Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
Penyakit infeksi masih merupakan masalah kesehatan yang utama di negara
yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Infeksi-infeksi pada sistem saraf pusat
menimbulkan masalah medis yang serius dan membutuhkan pengenalan dan
penanganan segera untuk memperkecil gejala sisa neurologis yang serius dan
memperkecil angka mortalitas pasien. Diantaranyanya adalah infeksi pada jaringan
otak yaitu ensefalitis.1,2
Ensefalitis adalah infeksi pada jaringan otak yang dapat disebabkan oleh
berbagai mikroorganisme seperti bakteri, virus, parasit, fungus dan riketsia.
Peradangan otak merupakan penyakit yang jarang. Angka kejadiannya yaitu ,5 per
100.000 individu. Penyakit ini dapat dijumpai pada semua umur mulai dari anakanak sampai orang dewasa. Paling banyak menyerang anak anak, orang tua dan
pada orang- orang dengan sistem imun yang lemah, seperti pada penderita
HIV/AIDS, kanker dan anak gizi buruk. Insiden ensefalitis di Inggris pertahunnya
mencapai 4 orang per 100.000 penduduk. Di Indonesia sendiri, kasus ensefalitis pada
manusia telah banyak dilaporkan, tetapi pemyebab ensefalitis tersebut masih belum
banyak terungkap karena sulitnya diagnosis dan keterbatasan perangkat diagnostik
yang dapat mendiagnosis antigen dan antibody virus yang menyebabkan ensefalitis
pada manusia. Di Indonesia virus Japanese Echepalitis sudah banyak diisolasi baik
dari vektornya maupun babi dan binatang mamalia yang lain, seperti; sapi, ayam dan
kambing. Prevalensi dari kasus Japanesese encephalitis di Indonesia belum diketahui
dengan pasti. Enam puluh persen penyebab ensefalitis tidak diketahui, dari penyebab
yang diketahui tersebut kira kira 67 % berhubungan dengan penyakit infeksi pada
anak. 2
Ensefalitis memiliki komplikasi yang sangat kompleks. Komplikasi jangka
panjang dari ensefalitis berupa gejala sisaneeurologi yang nampak pada 30 % anak
dengan berbagai agen penyebab, usia penderita, gejala klinik, dan penanganan
selama perawatan. Perawatan jangka panjang dengan terus mengikuti perkembangan
penderita dari dekat merupakan hal yang krusial untuk mendeteksi adanya gejala sisa
secara dini. Komplikasi pada SSP meliputi tuli saraf, kebutaan kortikal, hemiparesis,
1

quadriparesis, hipertonia muskulorum, ataksia, epilepsi, retardasi mental dan


motorik, gangguan belajar dan hidrosefalus obstruktif. Untuk orang yang menderita
ensefalitis yang berat yang telah mempengaruhi beberapa fungsi otak, komplikasi
terberat adalah kematian. Oleh sebab itu penulis menganggap perlu untuk
mengetahui lebih mendalam mengenai gejala klinis, diagnosis, dan terapi dari
ensefalitis, serta kemungkinan pengaruhnya terhadap gangguan tumbuh kembang
anak.2

BAB I
DAFTAR PUSTAKA
I.1. Defenisi
Ensefalitis adalah proses inflamasi akibat infeksi pada susunan saraf pusat
yang melibatkan parenkim otak yang dapat bermanifestasi sebagai gangguan
neurofisiologis difus dan / atau fokal.1,2 Secara klinis ensefalitis dapat dijumpai
muncul bersamaan dengan meningitis, disebut meningoensefalitis, dengan tanda dan
gejala yang menunjukkan adanya inflamasi pada meninges seperti kaku kuduk, nyeri
kepala, atau fotofobia.1 Namun, dari sudut pandang epidemiologis dan patofisiologi,
ensefalitis berbeda dari meningitis.1 Dari sudut pandang terminologi, ensefalitis
berasal dari kata ensefalon + itis yang bermakna inflamasi pada parenkim otak. 1
Sedangkan meningitis berasal dari kata meninges + itis yang bermakna inflamasi
pada selaput pembungkus jaringan otak (meninges).3
I.2 Etiologi
Ensefalitis biasanya timbul sebagai akibat proses inflamasi akut tapi dapat juga
berupa

reaksi

inflamasi

pasca

infeksi

penyakit

lain

(postinfeksius

ensefalomyelitis), penyakit kronik degeneratif, atau akibat infeksi virus. 4


Mikroorganisme yang dapat menimbulkan ensefalitis antara lain 5:
1. Infeksi oleh virus.
a. Penyebaran dari manusia ke manusia
Mump
Morbilli
Enterovirus
Rubella
Herpesvirus
- Herpes simplex hominis tipe 1, 2
- Varicella zoster virus
- Cytomegalovirus

- EB virus
Poxvirus
- Vaccinia
- Variola
b.

Penyebaran melalui vector arthropoda (nyamuk)


Arbovirus :

Eastern equine

Western equine

Venezuelan equin

St. Louis

California

Japanese encephalitis

c. Ditularkan oleh mamalia berdarah panas

Rabies : lewat air liur/ gigitan mamalia (anjing gila)

Herpes virus simiae lewat air liur/gigitan kera

2. Infeksi oleh bukan virus.


a. Rickettia
b. Mycoplasma pneumoni
c. Bakteri : TBC
d. Spirochaeta : sifilis
e. Protozoa : Plasmodium, Tripanosoma
f. Fungi : Histoplasmosis, Cryptococcus, Aspergilosis, Mucormycosis,
Moniliasis, Coccidioidomycosis
3. Parainfeksi (pasca infeksi, allergi)
a. Diasosiasikan dengan penyakit-penyakit yang khas (mikroorganisme ini
bisa juga menimbulkan kerusakan jaringan otak secara langsung)

Morbilli

Rubella

Influenza

Varicella Zoster

Mump

b. Diasosiasikan dengan vaksin

Rabies

Pertussis

Morbilli

Influenza

Vaccinia

Yellow Fever

Typhoid

4. Penyebab tidak diketahui.


Ensefalitis yang disebabkan oleh virus , dapat melalui 2 jalur yakni secara
hematogen atau secara neuronal ( saraf perifer atau saraf kranialis). 4 Pada musim
panas atau musim semi di Amerika Serikat, jenis patogen yang paling sering adalah
arbovirus dan enterovirus.4
Ensefalitis yang disebabkan oleh arbovirus disebut juga arthropode-borne
viral encephalitides.6 Kelompok virus ini menunjukkan gejala neurologis yang berat
dan hampir mirip, disebabkan oleh beberapa jenis arbovirus. 6 Berdasarkan dari
berbagai taxa virusnya, maka ensefalitis arbovirus dibagi menjadi beberapa jenis,
yakni:
1.

Kelompok sero-group alphavirus dari family Togaviridae merupakan

agen dari western equine encephalitis (WEE), eastern equine encephalitis


(EEE), dan Venezuelan encephalitis.6,7 Alphavirus merupakan virus RNA
strand-positif, dengan envelope, dan berukuran 69- nm.6
2.

Kelompok sero-group California, family Bunyaviridae merupakan

agen dari California encephalitis (CE) sedangkan dari family Reoviridae


merupakan agen dari Colorado tick fever.6
Sero-group Bunyavirus 16, merupakan virus RNA dengan 3 segmen
strand-negatif, memiliki envelope, berukuran 75 115-nm.6 Reovirus
merupakan sero-group virus RNA dengan strand-ganda, berukuran 60 80nm.6
5

3.

Kelompok sero-group flavivirus, yang paling sering menimbulkan

penyakit adalah Japanese B encephalitis virus (menyebabkan Japanese B


encephalitis) dan West Nile virus (menyebabkan West Nile encephalitis /
WNE).6 Virus Japanese B encephalitis ditransmisikan melalui tick dan
nyamuk sedangkan virus West Nile mempunyai siklus hidup yang melibatkan
burung dan nyamuk.3 Vektor WNE pada manusia adalah nyamuk dari genus
Culex, Anopheles, dan Aedes.3 Selain jenis ensefalitis yang telah disebutkan
sebelumnya, sero-group flavivirus juga dapat menyebabkan St. Louis
encephalitis.3
Enterovirus termasuk dalam family picornavirus.3 Family picornavirus
antara lain virus coxsackie A dan B, poliovirus, echovirus, enterovirus 68 dan 71,
hepatitis A virus.3
Virus herpes simpleks tipe I (VHS tipe I) merupakan penyebab tersering
dari ensefalitis sporadik.4 Sedangkan VHS tipe II lebih sering dijumpai pada
neonatus dengan ensefalitis.4

VHS merupakan virus DNA yang dapat

menyebabkan penyakit lokal maupun sistemik. 2 Pada Anak dan bayi, VHS dapat
menyebabkan ensefalitis yang dapat memburuk.2 Infeksi pada neonatus biasanya
didapat selama atau sesaat sebelum bayi dilahirkan, bersumber dari organ
genitalia eksterna ibu.3 Infeksi primer VHS tipe II selama proses persalinan
memberikan faktor risiko yang lebih besar terhadap ensefalitis.2 Infeksi juga
dapat terjadi melalui rekurensi, namun baik infeksi primer maupun rekurens
keduanya dapat terjadi secara asimtomatik

Human herpesvirus 6 merupakan

jenis VHS yang menjadi agen pada exanthema subitum, virus ini dihubungkan
dengan terjadinya komplikasi neurologikus yang luas, termasuk pada ensefalitis
viral (fokal).3
Virus mumps dan measles (campak Jerman), merupakan sero-group
paramyxovirus yang sering menimbulkan gejala neurologis. 3 Measles biasanya
tidak menyebabkan ensefalitis pada fase akut, tetapi 1 dari 1000 kasus dapat
meningkatkan risiko sindroma autoimun pasca-infeksi measles.3 Virus Nipah
(family Paramyxoviridae) pertama kali dideteksi

setelah terjadinya outbreak

ensefalitis pada peternak babi di Malaysia. 3 Virus ini merupakan agen penyakit
zoonosis pada babi dan manusia.3
6

Arenavirus biasanya menginfeksi rodensia.3 Pada musim dingin biasanya


tikus tinggal di dalam rumah (indoor) sehingga risiko kontak manusia dengan
ekskret tikus meningkat.3 Oleh karena itu, lymphocytic choriomeningitis paling
sering terjadi selama musim dingin.3 Meningitis atau meningoensefalitis dapat
terjadi 5 sampai 10 hari setelah terinfeksi (masa inkubasi).3
Rabies masih merupakan patogen penting di negara berkembang, dimana
infeksi endemik akibat gigitan hewan masih ada.3 Agen rabies merupakan virus
RNA yang dikelompokkan dalam rhabdovirus.2 Di negara negara Eropa dan U.
S. A. rabies biasanya ditransmisikan dari gigitan hewan liar seperti srigala,
kelelawar, musang.3 Masa inkubasinya berlangsung selama 20-60 hari setelah
gigitan, atau dapat berlangsung seumur hidup.3
Citomegalovirus juga dapat menyebabkan ensefalitis, biasanya bersifat
kongenital.2 Infeksi juga bisa didapat pada masa perinatal melalui kontak dengan
sekret maternal selama proses persalinan atau dari ASI, tapi jenis infeksi yang
didapat pada masa post-natal ini jarang melibatkan susunan saraf pusat.2
Varicella-zostervirus (VZV) jarang sebagai agen penyebab ensefalitis. 2
Jika terjadi ensefalitis oleh VZV maka sering melibatkan

serebelum dan

biasanya menghilang secara spontan.2 Keterlibatan serebral pada infeksi VZV


jarang terjadi dan sering berhubungan dengan defisit neurologis yang signifikan
dan angka mortalitas yang lebih tinggi, tergantung dari respon host.2
Malaria serebral merupakan jenis ensefalitis yang dapat terjadi akibat
komplikasi terberat pada malaria oleh Plasmodium falciparum.2 Dibandingkan
orang dewasa malaria serebral lebih cenderung terjadi pada anak anak. 2
Biasanya terjadi pada anak berusia kurang dari 6 tahun di daerah endemik
malaria.2
Ensefalitis pasca-infeksi merupakan penyebab yang relatif sering pada
kasus ensefalitis yang tidak didapatkan agen penyebabnya dari parenkim otak,
sehingga dipikirkan mungkin sebagai akibat dari respon imunologis terhadap
infeksi sebelumnya.2 Agen yang dapat menjadi pencetus respon imunologis
tersebut antara lain measles, rubella, mumps, VZV, dan infeksi M pneumoniae.2
Juga dapat terjadi setelah imunisasi dengan vaksin dari agen agen tersebut.2

Ensefalitis oleh bukan virus dapat disebabkan oleh ricketsia, Mycoplasma


pneumoni,

Mycobacterium

(Plasmodium,

Trypanosoma),

tuberculosis,
dan

fungi

Spirochaeta

(sifilis),

(Histoplasmosis,

protozoa

Cryptococcus,

Aspergillosis, Mucormycosis, Moniliasis, Coccidiomycosis).8


Ensefalitis yang diasosiasikan dengan vaksin biasanya oleh rabies,
pertusis, morbili, influensa, vaccinia, yellow fever, dan typhoid.8
I.3. Epidemiologi
1.3.1 Frekuensi
Secara internasional, angka insiden dari ensefalitis oleh virus
sepertinya lebih rendah dari yang diperhitungkan, terutama di negara berkembang,
disebabkan hambatan pada deteksi patogen. 3 Japanese B encephalitis stidaknya
menyerang 50.000 individu per tahun.3
Dari penelitian terakhir di Finlandia, angka insiden ensefalitis viral pada
orang dewasa sebesar 1,4 per 100.000 per tahun.6 Penyebab utama adalah VHS (16
%), VZV (5 %), mumps (4 %), virus influenza A (4 %).3
Dari penelitian epidemiologi terakhir di U. S. A angka insiden ensefalitis viral
sebesar 3,5-7,4 per 100.000 penduduk per tahun.3 The Centers for Disease Control
and Prevention (CDC) memperkirakan angka insiden ensefalitis viral sebesar 20.000
kasus baru ensefalitis di U. S. A dan sebagian besar bersifat ringan.3 Dua penyebab
utama ensefalitis endemik di U. S. A. adalah VHS dan rabies. 3 ensefalitis akibat
infeksi VHS merupakan yang paling sering terjadi dan mempunyai insiden 2 kasus
per 1 juta populasi per tahun, merupakan 10 % dari seluruh kasus ensefalitis di U. S.
A.3 Ensefalitis oleh arbovirus berkisar 150-3000 kasus per tahun tergantung pada
kejadian dan intensitas dari transmisi epidemik.3
I.3.2 Mortalitas dan morbiditas
Angka mortalitas sebagian besar tergantung dari agen ensefalitis tersebut. 3
Ensefalitis oleh VHS menyebabkan mortalitas sebesar 70 % pada pasien yang tidak
mendapat terapi, dengan morbiditas berupa sekuele berat pada individu yang dapat
bertahan..3 Japanese B encephalitis merupakan penyebab ensefalitis viral terpenting
di seluruh dunia dengan 50.000 kasus baru dan 15.000 kematian per tahun, telah

dilaporkan terjadi di China, Asia Tenggara, Daratan India, Filipina, New Guinea,
Guam, dan Australia.3 Angka mortalitasnya tergantung pada usia, berkisar dari 2
hingga 20 % dan sekuele terjadi pada 20 % individu yang dapat bertahan.3
I.3.3. Jenis kelamin
Tidak terdapat perbedaan predileksi dalam hal jenis kelamin, kecuali
pada subakut sklerosing panensefalitis, prevalensinya 2-4 kali lebih besar pada anak
laki-laki.6
I.3.4 Usia
Individu dengan usia yang ekstrim berisiko paling tinggi, terutama
pada ensefalitis oleh VHS (ensefalitis herpes simpleks / EHS).6 EHS pada neonatus
merupakan manifestasi infeksi yang meluas.6 Pada bayi, anak, dan orang dewasa
lebih cenderung terjadi infeksi yang terlokalisir (paling sering VHS tipe I).6
I.4 Patogenesis
Selain jaringan otak, mikroorganisme dapat pula menyerang meningen,
medulla spinalis atau kombinasi dari struktur di atas, sehingga kelainan yang timbul
dapat berupa aseptic meningitis, mielitis, meningoensefalitis, atau ensefalomielitis.
Virus ini dapat menyerang semua golongan umur.
Masuknya virus ke dalam tubuh melalui :
1. Vektor nyamuk : Arbovirus.
Nyamuk Culex nishnui yang kena infeksi virus, setelah menggigit babi
sebagai reservoir (viremia lama tanpa menderita sakit), kemudian menggigit
manusia. Reservoir adalah babi, kuda, sapi, kerbau dan burung.
2. Makanan dan minuman : Enterovirus
3. Kontak dengan orang yang sakit : Morbilli
4. Melalui gigitan anjing gila : Rabies
Secara umum virus ensefalitis yang berada dalam tubuh manusia mencari
sistem limfe dan disini berkembang biak, selanjutnya lewat aliran darah menuju
organ-organ tubuh seperti jaringan otak yang dapat menyebabkan ensefalitis 5

1.5 Gejala Klinis


Pada permulaan penyakit : panas, sakit kepala, mual, muntah, pilek dan sakit
tenggorokan. Pada hari-hari berikutnya panas mendadak meningkat, kesadaran
dengan cepat menurun, anak gelisah, disusul dengan stupor atau koma. Kejangkejang berlangsung berjam-jam dan mendominasi penyakit. Kelainan syaraf berupa
paresis, paralysis atau ataksia serebral akut.
I.5 Diagnosis
I.5.1 Anamnesis
Gejala klinik sangat bervariasi dari ringan sampai berat, pada permulaan
penyakit hanya menunjukkan gejala ringan, kemudian koma dan bisa meninggal
mendadak.

Dari anamnesis bisa didapatkan adanya riwayat febris dengan onset

akut.3 Pasien dengan ensefalitis viral biasanya secara umum mengalami adanya nyeri
kepala, demam, dan kaku kuduk sebagai gejala dari iritasi leptomeningeal. 3 Dari
heteroanamnesis bisa didapatkan adanya tanda defisit neurologikus fokal, kejang,
dan perubahan kesadaran yang dimulai dengan letargia yang progresif menuju
disorientasi, stupor, dan koma.3 Seringkali didapatkan perubahan tingkah laku dan
bicara.3 Pergerakan abnormal dapat diperoleh dari cerita orang yang merawatnya. 3
Selain adanya febris yang dapat mengarah ke hipertermia dapat juga terjadi
poikilotermia akibat keterlibatan aksis hipotalamus-hipofisis.3
Petunjuk yang spesifik pada anamnesis/ heteroanamnesis tergantung dari
agen yang menjadi etiologinya.3 Penderita dapat memiliki riwayat digigit hewan yang
mungkin tidak diterapi dengan antirabies.1 Masa prodormal virus secara umum
berlangsung selama berhari-hari dan terdiri dari adanya riwayat febris, nyeri kepala,
mual, muntah, letargia, dan myalgia.1 Riwayat prodormal yang spesifik didapatkan
pada VZV, EBV, CMV, Measles, dan mumps antara lain berupa rash,
lymphadenopati, hepatosplienomegali, dan pembesaran kelenjar parotis.1 Pada SLE
bisa terdapat riwayat dysuria dan pyuria. 1 Pada WNE disa didapatkan riwayat letargia
yang ekstrim.1
Bentuk ensefalitis klasik adalah dengan gejala defisit neurologis difus atau
fokal.1 Berdasarkan hal tersebut bisa didapatkan riwayat perubahan tingkah laku dan
kepribadian, penurunan kesadaran, kaku kuduk, fotofobia, letargia, kejang fokal atau

10

general terdapat pada 60 % anak yang menderita California encephalitis, disorientasi


dengan onset akut, atau keadaan amnesia, kelumpuhan yang bersifat flaksid terjadi
pada 10 % dari kasus WNE.1
I.5.2 Pemeriksaan fisik
Dalam pemeriksaan fisik diamati adanya tanda infeksi virus.1 Tanda
ensefalitis dapat berupa defisit neurologis fokal maupun difus (80 % pasien EHS
datang dengan tanda defisit neurologis fokal) sebagai berikut:1
1.

Perubahan status mental dan/ atau kepribadian.

2.

Defisit neurologis fokal, seperti hemiparesis, kejang fokal, dan


disfungsi organ yang dipersarafi saraf otonom.

3.

Gangguan pergerakan (SLE, EEE, WEE).

4.

Ataksia.

5.

Defisit nervus kranialis.

6.

Disfagia (pada rabies dapat tampak mulut yang berbusa dan


hydrophobia).

7.

Meningismus

(lebih

jarang

terjadi

dibandingkan

pada

meningitis).
8.

Disfungsi sensorik-motorik unilateral.

Adapun ensefalitis herpes simpleks pada neonatus dapat menunjukkan gejala


dan tanda sebagai berikut:1
1.

Lesi kulit herpetik sejak lahir.

2.

Keratokonjungtivitis.

3.

keterlibatan orofaring, terutama mukosa bukal dan lidah.

4.

gejala ensefalitis, seperti kejang, irritable, perubahan derajat


kesadaran, dan fontanela yang cembung.

5.

Tanda tambahan dari VHS yang menyebar berupa syok,


ikterus, dan hepatomegaly.

Ensefalopati akibat toksoplasma yang terjadi pada pasien imunosupresif, 75


% datang dengan gejala defisit neurologikus fokal, sekitar satu setengah pasien
tersebut mengalami perubahan ensefalopatik.1

11

1.5.3 Pemeriksaan Penunjang


a.Pemeriksaan Serebrospinalis
Sering dalam batas normal. Kadang-kadang didapatkan pleositosis ringan
yang

didominir

oleh

limfosit,

protein

meningkat,

glukosa

pada

permulaannya bisa normal kemudian meningkat, asam laktat normal atau


meningkat.
b. Darah lengkap, Urine lengkap
Pemeriksaan darah dan urine lengkap dilakukan untuk mengisolasi dan
mengidentifikasikan virus. Enzyme-linked immunosorbent assays (ELISA),
dapat mengidentifikasi virus yang menyebabkan ensefalitis segera setelah
terinfeksi. Polymerase chain reaction (PCR) dapat mengidentifikasi virus
DNA walaupun dalam jumlah yang kecil.
c.Pemeriksaan virologi
Bahan : likuor serebrospinalis, jaringan otak (hasil nekropsi), dan/atau tinja.
Darah jarang memberikan hasil yang positif oleh karena viremia
berlangsung sangat singkat.
d. Pemeriksaan serologis
Pemeriksaan yang dapat dipakai adalah : uji fiksasi komplemen, uji inhibisi
hemaglutinasi, uji netralisasi.
Bahan: darah pada fase akut dan fase konvalesen. Positif bila titer antibody
pada fase konvalesen meningkat lebih dari/ atau sama dengan 4 kali.
e. Pemeriksaan patologi anatomi (post mortem)
Gambaran umum : edema otak, bendungan pembuluh darah dan infiltrasi
mononuklear sekitar pembuluh darah. Pada fase permulaan ada reaksi
granulossit pada selaput otakyang kemudian diganti dengan limfosit atau
monosit. Contoh Negri bodies, pada rabies, inclusion bodies pada kelompok
Herpes virus. 5
I.6 Diagnosis banding
Anamnesis yang diperoleh dapat menunjukkan eksposur yang mungkin
apakah dari individu lain, hewan dengan penyakit rabies maupun nyamuk..4 Adapun
beberapa keadaan yang dapat dipertimbangkan dalam mendiagnosis pasien dengan
12

anamnesis dan gejala yang mengarah ke ensefalitis adalah berbagai penyakit yang
dapat menyebabkan ensefalopati, yakni:6
1. Infeksi (meningitis, ensefalitis, abses otak).
Meningitis bakteri yang mendapat terapi tidak sempurna atau pada fase
permulaan penyakit meningitis bakteri yang belum dapat terapi. Pada
kasus ini akan didapatkan pada pemeriksaan likuor serebrospinalis :
neutrofil dominant, bakteri (+), glukosa normal atau menurun.
2. Keracunan obat-obatan.
Salisilat : anamnesis makan obat, panas badan, koma, nafas cepat, likuor
serebrospinalis normal.
1.7 Komplikasi Ensefalitis
Komplikasi jangka panjang dari ensefalitis berupa sekuele neurologikus yang
nampak pada 30 % anak dengan berbagai agen penyebab, usia penderita, gejala
klinik, dan penanganan selama perawatan.8 Perawatan jangka panjang dengan terus
mengikuti perkembangan penderita dari dekat merupakan hal yang krusial untuk
mendeteksi adanya sekuele secara dini.8
Walaupun sebagian besar penderita mengalami perubahan serius pada
susunan saraf pusat (SSP), komplikasi yang berat tidak selalu terjadi. Komplikasi
pada SSP meliputi:

Hidrosefalius: Timbul sebagai akibat adanya bendungan aliran likuor


di saluran aquaduktus. Bisa terjadi pada meningoensefalitis oleh virus
mump. Sering timbul pada saat fase perbaikan.

Hemiplegia, monoplegia, paresis atau paralysis syaraf pusat.

Epilepsi: akibat sikatrik yang tersisa di parenkim otak

Retardasi mental: sebagai akibat brain damage maka proses organis


sebenarnya telah lampau

2.8 Penatalaksanaan
1. Tindakan dan perawatan sesuai dengan kejang demam.
2. Pemakaian obat-obatan

13

a.

Dosis obat penurun panas dan anti kejang sesuai dengan kejang
demam.

b.

Antibiotika.
Diberikan untuk mencegah infeksi sekunder seperti Ampisillin dosis
50 100 mg/kgBB./hari, dibagi 3 dosis secara i.v.

c.

Untuk menghilangkan edema otak.


Dexamethason
- Dosis 0,5 - 1 mg/kgBB./hari, i.v. atau i.m.
- Dilanjutkan dengan dosis maintanance ,5 mg/kgbb/hari i.v atau i.m
dibagi 3 dosis. Dosis diturunkan pelan pelan setelah beberapa hari
bila ada perbaikan
Manitol
Dosis 0,5 2,0 gram/kgBB, i.v. dalam 30-60 menit dapat diulang
setiap 8-12 jam dengan menggunakan larutan manitol 15-20 %
selama 3 hari (tergantung dari respon penderita).
Gliserol
Dosis 0,5-1,0 ml/kgBB.,dengan sonde hidung, diencerkan 2 kali dan
dapat diulang tiap 6 jam.
Glukosa 20 %, 10 ml i.v. beberapa kali sehari, dimasukkan ke dalam
pipa infus.

3. Pengobatan suportif
a.

Pemberian cairan i.v. (Glukosa 10 %). Pemberian cairan i.v.


dimaksudkan untuk mempertahankan keseimbangan air-elektrolit,
mencakup kalori dan pemberian obat-obatan.

b.

Pemberian vitamin.

c.

Pemberian O2 untuk mencegah kerusakan jaringan otak akibat


hipoksia5

3.1 Ensefalitis Herpes Simplex


Ensefalitis herpes simplex merupakan infeksi ensefalon yang disebabkan oleh
virus Herpes simplek (HSV). Angka kejadian ensefalitis Herpes ismpleks (EHS) di

14

Amerika Serikat diperkirakan 2-4 kasus per 1000 penduduk per tahun, 30%
mengenai anak-anak. EHS merupakan satu-satunya ensefalitis yang dapat diberikan
terapi yang spesifik sesuai etiologinya dan secara signifikan memperbaiki
prognosisnya.5
Ensefalitis Herpes simpleks pada anak-anak terutama disebabkan oleh HSV
tipe 1 sedangkan HSV tipe 2 lebih sering menyebabkan infeksi pada neonatus.
Ensefalitis herpes simpleks diduga lebih banyak terjadi akibat reaktivitasi
endogenus virus daripada infeksi primer. Pada infeksi primer, virus menjadi laten
dalam gangglia trigeminal. Beberapa tahun kemudian, rangsangan non spesifik
menyebabkan reaktivasi. Virus dapat mencapai otak melalui cabang saraf trigeminal
ke basal meningen, menyebabkan predileksi EHS di daerah temporal dan lobus
frontalis orbita.5
Perjalann penyakit bisa akut atau sub akut. Gejala prodormal seperti
influensa, diikuti gambaran khas ensephalitis pada umumnya. Sekitar 40% kasus
datang dalam keadaan koma/prekoma. Manifestasi klinisnya bisa juga menyerupai
meningitis aseptik. Diperlukan keterampilan klinis yang tinggi untuk mendiagnosis
ensefalitis HSV karena gejala tidak selalu khas. Pertimbangkan ensefalitis HSV bila
dijumpai demam, kejang fokal dan defisit neurologis fokal seperti hemiparesis
dengan penurunan kesadaran progresif.
Pemeriksaan penujnag:

Darah tepi : tidak spesifik

Cairan serebrospinal: sel 10-1000 sel/ul (awalnya dominan sel PMN),


Protein: 50-2000 mg/dl; glukosa: normal atau sedikit menurun

EEG: gambaran periodic lateralisasi epileptiform discharge atau


perlambatan fokal pada area temporal atau pronto temporal. Sering
juga menunjukkan perlambatan umum tidak spesifik (hipofungsi
umum) sedang sampai berat.

CT scan kepala: tiga hari pertama sering normal setelah timbulnya


gejala neurologis, kemudian tampak lesi hipodense pada area fronto
temporal

Pemeriksaan MRI kepala memberikan hasil lebih baik

15

Pemeriksaan serologi Ig G dan Ig M dapat dikerjakan dengan


sensitifitas dan spesifisitas sekitar 70-80%

Pemeriksaan PRC cairan otak, dapat mendeteksi antibodi dengan


cepat. PCR positif segera setelah timbulnya gejala, dan bertahan
sampai 2 minggu atau lebih

Diagnosis ditegakkan berdasar manifestasi klinis, pemerikasaan laboratorium, EEG


dan pencitraaan

Prinsip penanganan sama seperti ensephalitis umum

Antivirus harus diberikan, asiklovir 10mg/kgbb setiap 8 jam selama


14-21 hari. Cara pemberian: larutkan asiklovir dalam 100 ml NaCl
0,9%, drip selama 1 jam(sebaiknya didahului skin tes). Pastikan
fungsi ginjal baik dan dilakukan pemantauan selam pemberian
asiklovir

Bila terjadi kejang berikan anti kejang( sesuai algoritme tata laksana
kejang akut dan status epileptikus)

Berikan anti edema otak: steroid atau manitol dengan dosis dan cara
pemberian yang benar

Bila ditemukan penderita yang dicurigai ensefalitis herpes simpleks, segera berikan
terapi asiklovir sampai terbukti bukan EHS. Bila sudah terbukti bukan EHS maka
terapi dapat dihentikan. Pemberian terapi asiklovir secara dini( dalam waktu 3-4 hari
setelah onset penyakit) sangat terindikasi dan sangat menentukan prognosis. Bila
tidak diobati angka kematian sekitar 70 %.5

16

DAFTAR PUSTAKA
1. Lazoff

M.

Encephalitis.

Emedicine

2011,

Oct.

4.

Available

from:

URL:http://www.emedicine.com/emerg/topic163.htm. Accessed Oct 4, 2011.


2. Lau AS, Uba A, Lehman D, Geertsman F, Supattapone S. Rudolphs
fundamentals of pediatrics. Ed.2nd. Stamford, Connecticute. Appleton & Lange;
1998.p.287-88.
3. Gondim F de AA. Viral encephalitis. Emedicine 2011, Oct 4. Available from:
URL:http://www.emedicine.com/NEURO/topic393.htm. Accessed Oct 4, 2011.
4. Prince A. Nelson essentials of pediatrics. Ed. 4th. Philadelphia, Pennsylvania. W.
B. Saunders Company; 2002.p.386-88.
5. Halstead SB. Nelson textbook of pediatrics. Ed. 17th. Philadelphia, Pennsylvania.
W. B. Saunders Company; 2002.p.1086-91.
6. Steele RW. Pediatric infectious disease. Ed. 2nd. New York. Parthenon
Publishing;p.6-8.
7. Suraatmaja S, Soetjiningsih. Pedoman diagnosis dan terapi ilmu kesehatan anak
RSUP Sanglah Denpasar. Cetakan ke-2. Denpasar. Lab./SMF Ilmu Kesehatan
Anak FK UNUD/ RSUP Sanglah; 2000.hal.205-8.
8. Kumar A. Meningitis bacterial. Emedicine 2011, Oct 4. Available from:
URL:http://www.emedicine.com/ped/topic198.htm. Accessed Oct 4, 2011.
9. Pedoman Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK
UNUD/ RSUP Sanglah: 2011.hal 299-306

17

Anda mungkin juga menyukai