PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Obesitas terjadi karena penimbunan lemak di dalam tubuh, sehingga
berpengaruh terhadap kadar gula darah. Obesitas terutama yang bersifat sentral
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit DM Tipe 2.
Timbunan lemak yang berlebihan di dalam tubuh dapat mengakibatkan resistensi
insulin yang berpengaruh terhadap kadar gula darah penderita diabetes mellitus
(Dwi,2013).
Pada penyakit diabetes melitus tipe 2, peranan obesitas dijelaskan dalam
berbagai teori. Salah satu teori menyebutkan bahwa sel-sel lemak yang mengalami
hipertrofi menurunkan jumlah reseptor insulin. Teori lain menyebutkan tingginya
asam lemak, peningkatan hormon resistin dan penurunan adiponektin akibat
penumpukan lemak. Obesitas mempengaruhi kerja insulin sehingga dapat
menyebabkan tingginya kadar glukosa darah (Perkeni, 2011).
Pada penelitian Soetiarto dan Suhardi (2010) mengenai hubungan diabetes
mellitus dengan obesitas berdasarkan IMT dan lingkar pinggang data
RISKESDAS 2007, menyimpulkan bahwa obesitas sentral berdasarkan lingkar
pinggang lebih berperan sebagai factor resiko peningkatan kadar gula pada DM
dibandingkan dengan obesitas umum berdasarkan IMT. Pada penelitian Wiwi
Yuliasih (2009) mengenai Obesitas abdominal sebagai faktor resiko peningkatan
kadar gula darah, juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna
antara obesitas abdominal (pengukuran lingkar pinggang) dengan peningkatan
kadar gula darah baik puasa maupun 2 jam setelah makan.
Penelitian yang dilakukan oleh Ignes Salas Martin dan Sheila Pita pada
tahun
2003
tentang
indikator
menunjukkan
bahwa
rasio
antropometri
lingkar
untuk
pinggang-pinggul
obesitas
abdominal
secara
signifikan
Rumusan masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan pertanyaan
Tujuan Penelitian
1.3.1.
Tujuan Umum
Tujuan Khusus
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk :
1. Peneliti
Penelitian ini dapat menjadi sarana dalam menerapkan ilmu kedokteran tentang
hubungan antropometri dan kadar gula darah, serta meningkatkan pengetahuan,
pengalaman, dan wawasan peneliti dalam melakukan penelitian kesehatan.
Penelitian ini juga menjadi sarana dalam menambah wawasan berkomunikasi
peneliti dengan masyarakat di Kelurahan Tanjung Selamat.
2. Pendidikan.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan atau ide-ide bagi
peneliti lain yang akan melakukan penelitian selanjutnya, khususnya bagi
penelitian yang berhubungan dengan hubungan antropometri dengan kadar
gula darah.
3. Pelayanan kesehatan.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi bagi Pelayanan
Kesehatan untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai
hubungan IMT dengan kadar gula darah, serta melakukan pencegahan dan
edukasi kepada masyarakat yang mempunyai IMT yang berlebih (overweight
dan obesitas) yang merupakan faktor resiko penyakit diabetes melitus tipe 2.
4. Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan bagi
masyarakat tentang hubungan antropometri dengan peningkatan kadar gula
darah, dan dapat memberikan pengetahuan masyarakat untuk menjaga pola
hidup sehat untuk menghindari overweight dan obesitas sebagai risiko diabetes
melitus tipe 2.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Antropometri
2.1.1.
Indeks Massa Tubuh
Klasifikasi ini didasarkan pada perhitungan indeks massa tubuh (IMT).
IMT adalah perbandingan berat badan (dalam kilogram) dan kuadrat tinggi
badan (dalam meter). Indeks massa tubuh memiliki spesifisitas 98% hingga 99%
dan sensitivitas yang rendah, berkisar 13% hingga 55%. Untuk menghitung
indeks massa tubuh, dibutuhkan pengukuran tinggi badan dan berat badan.
Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung indeks massa tubuh adalah
(WHO Expert Consultation, 2004):
berat badan( kg)
IMT= tinggi badan2 (m2)
Menurut WHO expert consultation (2004), seseorang dikatakan overweight
apabila memiliki IMT 25-29,9 kg/m2. Batas ambang untuk obesitas adalah di atas
30 kg/m2. Batas ambang normal apabila memiliki IMT 18,5-24,9 kg/m 2.
Klasifikasi ini berlaku secara internasional.
Klasifikasi IMT untuk daerah Asia berbeda. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa populasi di Asia memiliki deposit lemak lebih banyak pada
IMT yang lebih rendah. Berikut adalah klasifikasi IMT untuk daerah Asia pada
orang dewasa:
Tabel 2.1 Klasifikasi Obesitas Berdasarkan IMT Untuk Orang Dewasa
Klasifikasi
Berat badan rendah
IMT (kg/m2)
<18,5
18,5 -22,9
23 -24,9
Obesitas kelas I
25 29,9
Obesitas kelas II
30
Lingkar Pinggang
IMT memiliki korelasi positif dengan total lemak tubuh, tetapi IMT bukan
merupakan indikator terbaik untuk obesitas Selain IMT, metode lain untuk
pengukuran antropometri tubuh adalah dengan cara mengukur lingkar pinggang.
Pengukuran lingkar pinggang ini boleh dikatakan berguna dalam penentuan
obesitas sentral. Lingkar pinggang menggambarkan lemak tubuh di antaranya
tidak termasuk berat tulang (kecuali tulang belakang) atau massa otot yang besar
yang mungkin akan bervariasi dan memperngaruhi hasil pengukuran. Berikut
kriteria ukuran lingkar pinggang berdasarkan etnis (Misnadierly, 2007):
Tabel 2.2 Rekomendasi Lingkar Pinggang untuk Obesitas Sentral
Negara atau kelompok etnik
Eropa
Asia Selatan
Tiongkok
Jepang
Jenis Kelamin
Pria
Wanita
Pria
Wanita
Pria
Wanita
Pria
Wanita
Selain IMT dan lingkar perut, rasio antara lingkar pinggang dan lingkar
pinggul /waist-hip ratio (WHR) merupakan alternatif klinis yang praktis. Lingkar
perut dan WHR berhubungan dengan besarnya resiko untuk terjadinya gangguan
kesehatan ( Adam, 2005).
Tabel 2.3 Nilai Normal untuk Waist-Hip Ratio
Jenis Kelamin
Wanita
Pria
Sumber : Adam, 2005
Waist-Hip Ratio
<0,85
<0,9
Fungsi
GLUT 2
GLUT 3
GLUT 4
GLUT 5
Penyerapan glukosa
Penyerapan glukosa
adipose
Usus halus
yang
Penyerapan glukosa
Penyerapan
dengan
aktif
glukosa
melawan
gradien
konsentrasi
Sumber: Murray, Granner, dan Rodwell , 2009.
Kecepatan pengangkutan glukosa ke dalam sel otot dan lemak sangat
dipengaruhi oleh insulin. Dengan adanya insulin, kecepatan pengangkutan
glukosa dapat meningkat sekitar sepuluh kali lipat. Ketika kadar glukosa dalam
darah tinggi, maka insulin akan disekresikan oleh pankreas. Insulin akan
merangsang sel otot dan lemak untuk lebih permeabel terhadap glukosa. Insulin
juga meningkatkan aktivitas enzim-enzim yang berperan dalam proses
glikogenesis di otot dan hati (Tabel 2.5) (Guyton dan Hall, 2008).
Glukagon mempunyai efek yang berlawanan dengan insulin. Glukagon
mempunyai dua fungsi utama, yaitu berperan dalam proses glikogenolisis dan
glukoneogenesis (Tabel 2.5). Jadi, glukagon mempunyai efek meningkatkan kadar
glukosa dalam darah (Guyton dan Hall, 2008).
Tabel 2.5. Respons Jaringan terhadap Insulin dan Glukagon yang Berkaitan
dengan Metabolisme Glukosa.
Hati
Ditingkatkan oleh Insulin
Glikogenesis
Glukoneogenesis
Jaringan Lemak
Pengambilan
Otot
Pengambilan
glukosa
glukosa
Glikogenesis
Ditingkatkan oleh
Glikogenolisis
Glukagon
Glukoneogenesis
Sumber: Murray, Granner, dan Rodwell , 2009.
2.2.1.
Darah
Berdasarkan ADA (2015), beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kadar
glukosa di dalam darah adalah:
1. Konsumsi Karbohidrat
Karbohidrat adalah salah satu bahan makanan utama yang diperlukan oleh
tubuh. Sebagian besar karbohidrat yang kita konsumsi terdapat dalam bentuk
polisakarida yang tidak dapat diserap secara langsung. Karena itu, karbohidrat
harus dipecah menjadi bentuk yang lebih sederhana untuk dapat diserap melalui
mukosa saluran pencernaan (Sherwood, 2012).
Karbohidrat yang masuk ke saluran cerna akan dihidrolisis oleh enzim
pencernaan. Ketika makanan dikunyah di dalam mulut, makanan tersebut
bercampur dengan saliva yang mengandung enzim ptialin (-amilase). Tepung
(starch) akan dihidrolisis oleh enzim tersebut menjadi disakarida maltosa dan
polimer glukosa kecil lainnya (Guyton dan Hall, 2008).
Sesampainya di lambung, enzim ptialin menjadi tidak aktif akibat suasana
lambung yang asam. Proses pencernaan ini akan dilanjutkan di usus halus yang
merupakan muara dari sekresi pankreas. Sekresi pankreas mengandung -amilase
yang lebih poten daripada -amilase saliva. Hampir semua karbohidrat telah
diubah menjadi maltosa dan polimer glukosa kecil lainnya sebelum melewati
duodenum atau jejunum bagian atas (Guyton dan Hall, 2008).
Disakarida dan polimer glukosa kecil ini kemudian dihidrolisis oleh enzim
monosakaridase yang terdapat pada vili enterosit usus halus. Proses ini terjadi
ketika disakarida berkontak dengan enterosit usus halus dan menghasilkan
monosakarida yang dapat diserap ke aliran darah (Guyton dan Hall, 2008).
Proses ini digambarkan di Gambar 2.1.
10
Penggunaan
antipsikotik
juga
dikaitkan
dengan
kejadian
mellitus
adalah
sekelompok
penyakit
metabolik
berupa
hiperglikemia yang diakibatkan oleh gangguan sekresi insulin, kerja insulin, atau
keduanya. Berdasarkan etiologinya diabetes mellitus diklasifikasikan menjadi
berbagai jenis, di antaranya adalah diabetes mellitus tipe 1 (DM tipe 1) dan
diabetes mellitus tipe 2 (DM tipe 2) (ADA, 2014).
DM tipe 1 adalah diabetes yang terjadi akibat kerusakaan sel-sel beta
pankreas oleh suatu proses autoimun. Kerusakaan sel-sel beta pankreas ini akan
berakibat pada defisiensi insulin yang menimbulkan terjadinya hiperglikemia
(Price dan Wilson, 2012).
11
glukosa
oleh
sel,
meningkatkan
proses
glukoneogenesis,
(adrenocorticotropic
hormone)
dari
kelenjar
hipofisis
anterior.
12
b. Infeksi.
c. Suhu yang ekstrim.
d. Injeksi norepinefrin dan obat-obat simpatomimetik lain.
e. Pembedahan.
f. Injeksi bahan yang bersifat nekrolisis di bawah kulit.
g. Pengekangan sehingga tidak dapat bergerak.
h. Hampir setiap penyakit yang menyebabkan kelemahan (Guyton dan Hall,
2008).
6. Siklus Menstruasi
Menstruasi adalah perdarahan pervaginam periodik yang terjadi akibat
peluruhan mukosa uterus (DeCherney, Nathan, Goodwin, dan Laufer, 2007).
Siklus menstruasi terdiri dari tiga fase, yaitu fase proliferasi, sekretori, dan
menstruasi. Selama siklus menstruasi, terjadi fluktuasi hormon-hormon yang
berperan dalam mengatur siklus, termasuk estrogen dan progesteron. Selama fase
proliferasi, terdapat peningkatan kadar estrogen. Pada fase sekretori, kadar
hormon estrogen dan progesteron meningkat. Sedangkan pada fase menstruasi,
kedua hormon ini terdapat dalam kadar yang sangat rendah (Sherwood, 2012).
Fluktuasi
hormon-hormon
selama
siklus
menstruasi
ini
diduga
13
14
Menurut ADA (2014), ada berbagai cara yang biasa dilakukan untuk
memeriksa kadar glukosa darah, di antaranya:
1. Tes Glukosa Darah Puasa
Tes glukosa darah puasa mengukur kadar glukosa darah setelah tidak
mengkonsumsi apa pun kecuali air selama 8 jam. Tes ini biasanya dilakukan pada
pagi hari sebelum sarapan.
Tabel 2.6. Klasifikasi Kadar Glukosa Darah Puasa
Hasil
Normal
Prediabetes
Diabetes
Sumber : ADA, 2014.
15
Hasil
Normal
Prediabetes
Diabetes
Sumber: ADA, 2014.
4. Uji HBA1c
Uji HBA1c mengukur kadar glukosa darah rata-rata dalam 2 3 bulan
terakhir. Uji ini lebih sering digunakan untuk mengontrol kadar glukosa darah
pada penderita diabetes.
Tabel 2.8. Klasifikasi Kadar HBA1c
Hasil
Normal
Prediabetes
Diabetes
Sumber: ADA, 2014.
2.3.
Kadar HBA1c
Kurang dari 5,7%
5,7-6,4%
Sama atau lebih dari 6,5%
dalam arti yang negatif. Obesitas khususnya obesitas abdominal merupakan faktor
risiko yang penting bagi onset diabetes melitus tipe 2 (Septyaningrum dan Martini.
2014). Hasil riset kesehatan dasar tahun 2007 menunjukkan gangguan toleransi
glukosa dan diabetes lebih tinggi terjadi pada orang yang mengalami obesitas dari
pada yang tidak obesitas. Obesitas menyebabkan resistensi insulin yaitu insulin
tubuh tidak dapat bekerja dengan baik sehingga menyebabkan gangguan toleransi
glukosa dan diabetes melitus tipe 2.
Peranan obesitas dalam resistensi insulin dijelaskan dalam berbagai teori.
Salah satu teori menyatakan bahwa jaringan lemak juga merupakan suatu jaringan
endokrin aktif yang dapat berhubungan dengan hati dan otot (dua jaringan
sasaran insulin) melalui pelepasan zat perantara yang nantinya mempengaruhi
kerja insulin dan tingginya penumpukan jaringan lemak tersebut dapat berakhir
dengan timbulnya resistensi insulin. Resistensi insulin yang terjadi pada kelompok
obesitas kemudian mengakibatkan penurunan kerja insulin pada jaringan sasaran
16
sehingga menyebabkan glukosa sulit memasuki sel. Keadaan ini berakhir kepada
peningkatan kadar glukosa dalam darah.
Hasil penelitian Wang et al (2005), menunjukkan bahwa risiko relatif
diabetes melitus tipe 2 meningkat berbanding lurus dengan bertambahnya waist
circumference, body mass indeks dan waist hip ratio. Lingkar perut/ waist
circumference merupakan prediktor terbaik untuk individu risiko tinggi diabetes
mellitus tipe 2. Pengukuran waist circumference harus digunakan lebih sering
pada
praktek
sehari-hari
dalam
pelayanan
kesehatan
primer
untuk
mengidentifikasi individu yang berisiko dan pada saat perencanaan intervensi dan
penyuluhan kesehatan (Septyaningrum dan Martini, 2014).
IMT (indeks massa tubuh) merupakan ukuran antropometri yang paling
banyak digunakan saat ini untuk menentukan obesitas yang berkaitan dengan
resiko penyakit, namun dalam pengukuran IMT mempunyai keterbatasan yaitu
pada orang yang berotot dan bertulang besar dapat memiliki IMT tinggi tetapi
tetap sehat, begitu juga pada lansia, lansia dengan massa otot yang rendah bisa
memiliki IMT normal sehingga penggunaan IMT kurang tepat (Septyaningrum
dan Martini, 2014). Seseorang dengan indeks massa tubuh rendah dapat memiliki
rasio lingkar pinggang panggul berisiko jika simpanan lemak pinggang dan
panggulnya meningkat yang berdampak pada meningkatnya risiko penyakit
sebaliknya seseorang dengan indeks massa tubuh tinggi namun distribusi
lemaknya tidak berpusat pada pinggang dan panggul maka dapat mempunyai rasio
lingkar pinggang panggul tidak berisko (Hidayatulloh, 2011)..
Gibney mengemukakan bahwa distribusi lemak tubuh lebih tepat sebagai
prediktor DM dibandingkan dengan obesitas secara umum yang diukur dengan
IMT. Pengukuran IMT tidak bisa menunjukkan distribusi lemak tubuh. Adiposa
tubuh bagian atas yang diukur melalui rasio lingkar pinggang panggul / Waist Hip
Ratio memiliki kaitan yang lebih erat dengan diabetes mellitus (Wang, et al,
2005).
Lingkar pinggang menggambarkan lemak abdominal subkutan dan visceral,
serta digunakan sebagai pengukuran klinis yang mudah dan tidak mahal. Lemak
visceral umumnya digunakan untuk mendeskripskan lemak intra-abdominal yang
17
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep
Variabel Independen
Antropometri
Variabel Dependen
Kadar gula darah
18
19
Variabel Dependen
Hipotesis
Ho : Tidak ada hubungan antara antropometri dan kadar gula darah pada
masyarakat di Kelurahan Tanjung Selamat.
Ha : Ada hubungan antara antropometri dan kadar gula darah pada
masyarakat di Kelurahan Tanjung Selamat.
20
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain cross sectional,
dimana penelitian ini melihat hubungan antara antropometri dengan kadar gula
darah pada masyarakat di Kelurahan Tanjung Selamat. Observasi dan pengukuran
terhadap variabel dilakukan pada satu saat tertentu. Desain ini dipilih karena
relatif mudah, murah, dan hasilnya cepat dapat diperoleh (Sastroasmoro, S. dan S.
Ismael. 2011).
4.2 Waktu dan Tempat Penelitian
4.2.1 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan mulai dari tanggal 26 September 2016 sampai
dengan tanggal 7 Oktober 2016.
4.2.2 Tempat Penelitian
21
Sampel
Sampel merupakan bagian dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu
hingga dianggap dapat mewakili populasinya. Penelitian ini menggunakan metode
pengambilan sampel secara total sampling, dimana masyarakat yang akan
dijadikan sampel harus memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi sebagai
berikut.
Kriteria inklusi :
1. Masyarakat di Kelurahan Tanjung Selamat yang berusia 18 tahun 60 tahun
2. Masyarakat di Kelurahan Tanjung Selamat yang tidak menderita diabetes
mellitus
Kriteria eksklusi :
1. Masyarakat di Kelurahan Tanjung Selamat yang tidak bersedia diperiksa
(antropometri dan kadar gula darah).
4.4 Metode Pengumpulan Data
4.4.1.
Data Primer
Data primer adalah data yang berasal dari sampel penelitian. Data primer
diperoleh dari hasil pemeriksaan yang dilakukan terhadap sampel penelitian
meliputi pemeriksaan IMT, lingkar pinggang, rasio lingkar pinggang- pinggul dan
kadar gula darah.
Pertama-tama, responden akan diwawancari mengenai riwayat Diabetes
Mellitus dan tanda obesitas seperti akantosis nigrikans. Kemudian sampel yang
memenuhi kriteria tersebut dinilai IMT, lingkar pinggang, rasio lingkar pinggangpinggul dan kadar gula darahnya.
4.4.2.
22
23
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1.
24
Melitus
Distribusi frekuensi responden berdasarkan riwayat diabetes melitus di
Kelurahan Tanjung Selamat Medan dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Riwayat Diabetes Melitus
Riwayat Diabetes Melitus
N
Persentase (%)
Ada
8
11,4
Tidak ada
62
88,6
Total
70
100
Berdasarkan tabel 5.3 dapat disimpulkan bahwa 62 orang (88,6%)
responden pada penelitian ini tidak memiliki riwayat diabetes melitus.
5.2.4.
Nigrikans
Distribusi frekuensi responden berdasarkan adanya akantosis nigrikans di
Kelurahan Tanjung Selamat Medan dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
25
Persentase (%)
Ada
10
14,3
Tidak ada
60
85,7
Total
70
100
Berdasarkan tabel 5.4 dapat disimpulkan bahwa 60 orang (85,7%)
responden pada penelitian ini tidak memiliki akantosis nigrikans.
5.3.
Antropometri
Distribusi frekuensi indeks massa tubuh (IMT) sampel di Kelurahan
Persentase (%)
26
Normal
19
27,1
Obesitas Sentral
51
72,9
Total
70
100
Berdasarkan tabel 5.7 dapat disimpulkan bahwa responden pada penelitian
ini paling banyak terdapat pada kelompok obesitas sentral yaitu 51 orang (72,9%).
5.4.
rs
0,183
P
0,129
Berdasarkan tabel 5.10, dapat dianalisis bahwa korelasi antara indeks
massa tubuh (IMT) dengan kadar gula darah (KGD) yang diwakili oleh nilai r s
adalah sebesar 0,183 dengan p value = 0,129. Pada penelitian ini didapatkan nilai
rs memiliki sifat hampir tidak ada korelasi dan p value > 0,05 yang berarti tidak
ada korelasi antara IMT dan KGD sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada
korelasi antara IMT dan KGD. Hal ini berarti bahwa Ho diterima yang
menyatakan tidak ada hubungan atau korelasi antara IMT dengan KGD.
Tabel 5.11 Analisis Korelasi Spearman Lingkar Pinggang dengan Kadar Gula
Darah
Kadar Gula Darah
rs
0,389
p
0,001
Berdasarkan tabel 5.11, dapat dianalisis bahwa korelasi antara lingkar
Lingkar Pinggang
pinggang dengan kadar gula darah (KGD) yang diwakili oleh nilai r s adalah
sebesar 0,389 dengan p value = 0,001. Pada penelitian ini didapatkan r s bernilai
positif, ini berarti bahwa semakin besar lingkar pinggang maka semakin tinggi
nilai KGD. Nilai rs memiliki sifat korelasi lemah dan p value < 0,05 yang
menunjukkan ada korelasi antara lingkar pinggang dan kadar gula darah. Hal ini
berarti bahwa Ho ditolak yang menyatakan ada hubungan atau korelasi antara
lingkar pinggang dan kadar gula darah.
Tabel 5.12 Analisis Korelasi Spearman Rasio Lingkar Pinggang dan Lingkar
Pinggul dengan Kadar Gula Darah
Rasio Lingkar Pinggang dan Lingkar
rs
p
Pinggul
Berdasarkan tabel 5.12, dapat dianalisis bahwa korelasi antara rasio
lingkar pinggang dan lingkar pinggul (RLPP) dengan kadar gula darah (KGD)
yang diwakili oleh nilai rs adalah sebesar 0,350 dengan p value = 0,003. Pada
penelitian ini didapatkan rs bernilai positif. Nilai rs pada data ini memiliki sifat
korelasi lemah dan p value < 0,05 yang menunjukkan ada korelasi antara lingkar
pinggang dan kadar gula darah. Hal ini berarti bahwa Ha diterima yang
menyatakan ada hubungan atau korelasi antara RLPP dan kadar gula darah.
28
5.6 Pembahasan
Dari penelitian yang telah dilakukan terhadap 70 penduduk di Kelurahan
Tanjung Selamat, telah didapatkan hasil yang menggambarkan hubungan nilai
antropometri terhadap kadar gula darah pada orang dewasa di daerah tersebut.
Kelompok penduduk yang diteliti terbanyak usia 31 45 tahun dan paling banyak
adalah wanita sebesar 78,6%.
Dari hasil yang ditemukan pada tabel 5.1 dapat disimpulkan bahwa
sampel pada penelitian ini paling banyak terdapat pada kelompok dengan umur
31-45 tahun yaitu 30 orang (42,9%). Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang
telah dilakukan Igusti Made (2013), dimana pada penelitiannya sebagian besar
sampel berada pada kelompok umur >40 tahun, yaitu sebanyak 45 sampel dari
total 50 sampel (90%). Namun, hal ini sejalan dengan penelitian Garrows (2000),
dimana didapat kelompok umur 35 50 tahun, yaitu 45 sampel dari total 92
sampel (49%). Tampak terjadi peningkatan jumlah lemak tubuh dengan
peningkatan umur. Hasil Riskesdes tahun 2007 juga menunjukan bahwa jumlah
penderita DM di Indonesia semakin meningkat semakin meningkat seiring dengan
meningkatnya umur.
Usia memegang peranan penting dalam kejadian obesitas. Dengan
semakin meningkatnya usia, maka prevalensi obesitas semakin meningkat. Jumlah
lemak tubuh akan meningkat sesuai dengan peningkatan umur. Jumlah lemak
tubuh meningkat baik secara absolut maupun persentase total berat badan sebagai
bagian dari proses penuaan. Beberapa penelitian di negara berkembang
membuktikan bahwa lemak tubuh meningkat secara signifikan di atas usia 30
tahun, dan pada wanita dikarenakan proses kehamilan terdapat kecenderungan
kenaikan berat badan. Jaringan lemak tentunya akan semakin meningkat.
Peningkatan ini tentunya akan membawa dampak pada akumulasi asam lemak
bebas di dalam tubuh (Miftahul,2011).
Dari hasil yang ditemukan pada tabel 5.2 dapat disimpulkan bahwa sampel
pada penelitian ini paling banyak terdapat pada kelompok berjenis kelamin
perempuan yaitu 55 orang (78,6%). Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah
29
30
IMT, prevalensi akantosis nigrikans makin tinggi pula. Berbeda dengan penelitian
ini yang mempunyai jumlah orang yang obesitas dan yang overweight yang
tinggi tetapi dijumpai memiliki akantosis nigrikans sangat rendah.
Dari hasil yang didapatkan pada tabel 5.5 mengenai hubungan
antropometri (IMT) dan kadar gula darah responden menunjukkan bahwa tidak
terdapat hubungan signifikan antara IMT dan kadar gula darah responden. Hal ini
berbeda dengan hasil penelitian yang telah dilakukan Miftahul et all (2011),
dimana ia menyatakan bahwa terdapat korelasi yang bermakna antara IMT dengan
KGD. Semakin tinggi IMT semakin tinggi juga kadar gula darahnya. Hasil
penelitian ini juga tidak sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan Purnawati
(2008), yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara BMI
terhadap DM Tipe 2. Semakin tinggi IMT seseorang tersebut semakin tinggi juga
kadar gula darah dalam tubuhnya. Namun, penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang telah dilakukan Nur Indrawaty (2007), dimana dari hasil penelitiannya tidak
terdapat hubungan yang bermakna antara IMT dengan kadar gula darah.
Menurut Dadamo (2008), orang yang mengalami kelebihan berat badan,
kadar leptin dalam tubuh akan meningkat. Leptin adalah hormon yang
berhubungan dengan gen obesitas. Leptin berperan dalam hipotalamus untuk
mengatur tingkat lemak tubuh, kemampuan untuk membakar lemak menjadi
energi, dan rasa kenyang. Kadar leptin dalam plasma meningkat dengan
meningkatnya berat badan. Leptin bekerja pada sistem saraf perifer dan pusat.
Peran leptin terhadap terjadinya resistensi yaitu leptin menghambat fosforilasi
insulin receptor substrate-1 (IRS) yang akibatnya dapat menghambat ambilan
glukosa. Sehingga mengalami peningkatan kadar gula dalam darah.
Hasil yang didapat dari penelitian ini menunjukan jumlah dan distribusi
lemak tubuh tidak dapat menggambarkan keadaan metabolisme karbohidrat dalam
tubuh. Padahal secara teoritis, peningkatan jumlah lemak tubuh dapat
menimbulkan resistensi insulin yang merupakan salah satu faktor utama penyebab
meningkatnya kadar glukosa darah. Namun hal ini dapat dijelaskan dengan
patofisiologi timbulnya diabetes mellitus tipe 2. Pada fase awal dimana resistensi
31
32
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
33
1. Tidak ada hubungan antara status gizi dengan kadar gula darah pada
masyarakat di Kelurahan Tanjung Selamat, Kecamatan Medan Tuntungan.
2. Terdapat ada hubungan antara lingkar pinggang dengan kadar gula darah pada
masyarakat di Kelurahan Tanjung Selamat, Kecamatan Medan Tuntungan.
3. Terdapat hubungan antara rasio pinggang-pinggul dengan kadar gula darah
pada masyarakat di Kelurahan Tanjung Selamat, Kecamatan Medan
Tuntungan.
4. Berdasarkan status gizi, didapatkan bahwa jumlah responden yang mengalami
status gizi normal yaitu 17 orang (24,3%) sedangkan overweight 13 orang
(18,6%) dan obese 35 orang (50%).
5. Berdasarkan kelompok jenis kelamin, didapatkan bahwa penelitian ini paling
banyak terdapat pada kelompok jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 55
orang (78,6%) dibandingkan dengan kelompok jenis kelamin laki-laki.
6. Berdasarkan kelompok umur , didapatkan bahwa penelitian ini paling banyak
terdapat pada kelopok dengan umur 31-45 tahun yaitu 30 orang (42,9%).
7. Berdasarkan riwayat DM (Diabetes Mellitus) , didapatkan bahwa lebih banyak
yang tidak memiliki riwayat diabetes mellitus yaitu sebanyak 62 orang (88,6%)
dibandingkan dengan yang memiliki riwayat diabetes mellitus.
6.2. Saran
1. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan menggunakan jumlah sampel yang lebih
banyak.
2. Bagi tenaga kesehatan, diharapkan dapat memberikan informasi dan
meningkatkan upaya promosi kesehatan dengan melakukan penyuluhan dan
kegiatan promosi kesehatan lainnya.
3. Bagi masyarakat, diharapkan dapat meningkatkan kesadaran akan pentingnya
untuk mengatur status gizi supaya tetap ideal dan mengontrol kadar gula darah
setiap kunjungan ke dokter.
4. Selain itu, bagi masyarakat juga diharapkan dapat meningkatkan kesadaran
akan pentingnya mengubah kebiasaan gaya hidup yang buruk menjadi lebih
sehat.
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Adam. F.M.S., Adam, J.M.F. 2005. Adiponektin, resistensi insulin pada
obesitas. Penelitian pendahuluan. Dari penelitian East Indonesia Diabetes
Epidemilogy Group (EIDEG). Naskah lengkap the 4 th National Obesity
Symposium and the 2ndNational Symposium on Metabolic Syndrome.
Makassar. 254-269
2. Adam
M.F.
2005.
Metabolic
syndrome
and
its
components
in
Association.
(online)
http://www.diabetes.org/diabetes-
basics/genetics-of-diabetes
4. American Diabetes Association, 2014. Diagnosing Diabetes and Learning
about
Prediabetes.
Available
from:
http://www.diabetes.org/diabetes-
35
6. Astawan,
M.
2006.
Hipoglikemia.
Available
from:
http//www.google.co.id/medicastore.com
7. Bernard, A. S. dan Kerure, S. B., 2013. Glucose Handling during Menstrual
Cycle. International Journal of Reproduction, Obstetrics and Gynecology 2
(3): 284-287.
8. Dadamo, Peter, J. 2008. Diet Sehat Diabetes Sesuai Golongan Darah.
Yogyakarta : Delapratasa.
9. DeCherney, A. H., Nathan, L., Goodwin, M. T., dan Laufer, N., 2007. Current
Diagnosis and Treatment Obstetrics and Gynecology. 10th ed. USA: McGrawHill Companies.
10. Depkes. 2008. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007. Jakarta :
Departemen Kesehatan RI
11. Dwi, D.H. 2013. Hubungan Antara Indeks Massa Tubuh (IMT) dan Lingkar
Lengan Atas (LILA) dengan Kadar Gula Darah dan Kolesterol Pada Wanita
Usia Subur (WUS) di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman.
Surakarta : Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
12. Garrows. 2000. Obesity in Human Nutrition and Dietetics, Chuechill,
Livingstone.
13. Guyton, A. C. dan Hall, J. E., 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi
11. Jakarta: EGC, 259-260, 849-851, 873-881, 983, 999-1001.
14. Hidayatulloh, A, (2011). Hubungan Faktor Risiko Obesitas dengan Rasio
Lingkar pinggang Pinggul Mahasiswa FKM UI. Jakarta : Berkala Ilmiah
Mahasiswa gizi Indonesia. vol 1 no 1
15. Igusti Made. 2013. Hubungan Faktor Resiko Umur, Jenis Kelamin,
Kegemukan dan Hipertensi dengan kejadian Diabetes Melitus tipe II di
Wilayah Kerja Puskesmas Mataram
16. Jalal Fasli, et all. 2006. Hubungan Lingkar Pinggang dengan Kadar Gula
Darah, Trigliserida dan Tekanan Darah pada Etnis Minang di Kabupaten
Padang Pariaman, Sumatera Barat.
17. Katzung, B. G., 2011. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi 10. Jakarta:
EGC, 478, 655-662.
18. Kronenberg, H. M., Melmed, M., Polonsky, K. S., dan Larsen, P. R., 2008.
Williams.
36
19. Laquatra, Ida Marie. 2004. Nutrition For Weight Management: dalam Mahan
LK, Stumpes. Krauses Food Nutrition and Diet Therapy 11th edition.
Pensylvania : Saunders
20. Lipoeto, N.I., Yerizel, E., Zulkarnain, E. 2007. Hubungan Nilai Antropometri
dengan Kadar Glukosa Darah. Padang : Medika; 23-27.
21. Martin, I.S., Marinho, S.P. 2003. The Potential of central obesity
antropometric indicators as diagnostic tools. Revista de Saude Publica.
22. Miftahul, et all. 2011. Hubungan Indeks Masa Tubuh (IMT) Dengan Kadar
Gula Darah Penderita Diabetes Mellitus (DM) Tipe 2 Rawat Jalan Di RS
Tugurejo Semarang.
23. Misnadierly., 2007. Obesitas sebagai Faktor Risiko Beberapa penyakit.Jakarta
: Pustaka obor popular.
24. Murray, R. K., Granner, D. K., dan Rodwell, V. W., 2009. Biokimia Harper.
Edisi 7. Jakarta: EGC, 119, 139-151,179-181.
25. Perkeni. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus
Tipe 2 di Indonesia, (online). http://perkeni.org/download/Konsensus%20DM
%20 2011.zip, diakses 23 September 2016.
26. Price, S. A. dan Wilson, L. M., 2012. Patofisiologi: Konsep Klinis ProsesProses Penyakit. Jakarta: EGC, 1260-1263.
27. Purnawaty, Lies. 1998. Hubungan IMT dengan Kejadian Diabetes Melitus
tidak tergantung Insulin pada Pasien Rawat Jalan di RSUPN Cipto
Mangunkusumo pada tahun 1998. Tesis : Universitas Indonesia.
28. Roussel, R., et al., 2011. Low Water Intake and Risk for New-Onset
Hyperglycemia.Diabetes Care 34: 2551-2554.
29. Sastroasmoro, S. dan S. Ismael. 2011. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian
Klinis. Edisi 4. Jakarta : CV. Sagung Seto.
30. Septyaningrum, N., Martini, S. 2014. Waist Circumference as The Strongest
Factor Related to Blood Glucose Level (Lingkar Perut Mempunyai Hubungan
Paling Kuat dengan Kadar Gula Darah). Surabaya : Jurnal Berkala
Epidemiologi; 2; 1.
31. Sherwood, L., 2012. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem. Edisi 6. Jakarta:
EGC, 571-572, 612, 642, 779-780, 840-844.
32. Shils, M. E., Shike, M., Ross, A. C., Caballero, B., dan Cousins, R. J., 2006.
Modern Nutrition in Health and Disease. 10th ed. Philadelphia: Lippincott
William-Wilkins, 1242.
33. Soegih, R., dan Wiramihardja, K. 2009. Obesitas Permasalahan Dan Terapi
37
38
39