Disusun Oleh
KELOMPOK 5
1 Khairana Amalia (1202134096)
2 Meilia Irma Sari (1202130209)
3 Restau Riska Indah Ramadhina (1202130180)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kita sering mendengar banyak perusahaan yang terpuruk karena tata
pemerintahan sebuah perusahaan tersebut tidak baik sehingga banyak fraud
atau praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang terjadi, sehingga terjadinya
krisis ekonomi dan krisis kepercayaan para investor, yang mengakibatkantidak ada
investor yang mau membeli saham perusahaan tersebut. artinya,bisa dikatakan jika
perusahaan tersebut tidak menerapkan Corporate Governance dengan baik. Oleh
karena itu, undang-undang ini menjadi acuan awal dalam penjabaran dan penciptaan
GCG di berbagai negara. Good Corporate Governance dimaksudkan agar tata kelola
perusahaan baik sehingga bisa meminimalisir praktek-prakter kecurangan.
Joel Balkan (2002) mengatakan bahwa perusahaan (korporasi) saat ini telah
berkembang dari sesuatu yang relative tidak jelas menjadi institusi ekonomi dunia
yang amat dominan. Kekuatan tersebut terkadang mampu mendikte hingga ke dalam
pemerintahan suatu negara, sehingga mejadi tidak berdaya dalam menghadapi
penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh para pelaku bisnis yang berpengaruh
tersebut. Semua itu terjadi karena perilaku tidak etis dan bahkan cenderung kriminalyang dilakukan oleh para pelaku bisnis yang memang dimungkinkan karena kekuatan
mereka yang sangat besar disatu sisi, dan ketidakberdayaan aparat pemerintah dalam
menegakkan hukum dan pengawasan atas perilaku para pelaku bisnis tersebut;
disamping berbagai praktik tata kelola perusahaan dan pemerintahan yang buruk.
Dalam corporate governance selalu ada dua hal yang perlu diperhatikan.
Apakah aturan atau sistem tata-kelola sudah ada secara jelas, lengkap, dan tertulis ?
Apakah aturan dan sistem yang sudah jelas tersebut dilaksanakan dengan konsisten
atau tidak ? Kedua hal tersebutlah yang menentukan apakah sudah ada good corporate
governance dalam suatu perusahaan.
1.2 Rumusan Masalah
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Latar belakang munculnya GCG
Good Corporate Governance atau dikenal dengan nama Tata Kelola
Perusahaan Yang Baik (selanjutnya disebut GCG) muncul tidak semata-mata karena
adanya kesadaran akan pentingnya konsep GCG namun dilatar belakangi oleh
maraknya skandal perusahaan yang menimpa perusahaan-perusahaan besar. Joel
Balkan (2002) mengatakan bahwa perusahaan (korporasi) saat ini telah berkembang
dari sesuatu yang relative tidak jelas menjadi institusi ekonomi dunia yang amat
dominan. Kekuatan tersebut terkadang mampu mendikte hingga ke dalam
pemerintahan suatu negara, sehingga mejadi tidak berdaya dalam menghadapi
penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh para pelaku bisnis yang berpengaruh
tersebut. Semua itu terjadi karena perilaku tidak etis dan bahkan cenderung kriminalyang dilakukan oleh para pelaku bisnis yang memang dimungkinkan karena kekuatan
mereka yang sangat besar disatu sisi, dan ketidakberdayaan aparat pemerintah dalam
menegakkan hukum dan pengawasan atas perilaku para pelaku bisnis tersebut;
disamping berbagai praktik tata kelola perusahaan dan pemerintahan yang buruk.
Salah satu dampak signifikan yang terjadi adalah krisis ekonomi di suatu
negara, dan timbulnya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Sebagai akibat
adanya tata kelola perusahaan yang buruk oleh perusahan-perusahaan besar yangmana
mengakibatkan terjadinya krisis ekonomi dan krisis kepercayaan para investor, seperti
yang terjadi di Amerika pada awal tahun 2000 dan tahun 2008 yang mengakibatkan
runtuhnya beberapa perusahan besar dan ternama dunia; disamping juga
menyebabkan krisis global dibeberapa belahan negara dunia. Sebagai contoh, untuk
mengatasi krisis tersebut, pemerintah amerika mengeluarkan Sarbanes-Oxley Act
tahun 2002; undang-undang dimaksud berisikan penataan kembali akuntansi
perusahaan publik, tata kelola perusahaan dan perlindungan terhadap investor. Oleh
karena itu, undang-undang ini menjadi acuan awal dalam penjabaran dan penciptaan
GCG di berbagai negara.
Konsep GCG belakangan ini makin mendapat perhatian masyarakat dikarenakan
GCG memperjelas dan mempertegas mekanisme hubungan antar para pemangku
kepentingan di dalam suatu organisasi yang mencakup :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
2.
3.
4.
5.
Model
Suatu sistem, proses, dan seperangkat peraturan, termasuk prinsip-prinsip, s
erta nilai-nilai yang meladasi praktik bisnis yang sehat.
3. Tujuan
a.
Meningkatkan kinerja organisasi,
b.
Menciptakan nilai tambah bagi semua pemangku kepentingan,
c.
Mencegah dan mengurangi manipulasi serta kesalahan yang signifikan dalam
pengelolaan organisasi,
d.
4.
Mekanisme
Mengatur dan mempertegas kembali hubungan, peran, wewenang, dan tanggung
jawab :
a.
Dalam arti sempit
Antar pemilik atau pemegang saham, dewan komisaris dan direksi.
b.
Dalam arti luas
Antar seluruh pemangku kepentingan.
2.3 Prinsip GCG
Good Corporate Governance merupakan gabungan prinsip-prinsip dasar
dalam membangun suatu tatanan etika kerja dan kerjasama agar tercapai rasa
kebersamaan, keadilan, optimasi dan harmonisasi hubungan sehingga dapat menuju
kepada tingkat perkembangan yang penuh dalam suatu organisasi atau badan usaha.
Prinsip-prinsip dasar tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut :
1.
Vision
Pengembangan suatu organisasi atau badan usaha harus didasarkan pada adanya visi
& strategi yang jelas dan didukung oleh adanya partisipasi dari seluruh anggota dalam
proses pengambilan keputusan, pelaksanaan dan pengembangan supaya semua pihak
akan merasa memiliki dan tanggungjawab dalam kemajuan organisasi atau usahanya.
2.
Participation
Dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan hasil keputusan suatu
organisasi atau badan usaha sedapat-dapatnya melibatkan pihak-pihak terkait dan
relevan melalui sistem yang terbuka dan dengan jaminan adanya hak berasosiasi dan
penyampaian pendapat.
3.
Equality
Suatu badan usaha atau organisasi yang baik selalu akan member dan menyediakan
peluang yang sama bagi semua anggota atau pihak terkait bagi peningkatan
kesejahteraan melalui usaha bersama di dalam etika usaha yang baik.
4.
Professional
Dalam bahasa sehari-hari professional diartikan One who engaged in alearned
vocation (Seseorang yang terikat dalam suatu lapangan pekerjaan). Dalam konteks
ini professional lebih dikaitkan dengan peningkatan kapasitas kompetensi dan juga
moral sehingga pelayanan dapat dilakukan dengan mudah, cepat dan akurat.
5.
Supervision
Meningkatkan usaha-usaha supervisi terhadap semua aktivitas usaha atau organisasi
sehingga tujuan bersama dapat dicapai secara optimal, efektif dan efisien, serta untuk
meminimalkan potensi kesalahan atau penyimpangan yang mungkin timbul.
6.
7.
Transparent
Dalam konteks good governance, transparency lebih diartikan membangun
kepercayaan yang saling menguntungkan antara pemerintah atau pengelola dengan
masyarakat atau anggotanya melalui ketersediaan informasi yang mudah diakses,
lengkap dan up to date.
8.
Accountability/Accountable
Dalam konteks pembicaraan ini accountability lebih difokuskan dalam meningkatkan
tanggungjawab dari pembuat keputusan yang lebih diarahkan dalam menjawab
kepentingan publik atau anggota.
9.
Fairness
Dalam konteks good governance maka fairness lebih diartikan sebagai aturan hukum
harus ditegakan secara adil dan tidak memihak bagi apapun, untuk siapapun dan oleh
pihak manapun.
10.
Honest
Policy, strategi, program, aktivitas dan pelaporan suatu organisasi atau badan usaha
harus dapat dijalankan secara jujur. Segala jenis ketidak-jujuran pada akhirnya akan
selalu terbongkar dan merusak tatanan usaha dan kemitraan yang telah dan sedang
dibangun. Tanpa kejujuran mustahil dapat dibangun trust dan long term partnership.
11.
Kewajaran
Prinsip agar para pegelola memperlakukan pemangku kepentingan secara adil dan
setara, baik pemangku kepentingan primer (pemasok, pelanggan, karyawan, dan
pemodal) maupun sekunder (pemerintah, masyarakat, dan pihak lain). Prinsip inilah
yang memunculkan konsep pengedepanan kepentingan atas stakeholders dan bukan
hanya shareholders.
2.
Transparansi
Kewajiban bagi para pengelola untuk menjalankan prinsip keterbukaan dalam proses
keputusan dan penyampaian informasi. Lebih dalam bahwa, informasi yang
disampaikan harus lengkap, benar, dan tepat waktu kepada semua pemangku
kepentingan, tidak boleh ada hal-hal tertentu yang dirahasiakan, disembunyikan,
ditutup-tutupi, maupun ditunda-tunda pengungkapannya.
3.
Akuntabilitas
Kewajiban bagi para pengelola untuk membina sistem akuntansi yang efektif untuk
menghasilkan laporan keuangan yang dapat dipercaya (reliable) dan berkualitas.
4.
Responsibilitas
Kewajiban para pengelola untuk memberikan pertanggungjawaban atas semua
tindakan dalam pengelolaan perusahaan kepada para pemangku kepentingan sebagai
wujud kepercayaan dan wewenang yang telah diberikan.
Pertanggungjawaban ini setidaknya mencakup dimensi :
a.Ekonomi
Diwujudkan dalam bentuk pemberian keuntungan ekonomis bagi pemangku
kepentingan,
b. Hukum
Diwujudkan dalam bentuk kepatuhan terhadap hukum danperaturan-peraturan yang
berlaku ,
c. Moral
Diwujudkan dalam bentuk pertanggungjawaban tersebut dapat dirasakansecara
menyeluruh dan adil bagi semua pemangku kepentingan,
d. Sosial
Diwujudkan dalam bentuk Corporate Social Responsibility(CSR) sebagai wujud
kepedulian terhadap kesejahteraan masyarakat dan kelestarian alam di lingkungan
perusahaan,
e. Spiritual
Diwujudkan dalam bentuk sejauh mana tindakan manajementelah mampu
mewujudkan aktualisasi diri atau telah dirasakan sebagai bagian dari ibadah sesuai
dengan ajaran agama yangdiyakininya.
5.
Kemandirian
Suatu keadaan dimana para pengelola dalam mengambil suatu keputusan
bersifat profesional, mandiri, bebas dari konflik kepentingan, bebas dari tekanan serta
pengaruh dari pihak manapun yang bertentangan dengan perundangan yang berlaku
dan prinsip pengelolaan yang sehat.
Kebutuhan tata kelola etis tidak hanya baik bagi bisnis perusahaan. Perubahanperubahan terkini pada regulasi pemerintahan merubah ekspektasi secara signifikan.
Dalam era meningkatkan pengawasan, dimana perilaku tidak etis dapat
mempengaruhi pencapaian tujuan perusahaan secara keseluruhan, sangat dibutuhkan
sistem tata kelola perusahaan yang menyediakan aturan serta akuntabilitas yang tepat
untuk kepentinganshareholders, direktur, dan eksekutif.
Direktur harus cermat dalam mengatur risiko bisnis dan etika perusahaannya.
Mereka harus memastikan bahwa budaya etis telah berjalan dengan efektif dalam
perusahaan. Hal ini membutuhkan pengembangan code of conduct, dan cara yang
paling fundamental dalam menciptakan pemahaman mengenai perilaku yang tepat,
memperkuat perilaku tersebut, dan meyakinkan bahwa nilai yang mendasarinya
dilekatkan pada strategi dan operasi perusahaan. Konflik kepentingan dalam
perusahaan, kekerasan seksual, dan topiktopik serupa perlu diatasi segera dengan
pengawasan yang memadai untuk menjaga agar budaya perusahaan sejalan dengan
ekspektasi saat ini.
Peristiwa Enron, Arthur Andersen, dan WorldCom mengubah fokus akuntan
profesional terhadap perannya sebagai orang yang dipercaya oleh publik. Reputasi
dan eksistensi profesi akuntan di masa depan telah menurun di mata publik, sehingga
perbaikan serta kesuksesannya kembali tergantung pada perubahan yang akan
dilakukan.
Profesi akuntan harus mengembangkan pertimbangan, nilai, dan sifat karakter
yang mencakup kepentingan publik, dimana pertimbangan tersebut inheren dengan
munculnya akuntabilitas berorientasi stakeholder dan kerangka tata kelola
(governance framework). Standar code of conduct yang baru muncul untuk menuntun
profesi akuntan serta memastikan bahwa self-interest, bias, dan kesalahpahaman tidak
menutupi independensinya.
Globalisasi mulai mempengaruhi perkembangan aturan dan harmonisasi
standar akuntan profesional, dan hal ini akan terus berkelanjutan. Sama seperti
mekanisme tata kelola untuk korporasi yang menghasilkan batasan dan yurisdiksi
domestik, stakeholders di seluruh dunia akan lebih mengutamakan dalam menentukan
standar kinerja bagi profesi akuntan. Pekerjaan mereka akan melayani pasar modal
dan korporasi global, dan kesuksesannya membutuhkan respek dari karyawan dan
partner yang lebih banyak dibandingkan dahulu. Dengan kemampuan dan
alain karena adanya perubahan dan perkembangan yang cepat berkaitan dengan
teknologi, ekonomi, harapan masyarakat tentang perlunya peningkatan pelayanan dan
kepastian hokum, kesadaran social dan lingkungan, serta tuntutan pengelolaan usaha
yang sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang baik.
Ketentuan yang disempurnakan ini, antara lain:
1.Dimungkinkan mengadakan RUPS dengan memanfaatkan teknologi informasi yang
ada, seperti: telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya
(Pasal 77).
2.Kejelasan mengenai tata cara pengajuan dan pemberian pengesahan status badan
hukum dan pengesahan Anggran dasar Perseroan.
3.Memperjelas dan mempertegas tugas dan tanggung jawab direksi dan dewan
komisaris, termasuk mengatur mengenai komisaris independent dan komisaris utusan
4.Kewajiban perseroan untuk melaksanakan tanggung jawab social dan lingkungan.
Undang-Undang perseroan terbatas Nomor 40 Tahun 2007 tidak mengatur
secara eksplisit tentang GCG. Meskipun begitu, Undang-Undang ini mengatur secara
garis besar tentang mekanisme hubungan, peran, wewenang, tugas dan tanggung
jawab, prosedur dan tata cara rapat, serta proses pengambilan keputusan dan organ
minimal yang harus ada dalam perseroan, yaitu Rapat Umum Pemegang saham
(RUPS), direksi, dan Dewan Komisaris.
Wewenang dari ketiga organ ini diatur dalam Bab I Pasal 1 sebagai berikut:
Ayat 4
Rapat umum pemegang saham, yang selanjutnya disebut RUPS, adalah
Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada direksi
atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini
dan/atau anggaran dasar.
Ayat 5
Direksi adalah Organ Perseoran yang berwenang dan bertanggung jawab
penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud
dan tujuanperseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun diluar
pengadilan sesuai dengan ketentuan anggran dasar.
Ayat 6
Dewan komisaris adalan Organ Perseroan yang bertugas melakukan
pengawasan secara umum dan atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta
memberi nasehat kepada direksi.
Secara spesifik, wewenang, tugas dan tanggung jawab ketiga organ ini dapat
diringkas sebagai berikut:
1.
RUPS
a.
Menyetujui dan menetapkan Anggaran Dasar Perusahaan (Pasal 19 ayat 1)
b.
Menyetujui pembelian kembali dan pengalihan saham Perseroan (Pasal 38 ayat
c.
Menyetujui penambahan dan pengurangan modal Perseroan (Pasal 41 ayat 1
dan Pasal 44 ayat 1)
d.
Menyetujui dan mengesahkan laporan tahunan termasuk laporan keuangan
Aturan yang berkaitan dengan sekretaris perusahaan ini dapat dilihat antara lain pada:
1.
Keputusan Ketua Bapepam Nomor 63 tahun 1996 tentang Pembentukan
Sekretaris Perusahaan bagi Perusahaan Publik.
2.
Keputusan Direksi BEJ Nomor 339 Tahun 2001 tentang Sekretaris Perusahaan.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Good corporate governance (GCG) merupakan sistem yang mengatur dan
mengendalikan perusahaan guna menciptakan nilai tambah (value added) untuk
semua stakeholder. Konsep ini menekankan pada dua hal yakni, pertama, pentingnya
hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar dan tepat pada
waktunya dan, kedua, kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan
(disclosure) secara akurat, tepat waktu, transparan terhadap semua
informasi kinerja perusahaan, kepemilikan, dan stakeholder.
Terdapat empat komponen utama yang diperlukan dalam konsep Good
Corporate Governance, yaitu fairness, transparency, accountability, dan responsibility.
Keempat komponen tersebut penting karena penerapan prinsip Good Corporate
Governance secara konsisten terbukti dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan
dan juga dapat menjadi penghambat aktivitas rekayasa kinerja yang mengakibatkan
laporan keuangan tidak menggambarkan nilai fundamental perusahaan.
Dari berbagai hasil penelitian lembaga independen menunjukkan bahwa
pelaksanan Corporate Governance di Indonesia masih sangat rendah, hal ini terutama
disebabkan oleh kenyataan bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia belum
sepenuhnya memiliki Corporate Culture sebagai inti dari Corporate Governance.
Pemahaman tersebut membuka wawasan bahwa korporat kita belum dikelola secara
benar, atau dengan kata lain, korporat kita belum menjalankan governansi.
3.2. Saran
Untuk dapat memperoleh tata kelola perusahaan yang baik, kita perlu
memahami lebih dalam tentang Good Corporate Governance yang mana dapat
membantu kita membentuk perusahaan yang baik sesuai dengan tujuan yang
ditentukan oleh perusahaan sebelumnya. Oleh sebab itu, pembahasan ini dapat
membantu para pembaca untuk dapat dijadikan referensi yang mengacu pada tata
kelola perusahaan yang baik.
Daftar Pustaka
Arafat, Wilson, Mohamad Fajri MP, Smart Strategy for 360 degree GCG (Good
Corporate Governance) (October 2009). Skyrocketing Publisher. ISBN 978-97918098-1-8
Arafat, Wilson, How To Implement GCG Effectively (July 2008). Skyrocketing
Publisher.
Becht, Marco, Patrick Bolton, Ailsa Rell, Corporate Governance and
Control (October 2002; updated August 2004). ECGI - Finance Working Paper No.
02/2002.
Miko Kamal, Undang Undang PT dan Harapan Implementasi GCG, Hyperlink
reference not valid.
http://gustiphd.blogspot.com/2011/10/sejarah-lahir-gcg-dan-perkembangannya.html
http://onvalue.wordpress.com/2007/10/09/sejarah-timbulnya-corporate-governance/