Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Gagal jantung adalah keadaan patofisiologik dimana jantung sebagai pompa tidak
mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Definisi gagal yaitu relatif
terhadap kebutuhan metabolik tubuh, penekanan arti gagal ditujukan pada fungsi pompa
jantung secara keseluruhan. Istilah gagal miokardium ditujukan spesifik pada fungsi
miokardium, gagal miokardium umumnya mengakibatkan gagal jantung, tetapi mekanisme
kompensatorik sirkulasi dapat menunda atau bahkan mencegah perkembangan menjadi gagal
jantung dalam fungsi pompanya(Brashaers,2007).
Angka kejadian CHF semakin meningkat dari tahun ke tahun, tercatat 1,5% sampai
2% orang dewasa di Amerika Serikat menderita CHF dan 700.000 diantaranya harus dirawat
di rumah sakit per tahun. Faktor risiko terjadinya gagal jantung yang paling sering adalah
usia lanjut, 75 % pasien yang dirawat dengan CHF berusia antara 65 dan 75 tahun. Terdapat 2
juta kunjungan pasien rawat jalan per tahun yang menderita CHF, biaya yang dikeluarkan
diperkirakan 10 miliar dollar per tahun. Faktor risiko terpenting untuk CHF adalah penyakit
arteri koroner dengan penyakit jantung iskemik. Hipertensi adalah faktor risiko terpenting
kedua untuk CHF. Faktor risiko lain terdiri dari kardiomiopati, aritmia, gagal ginjal, dan
penyakit katup jantung(Brashaers,2007).
Dengan data perkembangan seperti ini, penyakit jantung kongestif oleh kelainan
katup akan menyebabkan permasalahan yang signifikan bagi masyarakat global dan bukan
tidak mungkin dalam kurun beberapa tahun kedepan angka statistik ini akan bergerak naik
jika para praktisi medis khususnya tidak segera memperhatikan faktor risiko utama yang
menjadi awal mula penyakit ini. Dengan demikian perlu adanya penanganan dari segala
aspek baik secara biomedik maupun biopsikososial. Dan untuk itu kasus ini diangkat sebagai
salah satu bentuk tanggung jawab sebagai praktisi medis agar dapat mengenal penyakit ini
lebih rinci sebelum benar-benar mengaplikasikan teori pengobatan yang rasional.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Gagal Jantung Kongestif
A. Definisi Gagal Jantung Kongestif
Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung
sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan dan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian
volume diastolik secara abnormal (Suryadipraja,2004). Ketika ini terjadi, darah tidak
bergerak efisien melalui sistem peredaran darah dan mulai membuat cadangan,
meningkatkan tekanan di dalam pembuluh darah dan memaksa cairan dari pembuluh
darah ke jaringan tubuh (O'Brien,2006). Apabila tekanan pengisian ini meningkat
sehingga mengakibatkan edema paru dan bendungan di sistem vena, maka keadaan ini
disebut gagal jantung kongestif (Karim,2002).
B. Epidemiologi Gagal Jantung Kongestif
Gagal jantung kongestif lebih banyak terjadi pada usia lanjut (O'Brien,2006). Salah
satu penelitian menunjukkan bahwa gagal jantung terjadi pada 1% dari penduduk usia 50
tahun, sekitar 5% dari mereka berusia 75 tahun atau lebih, dan 25% dari mereka yang
berusia 85 tahun atau lebih. Karena jumlah orang tua terus meningkat, jumlah orang
yang didiagnosis dengan kondisi ini akan terus meningkat. Di Amerika Serikat, hampir 5
juta orang telah didiagnosis gagal jantung dan ada sekitar 550.000 kasus baru setiap
tahunnya. Kondisi ini lebih umum di antara Amerika, Afrika dari kulit putih
(O'Brien,2006).
Di Amerika Serikat gagal jantung merupakan suatu penyakit yang cepat
pertumbuhannya. Pada tahun 2006, prevalensi gagal jantung di Amerika Serikat sebesar
2,6 % dimana 3,1% pada laki-laki dan 2,1% pada perempuan (American Heart
Association,2010). Di Eropa (2005) prevalensi gagal jantung sebesar 2-2,5% pada semua
umur, dan pada usia diatas 80 tahun prevalensi gagal jantung >10%. Di London (1999)
sekitar 1,3 per 1.000 penduduk pada semua umur mengalami gagal jantung dan 7,4 per
1.000 penduduk pada usia 75 ke atas. Di Wales (2008), insidens gagal jantung pada lakilaki sebesar 10 per 1.000 pada usia 45-54 tahun, 20 per 1.000 pada usia 55-64 tahun, 40
per 1.000 pada usia 65-74 tahun, 90 per 1.000 pada usia > 75 tahun dan pada semua
umur yang berjenis kelamin laki-laki sebesar 20 per 1.000 orang (Health Wales
2

Survey,2009). Insidens gagal jantung pada perempuan 10 per 1.000 pada usia 55-64
tahun, 20 per 1.000 pada usia 65-74 tahun, 60 per 1.000 pada usia > 75 tahun dan pada
semua umur yang berjenis kelamin perempuan sebesar 10 per 1.000 orang (American
Heart Association,2010). Di Indonesia pada tahun 2007 jumlah kasus baru kunjungan
rawat jalan sebanyak 38.438 orang dengan proporsi 9,88% dan kunjungan rawat inap
sebanyak 18.585 orang dengan proporsi 18,23% sedangkan Case Fatality Rate (CFR)
13.420 per 100.000. Di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan, jumlah penderita gagal
jantung yang dirawat inap pada tahun 2000 sebanyak 75 orang, kemudian meningkat
pada tahun 2001 menjadi 114 orang,dan meningkat lagi pada tahun 2002 menjadi 155
orang (Silalahi,2004).
C. Faktor Resiko Gagal Jantung Kongestif
a Umur
Umur berpengaruh terhadap kejadian gagal jantung walaupun gagal jantung
dapat dialami orang dari berbagai golongan umur tetapi semakin tua seseorang maka
akan semakin besar kemungkinan menderita gagal jantung karena kekuatan pembuluh
darah tidak seelastis saat muda dan juga timbulnya penyakit jantung yang lain pada
usia lanjut yang merupakan faktor resiko gagal jantung (Mariyono,2007). Menurut
penelitian Siagian di Rumah Sakit Haji Adam Malik (2009) proporsi penderita gagal
jantung semakin meningkat sesuai dengan bertambahnya usia yaitu 9,6% pada usia
15 tahun, 14,8% pada usia 16-40 tahun dan 75,6% pada usia >40 tahun.
Jenis kelamin

Pada umumnya laki-laki lebih beresiko terkena gagal jantung daripada


perempuan. Hal ini disebabkan karena perempuan mempunyai hormon estrogen yang
berpengaruh terhadap bagaimana tubuh menghadapi lemak dan kolesterol.
c

Penyakit Jantung Koroner


Penyakit jantung koroner dalam Framingham study dikatakan sebagai penyebab
gagal jantung 46% pada laki-laki dan 27% pada wanita. Faktor risiko koroner seperti
diabetes dan merokok juga merupakan f aktor yang dapat berpengaruh pada
perkembangan dari gagal jantung. Selain itu berat badan serta tingginya rasio
kolesterol total dengan kolesterol HDL juga dikatakan sebagai faktor risiko
independen perkembangan gagal jantung (Mariyono,2007).

Hipertensi

Hipertensi merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan tekanan darah yang
tinggi terus-menerus. Ketika tekanan darah terus di atas 140/80, jantung akan
semakin kesulitan memompa darah dengan efektif dan setelah waktu yang lama,
risiko berkembangnya penyakit jantung meningkat. Hipertensi dapat menyebabkan
gagal jantung melalui beberapa mekanisme, termasuk hipertrofi ventrikel kiri.
Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan
diastolik dan meningkatkan risiko terjadinya infark miokard, serta memudahkan
untuk terjadinya aritmia baik itu aritmia atrial maupun aritmia ventrikel.
Ekokardiografi yang menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri berhubungan kuat dengan
e

perkembangan gagal jantung (Mariyono,2007).


Penyakit katup jantung
Penyakit katup sering disebabkan oleh penyakit jantung rematik. Penyebab
utama terjadinya gagal jantung adalah regurgitasi mitral dan stenosis aorta.
Regurgitasi mitral dan regurgitasi aorta menyebabkan kelebihan beban volume
(peningkatan preload) sedangkan stenosis aorta menimbulkan beban tekanan

(peningkatan afterload) (Mariyono,2007).


Penyakit Jantung Bawaan
Penyakit jantung bawaan (PJB) adalah penyakit dengan kelainan pada struktur
jantung atau fungsi sirkulasi jantung yang dibawa dari lahir yang terjadi akibat
adanya gangguan atau kegagalan perkembangan struktur jantung pada fase awal
perkembangan janin.11 Penyakit jantung bawaan bisa terdiagnosis sebelum kelahiran
atau sesaat setelah lahir, selama masa anak-anak, atau setelah dewasa. Penyakit
jantung bawaan dengan adanya kelainan otot jantung akan mengarah pada gagal

jantung.
Penyakit Jantung Rematik
Penyakit Jantung Rematik (PJR) atau Rheumatic Heart Disease (RHD) adalah
suatu kondisi dimana terjadi kerusakan pada katup jantung yang bisa berupa
penyempitan, atau kebocoran, terutama katup mitral (stenosis katup mitral) sebagai
akibat adanya gejala sisa dari demam Rematik. Demam rematik akut dapat
menyebabkan peradangan pada semua lapisan jantung. Peradangan endokardium
biasanya mengenai endotel katup, dan erosi pinggir daun katup. Bila miokardium
terserang akan timbul nodular yang khas pada dinding jantung sehingga dapat
menyebabkan

pembesaran

jantung

(Mariyono,2007).
Aritmia

yang

berakhir

pada

gagal

jantung

Aritmia adalah berkurangnya efisiensi jantung yang terjadi bila kontraksi atrium
hilang (fibrilasi atrium, AF). Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal
jantung dan dihubungkan dengan kelainan struktural termasuk hipertofi ventrikel kiri
i

pada penderita hipertensi (Mariyono,2007).


Kardiomiopati
Kardiomiopati merupakan penyakit pada otot jantung yang bukan disebabkan
oleh penyakit jantung koroner, hipertensi, penyakit jantung kongenital, ataupun
penyakit katup jantung. Kardiomiopati ditandai dengan kekakuan otot jantung dan
tidak membesar sehingga terjadi kelainan fungsi diastolik (relaksasi) dan
menghambat fungsi ventrikel (Mariyono,2007).

Merokok dan Konsumsi Alkohol


Kebiasaan merokok merupakan faktor risiko penyakit jantung. Merokok
mempercepat denyut jantung, merendahkan kemampuan jantung dalam membawa
dan mengirimkan oksigen, menurunkan level HDL-C (kolesterol baik) di dalam
darah, serta menyebabkan pengaktifan platelet, yaitu sel-sel penggumpalan darah.
Pengumpalan cenderung terjadi pada arteri jantung, terutama jika sudah ada endapan
kolesterol di dalam arteri. Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung,
menimbulkan gagal jantung akut maupun gagal jantung akibat aritmia (tersering
atrial fibrilasi). Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan kardiomiopati
dilatasi (penyakit otot jantung alkoholik). Alkohol menyebabkan gagal jantung 2
3% dari kasus (Mariyono,2007).

D. Etiologi Gagal Jantung Kongestif


Penyebab gagal jantung dapat berupa faktor dari dalam jantung itu sendiri maupun
dari luar. Faktor dari dalam lebih sering karena terjadinya kerusakan-kerusakan yang
sudah dibawa, sedangkan faktor dari luar cukup banyak, antara lain: penyakit jantung
koroner, hipertensi, dan diabetes mellitus. Terdapat tiga kondisi yang mendasari
terjadinya gagal jantung, yaitu:

a Gangguan mekanik; beberapa faktor yang mungkin bisa terjadi secara tunggal atau
bersamaan yaitu :

Beban volume (volume overload), misal: insufisiensi aorta atau mitral, left to
right shunt, dan transfusi berlebihan

Beban tekanan (pressure overload), misal: hipertensi, stenosis aorta, koartasio

aorta, dan hipertrofi kardiomiopati


Hambatan pengisian, misal: constrictive pericarditis dan tamponade
Tamponade jantung atau konstriski perikard (jantung tidak dapat diastole).
Obstruksi pengisian bilik
Aneurisma bilik dan disinergi bilik
Restriksi endokardial atau miokardial

b Abnormalitas otot jantung

Kelainan miokardium (otot): kardiomiopati, miokarditis metabolik (DM, gagal

ginjal kronik, anemia), toksin atau sitostatika.


Kelainan disdinamik sekunder: Deprivasi oksigen (penyakit jantung koroner),
kelainan metabolic, peradangan, penyakit sistemik, dan penyakit Paru Obstruksi
Kronis

c Gangguan irama jantung atau gangguan konduksi: misalnya, irama tenang, fibrilasi,
takikardia atau bradikardia ekstrim, asinkronitas listrik.

Perubahan-perubahan yang terlihat pada gagal jantung: (Price,1994)


1
2
3

Keterangan :
Gambar 1 : Jantung normal.
Gambar 2 : Dinding jantung merentang dan bilik-bilik jantung membesar, dinding
jantung merentang untuk menahan lebih banyak darah.
Gambar 3 : Dinding-dinding jantung menebal, dinding otot jantung menebal untuk
memompa lebih kuat.

E. Mekanisme Kompensasi pada Jantung


6

Secara keseluruhan, perubahan yang terjadi pada fungsi jantung yang berhubungan
dengan gagal jantung dapat menurunkan daya kontraktilitas (Klabunde,2007). Ketika
terjadi penurunan daya kontraktilitas, jantung berkompensasi dengan adanya kontraksi
paksaan yang kemudian dapat meningkatkan cardiac output. Pada gagal jantung
kongestif, kompensasi ini gagal terjadi sehingga kontraksi jantung menjadi kurang
efisien. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan stroke volume yang kemudian
menyebabkan peningkatan denyut jantung untuk dapat mempertahankan cardiac output.
Peningkatan denyut jantung ini lama-kelamaan berkompensasi dengan terjadinya
hipertrofi miokardium, yang disebabkan peningkatan diferensiasi serat otot jantung untuk
mempertahankan kontaktilitas jantung. Jika dengan hipertrofi miokardium, jantung
masih belum dapat mencapai stroke volume yang cukup bagi tubuh, terjadi suatu
kompensasi

terminal

berupa

peningkatan

volume

ventrikel

(Heart

Failure

Pathophysiology,2010).
Gagal jantung kongestif terkompensasi adalah kondisi dengan fraksi ejeksi
rnenurun tetapi curah jantung dapat dipertahankan oleh mekanisme-mekanisme berikut
ini dengan atau tanpa terapi obat.
a

Mekanisme kompensasi sentral termasuk hubungan Frank-Starling dan hipertrofi


ventrikel

akibat

peningkatan

preload

atau

after-load.

Preload

seringkali

menunjukkan adanya suatu tekanan diastolik akhir atau volume pada ventrikel kiri
dan secara klinis dinilai dengan mengukur tekanan atrium kanan. Tolak ukur akhir
pada stroke volume adalah afterload. Afterload adalah volume darah yang dipompa
b

oleh otot jantung, yang biasanya dapat dilihat dari tekanan arteri rata-rata.
Mekanisme kompensasi perifer mengakibatkan (1) aktivasi sistem renin-angiotensin,
(2) peningkatan kadar hormon-hormon endogen lokal dan sirkulasi yang bersifat
kontra-regulasi terhadap renin-angiotensin, (3) aktivasi dari sistem saraf simpatis
dengan peningkatan kadar nor-epinefrin serum, (4) redistribusi curah jantung untuk
mompertahankah aliran darah ke jantung dan otak, dan (5) peninggian kadar 2,3difos-fogliserat (DPG).

F. Diagnosis Gagal Jantung Kongestif


Tanda serta gejala penyakit gagal jantung dapat dibedakan berdasarkan bagian
mana dari jantung itu yang mengalami gangguan pemompaan darah, lebih jelasnya
sebagai berikut: (Figueroa,2006)
a Gagal jantung sebelah kiri; menyebabkan pengumpulan cairan di dalam paru-paru
(edema pulmoner), yang menyebabkan sesak nafas yang hebat. Pada awalnya sesak
7

nafas hanya dirasakan saat seseorang melakukan aktivitas, tetapi sejalan dengan
memburuknya penyakit maka sesak nafas juga akan timbul pada saat penderita tidak
melakukan aktivitas. Sedangkan tanda lainnya adalah cepat letih (fatigue),
gelisah/cemas (anxiety), detak jantung cepat (tachycardia), batuk-batuk serta irama
b

denyut jantung tidak teratur (aritmia).


Gagal jantung sebelah kanan; cenderung mengakibatkan pengumpulan darah yang
mengalir ke bagian kanan jantung. Sehingga hal ini menyebabkan pembengkakan di
kaki, pergelangan kaki, tungkai, perut (ascites) dan hati (hepatomegaly). Tanda
lainnya adalah mual, muntah, keletihan, detak jantung cepat serta sering buang air

kecil (urin) dimalam hari (Nocturia).


Tabel 1. Klasifikasi gagal jantung berdasarkan kelainan struktural (ACC/AHA) atau
berdasarkan gejala, berdasarkan kelas fungsionalnya (NYHA) (Mann,2008)
Tahapan Gagal Jantung berdasarkan Beratnya gagal jantung berdasarkan gejala dan
struktural dan kerusakan otot jantung.
aktivitas fisik.
Stage A
Memiliki risiko tinggi Kelas I Aktivitas fisik tidak terganggu, aktivitas
mengembangkan
gagal
yang
umum
dilakukan
tidak
jantung. Tidak ditemukan
menyebabkan kelelahan, palpitasi, atau
kelainan struktural atau
sesak nafas.
fungsional, tidak terdapat
tanda/gejala.
Stage B
Secara struktural terdapat Kelas II Aktivitas fisik sedikit terbatasi. Saat
kelainan jantung yang
istirahat tidak ada keluhan. Tapi aktivitas
dihubungkan dengan gagal
fisik
yang
umum
dilakukan
jantung,
tapi
tanpa
mengakibatkan kelelahan, palpitasi atau
tanda/gejala gagal jantung.
sesak nafas.
Stage C
Gagal jantung bergejala Kelas Aktivitas fisik sangat terbatasi. Saat
dengan kelainan struktural
III
istirahat tidak ada keluhan. Tapi aktivitas
jantung.
ringan menimbulkan rasa lelah, palpitasi,
atau sesak nafas.
Stage D
Secara struktural jantung Kelas Tidak
dapat
beraktivitas
tanpa
telah mengalami kelainan
IV
menimbulkan keluhan. Saat istirahat
berat, gejala gagal jantung
bergejala. Jika melakukan aktivitas fisik,
terasa saat istirahat walau
keluhan bertambah berat.
telah
mendapatkan
pengobatan.
Tabel 2. Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung(Mann,2008)
Kriteria Mayor:
Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopnea
Distensi vena leher
Rales paru
Kardiomegali pada hasil rontgen
Edema paru akut
S3 gallop
Peningkatan tekanan vena pusat > 16 cmH2O pada atrium kanan
8

Hepatojugular reflux
Penurunan berat badan 4,5 kg dalam kurun waktu 5 hari sebagai respon pengobatan
gagal jantung
Kriteria Minor:
Edema pergelangan kaki bilateral
Batuk pada malam hari
Dyspnea on ordinary exertion
Hepatomegali
Efusi pleura
Takikardi 120x/menit
Diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan jika terdapat minimal 1 kriteria mayor dan
2 kriteria minor
G. Pemeriksaan Penunjang Gagal Jantung Kongestif
a

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan pada gagal jantung antara lain
adalah: darah rutin, urine rutin, elektrolit (Na & K), ureum & kreatinine, SGOT/PT,
dan BNP. Pemeriksaan ini mutlak harus dilakukan pada pasien dengan gagal jantung
karena beberapa alasan berikut: (1) untuk mendeteksi anemia, (2) untuk mendeteksi
gangguan elektrolit (hipokalemia dan/atau hiponatremia), (3) untuk menilai fungsi
ginjal dan hati, dan (4) untuk mengukur brain natriuretic peptide (beratnya gangguan
hemodinamik) (Hess dan Carrol,2007).

Pemeriksaan Foto thoraks


Tabel 3. Temuan pada Foto Toraks, Penyebab, dan Implikasi Klinis (Mann,2008)
Kelainan
Penyebab
Implikasi Klinis
Kardiomegali
Dilatasi ventrikel kiri, ventrikel
Ekhokardiografi,
kanan, atria, efusi perikard
doppler
Hipertropi ventrikel Hipertensi, stenosis aorta,
Ekhokardiografi,
kardiomiopati hipertropi
doppler
Kongesti vena paru Peningkatan tekanan pengisian
Gagal jantung kiri
ventrikel kiri
Edema interstisial
Peningkatan tekanan pengisian
Gagal jantung kiri
ventrikel kiri
Efusi pleura
Gagal jantung dengan peningkatan Pikirkan diagnosis non
pengisian tekanan jika ditemukan
kardiak
bilateral, infeksi paru, keganasan
Garis Kerley B
Peningkatan tekanan limfatik
Mitral stenosis atau
gagal jantung kronis

Pemeriksaan EKG
Elektrokardiografi memperlihatkan beberapa abnormalitas pada sebagian besar
pasien (80-90%), antara lain: (Gray,2007)

Gelombang Q yang menunjukkan adanya infark miokard dan kelainan gelombang

ST-T menunjukkan adanya iskemia miokard.


LBBB (left bundle branch block), kelainan ST-T dan pembesaran atrium kiri

menunjukkan adanya disfungsi bilik kiri


LVH (left ventricular hypertrophy) dan inverse gelombang T menunjukkan

adannya stenosis aorta dan penyakit jantung hipertensi


Aritmia jantung
d Pemeriksaan Ekokardiografi
Ekokardiografi merupakan pengujian non invasif yang paling bermanfaat dalam
membantu

menilai struktur

dan

fungsi

jantung. Pemeriksaan ini merupakan

baku utama (gold standard) untuk menilai gangguan fungsi sistol ventrikel kiri
dan membantu memperkirakan hasil dan kemampuan bertahan kasus gagal jantung.
Tabel 4. Temuan Echocardiography pada Gagal Jantung(Mann,2008)
TEMUAN UMUM

DISFUNGSI SISTOLIK

Ukuran dan bentuk


Ejeksi fraksi ventrikel kiri
ventrikel
berkurang <45%
Ejeksi fraksi ventikel Ventrikel kiri membesar
kiri (LVEF)
Dinding ventrikel kiri
Gerakan regional
tipis
dinding jantung,
Remodelling eksentrik
synchronisitas
ventrikel kiri
kontraksi ventrikular Regurgitasi ringan-sedang
Remodelling LV
katup mitral*
(konsentrik vs
Hipertensi pulmonal*
eksentrik)
Pengisian mitral
Hipertrofi ventrikel kiri
berkurang*
atau kanan (Disfunfsi Tanda-tanda
Diastolik : hipertensi,
meningkatnya tekanan
COPD, kelainan
pengisian ventrikel*
katup)
Morfolofi dan beratnya
kelainan katup
Mitral inflow dan aortic
outflow; gradien
tekanan ventrikel
kanan
Status cardiac output
(rendah/tinggi)
Keterangan : * Temuan pada echo-doppler.
e

Tes latihan fisik

10

DISFUNGSI DIASTOLIK
Ejeksi fraksi ventrikel kiri
normal > 45-50%
Ukuran ventrikel kiri normal
Dinding ventrikel kiri tebal,
atrium kiri berdilatasi
Remodelling eksentrik
ventrikel kiri.
Tidak ada mitral regurgitasi,
jika ada minimal.
Hipertensi pulmonal*
Pola pengisian mitral
abnormal.*
Terdapat tanda-tanda tekanan
pengisian meningkat.

Tes latihan fisik sering dilakukan untuk menilai adanya iskemia miokard dan
pada beberapa kasus untuk mengukur konsumsi oksigen maksimum (V O2 maks),
yaitu kadar dimana konsumsi oksigen lebih lanjut. V O2 maks merupakan kadar
dimana konsumsi oksigen lebuh lanjut tidak akan meningkat meskipun terdapat
peningkatan latihan lebih lanjut. VO2 maks menunjukkan batas toleransi latihan
aerobik dan sering menurun pada gagal jantung.
f

Kateterisasi jantung
Kateterisasi jantung dilakukan pada semua gagal jantung yang penyebabnya
belum diketahui. Dengan kateterisasi jantung maka dapat diketahui besar tekanan
ruang-ruang jantung dan pembuluh darah serta penentuan besarnya curah jantung.

H. Penatalaksanaan Gagal Jantung Kongestif


a Penatalaksanaan Nonfarmakologis
Tabel 5. Topik Keterampilan Merawat Diri yang perlu dipahami penderita Gagal Jantung
Kongestif.(Dickstain dkk,2008)
Topik Edukasi

Keterampilan dan Perilaku Perawatan Mandiri

Definisi dan etiologi gagal

Memahami penyebab gagal jantung dan mengana

jantung
Gejala-gejala dan tanda-

keluhan-keluhan timbul
Memantau tanda-tanda dan gejala-gejala gagal jantung
Mencatat berat badan setiap hari
Mengetahui kapan menghubungi petugas kesehatan
Menggunakan terapi diuretik secara fleksibel sesuai

tanda gagal jantung

Terapi farmakologik

Modifikasi faktor risiko


Rekomendasi diet
Rekomendasi olah raga
Kepatuhan
Prognosis

anjuran
Mengerti indikasi, dosis dan efek dari obat-obat
digunakan
Mengenal efek samping yang umum obat
Berhenti merokok, memantau tekanan darah
Kontrol gula darah (DM), hindari obesitas
Restriksi garam, pantau dan cegah malnutrisi
Melakukan olah raga teratur
mengikuti anjuran pengobatan
Mengerti pentingnya faktor-faktor prognostik dan
membuat keputusan realistik

b Penatalaksanaan Farmakologis (Scottish Intercollegiate Guidelines Network,2007)


Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors (ACEI)

11

ACEI harus digunakan pada semua pasien dengan gagal jantung yang
simtomatik dan LVEF < 40%. Pasien yang harus mendapatkan ACEI :

LVEF < 40%, walaupun tidak ada gejala.


Pasien gagal jantung disertai dengan regurgitasi

Kontraindikasi yang patut diingat antara lain :

Riwayat adanya angioedema


Stenosis bilateral arteri renalis
Konsentrasi serum kalsium > 5.0 mmol/L
Serum kreatinin > 220 mmol/L (>2.5 mg/dl)
Stenosis aorta berat

Angiotensin Receptor Blocker (ARB)


Pada pasien dengan tanpa kontraindikasi dan tidak toleran dengan ACE, ARB
direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung dan LVEF < 40% yang tetap
simtomatik walau sudah mendapatkan terapi optimal dengan ACEI dan BB, kecuali
telah mendapat antagonis aldosteron.
Pasien yang harus mendapatkan ARB:

Left ventrikular ejection fraction (LVEF)< 40%


Sebagai pilihan lain pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas

fungsional II-IV NYHA) yang tidak toleran terhadap ACEI.


Pasien dengan gejala menetap (kelas fungsionaal II-IV NYHA) walaupun sudah
mendapatkan pengobatan dengan ACEI dan bete bloker.

-bloker / Penghambat sekat- (BB)


Alasan penggunaan beta bloker (BB) pada pasien gagal jantung adalah adanya
gejala takikardi dan tingginya kadar katekolamin yang dapat memperburuk kondisi
gagal jantung. Pasien dengan kontraindikasi atau tidak ditoleransi, BB harus diberikan
pada pasien gagal jantung yang simtomatik, dan dengan LVEF < 40%.
Manfaat beta bloker dalam gagal jantung melalui:

Mengurangi detak jantung : memperlambat fase pengisian diastolik sehingga

memperbaiki perfusi miokard.


Meningkatkan LVEF
Menurunkan tekanan baji kapiler pulmonal

Pasien yang harus mendapat BB:

LVEF < 40%

12

Gejala gagal jantung sedang-berat (NYHA kelas fungsional II-IV), pasien dengan

disfungsi sistolik ventrikel kiri setelah kejadian infark miokard.


Dosis optimal untuk ACEI dan/atau ARB (dan aldosterone antagonis jika

diindikasikan).
Pasien harus secara klinis stabil (tidak terdapat perubahan dosis diuresis). Inisiasi
terapi sebelum pulang rawat memungkinkan untuk diberikan pada pasien yang
baru saja masuk rawat karena gagal jantung akut, selama pasien telah membaik
dengan terapi lainnya, tidak tergantung pada obat inotropik intravenous, dan
dapat diobservasi di rumah sakit setidaknya 24 jam setelah dimulainya terapi BB.

Kontraindikasi :

Asthma (COPD bukan kontranindikasi).


AV blok derajat II atau III, sick sinus syndrome (tanpa keberadaan pacemaker),
sinus bradikardi (<50 bpm).

Diuretik
Penggunaan diuretik pada gagal jantung :

Periksa selalu fungsi ginjal dan serum elektrolit.


Kebayakan pasien diresepkan loop diuretik dibandingkan thiazid karena

efektivitasnya yang lebih tinggi dalam memicu diuresis dan natriuresis.


Selalu mulai dengan dosis rendah dan tingkatkan hingga terrdapat perbaikan
klinis dari segi tanda dan gejala gagal jantung. Dosis harus disesuaikan, terutama
setelah berat badan kering normal telah tercapai, hindari risiko disfungsi ginjal
dan dehidrasi. Upayakan untuk mencapai hal ini dengan menggunakan dosis

diuretik serendah mungkin.


Penyesuaian dosis sendiri oleh pasien berdasarkan pengukuran berat badan harian
dan tanda-tanda klinis lainnya dari retensi cairan harus selalu disokong pada
pasien gagal jantung rawat jalan. Untuk mencapai hal ini diperlukan edukasi
pasien.

Antagonis Aldosteron
Pasien yang seharusnya mendapat antagonis aldosteron :

LVEF < 35%


Gejala gagal jantung sedang- berat ( kelas fungsional III-IV NYHA)
Dosis optimal BB dan ACEI atau ARB

Memulai pemberian spironolakton :


13

Periksa fungsi ginjal dan elektrolit serum


Pertimbangkan peningkatan dosis setelah 4-8 minggu. Jangan meningkatkan
dosis jika terjadi penurunan fungsi ginjal atau hiperkalemia.

Hydralizin & Isosorbide Dinitrat (ISDN)


Pasien yang harus mendapatkan hidralizin dan ISDN berdasarkan banyak uji klinis
adalah:

Sebagai alternatif ACEI/ARB ketika keduanya tidak dapat ditoleransi.


Sebagai terapi tambahan terhdap ACEI jika ARB atau antagonis aldosteron tidak

dapat ditoleransi.
Manfaat pengobatan lebih jelas ditemukan pada keturunan Afrika-Amerika.

Kontraindikasinya antara lain hipotensi simtomatik, sindroma lupus, gagal ginjal berat
(pengurangan dosis mungkin dibutuhkan).

Glikosida Jantung (Digoxin)


Digoksin memberikan keuntungan pada terapi gagal jantung dalam hal :

Memberikan efek inotropik positif yang menghasilkan perbaikan dan fungsi

ventrikel kiri.
Menstimulasi baroreseptor jantung
Meningkatkan penghantaran natrium ke tubulus distal sehingga menghasilkan

penekanan sekresi renin dari ginjal.


Menyebabkan aktivasi parasimpatik sehingga menghasilkan peningkatan vagal

tone.
Pasien atrial fibrilasi dengan irama ventrikular saat istirahat> 80x/menit, dan saat

aktivitas > 110-120x/ menit harus mendapatkan digoksin.


Pasien dengan irama sinus dan disfungsi sistolik ventrikel kiri (LVEF < 40%)
yang mendapatkan dosis optimal diuretik, ACEI atau/ dan ARB, beta bloker dan
antagonis aldosteron jika diindikasikan, yang tetap simtomatis, digoksin dapat
dipertimbangkan.

Antikoagulan (Antagonis Vit-K)


Temuan yang perlu diingat :

14

Pada pasien atrial fibrilasi yang dilibatkan pada serangkaian uji klinis acak,
termasuk pada pasien dengan gagal jantung, warfarin ditemukan dapat

mengurangi risiko stroke dengan 60-70%.


Warfarin juga lebih efektif dalam mengurangi risiko stroke dibanding terapi
antiplatelet, dan lebih dipilih pada pasien dengan risiko stroke yang lebih tinggi,

seperti yang ditemukan pada pasien dengan gagal jantung.


Tidak terdapat peranan antikoagulan pada pasien gagal lainnya, kecuali pada

mereka yang memiliki katup prostetik.


Pada analisis dua uji klinis skala kecil yang membandingkan efektifitas warfarin
dan aspirin pada pasien dangan gagal jantung, ditemukan bahwa risiko perawatan
kembali secara bermakna lebih besar pada pasien yang mendapat terapi aspirin,
dibandingkan warfarin.

I.

Prognosis Gagal Jantung Kongestif


Secara umum, mortalitas pasien gagal jantung rawat inap sebesar 5-20% dan
pada pasien rawat jalan sebesar 20% pada tahun pertama setelah diagnosis. Angka ini
dapat meningkat sampai 50% setelah 5 tahun pasca diagnosis. Mortalitas pasien gagal
jantung dengan NYHA kelas IV, ACC/AHA tingkat D sebesar lebih dari 50% pada
tahun pertama.

BAB III
PENYAJIAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama

: Ny. A

Umur

: 58 Tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Nomor RM

: 290

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Status Pernikahan

: Menikah

Agama

: Protestan

Suku

: Dayak

Alamat

: Dsn. Pasukayu Ds. Marunsu Kec.Samalantan


Kab. Bengkayang

Tanggal berobat

: 02 November 2016
15

B. Anamnesis (Dilakukan pada tanggal 02 November 2016)


a. Keluhan Utama
Sesak napas
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Dialami memberat sejak tadi malam, dirasakan tidak terus-menerus, dipengaruhi
aktivitas termasuk bila melakukan kegiatan-kegiatan sedang di rumah seperti
menyapu/mengepel atau menaiki tangga, terasa makin memberat jika berjalan 10
meter, tidak bisa tidur terlentang karena akan semakin terasa sesak dan merasa lebih
nyaman tidur malam dengan memakai 2-3 susun bantal, kadang terbangun pada
malam hari karena merasa sesak. Pasien menyangkal sesak karena debu, udara dingin,
asap, bulu binatang dan makanan tertentu, mengi (-), nyeri dada (-). Batuk (+),
dialami bersamaan dengan sesak, lebih sering pada malam hari, lendir (+) warna
putih, darah (-). Demam (-), riwayat demam (-). Sakit kepala (+) disertai tengkuk
terasa tegang. Terdapat bengkak ringan pada kaki dialami sejak 3 hari yang lalu.
Mual(-), muntah (-), keluhan nyeri ulu hati (-), BAB : biasa, warna kunning, BAK :
lancar 2-4 kali/hari, warna kuning jernih.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
- Pasien didiagnosa menderita gagal jantung kongestif sejak Juni 2013, dengan
riwayat perawatan di RSU Bethesda Serukam tanggal 5 Juni 2013 selama 1
-

minggu, pasien sering mengeluhkan sesak dan kaki bengkak,


Pasien menderita hipertensi sejak 10 tahun, sudah menjalani pengobatan
hipertensi selama 10 tahun, obat-obatan yang dikonsumsi adalah Captopril

2x25mg dan Amlodipin 1x10mg, sudah 1 tahun terakhir rutin kontrol ulang.
Pasien menyatakan memiliki riwayat hiperkolesterol, terakhir kali pemeriksaan

kolesterol 300 mg/dL pada bulan Februari 2016.


Riwayat diabetes melitus(-), asma(-), penyakit ginjal(-).

d. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama dalam keluarga disangkal.
e. Riwayat Kebiasaan dan Sosial Ekonomi
Riwayat merokok dan minum alkohol disangkal. Penderita sudah menikah. Pasien
saat ini tidak bekerja (Ibu Rumah Tangga) sebelumnya pasien bekerja sebagai petani.
Pekerjaan suami sebagai petani. Di rumah, pasien tinggal dengan suami dan 1 orang
cucu yang sekolah SD. Pasien datang berobat sendiri. Berobat dengan menggunakan
jaminan kesehatan Kartu Indonesia Sehat (KIS).

16

C. Pemeriksaan Fisik (Dilakukan pada tanggal 02 November 2016)


a. Keadaan Umum
Kesan sakit : tampak sesak
Kesadaran
: Compos mentis
b. Tanda Vital
Tekanan darah : 150/100 mmHg
Suhu
: 36,8 0C, di axilla
Nadi
: 88 x/menit, ireguler, cukup, equal.
Pernapasan : 26 x/menit
SaO2
: 98%
c. Status Generalis
- Kepala
Simetris muka : simetris ki = ka, Deformitas (-), Rambut : hitam, sukar dicabut
- Mata
Eksoptalmus/Enoptalmus : (-) , gerakan : dalam batas normal
Tekanan bola mata
: dalam batas normal
Kelopak mata
: dalam batas normal
Konjungtiva
: Anemis (-)
Sklera
: Ikterik (-)
Pupil
: isokor, reflex cahaya (+/+)
- Telinga
Tophi (-), nyeri tekan di processus mastoideus (-), pendengaran:tinnitus(-), otore(-)
- Hidung
Perdarahan (-), Sekret (-)
- Mulut
Bibir
: kering (-), sianosis (-)
Gigi geligi
: dalam batas normal
Gusi
: perdarahan (-)
Tonsil
: hiperemis (-), pembesaran (-)
Farings
: hiperemis (-)
Lidah
: kotor (-)
- Leher
Kelenjar getah bening
: tidak ada pembesaran
JVP
: 5+2 cmH2O
Pembuluh darah
: bruit (-)
Kaku kuduk
: (-)
Tumor
: (-)
- Thorax
Inspeksi

: Simetris ki = ka

Palpasi

: Nyeri tekan (-), Fremitus taktil : ki = ka sama

Perkusi

: Sonor ki = ka

Auskultasi : BP : vesikuler
17

BT : Rh : +/+ halus di basal Whe : -/ Cor


Inspeksi

: Ictus cordis tidak tampak

Palpasi

: Ictus cordis tidak teraba

Perkusi

: Batas kanan jantung ICS IV 1 jari dari linea parasternalis kanan


Batas atas jantung di ICS II linea sternalis kiri
Batas paru-lambung : ICS VI linea axillaris anterior kiri
Batas kiri jantung ICS V linea axillaris anterior sinistra

Auskultasi : Bunyi jantung I/II tunggal reguler, murmur(-), gallop(-)


Abdomen
Inspeksi

: Datar

Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal


Perkusi

: Tympani, shifting dullness (+)

Palpasi

: NT (-), hepar lien tidak teraba, undulasi (-)

Genitalia : tidak dilakukan pemeriksaan


Anus dan Rectum : tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas :
Edema pretibia (+/+) minimal
Akral hangat, CRT<2 detik, varices tidak dijumpai, kekuatan motorik +5
D. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang karena keterbatasan prasarana di Puskesmas.

RESUME
Berdasarkan hasil anamnesa, pasien datang dengan keluhan sesak napas sejak tadi malam,
dirasakan tidak terus-menerus, dipengaruhi aktivitas termasuk bila melakukan kegiatankegiatan sedang di rumah seperti menyapu/mengepel atau menaiki tangga, terasa makin
memberat jika berjalan 10 meter, tidak bisa tidur terlentang karena akan semakin terasa
18

sesak dan merasa lebih nyaman tidur malam dengan memakai 2-3 susun bantal, kadang
terbangun pada malam hari karena merasa sesak. Pasien menyangkal sesak karena debu,
udara dingin, asap, bulu binatang dan makanan tertentu, mengi (-), nyeri dada (-). Batuk
(+), dialami bersamaan dengan sesak, lebih sering pada malam hari, lendir (+) warna
putih, darah (-). Demam (-), riwayat demam (-). Sakit kepala (+) disertai tengkuk terasa
tegang. Terdapat bengkak ringan pada kaki dialami sejak 3 hari yang lalu. Mual(-),
muntah (-), keluhan nyeri ulu hati (-), BAB : biasa, warna kunning, BAK : lancar 2-4
kali/hari, warna kuning jernih. Pasien didiagnosa menderita gagal jantung kongestif sejak
Juni 2013, dengan riwayat perawatan di RSU Bethesda Serukam tanggal 5 Juni 2013
selama 1 minggu, pasien sering mengeluhkan sesak dan kaki bengkak. Pasien menderita
hipertensi sejak 10 tahun, sudah menjalani pengobatan hipertensi selama 10 tahun,
obat-obatan yang dikonsumsi adalah Captopril 2x25mg dan Amlodipin 1x10mg, sudah 1
tahun terakhir rutin kontrol ulang. Pasien menyatakan memiliki riwayat hiperkolesterol,
terakhir kali pemeriksaan kolesterol 300 mg/dL pada bulan Februari 2016. Riwayat
diabetes melitus(-), asma(-), penyakit ginjal(-). Riwayat penyakit dengan keluhan yang
sama dalam keluarga disangkal. Riwayat merokok dan minum alkohol disangkal.
Berdasarkan pemeriksaan fisik, pasien tampak sesak, kesadaran compos mentis, tekanan
darah 150/100 mmHg, suhu 36,8 0C, nadi 88 x/menit ireguler, pernapasan 26 x/menit,
SaO2 98%, status generalis pada pemeriksaan kepala, mata, telinga, hidung, mulut,
tenggorok, abdomen tidak dijumpai kelainan. Peningkatan JVP(-), pada pemeriksaan
paru-paru dijumpai ronki halus di kedua basal paru, wheezing(-), pada pemeriksaan
jantung inspeksi (ictus cordis tidak tampak), palpasi(ictus cordis tidak teraba),
perkusi(batas kanan jantung ICS IV 1 jari dari linea parasternalis kanan, batas atas
jantung di ICS II linea sternalis kiri, batas paru-lambung : ICS VI linea axillaris anterior
kiri, batas kiri jantung ICS V linea axillaris anterior sinistra), auskultasi(bunyi jantung I/II
tunggal reguler, murmur(-), gallop(-))kesan terdapat pembesaran jantung, pada
pemeriksaan ektremitas dijumpai edema pretibia (+/+) minimal

E. Diagnosis
- CHF Nyha II-III ec HHD
- Hipertensi grade II
F. Penatalaksanaan
a. Non Farmakologis :
- Istirahat (posisi setengah duduk)
19

- Diet jantung II
- Mengurangi aktivitas sedang-berat yang dapat memicu sesak
b. Farmakologis :
- Furosemide 1 x 40 mg
- Aspilet 1 x 80 mg
- Captopril 2 x 25 mg
- Amlodipin 1x 10 mg
- Simvastatin 1 x 20 mg
- Paracetamol 3 x 500 mg
G. Rencana Pemeriksaan Lanjutan
- EKG
- Rntgen Thorax
- Laboratorium : GDS, kolesterol (total, HDL, LDL), ureum, creatinin, albumin.
H. Prognosis
Quo ad vitam

: Dubia ad bonam

Quo ad fungsionam

: Dubia ad malam

Quo ad sanationam

: Dubia ad malam

20

BAB IV
PEMBAHASAN
Gagal jantung adalah keadaan patofisiologik dimana jantung sebagai pompa tidak
mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Definisi gagal yaitu relatif
terhadap kebutuhan metabolik tubuh, penekanan arti gagal ditujukan pada fungsi pompa
jantung secara keseluruhan. Istilah gagal miokardium ditujukan spesifik pada fungsi
miokardium, gagal miokardium umumnya mengakibatkan gagal jantung, tetapi mekanisme
kompensatorik sirkulasi dapat menunda atau bahkan mencegah perkembangan menjadi gagal
jantung dalam fungsi pompanya (Rani dkk,2008).
Gagal jantung kiri ditandai oleh dispneu deffort, kelelahan, orthopnea, paroksismal
nokturnal dispnea, batuk, pembesaran jantung, irama derap, bunyi derap S3 dan S4,
pernapasan cheyne stokes, takikardi, ronki dan kongesti vena pulmonalis. Gagal jantung
kanan ditandai oleh adanya kelelahan, pitting edema, ascites, peningkatan tekanan vena
jugularis, hepatomegali, pembesaran jantung kanan, irama derap atrium kanan, murmur dan
bunyi P2 mengeras, sedangkan gagal jantung kongestif terjadi manifestasi gejala gabungan
keduanya.
Diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan jika terdapat 2 kriteria mayor atau 1
kriteria mayor dan 2 kriteria minor kriteria framingham, ditambah dengan pemeriksaan
penunjang. Kriteria framingham terbagi menjadi kriteria mayor dan kriteria minor. Yang
termasuk kriteria mayor yakni: dispneu nokturnal paroksismal atau orthopneu, peningkatan
tekanan vena jugularis, ronki basah, kardiomegali, edema paru, irama derap S3, peningkatan
vena > 16 cm H2O dan refluks hepatojugular. Sedangkan yang termasuk kriteria minor yakni:
edema tungkai, batuk pada malam hari, dispneu deffort,

hepatomegali, efusi pleura,

kapasitas vital berkurang menjadi 1/3 maksimum dan takikardi (>120x/menit).


Pada pasien ini, dari hasil anamnesis didapatkan adanya keluhan sesak napas sejak
tadi malam, dirasakan tidak terus-menerus, dipengaruhi aktivitas termasuk bila melakukan
kegiatan-kegiatan sedang di rumah seperti menyapu/mengepel atau menaiki tangga, terasa
makin memberat jika berjalan 10 meter, tidak bisa tidur terlentang karena akan semakin
terasa sesak dan merasa lebih nyaman tidur malam dengan memakai 2-3 susun bantal, kadang
terbangun pada malam hari karena merasa sesak, disertai batuk (+), dialami bersamaan
dengan sesak, lebih sering pada malam hari, lendir (+) warna putih, sakit kepala (+) disertai
tengkuk terasa tegang. Terdapat bengkak ringan pada kaki dialami sejak 3 hari yang lalu.
21

Pasien memiliki riwayat didiagnosa penyakit gagal jantung kongestif 3 tahun yang lalu,
hipertensi sejak 10 tahun.
Berdasarkan pemeriksaan fisik, pasien tampak sesak, kesadaran compos mentis,
tekanan darah 150/100 mmHg, suhu 36,8 0C, nadi 88 x/menit ireguler, pernapasan 26
x/menit, SaO2 98%, Peningkatan JVP(-), pada pemeriksaan paru-paru dijumpai ronki halus di
kedua basal paru, pada pemeriksaan jantung inspeksi (ictus cordis tidak tampak),
palpasi(ictus cordis tidak teraba), perkusi(batas kanan jantung ICS IV 1 jari dari linea
parasternalis kanan, batas atas jantung di ICS II linea sternalis kiri, batas paru-lambung : ICS
VI linea axillaris anterior kiri, batas kiri jantung ICS V linea axillaris anterior sinistra),
auskultasi(bunyi jantung I/II tunggal reguler, murmur(-), gallop(-))kesan adanya pelebaran
batas jantung, pada pemeriksaan ektremitas dijumpai edema pretibia (+/+) minimal.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik diatas, dapat disimpulkan bahwa pada
pasien ini dapat ditegakkan diagnosis gagal jantung kongestif, karena kriteria framingham
sudah terpenuhi. Pada pasien ini didapatkan 3 kriteria mayor. Pertama terdapatnya
paroksismal nokturnal dispneu dari hasil anamnesis. Kedua, dari hasil pemeriksaan fisik
ditemukan ronki halus sedang di basal kedua paru. Ketiga, dari hasil pemeriksaan fisik
perkusi jantung, didapatkan adanya pembesaran jantung. Sedangkan untuk kriteria minor
didapatkan batuk malam hari. Kedua terdapatnya dispnue deffort yang didapatkan dari hasil
anamnesis pasien mengeluhkan sesak bila melakukan kegiatan-kegiatan sedang di rumah
seperti menyapu/mengepel atau menaiki tangga, terasa makin memberat jika berjalan 10
meter, dan ketiga dijumpai adanya edema pada ekstremitas bawah (edema minimal pretibia).
Kriteria diagnosa berdasarkan Skor Farmingham untuk pasien ini :
Kriteria Mayor

Paroxysmal nocturnal dyspneu

(+)

Distensi vena leher

(-)

Ronkhi paru

(+)

Kardiomegali

(+)

Edema paru akut

Gallop S3

(-)

Peninggian tekanan vena jugularis

(-)

Refluks hepatojugular

(-)

(-)

22

Kriteria mayor
(3)

Kriteria Minor

Edema ekstremitas

(+)

Batuk malam hari

(+)

Dispneu deffort

Hepatomegali

(-)

Efusi pleura

(-)

Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal

(-)

Takikardi (>120 x/menit)

(-)

(+)

Kriteria minor
(3)

Terapi yang diberikan adalah furosemid 1x 40 mg, pemberian diuretika ini bertujuan
mengurangi beban awal jantung tanpa mengurangi curah jantung. Aspilet 80 mg diberikan
sebagai antiagregasitrombus, untuk mencegah terjadinya tromboemboli. Sedangkan captopril
2 x 25 mg dikombinasikan dengan amlodipin 1 x 10 mg diberikan untuk menurunkan tekanan
darahnya, karena pasien ini juga menderita hipertensi grade II. Dan diberikan simvastatin 1 x
20mg, serta diberikan paracetamol 3 x 500mg untuk mengurangi sakit kepala.

23

DAFTAR PUSTAKA
American Heart Association. 2010. Heart Disease And Stroke Statistics 2010 Update.
Available from: http://www.americanheart.org [Accessed September 24 2016].
Behavioural Modification. 2007. In: Management of chronic heart failure: A national
clinical guideline. Edinburgh: Scottish Intercollegiate Guidelines Network. p; 10-13.
Brashaers, Valentina L. 2007. Gagal Jantung Kongestif. Dalam: Aplikasi klinis patofisiologi,
pemeriksaan dan manajemen. 2nd ed. Jakarta: EGC.
Dickstain A, Filippatos G, Cohen SA, et al. 2008. Guidelines for the diagnosis and treatment
of acute and chronic heart failure 2008. European Society Cardiology. European
Heart Journal. 29. 2388-2442.
Figueroa, Michael S. 2006. Congestive Heart Failure: Diagnosis, Pathophysiology, herapy,
and Implications for Respiratory Care. San Antonio: University of Texas Health
Science. p; 403412.
Gray, H, dkk., 2007. Lecture Notes Kardiologi. Penerbit Erlangga, Jakarta
Heart Failure Pathophysiology. The Medical News: 2010. Available from URL:
http://www.news-medical.net/health/Heart-Failure-Pathophysiology.aspx. Diakses
pada tanggal 14 November 2016.
Health Wales Survey. 2009. Prevalence of Heart Failure, 1995/95 To 1970/70, England and
Wales, 2008, Wales. Available from: http://www.heartstat.htm [Accessed November
13 2016].
Hess OM, Carrol JD. 2007. Clinical Assessment of Heart Failure. In: Libby P, Bonow RO,
Mann DL, Zipes DP, editor. Braunwalds Heart Disease. Philadelphia: Saunders. p.
561-80.
Karim S, Kabo P. 2002. EKG dan Penanggulangan Beberapa Penyakit Jantung untuk Dokter
Umum. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Klabunde, Richard E. 2007. Pathophysiology of Heart Failure. Available from URL:
http://www.cvphysiology.com/Heart%20Failure/HF003.htm.Diakses tanggal 14
November 2016.
Mann DL. 2008. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL,
editor. Harrisons Principles of Internal Medicine. 17th ed. New York: Mc graw hill.p.
1443.
Mariyono H. 2007. Gagal Jantung. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam, FK Unud/ RSUP
Sanglah, Denpasar.
O'Brien, Terrence. 2006. Congestive Heart Failure. South Carolina: Medical University of
South Carolina: Available from URL: http://www.emedicinehealth.com/
congestive_heart_ failure/article_em.htm. Diakses pada tanggal 14 November 2016).
Panggabean MM. 2006. Gagal Jantung. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV.
Pusat Penerbitan IPD FK UI: Jakarta. p1503-1504.
Price, Sylvia A 1994. Gangguan Fungsi Mekanis Jantung dan Bantuan Sirkulasi. Dalam
:Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. EGC. Jakarta. 582 593) dan
(AHA. Heart disease and stroke statistics 2004 update. Dallas: American Heart
Association, 2004.
Rani, A. Aziz, dkk. 2008. Gagal jantung kronik. Dalam: Panduan pelayanan Medik,
perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam Indonesia. Jakarta: PB PAPDI. p5456.

24

Silalahi D. 2004. Karakteristik Penderita Gagal Jantung yang Dirawat Inap di RS Santa
Elisabeth Medan Tahun 2002. Available from: http://www.repository.usu.ac.id/
bitstream/123456789/14656/1/09E01271.pdf
[Accessed November 13
2016]
Suryadipraja, R.M. 2004. Gagal Jantung dan Penatalaksanaannya, dalam Moehadsjah.,
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1, Edisi III. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia)

25

Anda mungkin juga menyukai