BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi
Sindrom gangguan napas ataupun sering disebut sindrom gawat napas
(Respiratory Distress Syndrome/RDS) adalah istilah yang digunakan untuk
disfungsi pernapasan pada neonatus. Gangguan ini merupakan penyakit
yang berhubungan dengan keterlambatan perkembangan maturitas paru.
Gangguan ini biasanya juga dikenal dengan nama Hyaline membrane
disease (HMD) atau penyakit membran hialin, karena pada penyakit ini
selalu ditemukan membran hialin yang melapisi alveoli. Sindrom gangguan
pernapasan adalah kumpulan gejala yang terdiri dari dispnea atau
hiperapnea dengan frekuensi pernapasan lebih dari 60 kali/menit, sianosis,
rintihan pada ekspirasi dan kelainan otot-otot pernapasan pada inspirasi.
RDS sering ditemukan pada bayi prematur.4
2.2
Etiologi
Pada bayi prematur, RDS terjadi karena sintesis dan sekresi surfaktan
terganggu sehingga menyebabkan atelektasis, ketidakseimbangan perfusi
ventilasi dan hipoventilasi yang akhirnya mengakibatkan terjadinya
hipoksemia dan hiperkarbia. Analisis gas darah menunjukkan adanya
asidosis respiratorik dan metabolik yang menyebabkan vasokonstriksi pada
paru yang berlanjut menjadi gangguan endothel dan epitel dengan
kebocoran protein eksudat dan formasi membran hialin.5
2.2.1 Kekurangan Apoprotein
SP-B dan SP-C hidrofobik merupakan hal esensial untuk fungsi paru dan
homeostasis paru setelah kelahiran. Protein ini meningkatkan pesebaran,
adsorpsi dan stabilitas surfaktan lipid yang digunakan untuk menurunkan
tekanan pada permukaan alveolus. SP-B dan SP-C meregulasi proses
intaselular dan extraselualar dalam mempertahankan struktur dan fungsi
pernapasan.5
Epidemiologi
Survei
Kesehatan
Demografi
Indonesia
dan
(SDKI)
menyebutkan
tahun
2012,
angka
Indonesia
sebesar
32
kematian
kelahiran
hidup
per
1000
pada
tahun
menyumbang
neonatal
sebagian
besar
dalam
di
kematian
SDKI
angka
kematian
adalah
19
di
per
Indonesia
1000
Penyebab
kematian
bayi
hari
antara
baru
lahir
lain;
7-28
sepsis
bawaan/kelainan
cacat
kongenital
19%,
pneumonia
sebesar
17%,
MHD
masing-masing
(14%)
2.4
Patofisiologi
Penyakit hialin membran (HMD) merupakan gangguan yang secara primer
berhubungan dengan defisiensi jumlah surfaktan di paru-paru. Surfaktan
merupakan sebuah kompleks lipoprotein yang terdiri dari komponen utama
berupa dipalmitoyl phosphatidylcholine (lecithin), phosphatidylglycerol,
apoprotein (surfaktan protein SP-A, -B, -C, -D), dan kolesterol. Komponenkomponen dari surfaktan paru-paru disintesiskan di Golgi apparatus dari sel
alveolar tipe II. Hasil produksinya diregulasikan oleh hormon-hormon yang
berbeda dan growth factor sebagai glukokortikoid, insulin, prolaktin,
tiroxin, dan transforming growth factor beta (TGF-). Secara umum
komponen ini mulai diproduksi antara minggu ke-24 hingga ke-28
kehamilan, dan surfaktan dapat ditemukan di cairan amnion pada kehamilan
minggu ke-28 hingga ke-32. Dengan semakin matangnya usia kehamilan,
terjadi peningkatan fosfolipid yang disintesis dan disimpan di sel alveoler
tipe 2. Pada usia kehamilan 35 sebagian besar janin sudah memiliki
surfaktan yang adekuat. Surfaktan yang dihasilkan akan menurunkan
tegangan permukaan dan membantu stabilitas alveolar untuk mencegah paru
kolap di akhir respirasi.6
Adanya kelainan genetik dalam pembentukan surfaktan akan menyebabkan
severe dan atau lethal familial respiratory disease. Kerusakan dasar yang
mengakibatkan respiratory distress syndrome (RDS) pada bayi prematur
menunjukkan gambaran paru-paru yang imatur, terutama pneumosit tipe II.
Secara kualitatif maupun kuantitatif, surfaktan janin kurang efisien
dibandingkan dewasa dalam menurunkan tegangan permukaan dan menjaga
alveoli tetap terbuka. Karena penyesuaian paru-paru yang rendah, maka
tekanan negatif yang diperlukan untuk memungkinkan masuknya udara ke
dalam paru-paru tidak dapat dicapai.6
Kekurangan surfaktan akan menyebabkan atelektasis yang berujung pada
kondisi hipoksia. Penurunan compliance paru, volume tidal, peningkatan
dead space, kesulitan bernafas, dan kurangnya ventilasi alveoli akan
menyebakan terjadinya hiperkapnia. Kombinasi hiperkapnia, hipoksia, dan
asidosis akan menyebabkan vasokontriksi arteri pulmonar dengan
2.5
kabur
Diagnosis Banding
2.6.1 Sindrom Aspirasi Mekonium
Terjadi pada bayi post-term, terutama bayi-bayi dengan pewarnaan
mekonium. Gejala klinis biasanya muncul 12-24 jam setelah kelahiran.
Berbeda dengan penyakit membran hialin yang gejalanya muncul dalam
beberapa jam pertama kehidupan. Gambaran radiologis pada sindrom ini
adalah adanya area-area dengan peningkatan radioopasitas yang difus,
hiperaerasi dan bilateral. Pneumothorax pada penyakit ini bukan jenis
tension pneumothorax sehingga tidak memerlukan terapi spesifik.
Sedangkan pneumothorax pada penyakit membran hialin biasanya
memerlukan intubasi bedah.9
2.6.2 Transient Tachypneu of the Newborn (TTN)
Biasanya terjadi pada bayi aterm yang lahir dengan SC. Gejalanya antara
lain diawali munculnya takipneu, kadang-kadang diikuti retraksi, dan juga
terjadi sianosis. Gejala biasanya membaik dengan cepat dalam 3 hari. Untuk
membedakan TTN dengan HMD agak sulit, pada TTN perbaikan terjadi
dengan cepat dan tidak ada gambaran retikulogranular dan air bronkhogram
di parunya. 9
Penatalaksanaan
2.7.1 Resusitasi
Bayi yang mengalami depresi dan tidak mampu melalui pernapasan spontan
yang memadai akan mengalami hipoksia yang semakin berat dan secara
perlakuan
khusus.
Beberapa
kepustakaan
10
11
2.7.1.2 Penilaian
Penilaian dilakukan setelah 30 detik untuk menentukan perlu
tidaknya resusitasi lanjutan. Tanda vital yang perlu dinilai adalah
sebagai berikut:
Pernapasan
Resusitasi berhasil bila terlihat gerakan dada yang adekuat,
frekuensi dan dalamnya pernapasan bertambah setelah rangsang
taktil. Pernapasan yang megap-megap adalah pernapasan yang
tidak efektif dan memerlukan intervensi lanjutan.11,12,13
Frekuensi jantung
Frekuensi jantung harus diatas 100x/menit. Penghitungan bunyi
jantung dilakukan dengan stetoskop selama 6 detik kemudian
dikalikan 10 sehingga akan dapat diketahui frekuensi jantung
permenit.11,12,13
Warna kulit
12
13
Suhu tubuh bayi harus selalu diusahakan agar tetap dalam batas normal
(36,537C) dengan meletakkan bayi di dalam inkubator. Humiditas ruangan
juga harus adekuat (7080%).10,14
14
2.7.3
Terapi oksigen
yang
tidak
diinginkan
seperti
fibrosis
paru
atau
ringan.
Jika PaO2 tidak dapat dipertahankan diatas 50 mmHg pada konsentrasi
oksigen inspirasi 60% atau lebih, penggunaan nasal continuous positive
airway pressure (NCPAP) terindikasi. NCPAP merupakan metode ventilasi
yang non-invasif penggunaan NCPAP sedini mungkin untuk stabilisasi
bayi dengan berat lahir sangat rendah (BBLSR) di ruang persalinan juga
direkomendasikan untuk mencegah kolaps alveoli.
15
berat badan bayi. Kebutuhan basa ini sebagian dapat langsung diberikan
secara intravena dan sisanya diberikan secara tetesan. Pada pemberian
NaHCO3 ini bertujuan untuk mempertahankan pH darah antara 7,35-7,45.
Bila fasilitas untuk pemeriksaan keseimbangan asam-basa tidak ada,
NaHCO3 dapat diberikan dengan tetesan. Cairan yang dipergunakan berupa
15 campuran larutan glukosa 5-10% dengan NaHCO3 1,5% dalam
perbandingan 4:1. Pada asidosis yang berat, penilaian klinis yang teliti harus
dikerjakan untuk menilai apakah basa yang diberikan sudah cukup adekuat.
Analisis gas darah dilakukan berulang untuk manajemen respirasi. Tekanan
parsial O2 diharapkan antara 50-70 mmHg. PaCO2 diperbolehkan antara 45
60 mmHg (permissive hypercapnia). pH diharapkan tetap diatas 7,25
dengan SaO2 antara 88 92%.14,15
2.7.5
Pemberian antibiotika
Pemberian surfaktan
Pemberian surfaktan merupakan salah satu terapi rutin yang diberikan pada
bayi prematur dengan MHD. Sampai saat ini ada dua pilihan terapi
surfaktan, yaitu natural surfaktan yang berasal dari hewan dan surfaktan
sintetik bebas protein, dimana surfaktan natural secara klinik lebih efektif.
14,15
Surfaktan
16
dalam ETT melalui NGT pastikan bahwa ETT berada pada posisi yang
benar dan ventilator di atur pada kecepatan 60x/menit, waktu inspirasi 0,5
detik, dan FiO21,0. ETT dilepaskan dari ventilator dan kemudian:
1. Kepala dan badan bayi dimiringkan 5-10 ke bawah kepala
menoleh ke kanan, masukkan surfaktan seperempat
dosis pertama
melalui NGT selama 2-3 detik setelah itu lepaskan NGT dan lakukan
ventilasi manual untuk mencegah sianosis selama 30 detik,
2. Kepala dan badan bayi dimiringkan 5-10 ke bawah kepala
menoleh ke kiri, masukkan surfaktan seperempat dosis kedua melalui
NGT selama 2-3 detik setelah itu lepaskan NGT dan lakukan ventilasi
manual untuk mencegah sianosis selama 30 detik,
3. Kepala dan badan bayi dimiringkan 5-10 ke atas kepala menoleh ke
kanan,
selama 2-3 detik setelah itu lepaskan NGT dan lakukan ventilasi
manual untuk mencegah sianosis selama 30 detik,
4. Kepala dan badan bayi dimiringkan 5-10 ke atas kepala menoleh ke
kiri, masukkan surfaktan seperempat dosis keempat melalui NGT
selama 2-3 detik setelah itu lepaskan NGT dan lakukan ventilasi
manual untuk mencegah sianosis selama 30 detik.
Pemberian dosis dapat diulang sebanyak 4 kali dengan interval 6 jam
dan diberikan dalam 48 jam pertama setelah lahir. Pemberian dosis dapat
diulang sebanyak 4 kali dengan interval 6 jam dan diberikan dalam 48
jam pertama setelah lahir.
2.7.7 Pemberian steroid
Pemberian antenatal steroid mengurangi risiko sindrom gawat nafas pada
bayi, tetapi pemberiannya harus didalam interval >24 jam dan <7 hari
sebelum kelahiran bayi.
17
Prognosis
Melakukan observasi intensif dan perhatian pada bayi baru lahir beresiko
tinggi dengan segera akan mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat
HMD dan penyakit neonatus akut lainnya. Hasil yang baik bergantung pada
kemampuan dan pengalaman personel yang menangani, unit rumah sakit
yang dibentuk khusus, peralatan yang memadai, dan kurangnya kmplikasi
seperti asfiksia fetus atau bayi yang berat, perdarahan intrakranial, atau
2.9
18
PDA diasosiasikan dengan pirau dari kanan ke kiri dan peningkatan aliran
darah paru dan tekanan arteri pulmonal. Peningkatan aliran darah paru
menyebabkan berkurangnya compliance paru yang akan membaik setelah
ligasi PDA. Peningkatan aliran darah paru akan menimbulkan kegagalan
ventrikel kiri dan edema paru serta mempengaruhi keseimbangan cairan
paru. Kebocoran protein plasma ke rongga alveoli menghambat fungsi
surfaktan. Hal ini akan meningkatkan kebutuhan oksigen serta ventilasi
mekanik.16
Pirau dapat terjadi ke dua arah atau dari kanan ke kiri melalui duktus
arteriosus. Setelah HMD membaik, resistensi vaskular paru turun, dan dapat
terjadi pirau dari kiri ke kanan yang menimbulkan volume ventrikel kiri
berlebih dan edema paru. 16
Manifestasi PDA meliputi :
1. Apnea persisten dengan alasan yan tidak jelas pada bayi yang pulih dari
HMD
2. Precordium yang bekerja secara aktif, nadi di perifer yang kuat, tekanan
nadi lebar, murmur sistolik to and fro (paling baik didengar di bawah
klavikula kiri), crackles, perfusi perifer yang buruk
3. Retensi karbondioksida
4. Peningkatan ketergantungan akan oksigen
5.Bukti rontgen akan adanya kardiomegali dan peningkatan corakan
vaskuler paru (edema paru)
6. Hepatomegali
Diagnosis dipastikan dengan echocardiografi Doppler yang menunjukan
danya bukti aliran pirau dari kiri ke kanan. 16
Kebanyakan bayi berespon terhadap terapi suportif umum, meliputi bantuan
nafas yang adekuat, pemberian diuretik dan restriksi cairan. Pada beberapa
pasien di mana penutupan spontan tidak terjadi, namun terjadi perburukan
meski telah diberi terapi suportif dan kardiotonik, pemberian indometasin
Intravena 0,2 mg/kg dengan interval 12 24 jam untuk 3 dosis, dapat
menginduksi
penutupan
secara
farmakologis
dengan
menghambat
19
predisposisinya
antara
lain
asfiksia
perinatal,
hipotermia,
20
PIE dapat terjadi simetris, asimetris atau terlokalisasi pada satu bagian paru.
PIE yang terletak di perifer dapat menimbulkan bleb subpleura yang bila
pecar akan menimbulkan pneumotoraks. Bisa juga menyebabkan terjadinya
pneumomediastinum atau pneomopericardium. Bila alveoli ruptur, udara
dapat terlokalisasi dan bersatu di parenkim membentuk pseudokista.
Rupturnya alveoli dapat menyebabkan udara masuk ke vena pulmonalis,
menimbulkan emboli udara. 16
Merupakan komplikasi HMD setelah terapi ventilasi buatan. Gambaran
linear berbatas tegas serta kumpulan udara berbentuk kistik dan radiolusen
di paru kanan. 16
Kebocoran Udara
Ekstravasasi udara ke ekstrapulmonal juga merupakan komplikasi dari
penanganan HMD. 16
Infeksi
Infeksi dapat manifes sebagai kegagalan untuk membaik, perburukan
mendadak,
perubahan
peningkatan
insidensi
jumlah
leukosit,
septicemia
trombositopenia.
sekunder terhadap
Terdapat
staphylococcal
dan
chorioamnionitis
dikaitkan
dengan
peningkatan
periventricular leukomalacia. 16
Necrotizing Enterocolitis (NEC)
Semua bayi dengan abnormalitas abdomen pada pemeriksaan fisik harus
dicurigai
mengalami
necrotizing
enterocolitis
dan/atau
perforasi
21
dapat muncul pada bayi dengan sakit berat dan diasosiasikan dengan
penggunaan steroid dan/atau indometasin. 16
Apnea
Apnea pada premature sering terjadi pada bayi imatur, insidensinya
meningkat dengan adanya terapi surfaktan, mungkin disebabkan karena
ekstubasi terlalu dini. 16
Anemia
Anemia sekunder akibat pengambilan sampel darah berulang juga dapat
terjadi. Penggantian dengan transfusi PRC diperlukan bila jumlah total
darah yang diambil diperkirakan 10 -15 % dari volume darah total, atau bila
ada penurunan yang signifikan dari hematokrit. Bayi yang bergantung pada
terapi oksigen, hematokritnya harus dipertahankan mendekati 40 %. Terapi
dengan eritropoietin dapat mengurangi seringnya transfusi. 16
Persistent Pulmonary Hipertension (PPHN) / Persistent Fetal Circulation
PPHN dapat terjadi pada bayi term dan posterm. Faktor predisposisinya
antara lain asfiksia saat lahir, pneumonia akibat aspirasi mekonium, sepsis
onset dini, HMD, hipoglikemi, polisitemia, ibu yang menggunakan AINS
dengan konstriksi in utero dari Duktus Arteriosus, dan adanya hipoplasia
pulmo sebagai hasi dari hernia diafragmatika, kebocoran cairan amnion,
oligohidramnion atau efusi pleura. PPHN sering kali bersifat idiopatik. 16
Komplikasi Kronik
Bronchopulmonary Dysplasia (BPD)
Oksigen bersifat toksik bagi paru-paru, terutama bila diberikan dengan
respirator tekanan positif, menyebabkan terjadinya BPD. Selain itu, BPD
juga dapat disebabkan oleh robeknya alveoli akibat tekanan, volutrauma,
saponifikasi hipokapnea, atelektasis akibat absorpsi, dan terjadinya
inflamasi. Beberapa bayi yang mendapat bentuan nafas berupa intermittent
positive pressure secara berkepanjangan dengan konsentrasi oksigen yang
ditingkatkan, menunjukkan perburukan paru pada gambaran rontgen.
Distres nafas menetap ditandai hipoksia, hiperkarbia, ketergantungan pada
22
23