Anda di halaman 1dari 17

Etika kepada Teman Sejawat

Nadia Cecilia S
102012513
E1
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510
Email : nadia.cecilia@ymail.com
Pendahuluan
Latar Belakang
Dalam bersosialisasi dalam masyarakat, kita perlu memperhatikan nilai-nilai
dan norma yang ada agar hubungan sosialisasi tersebut dapat berjalan dengan baik.
Pada lingkungan masyarakat, hubungan sosialisasi ini dapat berjalan dengan baik
apabila setiap tindakan kita dinilai sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat
tersebut. Penilaian baik dan tidak ini kita kenal dengan sebutan lain yaitu etika. Etika
tidak hanya berlaku pada hubungan antar masyarakat, namun juga hubungan antara
dokter dengan pasien. Etika ini sangat diperlukan agar hubungan antara dokter dan
pasien juga dapat berjalan dengan baik. Selain etika, dalam menjalankan praktik
kedokterannya sehari-hari, seorang dokter juga harus menerapkan disiplin kedokteran,
yaitu aturan-aturan yang harus diikuti oleh seorang dokter dalam melakukan
pelayanan kesehatan untuk pasiennya. Di bidang kedokteran pun kita juga mengenal
adanya UU maupun Peraturan Pemerintah lainnya yang mengatur tindak pidana untuk
seorang dokter apabila melanggar kewajibannya dalam memberikan praktik
pelayanan kesehatan untuk pasiennya. Ketiga aspek ini harus sungguh-sungguh
dipahami oleh seorang dokter sehingga praktik kedokterannya dapat berjalan dengan
baik.

Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah agar pembaca semakin memahami
tentang etika dan disiplin ilmu kedokteran sehubungan dengan praktik kedokteran dan
berbagai peraturan dan UU yang mengatur tindak pidana bagi seorang dokter yang

melanggar kewajibannya dalam memberikan praktik pelayanan kesehatan untuk


pasien.

Isi
Skenario 6.
Seorang pasien bayi dibawa orangtuanya datang ke tempat praktek dokter A, seorang
dokter anak. Ibu pasien bercerita bahwa ia adalah pasien seorang dokter obgyn B
sewaktu melahirkan, dan anaknya dirawat oleh dokter anak C. Baik dokter B maupun
C tidak pernah mengatakan bahwa anaknya menderita penyakit atau cedera sewaktu
lahir dan dirawat disana. Sepuluh hari pasca lahir orang tua bayi menemukan benjolan
di pundak kanan bayi.
Setelah diperiksa oleh dokter anak A dan pemeriksaan radiologi sebagai
penunjangnya, pasien dinyatakan menderita fraktur klavikula kanan yang sudah
terbentuk kalus. Kepada dokter A, mereka meminta kepastian apakah benar terjadi
patah tulang klavikula, dan kapan kira-kira terjadinya. Bila benar bahwa patah tulang
tersebut terjadi sewaktu kelahiran, mereka akan menuntut dokter B karena telah
mengakibatkan patah tulang dan dokter C karena telah lalai tidak dapat
mendiagnosisnya. Mereka juga menduga bahwa dokter C kurang kompeten sehingga
sebaiknya ia merawat anaknya ke dokter A saja. Dokter A berpikir apa yang sebaiknya
ia katakan.
Etika Kedokteran
Etik profesi kedokteran mulai dikenal sejak 1800 tahun sebelum Masehi dalam
bentuk Code of Hammurabi dan Code of Hittites, yang penegakannya dilaksanakan
oleh penguasa pada waktu itu. Selanjutnya etik kedokteran muncul dalam bentuk lain,
yaitu dalam bentuk sumpah dokter yang bunyinya bermacam-macam, tetapi yang
paling banyak dikenal adalah sumpah Hippocrates yang hidup sekitar 460-370 tahun
SM. Sumpah tersebut berisikan kewajiban-kewajiban dokter dalam berperilaku dan
bersikap, atau semacam code of conduct bagi dokter.1
World Medical Association dalam Deklarasi Geneva pada tahun 1968
menelorkan sumpah dokter (dunia) dan Kode Etik Kedokteran Internasional. Kode
Etik Kedokteran Internasional berisikan tentang kewajiban umum, kewajiban
terhadap pasien, kewajiban terhadap sesama dan kewajiban terhadap diri sendiri.
Selanjutnya, Kode Etik Kedokteran Indonesia dibuat dengan mengacu kepada Kode
Etik Kedokteran Internasional.1

Selain Kode Etik Profesi di atas, praktek kedokteran juga berpegang kepada
prinsip-prinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan arahan dalam
membuat keputusan dan bertindak, arahan dalam menilai baik-buruknya atau benarsalahnya suatu keputusan atau tindakan medis dilihat dari segi moral. Pengetahuan
etika ini dalam perkembangannya kemudian disebut sebagai etika biomedis. Etika
biomedis memberi pedoman bagi para tenaga medis dalam membuat keputusan klinis
yang etis (clinical ethics) dan pedoman dalam melakukan penelitian di bidang medis.1
Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung
dengan memberikan latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan profesional
dokter, seperti autonomy (menghormati hak pasien, terutama hak dalam memperoleh
informasi dan hak membuat keputusan tentang apa yang akan dilakukan terhadap
dirinya), beneficence (melakukan tindakan untuk kebaikan pasien), non maleficence
(tidak melakukan perbuatan yang memperburuk pasien) dan justice (bersikap adil dan
jujur), serta sikap altruisme (pengabdian profesi).1
Pendidikan etik kedokteran, yang mengajarkan tentang etik profesi dan prinsip
moral kedokteran, dianjurkan dimulai dini sejak tahun pertama pendidikan
kedokteran, dengan memberikan lebih ke arah tools dalam membuat keputusan etik,
memberikan banyak latihan, dan lebih banyak dipaparkan dalam berbagai situasikondisi etik-klinik tertentu (clinical ethics), sehingga cara berpikir etis tersebut
diharapkan menjadi bagian pertimbangan dari pembuatan keputusan medis seharihari. Tentu saja kita pahami bahwa pendidikan etik belum tentu dapat mengubah
perilaku etis seseorang, terutama apabila teladan yang diberikan para seniornya
bertolak belakang dengan situasi ideal dalam pendidikan.1
IDI (Ikatan Dokter Indonesia) memiliki sistem pengawasan dan penilaian
pelaksanaan etik profesi, yaitu melalui lembaga kepengurusan pusat, wilayah dan
cabang, serta lembaga MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) di tingkat
pusat, wilayah dan cabang. Selain itu, di tingkat sarana kesehatan (rumah sakit)
didirikan Komite Medis dengan Panitia Etik di dalamnya, yang akan mengawasi
pelaksanaan etik dan standar profesi di rumah sakit. Bahkan di tingkat perhimpunan
rumah sakit didirikan pula Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit (Makersi).1
Pada dasarnya, suatu norma etik adalah norma yang apabila dilanggar hanya
akan membawa akibat sanksi moral bagi pelanggarnya. Namun suatu pelanggaran etik
profesi dapat dikenai sanksi disiplin profesi, dalam bentuk peringatan hingga ke
bentuk yang lebih berat seperti kewajiban menjalani pendidikan / pelatihan tertentu

(bila akibat kurang kompeten) dan pencabutan haknya berpraktik profesi. Sanksi
tersebut diberikan oleh MKEK setelah dalam rapat/sidangnya dibuktikan bahwa
dokter tersebut melanggar etik (profesi) kedokteran.1
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran
Dalam hal seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika kedokteran
(tanpa melanggar norma hukum), maka ia akan dipanggil dan disidang oleh Majelis
Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI untuk dimintai pertanggung-jawaban (etik
dan disiplin profesi)nya. Persidangan MKEK bertujuan untuk mempertahankan
akuntabilitas, profesionalisme dan keluhuran profesi. Saat ini MKEK menjadi satusatunya majelis profesi yang menyidangkan kasus dugaan pelanggaran etik dan/atau
disiplin profesi di kalangan kedokteran. Di kemudian hari Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), lembaga yang dimandatkan untuk didirikan
oleh UU No 29 / 2004, akan menjadi majelis yang menyidangkan dugaan pelanggaran
disiplin profesi kedokteran.1
MKDKI bertujuan menegakkan disiplin dokter / dokter gigi dalam
penyelenggaraan praktik kedokteran. Domain atau yurisdiksi MKDKI adalah disiplin
profesi, yaitu permasalahan yang timbul sebagai akibat dari pelanggaran seorang
profesional atas peraturan internal profesinya, yang menyimpangi apa yang
diharapkan akan dilakukan oleh orang (profesional) dengan pengetahuan dan
ketrampilan yang rata-rata. Dalam hal MKDKI dalam sidangnya menemukan adanya
pelanggaran etika, maka MKDKI akan meneruskan kasus tersebut kepada MKEK.1
Proses persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan terpisah dari proses
persidangan gugatan perdata atau tuntutan pidana oleh karena domain dan
jurisdiksinya berbeda. Persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan oleh MKEK
IDI, sedangkan gugatan perdata dan tuntutan pidana dilaksanakan di lembaga
pengadilan di lingkungan peradilan umum. Dokter tersangka pelaku pelanggaran
standar profesi (kasus kelalaian medik) dapat diperiksa oleh MKEK, dapat pula
diperiksa di pengadilan tanpa adanya keharusan saling berhubungan di antara
keduanya. Seseorang yang telah diputus melanggar etik oleh MKEK belum tentu
dinyatakan bersalah oleh pengadilan, demikian pula sebaliknya.1
Persidangan MKEK bersifat inkuisitorial khas profesi, yaitu Majelis (ketua
dan anggota) bersikap aktif melakukan pemeriksaan, tanpa adanya badan atau
perorangan sebagai penuntut. Persidangan MKEK secara formiel tidak menggunakan

sistem pembuktian sebagaimana lazimnya di dalam hukum acara pidana ataupun


perdata, namun demikian tetap berupaya melakukan pembuktian mendekati
ketentuan-ketentuan pembuktian yang lazim.1
Dalam melakukan pemeriksaannya, Majelis berwenang memperoleh :
1.

Keterangan, baik lisan maupun tertulis (affidavit), langsung dari pihak-pihak terkait
(pengadu, teradu, pihak lain yang terkait) dan peer-group / para ahli di bidangnya
yang dibutuhkan

2.

Dokumen yang terkait, seperti bukti kompetensi dalam bentuk berbagai ijasah/
brevet dan pengalaman, bukti keanggotaan profesi, bukti kewenangan berupa Surat
Ijin Praktek Tenaga Medis, Perijinan rumah sakit tempat kejadian, bukti hubungan
dokter dengan rumah sakit, hospital bylaws, SOP dan SPM setempat, rekam medis,
dan surat-surat lain yang berkaitan dengan kasusnya.
Majelis etik ataupun disiplin umumnya tidak memiliki syarat-syarat bukti
seketat pada hukum pidana ataupun perdata. Bars Disciplinary Tribunal Regulation,
misalnya, membolehkan adanya bukti yang bersifat hearsay dan bukti tentang
perilaku teradu di masa lampau. Cara pemberian keterangan juga ada yang
mengharuskan didahului dengan pengangkatan sumpah, tetapi ada pula yang tidak
mengharuskannya. Di Australia, saksi tidak perlu disumpah pada informal hearing,
tetapi harus disumpah pada formal hearing (jenis persidangan yang lebih tinggi
daripada yang informal). Sedangkan bukti berupa dokumen umumnya disahkan
dengan tandatangan dan/atau stempel institusi terkait, dan pada bukti keterangan
diakhiri dengan pernyataan kebenaran keterangan dan tandatangan (affidavit).
Dalam persidangan majelis etik dan disiplin, putusan diambil berdasarkan
bukti-bukti yang dianggap cukup kuat. Memang bukti-bukti tersebut tidak harus
memiliki standard of proof seperti pada hukum acara pidana, yaitu setinggi beyond
reasonable doubt, namun juga tidak serendah pada hukum acara perdata, yaitu
preponderance of evidence. Pada beyond reasonable doubt tingkat kepastiannya
dianggap melebihi 90%, sedangkan pada preponderance of evidence dianggap cukup
bila telah 51% ke atas. Banyak ahli menyatakan bahwa tingkat kepastian pada perkara
etik dan disiplin bergantung kepada sifat masalah yang diajukan. Semakin serius
dugaan pelanggaran yang dilakukan semakin tinggi tingkat kepastian yang
dibutuhkan.1
Perkara yang dapat diputuskan di majelis ini sangat bervariasi jenisnya. Di
MKEK IDI Wilayah DKI Jakarta diputus perkara-perkara pelanggaran etik dan

pelanggaran disiplin profesi, yang disusun dalam beberapa tingkat berdasarkan derajat
pelanggarannya. Di Australia digunakan berbagai istilah seperti unacceptable conduct,
unsatisfactory professional conduct, unprofessional conduct, professional misconduct
dan infamous conduct in professional respect. Namun demikian tidak ada penjelasan
yang mantap tentang istilah-istilah tersebut, meskipun umumnya memasukkan dua
istilah terakhir sebagai pelanggaran yang serius hingga dapat dikenai sanksi skorsing
ataupun pencabutan ijin praktik.1
Putusan MKEK tidak ditujukan untuk kepentingan peradilan, oleh karenanya
tidak dapat dipergunakan sebagai bukti di pengadilan, kecuali atas perintah
pengadilan dalam bentuk permintaan keterangan ahli. Salah seorang anggota MKEK
dapat memberikan kesaksian ahli di pemeriksaan penyidik, kejaksaan ataupun di
persidangan, menjelaskan tentang jalannya persidangan dan putusan MKEK. Sekali
lagi, hakim pengadilan tidak terikat untuk sepaham dengan putusan MKEK.1
Eksekusi Putusan MKEK Wilayah dilaksanakan oleh Pengurus IDI Wilayah
dan/atau Pengurus Cabang Perhimpunan Profesi yang bersangkutan. Khusus untuk
SIP, eksekusinya diserahkan kepada Dinas Kesehatan setempat. Apabila eksekusi
telah dijalankan maka dokter teradu menerima keterangan telah menjalankan
putusan.1
KODEKI
Kode Etik Kedokteran Indonesia2
Kewajiban Umum
Pasal 1
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah
dokter.
Pasal 2
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai
dengan standar profesi yang tertinggi.
Pasal 3
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh
dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan
kemandirian profesi.
Pasal 4

Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji
diri.
Pasal 5
Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis
maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah
memperoleh persetujuan pasien.
Pasal 6
Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan
menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji
kebenarannya dan hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.
Pasal 7
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah
diperiksa sendiri kebenarannya.
Pasal 7a
Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan
medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya,
disertai rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat
manusia.
Pasal 7b
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan
sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui
memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan
penipuan atau penggelapan, dalam menangani pasien
Pasal 7c
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan
hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien
Pasal 7d
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup
makhluk insani.
Pasal 8
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan
kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan
kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif),

baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi
masyarakat yang sebenar-benarnya.
Pasal 9
Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan
dan bidang lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.
Kewajiban Dokter Terhadap Pasien
Pasal 10
Setiap dokten wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan
ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu
melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan
pasien,ia wajib menujuk pasien kepada dokten yang mempunyai keahlian
dalam penyakit tersebut.
Pasal 11
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa
dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan
atau dalam masalah lainnya.
Pasal 12
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
Pasal 13
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu
memberikannya.
Kewajiban Dokter Terhadap Teman Sejawat
Pasal 14
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin
diperlakukan.
Pasal 15
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dan teman sejawat, kecuali
dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.
Kewajiban Dokter Terhadap Diri Sendiri
Pasal 16

Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan


baik.

Pasal 17
Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi kedokteran/kesehatan.
Hubungan Dokter-Pasien
Hubungan hukum dokter - pasien adalah hubungan anta subjek hukum dengan
subjek hukum. Dokter sebagai subjek hukum dan pasien sebagai subjek hukum secara
sukarela dan tanpa paksaan saling mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian atau
kontrak yang disebut kontrak terapeutik. Dalam hubungan hukum ini maka segala
sesuatu yang dilaukan oleh dokter terhadap pasiennya dalam upaya peyembuhan
penyakit pasien adalah merupakan perbuatan hukum yang kepadanya dapat dimintai
petrtanggug jawaban hukum. Mungkin masih banyak teman sejawat dokter yang
melaksanakan tugas profesionalnya, memberikan pelayanan medik kepada pasien
tidak menyadari bahwa perbuatannya adalah sebuah perbuatan hukum. Dalam benak
para teman sejawat tiada lain hanyalah melakukan tindakan profesional kedokteran
sesuai dengan kode etik profesional dan sumpah jabatan dokter, yaitu melakukan
tindakan medis, pengobatatan penyakit dan

perawatan

kesehatan untuk

meningkatkan derajat kesehan masyarakat yang setinggi-tingginya.1,3


Hubungan hukum dokter-pasien akan menempatkan dokter dan pasien berada
pada kesejajaran, sehingga setiap apa yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien
tersebut harus melibatkan pasien dalam menentukan apakah sesuatu tersebut dapat
atau tidak dapat dilakukan atas dirinya. Salah satu bentuk kesejajaran dalam hubugan
hukum dokter-pasien adalah melalui informed consent atau persetujuan tindakan
medik. Pasien berhak memutuskan apakah menerima atau menolak sebagian atau
seluruhnya rencana tindakan da pengobatan yang akan dilakukan oleh dokter terhadap
dirinya.1
Hubungan hukum dokter-pasien menempatkan keduanya sebagai subjek
hukum yang masng-masing pihak mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban
yang harus di hormati. Dokter sebagai subjek hukum mempunyai kewajiban untuk
memenuhi segala sesuatu yang menjadi hak-hak pasien dan sebaliknya pasien

mempunyai kewajiban yang sama untuk memenuhi hak-hak dokter. Pengingkaran atas
pelaksanaan kewajiban masing-masing pihak akan menimbulkan disharmonisasi
dalam hubungan hukum tersebut yang dapat berbuntut pada gugatan atau tuntutan
hukum oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan hak-haknya atau kepentigankepentingannya.1,3
Dokter tidak boleh ertindak arogan dan semena-mena atas superioritas yang
dimilikinya atas pasien karena memiliki keahlan dan kecakapan di bidang IPTEK
kedokteran dan kesehatan. sehingga pasien merasa sangat tergantung pada dokter. .
Perbuatan seperti itu adalah sebuah perbuatan melanggar hukum karena tidak
menghargai hak-hak pasien dalam perjanjian terapeutik tersebut.3
Hubungan hukum dokter pasien mengacu pada Pasal 1320 KUHPerdata yang
mengatur syarat-syarat sahnya sebuah perjajiajan atau perikatan hukum Syarat-syarat
tersebut yaitu antara lain :
Pelaku perjanjian harus dapat bertindak sebagai subjek hokum
Perjanjian antara subjek hukum tersebut harus atas dasar sukarela dan tanpa
paksaan
Perjanjian tersebut memperjanjikan sesuatu di bidang pelayanan kesehatan
Perjanjian tersebut harus atas sebab yang halal dan tidak bertentangan dengan
hukum
Hubungan Dokter-Sejawat
Pertumbuhan pengetahuan ilmiah yang berkembang pesat disertai aplikasi
klinisnya membuat pengobatan menjadi kompleks. Dokter secara individu tidak bisa
menjadi ahli untuk semua penyakit yang diderita oleh pasiennya, sedangkan
perawatan tetap harus diberikan sehingga membutuhkan bantuan dokter spesialis lain
dan profesi kesehatan yang memiliki keterampilan khusus seperti perawat, ahli
farmasi, fisioterapis, teknisi laboratorium, pekerja social dan lainnya.3
Seorang

dokter

sebagai

anggota

profesi

kesehatan,

diharapkan

memperlakukan profesi kesehatan lain lebih sebagai anggota keluarga dibandingkan


sebagai orang lain, bahkan sebagai teman. Deklarasi Geneva dari WMA juga memuat
janji: Kolega saya akan menjadi saudara saya. Interpretasi janji ini bervariasi dari
satu negara dan negara lain sepanjang waktu.3
Dalam tradisi etika kedokteran Hippocrates, dokter memiliki hutang
penghargaan khusus terhadap guru mereka. Deklarasi Geneva menyatakan: Saya

akan memberikan guru saya penghormatan dan terima kasih yang merupakan hak
mereka.3
Sebagai balasan atas kehormatan yang diberikan masyarakat dan kepercayaan
yang diberikan oleh pasien, maka profesi kesehatan harus membangun standar
perilaku yang tinggi untuk anggotanya dan prosedur pendisiplinan dalam menyelidiki
tuduhan adanya tindakan yang tidak benar dan jika perlu menghukum yang berbuat
salah. Kewajiban untuk melaporkan kolega yang melakukan tindakan yang tidak
kompeten, mencelakakan, perbuatan tidak senonoh ditekankan dalam Kode Etik
Kedokteran Internasional yang dikeluarkan oleh WMA menyatakan: Dokter harus
berusaha keras untuk menyatakan kekurangan karakter dan kompetensi dokter
ataupun yang terlibat dalam penipuan atau kecurangan. Penerapan prinsip ini
tidaklah mudah, di satu sisi seorang dokter mungkin menyerang reputasi koleganya
karena motif yang tidak benar seperti karena rasa iri atau terhina oleh koleganya.
Dokter juga merasa sungkan atau ragu untuk melaporkan tindakan koleganya yang
tidak benar karena simpati atau persahabatan. Konsekuensi pelaporan tersebut dapat
berakibat kurang baik bagi yang melapor, yang tertuduh atau bahkan dari kolega lain.3
Hubungan dan kinerja teman sejawat
Seorang dokter harus melindungi pasien dari risiko diciderai oleh teman
sejawat lain, kinerja maupun kesehatan. Keselamatan pasien harus diutamakan setiap
saat. Jika seorang dokter memiliki kekhawatiran bahwa teman sejawatnya tidak dalam
keadaan fit untuk praktek, dokter tersebut harus mengambil langkah yang tepat tanpa
penundaan, kemudian kekhawatiran tersebut ditelaah dan pasien terlindungi bila
diperlukan. Hal ini berarti seorang dokter harus memberikan penjelasan yang jujur
mengenai kekhawatiran terhadap seseorang dari tempat ia bekerja dan mengikuti
prosedur yang berlaku.3
Jika sistem setempat tidak memadai atau sistem setempat tidak dapat
menyelesaikan masalah dan seorang dokter masih mengkhawatirkan mengenai
keselamatan pasien, maka dokter harus menginformasikan badan pengatur terkait.3
1. Menghormati teman sejawat
Seorang dokter harus memperlakukan teman sejawatnya dengan adil dan rasa hormat.
Seorang dokter tidak boleh mempermainkan atau mempermalukan teman
sejawatnya, atau mendiskriminasikan teman sejawatnya dengan tidak adil.

Seorang dokter harus tidak memberikan kritik yang tidak wajar atau tidak berdasar
kepada teman sejawatnya yang dapat mempengaruhi kepercayaan pasien dalam
perawatan atau terapi yang sedang dijalankan, atau dalam keputusan terapi pasien.
2. Berbagi informasi dengan teman sejawat
Berbagi informasi dengan teman sejawat lain sangatlah penting untuk keselamatan
dan keefektifan perawatan pasien. Ketika seorang dokter merujuk pasien, dokter
tersebut harus memberikan semua informasi yang relevan mengenai pasiennya,
termasuk riwayat medis dan kondisi saat itu.
Jika seorang dokter spesialis memberikan terapi atau saran untuk seorang pasien
kepada dokter umum, maka ia harus memberitahu hasil pemeriksaan, terapi yang
diberikan dan informasi penting lainnya kepada dokter yang ditunjuk untuk
kelangsungan perawatan pasien, kecuali pasien tersebut menolak.
Jika seorang pasien belum dirujuk dari dokter umum kepada dokter spesialis, dokter
spesialis tersebut harus menanyakan kepastian pasien tersebut untuk memberitahu
dokter umumnya sebelum memulai terapi, kecuali dalam keadaan gawat darurat atau
saat keadaan yang tidak memungkinkan. Jika dokter spesialis tersebut tidak
memberitahu dokter umum yang merawat pasien tersebut, dokter spesialis tersebut
harus bertanggung jawab untuk menyediakan atau merencanakan semua kebutuhan
perawatan.
Kelalaian Medis
Dalam beberapa tahun terakhir kasus penuntutan terhadap dokter atas dugaan
adanya kelalaian medis ataupun malpraktik medis tercatat meningkat dibandingkan
tahun-tahun sebelumnya. Seirama dengan itu, tercatat jumlah kasus pengaduan
pelanggaran etik kedokteran yang diajukan ke MKEK juga meningkat. Bahkan akhirakhir ini juga terdapat beberapa kasus pidana kelalaian yang mengakibatkan kematian
yang menyangkut dokter atau petugas rumah sakit lain sebagai terdakwa
Blacks Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai professional
misconduct or unreasonable lack of skill atau failure of one rendering professional
services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all the
circumstances in the community by the average prudent reputable member of the
profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of those services
or to those entitled to rely upon them. 4

Dari segi hukum, di dalam definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa
malpraktik dapat terjadi karena tindakan yang disengaja seperti pada misconduct
tertentu, tindakan kelalaian, ataupun suatu ketidak-kompetenan yang tidak beralasan.4
Professional misconduct yang merupakan kesengajaan dapat dilakukan dalam
bentuk pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum administratif,
serta hukum pidana dan perdata, seperti melakukan kesengajaan yang merugikan
pasien, fraud, penanahan pasien, pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran,
aborsi ilegal, euthanasia, penyerangan seksual, misepresentasi, keterangan palsu,
menggunakan iptekdok yang belum teruji, berpraktek tanpa SIP, berpraktek diluar
kompetensinya, dan sengaja melanggar standar.4
Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa malpraktik bukanlah dilihat dari hasil
tindakan medis melainkan harus dilihat dari proses tindakan medis itu sendiri. 4
Suatu hasil yang tidak diharapkan di bidang medik sebenarnya dapat
diakibatkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu:
1. Hasil dari suatu perjalanan penyakit itu sendiri yang tidak mempunyai hubungan
dengan tindakan medis yang diterima pasien.
2. Efek samping dari tindakan medis yang tidak dapat dihindari, baik yang telah
diketahui sebelumnya maupun yang tidak tetapi dianggap masih dapat diterima.
3. Hasil dari kelalaian medik.
4. Hasil dari suatu kesengajaan.
Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seorang melakukan apa yang
seharusnya tidak dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada
keadaan dan situasi yang sama.
Pengertian istilah kelalaian medik tersirat dari pengertian malpraktek medis
menurut World Medical Asscociation (1992), yaitu: medical malpractice involves the
physicians failure to conform to the standard of care for treatment of the patients
condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the
direct cause of an injury to the patient. 5
WMA mengingatkan pula bahwa tidak semua kegagalan medis adalah akibat
malpraktek medis. an injury occuring in the course of medical treatment which
could not be forseen and was not the result of the lack of skill or knowledge on the
part of the treating physician is untoward result, for which the physician sould not
bear any liability.5

Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance, misfeasance, dan


nonfeasance. Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau
tidak tepat/layak. Misfeasance berarti melaksanakan tindakan medis yang tepat tetapi
dilakukan dengan tidak tepat. Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis
yang merupakan kewajiban bagi seorang tenaga medis.5
Suatu perbuatan atau sikap tenaga medis dianggap lalai apabila memenuhi 4
unsur di bawah ini, yaitu:6
1. Kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan medis atau untuk
tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu pada situasi dan kondisi tertentu.
2. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban.
3. Damage atau kerugian.
4. Direct casual relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal ini
harus terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban dengan
kerugian.
Kelalaian Medis juga dapat dimasukkan ke dalam domain pidana, yaitu
memanfaatkan pasal 359-361 KUHP, yang mengancam seseorang akibat melakukan
kelalaian sehingga mengakibatkan seseorang lain luka, luka berat, dan mati. Ancaman
pidana yang lebih berat diberikan kepada orang yang melakukannya dalam rangka
melakukan pekerjaan/pencahariannya Bahkan orang tersebut dapat dicabut haknya
dalam melakukan aktivitas tersebut.6
Aspek Hukum dan Dampak Hukum7
1. Undang undang Kesehatan no.36 tahun 2009
Mengenai Tenaga Kesehatan
Pasal 24
1) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi
ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar
pelayanan, dan standar prosedur operasional.
2) Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur oleh organisasi profesi.
3) Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan
standar prosedur operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 29

Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan


profesinya, , kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.

Mengenai Hak Pasien


Pasal 58
1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan,
dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan
atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.
2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga
kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan
kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.
3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH perdata)
Pasal 1365 KUH Perdata
Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada setiap
orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian itu
Pasal 1366 KUH Perdata
Setiap orang bertanggung jawab tidak saja kepada kerugian yang disebabkan
karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena
kelalaian atau kurang hati-hatinya
Pasal 1367 KUH Perdata
Seseorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang disebabkan oleh
karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan
karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan
oleh barang-barang yang berada dipengawasannya.
3. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Pasal 360 KUHP

(1) Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka
berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan
paling lama satu tahun
(2) Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka luka sedemeikian
rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau
pencaharian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana paling lama sembilan
tahun atau kurngan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi 300 juta
rupiah.

Penutup
Kesimpulan
Seorang dokter dalam menjalankan praktik kedokterannya harus memegang
kaidah dasar moral dengan baik. Dalam berinteraksi kepada pasien, seorang dokter
juga harus memperhatikan segala etika yang berlaku, termasuk hak dan kewajiban
pasien. Pasien berhak untuk mendapat keterangan dan penjelasan yang jujur mengenai
penyakitnya. Seperti pada kasus, seorang bayi ditemukan fraktur klavikula dan ibu
dari pasien tersebut meminta penjelasan kepada dokter. Sebagai seorang dokter, kita
diharapkan dapat memberikan keterangan yang jujur. Dalam kasus ini, dokter A tidak
boleh segera mengambil keputusan bahwa fraktur klavikula tersebut diakibatkan
karena kelalaian dokter, melainkan perlu ditelaah lebih dahulu dengan pendekatan
hubungan dokter-pasien dan juga hubungan dokter-sejawat dengan baik.

Daftar Pustaka
1. Sampurna, B., Syamsu. Z., Siswaja, TD. Didalam: Bioetik dan hukum
kedokteran. Jakarta; Pustaka Dwipar. 2009.
2. Kode etik kedokteran Indonesia dan pedoman pelaksanaan kode etik
kedokteran Indonesia. Jakarta. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia
(MKEK) Ikatan Kedokteran Indonesia (IDI). 2006.
3. Arimaswati, Hafizah I, Rizal S. Blok bioetik, humaniora kesehatan dan hak
asasi manusia

Dilema Etik. Kendari. Program studi pendidikan dokter

fakultas kedokteran Haluoleo. 2011.


4. Suryadi,Taufik. Pengantar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Buku
Penuntun Kepaniteraan Klinik Kedokteran Forensik dan Medikolegal.Banda
Aceh. FK Unsyiah/RSUDZA. 2009.
5. Mulyo,R Cahyono Adi. Perananan Dokter dalam Proses Penegakan Hukum
Kesehatan.Universitas Negeri Semarang. 2006.
6. Aji,Jati P. Peranan Dokter Forensik dalam Praktek Peradilan Perkara Pidana.
Purworejo. 2008.
7. Budiyanto A,Widiatmaka W,dkk .Peraturan Perundang-Undangan Bidang
Kedokteran Edisi 2. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 1994. h 20-36.

Anda mungkin juga menyukai