Anda di halaman 1dari 19

Audit Defisiensi Keselamatan Infrastruktur Jalan Nasional KM 29-KM 30 Jalur Pantura Jawa

Dr. Agus Taufik Mulyono


Dosen JTSL FT UGM
Dewan Peneliti Pustral UGM
Ketua FSTPT (Forum Studi
Transportasi antar Perguruan Tinggi)
Majelis Profesi MTI (Masyarakat
Transportasi Indonesia)
Telp: 087884232128
E-mail : atm8002@yahoo.com

Dr. Max Antameng


Ka. Subdit Perencanaan Umum
Direktorat Bina Program
Direktorat Jenderal Bina Marga
Kementerian Pekerjaan Umum
Jln. Patimura 20 Jakarta
E-mail : cenrma@yahoo.com
Ahmad Arief Teguh Budiarto
Mahasiswa S1 JTSL FT UGM
Asisten Penelitian Audit Keselamatan Jalan
Hibah Strategis Nasional Lanjutan Bidang
Transportasi 2010, LPPM-UGM
Telp: 085292170497
E-mail : ahmadarief_budiarto@yahoo.com

Abstrak
Ruas jalan nasional KM 29 KM 30 di jalur pantura Jawa, di Desa Sambung, Kecamatan Weleri,
Kabupaten Semarang merupakan salah satu lokasi rawan kecelakaan dengan 39 kejadian kecelakaan
selama periode Januari Oktober 2009. Jumlah korban meninggal dunia 5 (lima) orang, luka berat 3 (tiga)
orang, dan luka ringan 52 orang. Salah satu dari kejadian kecelakaan langsung menelan korban meninggal
dunia sebanyak 4 (empat) orang di lokasi tersebut. Sementara hasil investigasi menyimpulkan kejadian
kecelakaan lebih cenderung disebabkan faktor kesalahan manusia. Beberapa hasil penelitian keselamatan
jalan di Australia dan Amerika sudah mulai mencermati sejauhmana peranan defisiensi keselamatan
infrastruktur jalan beserta lingkungannya dapat memberikan potensi kejadian kecelakaan di lapangan.
Tujuan makalah ini adalah memaparkan hasil Audit Keselamatan Infrastruktur Jalan secara kuantitatif dan
kualitatif berdasarkan hasil ukur defisiensi keselamatan jalan di lapangan agar menjadi model evaluasi bagi
auditor jalan untuk merekomendasi kelaikan fungsi jalan.
Data dan informasi yang dikompilasi untuk analisis adalah pengamatan visual dan hasil ukur
defisiensi keselamatan infrastruktur jalan di ruas jalan KM 29 - KM 30 jalur pantura Jawa, di Desa
Sambung, Kecamatan Weleri, Kabupaten Semarang, serta laporan anatomi kecelakaan yang diterbitkan
oleh kantor Polda Jateng. Hasil audit dihitung berdasarkan indikator nilai resiko penanganan defisiensi
keselamatan jalan, yang merupakan hasil perkalian antara nilai peluang potensi kejadian kecelakaan dan
nilai dampak keparahan korban kecelakaan.
Hasil audit defisiensi keselamatan ruas jalan tersebut menunjukkan bahwa beberapa ruang bagianbagian jalan beserta fasilitas perlengkapannya yang termasuk kategori bahaya (B) dan atau sangat
berbahaya (SB) harus segera dikelola dan diperbaiki untuk mereduksi potensi kejadian kecelakaan di
jalan, yaitu: (1) perbaikan geometrik yang meliputi jarak pandang menyiap, posisi elevasi bahu jalan
terhadap elevasi tepi perkerasan, dan radius tikungan; (2) perbaikan perkerasan yang meliputi kerusakan
berupa permukaan bergelombang dan bleeding (permukaan licin akibat banjir aspal di permukaan jalan;
(3) perbaikan perlengkapan jalan di tikungan, antara lain: rambu batas kecepatan, rambu penunjuk arah,
rambu peringatan atau sinyal sebelum masuk tikungan, dan pemasangan lampu penerangan jalan serta
pembangunan median untuk memisahkan arah lajur kendaraan pada tikungan. Perbaikan defisiensi
keselamatan infrastruktur jalan di tikungan tersebut harus direalisasikanoleh penyelenggara jalan paling
lama 2 (dua) minggu sejak hasil audit keselamatan jalan disetujui oleh tim uji laik fungsi jalan yang
dibentuk oleh penyelenggara jalan (Pasal 22 UU 22/2009 dan Pasal 102 PP 34/2006).
Kata-kata kunci: audit, defisiensi, jalan, kecelakaan, keparahan, keselamatan, peluang, resiko
1.

LATAR BELAKANG
Pengelolaan infrastruktur jalan pada jalur Pantura (pantai utara) Jawa memiliki manfaat yang sangat

strategis dalam mendukung perkembangan wilayah Jawa dan pertumbuhan ekonomi nasional serta

memberikan bukti konsekuensi Indonesia mendukung Asia Asean Highway. Namun demikian, selain
manfaat besar yang diperoleh, ternyata timbul permasalahan sensitif, antara lain: (1) defisiensi
keselamatan infrastruktur jalan yang memberikan potensi terjadinya kecelakaan berkendaraan; dan (2)
polusi udara dan kebisingan suara yang dirasakan oleh pengguna dan pemanfaat jalan akibat kemacetan
lalulintas kendaraan yang berkepanjangan. Selama satu dasawarsa ini, Indonesia masih menempatkan
faktor manusia memberikan kontribusi hampir 92% terhadap terjadinya kecelakaan berkendaraan,
selanjutnya diikuti faktor kendaraan sebesar 5% dan faktor infrastruktur jalan dan lingkungannya sebesar
3% (Mulyono dkk, 2008b;2009b). Beberapa hasil penelitian di Amerika sebagaimana yang dilakukan Fuller
(2005) dan Treat, et al (1977) dalam Mulyono (2009) menyebutkan interaksi antara perilaku manusia dan
kondisi performansi permukaan jalan memberikan kontribusi hampir 35% terhadap terjadinya kecelakaan
di jalan raya. Sementara itu, proses penelitian tersebut dikembangkan oleh Austroads (2002) dalam
Mulyono dkk (2009b;2009c) yang menunjukkan pengaruh interaksi manusia dan kondisi jalan terhadap
terjadinya kecelakaan kemudian berkurang menjadi 24%.
Aspek keselamatan infrastruktur jalan sekarang ini sudah menjadi komitmen Pemerintah dan semua
stakeholder terkait sebagaimana dipertegas dalam Pasal 24 dan Pasal 273 Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Penyelenggara jalan wajib
segera dan patut untuk memperbaiki jalan yang rusak maupun substandar yang dapat mengakibatkan
kecelakaan lalulintas. Oleh karenanya sebagai antisipasi untuk menghindari kecelakaan maka
penyelenggara jalan wajib memasang rambu pada lokasi-lokasi potensi kejadian kecelakaan
berkendaraan. Untuk mengurangi potensi kecelakaan tersebut, penyelenggara dan pengatur jalan wajib
melakukan audit keselamatan jalan, sehingga dapat dilakukan program-program aksi memperbaiki
defisiensi keselamatan infrastrukturnya (Mulyono dkk, 2010).
Perbaikan defisiensi keselamatan

infrastruktur jalan dilaksanakan dua lembaga birokrasi

pemerintah, yaitu Ditjen Bina Marga (Kementrian Pekerjaan Umum) dan Ditjen Perhubungan Darat
(Kementrian Perhubungan). Sebagai pihak penyelenggara jalan, Ditjen Bina Marga memiliki tanggung
jawab untuk merencanakan desain jalan sesuai standar dan memperbaiki lokasi rawan kecelakaan. Ditjen
Perhubungan Darat memiliki tanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan harmonisasi marka,
sinyal, dan rambu atau petunjuk keselamatan jalan yang disesuaikan dengan fungsi jalan. Fakta di
lapangan masih menunjukkan bahwa kedua lembaga tersebut belum terintegrasi secara optimal, misalnya:
(1) banyak tikungan jalan yang tidak dilengkapi dengan rambu batasan kecepatan yang disesuaikan
dengan fungsi jalan; (2) banyak ruas-ruas jalan baik bagian lurus maupun tikungan yang dibangun secara
substandar karena kesulitan kelayakan fisiografi trase jalan; (3) banyak ruas jalan yang rusak tidak
dilengkapi rambu-rambu peringatan dan petunjuk lokasi kerusakan struktural jalan. Fakta

tersebut

memperkuat perlunya dilakukan audit keselamatan infrastruktur jalan yang mendasarkan pemikiran pada

prinsip

forgiving road environment, self-explaining road, dan self-regulating road (Mulyono dkk,

2008a;2009b; 2010).
Tujuan penelitian

ini adalah mencermati hasil audit keselamatan infrastruktur jalan dengan

pendekatan komprehensif (kuantitatif dan kualitatif) berdasarkan data ukur defisiensi keselamatan jalan di
lapangan agar dapat menjadi model monitoring dan evaluasi kelaikan jalan sehingga mampu mereduksi
potensi kejadian kecelakaan berkendaraan, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang RI nomor
38 tahun 2004 dan Undang-undang RI nomor 22 tahun 2009.
2.

TINJAUAN PUSTAKA
Mulyono dkk (2009a;2009b;2009c;2010) dan Ditjen Bina Marga (2007a) sistem manajemen

keselamatan infrastruktur jalan dapat diuraikan sebagai upaya-upaya teknis dalam mengurangi potensi
terjadinya kecelakaan berkendaraan di jalan raya yang mempertimbangkan multi faktor, antara lain: (1)
kondisi cuaca dan fisiografi trase jalan; (2) gambar desain geometrik ruas jalan; (3) jarak pandang
pengemudi (berhenti dan menyiap); (4) performansi kerusakan perkerasan jalan; (5) kondisi pemasangan
marka, sinyal, dan rambu atau petunjuk jalan; (6) pengaruh kearifan lokal, budaya, dan pendidikan
masyarakat di sekitar jalan. Faktor-faktor tersebut dapat secara tidak langsung memicu potensi terjadinya
kecelakaan di jalan raya, misalnya penetapan lokasi sekolah dasar di tepi jalan arteri , tidak ada tanda
khusus pada pertemuan antara jalan arteri dan jalan akses perdesaan, banyak pengusaha pedagang kaki
lima yang diijinkan memanfaatkan rumija bahkan rumaja.
Carsten (1989) dalam Mulyono dkk (2009c) menyatakan bahwa kesalahan manusia dalam
kecelakaan lalulintas lebih banyak dipicu oleh kondisi sistem lalu lintas dan jalan raya yang pada saat-saat
tertentu tidak dapat diantisipasi oleh pengguna jalan. Beberapa kejadian kecelakaan di jalan raya
mengkategorikan lebih jauh faktor kesalahan manusia yang dipicu oleh keterbatasan jarak pandang
ketika mengemudikan kendaraan yaitu hampir 30% dari 45% kasus yang disebabkan faktor manusia.
Sementara itu, hasil penelitian Mulyono dkk (2009c) terhadap audit keselamatan jalan nasional di KM 78 KM 79 jalur pantura Jawa di Kabupaten Batang, telah membuka wacana baru perubahan paradigma
bahwa kecelakaan berkendaraan tidak hanya dipicu oleh faktor manusia dan kondisi kendaraan tetapi
sudah ada andikasi kuat potensi terjadinya kecelakaan karena dorongan defisiensi keselamatan
infrastruktur jalannya. Hasil audit keselamatan jalan pada ruas jalan tersebut menunjukkan bahwa
beberapa bagian fasilitas jalan yang harus segera diperbaiki untuk memperkecil potensi terjadinya
kecelakaan, antara lain: (1) perbaikan jarak pandang menyiap dan radius tikungan; (2) perbaikan rutting
pada permukaan perkerasan jalan; dan (3) pemasangan rambu batasan kecepatan di tikungan, lampu
penerangan jalan, dan sinyal sebelum masuk tikungan.
Rasmussen (1987) dalam Mulyono (2009c) menyatakan bahwa untuk meningkatkan keselamatan
maka sudut pandang yang lebih bermanfaat adalah dengan menggambarkan kesalahan-kesalahan

manusia sebagai kejadian ketidaksesuaian antara manusia dengan mesin kendaraan atau manusia
dengan tugasnya. Apabila ketidaksesuaian ini sering terjadi atau terjadi secara sistematik, maka
kemungkinan besar penyebabnya adalah kesalahan desain jalan. Lebih jauh dikatakan, analisis atas
laporan kecelakaan mengesankan bahwa aksi manusia dikategorikan sebagai kesalahan karena
perbuatan itu dilakukan di dalam lingkungan yang tidak ramah atau kejam. Lingkungan yang tidak
ramah, karena hampir tidak pernah tersedia kemungkinan bagi seseorang untuk memperbaiki efek dari
kekurangsesuaian kinerjanya sebelum dia menerima akibat yang tidak diinginkan . Berdasarkan sudut
pandang ini, maka masalah keselamatan lalu lintas bukan lagi masalah kesalahan pengemudi ataupun
pengguna jalan, namun lebih pada kesalahan sistem lalu lintas (termasuk infrastruktur jalan) yang memicu
terjadinya kesalahan-kesalahan manusia tersebut. Sementara itu, Mulyono et al.(2008b) dalam Mulyono
(2009c) menyimpulkan bahwa tanggung jawab yang lebih besar kini berada pada perencana sistem jalan
raya dan pengatur sistem lalu lintas yang harus mampu menciptakan indikator kuantitatif dalam monitoring
dan evaluasi defisiensi keselamatan akibat penyimpangan standar teknis pada aspek geometrik,
perkerasan dan harmonisasi perlengkapan jalan sehingga dapat menetapkan kategori potensi kecelakaan
pada lokasi jalan tertentu. Berkaitan dengan hal tersebut, Ditjen Bina Marga (2006; 2007a; 2007b) telah
menyusun konsep pemikiran perlunya audit keselamatan jalan yang merupakan bagian dari sistem
manajemen keselamatan infrastruktur jalan sejak dari DED (detail engineering design) hingga saat FHO
(final hand over).
3. LOKASI DAN KOMPILASI DATA PENELITIAN
Lokasi dan kompilasi data penelitian dilaksanakan di ruas jalan nasional KM 29 KM 30 jalur
pantura Jawa, di Desa Sambung, Kecamatan Weleri, Kabupaten Semarang, yang didanai oleh Ditjen
Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan Nasional melalui penelitian hibah strategi nasional lanjutan
2010, dengan judul: Penyusunan Model Audit Defisiensi Keselamatan Infrastruktur Jalan untuk
Mengurangi Potensi Terjadinya Kecelakaan Berkendaraan. Data dan informasi diperoleh dari hasil
pengukuran bagian-bagian ruang jalan dan pengamatan langsung di lapangan terhadap defisiensi
keselamatan infrastruktur jalan, serta data historis anatomi kecelakaan dari kantor polisi daerah dan
laporan masyarakat terhadap terjadinya kecelakaan di jalan raya.
4.

METODOLOGI PENELITIAN
Undang-undang RI nomor 38 tahun 2004 tentang Jalan dan Undang-undang RI nomor 22 tahun

2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan telah mewajibkan penyelenggaraan jalan harus memenuhi
aspek keselamatan, kenyamanan, keamanan, dan kekuatan (mutu) agar diperoleh umur pelayanan yang
mendekati umur perencanaan sehingga akan didapatkan efektivitas dan efisiensi biaya pembangunan
dan pemeliharaannya serta ketertiban dan kelancaran lalulintas dan angkutan jalan. Salah satu aspek

yang perlu dicermati adalah bagaimana infrastruktur jalan mampu memberikan keselamatan
penggunanya. Artinya sejauhmana perancangan jalan mampu memenuhi standar perancangan geometrik
dan pemasangan fasilitas perlengkapan jalan. Secara tipologi teori, perancangan jalan diturunkan dari
teori-teori keselamatan, artinya jika hasil pembangunan jalan masih substandar maka terjadi defisiensi
keselamatan dalam melayani lalulintas kendaraan. Penelitian ini mencermati seberapa jauh
penyimpangan standar perancangan jalan terhadap potensi terjadinya kecelakaan berkendaraan melalui
kegiatan audit.
Audit dimaksudkan untuk membandingkan kondisi di lapangan yang dapat diukur terhadap standar
teknis yang diberlakukan. Berdasarkan hasil penelitian Mulyono dkk (2009b) ditentukan ada 3 (tiga) audit
defisiensi keselamatan infrastruktur jalan, yaitu: (1) aspek geometrik jalan, antara lain jarak pandang,
radius tikungan, lebar lajur lalulintas kendaraan, lebar bahu jalan, beda elevasi antara tepi perkerasan
dan bahu jalan; (2) aspek kinerja kerusakan perkerasan jalan, antara lain luasan pothole, rutting,
deformasi, dan bleeding; (3) aspek harmonisasi fasilitas perlengkapan jalan terhadap fungsi jalan, antara
lain rambu batasan kecepatan dan petunjuk arah, marka, lampu penerangan, sinyal, median, dan guard
rail. Langkah-langkah audit defisiensi keselamatan infrastruktur jalan adalah menghitung nilai peluang
kejadian kecelakaan, nilai dampak keparahan korban kecelakaan dan nilai resiko serta kategori urgensi
penanganannya. Inovasi pikir pendekatan audit keselamatan infrastruktur jalan dapat ditunjukkan dalam
Gambar 1. Mulyono dkk (2009b; 2009c) menyebutkan bahwa beberapa nilai kuantifikasi audit
keselamatan jalan adalah: (1) nilai peluang potensi kejadian kecelakaan berkendaraan akibat defisiensi;
(2) nilai dampak keparahan korban kecelakaan di lokasi kejadian yang diteliti; dan (3) nilai resiko kejadian
kecelakaan beserta penentuan kategori penanganannya.
Ditjen Bina Marga (2007a) dan Fuller (2005) dalam Mulyono dkk (2009b;2009c) telah membuat
klasifikasi nilai dampak keparahan korban kecelakaan dan klasifikasi untuk mengukur penyimpangan
desain bagian-bagian ruang jalan terhadap standar yang berlaku,didasarkan pada tingkat kemungkinan
dan tingkat ancaman, sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 1. Tingkat kemungkinan digunakan untuk
menilai temuan defisiensi yang tidak memiliki riwayat kecelakaan sebelumnya di tempat yang diaudit.
Tingkat ancaman digunakan untuk menilai temuan defisiensi yang telah secara nyata mengakibatkan
kecelakaan karena memiliki riwayat kecelakaan.

Tabel 1.

Matriks klasifikasi peluang kejadian dan dampak keparahan korban kecelakaan berdasarkan
tingkat kemungkinan dan tingkat ancaman

-350

-200

-50

-5

-400

-280

-160

-40

-4

-300

-210

-120

-30

-3

-200

-140

-80

-20

-2

-100

-70

-40

-10

-1

2
3
4
5

Pada bagian ini tidak dilakukan


penilaian
Nilai positif menunjukkan resiko
yang telah menjadi permasalahan
riil dengan adanya riwayat
kecelakaan sebelumnya di titik
defisiensi tersebut

Ancaman Amat Besar

-500

Ancaman Besar

-1

SedangAncaman

-10

Ancaman Kecil

-40

Ancaman Amat Kecil

-70

Amat KecilKemungkinan

SedangKemungkinan

-100

KecilKemungkinan

Amat BesarKemungkinan

BesarKemungkinan

Nilai

Konsekuensi
Peluang
Kemungkinan
hampir pasti
Kemungkinan
besar
Kemungkinan
sedang
Kemungkinan
kecil
Kemungkinan
amat kecil
Ancaman amat
jarang
Ancaman jarang
Ancaman sedang
Ancaman cukup
sering
Ancaman kerap

10

40

70

100

Pada bagian ini tidak dilakukan


penilaian
Nilai negatif menunjukkan adanya
resiko yang masih berupa potensi
karena tidak adanya riwayat
kecelakaan sebelumnya di titik
defisiensi tersebut
1

10

40

70

100

2
3

20
30

80
120

140
210

200
300

40

160

280

400

50

200

350

500

Sumber : Ditjen Bina Marga (2007.a)dan Fuller (2005)dalam Mulyono dkk (2009b;2009c)

Mulyono dkk (2009b;2009c) menyatakan bahwa nilai peluang potensi kejadian kecelakaan akibat
defisiensi keselamatan jalan, dapat diukur secara kualititatif dari kemungkinan kejadian kecelakaan pada
suatu lokasi yang dianggap rawan kecelakaan.

Ditjen Bina Marga (2007a) dalam

Mulyono dkk

(2009b;2009c) telah melakukan penelitian untuk membuat klasifikasi nilai peluang berdasarkan distribusi
normal dari semua pengamatan data sekunder atau laporan anatomi kecelakaan kepolisian, antara lain: (1)
nilai 1, jika kemungkinan kecelakaan amat jarang terjadi; (2) nilai 2, jika kemungkinan kecelakaan jarang
terjadi; (3) nilai 3, jika kemungkinan kejadian kecelakaan sedang; (4) nilai 4, jika kemungkinan
kecelakaan sering terjadi; dan (5) nilai 5, jika kemungkinan kecelakaan amat sering terjadi. Model
penilaian tersebut sangat tergantung subyektivitas auditor jalan sehingga dikhawatirkan adanya penilaian
yang sulit diklarifikasi ketepatannya. Oleh karenanya Mulyono dkk (2009b;2009c) telah membuat metode
penilaian yang bersifat kuantitatif, artinya penilaian peluang potensi kejadian kecelakaan dihitung
berdasarkan data ukur di lapangan, yaitu data ukur penyimpangan geometrik jalan, kerusakan perkerasan
jalan, dan ketidakharmonisan fasilitas perlengkapan jalan . Berdasarkan pendalaman dan pencermatan
data anatomi kecelakaan berkendaraan di jalan, dapat dicari hubungan antara potensi kemungkinan
kejadian kecelakaan dan penyimpangan penerapan dimensi dan tata letak bagian infrastruktur jalan
terhadap standar teknisnya yang tidak harus berdistribusi normal (Mulyono dkk, 2009b;2009c). Beberapa

ruas jalan semula dianggap black spot, selanjutnya diperbaiki bagian infrastrukturnya untuk dikembalikan
sesuai standarnya, ternyata tidak pernah terjadi lagi kecelakaan di tempat tersebut, misalnya: memperbaiki
jarak pandang dan radius tikungan agar sesuai dengan standar layak fungsi jalan, membangun
harmonisasi rambu batasan kecepatan pada tikungan yang substandar agar pengemudi lebih berhati-hati.
Berdasarkan asumsi yang dibangun dari olah data kejadian kecelakaan pada lokasi black spot di beberapa
wilayah di Indonesia, maka dapat diklasifikasikan nilai peluang defisiensi keselamatan infrastruktur jalan
terhadap potensi kejadian kecelakaan di jalan raya, sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 2.
Tabel 2.

Peluang defisiensi keselamatan infrastruktur jalan terhadap potensi kejadian


kecelakaan berkendaraan di jalan raya berdasarkan data ukur lapangan
Hasil ukur dimensi dan tata letak ruang bagianNilai kualitatif
Nilai
bagian infrastruktur jalan
kuantitafif
Tidak pernah terjadi
1
Perbedaan yang terukur di lapangan lebih kecil
kecelakaan
dari 10% terhadap standar teknisnya
2
Perbedaan yang terukur di lapangan antara 10%- Terjadi kecelakaan sampai
5 kali pertahun
40% terhadap standar teknis
3
Perbedaan yang terukur di lapangan antara 40% - Terjadi kecelakaan 5-10
kali per tahun
70% terhadap standar teknisnya
4
Perbedaan yang terukur di lapangan antara 70% - Terjadi kecelakaan 10-15
kali per tahun
100% terhadap standar teknisnya
Terjadi kecelakan lebih
5
Perbedaan yang terukur di lapangan lebih besar
dari 15 kali per tahun
di lapangan dari 100 % terhadap standar teknis

Sumber: Mulyono dkk (2009b;2009c)

Mulyono dkk (2009b;2009c) menyatakan bahwa nilai dampak keparahan korban kecelakaan
berkendaraan tidak dapat dianalisis dengan pendekatan distribusi normal karena kemungkinan kejadian
dan fatalitas kecelakaan tidak dapat diprediksi dengan tepat, artinya peluang kejadiannya sangat tidak
tentu. Data fatalitas kecelakaan didapatkan dari laporan polisi, laporan rumah sakit dan asuransi, serta
informasi masyarakat di lokasi kejadian. Oleh karenanya Mulyono et al. (2008b) dan Mulyono dkk (2009b;
2009c) telah membuat kriteria sederhana sebagai pendekatan untuk mendefinisikan nilai dampak
keparahan korban kecelakaan di jalan raya secara kuantitatif dan kualitatif berdasarkan tingkat fatalitas
kecelakaan, sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 3.
Tabel 3.

Dampak keparahan korban kecelakaan berkendaraan di jalan raya berdasarkan


tingkat fatalitas dan kepentingan penanganannya
Hasil evakuasi korban kecelakaan berkendaraan di jalan raya
Nilai kualitatif
Nilai kuantitatif
Amat ringan
1
Korban tidak mengalami luka apapun kecuali kerugian
material
Ringan
10
Korban mengalami luka ringan dan kerugian material
Tabel 3.

Dampak keparahan korban kecelakaan berkendaraan di jalan raya berdasarkan


tingkat fatalitas dan kepentingan penanganannya (lanjutan)
Hasil evakuasi korban kecelakaan berkendaraan di jalan raya
Nilai kualitatif
Nilai kuantitatif
Sedang
40
Korban mengalami luka berat dan tidak berpotensi cacat

anggota tubuh, serta ada atau tidak ada kerugian material


Korban mengalami luka berat dan berpotensi meninggal
dunia dalam proses perawatan di rumah sakit atau tempat
penyembuhan, serta ada atau tidak ada kerugian material
Korban meninggal dunia di tempat kejadian kecelakaan,
serta ada atau tidak ada kerugian material

Berat

70

Amat berat

100

Sumber : Mulyono, et al. (2008b)dan Mulyono dkk (2009b;2009c)


Mulyono dkk (2009b;2009c) menyatakan bahwa nilai resiko pada tiap defisiensi yang telah
ditemukan dapat mengindikasikan seberapa besar urgensi respon penanganannya yang harus dilakukan.
Nilai Resiko (lihat Tabel 4) merupakan perkalian antara nilai peluang suatu defisiensi yang dapat
mengkontribusi potensi kejadian kecelakaan (lihat Tabel 2) dan nilai konsekuensi atau dampak yang
paling mungkin diterima korban jika kecelakaan terjadi (lihat Tabel 3).
Tabel 4. Nilai dan kategori resiko beserta tingkat penanganan defisiensi keselamatan infrastruktur
jalan
Analisis resiko
Nilai
Kategori resiko **)
Tingkat kepentingan penanganan **)
resiko *)
< 125
Tidak berbahaya Monitoring rutin dengan inspeksi keselamatan jalan yang
(TB)
terjadwal pada titik-titik yang berpotensi terhadap kejadian
kecelakaan
125 250 Cukup berbahaya Perlu penanganan teknis yang tidak terjadwal berdasarkan hasil
(CB)
inspeksi keselamatan jalan di lokasi kejadian dan sekitarnya
250 375
Berbahaya
Perlu penanganan teknis yang terjadwal maksimal 2 (dua) bulan
(B)
sejak hasil audit keselamatan jalan disetujui
>375
Sangat berbahaya Perlu penanganan teknis secara total dengan stakeholder terkait
(SB)
maksimal 2 (dua) minggu sejak hasil audit keselamatan jalan
disetujui
Sumber: *) Ditjen Bina Marga (2007a:2007b) dan**) Mulyono dkk (2009b;2009c)

Mulyono dkk (2009b; 2009c) menyatakan bahwa kategori resiko dan tingkat kepentingan
penanganan defisiensi akan menentukan program-program aksi yang diusulkan untuk mengurangi
defisiensi keselamatan jalan. Jika setelah realisasi program aksi tersebut ternyata masih terjadi
kecelakaan di lokasi yang sama, maka perlu diaudit ulang. Sebaliknya jika setelah realisasi program aksi
ternyata tidak terjadi kecelakaan maka lokasi jalan yang diaudit sudah memenuhi kriteria jalan
berkeselamatan (forgiving road environment, self explaining road, dan self regulating road).

Gambar 1. Inovasi Pikir Audit Keselamatan Jalan


5.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Berdasarkan Undang-undang RI nomor 22 tahun 2009 tentang lalulintas dan angkutan jalan dalam

Pasal 25 disebutkan bahwa setiap jalan yang digunakan untuk lalulintas umum wajib dilengkapi dengan
perlengkapan jalan yang berupa: (1) rambu lalulintas dan marka jalan; (2) alat pemberi isyarat lalulintas; (3)
alat penerangan jalan; (4) alat pengendali dan pengaman pengguna jalan; (5) alat pengawasan dan
pengamanan jalan; (6) fasilitas untuk sepeda, pejalan kaki, dan penyandang cacat; dan (7) fasilitas
pendukung kegiatan lalulintas dan angkutan jalan yang berada di jalan dan di luar badan jalan. Pasal 102
Peraturan Pemerintah RI nomor 34 tahun 2006 tentang jalan dan Pasal 22 Undang-undang RI nomor 22

tahun 2009, disebutkan bahwa suatu ruas jalan umum harus memenuhi persyaratan laik fungsi secara
teknis dan administrasi. Suatu ruas jalan umum dinyatakan laik fungsi secara teknis apabila memenuhi
persyaratan teknis: (1) struktur perkerasan jalan; (2) struktur bangunan pelengkap jalan; (3) geometrik
jalan; (4) pemanfaatan bagian-bagian jalan; (5) penyelenggaraan manajemen dan rekayasa lalulintas; dan
(6) perlengkapan jalan. Selain itu, dalam Pasal 273 Undang-undang RI nomor 22 tahun 2009 ditegaskan
bahwa penyelenggara jalan harus segera memperbaiki jalan rusak yang mengakibatkan kecelakaan
lalulintas, yang diawali dengan memberikan tanda atau rambu pada lokasi jalan yang rusak. Aspek
legalitas tersebut mendasari perlunya program aksi yang segera harus dilakukan oleh penyelenggara jalan,
antara lain audit defisiensi keselamatan infrastruktur jalan umum. Penyebab potensi kejadian kecelakaan
itu sendiri tidak dapat dilihat sebagai single factor saja, tetapi oleh multi factor, sebagaimana ditegaskan
dalam Pasal 229 Undang-undang RI nomor 22 tahun 2009 yang menyebutkan bahwa kecelakaan dapat
disebabkan oleh kelalaian pengguna jalan, ketidaklaikan kendaraan, serta ketidaklaikan jalan dan/atau
lingkungan.
Sementara itu, laporan anatomi kecelakaan yang ditinjau dari aspek jalan dan lingkungannya oleh
kantor Polda Jawa Tengah tahun 2009 yang didukung juga hasil pengukuran dan pengamatan langsung di
lapangan, disebutkan bahwa kondisi jalan nasional KM 29 KM 30 (1,0 km; jurusan SemarangPekalongan) di Desa Sambung, Kecamatan Weleri, Kabupaten Semarang, adalah: (1) bagian ruas jalan
yang sering terjadi kecelakaan merupakan jalan menikung tajam dengan lebar lajur lalulintas mencukupi;
(2) kondisi permukaan perkerasan jalan licin dan bergelombang; (3) kurangnya lampu penerangan pada
tikungan jalan sehingga jam kejadian kecelakaan umumnya malam hari hingga dinihari; (4) tidak ada
rambu batasan kecepatan pada tikungan dan tidak ada rambu petunjuk arah atau peringatan serta tidak
ada tanda sinyal ketika akan melintasi tikungan; (5) jarak pandang menyiap yang tidak cukup layak bagi
pengemudi kendaraan saat melintasi tikungan; dan (6) adanya perbedaan elevasi yang cukup tajam antara
tepi perkerasan dan bahu jalan. Sketsa sederhana lokasi kejadian kecelakaan rutin pada ruas jalan
tersebut dan kondisi

lapangan dapat ditunjukkan dalam Gambar 2. Kondisi lapangan tersebut

mengindikasikan adanya defisiensi keselamatan infrastruktur jalan yang perlu penanganan teknis agar
potensi yang memicu kejadian kecelakaan dapat dikurangi, antara lain: aspek geometrik jalan, aspek
perkerasan jalan, dan aspek fasilitas perlengkapan jalan. Jumlah kecelakaan di ruas jalan tersebut
sebanyak 39 kejadian selama Januari hingga Oktober 2009, dengan tingkat fatalitas korban kecelakaan,
adalah: (1) korban meninggal dunia (MD) ada 5 orang; (2) korban luka berat (LB) ada 3 orang; (3) korban
luka ringan (LR) ada 52 orang; dan (4) kerugian material sebesar Rp 26.400.000,-. Data dan informasi
tersebut harus menjadi perhatian yang utama dan sungguh-sungguh bagi penyelenggara jalan, polisi,
masyarakat, dan para para akademisi dan peneliti untuk membantu solusi pengurangan defisiensi
keselamatan infrastruktur jalan.

10

Gambar 2. Sketsa dan foto lapangan lokasi rawan kecelakaan di jalan nasional KM 29- KM 30 (1,0
km; jurusan Semarang-Pekalongan), Desa Sambung, Kecamatan Weleri, Kabupaten
Semarang
5.1. Nilai resiko kecelakaan berkendaraan ditinjau dari aspek geometrik jalan
Nilai peluang potensi kejadian kecelakaan dari aspek geometrik dapat dihitung dari besaran
penyimpangan hasil pengukurannya di lapangan terhadap standar teknis geometrik jalan yang berlaku.
Nilai peluang potensi kejadian kecelakaan dari sub-aspek jarak pandang menyiap dan radius tikungan
jalan masing-masing sebesar 4 atau hasil ukur di lapangan terjadi perbedaan pada rentang 70% sampai
100% terhadap standar teknisnya, tepatnya adalah 78,1% dan 71,4%. Demikian juga sub-aspek beda
elevasi tepi perkerasan jalan terhadap bahu jalan memiliki nilai peluang sebesar 5 atau hasil ukur di
lapangan terjadi perbedaan lebih dari 100% terhadap standar teknisnya. Data cermatan lain pada Tabel 5
adalah nilai dampak keparahan korban kecelakaan. Contoh analisis tersebut adalah potensi kejadian
kecelakaan yang disebabkan oleh penyimpangan jarak pandang menyiap, dalam laporan anatomi
kecelakaan terjadi 1 (satu) orang meninggal dunia di tempat (MD), 3 (tiga) orang luka berat (LB), dan 2
(dua) orang luka ringan (LR), maka nilai dampak keparahan berdasarkan Tabel 3 adalah 100 karena ada
korban yang langsung meninggal dunia di lokasi kejadian. Kondisi tersebut sangat berbeda pada potensi
kejadian kecelakaan yang disebabkan oleh penyimpangan jarak pandang henti, walaupun nilai peluangnya
sebesar 3 tetapi dalam laporan anatomi kecelakaan tidak ada korban MD dan LB, hanya 1 (satu) orang LR
sehingga nilai dampaknya sebesar 10 (sepuluh). Selanjutnya dianalisis nilai resiko kecelakaan dari aspek
geometrik jalan berdasarkan perkalian antara nilai peluang dan nilai dampak, sebagaimana disajikan
dalam Tabel 6. Contoh dari sub-aspek jarak pandang menyiap, nilai peluang sebesar 4, nilai dampak

11

keparahan 100, maka nilai resikonya adalah 400. Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa nilai resiko 400
dikategorikan sangat berbahaya (SB) sehingga diperlukan upaya teknis untuk menghilangkan
penghalang tetap maksimal dua minggu sejak hasil audit keselamatan jalan disetujui oleh tim kelaikan
fungsi jalan. Dengan demikian hasil audit keselamatan infrastruktur jalan dari aspek geometrik yang
masuk dalam kategori berbahaya (B) dan sangat berbahaya (SB), adalah:
a.

jarak pandang menyiap pada tikungan tidak memenuhi standar teknis, sehingga kebutuhan ruang
untuk mendahului kendaraan lain kurang memadai ketika pengemudi melintasi tikungan maka
diperlukan program aksi untuk menghilangkan penghalangnya;

b.

radius tikungan yang tidak standar,sehingga berbahaya bagi pengemudi ketika melintasi tikungan
maka diperlukan desain ulang untuk mengubah radius tikungan yang standar; dan

c. beda elevasi antara bahu jalan dan tepi perkerasan lebih besar dari 5 cm, sehingga sering terjadi
kendaraan bermotor khususnya sepeda motor tergelincir ke bahu jalan maka perlu menambah tebal
konstruksi bahu yang mengikuti kemiringan elevasi tepi perkerasan jalan.
Tabel 5.

Hasil ukur dan pengamatan langsung geometrik jalan terhadap defisiensi keselamatan

meter

550

meter
meter
cm

meter

<

62.5

120

78.1

210
4

60
3.75

71.4
6.25

4
1

10

900

2.1

-5

Nilai dampak

45

Fatalitas
LB **) korban
(orang)
LR

120

MD

meter

Nilai peluang

Hasil ukur dan


pengamatan

a. Jarak pandang
henti
b. Jarak pandang
menyiap
c. Radius tikungan
d. Lebar lajur
lalulintas
e. Beda elevasi
bahu jalan
terhadap tepi
perkerasan
f. Lebar bahu
jalan

Penyimpangan
terhadap standar

Satuan

Pengamatan dan Pengukuran

(%)

Aspek

Standar teknis
keselamatan *)

infrastruktur jalan di lokasi penelitian

10

100

100
1

100

*) Sumber : Ditjen Bina Marga (2007a;2007b)


**) Sumber : Mulyono dkk (2009b;2009c); MD = meninggal dunia, LB = luka berat, LR = luka ringan

Tabel 6.

Hasil audit keselamatan jalan terhadap defisiensi geometrik jalan


Nilai
Nilai
Nilai Kat. *)
Program aksi
Aspek yang diaudit
peluang dampak resiko resiko
mengurangi defisiensi keselamatan
a. Jarak pandang
2
10
20
TB
Inspeksi terjadwal

12

henti
b. Jarak pandang
menyiap

100

400

SB

c. Radius tikungan

100

400

SB

d. Lebar lajur
lalulintas
e. Beda elevasi bahu
jalan terhadap tepi
perkerasan

TB

100

500

SB

f.

TB

Lebar bahu jalan

Menghilangkan penghalang tetap


jarak pandang menyiap maksimal
dua minggu sejak hasil audit
keselamatan jalan disetujui
Menerapkan design ulang radius
tikungan sesuai standar maksimal
dua minggu sejak hasil audit
keselamatan jalan disetujui
Inspeksi terjadwal
Menambah tebal konstruksi bahu
jalan agar mengikuti kemiringan yang
standar terhadap tepi perkerasan
maksimal dua minggu sejak hasil
audit keselamatan jalan disetujui
Inspeksi terjadwal

*) Kat=Kategori; TB=tidak berbahaya; CB=cukup berbahaya; B=berbahaya; SB=sangat berbahaya

5.2. Nilai resiko kecelakaan berkendaraan ditinjau dari aspek kerusakan perkerasan jalan
Nilai peluang potensi kejadian kecelakaan dari sub-aspek kerusakan perkerasan jalan dapat dilihat
dalam Tabel 7. Kondisi bleeding memberikan kontribusi peluang kecelakaan sebesar 4 atau terjadi
perbedaan hasil ukur di lapangan terhadap standar teknis pada rentang 70% sampai 100%, tepatnya
adalah 100%. Dari Tabel 7 dapat dicermati dampak keparahan korban kecelakaan akibat kerusakan
struktural jalan. Contoh analisis misalnya potensi kejadian kecelakaan yang disebabkan oleh luasan
bleeding, dalam laporan anatomi kecelakaannya terjadi 3 (tiga) orang MD di tempat, 1 (satu) orang LB, dan
16 (enam belas) orang LR, maka nilai dampak keparahan korban adalah 100 karena ada korban yang
langsung meninggal dunia di tempat kejadian (lihat Tabel 3). Nilai resiko kecelakaan dari sub-aspek
kerusakan struktural jalan disajikan dalam Tabel 8. Contoh analisis dari sub-aspek bleeding, nilai peluang
sebesar 4, nilai dampak keparahan 100, maka nilai resikonya adalah 400. Nilai resiko 400 dikategorikan
sangat berbahaya (SB) sehingga memerlukan penanganan teknis terjadwal untuk membongkar dan
memperbaiki permukaan jalan yang bleeding dengan material screen seed dan metode yang memenuhi
standar teknis, maksimal dua minggu sejak hasil audit keselamatan jalan disetujui oleh tim laik fungsi
jalan.

Tabel 7. Hasil ukur dan pengamatan langsung kerusakan perkerasan jalan terhadap defisiensi
keselamatan infrastruktur jalan di lokasi penelitian

13

0
0

-100
-100

1
1

1
1

< 200

400

100

16

Nilai dampak

-100

m2/km < 100


m2/km < 100
m2/km

Fatalitas
**)
korban
LB
(orang)
LR

MD

Nilai peluang

d.

m2/km < 100

Penyimpangan
terhadap standar

b.
c.

Pothole
>25cm,
d>10cm
Rutting
Deformasi,
d>15cm
Bleeding (jalan
licin)

(%)

a.

Satuan

pengamatanHasil ukur dan

Aspek

Standar teknis
keselamatan*)

Pengamatan dan Pengukuran

100

*) Sumber : Ditjen Bina Marga (2007a;2007b)


**) Sumber : Mulyono dkk (2009b;2009c); MD = meninggal dunia, LB = luka berat, LR = luka ringan

Tabel 8.

a.
b.
c.
d.

Hasil audit keselamatan jalan terhadap defisiensi perkerasan jalan


Nilai
Nilai
Nilai Kat. *)
Program aksi
Aspek yang diaudit
peluang dampak resiko Resiko mengurangi defisiensi keselamatan
pothole >25cm,
1
1
1
TB
Inspeksi terjadwal
d>10cm
Rutting
1
1
1
TB
Inspeksi terjadwal
Deformasi, d>15cm
1
1
1
TB
Inspeksi terjadwal
Bleeding (jalan licin)
4
100
400
SB
Membongkar dan memperbaiki
permukaan jalan yang bleeding
dengan material screen seed dan
metode yang memenuhi standar
teknis maksimal dua minggu sejak
hasil audit keselamatan jalan
disetujui

*) Kat=Kategori; TB=tidak berbahaya; CB=cukup berbahaya; B=berbahaya; SB=sangat berbahaya

5.3. Nilai resiko kecelakaan berkendaraan ditinjau dari aspek harmonisasi perlengkapan jalan
Nilai peluang potensi kejadian kecelakaan dari aspek kondisi harmonisasi perlengkapan jalan
dapat dilihat dalam Tabel 9. Rambu batasan kecepatan memberikan kontribusi peluang sebesar 4 karena
hasil ukur di lapangan terjadi perbedaan pada rentang 70% sampai 100% terhadap standar teknisnya,
tepatnya adalah 100% baik jumlah, lokasi maupun kondisinya. Demikian juga nilai peluang kecelakaan dari
sub-aspek rambu petunjuk arah, lampu penerangan, sinyal, dan median, masing-masing memiliki nilai
peluang sebesar 4. Masing-masing dari kelima sub-aspek tersebut, memiliki nilai dampak keparahan
korban sebesar 100 karena ada korban yang langsung meninggal di lokasi kejadian (lihat Tabel 3).
Selanjutnya nilai resiko yang terjadi dari kelima aspek tersebut masing-masing 4x100=400, yang
dikategorikan sangat berbaya (SB), sebagaimana dapat dilihat dalam Tabel 10. Dengan demikian hasil
audit keselamatan jalan terhadap harmonisasi perlengkapan jalan harus segera direalisasikan maksimal 2
(dua) minggu sejak hasil audit keselamatan jalan disetujui , adalah:

14

a. tidak ada rambu batasan kecepatan ketika kendaraan melintasi tikungan, sehingga perlu memasang
rambu batasan kecepatan sesuai kebutuhan di lokasi;
b. tidak ada rambu petunjuk arah yang menunjukkan arah suatu jalan, sehingga perlu memasang rambu
petunjuk arah pada dua arah sesuai kebutuhan di lokasi;
c.

jarak antar lampu penerangan lebih dari 60 meter, sehingga penerangan jalan kurang memadai yang
dapat memicu terjadinya kecelakaan di tikungan terutama pada malam hingga dini hari, sehingga perlu
memasang lampu penerangan sesuai kebutuhan di lokasi;

d. tidak ada sinyal yang menandakan kendaraan harus hati-hati sebelum masuk tikungan, sehingga perlu
memasang lampu sinyal sesuai kebutuhan di lokasi; dan
e. Tidak ada median jalan yang memisahkan 2 (dua) lajur yang berbeda agar kendaraan tidak mengambil
jalur lain, sehingga perlu dipasang median sesuai standar teknisnya.
Tabel 9.

Hasil ukur dan pengamatan langsung harmonisasi perlengkapan jalan terhadap

LR

buah
titik
%

2
4
100

0
0
0

100
100
100

13

100
100
100

buah
titik
%

6
6
100

0
0
0

100
100
100

100
100
100

ada
%

ada
100

ada
75

0
25

1
10

ada

ada

ada

meter

60

150

150

meter

4.0

a.

Nilai dampak

LB

Fatalitas
**) korban
(orang)
MD

Penyimpangan
terhadap standar

Nilai peluang

Rambu batasan
kecepatan
Jumlah
Lokasi
Kondisi
b. Rambu petunjuk
arah
Jumlah
Lokasi
Kondisi
c. Marka
Ketersediaan
Kondisi
d. Lampu
penerangan
Ketersediaan
Jarak antar
lampu
Posisi thd tepi
jalan
e. Sinyal
Tabel 9. Hasil ukur

Satuan

(%)

Aspek

pengamatanHasil ukur dan

Pengamatan dan Pengukuran

Standar teknis
keselamatan*)

defisiensi keselamatan infrastruktur jalan di lokasi penelitian

19

100
1

ada
ada tidak
100
4
1
7
100
dan pengamatan langsung harmonisasi perlengkapan jalan terhadap

defisiensi keselamatan infrastruktur jalan di lokasi penelitian (lanjutan)

15

100
0

120
0.8

20.0
20

Nilai dampak

LR

150
1

LB

meter
meter

0
00

Fatalitas
**) korban
(orang)

1
0.4

Penyimpangan
terhadap standar

meter
meter

MD

Median
Lebar
Tinggi
Guardrail
Panjang
Tinggi

Nilai peluang

f.

(%)

Standar teknis
keselamatan*)

Aspek

pengamatanHasil ukur dan

Satuan

Pengamatan dan Pengukuran

100
1
10
1

*) Sumber : Ditjen Bina Marga (2007a;2007b)


**) Sumber : Mulyono dkk (2009b;2009c); MD = meninggal dunia, LB = luka berat, LR = luka ringan

Tabel 10.

Hasil audit keselamatan jalan terhadap defisiensi harmonisasi perlengkapan jalan


Nilai Kat. *)
Nilai
Nilai
Program aksi
Aspek yang diaudit
resik Resiko
peluang dampak
mengurangi defisiensi keselamatan
o
a. Rambu batasan
4
100 400
SB
Memasang rambu batas kecepatan
kecepatan
pada dua arah sesuai standar
kebutuhan keselamatan dan fungsi
jalan maksimal 2 (dua) minggu
sejak hasil audit keselamatan jalan
disetujui
b. Rambu petunjuk arah
4
100 400
SB
Memasang rambu petunjuk jalan
pada dua arah sesuai standar
kebutuhan keselamatan dan fungsi
jalan maksimal 2 (dua) minggu
sejak hasil audit keselamatan jalan
disetujui
c. Marka
2
1
2
TB
Inspeksi terjadwal
d. Lampu penerangan
4
1
4
TB
Inspeksi terjadwal
e. Sinyal
4
100 400
SB
Memasang sinyal yang baru sesuai
standar dan kebutuhan
keselamatan serta fungsi jalan
maksimal 2 (dua) minggu sejak
hasil audit keselamatan disetujui
f. Median
4
100 400
SB
Memasang median yang baru
sesuai standar dan kebutuhan
keselamatan serta fungsi jalan
maksimal 2 (dua) minggu sejak
hasil audit keselamatan disetujui
g. Guardrail
1
1
1
TB
Inspeksi terjadwal
*) Kat=Kategori; TB=tidak berbahaya; CB=cukup berbahaya; B=berbahaya; SB=sangat berbahaya
Hasil audit keselamatan jalan nasional KM 29 KM 30 (1,0 Km: jurusan Semarang-Pekalongan, di
Desa Sambung, Kecamatan Weleri, Kabupaten Semarang), secara komprehensif dapat dijelaskan bahwa
tingkat fatalitas korban kecelakaan yang paling parah terjadi pada saat kejadian kecelakaan lebih dipicu

16

oleh ketajaman radius tikungan dan kekurangan jarak pandang menyiap yang didukung dengan tidak
adanya rambu batasan kecepatan. Kondisi lapangan tersebut memicu

pengguna mengemudikan

kendaraaannya dengan kecepatan tinggi tanpa informasi yang jelas, serta didukung kurang memadainya
lampu penerangan dan tidak adanya sinyal dan papan petunjuk arah ketika akan masuk tikungan. Selain
aspek harmonisasi, potensi kejadian kecelakaan juga dipicu oleh kondisi jalan yang licin akibat bleeding.
Kondisi ketidakharmonisan rambu, sinyal, dan lampu penerangan terhadap fungsi jalan mengindikasikan
infrastruktur jalan tersebut tidak self explaining road, artinya jalan tidak lagi mampu menjelaskan informasi
keselamatan kepada pengguna secara benar dan tepat, sehingga pengguna kurang hati-hati ketika
melintasi tikungan dengan geometrik yang substandar. Kondisi perbedaan elevasi bahu terhadap elevasi
tepi perkerasan yang cukup besar, jarak pandang menyiap yang kurang memadai, dan bentuk geometrik
tikungan jalan yang substandar mengindikasikan jalan tidak forgiving road, artinya jalan tidak sayang
terhadap nyawa pengguna ketika pengguna melakukan kelalaian, misalnya pengemudi berbuat kesalahan
melintasi tepi perkerasan yang hingga tergelincir di tikungan ke luar bahu jalan.
6.

KESIMPULAN
Indikator teknis hasil audit defisiensi keselamatan infrastruktur jalan dinyatakan dengan nilai resiko

penanganan defisiensi infrastruktur jalan, yang merupakan hasil perkalian antara nilai peluang potensi
kejadian kecelakaan akibat defisiensi dan nilai dampak keparahan korban yang terjadi di lokasi rawan
kecelakaan yang diaudit. Hasil audit keselamatan jalan nasional KM 29 KM 30 (1,0 Km: jurusan
Semarang-Pekalongan) di Desa Sambung, Kecamatan Weleri, Kabupaten Semarang menunjukkan bahwa
beberapa bagian-bagian ruang dan fasilitas jalan berada dalam kategori bahaya (B) dan sangat
berbahaya (SB) yang harus segera diperbaiki untuk memperkecil potensi terjadinya kecelakaan, yaitu:
a. aspek geometrik: jarak pandang menyiap kurang memadai, radius tikungan tidak memenuhi standar
teknis, dan posisi elevasi bahu jalan berada 10 cm di bawah elevasi tepi perkerasan.
b. aspek perkerasan: adanya kerusakan struktural berupa munculnya lapisan aspal ke permukaan jalan
sehingga menyebabkan permukaan jalan menjadi licin yang luasannya lebih besar dari 100m 2 per km
panjang jalan.
c. aspek harmonisasi perlengkapan jalan: tidak ada rambu batasan kecepatan ketika kendaraan melintasi
tikungan, tidak ada rambu penunjuk arah yang mampu memberikan informasi kepada pengguna jalan,
jarak antar lampu penerangan di tikungan lebih dari 60,0 meter, tidak adanya sinyal yang menandakan
kendaraan harus hati-hati sebelum masuk tikungan, serta tidak adanya median yang memisahkan 2
(dua) arah lajur kendaraan.
7. SARAN-SARAN

17

Beberapa saran teknis yang dapat diberikan untuk melengkapi penyempurnaan hasil-hasil penelitian
keselamatan jalan ke depoan dikaitkan dengan implementasi Undang-undang RI nomor 22 tahun 2009
tentang lalulintas dan angkutan jalan, adalah:
a. Penyelenggara jalan harus segera menyiapkan pedoman dan SOP (standar operasional prosedur)
sistem tanda perambuan pada ruas jalan yang mengalami: (1) kerusakan struktural perkerasannya;
(2) geometrik jalan yang tidak standar karena keterbatasan kondisi fisiografi trase jalan; (3) hazard
keselamatan karena faktor regional dan fisiografi wilyah trase jalan.
b. Penyelenggara jalan harus melakukan audit keselamatan secara berkala yang selanjutnya menyusun
program kerja perbaikan defisiensi keselamatan infrastruktur jalan agar didapatkan jalan
berkeselamatan, melalui koordinasi terpadu antara Kementrian Pekerjaan Umum, Kementrian
Perhubungan, Kepolisian, masyarakat, dan akademisi perguruan tinggi, serta pemerintah daerah.
c. Penyelenggara jalan harus segera membentuk tim laik fungsi jalan yang melibatkan stakeholder
secara komprehensif.
8.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih yang dalam kepada: (1) Direktorat Penelitian dan Pengabdian

kepada Masyarakat (DP2M), Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional; (2)
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Gadjah Mada; (3) Direktorat
Jenderal Bina Marga; (4) Ditlantas Polda Jateng; (5) Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM;
(6) Ir. Danis H. Sumadilaga; (7) Ir. Taufik Widjojono, Msc; (8) Ir. Jani Agustin, Msc; dan (9) Asisten : Rizky
Ardhiarini, Putra Abu Sandra, Yhudo Wibowo, Andri Rahmanda Liady.
DAFTAR PUSTAKA
Austroads, 2002, Road Safety Audit, 2nd edition, Austroads Publication.
Carsten, O., 1989, Urban Accidents: Why do They Happen?, UK: AA Foundation for Road Safety
Research, Basingstoke.
Ditjen Bina Marga, 2007.a, Penyusunan Sistem Manajemen dan Pedoman Keselamatan Jalan dalam
Kegiatan Pembangunan Jalan, Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta
Ditjen Bina Marga, 2007.b, Modul Pelatihan Inspeksi Keselamatan Jalan (IKJ) dalam Penyelenggaraan
Jalan Berkeselamatan, Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta
Fuller, R., 2005, Towards a General Theory of Driver Behaviour, Accident Analysis and Prevention, 37 (3),
461-472.
Mulyono, A.T., Kushari B., Faisol, Kurniawati dan Gunawan, H.E., 2008a, Modul Pelatihan Inspeksi
Keselamatan Jalan (IKJ) dalam Penyelenggaraan Jalan Berkeselamatan, FSTPT (Forum Studi
Transportasi antar Perguruan Tinggi), Semarang.
Mulyono, A. T., Kushari B., Agustin J., 2008b, Monitoring and evaluating infrastructure safety deficiencies
towards integrated road safety improvement in Indonesia, Proceedings. 2008 Australasian Road
Safety Research, Policing and Education Conference, ISBN 1 876346 56 6.
Mulyono, A.T., 2009, Sistem Keselamatan Jalan untuk Mengurangi Defisiensi Infrastruktur Jalan Menuju
Jalan Berkeselamatan, Prosiding Konferensi Nasional Teknik Sipil-3 (KoNTekS-3), ISBN 927-97915429-3-7, Jakarta

18

Mulyono, A.T., Agustin, J., Berlian, K., Tjahyono, T., 2009a, Systemic Approach to Monitoring and
Evaluation System of Road Infrastructure Safety Deficiency, Proceeding of the Eastern Asia for
Transportation Studies, Vol.7, 2009.
Mulyono, A.T., Berlian, K., Gunawan, H.E., 2009b, Penyusunan Model Audit Defisiensi Keselamatan
Infrastruktur Jalan untuk Mengurangi Potensi Terjadinya Kecelakaan Berkendaraan, Laporan
Hibah Kompetitif Penelitian sesuai Prioritas Nasional Batch II, Direktorat Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat (DP2M), Ditjen Pendidikan Tinggi dan LPPM UGM, Yogyakarta.
Mulyono,A.T., Berlian,K., Gunawan,H.E., 2009c, Audit Keselamatan Infrastruktur Jalan (Studi Kasus Jalan
Nasional KM78-KM79 Jalur Pantura Jawa, Kabupaten Batang), Jurnal Teknik Sipil, Vol.6, No.3,
Halaman 163-174, ISSN 0853-2982, SK Terakreditasi No.83/DIKTI/Kep/2009.
Mulyono, A.T., Berlian, K., Gunawan, H.E., 2010, Penyusunan Model Audit Defisiensi Keselamatan
Infrastruktur Jalan untuk Mengurangi Potensi Terjadinya Kecelakaan Berkendaraan, Laporan
Penelitian Hibah Strategis Nasional Lanjutan Bidang Infrastruktur, Transportasi, dan Industri
Pertahanan, Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (DP2M), Ditjen Pendidikan
Tinggi dan LPPM UGM, Yogyakarta.
Rasmussen, J, 1987, The definition of human error and a taxonomy for technical system design, dalam
New Technology and Human Error, Chicester: John Wiley & Sons.
Sekretariat Negara, 2004, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan,
Jakarta
Sekretariat Negara, 2009, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan, Jakarta
Treat, J.R., Tumbas, N.S., McDonald, S.T., Shinar, D., Hume, R.D., Meyer, R.E., 1977, Tri-level study of the
causes of traffic accidents, Volume I: Casual factor tabulations and assessment, Final Report No.
DOT-HS-034-3-534. Washington: NTHSA.
Weller, G., Schlag, B., Gatti, G., Jorna, R., van de Leur, M., 2006, Human Factors in Road Design Sate of
the Art and Empirical Evidence, Road Infrastructure Safety Protection Core Research and
Development for Road Safety in Europe; Increasing Safety and Reliability of Secondary Roads for
a Sustainable Surface Transport (RIPCORD-ISEREST).

19

Anda mungkin juga menyukai