Anda di halaman 1dari 39

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Obesitas terjadi karena penimbunan lemak di dalam tubuh, sehingga

meningkatkan risiko terjadinya berbagai gangguan kesehatan (Dwi, 2013).


Prevalensi overweight dan obesitas terus meningkat dengan cepat. Obesitas telah
menjadi pandemik global di seluruh dunia dan dinyatakan oleh World Health
Organization (WHO) sebagai masalah kesehatan kronis terbesar pada orang
dewasa. Data WHO menunjukkan lebih dari 1,4 miliar orang dewasa mengalami
kelebihan berat badan dan lebih dari 200 juta orang, hampir 300 juta perempuan
mengalami obesitas (Soegih dan Wiramihardja, 2009). Data Riskesdas tahun 2007
menunjukkan bahwa prevalensi obesitas umum secara nasional di Indonesia
adalah 19,1% dan prevalensi nasional obesitas sentral pada penduduk umur lebih
dari 15 tahun adalah 18,8% (Depkes, 2008).
Obesitas didefenisikan sebagai penimbunan lemak berlebihan dalam
jaringan tubuh. Penimbunan ini dapat terjadi di seluruh tubuh atau di tempattempat tertentu misalnya di daerah perut yang lebih sering disebut sebagai
obesitas sentral atau obesitas abdominal (Lipoeto, Yerizel, Zulkarnain, 2007).
Salah satu cara untuk mengukur distrubusi lemak dalam tubuh adalah dengan
metode antropometri, yaitu dengan mengukur indeks massa tubuh (IMT) untuk
menentukan obesitas seluruh tubuh, dan lingkar pinggang serta rasio lingkar
pinggang-panggul untuk menentukan obesitas sentral (Perkeni. 2011).
Indeks massa tubuh merupakan suatu parameter obesitas yang bias
memperkirakan risiko seseorang dapat terkena penyakit penyerta obesitas atau
tidak. Damanik (2009) menyatakan bahwa makin tinggi nilai IMT, makin tinggi
pula risiko terkena penyakit penyerta obesitas (Dwi, 2013). Hal ini didukung
pendapat Astawan (2006) yang menyatakan bahwa distribusi lemak tubuh,
terutama di perut merupakan suatu faktor risiko tersendiri terhadap kesehatan.
Risiko meningkat bila lingkar pinggang lebih dari 90 cm untuk pria dan lebih dari
80 cm untuk wanita. Obesitas selain meningkatkan kadar kolesterol, juga

berpengaruh terhadap kadar gula darah. Obesitas terutama yang bersifat sentral
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit DM Tipe 2.
Timbunan lemak yang berlebihan di dalam tubuh dapat mengakibatkan resistensi
insulin yang berpengaruh terhadap kadar gula darah penderita diabetes mellitus
(Dwi,2013).
Pada penyakit diabetes melitus tipe 2, peranan obesitas dijelaskan dalam
berbagai teori. Salah satu teori menyebutkan bahwa sel-sel lemak yang mengalami
hipertrofi menurunkan jumlah reseptor insulin. Teori lain menyebutkan tingginya
asam lemak, peningkatan hormon resistin dan penurunan adiponektin akibat
penumpukan lemak. Obesitas mempengaruhi kerja insulin sehingga dapat
menyebabkan tingginya kadar glukosa darah (Perkeni, 2011).
Pada penelitian Soetiarto dan Suhardi (2010) mengenai hubungan diabetes
mellitus dengan obesitas berdasarkan IMT dan lingkar pinggang data
RISKESDAS 2007, menyimpulkan bahwa obesitas sentral berdasarkan lingkar
pinggang lebih berperan sebagai factor resiko peningkatan kadar gula pada DM
dibandingkan dengan obesitas umum berdasarkan IMT. Pada penelitian Wiwi
Yuliasih (2009) mengenai Obesitas abdominal sebagai faktor resiko peningkatan
kadar gula darah, juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna
antara obesitas abdominal (pengukuran lingkar pinggang) dengan peningkatan
kadar gula darah baik puasa maupun 2 jam setelah makan.
Penelitian yang dilakukan oleh Ignes Salas Martin dan Sheila Pita pada
tahun

2003

tentang

indikator

menunjukkan

bahwa

rasio

antropometri

lingkar

untuk

pinggang-pinggul

obesitas

abdominal

secara

signifikan

berhubungan dengan gangguan yang mengindikasikan sindrom metabolik,


termasuk peningkatan kadar gula darah akibat resistensi insulin, sedangkan
lingkar pinggang berkaitan erat dengan penyakit jantung aterosklerosis.
Sedangkan, pada penelitian Warne et al melaporkan bahwa perkiraan distribusi
lemak tubuh tidak lebih bermakna daripada perkiraan obesitas dengan IMT yang
merupakan prediktor diabetes mellitus tipe 2 yang paling bermakna pada wanita di
Pirna Indian (Yuliasih, 2009).

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk mengetahui


dan meneliti mengenai Hubungan antara antropometri dengan kadar gula darah
pada masyarakat di Kelurahan Tanjung Selamat.
1.2.

Rumusan masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan pertanyaan

penelitian sebagai berikut: Bagaimana hubungan antara antropometri dengan


kadar gula darah?
1.3.

Tujuan Penelitian

1.3.1.

Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan antropometri dengan kadar gula darah pada


masyarakat di Kelurahan Tanjung Selamat.
1.3.2.

Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian :


1. Mengetahui antropometri masyarakat di Kelurahan Tanjung Selamat.
2. Mengetahui indeks massa tubuh masyarakat di Kelurahan Tanjung Selamat.
3. Mengetahui lingkar pinggang dan rasio lingkar pinggang-panggul masyarakat
di Kelurahan Tanjung Selamat.
4. Mengetahui kadar gula darah masyarakat di Kelurahan Tanjung Selamat.
1.4.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk :
1. Peneliti

Penelitian ini dapat menjadi sarana dalam menerapkan ilmu kedokteran tentang
hubungan antropometri dan kadar gula darah, serta meningkatkan pengetahuan,
pengalaman, dan wawasan peneliti dalam melakukan penelitian kesehatan.
Penelitian ini juga menjadi sarana dalam menambah wawasan berkomunikasi
peneliti dengan masyarakat di Kelurahan Tanjung Selamat.
2. Pendidikan.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan atau ide-ide bagi
peneliti lain yang akan melakukan penelitian selanjutnya, khususnya bagi
penelitian yang berhubungan dengan hubungan antropometri dengan kadar
gula darah.
3. Pelayanan kesehatan.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi bagi Pelayanan
Kesehatan untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai
hubungan IMT dengan kadar gula darah, serta melakukan pencegahan dan
edukasi kepada masyarakat yang mempunyai IMT yang berlebih (overweight
dan obesitas) yang merupakan faktor resiko penyakit diabetes melitus tipe 2.
4. Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan bagi
masyarakat tentang hubungan antropometri dengan peningkatan kadar gula
darah, dan dapat memberikan pengetahuan masyarakat untuk menjaga pola
hidup sehat untuk menghindari overweight dan obesitas sebagai risiko diabetes
melitus tipe 2.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Antropometri
2.1.1.
Indeks Massa Tubuh
Klasifikasi ini didasarkan pada perhitungan indeks massa tubuh (IMT).
IMT adalah perbandingan berat badan (dalam kilogram) dan kuadrat tinggi
badan (dalam meter). Indeks massa tubuh memiliki spesifisitas 98% hingga 99%
dan sensitivitas yang rendah, berkisar 13% hingga 55%. Untuk menghitung
indeks massa tubuh, dibutuhkan pengukuran tinggi badan dan berat badan.
Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung indeks massa tubuh adalah
(WHO Expert Consultation, 2004):
berat badan( kg)
IMT= tinggi badan2 (m2)
Menurut WHO expert consultation (2004), seseorang dikatakan overweight
apabila memiliki IMT 25-29,9 kg/m2. Batas ambang untuk obesitas adalah di atas
30 kg/m2. Batas ambang normal apabila memiliki IMT 18,5-24,9 kg/m 2.
Klasifikasi ini berlaku secara internasional.
Klasifikasi IMT untuk daerah Asia berbeda. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa populasi di Asia memiliki deposit lemak lebih banyak pada
IMT yang lebih rendah. Berikut adalah klasifikasi IMT untuk daerah Asia pada
orang dewasa:
Tabel 2.1 Klasifikasi Obesitas Berdasarkan IMT Untuk Orang Dewasa
Klasifikasi
Berat badan rendah

IMT (kg/m2)
<18,5

Berat badan normal

18,5 -22,9

Berat badan resiko berlebih

23 -24,9

Obesitas kelas I

25 29,9

Obesitas kelas II

30

Sumber: World Health Organization, 2004


2.1.2.

Lingkar Pinggang

IMT memiliki korelasi positif dengan total lemak tubuh, tetapi IMT bukan
merupakan indikator terbaik untuk obesitas Selain IMT, metode lain untuk
pengukuran antropometri tubuh adalah dengan cara mengukur lingkar pinggang.
Pengukuran lingkar pinggang ini boleh dikatakan berguna dalam penentuan
obesitas sentral. Lingkar pinggang menggambarkan lemak tubuh di antaranya
tidak termasuk berat tulang (kecuali tulang belakang) atau massa otot yang besar
yang mungkin akan bervariasi dan memperngaruhi hasil pengukuran. Berikut
kriteria ukuran lingkar pinggang berdasarkan etnis (Misnadierly, 2007):
Tabel 2.2 Rekomendasi Lingkar Pinggang untuk Obesitas Sentral
Negara atau kelompok etnik
Eropa
Asia Selatan
Tiongkok
Jepang

Jenis Kelamin
Pria
Wanita
Pria
Wanita
Pria
Wanita
Pria
Wanita

Lingkar Pinggang (cm)


>94
>80
>90
>80
>90
>80
>90
>80

Sumber : Misnadierly, 2007


2.1.3.

Rasio Lingkar Pinggang-Lingkar Pinggul

Selain IMT dan lingkar perut, rasio antara lingkar pinggang dan lingkar
pinggul /waist-hip ratio (WHR) merupakan alternatif klinis yang praktis. Lingkar
perut dan WHR berhubungan dengan besarnya resiko untuk terjadinya gangguan
kesehatan ( Adam, 2005).
Tabel 2.3 Nilai Normal untuk Waist-Hip Ratio
Jenis Kelamin
Wanita
Pria
Sumber : Adam, 2005

Waist-Hip Ratio
<0,85
<0,9

2.2. Kadar Glukosa Darah


Glukosa adalah karbohidrat terpenting bagi tubuh karena glukosa bertindak
sebagai bahan bakar metabolik utama. Glukosa juga berfungsi sebagai prekursor
untuk sintesis karbohidrat lain, misalnya glikogen, galaktosa, ribosa, dan

deoksiribosa. Glukosa merupakan produk akhir terbanyak dari metabolisme


karbohidrat. Sebagian besar karbohidrat diabsorpsi ke dalam darah dalam bentuk
glukosa, sedangkan monosakarida lain seperti fruktosa dan galaktosa akan diubah
menjadi glukosa di dalam hati. Karena itu, glukosa merupakan monosakarida
terbanyak di dalam darah (Murray, Granner, dan Rodwell, 2009).
Selain berasal dari makanan, glukosa dalam darah juga berasal dari proses
glukoneogenesis dan glikogenolisis (Kronenberg, Melmed, Polonsky, dan Larse,
2008). Kadar glukosa darah diatur sedemikian rupa agar dapat memenuhi
kebutuhan tubuh. Dalam keadaan absorptif, sumber energi utama adalah glukosa.
Glukosa yang berlebih akan disimpan dalam bentuk glikogen atau trigliserida.
Dalam keadaan pasca-absorptif, glukosa harus dihemat untuk digunakan oleh otak
dan sel darah merah yang sangat bergantung pada glukosa. Jaringan lain yang
dapat menggunakan bahan bakar selain glukosa akan menggunakan bahan bakar
alternatif (Sherwood, 2012).
Karena keseimbangan kadar glukosa darah sistemik sangat penting,
dibutuhkan pengaturan kadar glukosa darah yang ketat oleh tubuh. Pengaturan
kadar glukosa darah ini terutama dilakukan oleh hormon insulin yang menurunkan
kadar glukosa darah dan hormon glukagon yang menaikkan kadar glukosa darah
(Kronenberg, Melmed, Polonsky, dan Larsen, 2008).
Glukosa harus ditranspor ke dalam sel melalui mekanisme difusi terfasilitasi
sehingga sel dapat memakainya sebagai sumber energi. Agar glukosa dapat
menembus membran plasma yang impermeabel terhadap molekul besar, glukosa
membutuhkan protein pembawa. Selain di saluran cerna dan tubulus ginjal,
glukosa diangkut dari konsentrasi yang lebih tinggi ke konsentrasi yang lebih
rendah mengikuti gradien konsentrasinya oleh protein pembawa GLUT yang
independen Na+ (Tabel 2.4) (Guyton dan Hall, 2008).
Tabel 2.4. Pengangkut Glukosa yang Utama
Lokasi Jaringan

Fungsi

Pengangkut dua-arah fasilitatif


GLUT 1

Otak, ginjal, kolon, plasenta, eritrosit Penyerapan glukosa


7

GLUT 2
GLUT 3
GLUT 4
GLUT 5

Hati, sel beta pancreas, usus halus, Penyerapan atau pembebasan


ginjal

glukosa secara cepat

Otak, ginjal, plasenta


Otot jantung dan rangka, jaringan

Penyerapan glukosa
Penyerapan glukosa

adipose

dirangsang oleh insulin

Usus halus

yang

Penyerapan glukosa

Pengangkut satu-arah dependen-natrium


SGLT 1 Usus halus dan ginjal

Penyerapan
dengan

aktif

glukosa

melawan

gradien

konsentrasi
Sumber: Murray, Granner, dan Rodwell , 2009.
Kecepatan pengangkutan glukosa ke dalam sel otot dan lemak sangat
dipengaruhi oleh insulin. Dengan adanya insulin, kecepatan pengangkutan
glukosa dapat meningkat sekitar sepuluh kali lipat. Ketika kadar glukosa dalam
darah tinggi, maka insulin akan disekresikan oleh pankreas. Insulin akan
merangsang sel otot dan lemak untuk lebih permeabel terhadap glukosa. Insulin
juga meningkatkan aktivitas enzim-enzim yang berperan dalam proses
glikogenesis di otot dan hati (Tabel 2.5) (Guyton dan Hall, 2008).
Glukagon mempunyai efek yang berlawanan dengan insulin. Glukagon
mempunyai dua fungsi utama, yaitu berperan dalam proses glikogenolisis dan
glukoneogenesis (Tabel 2.5). Jadi, glukagon mempunyai efek meningkatkan kadar
glukosa dalam darah (Guyton dan Hall, 2008).
Tabel 2.5. Respons Jaringan terhadap Insulin dan Glukagon yang Berkaitan
dengan Metabolisme Glukosa.
Hati
Ditingkatkan oleh Insulin

Glikogenesis

Diturunkan oleh Insulin

Glukoneogenesis

Jaringan Lemak
Pengambilan

Otot
Pengambilan

glukosa

glukosa
Glikogenesis

Ditingkatkan oleh

Glikogenolisis

Glukagon
Glukoneogenesis
Sumber: Murray, Granner, dan Rodwell , 2009.
2.2.1.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kadar Glukosa dalam

Darah
Berdasarkan ADA (2015), beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kadar
glukosa di dalam darah adalah:
1. Konsumsi Karbohidrat
Karbohidrat adalah salah satu bahan makanan utama yang diperlukan oleh
tubuh. Sebagian besar karbohidrat yang kita konsumsi terdapat dalam bentuk
polisakarida yang tidak dapat diserap secara langsung. Karena itu, karbohidrat
harus dipecah menjadi bentuk yang lebih sederhana untuk dapat diserap melalui
mukosa saluran pencernaan (Sherwood, 2012).
Karbohidrat yang masuk ke saluran cerna akan dihidrolisis oleh enzim
pencernaan. Ketika makanan dikunyah di dalam mulut, makanan tersebut
bercampur dengan saliva yang mengandung enzim ptialin (-amilase). Tepung
(starch) akan dihidrolisis oleh enzim tersebut menjadi disakarida maltosa dan
polimer glukosa kecil lainnya (Guyton dan Hall, 2008).
Sesampainya di lambung, enzim ptialin menjadi tidak aktif akibat suasana
lambung yang asam. Proses pencernaan ini akan dilanjutkan di usus halus yang
merupakan muara dari sekresi pankreas. Sekresi pankreas mengandung -amilase
yang lebih poten daripada -amilase saliva. Hampir semua karbohidrat telah
diubah menjadi maltosa dan polimer glukosa kecil lainnya sebelum melewati
duodenum atau jejunum bagian atas (Guyton dan Hall, 2008).
Disakarida dan polimer glukosa kecil ini kemudian dihidrolisis oleh enzim
monosakaridase yang terdapat pada vili enterosit usus halus. Proses ini terjadi
ketika disakarida berkontak dengan enterosit usus halus dan menghasilkan
monosakarida yang dapat diserap ke aliran darah (Guyton dan Hall, 2008).
Proses ini digambarkan di Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Pencernaan Karbohidrat (Guyton dan Hall, 2008).


Kebanyakan karbohidrat dalam makanan akan diserap ke dalam aliran darah
dalam bentuk monosakarida glukosa. Jenis gula lain akan diubah oleh hati
menjadi glukosa (Murray, Granner, dan Rodwell, 2009).
2. Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik mempengaruhi kadar glukosa dalam darah. Ketika aktivitas
tubuh tinggi, penggunaan glukosa oleh otot akan ikut meningkat. Sintesis glukosa
endogen akan ditingkatkan untuk menjaga agar kadar glukosa dalam darah tetap
seimbang. Pada keadaan normal, keadaan homeostasis ini dapat dicapai oleh
berbagai mekanisme dari sistem hormonal, saraf, dan regulasi glukosa
(Kronenberg, Melmed, Polonsky, dan Larsen, 2008).
Ketika tubuh tidak dapat mengkompensasi kebutuhan glukosa yang tinggi
akibat aktivitas fisik yang berlebihan, maka kadar glukosa tubuh akan menjadi
terlalu rendah (hipoglikemia). Sebaliknya, jika kadar glukosa darah melebihi
kemampuan tubuh untuk menyimpannya disertai dengan aktivitas fisik yang
kurang, maka kadar glukosa darah menjadi lebih tinggi dari normal
(hiperglikemia) (ADA, 2015).
3. Penggunaan Obat
Berbagai obat dapat mempengaruhi kadar glukosa dalam darah, di antaranya
adalah obat antipsikotik dan steroid (ADA, 2015).

10

. Obat antipsikotik atipikal mempunyai efek simpang terhadap proses


metabolisme. Penggunaan klozapin dan olanzapin sering kali dikaitkan dengan
penambahan berat bahan sehingga pemantauan akan asupan karbohidrat sangat
diperlukan.

Penggunaan

antipsikotik

juga

dikaitkan

dengan

kejadian

hiperglikemia walaupun mekanisme jelasnya belum diketahui. Hal ini


kemungkinan disebabkan oleh penambahan berat badan akibat resistensi insulin
(Katzung, 2011).
Steroid mempunyai efek yang beragam karena steroid dapat mempengaruhi
berbagai fungsi sel di dalam tubuh. Salah satu di antaranya adalah efek steroid
terhadap metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak. Steroid sintetik
mempunyai mekanisme kerja yang sama dengan steroid alami tubuh (Katzung,
2011). Glukokortikoid mempunyai peran penting dalam proses glukoneogenesis.
Kortisol dan glukokortikoid lainnya dapat meningkatkan kecepatan proses
glukoneogenesis hingga 6 sampai 10 kali lipat. Selain berperan dalam proses
glukoneogenesis, kortisol juga dapat menyebabkan penurunan pemakaian glukosa
oleh sel. Akibat peningkatan kecepatan glukoneogenesis dan penurunan
pemakaian glukosa ini, maka konsentrasi glukosa dalah darah akan meningkat
(Guyton dan Hall, 2008).
4. Keadaan Sakit
Beberapa penyakit dapat mempengaruhi kadar glukosa di dalam darah
seseorang, di antaranya adalah penyakit metabolisme diabetes mellitus dan
tirotoksikosis.
Diabetes

mellitus

adalah

sekelompok

penyakit

metabolik

berupa

hiperglikemia yang diakibatkan oleh gangguan sekresi insulin, kerja insulin, atau
keduanya. Berdasarkan etiologinya diabetes mellitus diklasifikasikan menjadi
berbagai jenis, di antaranya adalah diabetes mellitus tipe 1 (DM tipe 1) dan
diabetes mellitus tipe 2 (DM tipe 2) (ADA, 2014).
DM tipe 1 adalah diabetes yang terjadi akibat kerusakaan sel-sel beta
pankreas oleh suatu proses autoimun. Kerusakaan sel-sel beta pankreas ini akan
berakibat pada defisiensi insulin yang menimbulkan terjadinya hiperglikemia
(Price dan Wilson, 2012).
11

DM tipe 2 adalah diabetes yang terjadi akibat resistensi hormon insulin. DM


tipe 2 ini ditandai dengan kelainan sekresi dan kerja insulin. Sel tidak lagi
responsif terhadap insulin sehingga terjadi pengikatan abnormal antara kompleks
reseptor-insulin dengan sistem transpor glukosa. Hal ini akan menggangu kerja
insulin hingga akhirnya sel beta pankreas gagal untuk menyekresikan insulin.
Defisiensi insulin ini akan menyebabkan keadaan hiperglikemia (Price dan
Wilson, 2012).
Tirotoksikosis adalah respons jaringan tubuh akibat pengaruh metabolik
hormon tiroid yang berlebihan. Hormon tiroid mempunyai efek pada pertumbuhan
sel, perkembangan, dan metabolisme energi (Price dan Wilson, 2012).
Tiroksikosis dapat menaikkan kadar glukosa darah melalui efek hormon tiroid
terhadap metabolisme karbohidrat. Hormon tiroid dapat meningkatkan kecepatan
penggunaan

glukosa

oleh

sel,

meningkatkan

proses

glukoneogenesis,

meningkatkan kecepatan absorpsi saluran cerna, bahkan meningkatkan sekresi


insulin (Guyton dan Hall, 2008).
5. Stres
Stres, baik stres fisik maupun neurogenik, akan merangsang pelepasan
ACTH

(adrenocorticotropic

hormone)

dari

kelenjar

hipofisis

anterior.

Selanjutnya, ACTH akan merangsang kelenjar adrenal untuk melepaskan hormon


adrenokortikoid, yaitu kortisol. Hormon kortisol ini kemudian akan menyebabkan
peningkatan kadar glukosa dalam darah14. Hormon ini meningkatkan katabolisme
asam amino di hati dan merangsang enzim-enzim kunci pada proses
glukoneogenesis. Akibatnya, proses glukoneogenesis meningkat (Murray, R. K.,
Granner, D. K., dan Rodwell, V. W., 2009).
Selain itu, stres juga merangsang kelenjar adrenal untuk menyekresikan
epinefrin. Epinefrin menyebabkan glikogenolisis di hati dan otot dengan
menstimulasi enzim fosforilase (Murray, R. K., Granner, D. K., dan Rodwell, V.
W., 2009).
Beberapa jenis stres yang dapat meningkatkan pelepasan kotisol adalah:
a. Trauma.

12

b. Infeksi.
c. Suhu yang ekstrim.
d. Injeksi norepinefrin dan obat-obat simpatomimetik lain.
e. Pembedahan.
f. Injeksi bahan yang bersifat nekrolisis di bawah kulit.
g. Pengekangan sehingga tidak dapat bergerak.
h. Hampir setiap penyakit yang menyebabkan kelemahan (Guyton dan Hall,
2008).
6. Siklus Menstruasi
Menstruasi adalah perdarahan pervaginam periodik yang terjadi akibat
peluruhan mukosa uterus (DeCherney, Nathan, Goodwin, dan Laufer, 2007).
Siklus menstruasi terdiri dari tiga fase, yaitu fase proliferasi, sekretori, dan
menstruasi. Selama siklus menstruasi, terjadi fluktuasi hormon-hormon yang
berperan dalam mengatur siklus, termasuk estrogen dan progesteron. Selama fase
proliferasi, terdapat peningkatan kadar estrogen. Pada fase sekretori, kadar
hormon estrogen dan progesteron meningkat. Sedangkan pada fase menstruasi,
kedua hormon ini terdapat dalam kadar yang sangat rendah (Sherwood, 2012).
Fluktuasi

hormon-hormon

selama

siklus

menstruasi

ini

diduga

menyebabkan perubahan kadar glukosa darah. Peningkatan kadar progesteron


dikatakan dapat menyebabkan resistensi insulin temporer, sehingga menyebabkan
kadar glukosa darah lebih tinggi dari normal. Kadar estrogen yang tinggi dapat
meningkatkan sensitivitas terhadap insulin, sehingga kadar glukosa darah dapat
lebih rendah dari normal. Perubahan kadar glukosa darah ini mungkin juga
berhubungan dengan adanya inflamasi ringan sebelum menstruasi (Bernard dan
Kerure, 2013).
7. Dehidrasi
Dehidrasi adalah suatu kondisi di mana tubuh kekurangan cairan sehingga
keseimbangan air menjadi negatif. Ketika tubuh kekurangan cairan, maka tubuh
akan melakukan kompensasi dengan cara mengaktifkan sistem renin-angiotensin.

13

Angiotensin II kemudian akan merangsang pelepasan vasopresin yang salah satu


efeknya adalah meningkatkan reabsorpsi air oleh tubulus ginjal (Sherwood, L.,
2012).
Selain berfungsi dalam meretensi air, vasopresin juga mempunyai efek
terhadap metabolisme glukosa. Vasopresin memiliki reseptor di hati dan di pulau
Langerhans pankreas. Vasopresin merangsang proses glukoneogenesis dan
pelepasan glukagon sehingga meningkatkan kadar glukosa dalam darah (Roussel,
et al., 2011).
8. Konsumsi Alkohol
Konsumsi alkohol dikaitkan dengan hipoglikemia. Sebagian pecandu
alkohol mengalami hipoglikemia akibat gangguan metabolisme glukosa.
Metabolisme alkohol (etanol) melibatkan enzim alkohol dehidrogenase (ADH)
yang terutama terdapat di hati. Proses perubahan etanol menjadi asetaldehid
menghasilkan zat reduktif yang berlebihan di hati, terutama NADH (Katzung,
2011).
Peningkatan NADH ini mengganggu proses glikogenolisis. Alkohol juga
dapat menggangu kerja enzim yang berperan dalam proses glukoneogenesis dan
lipogenesis (Gambar 2.2) (Shils, et al, 2006.).

14

Gambar 2.2. Abnormalitas Hepatis, Nutrisional, dan Metabolik setelah


Penyalahgunaan Etanol
Sumber: Shils et al., 2006.
2.2.2.

Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah

Menurut ADA (2014), ada berbagai cara yang biasa dilakukan untuk
memeriksa kadar glukosa darah, di antaranya:
1. Tes Glukosa Darah Puasa
Tes glukosa darah puasa mengukur kadar glukosa darah setelah tidak
mengkonsumsi apa pun kecuali air selama 8 jam. Tes ini biasanya dilakukan pada
pagi hari sebelum sarapan.
Tabel 2.6. Klasifikasi Kadar Glukosa Darah Puasa
Hasil
Normal
Prediabetes
Diabetes
Sumber : ADA, 2014.

Kadar Glukosa Darah Puasa


Kurang dari 100 mg/dL
100-125 mg/dL
Sama atau lebih dari 126 mg/dL

2. Tes Glukosa Darah Sewaktu


Kadar glukosa darah sewaktu disebut juga kadar glukosa darah acak atau
kasual. Tes glukosa darah sewaktu dapat dilakukan kapan saja. Kadar glukosa
darah sewaktu dikatakan normal jika tidak lebih dari 200 mg/dL.
3. Uji Toleransi Glukosa Oral
Tes toleransi glukosa oral adalah tes yang mengukur kadar glukosa darah
sebelum dan dua jam sesudah mengkonsumsi glukosa sebanyak 75 gram yang
dilarutkan dalam 300 mL air.
Tabel 2.7. Klasifikasi Hasil Uji Toleransi Glukosa Oral

15

Hasil
Normal
Prediabetes
Diabetes
Sumber: ADA, 2014.

Hasil Uji Toleransi Glukosa Oral


Kurang dari 140 mg/dL
140-199 mg/dL
Sama atau lebih dari 200 mg/dL

4. Uji HBA1c
Uji HBA1c mengukur kadar glukosa darah rata-rata dalam 2 3 bulan
terakhir. Uji ini lebih sering digunakan untuk mengontrol kadar glukosa darah
pada penderita diabetes.
Tabel 2.8. Klasifikasi Kadar HBA1c
Hasil
Normal
Prediabetes
Diabetes
Sumber: ADA, 2014.
2.3.

Kadar HBA1c
Kurang dari 5,7%
5,7-6,4%
Sama atau lebih dari 6,5%

Hubungan Antropometri dengan Kadar Gula Darah


Obesitas mempunyai hubungan bermakna dengan harapan hidup seseorang

dalam arti yang negatif. Obesitas khususnya obesitas abdominal merupakan faktor
risiko yang penting bagi onset diabetes melitus tipe 2 (Septyaningrum dan Martini.
2014). Hasil riset kesehatan dasar tahun 2007 menunjukkan gangguan toleransi
glukosa dan diabetes lebih tinggi terjadi pada orang yang mengalami obesitas dari
pada yang tidak obesitas. Obesitas menyebabkan resistensi insulin yaitu insulin
tubuh tidak dapat bekerja dengan baik sehingga menyebabkan gangguan toleransi
glukosa dan diabetes melitus tipe 2.
Peranan obesitas dalam resistensi insulin dijelaskan dalam berbagai teori.
Salah satu teori menyatakan bahwa jaringan lemak juga merupakan suatu jaringan
endokrin aktif yang dapat berhubungan dengan hati dan otot (dua jaringan
sasaran insulin) melalui pelepasan zat perantara yang nantinya mempengaruhi
kerja insulin dan tingginya penumpukan jaringan lemak tersebut dapat berakhir
dengan timbulnya resistensi insulin. Resistensi insulin yang terjadi pada kelompok
obesitas kemudian mengakibatkan penurunan kerja insulin pada jaringan sasaran

16

sehingga menyebabkan glukosa sulit memasuki sel. Keadaan ini berakhir kepada
peningkatan kadar glukosa dalam darah.
Hasil penelitian Wang et al (2005), menunjukkan bahwa risiko relatif
diabetes melitus tipe 2 meningkat berbanding lurus dengan bertambahnya waist
circumference, body mass indeks dan waist hip ratio. Lingkar perut/ waist
circumference merupakan prediktor terbaik untuk individu risiko tinggi diabetes
mellitus tipe 2. Pengukuran waist circumference harus digunakan lebih sering
pada

praktek

sehari-hari

dalam

pelayanan

kesehatan

primer

untuk

mengidentifikasi individu yang berisiko dan pada saat perencanaan intervensi dan
penyuluhan kesehatan (Septyaningrum dan Martini, 2014).
IMT (indeks massa tubuh) merupakan ukuran antropometri yang paling
banyak digunakan saat ini untuk menentukan obesitas yang berkaitan dengan
resiko penyakit, namun dalam pengukuran IMT mempunyai keterbatasan yaitu
pada orang yang berotot dan bertulang besar dapat memiliki IMT tinggi tetapi
tetap sehat, begitu juga pada lansia, lansia dengan massa otot yang rendah bisa
memiliki IMT normal sehingga penggunaan IMT kurang tepat (Septyaningrum
dan Martini, 2014). Seseorang dengan indeks massa tubuh rendah dapat memiliki
rasio lingkar pinggang panggul berisiko jika simpanan lemak pinggang dan
panggulnya meningkat yang berdampak pada meningkatnya risiko penyakit
sebaliknya seseorang dengan indeks massa tubuh tinggi namun distribusi
lemaknya tidak berpusat pada pinggang dan panggul maka dapat mempunyai rasio
lingkar pinggang panggul tidak berisko (Hidayatulloh, 2011)..
Gibney mengemukakan bahwa distribusi lemak tubuh lebih tepat sebagai
prediktor DM dibandingkan dengan obesitas secara umum yang diukur dengan
IMT. Pengukuran IMT tidak bisa menunjukkan distribusi lemak tubuh. Adiposa
tubuh bagian atas yang diukur melalui rasio lingkar pinggang panggul / Waist Hip
Ratio memiliki kaitan yang lebih erat dengan diabetes mellitus (Wang, et al,
2005).
Lingkar pinggang menggambarkan lemak abdominal subkutan dan visceral,
serta digunakan sebagai pengukuran klinis yang mudah dan tidak mahal. Lemak
visceral umumnya digunakan untuk mendeskripskan lemak intra-abdominal yang

17

meliputi lemak intraperitoneal dan retroperitoneal. Hasil metabolic dari depot


jaringan lemak intraperitoneal (lemak mesentrik dan omental) yang dilepaskan ke
dalam vena porta, dimana memberikan produk metabolik secara langsung ke hati.
Lipolisis triasilgliserol jaringan lemak mesenteric dan omental akan melepaskan
asam lemak bebas yang dapat menginduksi resistensi insulin hepatic dan
memberikan substrat untuk sintesis lipoprotein dan trigliserida di dalam sel-sel
hati. Mobilisasi dari daerah lemak visceral lebih cepat dibandingkan daerah
subkutan. Aktivitas lipolitik yang lebih besar dari lemak visceral baik pada obes
maupun non-obes merupakan kontributor terbesar asam lemak bebas dalam
sirkulasi. Sel-sel lemak visceral lebih responsive daripada sel-sel lemak lainnya
terhadap sinyal dari system saraf simpatik, yang menyebabkan pemecahan dan
pelepasan simpanan lemak intraseluler. Pada saat yang sama, sel-sel lemak viseral
kurang responsif daripada sel-sel lemak lainnya terhadap insulin, yang
memberikan sinyal untuk melambatkan atau menghentikan pemecahan dan
pelepasan simpanan lemak intraseluler (Yuliasih, 2009).

BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep
Variabel Independen
Antropometri

Variabel Dependen
Kadar gula darah

Indeks massa tubuh


Lingkar pinggang
Rasio Lingkar
pinggang-pinggul

18

3.2. Identifikasi Variabel Penelitian


Variabel independen : Antropometri (IMT, lingkar pinggang (cm) dan rasio
lingkar pinggang dan lingkar pinggul )
Variabel dependen : Kadar gula darah
3.3. Definisi Operasional Variabel Penelitian
3.3.1.
Variabel Independen
Antropometri : Pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh manusia dari
berbagai tingkat umur dan gizi
a. Indeks Massa Tubuh : Indeks massa tubuh adalah perbandingan
berat badan (dalam kilogram) dan kuadrat tinggi (dalam meter)
pada orang dewasa.
Alat ukur : Timbangan dan meteran
Cara ukur : mengukur berat badan dan tinggi badan
Hasil Ukur : Underweight: <18,5
Normal: 18,5-22,9
Overweight: 23-24,9
Obesitas : 25
Skala ukur : Ordinal
b. Lingkar pinggang (waist circumference) : Waist Circumference adalah
besar lingkar pinggang yang diukur dengan pita pengukur/metline dalam
sentimeter (cm).
Alat ukur : Tape measuring/ metline
Cara ukur : Pengukuran dilakukan pada posisi berdiri tegak dengan pakaian
ditanggalkan, pita pengukur diletakkan di sekeliling lingkar pinggang d i
antara crista illiaka dan kosta XII.
Hasil Ukur : Obesitas sentral : Pria 90 cm
Wanita 80 cm
Normal
: Pria <90 cm
Wanita <80 cm
Skala Ukur : Ordinal
c. Rasio lingkar pinggang dan lingkar pinggul (Waist-Hip Ratio) :
Perbandingan antara lingkar pinggang dengan lingkar pinggul.
Alat ukur : Tape measuring/ metline

19

Cara ukur : Diukur dengan pita pengukur/metline dalam cm secara


sirkumferens pada bagian terlebar dari pinggang. Kemudian, dengan pita
pengukur/metline dalam cm secara sirkumferens pada bagian terlebar dari
pinggul, berdekatan dengan area simfisis pubis. Rasio lingkar pinggang
terhadap lingkar pinggul akan dikalkulasi untuk mendapatkan hasil dengan
titik mengambil 2 titik desimal dalam cm.
Hasil Ukur : Normal: Pria <0,9
Wanita <0,85
Obesitas Abdominal: Pria 0,9
Wanita 0,85
Skala Ukur : Ordinal
3.3.2.

Variabel Dependen

Kadar gula darah : Tingkat glukosa di dalam darah dimana pemeriksaannya


dilakukan kapan saja tanpa ada didahului perencanaan puasa.
Alat ukur : Glukometer
Cara ukur : Pemeriksaan KGD Sewaktu
Hasil Ukur : Nilai kadar gula darah yang tertera di alat ukur gula darah.
Skala Ukur : Skala rasio
3.4.

Hipotesis
Ho : Tidak ada hubungan antara antropometri dan kadar gula darah pada
masyarakat di Kelurahan Tanjung Selamat.
Ha : Ada hubungan antara antropometri dan kadar gula darah pada
masyarakat di Kelurahan Tanjung Selamat.

20

BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain cross sectional,
dimana penelitian ini melihat hubungan antara antropometri dengan kadar gula
darah pada masyarakat di Kelurahan Tanjung Selamat. Observasi dan pengukuran
terhadap variabel dilakukan pada satu saat tertentu. Desain ini dipilih karena
relatif mudah, murah, dan hasilnya cepat dapat diperoleh (Sastroasmoro, S. dan S.
Ismael. 2011).
4.2 Waktu dan Tempat Penelitian
4.2.1 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan mulai dari tanggal 26 September 2016 sampai
dengan tanggal 7 Oktober 2016.
4.2.2 Tempat Penelitian

21

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Tanjung Selamat, Sumatera Utara


dengan pertimbangan kemudahan akses penulis dalam meneliti.
4.3 Populasi dan Sampel
4.3.1.
Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat di Kelurahan Tanjung
Selamat.
4.3.2.

Sampel

Sampel merupakan bagian dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu
hingga dianggap dapat mewakili populasinya. Penelitian ini menggunakan metode
pengambilan sampel secara total sampling, dimana masyarakat yang akan
dijadikan sampel harus memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi sebagai
berikut.
Kriteria inklusi :
1. Masyarakat di Kelurahan Tanjung Selamat yang berusia 18 tahun 60 tahun
2. Masyarakat di Kelurahan Tanjung Selamat yang tidak menderita diabetes
mellitus
Kriteria eksklusi :
1. Masyarakat di Kelurahan Tanjung Selamat yang tidak bersedia diperiksa
(antropometri dan kadar gula darah).
4.4 Metode Pengumpulan Data
4.4.1.
Data Primer
Data primer adalah data yang berasal dari sampel penelitian. Data primer
diperoleh dari hasil pemeriksaan yang dilakukan terhadap sampel penelitian
meliputi pemeriksaan IMT, lingkar pinggang, rasio lingkar pinggang- pinggul dan
kadar gula darah.
Pertama-tama, responden akan diwawancari mengenai riwayat Diabetes
Mellitus dan tanda obesitas seperti akantosis nigrikans. Kemudian sampel yang
memenuhi kriteria tersebut dinilai IMT, lingkar pinggang, rasio lingkar pinggangpinggul dan kadar gula darahnya.
4.4.2.

Metode Analisis Data

22

Teknik analisis data menggunakan analisis univariat dan bivariat.Analisis


univariat adalah analisis yang dilakukan pada dua atau lebih variabel yang hanya
memiliki satu variabel terikat. Analisis univariat dilakukan untuk melihat
distribusi frekuensi sampel berdasarkan umur jenis kelamin, riwayat diabetes
mellitus dan akantosis nigrikans serta proporsi dari variabel variabel IMT, lingkar
pinggang, rasio lingkar pinggang-pinggul dan kadar gula darah. Penyajian
masing-masing variabel menggunakan tabel dan diinterpretasikan berdasarkan
hasil yang diperoleh.
Analisis bivariat dilakukan untuk melihat adanya hubungan antara variabel
bebas (independent variable) dengan variabel terikat (dependent variable).
Analisis bivariat untuk menguji hubungan antara indeks massa tubuh, lingkar
perut dan rasio lingkar pinggang panggul dan kadar gula darah. Pertama, uji
normalitas dengan menggunakan uji Kolmogorov Smirnof pada variabel lingkar
perut, indeks massa tubuh, rasio lingkar pinggang panggul dan kadar gula darah.
Kemudian, sampel dianalisis dengan menggunakan uji korelasi Spearman.

23

BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1.

Deskripsi Lokasi Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Tanjung Selamat. Penelitian ini

bertempat di Jalan Bunga Sakura Lingkungan I, Kecamatan Medan Tuntungan,


Sumatera Utara. Penelitian dilakukan mulai dari tanggal 3 Oktober 2016 sampai
dengan tanggal 8 Oktober 2016.
5.2.

Deskripsi Karakteristik Responden


Responden penelitian yang ikut serta dalam penelitian ini terdiri dari 70

orang yang bertempat tinggal di Kelurahan Tanjung Selamat Medan yang


memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Data penelitian yang digunakan adalah
data primer, yang berupa hasil pemeriksaan yang dilakukan terhadap responden
penelitian meliputi pemeriksaan antropometri dan kadar gula darah responden dan
wawancara mengenai riwayat Diabetes Mellitus dan tanda obesitas seperti
akantosis nigrikans. Untuk data karakteristik responden pada penelitian ini
meliputi umur dan jenis kelamin.
5.2.1.

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur

24

Distribusi frekuensi responden berdasarkan umur di Kelurahan Tanjung


Selamat Medan dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur
Umur (tahun)
N
Persentase (%)
18-30
17
24,3
31-45
30
42,9
46-60
23
32,9
Total
70
100
Berdasarkan tabel 5.1 dapat disimpulkan bahwa responden pada penelitian
ini paling banyak terdapat pada kelompok dengan umur 31-45 tahun yaitu 30
orang (42,9%).
5.2.2.
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin di Kelurahan
Tanjung Selamat Medan dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin
N
Persentase (%)
Laki-laki
15
21,4
Perempuan
55
78,6
Total
70
100
Berdasarkan tabel 5.2 dapat disimpulkan bahwa responden pada penelitian
ini paling banyak terdapat pada kelompok berjenis kelamin perempuan yaitu 55
orang (78,6%).
5.2.3.

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Riwayat Diabetes

Melitus
Distribusi frekuensi responden berdasarkan riwayat diabetes melitus di
Kelurahan Tanjung Selamat Medan dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Riwayat Diabetes Melitus
Riwayat Diabetes Melitus
N
Persentase (%)
Ada
8
11,4
Tidak ada
62
88,6
Total
70
100
Berdasarkan tabel 5.3 dapat disimpulkan bahwa 62 orang (88,6%)
responden pada penelitian ini tidak memiliki riwayat diabetes melitus.
5.2.4.

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Adanya Akantosis

Nigrikans
Distribusi frekuensi responden berdasarkan adanya akantosis nigrikans di
Kelurahan Tanjung Selamat Medan dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
25

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Adanya Akantosis


Nigrikans
Akantosis Nigrikans

Persentase (%)

Ada

10

14,3

Tidak ada

60

85,7

Total
70
100
Berdasarkan tabel 5.4 dapat disimpulkan bahwa 60 orang (85,7%)
responden pada penelitian ini tidak memiliki akantosis nigrikans.
5.3.

Antropometri
Distribusi frekuensi indeks massa tubuh (IMT) sampel di Kelurahan

Tanjung Selamat Medan dapat dilihat pada tabel dibawah ini:


Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi BMI Responden
BMI
N
Persentase (%)
Underweight
5
7,1
Normoweight
17
24,3
Overweight
13
18,6
Obesitas
35
50
Total
70
100
Berdasarkan tabel 5.5 dapat disimpulkan bahwa responden pada penelitian
ini paling banyak terdapat pada kelompok dengan IMT obesitas yaitu 35 orang
(50%).
Distribusi frekuensi lingkar pinggang responden di Kelurahan Tanjung
Selamat Medan dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Lingkar Pinggang Responden
Lingkar Pinggang
N
Persentase (%)
Normal
15
21,4
Obesitas Sentral
55
78,6
Total
72
100
Berdasarkan tabel 5.6 dapat disimpulkan bahwa responden pada penelitian
ini paling banyak terdapat pada kelompok obesitas sentral yaitu 55 orang (78,6%).
Distribusi frekuensi Rasio Lingkar Pinggang-Pinggul (RLPP) responden di
Kelurahan Tanjung Selamat Medan dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Rasio Lingkar Pinggang dan Lingkar Pinggul
Responden
Rasio Lingkar Pinggang-Pinggul

Persentase (%)
26

Normal
19
27,1
Obesitas Sentral
51
72,9
Total
70
100
Berdasarkan tabel 5.7 dapat disimpulkan bahwa responden pada penelitian
ini paling banyak terdapat pada kelompok obesitas sentral yaitu 51 orang (72,9%).
5.4.

Kadar Gula Darah


Deskripsi kadar gula darah (KGD) sewaktu responden di Kelurahan

Tanjung Selamat Medan dapat dilihat pada tabel dibawah ini:


Tabel 5.8 Deskripsi Kadar Gula Darah Responden
Deskripsi
Nilai KGD (mg/dL)
Rata-rata
98
Median
89
Nilai Minimum
53
Nilai Maksimum
257
Berdasarkan tabel 5.8 dapat disimpulkan bahwa nilai rata-rata KGD
responden pada penelitian ini adalah 98 mg/dL.
5.5. Hasil Analisa Data
5.5.1. Uji Normalitas Data
Tabel 5.9 Analisis Normalitas Data dengan Uji Kolmogorov Smirnov
p value
Indeks Massa Tubuh
0,000
Lingkar Pinggang
0,000
Rasio Lingkar pinggang-pinggul
0,000
Kadar Gula Darah
0,000
Analisis bivariat pada penelitian ini dimulai dengan menguji normalitas
data dengan uji Kolmogorov Smirnov. Berdasarkan table 5.9, didapatkan pada
hasil uji normalitas data pada nilai indeks massa tubuh, lingkar pinggang, rasio
lingkar pinggang pinggul dan kadar gula darah diperoleh p value sebesar 0,000 (p
< 0,05) yang menyatakan nilai indeks massa tubuh, lingkar pinggang, rasio
lingkar pinggang pinggul dan kadar gula darah tidak berdistribusi normal.
Sehingga uji korelasi yang digunakan adalah uji korelasi non-parametrik
(Spearman).
5.5.2. Hubungan Antropometri dengan Kadar Gula Darah
Tabel 5.10 Analisis Korelasi Spearman Indeks Massa Tubuh dengan Kadar Gula
Darah
Kadar Gula Darah
27

Indeks Massa Tubuh

rs
0,183
P
0,129
Berdasarkan tabel 5.10, dapat dianalisis bahwa korelasi antara indeks

massa tubuh (IMT) dengan kadar gula darah (KGD) yang diwakili oleh nilai r s
adalah sebesar 0,183 dengan p value = 0,129. Pada penelitian ini didapatkan nilai
rs memiliki sifat hampir tidak ada korelasi dan p value > 0,05 yang berarti tidak
ada korelasi antara IMT dan KGD sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada
korelasi antara IMT dan KGD. Hal ini berarti bahwa Ho diterima yang
menyatakan tidak ada hubungan atau korelasi antara IMT dengan KGD.
Tabel 5.11 Analisis Korelasi Spearman Lingkar Pinggang dengan Kadar Gula
Darah
Kadar Gula Darah
rs
0,389
p
0,001
Berdasarkan tabel 5.11, dapat dianalisis bahwa korelasi antara lingkar

Lingkar Pinggang

pinggang dengan kadar gula darah (KGD) yang diwakili oleh nilai r s adalah
sebesar 0,389 dengan p value = 0,001. Pada penelitian ini didapatkan r s bernilai
positif, ini berarti bahwa semakin besar lingkar pinggang maka semakin tinggi
nilai KGD. Nilai rs memiliki sifat korelasi lemah dan p value < 0,05 yang
menunjukkan ada korelasi antara lingkar pinggang dan kadar gula darah. Hal ini
berarti bahwa Ho ditolak yang menyatakan ada hubungan atau korelasi antara
lingkar pinggang dan kadar gula darah.
Tabel 5.12 Analisis Korelasi Spearman Rasio Lingkar Pinggang dan Lingkar
Pinggul dengan Kadar Gula Darah
Rasio Lingkar Pinggang dan Lingkar

rs
p

Kadar Gula Darah


0,350
0,003

Pinggul
Berdasarkan tabel 5.12, dapat dianalisis bahwa korelasi antara rasio
lingkar pinggang dan lingkar pinggul (RLPP) dengan kadar gula darah (KGD)
yang diwakili oleh nilai rs adalah sebesar 0,350 dengan p value = 0,003. Pada
penelitian ini didapatkan rs bernilai positif. Nilai rs pada data ini memiliki sifat
korelasi lemah dan p value < 0,05 yang menunjukkan ada korelasi antara lingkar
pinggang dan kadar gula darah. Hal ini berarti bahwa Ha diterima yang
menyatakan ada hubungan atau korelasi antara RLPP dan kadar gula darah.
28

5.6 Pembahasan
Dari penelitian yang telah dilakukan terhadap 70 penduduk di Kelurahan
Tanjung Selamat, telah didapatkan hasil yang menggambarkan hubungan nilai
antropometri terhadap kadar gula darah pada orang dewasa di daerah tersebut.
Kelompok penduduk yang diteliti terbanyak usia 31 45 tahun dan paling banyak
adalah wanita sebesar 78,6%.
Dari hasil yang ditemukan pada tabel 5.1 dapat disimpulkan bahwa
sampel pada penelitian ini paling banyak terdapat pada kelompok dengan umur
31-45 tahun yaitu 30 orang (42,9%). Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang
telah dilakukan Igusti Made (2013), dimana pada penelitiannya sebagian besar
sampel berada pada kelompok umur >40 tahun, yaitu sebanyak 45 sampel dari
total 50 sampel (90%). Namun, hal ini sejalan dengan penelitian Garrows (2000),
dimana didapat kelompok umur 35 50 tahun, yaitu 45 sampel dari total 92
sampel (49%). Tampak terjadi peningkatan jumlah lemak tubuh dengan
peningkatan umur. Hasil Riskesdes tahun 2007 juga menunjukan bahwa jumlah
penderita DM di Indonesia semakin meningkat semakin meningkat seiring dengan
meningkatnya umur.
Usia memegang peranan penting dalam kejadian obesitas. Dengan
semakin meningkatnya usia, maka prevalensi obesitas semakin meningkat. Jumlah
lemak tubuh akan meningkat sesuai dengan peningkatan umur. Jumlah lemak
tubuh meningkat baik secara absolut maupun persentase total berat badan sebagai
bagian dari proses penuaan. Beberapa penelitian di negara berkembang
membuktikan bahwa lemak tubuh meningkat secara signifikan di atas usia 30
tahun, dan pada wanita dikarenakan proses kehamilan terdapat kecenderungan
kenaikan berat badan. Jaringan lemak tentunya akan semakin meningkat.
Peningkatan ini tentunya akan membawa dampak pada akumulasi asam lemak
bebas di dalam tubuh (Miftahul,2011).
Dari hasil yang ditemukan pada tabel 5.2 dapat disimpulkan bahwa sampel
pada penelitian ini paling banyak terdapat pada kelompok berjenis kelamin
perempuan yaitu 55 orang (78,6%). Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah

29

dilakukan Laquatra (2008), hal ini disebabkan karena perempuan memiliki


komposisi lemak tubuh yang lebih tinggi dibandingkan laki laki sehingga
perempuan lebih mudah gemuk yang berkaitan dengan risiko obesitas.
Pada penelitian ini, kelompok jenis kelamin wanita lebih tinggi jumlah
penderita obesitas dibandingkan lelaki, hal ini mungkin disebabkan karena
aktivitas fisik yang kurang dan pola hidup yang kurang sehat, selain karena
perempuan memiliki komposisi lemak yang lebih banyak daripada pria sehingga
terjadi penumpukan kadar lemak di tubuh penderita.
Berdasarkan tabel 5.3 dapat disimpulkan bahwa 62 orang (88,6%) sampel
pada penelitian ini tidak memiliki riwayat diabetes melitus. Hal ini tidak sejalan
dengan penelitian yang dilakukan John (2013), menunjukkan responden yang
memiliki riwayat keluarga menderita DM berjumlah 101 responden, dimana 30%
diantaranya memiliki lebih dari satu anggota keluarga yang menderita DM. Orang
yang memiliki salah satu atau lebih anggota keluarga baik orang tua, saudara, atau
anak yang menderita diabetes, memiliki kemungkinan 2 sampai 6 kali lebih besar
untuk menderita diabetes dibandingkan dengan orang-orang yang tidak memiliki
anggota keluarga yang menderita diabetes.
Hal ini dapat berarti bahwa responden tersebut juga berisiko menderita
DM pada usia lanjut, karena beberapa ahli percaya bahwa risiko seseorang untuk
menderita DM Tipe 2 lebih besar jika orang tersebut mempunyai orang tua yang
menderita DM. Namun demikian, adanya penyakit dengan garis keturunan yang
jelas hanya merupakan suatu tingkat risiko pada keluarga yang dipengaruhi oleh
kebiasaan hidup, status sosial keluarga dan lingkungan hidup. (ADA, 2013).
Berdasarkan tabel 5.4 dapat disimpulkan bahwa 60 orang (85,7%)
responden pada penelitian ini tidak memiliki akantosis nigrikans Hal ini tidak
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Vivekanada (2010) yang
mengatakan bahwa akantosis nigrikans lebih banyak dijumpai pada obes yaitu
69,2% atau 36 dari 52 orang, sedangkan pada kelompok overweight ditemukan
44% atau 22 dari 50 orang. Hasil penelitianya menyatakan kejadian akantosis
nigrikans secara bermakna lebih banyak dijumpai pada pasien obesitas.
Acanthosis nigricans sangat erat hubungannya dengan obesitas. Semakin tinggi

30

IMT, prevalensi akantosis nigrikans makin tinggi pula. Berbeda dengan penelitian
ini yang mempunyai jumlah orang yang obesitas dan yang overweight yang
tinggi tetapi dijumpai memiliki akantosis nigrikans sangat rendah.
Dari hasil yang didapatkan pada tabel 5.5 mengenai hubungan
antropometri (IMT) dan kadar gula darah responden menunjukkan bahwa tidak
terdapat hubungan signifikan antara IMT dan kadar gula darah responden. Hal ini
berbeda dengan hasil penelitian yang telah dilakukan Miftahul et all (2011),
dimana ia menyatakan bahwa terdapat korelasi yang bermakna antara IMT dengan
KGD. Semakin tinggi IMT semakin tinggi juga kadar gula darahnya. Hasil
penelitian ini juga tidak sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan Purnawati
(2008), yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara BMI
terhadap DM Tipe 2. Semakin tinggi IMT seseorang tersebut semakin tinggi juga
kadar gula darah dalam tubuhnya. Namun, penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang telah dilakukan Nur Indrawaty (2007), dimana dari hasil penelitiannya tidak
terdapat hubungan yang bermakna antara IMT dengan kadar gula darah.
Menurut Dadamo (2008), orang yang mengalami kelebihan berat badan,
kadar leptin dalam tubuh akan meningkat. Leptin adalah hormon yang
berhubungan dengan gen obesitas. Leptin berperan dalam hipotalamus untuk
mengatur tingkat lemak tubuh, kemampuan untuk membakar lemak menjadi
energi, dan rasa kenyang. Kadar leptin dalam plasma meningkat dengan
meningkatnya berat badan. Leptin bekerja pada sistem saraf perifer dan pusat.
Peran leptin terhadap terjadinya resistensi yaitu leptin menghambat fosforilasi
insulin receptor substrate-1 (IRS) yang akibatnya dapat menghambat ambilan
glukosa. Sehingga mengalami peningkatan kadar gula dalam darah.
Hasil yang didapat dari penelitian ini menunjukan jumlah dan distribusi
lemak tubuh tidak dapat menggambarkan keadaan metabolisme karbohidrat dalam
tubuh. Padahal secara teoritis, peningkatan jumlah lemak tubuh dapat
menimbulkan resistensi insulin yang merupakan salah satu faktor utama penyebab
meningkatnya kadar glukosa darah. Namun hal ini dapat dijelaskan dengan
patofisiologi timbulnya diabetes mellitus tipe 2. Pada fase awal dimana resistensi

31

insulin telah terjadi, pankreas meningkatkan sekresi insulin sehingga kadar


glukosa darah masih dapat dipertahankan dalam kadar normal. Pada fase lanjut
dimana sel-sel pankreas mengalami kelelahan maka sekresi insulin akan
menurun secara bertahap sehingga barulah timbul hiperglikemia puasa ringan
sampai berat (Suastika K. 2004, dan Adam 2005).
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat diketahui pula sebab tingginya angka
obesitas namun rendahnya angka kelainan metabolisme glukosa, yang
kemungkinan disebabkan belum lamanya responden menderiya obesitas. Pada
hasil penelitian ini mayoritas responden memiliki BMI normal yaitu 17 orang
(24,3%) sedangkan overweight 13 orang (18,6%) dan obese 35 orang (50%).
Dari hasil yang didapatkan pada tabel 5.6 dan pada tabel 5.7 mengenai
hubungan lingkar pinggang dan rasio lingkar pinggang-pinggul dengan kadar gula
darah sampel, menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara lingkar
pinggang dan rasio lingkar pinggang-pinggul dengan kadar gula darah sampel.
Hasil penelitian ini sejalan dengan Fasli Jalal (2006), dimana lingkar pinggang
mempunyai hubungan yang signifikan dengan kadar glukosa dalam darah.
Hasil analisis selanjutnya antara rasio lingkar panggang pinggul pada
penelitian ini menunjukan terdapat korelasi positif, hal ini sejalan dengan
penelitian Syukran (2004) melaporkan bahwa penderita hiperglikemia memiliki
lingkar pinggang yang besar (obesitas sentral), semakin tinggi rasio linggkar
pinggang pinggul semakin besar pula kadar glukosa plasma.
Peningkatan asam lemak bebas plasma menyebabkan akumulasi lipid
intramioseluler. Metabolit yang dihasilkannya mengakibatkan berkurangnya
reseptor insulin. Akumulasi lipid dalam jumlah yang berlebihan di dalam sel
_pancreas dapat menyebabkan disregulasi sekresi insulin. Disregulasi sekresi
insulin amat tergantung waktu, hal ini menyebabkan sekresi insulin akan
meningkat pada akkumulasi lipid jangka pendek, tapi menurun pada akumulasi
yang sifatnya menahun. Lebih jauh, kelainan sel pankreas akibat asam lemak
bebas menyebabkan terjadinya apoptosis sel ini (Syukran, 2004, dan Soegondo,
2005).
Konsekuensi resistensi insulin akan menimbulkan hiperinsulinemia pada

32

stadium pertama yaitu kompensasi dimana keadaan normoglikemik masih mampu


dipertahankan, dan kedua stadium dekompensasi, dimana insulin tidak mampu
mempertahankan keadaan normoglikemik sedangkan pankreas masih dalam
keadaan hipersekresi sehingga terjadi hiperinsulinemia hiperglikemik. Hal ini bisa
menimbulkan gangguan toleransi glukosa dan bahkan DM tipe 2 (Syukran, 2004,
dan Soegondo, S 2005).

BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan

33

1. Tidak ada hubungan antara status gizi dengan kadar gula darah pada
masyarakat di Kelurahan Tanjung Selamat, Kecamatan Medan Tuntungan.
2. Terdapat ada hubungan antara lingkar pinggang dengan kadar gula darah pada
masyarakat di Kelurahan Tanjung Selamat, Kecamatan Medan Tuntungan.
3. Terdapat hubungan antara rasio pinggang-pinggul dengan kadar gula darah
pada masyarakat di Kelurahan Tanjung Selamat, Kecamatan Medan
Tuntungan.
4. Berdasarkan status gizi, didapatkan bahwa jumlah responden yang mengalami
status gizi normal yaitu 17 orang (24,3%) sedangkan overweight 13 orang
(18,6%) dan obese 35 orang (50%).
5. Berdasarkan kelompok jenis kelamin, didapatkan bahwa penelitian ini paling
banyak terdapat pada kelompok jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 55
orang (78,6%) dibandingkan dengan kelompok jenis kelamin laki-laki.
6. Berdasarkan kelompok umur , didapatkan bahwa penelitian ini paling banyak
terdapat pada kelopok dengan umur 31-45 tahun yaitu 30 orang (42,9%).
7. Berdasarkan riwayat DM (Diabetes Mellitus) , didapatkan bahwa lebih banyak
yang tidak memiliki riwayat diabetes mellitus yaitu sebanyak 62 orang (88,6%)
dibandingkan dengan yang memiliki riwayat diabetes mellitus.
6.2. Saran
1. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan menggunakan jumlah sampel yang lebih
banyak.
2. Bagi tenaga kesehatan, diharapkan dapat memberikan informasi dan
meningkatkan upaya promosi kesehatan dengan melakukan penyuluhan dan
kegiatan promosi kesehatan lainnya.
3. Bagi masyarakat, diharapkan dapat meningkatkan kesadaran akan pentingnya
untuk mengatur status gizi supaya tetap ideal dan mengontrol kadar gula darah
setiap kunjungan ke dokter.
4. Selain itu, bagi masyarakat juga diharapkan dapat meningkatkan kesadaran
akan pentingnya mengubah kebiasaan gaya hidup yang buruk menjadi lebih
sehat.

34

DAFTAR PUSTAKA
1. Adam. F.M.S., Adam, J.M.F. 2005. Adiponektin, resistensi insulin pada
obesitas. Penelitian pendahuluan. Dari penelitian East Indonesia Diabetes
Epidemilogy Group (EIDEG). Naskah lengkap the 4 th National Obesity
Symposium and the 2ndNational Symposium on Metabolic Syndrome.
Makassar. 254-269
2. Adam

M.F.

2005.

Metabolic

syndrome

and

its

components

in

Men.Indonesian Journal of Internal Medicine. 37:66-69.


3. American Diabetes Association, 2013. Genetics of Diabetes. American
Diabetes

Association.

(online)

http://www.diabetes.org/diabetes-

basics/genetics-of-diabetes
4. American Diabetes Association, 2014. Diagnosing Diabetes and Learning
about

Prediabetes.

Available

from:

http://www.diabetes.org/diabetes-

basics/diagnosis/ [Accessed 20 September 2016].


5. American Diabetes Association, 2015. Factors Affecting Blood Glucose.
Available from: http://www.diabetes.org/treatment-and-care/blood-glucosecontrol/factors-affecting-blood-glucose.html [Accessed 30 April 2015].

35

6. Astawan,

M.

2006.

Hipoglikemia.

Available

from:

http//www.google.co.id/medicastore.com
7. Bernard, A. S. dan Kerure, S. B., 2013. Glucose Handling during Menstrual
Cycle. International Journal of Reproduction, Obstetrics and Gynecology 2
(3): 284-287.
8. Dadamo, Peter, J. 2008. Diet Sehat Diabetes Sesuai Golongan Darah.
Yogyakarta : Delapratasa.
9. DeCherney, A. H., Nathan, L., Goodwin, M. T., dan Laufer, N., 2007. Current
Diagnosis and Treatment Obstetrics and Gynecology. 10th ed. USA: McGrawHill Companies.
10. Depkes. 2008. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007. Jakarta :
Departemen Kesehatan RI
11. Dwi, D.H. 2013. Hubungan Antara Indeks Massa Tubuh (IMT) dan Lingkar
Lengan Atas (LILA) dengan Kadar Gula Darah dan Kolesterol Pada Wanita
Usia Subur (WUS) di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman.
Surakarta : Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
12. Garrows. 2000. Obesity in Human Nutrition and Dietetics, Chuechill,
Livingstone.
13. Guyton, A. C. dan Hall, J. E., 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi
11. Jakarta: EGC, 259-260, 849-851, 873-881, 983, 999-1001.
14. Hidayatulloh, A, (2011). Hubungan Faktor Risiko Obesitas dengan Rasio
Lingkar pinggang Pinggul Mahasiswa FKM UI. Jakarta : Berkala Ilmiah
Mahasiswa gizi Indonesia. vol 1 no 1
15. Igusti Made. 2013. Hubungan Faktor Resiko Umur, Jenis Kelamin,
Kegemukan dan Hipertensi dengan kejadian Diabetes Melitus tipe II di
Wilayah Kerja Puskesmas Mataram
16. Jalal Fasli, et all. 2006. Hubungan Lingkar Pinggang dengan Kadar Gula
Darah, Trigliserida dan Tekanan Darah pada Etnis Minang di Kabupaten
Padang Pariaman, Sumatera Barat.
17. Katzung, B. G., 2011. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi 10. Jakarta:
EGC, 478, 655-662.
18. Kronenberg, H. M., Melmed, M., Polonsky, K. S., dan Larsen, P. R., 2008.
Williams.
36

19. Laquatra, Ida Marie. 2004. Nutrition For Weight Management: dalam Mahan
LK, Stumpes. Krauses Food Nutrition and Diet Therapy 11th edition.
Pensylvania : Saunders
20. Lipoeto, N.I., Yerizel, E., Zulkarnain, E. 2007. Hubungan Nilai Antropometri
dengan Kadar Glukosa Darah. Padang : Medika; 23-27.
21. Martin, I.S., Marinho, S.P. 2003. The Potential of central obesity
antropometric indicators as diagnostic tools. Revista de Saude Publica.
22. Miftahul, et all. 2011. Hubungan Indeks Masa Tubuh (IMT) Dengan Kadar
Gula Darah Penderita Diabetes Mellitus (DM) Tipe 2 Rawat Jalan Di RS
Tugurejo Semarang.
23. Misnadierly., 2007. Obesitas sebagai Faktor Risiko Beberapa penyakit.Jakarta
: Pustaka obor popular.
24. Murray, R. K., Granner, D. K., dan Rodwell, V. W., 2009. Biokimia Harper.
Edisi 7. Jakarta: EGC, 119, 139-151,179-181.
25. Perkeni. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus
Tipe 2 di Indonesia, (online). http://perkeni.org/download/Konsensus%20DM
%20 2011.zip, diakses 23 September 2016.
26. Price, S. A. dan Wilson, L. M., 2012. Patofisiologi: Konsep Klinis ProsesProses Penyakit. Jakarta: EGC, 1260-1263.
27. Purnawaty, Lies. 1998. Hubungan IMT dengan Kejadian Diabetes Melitus
tidak tergantung Insulin pada Pasien Rawat Jalan di RSUPN Cipto
Mangunkusumo pada tahun 1998. Tesis : Universitas Indonesia.
28. Roussel, R., et al., 2011. Low Water Intake and Risk for New-Onset
Hyperglycemia.Diabetes Care 34: 2551-2554.
29. Sastroasmoro, S. dan S. Ismael. 2011. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian
Klinis. Edisi 4. Jakarta : CV. Sagung Seto.
30. Septyaningrum, N., Martini, S. 2014. Waist Circumference as The Strongest
Factor Related to Blood Glucose Level (Lingkar Perut Mempunyai Hubungan
Paling Kuat dengan Kadar Gula Darah). Surabaya : Jurnal Berkala
Epidemiologi; 2; 1.
31. Sherwood, L., 2012. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem. Edisi 6. Jakarta:
EGC, 571-572, 612, 642, 779-780, 840-844.
32. Shils, M. E., Shike, M., Ross, A. C., Caballero, B., dan Cousins, R. J., 2006.
Modern Nutrition in Health and Disease. 10th ed. Philadelphia: Lippincott
William-Wilkins, 1242.
33. Soegih, R., dan Wiramihardja, K. 2009. Obesitas Permasalahan Dan Terapi
37

Praktis. Jakarta : Sagung Seto


34. Soegondo, S. Desember 2005. Perjalanan obesitas menuju Diabetes dan
penyakit kardiovaskular. Edisi khusus
35. Soetiarto F, Roselinda, Suhardi. 2010. Hubungan Diabetes Mellitus dengan
Obesitas Berdasarkan Indeks Massa Tubuh dan Lingkar Pinggang Data
Riskesdas 2007. Buletin Penelitian Kesehatan (Online), Vol. 38, No. 1, Hlm.
36-42, (http://ejournal.litbang). Diakses 23 September 2016.
36. Suastika K. 2004. Metabolic Syndrome Rural Population of Bali.
International Journal of Obesity and Related Metabolic Disorders. 28:S55.9.
Lin. W.Y., Lee, W.T., Chen, C.Y., et al. 2002. Optimal Cut-off Values For
Obesity; Using Simple Anthropometric Indeces to Predict Cardiovascular
Risk Factors in Taiwan. Int J Obes Relat Metab Disord. 26:1232-1238.
37. Syukran, A., Mardianto, Lindarto, D., dkk. 2004. Sindroma metabolic pada
karyawan/ staf perkebunan. Naskah Lengkap The Mets, Surabaya Metabolic
Syndrome Update-1 (SUMETSU -1). 105.
38. Wang, Y, E.B. Rimm, M.J., Stampfer, W. Willett dan Frank B hu. 2005.
Comparison of Abdominal Adiposity and Overall Obesity in Predicting Risk
ff Tipe 2 Diabetes Among Men. Rockville Pike, Bethesda : The American
jurnal ofclinical nutrition.;81:555-563.
39. WHO Expert Consultation, 2004. Appropriate Body Mass Index for Asian
Population and Its Implications for Policy and Intervention Strategies.
40. Yuliasih, W. 2009. Obesitas Abdominal Sebagai Faktor Risiko Peningkatan
Kadar Glukosa Darah. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro.

38

39

Anda mungkin juga menyukai