Anda di halaman 1dari 21

3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Definisi
Sindrom gangguan napas ataupun sering disebut sindrom gawat napas
(Respiratory Distress Syndrome/RDS) adalah istilah yang digunakan untuk
disfungsi pernapasan pada neonatus. Gangguan ini merupakan penyakit
yang berhubungan dengan keterlambatan perkembangan maturitas paru.
Gangguan ini biasanya juga dikenal dengan nama Hyaline membrane
disease (HMD) atau penyakit membran hialin, karena pada penyakit ini
selalu ditemukan membran hialin yang melapisi alveoli. Sindrom gangguan
pernapasan adalah kumpulan gejala yang terdiri dari dispnea atau
hiperapnea dengan frekuensi pernapasan lebih dari 60 kali/menit, sianosis,
rintihan pada ekspirasi dan kelainan otot-otot pernapasan pada inspirasi.
RDS sering ditemukan pada bayi prematur.4

2.2

Etiologi
Pada bayi prematur, RDS terjadi karena sintesis dan sekresi surfaktan
terganggu sehingga menyebabkan atelektasis, ketidakseimbangan perfusi
ventilasi dan hipoventilasi yang akhirnya mengakibatkan terjadinya
hipoksemia dan hiperkarbia. Analisis gas darah menunjukkan adanya
asidosis respiratorik dan metabolik yang menyebabkan vasokonstriksi pada
paru yang berlanjut menjadi gangguan endothel dan epitel dengan
kebocoran protein eksudat dan formasi membran hialin.5
2.2.1 Kekurangan Apoprotein
SP-B dan SP-C hidrofobik merupakan hal esensial untuk fungsi paru dan
homeostasis paru setelah kelahiran. Protein ini meningkatkan pesebaran,
adsorpsi dan stabilitas surfaktan lipid yang digunakan untuk menurunkan
tekanan pada permukaan alveolus. SP-B dan SP-C meregulasi proses
intaselular dan extraselualar dalam mempertahankan struktur dan fungsi
pernapasan.5

2.2.2 Mutasi ABCA3


Mutasi pada adenosine triphosphate (ATP)binding casette gene (ABCA3)
pada neonatus menyebabkan defiesiensi surfaktan. ABCA3 dibutuhkan pada
pembentukan lamellar body dan memiliki peran dalam metabolism
surfactant phospholipid.5
2.3

Epidemiologi

Survei
Kesehatan
Demografi
Indonesia
dan
(SDKI)
menyebutkan
tahun
2012,
angka
Indonesia
sebesar
32
kematian
kelahiran
hidup
per
1000
pada
tahun
menyumbang
neonatal
sebagian
besar
dalam
di
kematian
SDKI
angka
kematian
adalah
19
di
per
Indonesia
1000
Penyebab
kematian
bayi
hari
antara
baru
lahir
lain;
7-28
sepsis
bawaan/kelainan
cacat
kongenital
19%,
pneumonia
sebesar
17%,
MHD
masing-masing
(14%)

Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012,


menyebutkan angka kematian bayi di Indonesia sebesar 32 kematian per
1000 kelahiran hidup pada tahun 2012.1 Kematian neonatal menyumbang
sebagian besar dalam kematian bayi di Indonesia. Menurut SDKI angka
kematian neonatal di Indonesia adalah 19 per 1000 kelahiran hidup.2
Penyebab kematian bayi baru lahir 7-28 hari antara lain; sepsis sebesar
20,5%, cacat bawaan/kelainan kongenital sebesar 19%, pneumonia 17%,
prematuritas dan MHD masing-masing menyumbang (14%).4
Di Amerika serikat, angka kejadian RDS mencapai 20.000-30.000 kasus
neonates setiap tahunnya. Bayi yang lahir pada minggu 26-28, 50%
memiliki kemungkinan manjadi RDS. 42% kasus RDS juga terjadi pada
bayi dengan berat badan 501-1500 gram. RDS sering terjadi di negara
berkembang karena pada umumnya kelahiran prematu terjadi akibat
malnursi pada ibu mengandung. Selain itu, kenaikan frekuensi juga
ditemukan pada bayi yang lahir dari ibu yang menderita gangguan perfusi
darah uterus selama kehamilan, misalnya ibu penderita diabetes, hipertensi,
hipotensi, seksio serta perdarahan antepartum.4,5
Membrane hyaline disease sering terjadi di negara berkembang karena pada
umumnya kelahiran prematur terjadi akibat malnutrsi pada ibu mengandung.
Selain itu, kenaikan frekuensi juga ditemukan pada bayi yang lahir dari ibu
yang menderita gangguan perfusi darah uterus selama kehamilan, misalnya :
Ibu penderita diabetes, hipertensi, hipotensi, seksio serta perdarahan
antepartum.4,5

2.4

Patofisiologi
Penyakit hialin membran (HMD) merupakan gangguan yang secara primer
berhubungan dengan defisiensi jumlah surfaktan di paru-paru. Surfaktan
merupakan sebuah kompleks lipoprotein yang terdiri dari komponen utama
berupa dipalmitoyl phosphatidylcholine (lecithin), phosphatidylglycerol,
apoprotein (surfaktan protein SP-A, -B, -C, -D), dan kolesterol. Komponenkomponen dari surfaktan paru-paru disintesiskan di Golgi apparatus dari sel
alveolar tipe II. Hasil produksinya diregulasikan oleh hormon-hormon yang
berbeda dan growth factor sebagai glukokortikoid, insulin, prolaktin,
tiroxin, dan transforming growth factor beta (TGF-). Secara umum
komponen ini mulai diproduksi antara minggu ke-24 hingga ke-28
kehamilan, dan surfaktan dapat ditemukan di cairan amnion pada kehamilan
minggu ke-28 hingga ke-32. Dengan semakin matangnya usia kehamilan,
terjadi peningkatan fosfolipid yang disintesis dan disimpan di sel alveoler
tipe 2. Pada usia kehamilan 35 sebagian besar janin sudah memiliki
surfaktan yang adekuat. Surfaktan yang dihasilkan akan menurunkan
tegangan permukaan dan membantu stabilitas alveolar untuk mencegah paru
kolap di akhir respirasi.6
Adanya kelainan genetik dalam pembentukan surfaktan akan menyebabkan
severe dan atau lethal familial respiratory disease. Kerusakan dasar yang
mengakibatkan respiratory distress syndrome (RDS) pada bayi prematur
menunjukkan gambaran paru-paru yang imatur, terutama pneumosit tipe II.
Secara kualitatif maupun kuantitatif, surfaktan janin kurang efisien
dibandingkan dewasa dalam menurunkan tegangan permukaan dan menjaga
alveoli tetap terbuka. Karena penyesuaian paru-paru yang rendah, maka
tekanan negatif yang diperlukan untuk memungkinkan masuknya udara ke
dalam paru-paru tidak dapat dicapai.6
Kekurangan surfaktan akan menyebabkan atelektasis yang berujung pada
kondisi hipoksia. Penurunan compliance paru, volume tidal, peningkatan
dead space, kesulitan bernafas, dan kurangnya ventilasi alveoli akan
menyebakan terjadinya hiperkapnia. Kombinasi hiperkapnia, hipoksia, dan
asidosis akan menyebabkan vasokontriksi arteri pulmonar dengan

peningkatan pintasan kanan ke kiri melalui foramen ovale dan duktus


arteriosus serta dalam paru sendiri. Aliran darah ke akan menurun dan
terjadi iskemia pada sel-sel yang memproduksi surfaktan dan pada
pembuluh darah sehingga terjadi efusi ke dalam ruang alveoli.6

2.5

Gambar 1. Patofisiologi respiratory distress syndrome (RDS)


Diagnosis
Diagnosis HMD ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis dapat ditemukan faktor-faktor
risiko yang berhubungan dengan HMD seperti usia kehamilan yang
prematur (khususnya kurang dari 35 minggu) dimana pada usia tersebut
belum diproduksi cukup surfaktan pada paru. Suatu penelitian menyebutkan
bahwa HMD terjadi pada 92% neonatus dengan usia gestasi 24-25 minggu,
88% pada usia gestasi 26-27 minggu dan 57% pada usia gestasi 30-31
minggu.7 Selain itu, riwayat gawat janin saat persalinan, plasenta previa,

pre-eklampsia, diabetes pada ibu serta multi-gestasi merupakan faktor-faktor


risiko yang berhubungan dengan kejadian HMD.8
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan takipnea (frekuensi napas lebih dari
60 kali per menit, dimana neonatus memiliki frekuensi napas normal antara
30-60 kali per menit). Peningkatan frekuensi napas merupakan mekanisme
kompensasi terhadap terjadinya hiperkarbia, hipoksia serta asidosis. Bahkan
manifestasi yang lebih parah adalah terjadinya apnea (henti napas). Selain
itu dapat ditemukan tanda-tanda distres napas lain seperti grunting (suara
eksprirasi yang terdengar akibat penutupan glotis secara mendadak saat
ekspirasi), pernapasan cuping hidung (merupakan mekanisme kompensasi
untuk meningkatkan diameter dari saluran napas sehingga memudahkan
pernapasan), retraksi pada interkostal dan subkostal (akibat penggunaan
otot-otot bantu napas) dapat pula ditemukan retraksi suprasternal, dan
sianosis sentral (kebiruan pada bibir, lidah serta ekstremitas) akibat saturasi
oksigen yang rendah di dalam darah.9
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada kasus HMD ini antara
lain: pulse oximetry, pemeriksaan analisa gas darah dan pemeriksaan
radiologi yaitu x-ray thorax. Pada pemeriksaan pulse oximetri ditemukan
PaO2 <50 mmHg pada udara ruangan atau diperlukannya suplementasi
oksigen untuk mempertahankan PaO2 >50 mmHg. Pada pemeriksaan analisa
gas darah dapat ditemukan rendahnya kadar oksigen dan tingginya kadar
karbondioksida. Sedangkan pada pemiksaan radiologi dapat ditemukan
tanda gambaran yang khas untuk HMD berupa gambaran retikulogranular
difus pada kedua paru atau disebut juga ground glass appearance, air
bronchogram, paru yang hipoaerasi dan pengembangan paru yang minimal.
Berdasarkan gambaran radiologis, penyakit membran hialin dibagi menjadi
4 stadium:9
Stadium 1 : Pola retikulogranular
Stadium 2 : Pola retikulogranular + air bronchogram
Stadium3 : Pola retikulogranular + air bronchogram + batas
jantung-paru

kabur

Stadium 4 : Kolaps seluruh paru


2.6

Diagnosis Banding
2.6.1 Sindrom Aspirasi Mekonium
Terjadi pada bayi post-term, terutama bayi-bayi dengan pewarnaan
mekonium. Gejala klinis biasanya muncul 12-24 jam setelah kelahiran.
Berbeda dengan penyakit membran hialin yang gejalanya muncul dalam
beberapa jam pertama kehidupan. Gambaran radiologis pada sindrom ini
adalah adanya area-area dengan peningkatan radioopasitas yang difus,
hiperaerasi dan bilateral. Pneumothorax pada penyakit ini bukan jenis
tension pneumothorax sehingga tidak memerlukan terapi spesifik.
Sedangkan pneumothorax pada penyakit membran hialin biasanya
memerlukan intubasi bedah.9
2.6.2 Transient Tachypneu of the Newborn (TTN)
Biasanya terjadi pada bayi aterm yang lahir dengan SC. Gejalanya antara
lain diawali munculnya takipneu, kadang-kadang diikuti retraksi, dan juga
terjadi sianosis. Gejala biasanya membaik dengan cepat dalam 3 hari. Untuk
membedakan TTN dengan HMD agak sulit, pada TTN perbaikan terjadi
dengan cepat dan tidak ada gambaran retikulogranular dan air bronkhogram
di parunya. 9

2.6.3 Pneumonia Neonatal


Biasanya berhubungan dengan riwayat ketuban pecah dini. Penemuan
radiologisnya berupa hiperaerasi yang seringkali fokal. Gambaran yang
membedakan penyakit ini dengan penyakit membran hialin adalah adanya
efusi pleura pada 2/3 kasus pneumonia yang tidak ditemukan pada penyakit
membran hialin tanpa komplikasi. 9
2.7

Penatalaksanaan
2.7.1 Resusitasi
Bayi yang mengalami depresi dan tidak mampu melalui pernapasan spontan
yang memadai akan mengalami hipoksia yang semakin berat dan secara

progresif menjadi asfiksia. Resusitasi yang efektif dapat merangsang


pernapasan awal dan mencegah asfiksia progresif. Resusitasi bertujuan
memberikan ventilasi yang adekuat, pemberian oksigen dan curah jantung
yang cukup untuk menyalurkan oksigen kepada otak, jantung, dan alatalat
vital lainnya.10
Pada bayi baru lahir yang mengalami asfiksia, resusitasi dilakukan segera
setelah bayi lahir, secara cepat dan tepat, tanpa menunggu hasil penilaian
APGAR. Setiap bayi baru lahir harus dilakukan penilaian terhadap lima hal
yakni ada tidaknya mekonium dalam air ketuban, bayi menangis atau
bernapas, tonus otot bayi, warna kulit bayi, serta kecukupan bulan lahir bayi
(prematur/aterm/posterm). Pada bayi dengan penilaian yang stabil terhadap
lima hal tersebut maka bayi dapat langsung dimasukkan dalam prosedur
perawatan rutin dan tidak perlu dipisahkan dari ibunya.11,12,13
Adanya ketidakstabilan pada salah satu dari lima penilaian tersebut
mengindikasikan perlunya dilakukan tindakan resusitasi seperti berikut,
yang meliputi langkah awal dalam stabilisasi, ventilisasi tekanan positif,
kompresi dada, pemberian epinefrin dan/atau pengembang volume, dan
penilaian.11,12,13

2.7.1.1 Langkah awal dalam stabilisasi


Memberikan kehangatan
Bayi diletakkan di bawah alat pemancar panas (radiant warmer)
dalam keadaan telanjang agar panas dapat mencapai tubuh bayi dan
memudahkan eksplorasi seluruh tubuh.11 Bayi dengan BBLR
memiliki kecenderungan tinggi menjadi hipotermi dan harus
mendapat

perlakuan

khusus.

Beberapa

kepustakaan

merekomendasikan pemberian teknik penghangatan tambahan


seperti penggunaan plastik pembungkus dan meletakkan bayi
dibawah pemancar panas pada bayi kurang bulan dan BBLR. Alat
lain yang bisa digunakan adalah alas penghangat.11,12,13
Memposisikan bayi dengan sedikit menengadahkan kepalanya

10

Bayi diletakkan telentang dengan leher sedikit tengadah dalam


posisi menghidu agar posisi faring, laring dan trakea dalam satu
garis lurus yang akan mempermudah masuknya udara. Posisi ini
adalah posisi terbaik untuk melakukan ventilasi dengan balon dan
sungkup dan/atau untuk pemasangan pipa endotrakeal. 11,12,13
Membersihkan jalan napas sesuai keperluan
Aspirasi mekoneum saat proses persalinan dapat menyebabkan
pneumonia aspirasi. Salah satu pendekatan obstetrik yang
digunakan untuk mencegah aspirasi adalah dengan melakukan
penghisapan mekoneum sebelum lahirnya bahu (intrapartum
suctioning), namun bukti penelitian dari beberapa pusat penelitian
menunjukkan bahwa cara ini tidak menunjukkan efek yang
bermakna dalam mencegah aspirasi mekonium.11,12,13
Cara yang tepat untuk membersihkan jalan napas adalah
bergantung pada keaktifan bayi dan ada/tidaknya mekonium. Bila
terdapat mekoneum dalam cairan amnion dan bayi tidak bugar
(bayi mengalami depresi pernapasan, tonus otot kurang dan
frekuensi jantung kurang dari 100x/menit) segera dilakukan
penghisapan trakea sebelum timbul pernapasan untuk mencegah
sindrom aspirasi mekonium. Penghisapan trakea meliputi langkahlangkah pemasangan laringoskop dan selang endotrakeal ke dalam
trakea, kemudian dengan kateter penghisap dilakukan pembersihan
daerah mulut, faring dan trakea sampai glotis. Bila terdapat
mekoneum dalam cairan amnion namun bayi tampak bugar,
pembersihan sekret dari jalan napas dilakukan seperti pada bayi
tanpa meconium.11,12,13
Mengeringkan bayi, merangsang pernapasan dan meletakkan pada
posisi yang benar
Meletakkan pada posisi yang benar, menghisap sekret, dan
mengeringkan akan memberi rangsang yang cukup pada bayi untuk
memulai pernapasan. Bila setelah posisi yang benar, penghisapan
sekret dan pengeringan, bayi belum bernapas adekuat, maka

11

perangsangan taktil dapat dilakukan dengan menepuk atau


menyentil telapak kaki, atau dengan menggosok punggung, tubuh
atau ekstremitas bayi.11,12,13
Bayi yang berada dalam apnu primer akan bereaksi pada hampir
semua rangsangan, sementara bayi yang berada dalam apnu
sekunder, rangsangan apapun tidak akan menimbulkan reaksi
pernapasan. Karenanya cukup satu atau dua tepukan pada telapak
kaki atau gosokan pada punggung. Jangan membuang waktu yang
berharga dengan terus menerus memberikan rangsangan taktil.11,12,13
Keputusan untuk melanjutkan tindakan dari satu kategori ke
kategori berikutnya ditentukan dengan penilaian tiga tanda vital
secara simultan (pernapasan, frekuensi jantung dan warna kulit).
Waktu untuk setiap langkah adalah sekitar 30 detik, lalu nilai
kembali, dan putuskan untuk melanjutkan ke langkah berikutnya
(Gambar 2).11,12,13

2.7.1.2 Penilaian
Penilaian dilakukan setelah 30 detik untuk menentukan perlu
tidaknya resusitasi lanjutan. Tanda vital yang perlu dinilai adalah
sebagai berikut:
Pernapasan
Resusitasi berhasil bila terlihat gerakan dada yang adekuat,
frekuensi dan dalamnya pernapasan bertambah setelah rangsang
taktil. Pernapasan yang megap-megap adalah pernapasan yang
tidak efektif dan memerlukan intervensi lanjutan.11,12,13
Frekuensi jantung
Frekuensi jantung harus diatas 100x/menit. Penghitungan bunyi
jantung dilakukan dengan stetoskop selama 6 detik kemudian
dikalikan 10 sehingga akan dapat diketahui frekuensi jantung
permenit.11,12,13
Warna kulit

12

Bayi seharusnya tampak kemerahan pada bibir dan seluruh tubuh.


Setelah frekuensi jantung normal dan ventilasi baik, tidak boleh ada
sianosis sentral yang menandakan hipoksemia. Warna kulit bayi
yang berubah dari biru menjadi kemerahan adalah petanda yang
paling cepat akan adanya pernapasan dan sirkulasi yang adekuat.
Sianosis akral tanpa sianosis sentral belum tentu menandakan kadar
oksigen rendah sehingga tidak perlu diberikan terapi oksigen.
Hanya sianosis sentral yang memerlukan intervensi.11,12,13

13

Gambar 2. Alur resusitasi


2.7.2

Memberikan lingkungan yang optimal

Suhu tubuh bayi harus selalu diusahakan agar tetap dalam batas normal
(36,537C) dengan meletakkan bayi di dalam inkubator. Humiditas ruangan
juga harus adekuat (7080%).10,14

14

2.7.3

Terapi oksigen

Pemberian oksigen mempunyai pengaruh yang kompleks terhadap bayi


yang baru lahir. Pemberian O2 yang terlalu banyak dapat menimbulkan
komplikasi

yang

tidak

diinginkan

seperti

fibrosis

paru

atau

bronchopulmonary dysplasia (BPD), kerusakan retina (fibroplasi retrolental


atau retinopathy of prematurity (ROP), dan lain-lain, oleh karena itu terapi
oksigen sesuai dengan kondisi:10,14
-

Nasal kanul dengan konsentrasi yang cukup untuk mempertahankan


tekanan oksigen arteri antara 5070 mmHg untuk distres pernafasan

ringan.
Jika PaO2 tidak dapat dipertahankan diatas 50 mmHg pada konsentrasi
oksigen inspirasi 60% atau lebih, penggunaan nasal continuous positive
airway pressure (NCPAP) terindikasi. NCPAP merupakan metode ventilasi
yang non-invasif penggunaan NCPAP sedini mungkin untuk stabilisasi
bayi dengan berat lahir sangat rendah (BBLSR) di ruang persalinan juga
direkomendasikan untuk mencegah kolaps alveoli.

Ventilator mekanik digunakan pada bayi dengan HMD berat atau


komplikasi yang menimbulkan apneu persisten. Ventilator mekanik
berhubungan erat dengan terjadinya BPD dan juga meningkatkan risiko
trauma dan infeksi. Indikasi penggunaan ventilator mekanik adalah: pH
darah arteri <7,2 pCO2 darah arteri 60mmHg atau lebih, dan pO2 darah
arteri 50mmHg atau kurang pada konsentrasi oksigen 70-100% dan
tekanan CPAP 6-10 cm H2O, serta apneu persisten.
2.7.4

Terapi cairan dan elektrolit

Cairan yang diberikan harus cukup untuk menghindarkan dehidrasi dan


mempertahankan homeostasis tubuh yang adekuat. Pada hari-hari pertama
diberiksan glukosa 5-10% dengan jumlah yang disesuaikan dengan umur
dan berat badan (60-125ml/kgbb/ hari). Asidosis metabolik yang selalu
terdapat pada penderita, harus segera diperbaiki dengan pemberian NaHCO 3
secara intravena. Pemeriksaan keseimbangan asam-basa tubuh harus
diperiksa secara teratur agar pemberian NaHCO3 dapat disesuaikan dengan
mempergunakan rumus: kebutuhan NaHCO3 (mEq) = deficit basa x 0,3 x

15

berat badan bayi. Kebutuhan basa ini sebagian dapat langsung diberikan
secara intravena dan sisanya diberikan secara tetesan. Pada pemberian
NaHCO3 ini bertujuan untuk mempertahankan pH darah antara 7,35-7,45.
Bila fasilitas untuk pemeriksaan keseimbangan asam-basa tidak ada,
NaHCO3 dapat diberikan dengan tetesan. Cairan yang dipergunakan berupa
15 campuran larutan glukosa 5-10% dengan NaHCO3 1,5% dalam
perbandingan 4:1. Pada asidosis yang berat, penilaian klinis yang teliti harus
dikerjakan untuk menilai apakah basa yang diberikan sudah cukup adekuat.
Analisis gas darah dilakukan berulang untuk manajemen respirasi. Tekanan
parsial O2 diharapkan antara 50-70 mmHg. PaCO2 diperbolehkan antara 45
60 mmHg (permissive hypercapnia). pH diharapkan tetap diatas 7,25
dengan SaO2 antara 88 92%.14,15
2.7.5

Pemberian antibiotika

Setiap bayi dengan MHD perlu mendapat antibiotika untuk mencegah


terjadinya infeksi sekunder. Pemberian antibiotik dimulai dengan spektrum
luas, biasanya dimulai dengan ampisilin 50mg/kgBB intravena setiap 12
jam dan gentamisin 3mg/kgBB untuk bayi dengan berat lahir kurang dari 2
kilogram. Jika tak terbukti ada infeksi, pemberian antibiotika dihentikan.14,15
2.7.6

Pemberian surfaktan

Pemberian surfaktan merupakan salah satu terapi rutin yang diberikan pada
bayi prematur dengan MHD. Sampai saat ini ada dua pilihan terapi
surfaktan, yaitu natural surfaktan yang berasal dari hewan dan surfaktan
sintetik bebas protein, dimana surfaktan natural secara klinik lebih efektif.
14,15

Surfaktan

diberikan secara intratrakeal melalui endotracheal tube

(ETT) dengan bantuan nasogastric tube (NGT) yang dapat dimasukkan


tanpa melepas ventilator dengan melalui lubang penghisap sekret pada ETT.
Sebagai alternatif, NGT dapat dimasukkan dengan terlebih dahulu melepas
dengan cepat sambugan antara ETT dengan selang ventilator.
Dosis diberikan secara terbagi menjadi 4 dosis supaya pemberiannya
homogen sampai ke lobus paru bagian bawah. Setiap seperempat dosis
diberikan dengan posisi yang berbeda. Sebelum surfaktan dimasukkan ke

16

dalam ETT melalui NGT pastikan bahwa ETT berada pada posisi yang
benar dan ventilator di atur pada kecepatan 60x/menit, waktu inspirasi 0,5
detik, dan FiO21,0. ETT dilepaskan dari ventilator dan kemudian:
1. Kepala dan badan bayi dimiringkan 5-10 ke bawah kepala
menoleh ke kanan, masukkan surfaktan seperempat

dosis pertama

melalui NGT selama 2-3 detik setelah itu lepaskan NGT dan lakukan
ventilasi manual untuk mencegah sianosis selama 30 detik,
2. Kepala dan badan bayi dimiringkan 5-10 ke bawah kepala
menoleh ke kiri, masukkan surfaktan seperempat dosis kedua melalui
NGT selama 2-3 detik setelah itu lepaskan NGT dan lakukan ventilasi
manual untuk mencegah sianosis selama 30 detik,
3. Kepala dan badan bayi dimiringkan 5-10 ke atas kepala menoleh ke
kanan,

masukkan surfaktan seperempat dosis ketiga melalui NGT

selama 2-3 detik setelah itu lepaskan NGT dan lakukan ventilasi
manual untuk mencegah sianosis selama 30 detik,
4. Kepala dan badan bayi dimiringkan 5-10 ke atas kepala menoleh ke
kiri, masukkan surfaktan seperempat dosis keempat melalui NGT
selama 2-3 detik setelah itu lepaskan NGT dan lakukan ventilasi
manual untuk mencegah sianosis selama 30 detik.
Pemberian dosis dapat diulang sebanyak 4 kali dengan interval 6 jam
dan diberikan dalam 48 jam pertama setelah lahir. Pemberian dosis dapat
diulang sebanyak 4 kali dengan interval 6 jam dan diberikan dalam 48
jam pertama setelah lahir.
2.7.7 Pemberian steroid
Pemberian antenatal steroid mengurangi risiko sindrom gawat nafas pada
bayi, tetapi pemberiannya harus didalam interval >24 jam dan <7 hari
sebelum kelahiran bayi.

Antenatal steroid juga mengurangi risiko

intraventricular hemorrhage (IVH) dan necrotizing enterocolitis yang sering


dijumpai pada bayi prematur. Kedua, betametason dan deksametason dapat
digunakan untuk pematangan paru janin. Menurut beberapa penelitian,
deksametason lebih banyak mengurangi terjadinya IVH sehingga,
deksametason merupakan obat pilihan dalam pematangan paru. Regimen

17

pemberian kortikosteroid secara umum ialah 2 dosis betametason 12 mg


diberikan secara intramuskular dengan jarak waktu 24 jam dan 4 dosis
deksametason 6 mg intramuskular dengan jarak waktu antar pemberian 12
jam. Cara pemberian betametason dan deksametason yang optimal masih
belum jelas. Keduanya dapat diberikan secara intramuskular. Betametason
dapat diberikan secara intra-amniotically dan intravena sedangkan
deksametason dapat diberikan secara oral.16
2.8

Prognosis
Melakukan observasi intensif dan perhatian pada bayi baru lahir beresiko
tinggi dengan segera akan mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat
HMD dan penyakit neonatus akut lainnya. Hasil yang baik bergantung pada
kemampuan dan pengalaman personel yang menangani, unit rumah sakit
yang dibentuk khusus, peralatan yang memadai, dan kurangnya kmplikasi
seperti asfiksia fetus atau bayi yang berat, perdarahan intrakranial, atau

2.9

malformasi kongenital. Terapi surfaktan telah mengurangi mortalitas 40%.16


Komplikasi
Komplikasi Akut
Patent Ductus Arteriosus
Konstriksi dan penutupan duktus biasanya terjadi dalam 48 jam setelah lahir
pada bayi term dan preterm tanpa distress nafas. PDA terjadi sebanyak 36%
pada bayi prematur dengan ventilasi buatan. PDA memberikan gejala bila
diameter duktus > 1,5 mm. Pemberian steroid antenatal atau indometasin
profilaksis mencegah terjadinya PDA. 16
Insidensi PDA pada bayi prematur dengan HMD sekitar 90%. Dengan
meningkatnya angka bertahan hidup bayi sangat kecil disertai penggunaan
surfaktan eksogen, PDA sebagai komplikasi HMD merupakan masalah dari
penanganan HMD pada awal kehidupan.16
Mungkin terjadi pirau yang bermakna melalui PDA pada neonatus dengan
HMD, penutupan yang terlambat terjadi akibat hipoksia, asidosis,
meningkatnya tekanan paru secara sekunder akibat vasokonstriksi,
hipertensi sistemik, imaturitas, pelepasan prostaglandin E2 secara lokal
yang akan mendilatasi duktus. Sepsis juga dapat meningkatkan resiko
terjadinya PDA, yang juga dimediasi peningkatan prostaglandin.16

18

PDA diasosiasikan dengan pirau dari kanan ke kiri dan peningkatan aliran
darah paru dan tekanan arteri pulmonal. Peningkatan aliran darah paru
menyebabkan berkurangnya compliance paru yang akan membaik setelah
ligasi PDA. Peningkatan aliran darah paru akan menimbulkan kegagalan
ventrikel kiri dan edema paru serta mempengaruhi keseimbangan cairan
paru. Kebocoran protein plasma ke rongga alveoli menghambat fungsi
surfaktan. Hal ini akan meningkatkan kebutuhan oksigen serta ventilasi
mekanik.16
Pirau dapat terjadi ke dua arah atau dari kanan ke kiri melalui duktus
arteriosus. Setelah HMD membaik, resistensi vaskular paru turun, dan dapat
terjadi pirau dari kiri ke kanan yang menimbulkan volume ventrikel kiri
berlebih dan edema paru. 16
Manifestasi PDA meliputi :
1. Apnea persisten dengan alasan yan tidak jelas pada bayi yang pulih dari
HMD
2. Precordium yang bekerja secara aktif, nadi di perifer yang kuat, tekanan
nadi lebar, murmur sistolik to and fro (paling baik didengar di bawah
klavikula kiri), crackles, perfusi perifer yang buruk
3. Retensi karbondioksida
4. Peningkatan ketergantungan akan oksigen
5.Bukti rontgen akan adanya kardiomegali dan peningkatan corakan
vaskuler paru (edema paru)
6. Hepatomegali
Diagnosis dipastikan dengan echocardiografi Doppler yang menunjukan
danya bukti aliran pirau dari kiri ke kanan. 16
Kebanyakan bayi berespon terhadap terapi suportif umum, meliputi bantuan
nafas yang adekuat, pemberian diuretik dan restriksi cairan. Pada beberapa
pasien di mana penutupan spontan tidak terjadi, namun terjadi perburukan
meski telah diberi terapi suportif dan kardiotonik, pemberian indometasin
Intravena 0,2 mg/kg dengan interval 12 24 jam untuk 3 dosis, dapat
menginduksi

penutupan

secara

farmakologis

dengan

menghambat

pembentukan prostaglandin. Protokol yang lain yaitu 0,1 mg/kg/24 jam


selama 6 hari, mungkin diperlukan pengulangan dari kedua protokol.

19

Kontraindikasi indometasin meliputi trombositopeni (<>1,8 mg/dl). Indikasi


penutupan secara bedah adalah kegagalan penutupan setelah pemberian
indometasin, gagal jantung persisten disertai ketergantungan pada ventilator.
Penutupan PDA simtomatik harus segera dilakukan karena meningkatkan
insidensi terjadinya oenyakit paru kronik. 16
Hemorrhagic Pulmonary Edema
Perdarahan paru seringkali terjadi sekunder akibat edema paru berat yang
merupakan komplikasi dari HMD dan PDA. Insidensinya pada bayi
prematur sekitar 1 % namun pada otopsi ditemukan sekitar 55 %. Cairan
hemoragis di rongga udara merupakan filtrat kapiler yang berasal dari
rongga interstitial atau perdarahan alveoli. Bentuk interstitial ditandai
dengan perdarahan pleura, septum interlobularis, peribronkial, perivaskular,
dan dinding aleolar. Bila perdarahan masuk ke alveoli, eritrosit memenuhi
rongga udara dan meluas hingga ke bronkiolus dan bronkus. 16
Faktor

predisposisinya

antara

lain

asfiksia

perinatal,

hipotermia,

hipoglikemi, gagal jantung kongestif, koagulopati, pneumonia, dan


pemberian cairan berlebih. Pada bayi yang mendapat terapi surfaktan
eksogen, terjadi peningkatanpirau kanan ke kiri melalui duktus arteriosus
yang memicu terjadinya edema paru hemoragis. 16
Perdarahan paru biasanya muncul hari ke-5 sampai 7 kehidupan. Apabila
bersifat masif, dapat terjadi hal-hal yang mematikan. Perburukan mendadak
dari pernafasan dikaitkan dengan bradikardi, asidosis metabolik dan syok.
Darah keluar dari hidung dan mulut melalui ETT. Gambaran rontgen
menunjukan gambaran opak difus dari kedua paru. 16
Penanganan segera meliputi ventilasi buatan yang adekuat. Meningkatkan
tekanan jalan udara dengan menggunakan PEEP dapat mencegah
perdarahan lebih lanjut. Transfusi PRC dan FFP mungkin diperlukan untuk
mengganti volume yang hilang, namun restriksi cairan diindikasikan bila
perdarahan terjadi akibat kegagalan ventrikel kiri. Bila penyebabnya PDA,
maka PDA harus diterapi. 16
Pulmonary Interstitial Emphysema (PIE)

20

PIE dapat terjadi simetris, asimetris atau terlokalisasi pada satu bagian paru.
PIE yang terletak di perifer dapat menimbulkan bleb subpleura yang bila
pecar akan menimbulkan pneumotoraks. Bisa juga menyebabkan terjadinya
pneumomediastinum atau pneomopericardium. Bila alveoli ruptur, udara
dapat terlokalisasi dan bersatu di parenkim membentuk pseudokista.
Rupturnya alveoli dapat menyebabkan udara masuk ke vena pulmonalis,
menimbulkan emboli udara. 16
Merupakan komplikasi HMD setelah terapi ventilasi buatan. Gambaran
linear berbatas tegas serta kumpulan udara berbentuk kistik dan radiolusen
di paru kanan. 16
Kebocoran Udara
Ekstravasasi udara ke ekstrapulmonal juga merupakan komplikasi dari
penanganan HMD. 16
Infeksi
Infeksi dapat manifes sebagai kegagalan untuk membaik, perburukan
mendadak,

perubahan

peningkatan

insidensi

jumlah

leukosit,

septicemia

trombositopenia.

sekunder terhadap

Terdapat

staphylococcal

epidermidis dan/atau Candida. Bila curiga akan adanya septicemia, lakukan


kultur darah dari 2 tempat berbeda dan berikan antibiotik.16
Perdarahan intracranial dan leukomalasia periventrikuler
Perdarahan intrakranial didapatkan pada 20-40% bayi prematur dengan
frekuensi lebih tinggi pada bayi RDS yang membutuhkan ventilasi mekanik.
Ultrasound kepala dilakukan dalam minggu pertama. Terapi indometasin
profilaksis dan pemberian steroid antenatal menurunkan insidensinya.
Hipokarbia

dan

chorioamnionitis

dikaitkan

dengan

peningkatan

periventricular leukomalacia. 16
Necrotizing Enterocolitis (NEC)
Semua bayi dengan abnormalitas abdomen pada pemeriksaan fisik harus
dicurigai

mengalami

necrotizing

enterocolitis

dan/atau

perforasi

gastrointestinal. Pemeriksaan roentgen abdomen dapat dilakukan untuk


memastikan. Perforasi spontan (tidak selalu merupakan bagian dari NEC)

21

dapat muncul pada bayi dengan sakit berat dan diasosiasikan dengan
penggunaan steroid dan/atau indometasin. 16
Apnea
Apnea pada premature sering terjadi pada bayi imatur, insidensinya
meningkat dengan adanya terapi surfaktan, mungkin disebabkan karena
ekstubasi terlalu dini. 16
Anemia
Anemia sekunder akibat pengambilan sampel darah berulang juga dapat
terjadi. Penggantian dengan transfusi PRC diperlukan bila jumlah total
darah yang diambil diperkirakan 10 -15 % dari volume darah total, atau bila
ada penurunan yang signifikan dari hematokrit. Bayi yang bergantung pada
terapi oksigen, hematokritnya harus dipertahankan mendekati 40 %. Terapi
dengan eritropoietin dapat mengurangi seringnya transfusi. 16
Persistent Pulmonary Hipertension (PPHN) / Persistent Fetal Circulation
PPHN dapat terjadi pada bayi term dan posterm. Faktor predisposisinya
antara lain asfiksia saat lahir, pneumonia akibat aspirasi mekonium, sepsis
onset dini, HMD, hipoglikemi, polisitemia, ibu yang menggunakan AINS
dengan konstriksi in utero dari Duktus Arteriosus, dan adanya hipoplasia
pulmo sebagai hasi dari hernia diafragmatika, kebocoran cairan amnion,
oligohidramnion atau efusi pleura. PPHN sering kali bersifat idiopatik. 16
Komplikasi Kronik
Bronchopulmonary Dysplasia (BPD)
Oksigen bersifat toksik bagi paru-paru, terutama bila diberikan dengan
respirator tekanan positif, menyebabkan terjadinya BPD. Selain itu, BPD
juga dapat disebabkan oleh robeknya alveoli akibat tekanan, volutrauma,
saponifikasi hipokapnea, atelektasis akibat absorpsi, dan terjadinya
inflamasi. Beberapa bayi yang mendapat bentuan nafas berupa intermittent
positive pressure secara berkepanjangan dengan konsentrasi oksigen yang
ditingkatkan, menunjukkan perburukan paru pada gambaran rontgen.
Distres nafas menetap ditandai hipoksia, hiperkarbia, ketergantungan pada

22

oksigen, dan terjadinya gagal jantung kanan. Gambaran rontgen berubah,


sebelumnya menunjukan gambaran opak hampir menyeluruh disertai air
bronchogram dan emfisema interstitial, menjadi area lusen bulat kecil
berselang seling dengan area dengan densitas yang iregular, seperti
gambaran spons.16
Komplikasi BPD meliputi gagal tumbuh, retardasi psikomotor sementara,
serta sekuele seperti nefrolitiasis (akibat pemberian diuretik dan total IV
alimentation), osteopenia, stenosis subglotis, yang mungkin membutuhkan
trakeotomi atau prosedur memisahkan cricoid anterior untuk mengurangi
obstruksi saluran nafas atas.16
Pasien dengan BPD sering pulang ke rumah dengan oksigen, diuretik, dan
terapi bronkodilator. Prognosis janga panjang baik pada bayi yang telah
lepas dari oksigen terapi sebelum keluar dari ICU. Ventilasi yang lebih
lama, perdarahan interventrikel, hipertensi pulmonal, cor pulmonal, dan
ketergantungan akan oksigen sebelum usia 1 tahun adalah tanda prognosis
yang buruk. Obstruksi saluran nafas, hiperaktivitas dan hiper inflasi dapat
ditemukan pada remaja.16
Angka kematian sebesar 10 25 % terutama pada yang bergantung pada
ventilator > 6 bulan. Penyebab kematian tersering adalah kegagalan jantung
dan respirasi (cor pulmonal) dan infeksi (RSV).16
Retinopathy of prematurity (ROP)
Bayi dengan RDS dan PaO2 > 100 mmHg memiliki resiko terkena ROP,
maka monitor PaO2 harus dilakukan secara ketat dan dipertahankan antara
50-70 mmHg. Pulse oximetry tidak membantu mencegah ROP pada bayi
sangat kecil karena kurva disosiasi oksigen-hemoglobin hampir rata. Bila
ROP berlanjut, terapi laser atau cryotherapy dilakukan untuk mencegah
terlepasnya retina dan kebutaan.16
Gangguan neurologis
Terjadi pada + 10-70 % bayi, dan dikaitkan dengan usia kehamilan, tipe
patologi intracranial, adanya hipoksia, serta adanya infeksi. Gangguan

23

pendengaran dan penglihatan dapat mengganggu perkembangan bayi di


kemudian hari. Dapat terjadi gangguan belajar dan perilaku.16

Anda mungkin juga menyukai