Pterigium g4
Pterigium g4
Disusun Oleh:
Ldeo Dwi Insani Efil Putra
30101206838
Pembimbing:
dr. Dwidjo Pratiknjo, Sp. M.
dr. YB. Hari Trilunggono, Sp. M.
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
2016
LEMBAR PENGESAHAN
OD AFAKIA DAN
OS PTERIGIUM SIMPLEKS
GRADE IV
Diajukan untuk memenuhi syarat Ujian Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Penyakit Mata RST Tingkat II
dr. Soedjono Magelang
Januari 2017
Disusun oleh:
Ldeo Dwi Insani Efil Putra
30101206838
Dosen Pembimbing,
BAB I
LAPORAN STATUS
I.
II.
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny. P
Umur
: 66 tahun 11 bulan
Jenis Kelamin
: Wanita
Alamat
: Tersobo II
Pekerjaan
Tanggal Periksa
: 03 Januari 2017
ANAMNESIS
Keluhan Utama
Pasien datang ke poli mata RST dr. Soedjono Magelang dengan keluhan mata
kiri terasa mengganjal dan penglihatan semakin lama semakin kabur sejak 2 tahun
yang lalu. Selain itu di dapatkan keluhan mata sebelah kiri sering nrocos dan perih
bila terkena angin atau debu. Cairan air mata yang keluar berwarna bening.
Keluhan membaik apabila mata diistirahatkan. Pada mata kanan pasien pernah
dilakukan operasi katarak di baksos sekitar 2 tahun lalu. Pada awalnya pasien
hanya merasa ada yang mengganjal di mata sebelah kiri dan lama kelamaan
keluhaan lain muncul seperti mata sering nrocos dan perih bila terkena udara, dan
sekarang diperberat dengan penglihatan yang menurun. Untuk keluhan
penglihatan yang menurun disangka pasien akibat kegagalan operasi katarak
sebelumnya di mata kanan. Keluhan terasa semakin memberat 1 minggu terakhir.
Pada mata kanan pasien tidak mengeluhkan hal yang sama dengan mata kiri.
Pasien mengaku belum pernah mengobati penyakitnya. Pasien menyangkal pernah
mengalami trauma pada mata dan pasien mempunyai riwayat darah tinggi.
Riwayat Penyakit Dahulu
-Conjungtivitis
: disangkal
Riwayat trauma
: disangkal
Riwayat TB
: disangkal
: disangkal
Riwayat TB
: disangkal
Riwayat Pengobatan
Pasien sebagai Ibu rumah tangga. Biaya pengobatan ditanggung oleh BPJS,
kesan ekonomi cukup.
III.
PEMERIKSAAN FISIK
Status Umum
Kesadaran
Aktifitas
Kooperatif
Status gizi
: Compos mentis
: Normoaktif
: Kooperatif
: Baik
Vital Sign
Tekanan darah : 166/94 mmHg
Nadi
: 86 x/menit
RR
: 20 x/menit
Suhu
: 36,3C
Status Ophthalmicus
Oculus
Sinister
Oculus
Dexter
Pemeriksaan
Visus
OD
OS
1/60 NC
Bulbus Oculi
Strabismus
Eksoftalmus
Enoftalmus
Suprasilia
Normal
Normal
Trikiasis (-)
-
Trikiasis (-)
-
Palpebra Superior
Edema
Hematom
Hiperemi
Entropion
Ektropion
Silia
Ptosis
Nyeri tekan
Abses
Palpebra Inferior
Edema
Hematom
Hiperemi
Entropion
Ektropion
Silia
Nyeri tekan
Abses
Sistem Lakrimasi
Trikiasis (-)
-
Trikiasis (-)
-
Lakrimasi
berair (epifora)
berair (epifora)
Konjungtiva
Injeksi konjungtiva
Injeksi siliar
Sekret
Perdarahan
subkonjungtiva
Bangunan
patologis
Semblefaron
Jaringan
Fibrovaskuler
Kornea
Kejernihan
Mengkilat
Edema
Infiltrat
Keratic Precipitat
Ulkus
Sikatrik
Bangunan
patologis
COA
Kedalaman
Hipopion
Hifema
tidak ditemukan
Jernih
Jernih
cukup
-
cukup
Iris
Kripta
Edema
Sinekia
Atrofi
Bulat
Bulat
3 mm
3 mm
Jernih
Jernih
(+) cemerlang
(+) cemerlang
+10
Pupil
Bentuk
Diameter
Reflek pupil
Sinekia
Lensa
Kejernihan
Iris shadow
Corpus Vitreum
Floaters
Hemoftalmia
Fundus Refleks
Funduskopi
Fokus
Papil N II
vasa
AV Rasio
Mikroaneurisma
Neovaskularisasi
Macula
2:3
2:3
eksudat
edema
Retina
Ablasio Retina
Edema
Bleeding
TIO (Palpasi)
IV.
Normal
Normal
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak dilakukan
V.
DIAGNOSIS BANDING
cairan berwarna bening, bertambah banyak bila terkena udara dan debu, onset 2
tahun. Didapatkan jaringan fibrovaskular konjungtiva di daerah nasal yang
meluas ke daerah kornea.
OS Pseudopterigium disingkirkan karena pada pseudopterigium letaknya
berdekatan dengan proses tukak kornea sebelumnya, selain itu dapat diselipkan
sonde dibawahnya. Pada pasien ini letaknya di daerah nasal dan tidak bisa
diletakan sonde dibawahnya.
OS Pingekuela disingkirkan karena pada pingekuela merupakan benjolan pada
konjungtiva bulbi. Keadaan ini tampak sebagai nodul kuning pada kedua sisi
kornea (lebih banyak di sisi nasal) di daerah aperture palpebrae. Nodul terdiri atas
jaringan hialin dan jaringan elastik bening, jarang bertumbuh besar, tetapi sering
meradang. Penebalan terbatas pada konjungtiva bulbi. Tampak seperti
penumpukan lemak bisa karena iritasi ataupun karena kualitas air mata yang
kurang baik, tidak sampai menutupi kornea dan tidak mengganggu penglihatan
OS Pannus disingkirkan karena pada pannus terdapatnya sel radang disertai
pembuluh darah yang membentuk tabir pada kornea. Pembuluh darah ini berasal
dari limbus yang memasuki kornea diantara epitel dan membran bowman.
Sedangkan pada pasien ini tidak ditemukan.
VI DIAGNOSIS KERJA
OS Pterigium simpleks Grade IV
VII Penatalaksanaan
OS Pterigium simpleks Grade IV
Medikamentosa :
Oral
:-
Topikal : Kombinasi
Kortikosteroid
: Deksametason 0,1%
Antibiotik
Parenteral : -
Operatif
VIII PROGNOSIS
Prognosis
Quo ad visam
Oculus Dexter
Ad Bonam
Oculus Sinister
Ad Bonam
Quo ad sanam
Ad Bonam
Dubia Ad Bonam
Quo ad functionam
Ad Bonam
Ad Bonam
Quo ad kosmetikan
Ad Bonam
Ad Bonam
Quo ad vitam
Ad Bonam
Ad Bonam
IX Rujukan
Dalam kasus ini tidak dilakukan rujukan ke Disiplin Ilmu Kedokteran lainnya
karena dari pemeriksaan klinis tidak ditemukan kelainan yang berkaitan dengan
Disiplin Ilmu Kedokteran lainnya.
X. EDUKASI
OS Pterigium Simpleks Grade IV
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pendahuluan
Pterigium atau Winglike, merupakan suatu pertumbuhan jaringan
fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif, berbentuk
triangular dengan apeks di kornea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi
iritasi, akan berwarna merah dapat mengenai kedua mata.1,2,3
Pterigium merupakan kelainan mata yang umum di banyak bagian dunia,
dengan
prevalensi
yang
dilaporkan
berkisar
antara
0,3%-29%.
Studi
pada struktur sekitarnya, konjungtiva fornix ini melekat secara longgar dengan
struktur di bawahnya yaitu fasia muskulus levator palpebra superior serta
muskulus rektus. Karena perlekatannya bersifat longgar, maka konjungtiva
fornix dapat bergerak bebas bersama bola mata ketika otot-otot tersebut
berkontraksi.
2.
Lapisan adenoid. Lapisan ini disebut juga lapisan limfoid dan terdiri dari
retikulum jaringan ikat halus dengan jerat di mana terdapat limfosit. Lapisan
ini paling pesat perkembangannya di forniks. Lapisan ini tidak di temukan
ketika bayi lahir tapi akan berkembang setelah 3-4 bulan awal kehidupan. Hal
Lapisan fibrosa. Lapisan ini terdiri dari serat kolagen dan serat elastis.
Lapisan ini lebih tebal dari lapisan adenoid, kecuali di daerah konjungtiva
tarsal, di mana lapisan ini sangat tipis. Lapisan ini mengandung pembuluh dan
saraf dari konjungtiva. Lapisan ini bersatu dengan mendasari kapsul Tenon di
daerah konjungtiva bulbar.
Konjungtiva berisi dua jenis kelenjar, yakni kelenjar sekresi musin dan
kelenjar lakrimalis aksesoris. Kelenjar ini terdiri dari sel goblet (kelenjar
uniseluler yang terletak di dalam epitel), Crypts of Henle (terdapat di konjungtiva
tarsal) dan kelenjar Manz (ditemukan dalam konjungtiva limbal). Kelenjarkelenjar ini mensekresi mucus yang penting untuk membasahi kornea dan
konjungtiva. Kelenjar lakrimalis aksesoris terdiri dari: Kelenjar Krause (terdapat
pada jaringan ikat subconjunctival forniks, sekitar 42 buah di atas forniks dan 8
buah di bawah forniks) dan kelenjar Wolfring (terdapat di sepanjang batas atas
tarsus superior dan sepanjang batas bawah tarsus inferior).6
Arteri yang memperdarahi konjungtiva berasal dari tiga sumber yakni arkade
arteri perifer palpebra, arkade arteri marginal kelopak mata, dan arteri ciliaris
anterior. Konjungtiva palpebralis dan forniks diperdarahi oleh cabang-cabang dari
arkade arteri perifer dan marginal palpebra. Konjungtiva bulbar diperdarahi oleh
dua set pembuluh darah yaitu: arteri konjungtiva posterior yang merupakan
cabang dari arteri kelopak mata, dan arteri konjungtiva anterior yang merupakan
cabang dari arteri ciliaris anterior. Cabang terminal arteri konjungtiva posterior
membentuk anastomosis dengan arteri konjungtiva anterior dan membentuk
arkade pericorneal. Vena konjungtiva bermuara ke dalam vena pleksus kelopak
mata dan beberapa mengelilingi kornea dan bermuara ke vena ciliaris anterior.
Sistem limfatik konjungtiva tersusun dalam dua lapisan, yakni superficial dan
profunda. Sistem ini dari sisi lateral bermuara ke limfonodus preaurikuler dan sisi
medial
bermuara
ke
limfonodus
submandibular.
Limbus
kornea
pada
cabang
dari
lakrimal,
infratrochlear,
supratrochlear,
sinar matahari (sinar ultraviolet), panas, angin tinggi dan debu. Ada beberapa
konsep tentang patofisilogi tentang pterigium, diantaranta:6,8
a. Konsep patogenesis awal. Hubungan antara perkembangan pterigium dan
gaya hidup tertentu, seperti bekerja di luar ruangan atau terkena paparan sinar
matahari atau debu. Semuanya dapat berperan memunculkan iritasi kronis
pada mata. Kongesti vaskular konjungtiva sering terjadi di daerah tubuh
pterygium yang menyebabkan gangguan aktivitas rektus medial, yang
mendasari daerah pertumbuhan pterygium ke arah nasal, dapat menyebabkan
potensi terjadinya gangguan aliran darah terkait dengan pertumbuhan
pterigium.
b. Konsep warisan. Laporan awal menyebutkan kemungkinan pola dominan
autosomal dari warisan, sesuai dengan kasus kejadian pterigium dalam
keluarga. Namun, tidak dapat diverifikasi apakah pterigium itu sendiri
diwariskan, sebagai sifat independen, atau pada individu beresiko terkena jika
rentan terkena efek okulodermal cahaya matahari. Deteksi keterlibatan gen
supresor tumor potensial di pterygium sementara diteliti,
c. Peran UV. Korelasi epidemiologi yang kuat antara perkembangan pterygium
dan paparan sinar matahari telah menyebabkan asumsi bahwa beberapa bagian
dari radiasi matahari mungkin memiliki peran patogenetik langsung. Bentuk
periorbital, termasuk bagian superior orbital, adanya alis dan hidung menonjol
menyiratkan bahwa mata relatif terlindung dari paparan cahaya langsung dari
atas. Di sisi lain, mata relatif terlindungi dari penyebaran cahaya dari bawah
atau lateral. Laporan awal peningkatan kemungkinan terjadinya pterigium
adalah kombinasi paparan cahaya matahari dengan paparan debu atau pasir,
sehingga mengarah ke peradangan permukaan mata secara kronis.
d. Stres oksidatif. Peningkatan UVR terkait stres oksidatif telah dilaporkan
dalam
kasus
pterygium,
dibandingkan
dengan
konjungtiva
normal,
2.4 Klasifikasi
Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan stadium
dan progresifitasnya.
a. Berdasarkan stadium, pterigium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:2,6
Gambar 4. (A) Pterigum stadium I; (B) Pterigum stadium II-III; (C) Pterigum
stadium IV
(Dikutip dari kepustakaan 6,10)
2.5 Diagnosis
a. Anamnesis
Pasien
dengan
pterigium
datang
dengan
berbagai
perubahan
fbrovaskular
pada
permukaan
- Caput
- Apeks (bagian apikal yang muncul pada kornea),
- Collum (bagian limbal),
- Corpus (bagian sklera) membentang antara limbus dan kantus.
Gambar 6. Pingueculum
(Dikutip dari kepustakaan 6)
2. Pseudopterigium
Pterigium harus dibedakan dari pseudopterigium. Pseudopterigium
adalah lipatan konjungtiva bulbar yang melekat pada kornea. Hal ini
merupakan suatu reaksi dari konjungtiva oleh karena ulkus kornea. Biasanya
terjadi pada luka bakar akibat zat kimia pada mata. Pada pengecekan dengan
sonde, sonde dapat masuk di antara konjungtiva dan kornea.1,7,9
Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang
cacat akibat ulkus. Sering terjadi saat proses penyembuhan dari ulkus kornea,
dimana konjungtiva tertarik dan menutupi kornea. Pseudopterigium dapat
ditemukan dimana saja bukan hanya pada fissura palpebra seperti halnya pada
pterigium. Pada pseudopterigium juga dapat diselipkan sonde di bawahnya
sedangkan pada pterigium tidak. Pada pseudopterigium melalui anamnesa
selalu didapatkan riwayat adanya kelainan kornea sebelumnya, seperti ulkus
kornea.1,7,9
Sebab
Pterigium
Pseudopterigium
Pinguekulum
Proses
degeneratif
Iritasi atau
kualitas higienitas
air yang kurang.
Sonde
Tidak dapat
dimasukkan
dibawahnya
Dapat dimasukkan
dibawahnya
Kekambuha
n
Residif
Tidak
Tidak
Usia
Dewasa
Anak-anak
Lokasi
Konjunctiva
yang dapat
mencapai kornea
Dewasa &
anak-anak
Terbatas pada
konjuntiva bulbi
2.7 Penatalaksanaan
Hanya ada sedikit konsensus dalam komunitas oftalmologi yang meneliti
tentang manajemen medis dan bedah yang optimal pada peterigium. Pada awal
proses penyakit, dokter sering mengambil pendekatan konservatif, membatasi
terapi untuk pebobatan secara lubrikasi. Karena radiasi UV diyakini menjadi
faktor risiko penting, dokter harus merekomendasikan bahwa pasien dengan
peterigium stadium awal menggunakan kacamata pelindung yang tepat. Jika lesi
tumbuh terus, intervensi bedah menjadi lebih penting. 3
Pasien dengan pterigium dapat hanya diobervasi kecuali lesi
menunjukkan pertumbuhan menuju pusat kornea atau pasien
menunjukkan
gejala
kemerahan
yang
signifkan,
dan corpus dari pterigium. Corpus dan dasar pterigium tersebut dibedah
dengan gunting konjungtiva, sedangkan apeks dan collum
pterigium yang telah menyerang kornea sering dihilangkan
dengan pisau bedah. Dilakukan usaha untuk mengidentifkasi
bidang diseksi, yang memfasilitasi penghilangan pterigium
sekaligus mempertahankan permukaan halus kornea yang
mendasarinya. Lapisan stroma yang tersisa mungkin dapat
dirapikan dengan pisau.3,4,11
Tujuan utama pembedahan adalah untuk sepenuhnya mengeluarkan
pterigium dan untuk mencegah terjadinya rekurensi. Berbagai teknik bedah
yang digunakan saat ini untuk pengelolaan pterigium: 3,4,11
a. Bare sclera : tidak ada jahitan, bertujuan untuk menyatukan kembali
konjungtiva dengan permukaan sklera di depan insersio tendon rektus,
menyisakan area sklera yang terkena. Namun teknik ini sudah tidak dapat
diterima karena tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan yang dapat
mencapai 40-75% dan hal ini tidak direkomendasikan.
b. Simple closure: menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka,
dimana teknik ini dilakukan bila luka pada konjungtiva relatif kecil.
c. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi
untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap.
d. Rotational flap: dibuat insisi berbentuk huruf U disekitar luka bekas eksisi
untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian
diletakkan pada bekas eksisi.
e. Conjungtival graft: suatu free graft yang biasanya diambil dari
konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka
kemudian dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat
jaringan. (misalnya Tisseel VH, Baxter Healthcare, Dearfield, Illionis).
f. Amnion membran grafting: membran amnion biasanya ditempatkan di
atas sklera telanjang, dengan membran basal menghadap ke atas dan
stroma menghadap ke bawah. Beberapa studi terbaru telah menganjurkan
penggunaan lem fibrin untuk membantu membran amnion graft menempel
Gambar 8. Teknik operasi eksisi peterigium: A, diseksi head dari kornea; B, eksisi
jaringan peterigium dibawah konjungtiva; C, direct closure atau penjahitan
konjungtiva setelahnya; D, teknik bare sclera-menjahit konjungtiva ke jaringan
episklera; E, free conjunctival graft setelah dilakukan eksisi pterigium
(Dikutip dari kepustakaan 6)
3. Terapi adjuvant
Tingkat kekambuhan yang tinggi setelah operasi menjadi sebuah
masalah, dan terapi medis ajuvan telah dimasukkan ke dalam manajemen
penyembuhan dari pterigium. Penelitian telah menunjukkan bahwa tingkat
kekambuhan menurun jauh dengan penambahan terapi ini. Namun, bukan
tanpa komplikasi sendiri.3
MMC (Mitomycin C)
MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena
kemampuannya untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan
iradiasi beta. Namun, tingkat dosis yang aman dan efektif minimal
belum ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini digunakan: aplikasi
intraoperatif dari MMC langsung ke scleral bed setelah peterigium
dan
perforasi
bisa
terjadi
namun
sangat
jarang. 11
kortikosteroid
dapat
dipertimbangkan.11
2.10 Prognosis
Pterigium adalah suatu neoplasma yang benigna. Umumnya penglihatan
dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Kekambuhan dapat dicegah
dengan kombinasi operasi dan sitostatik tetes mata atau beta radiasi.
Kebanyakan pasien dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien
dengan pterigium rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan
konjungtiva auto graft atau transplantasi membran amnion.5,9
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas S, Yulianti SR. Mata merah dengan penglihatan normal. Dalam Ilmu
Penyakit Mata. Edisi Keempat. Jakarta: Badan penerbit FKUI; 2011. p:116117
2. Suprapto N, Irawati Y. Pterigium. Dalam Kapita Selekta Kedokteran. Edisi IV.
Ed: Tanto C, Liwang F, Hanifa S, Pradipta E. Jakarta: media Aesculapius.
2014. 370-371
3. Aminlari A, Singh R, Liang D. Manajemen of pterigium. 2010. p:37-38
4. Leonard PK, Jocelyn LL, Donald. Current concepts and technique in
pterigium treatment. Singapore: National university of Singapore and
Singapore Eye Research Institue; 2007. p:308-312
5. Fisher JP. Pterigium. Medscape. Amerika: American college of surgeons;
2013. p:1-4
6. Khirana AK. Comprehensive ophthalmology. Fourth edition. New Delhi: New
international publisher; 2007. p:51-54, 80-82
7. Solomon AS. Pterigium. Goldschleser eye research institute; 2006. p:664-666
8. Detorakis ET, Spandidos DA. Pathogenetic mechanisms and treatment option
for ophthalmic pterygium: trends and perspectives. Yunani: University of
Crete; 2009. p:439-445
9. Pedoman diagnosis dan Terapi. Edisi III. Surabaya: Rumah Sakit Umum
Dokter Soetomo; 2006. p:102-104
10. Fransisco J, Verter G, Ivan R. Penyakit degeneratif konjungtiva. Dalam Buku
Vaugan dan Asburys General ophthalmology. Edisi 17. Jakarta: EGC; 2014.
p:119-120
11. Raju VK, Chandra A, Doctor R. Management of pterygium A brief review.
2008.