrul. Pengantar Administrasi Kesehatan. Jakarta : Binarupa Aksara.
2010
23. PERGIZI. Penatalaksanaan Anak Balita Gizi Buruk dan Gizi Kurang di Pos
Pergizi atau Pos Gizi. Badan Penelitian & Pengembangan Kesehatan.
Jakarta. 2012.
24. Dinkes Kota Palu. Petunjuk Teknis Community Feeding Center (CFC). Seksi
Gizi. Palu.2012
25. Valade, J dan Bamberger, M. Monitoring and Evaluating Social Programs in
Developing Countries. A Handbook for Policymakers, Managers, and
Researchers. Evaluation Development Institutes (EDI) Development
Studies. The World Bank. Washington DC.1994
26. Cresswell, John W. Research Design : qualitative, quantitative, and Mixed
Methods Approaches, SAGE. 2003
27. Moleong. L.J. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT.Remaja Rosdakarya.
Bandung. 2006.
28. Puskesmas Kamonji. Profil Kesehatan Puskesmas Kamonji Tahun 2015.
Palu.2015

75

29. Supryanto, S, & Ernawaty. Manajemen dan Motivasi, Adminitrasi & Kebijakan
Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga,
Surabaya. 2009.
30. Handayani L. Evaluasi Program Pemberian Makanan Tambahan Anak Balita.
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan. 2008
31. Mulyatiningsih, Endang. Metode Penelitian Terapan Bidang pendidikan.
Bandung. Alfabeta. 2011.
32. Usman Nurdin. Konteks Implementasi bebrbasis Kurikulum. Yogyakarta :
Bintang Pustaka. 2002.
33. Muninjaya. Manajemen Kesehatan. Jakarta : Penerbit Buku kedoktera EGC.
2004.
34. Bonita R, et all. Basic Epidemiology (2nd Edition), World Health Organiation.
India. 2006.
35. Dewa

K.S. Pengantar Pelaksanaan Program Bmbingan dan Konseling di


Sekolah. Rineka Cipta. Jakarta. 2008

36. Notoatmodjo, Soekidjo. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Rineka


Cipta. 2012
37. Hamzah B. Uno. Teori Motivasi dan Pengukurannya Analisis di Bidang
Pendidikan. Bumi Aksara. Jakarta. 2008
38. Hetherington & Whiting. Child Psychology. New York : Mc Graw Hill. 1999

76

77

Anda mungkin juga menyukai