PENDAHULUAN
Penyakit infeksi masih merupakan masalah kesehatan yang utama di negara
yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Infeksi-infeksi pada sistem saraf pusat
menimbulkan masalah medis yang serius dan membutuhkan pengenalan dan
penanganan segera untuk memperkecil gejala sisa neurologis yang serius dan
memperkecil angka mortalitas pasien. Diantaranyanya adalah infeksi pada jaringan
otak yaitu ensefalitis.1,2
Ensefalitis adalah infeksi pada jaringan otak yang dapat disebabkan oleh
berbagai mikroorganisme seperti bakteri, virus, parasit, fungus dan riketsia.
Peradangan otak merupakan penyakit yang jarang. Angka kejadiannya yaitu ,5 per
100.000 individu. Penyakit ini dapat dijumpai pada semua umur mulai dari anakanak sampai orang dewasa. Paling banyak menyerang anak anak, orang tua dan
pada orang- orang dengan sistem imun yang lemah, seperti pada penderita
HIV/AIDS, kanker dan anak gizi buruk. Insiden ensefalitis di Inggris pertahunnya
mencapai 4 orang per 100.000 penduduk. Di Indonesia sendiri, kasus ensefalitis pada
manusia telah banyak dilaporkan, tetapi pemyebab ensefalitis tersebut masih belum
banyak terungkap karena sulitnya diagnosis dan keterbatasan perangkat diagnostik
yang dapat mendiagnosis antigen dan antibody virus yang menyebabkan ensefalitis
pada manusia. Di Indonesia virus Japanese Echepalitis sudah banyak diisolasi baik
dari vektornya maupun babi dan binatang mamalia yang lain, seperti; sapi, ayam dan
kambing. Prevalensi dari kasus Japanesese encephalitis di Indonesia belum diketahui
dengan pasti. Enam puluh persen penyebab ensefalitis tidak diketahui, dari penyebab
yang diketahui tersebut kira kira 67 % berhubungan dengan penyakit infeksi pada
anak. 2
Ensefalitis memiliki komplikasi yang sangat kompleks. Komplikasi jangka
panjang dari ensefalitis berupa gejala sisaneeurologi yang nampak pada 30 % anak
dengan berbagai agen penyebab, usia penderita, gejala klinik, dan penanganan
selama perawatan. Perawatan jangka panjang dengan terus mengikuti perkembangan
penderita dari dekat merupakan hal yang krusial untuk mendeteksi adanya gejala sisa
secara dini. Komplikasi pada SSP meliputi tuli saraf, kebutaan kortikal, hemiparesis,
1
BAB I
DAFTAR PUSTAKA
I.1. Defenisi
Ensefalitis adalah proses inflamasi akibat infeksi pada susunan saraf pusat
yang melibatkan parenkim otak yang dapat bermanifestasi sebagai gangguan
neurofisiologis difus dan / atau fokal.1,2 Secara klinis ensefalitis dapat dijumpai
muncul bersamaan dengan meningitis, disebut meningoensefalitis, dengan tanda dan
gejala yang menunjukkan adanya inflamasi pada meninges seperti kaku kuduk, nyeri
kepala, atau fotofobia.1 Namun, dari sudut pandang epidemiologis dan patofisiologi,
ensefalitis berbeda dari meningitis.1 Dari sudut pandang terminologi, ensefalitis
berasal dari kata ensefalon + itis yang bermakna inflamasi pada parenkim otak. 1
Sedangkan meningitis berasal dari kata meninges + itis yang bermakna inflamasi
pada selaput pembungkus jaringan otak (meninges).3
I.2 Etiologi
Ensefalitis biasanya timbul sebagai akibat proses inflamasi akut tapi dapat juga
berupa
reaksi
inflamasi
pasca
infeksi
penyakit
lain
(postinfeksius
- EB virus
Poxvirus
- Vaccinia
- Variola
b.
Eastern equine
Western equine
Venezuelan equin
St. Louis
California
Japanese encephalitis
Morbilli
Rubella
Influenza
Varicella Zoster
Mump
Rabies
Pertussis
Morbilli
Influenza
Vaccinia
Yellow Fever
Typhoid
3.
menyebabkan penyakit lokal maupun sistemik. 2 Pada Anak dan bayi, VHS dapat
menyebabkan ensefalitis yang dapat memburuk.2 Infeksi pada neonatus biasanya
didapat selama atau sesaat sebelum bayi dilahirkan, bersumber dari organ
genitalia eksterna ibu.3 Infeksi primer VHS tipe II selama proses persalinan
memberikan faktor risiko yang lebih besar terhadap ensefalitis.2 Infeksi juga
dapat terjadi melalui rekurensi, namun baik infeksi primer maupun rekurens
keduanya dapat terjadi secara asimtomatik
jenis VHS yang menjadi agen pada exanthema subitum, virus ini dihubungkan
dengan terjadinya komplikasi neurologikus yang luas, termasuk pada ensefalitis
viral (fokal).3
Virus mumps dan measles (campak Jerman), merupakan sero-group
paramyxovirus yang sering menimbulkan gejala neurologis. 3 Measles biasanya
tidak menyebabkan ensefalitis pada fase akut, tetapi 1 dari 1000 kasus dapat
meningkatkan risiko sindroma autoimun pasca-infeksi measles.3 Virus Nipah
(family Paramyxoviridae) pertama kali dideteksi
ensefalitis pada peternak babi di Malaysia. 3 Virus ini merupakan agen penyakit
zoonosis pada babi dan manusia.3
6
serebelum dan
Mycobacterium
(Plasmodium,
Trypanosoma),
tuberculosis,
dan
fungi
Spirochaeta
(sifilis),
(Histoplasmosis,
protozoa
Cryptococcus,
dilaporkan terjadi di China, Asia Tenggara, Daratan India, Filipina, New Guinea,
Guam, dan Australia.3 Angka mortalitasnya tergantung pada usia, berkisar dari 2
hingga 20 % dan sekuele terjadi pada 20 % individu yang dapat bertahan.3
I.3.3. Jenis kelamin
Tidak terdapat perbedaan predileksi dalam hal jenis kelamin, kecuali
pada subakut sklerosing panensefalitis, prevalensinya 2-4 kali lebih besar pada anak
laki-laki.6
I.3.4 Usia
Individu dengan usia yang ekstrim berisiko paling tinggi, terutama
pada ensefalitis oleh VHS (ensefalitis herpes simpleks / EHS).6 EHS pada neonatus
merupakan manifestasi infeksi yang meluas.6 Pada bayi, anak, dan orang dewasa
lebih cenderung terjadi infeksi yang terlokalisir (paling sering VHS tipe I).6
I.4 Patogenesis
Selain jaringan otak, mikroorganisme dapat pula menyerang meningen,
medulla spinalis atau kombinasi dari struktur di atas, sehingga kelainan yang timbul
dapat berupa aseptic meningitis, mielitis, meningoensefalitis, atau ensefalomielitis.
Virus ini dapat menyerang semua golongan umur.
Masuknya virus ke dalam tubuh melalui :
1. Vektor nyamuk : Arbovirus.
Nyamuk Culex nishnui yang kena infeksi virus, setelah menggigit babi
sebagai reservoir (viremia lama tanpa menderita sakit), kemudian menggigit
manusia. Reservoir adalah babi, kuda, sapi, kerbau dan burung.
2. Makanan dan minuman : Enterovirus
3. Kontak dengan orang yang sakit : Morbilli
4. Melalui gigitan anjing gila : Rabies
Secara umum virus ensefalitis yang berada dalam tubuh manusia mencari
sistem limfe dan disini berkembang biak, selanjutnya lewat aliran darah menuju
organ-organ tubuh seperti jaringan otak yang dapat menyebabkan ensefalitis 5
akut.3 Pasien dengan ensefalitis viral biasanya secara umum mengalami adanya nyeri
kepala, demam, dan kaku kuduk sebagai gejala dari iritasi leptomeningeal. 3 Dari
heteroanamnesis bisa didapatkan adanya tanda defisit neurologikus fokal, kejang,
dan perubahan kesadaran yang dimulai dengan letargia yang progresif menuju
disorientasi, stupor, dan koma.3 Seringkali didapatkan perubahan tingkah laku dan
bicara.3 Pergerakan abnormal dapat diperoleh dari cerita orang yang merawatnya. 3
Selain adanya febris yang dapat mengarah ke hipertermia dapat juga terjadi
poikilotermia akibat keterlibatan aksis hipotalamus-hipofisis.3
Petunjuk yang spesifik pada anamnesis/ heteroanamnesis tergantung dari
agen yang menjadi etiologinya.3 Penderita dapat memiliki riwayat digigit hewan yang
mungkin tidak diterapi dengan antirabies.1 Masa prodormal virus secara umum
berlangsung selama berhari-hari dan terdiri dari adanya riwayat febris, nyeri kepala,
mual, muntah, letargia, dan myalgia.1 Riwayat prodormal yang spesifik didapatkan
pada VZV, EBV, CMV, Measles, dan mumps antara lain berupa rash,
lymphadenopati, hepatosplienomegali, dan pembesaran kelenjar parotis.1 Pada SLE
bisa terdapat riwayat dysuria dan pyuria. 1 Pada WNE disa didapatkan riwayat letargia
yang ekstrim.1
Bentuk ensefalitis klasik adalah dengan gejala defisit neurologis difus atau
fokal.1 Berdasarkan hal tersebut bisa didapatkan riwayat perubahan tingkah laku dan
kepribadian, penurunan kesadaran, kaku kuduk, fotofobia, letargia, kejang fokal atau
10
2.
3.
4.
Ataksia.
5.
6.
7.
Meningismus
(lebih
jarang
terjadi
dibandingkan
pada
meningitis).
8.
2.
Keratokonjungtivitis.
3.
4.
5.
11
didominir
oleh
limfosit,
protein
meningkat,
glukosa
pada
anamnesis dan gejala yang mengarah ke ensefalitis adalah berbagai penyakit yang
dapat menyebabkan ensefalopati, yakni:6
1. Infeksi (meningitis, ensefalitis, abses otak).
Meningitis bakteri yang mendapat terapi tidak sempurna atau pada fase
permulaan penyakit meningitis bakteri yang belum dapat terapi. Pada
kasus ini akan didapatkan pada pemeriksaan likuor serebrospinalis :
neutrofil dominant, bakteri (+), glukosa normal atau menurun.
2. Keracunan obat-obatan.
Salisilat : anamnesis makan obat, panas badan, koma, nafas cepat, likuor
serebrospinalis normal.
1.7 Komplikasi Ensefalitis
Komplikasi jangka panjang dari ensefalitis berupa sekuele neurologikus yang
nampak pada 30 % anak dengan berbagai agen penyebab, usia penderita, gejala
klinik, dan penanganan selama perawatan.8 Perawatan jangka panjang dengan terus
mengikuti perkembangan penderita dari dekat merupakan hal yang krusial untuk
mendeteksi adanya sekuele secara dini.8
Walaupun sebagian besar penderita mengalami perubahan serius pada
susunan saraf pusat (SSP), komplikasi yang berat tidak selalu terjadi. Komplikasi
pada SSP meliputi:
2.8 Penatalaksanaan
1. Tindakan dan perawatan sesuai dengan kejang demam.
2. Pemakaian obat-obatan
13
a.
Dosis obat penurun panas dan anti kejang sesuai dengan kejang
demam.
b.
Antibiotika.
Diberikan untuk mencegah infeksi sekunder seperti Ampisillin dosis
50 100 mg/kgBB./hari, dibagi 3 dosis secara i.v.
c.
3. Pengobatan suportif
a.
b.
Pemberian vitamin.
c.
14
Amerika Serikat diperkirakan 2-4 kasus per 1000 penduduk per tahun, 30%
mengenai anak-anak. EHS merupakan satu-satunya ensefalitis yang dapat diberikan
terapi yang spesifik sesuai etiologinya dan secara signifikan memperbaiki
prognosisnya.5
Ensefalitis Herpes simpleks pada anak-anak terutama disebabkan oleh HSV
tipe 1 sedangkan HSV tipe 2 lebih sering menyebabkan infeksi pada neonatus.
Ensefalitis herpes simpleks diduga lebih banyak terjadi akibat reaktivitasi
endogenus virus daripada infeksi primer. Pada infeksi primer, virus menjadi laten
dalam gangglia trigeminal. Beberapa tahun kemudian, rangsangan non spesifik
menyebabkan reaktivasi. Virus dapat mencapai otak melalui cabang saraf trigeminal
ke basal meningen, menyebabkan predileksi EHS di daerah temporal dan lobus
frontalis orbita.5
Perjalann penyakit bisa akut atau sub akut. Gejala prodormal seperti
influensa, diikuti gambaran khas ensephalitis pada umumnya. Sekitar 40% kasus
datang dalam keadaan koma/prekoma. Manifestasi klinisnya bisa juga menyerupai
meningitis aseptik. Diperlukan keterampilan klinis yang tinggi untuk mendiagnosis
ensefalitis HSV karena gejala tidak selalu khas. Pertimbangkan ensefalitis HSV bila
dijumpai demam, kejang fokal dan defisit neurologis fokal seperti hemiparesis
dengan penurunan kesadaran progresif.
Pemeriksaan penujnag:
15
Bila terjadi kejang berikan anti kejang( sesuai algoritme tata laksana
kejang akut dan status epileptikus)
Berikan anti edema otak: steroid atau manitol dengan dosis dan cara
pemberian yang benar
Bila ditemukan penderita yang dicurigai ensefalitis herpes simpleks, segera berikan
terapi asiklovir sampai terbukti bukan EHS. Bila sudah terbukti bukan EHS maka
terapi dapat dihentikan. Pemberian terapi asiklovir secara dini( dalam waktu 3-4 hari
setelah onset penyakit) sangat terindikasi dan sangat menentukan prognosis. Bila
tidak diobati angka kematian sekitar 70 %.5
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Lazoff
M.
Encephalitis.
Emedicine
2011,
Oct.
4.
Available
from:
17