Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

Benigna Prostat Hyperplasia (BPH)


Untuk Memenuhi Tugas Profesi Ners Departemen Surgical
di Ruang IKO Rumah Sakit Panti Nirmala Malang

Disusun oleh:
Putu Eka Prayitna Devi
150070300011043
Kelompok 3

PROGRAM STUDI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016

Benigna Prostat Hyperplasia (BPH)


A. DEFINISI
BPH adalah merupakan suatu kelainan di mana terjadinya pembesaran jinak
pada prostat, akan tetapi ini tidak akan berlanjut menjadi ganas. Untuk mengetahui
dengan lebih dalam, kita terlebih dahulu akan membahasmengenai pengertian dari
BPH itu sendiri melalui beberapa sumber, patogenesis danjuga secara histopatologi,
sesuai dengan penelitian yang akan dijalankan yaitu melihat gambaran histopatologi
penyakit ini.
BPH, secara umumnya boleh dinyatakan sebagai pembesaran prostat jinak.
Maka jelas dari pengertian secara umum sebelumnya, terdapatnya seuatu
yangmenyebabkan prostat membesar. Hiperplasia adalah penambahan ukuran suatu
jaringan yang disebabkan oleh penambahan jumlah sel yang membentuknya. Maka
dapat kita nyatakan bahwa hiperplasia prostat adalah pembesanan prostat yang jinak
bervariasi berupa hiperplasia kelenjar. Namun orang sering menyebutnya dengan
hipertrofi prostat, namun secara histologi yang dominan adalah hiperplasia dibanding
hipertrofi (Anonim, 2009). Sebagaimana wujudnya perbedaan dalam nama BPH itu
sendiri, pengertiannya turut ikut berbeda dan ini didasarkan atas bagaimana BPH itu
dipahami. BPH dapat didefenisikan secara histologi dan juga secara klinikal. Masingmasing pengertian akan dapat dinyatakan secara khusus selanjutnya. Secara histologi,
BPH dapat didefenisikan sebagai pembesaran nodular secara regional dengan
kombinasi poliferasi stroma dan glandular yang berbeda (Berry SJ, 1984). Ini dapat kita
dinyatakan secara khusus, bahwa BPH ini merupakan suatu penyakit yang ditandai
dengan adanya peningkatan sel epitel dan sel stroma di dalam daerah periurethra
pada prostat

Gambar 2.1: Histopatologi BPH menunjukkan adanya terjadi pembesaran


nodular kalenjar prostat.

Pengertian BPH secara klinikal, menurut NCI: Definition of Cancer Terms, BPH
adalah suatu pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan oleh hyperplasia
beberapa atau semua komponen dari prostat yang meliputi jaringan dari kalenjar
maupun jaringan fibromuskuler yang menyebabkan terjadinya penyumbatan uretra
prostat dan brsifat non-kanker.
Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa BPH adalah pembesaran
yang terjadi pada kelenjar prostat yang dapat menyebabkan prostat membesar, jika
dilihat secara patologi anatomi, pembesaran ini menganggu baik kalenjar itu sendiri
dan boleh berpoliferasi dan membesar ke bagian bersebelahan.
B. KLASIFIKASI
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium:
1. Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai
habis.
2. Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun
tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa ridak enak BAK
atau disuria dan menjadi nocturia.
3. Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
4. Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes
secara periodik (over flowin kontinen).
Menurut Rumahorbo (2000:71), terdapat empat derajat pembesaran kelenjar
prostat yaitu sbb:
a. Derajat rektal
Derajat rektal dipergunakan sebagai ukuran dari pembesaran kelenjar prostat
ke arah rektum. Rectal toucher dikatakan normal jika batas atas teraba
konsistensi, elastis, dapat digerakkan, tidak ada nyeri bila ditekan dan
permukaannya rata. Tetapi rectal toucher pada hipertropi prostat di dapatkan
batas atas teraba menonjol lebih dari 1 cm dan berat prostat di atas 35 gram.
Ukuran dari pembesaran kelenjar prostat dapat menentukan derajat rectal
toucher, yaitu sbb:
1. Derajat 0 : ukuran pembesaran prostat 0-1 cm
2. Derajat I : ukuran pembesaran prostat 1-2 cm
3. Derajat II : ukuran pembesaran prostat 2-3 cm
4. Derajat III : ukuran pembesaran prostat 3-4 cm
5. Derajat IV : ukuran pembesaran prostat >4 cm
Gejala BPH tidak selalu sesuai dengan derajat rectal, kadang-kadang dengan
rectal toucher tidak teraba menonjol tetapi telah ada gejala, hal ini dapat terjadi
bila bagian yang membesar adalah lobus medialis dan lobus lateralis. Pada
derajat ini klien mengeluh jika BAK tidak sampai tuntas dan puas, pancaran
urine lemah, harus mengedan saat BAK, nocturia tetapi belum ada sisa urine.
b. Derajat klinik
Derajat klinik berdasarkan kepada residual urine yang terjadi. Klien disuruh
BAK sampai selesai dan puas, kemudian dilakukan kateterisasi. Urine yang

keluar dari kateter disebut sisa urine atau residual urine. Residual urine dibagi
menjadi beberapa derajat yaitu sbb:
1. Normal sisa urine adalah 0
2. Derajat I sisa urine 0-50 ml.
3. Serajat II sisa urine 50-100 ml.
4. Derajat III sisa urine 100-150 ml.
5. Derajat IV telah terjadi retensi total atau klien tidak dapat BAK sama sekali.
Bila kandung kemih telah penuh dan klien merasa kesakitan, maka urine akan
keluar secara menetes dan periodik, hal ini disebut Over Flow Inkontinensia.
Pada derajat ini telah terdapat sisa urine sehingga dapat terjadi infeksi atau
cystitis, nocturia semakin bertambah dan kadang-kadang terjadi hematuria.
c. Derajat Intra Vesikal
Derajat ini dapat ditentukan dengan mempergunakan foto rontgen atau
cystogram, panendoscopy. Bila lobus medialis melewati muara uretra, berarti
telah sampai padai stadium tiga derajat intra vesikal. Gejala yang timbul pada
stadium ini adalah sisa urine sudah mencapai 100-150 ml, kemungkinan terjadi
infeksi semakin hebat ditandai dengan peningkatan suhu tubuh, menggigil dan
nyeri di daerah pinggang serta kemungkinan telah terjadi pyelitis dan
trabekulasi bertambah.
d. Derajat Intra Uretral
Derajat ini dapat ditentukan dengan menggunakan panendoscopy untuk
melihat sampai seberapa jauh lobus lateralis menonjol keluar lumen uretra.
Pada stadium ini telah terjadi retensio urine total.
C. ETIOLOGI
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya
hiperplasi prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasi prostat
erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrostestosteron (DHT) dan proses aging
proses (Aging Proses / penenuaan ).
Beberapa hipotesa yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasi prostat
adalah :
a. adanya perubahan kesimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada usia
lanjut.
b. Peranan dari Growth Faktor sebagai pemacu pertumbuhan stroma kelenjar prostat.
c. Meningkatkan lama hidup sel sel prostat karena berkurangnya sel sel yang mati.
d. Teori sel stem menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem sehingga
menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi
berlebihan.
D. FAKTOR RISIKO
Faktor risiko terdiri atas faktor endogen (riwayat keluarga, hormon, ras, usia dan
stress) dan faktor eksogen (faktor lingkungan). Perubahan gen pada kromosom 1, 17
dan kromosom X dijumpai pada pasien-pasien dengan riwayat keluarga kanker prostat.
Gen hereditary prostate cancer 1 (HPC1) dan gen predisposing for cancer of the
prostate (PCAP) terdapat pada kromosom 1 sedang gen human prostate cancer pada
kromosom X. Sebagai tambahan, studi genetik menduga adanya suatu predisposisi
keluarga yang kuat pada 5-10% kasus kanker prostat. Laki-laki dengan riwayat

keluarga kanker prostat memiliki resiko yang lebih tinggi untuk mendapat kanker
prostat.
Laki-laki Afrika Amerika memiliki prevalensi kanker prostat yang lebih tinggi dan
lebih agresif dibanding dengan laki-laki berkulit putih. Laki-laki berkulit putih memiliki
prevalensi kanker prostat yang lebih tinggi dibanding dengan laki-laki Asia. Studi
menemukan bahwa kadar hormon testosteron pada laki-laki Afrika Amerika lebih tinggi
15% dibanding dengan laki-laki berkulit putih. Selanjutnya terbukti juga 5-reduktase
mungkin lebih aktif pada suku Afrika Amerika dibanding dengan yang berkulit putih,
dimana ini menunjukkan perbedaan hormonal mungkin berperan.
Diet tinggi lemak meningkatkan resiko terkena kanker prostat, sedangkan diet
tinggi kacang kedelai mungkin protektif. Observasi ini telah diutarakan sebagai alasan
rendahnya prevalensi kanker prostat di Asia. Studi kultur sel menunjukkan asam lemak
omega 6 positif dalam menstimulasi pertumbuhan sel-sel kanker prostat, sedangkan
omega 3 negatif. Lemak ini memiliki efek pada perubahan hormon seks atau faktor
pertumbuhan atau berefek pada 5-reduktase. Kacang kedelai menurunkan
pertumbuhan sel-sel kanker prostat pada tikus percobaan, akan tetapi faktor
epidemiologi menunjukkan tidak terbukti efek yang bermakna pada manusia. Vitamin E
memiliki efek protektif karena merupakan antioksidan.
Penurunan kadar vitamin A mungkin suatu faktor resiko karena dapat memicu
differensiasi sel dan sistim imun. Defisiensi vitamin D diduga juga suatu faktor resiko
dan studi menunjukkan hubungan terbalik antara paparan ultraviolet dengan angka
kematian kanker prostat. Selenium mungkin memiliki efek protektif berdasarkan studi
epidemiologi dan dipercaya melalui efeknya sebagai antioksidan. Ablasi androgen
menyebabkan regresi kanker prostat. Hsing dan Comstock melakukan studi besar
dengan membandingkan prevalensi kanker prostat pada satu grup kontrol dengan satu
grup yang diberikan inhibitor 5-reduktase. Inhibitor 5-reduktase tersebut
menunjukkan penurunan prevalensi tumor. ASCO ( The American Society of Clinical
Oncology ) merekomendasikan penggunaan inhibitor 5-reduktase sebagai
chemoprevention kanker prostat.
E. PATOFISIOLOGI
(terlampir)
F. MANIFESTASI KLINIS
Gejala Obstruktif
Gejala obstruktif disebabkan karena penyempitan uretra parsprostatika karena didesak
oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup
kuat dan atau cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus (Sylvia, A, 2006).
Gejalanya yaitu :
a.
Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan
mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan
waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi
adanya tekanan dalam uretra prostatika.
b.
Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena
ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan intra vesika
sampai berakhirnya miksi.

c.
d.

Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.


Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor
memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.
e.
Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas.
(Hardjowidjoto S, 1999).
Gejala Iritasi
Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaris yang tidak
sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh karena hipersensitifitas otot detrusor
karenapembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica
seringberkontraksi meskipun belum penuh (Sylvia, A, 2006).
Gejalanya yaitu :
a.
Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
b.
Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada
malam hari (Nocturia) dan pada siang hari.
c.
Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.
(Hardjowidjoto S, 1999).

Gambar 2.2: Tanda dan Gejala BPH


G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Urinalisa : Warna kuning, coklat gelap, merah gelap atau terang (berdarah),
penampilan keruh, pH 7 atau lebih besar (menunjukkan infeksi ).
2. Kultur urine : Dapat menunjukkan Staphylococcus aureus, Proteus, Klebsiella,
pseudomonas, atau Escherichia coli.
3. Sitologi urne : Untuk mengesampingkan kanker kandung kemih.
4. BUN/kreatinin : Meningkat bila fungsi ginjal dipengaruhi.

5. Asam fosfat serum/antigen khusus prstatik : Peningkatan karena pertumbuhan


selular dan pengaruh hormonal pada kanker prostat.
6. SDP : Mungkin lebih besar dari 11 000/ul ( infeksi )
7. Penentuan kecepatan aliran urine : mengkaji derajat obstruksi kandung kemih.
8. IVP dengan film pasca berkemih : Menunjukkan pelambatan pengosongan
kandung kemih, membedakan derajat obstruksi kandung kemih dan adanya
pembesaran prostat, divertikuli kandung kemih dan penebalan abnormal otot
kandung kemih.
9. Sistouretrografi berkemih : digunakan sebagai ganti IVP untuk memvisualisasi
kandung kemih dan uretra.
10. Sistogram : Mengukur tekanan dan volume dalam kandung kemih untuk
mengidentifikasi disfungsi yang tak berhubungan dengan BPH.
11. Sistouretroskopi : Untuk menggambarkan derajat pembesaran prostat dan
perubahan dinding kandung kemih.
12. Ultrasound transrektal : Mengukur ukuran prostate dan jumlah residu urine, dalam
hal ini residu urine menjadi patokan yaitu dibagi menjadi beberapa derajat antara
lain :
Derajat I, sisa urine < 50 ml.
Derajat II, sisa urine 50-150 ml.
Derajat III, sisa urine > 150 ml.
Derajat IV, retensi urine total.
13. Rectal touch/pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan konsistensi
system perdarahan unit vesiko uretra dan besarnya prostat.
Dengan rectal toucher dapat diketahui derajat dari BPH, yaitu :
a. Derajat I, beratnya 20 gram.
b.Derajat II, beratnya antara 20-40 gram.
c. Derajat III, beratnya > 40 gram.
14. PSA (Prostatik Spesifik Antigen) penting diperiksa sebagai kewaspadaan adanya
keganasan.
15. Pemeriksaan Uroflowmetri.
Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urine dapat diperiksa
dengan uroflowmeter dengan penilaian :
a. Flow rate maksimal > 15 ml/dtk = non obstruktif.
b. Flow rate maksimal 10-15 ml/dtk = border line
c. Flow rate maksimal < 10 ml/dtk = obstuktif.
16. USG ( Ultrasonografi ), digunakan untuk memeriksa konsistensi, volume dan besar
prostat juga keadaan buli-buli termasuk residual urine.
17. MRI ( Magnetic Resonance Imaging )
H. KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain:

sering dengan semakin beratnya BPH,

dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu melewati prostat.
Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat
mengakibatkan gagal ginjal.

Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan
penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan
intra abdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid.

Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah
keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria
menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis
dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).

Selain itu komplikasi yang biasanya terjadi:


1. Perdarahan.
2. Pembentukan bekuan
3. Obstruksi kateter
4. Disfungsi seksual tergantung dari jenis pembedahan.
5. Stasis urin
6. Infeksi saluran kencing (ISK)
7. Batu ginjal
8. Dinding kandung kemih trabeculation
9. Otot detrusor hipertrofi
10. Kandung kemih divertikula dan saccules
11. Stenosis uretra
12. Hidronefrosis
13. Paradoks (overflow) inkontinensia
14. Gagal ginjal akut atau gagal ginjal kronis
15. Akut postobstructive diuresis
16. Komplikasi yang lain yaitu perubahan anatomis pada uretra posterior
17. Ejakulasi retrogard yaitu setelah ejakulasi cairan seminal mengalir ke dalam
kandung kemih dan diekskresikan bersama urin.
18. Penyebaran infeksi dari uretra prostatik melalui vas deference dan ke dalam
epidedemis. hampir selalu terjadi impotensi. Bagi pasien yang tak mau kehilangan
aktifitas seksualnya, implant prostetik penis mungkin digunakan untuk membuat
penis menjadi kaku guna keperluan hubungan seksual.
I.

PENATALAKSANAAN
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah mengembalikan kualitas hidup pasien.
Terapi yang ditawarkan pada pasien tergantung pada derajat keluhan, keadaan pasien,
maupun kondisi obyektif kesehatan pasien yang diakibatkan oleh penyakitnya.
Pilihannya adalah mulai dari: (1) tanpa terapi (watchful waiting), (2) medikamentosa,
dan (3) terapi intervensi (Tabel1). Di Indonesia, tindakan Transurethral Resection of the
prostate (TURP) masih merupakan pengobatan terpilih untuk pasien BPH.

1. Watchful waiting
Watchful waiting artinya pasien tidak mendapatkan terapi apapun tetapi perkembangan penyakitnya keadaannya tetap diawasi oleh dokter. Pilihan tanpa terapi ini
ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang
tidak menggangu aktivitas sehari-hari. Beberapa guidelines masih menawarkan
watchful waiting pada pasien BPH bergejala dengan skor sedang (IPSS 8-19). Pasien
dengan keluhan sedang hingga berat (skor IPSS > 7), pancaran urine melemah (Qmax
< 12 mL/detik), dan terdapat pembesaran prostat > 30 gram tentunya tidak banyak
memberikan respon terhadap watchful waiting. Pada watchful waiting ini, pasien tidak
mendapatkan terapi apapun dan hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu hal yang
mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya
a. jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan
malam,
b. kurangi konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi pada bulibuli (kopi atau cokelat),
c. batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin,
d. kurangi makanan pedas dan asin, dan
e. jangan menahan kencing terlalu lama.
Setiap 6 bulan, pasien diminta untuk dating kontrol dengan ditanya dan diperiksa
tentang perubahan keluhan yang dirasakan, IPSS, pemeriksaan laju pancaran urine,
maupun volume residual urine. Jika keluhan miksi bertambah jelek daripada
sebelumnya, mungkin perlu difikirkan untuk memilih terapi yang lain.
2. Medikamentosa
Pasien BPH bergejala biasanya memerlukan pengobatan bila telah mencapai
tahap tertentu. Pada saat BPH mulai menyebabkan perasaan yang mengganggu,
apalagi
membahayakan
kesehatannya,
direkomen-dasikan
pemberian
medikamentosa. Dalam menentukan pengobatan perlu diperhatikan beberapa hal,
yaitu dasar pertimbangan terapi medikamentosa, jenis obat yang digunakan, pemilihan
obat, dan evaluasi selama pemberian obat. Perlu dijelaskan pada pasien bahwa harga
obat-obatan yang akan dikonsumsi tidak murah dan akan dikonsumsi dalam jangka
waktu lama. Dengan memakai piranti skoring IPSS dapat ditentukan kapan seorang
pasien memer-lukan terapi. Sebagai patokan jika skoring >7 berarti pasien perlu
mendapatkan terapi medi-kamentosa atau terapi lain. Tujuan terapi medikamentosa
adalah berusaha untuk mengurangi resistensi otot polos prostat sebagai komponen

dinamik dan atau mengurangi volume prostat sebagai kom-ponen statik. Jenis obat
yang digunakan adalah:
a. Antagonis adrenergik reseptor yang dapat berupa:
preparat non selektif: fenoksibenzamin
preparat selektif masa kerja pendek: prazosin, afluzosin, dan indoramin
preparat selektif dengan masa kerja lama: doksazosin, terazosin, dan
tamsulosin
Pengobatan dengan antagonis adrenergik bertujuan menghambat kontraksi
otot polos prostat sehingga mengurangi resistensi tonus leher buli-buli dan uretra.
Fenoksibenzamine adalah obat antagonis adrenergik- non selektif yang pertama kali
diketahui mampu memperbaiki laju pancaran miksi dan mengurangi keluhan miksi.
Namun obat ini tidak disenangi oleh pasien karena menyebabkan komplikasi sistemik
yang tidak diharapkan, di antaranya adalah hipotensi postural dan menyebabkan
penyulit lain pada sistem kardiovaskuler.
Diketemukannya obat antagonis adrener-gik- 1 dapat mengurangi penyulit
sistemik yang diakibatkan oleh efek hambatan pada-2 dari fenoksibenzamin.
Beberapa golongan obat antagonis adrenergik 1 yang selektif mempunyai durasi obat
yang pendek (short acting) di antaranya adalah prazosin yang diberikan dua kali
sehari, dan long acting yaitu, terazosin, doksazosin, dan tamsulosin yang cukup
diberikan sekali sehari. Dibandingkan dengan plasebo, antagonis adrenergik- terbukti
dapat memperbaiki gejala BPH, menurunkan keluhan BPH yang mengganggu,
meningkatkan kualitas hidup (QoL), dan meningkatkan pancaran urine. Rata-rata obat
golongan ini mampu memperbaiki skor gejala miksi hingga 30-45% atau 4-6 poin skor
IPSS dan Qmax hingga 15-30% dibandingkan dengan sebelum terapi. Perbaikan
gejala meliputi keluhan iritatif maupun keluhan obstruktif sudah dirasakan sejak 48 jam
setelah pemberian obat. Golongan obat ini dapat diberikan dalam jangka waktu lama
dan belum ada bukti-bukti terjadinya intoleransi dan takhipilaksis sampai pemberian 612 bulan.
Dibandingkan dengan inhibitor 5 reduktase, golongan antagonis adrenergik-
lebih efektif dalam memperbaiki gejala miksi yang ditunjukkan dalam peningkatan skor
IPSS, dan laju pancaran urine. Dibuktikan pula bahwa pemberian kombinasi antagonis
adrenergik- dengan finasteride tidak berbeda jika dibandingkan dengan pemberian
antagonis adrenergik- saja. Sebelum pemberian antagonis adrenergik- tidak perlu
memper-hatikan ukuran prostat serta memperhatikan kadar PSA; lain halnya dengan
sebelum pemberian inhibitor 5- reduktase.
Berbagai jenis antagonis adrenergik menunjukkan efek yang hampir sama
dalam memperbaiki gejala BPH. Meskipun mempu-nyai efektifitas yang hampir sama,
namun masingmasing mempunyai tolerabilitas dan efek terhadap sistem
kardiovaskuler yang berbeda. Efek terhadap sistem kardiovaskuler terlihat sebagai
hipotensi postural, dizzines, dan asthenia yang seringkali menyebabkan pasien
menghentikan pengobatan. Doksazosin dan terazosin yang pada mulanya adalah
suatu obat antihipertensi terbukti dapat memperbaiki gejala BPH dan menurunkan
tekanan darah pasien BPH dengan hipertensi. Sebanyak 5-20% pasien mengeluh
dizziness setelah pemberian doksazosin maupun terazosin, < 5% setelah pemberian
tamsulosin, dan 3-10% setelah pemberian plasebo. Hipotensi postural terjadi pada 28% setelah pemberian doksazosin atau terazosin dan kurang lebih 1% setelah

pemberian tamsulosin atau plasebo. Dapat dipahami bahwa penyulit terhadap system
kardiovasuler tidak tampak nyata pada tamsulosin karena obat ini merupakan antagonis adrenergic yang superselektif, yaitu hanya bekerja pada reseptor adrenergik1A. Penyulit lain yang dapat timbul adalah ejakulasi retrograd yang dilaporkan banyak
terjadi setelah pemakaian tamsulosin, yaitu 4,5-10% dibandingkan dengan plasebo 01%.
Lepor menyebutkan bahwa efektifitas obat golongan antagonis adrenergik-
tergantung pada dosis yang diberikan, yaitu makin tinggi dosis, efek yang diinginkan
makin nyata, namun disamping itu komplikasi yang timbul pada system kardiovaskuler
semakin besar. Untuk itu sebelum dilakukan terapi jangka panjang, dosis obat yang
akan diberikan harus disesuaikan dahulu dengan cara meningkat-kannya secara
perlahan-lahan (titrasi) sehingga diperoleh dosis yang aman dan efektif. Dikatakan
bahwa salah satu kelebihan dari golongan antagonis adrenergik- (tamsulosin) adalah
tidak perlu melakukan titrasi seperti golongan obat yang lain. Tamsulosin masih tetap
aman dan efektif walaupun diberikan hingga 6 tahun.
b. Inhibitor 5 redukstase, yaitu finasteride dan dutasteride
Finasteride adalah obat inhibitor 5- reduktase pertama yang dipakai untuk
mengobati BPH. Obat ini bekerja dengan cara menghambat pembentukan
dihidrotestosteron (DHT) dari testosteron, yang dikatalisis oleh enzim 5 - redukstase
di dalam sel-sel prostat. Beberapa uji klinik menunjukkan bahwa obat ini mampu
menurunkan ukuran prostat hingga 20-30%, meningkatkan skor gejala sampai 15%
atau skor AUA hingga 3 poin, dan meningkatkan pancaan urine. Efek maksimum
finasteride dapat terlihat setelah 6 bulan. Pada penelitian yang dilakukan oleh
McConnell et al (1998) tentang efek finasteride terhadap pasien BPH bergejala,
didapatkan bahwa pemberian finasteride 5 mg per hari selama 4 tahun ternyata
mampu menurunkan volume prostat, meningkatkan pancaran urine, menurunkan
kejadian retensi urine akut, dan menekan kemungkinan tindakan pembedahan hingga
50%.
Finasteride digunakan bila volume prostat > 40 cm. Efek samping yang terjadi
pada pemberian finasteride ini minimal, di antaranya dapat terjadi impotensia,
penurunan libido, ginekomastia, atau timbul bercak-bercak kemerahan di kulit.
Finasteride dapat menurunkan kadar PSA sampai 50% dari harga yang semestinya
sehingga perlu diperhitungkan pada deteksi dini kanker prostat.
c. Fitofarmaka
Beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu dapat dipakai untuk memperbaiki
gejala akibat obstruksi prostat, tetapi data-data farmakologik tentang kandungan zat
aktif yang mendukung mekanisme kerja obat fitoterapi sampai saat ini belum diketahui
dengan pasti. Kemungkinan fitoterapi bekerja sebagai: anti-estrogen, antiandrogen,
menurunkan kadar sex hormone binding globulin (SHBG), inhibisi basic fibroblast
growth factor (bFGF) dan epidermal growth factor (EGF), mengacaukan metabolism
prostaglandin, efek anti-inflam-masi, menurunkan outflow resistance, dan memperkecil
volume prostat. Di antara fito-terapi yang banyak dipasarkan adalah: Pygeum
africanum, Serenoa repens, Hypoxis rooperi, Radix urtica dan masih banyak lainnya.
3. Terapi intervensi

Terapi intervensi dibagi dalam 2 golongan, yakni teknik ablasi jaringan prostat
atau pembedahan dan teknik instrumentasi alternatif. Termasuk ablasi jaringan prostat
adalah: pembedahan terbuka, TURP, TUIP, TUVP, laser prostatektomi. Sedangkan
teknik instrumentasi alternatif adalah interstitial laser coagulation, TUNA, TUMT,
dilatasi balon, dan stent uretra.
Teknik ablasi Jaringan Prostat
a. Pembedahan
Mungkin sampai saat ini solusi terbaik pada BPH yang telah mengganggu adalah
pembedahan, yakni mengangkat bagian kelenjar prostat yang menyebabkan obstruksi.
Cara ini memberikan perbaikan skor IPSS dan secara obyektif meningkatkan laju
pancaran urine. Hanya saja pembedahan ini dapat menimbulkan berbagai macam
penyulit pada saat operasi maupun pasca bedah. Indikasi pembedahan yaitu pada
BPH yang sudah menimbulkan komplikasi, diantaranya adalah:
1. retensi urine karena BPO,
2. infeksi saluran kemih berulang karena BPO,
3. hematuria makroskopik karena BPE,
4. batu buli-buli karena BPO,
5. gagal ginjal yang disebabkan oleh BPO, dan
6. divertikulum bulibuli yang cukup besar karena BPO.
Guidelines di beberapa negara juga menyebutkan bahwa terapi pembedahan
diindikasikan pada BPH yang telah menimbulkan keluhan sedang hingga berat, tidak
menunjuk-kan perbaikan setelah pemberian terapi non bedah, dan pasien yang
menolak pemberian terapi medikamentosa. Terdapat tiga macam teknik pembedahan
yang direkomendasikan di berbagai negara, yaitu prostatektomi terbuka, insisi prostat
transuretra (TUIP), dan reseksi prostat transuretra (TURP).
Prostatektomi terbuka merupakan cara yang paling tua, paling invasif, dan paling
efisien di antara tindakan pada BPH yang lain dan memberikan perbaikan gejala BPH
98%. Pembedahan terbuka ini dikerjakan melalui pendekatan transvesikal yang mulamula diperkenalkan oleh Hryntschack dan pen-dekatan retropubik yang dipopulerkan
oleh Millin. Pendekatan transvesika hingga saat ini sering dipakai pada BPH yang
cukup besar disertai dengan batu buli-buli multipel, divertikula yang besar, dan hernia
inguinalis. Pembedahan terbuka dianjurkan pada prostat volumenya diperkirakan lebih
dari 80-100 cm3. Dilaporkan bahwa prostatektomi terbuka menimbulkan komplikasi
striktura uretra dan inkontinensia urine yang lebih sering dibandingkan dengan TURP
ataupun TUIP.
b. TURP
Prosedur TURP merupakan 90% dari semua tindakan pembedahan prostat pada
pasien BPH. Menurut Wasson et al (1995) pada pasien dengan keluhan derajat
sedang, TURP lebih bermanfaat daripada watchful waiting. TURP lebih sedikit
menimbulkan trauma dibandingkan prosedur bedah terbuka dan memerlukan masa
pemulihan yang lebih singkat. Secara umum TURP dapat memper-baiki gejala BPH
hingga 90%, meningkatkan laju pancaran urine hingga 100%.
Komplikasi dini yang terjadi pada saat operasi sebanyak 18-23%, dan yang
paling sering adalah perdarahan sehingga membutuhkan transfusi. Timbulnya penyulit
biasanya pada reseksi prostat yang beratnya lebih dari 45 gram, usia lebih dari 80

tahun, ASA II-IV, dan lama reseksi lebih dari 90 menit. Sindroma TUR terjadi kurang
dari 1%.
Penyulit yang timbul di kemudian hari adalah: inkontinensia stress <1% maupun
inkontinensia urge 1,5%, striktura uretra 0,5-6,3%, kontraktur leher buli-buli yang lebih
sering terjadi pada prostat yang berukuran kecil 0,9-3,2%, dan disfungsi ereksi. Angka
kematian akibat TURP pada 30 hari pertama adalah 0,4% pada pasien kelompok usia
65-69 tahun dan 1,9% pada kelompok usia 80-84 tahun. Dengan teknik operasi yang
baik dan manajemen perioperatif (termasuk anestesi) yang lebih baik pada dekade
terakhir, angka morbiditas, mortalitas, dan jumlah pemberian transfuse berangsurangsur menurun.
c. TIUP
TUIP atau insisi leher buli-buli (bladder neck insicion) direkomendasikan pada
prostat yang ukurannya kecil (kurang dari 30 cm3), tidak dijumpai pembesaran lobus
medius, dan tidak diketemukan adanya kecurigaan karsinoma prostat. Teknik ini
dipopulerkan oleh Orandi pada tahun 1973, dengan melakukan mono insisi atau
bilateral insisi mempergunakan pisau Colling mulai dari muara ureter, leher buli-bulisampai ke verumontanum. Insisi diperdalam hingga kapsula prostat. Waktu yang
dibutuhkan lebih cepat, dan lebih sedikit menimbulkan komplikasi dibandingkan
dengan TURP. TUIP mampu memperbaiki keluhan akibat BPH dan meningkatkan
Qmax meskipun tidak sebaik TURP.
Cara elektrovaporisasi prostat hampir mirip dengan TURP, hanya saja teknik ini
memakai roller ball yang spesifik dan dengan mesin diatermi yang cukup kuat,
sehingga mampu membuat vaporisisai kelenjar prostat. Teknik ini cukup aman, tidak
banyak menimbulkan perdarahan pada saat operasi, dan masa mondok di rumah sakit
lebih singkat.
d. Laser Prostatektomi
Energi laser mulai dipakai sebagai terapi BPH sejak tahun 1986, yang dari tahun
ke tahun mengalami penyempurnaan. Terdapat 4 jenis energi yang dipakai, yaitu:
Nd:YAG, Holmium: YAG, KTP: YAG, dan diode yang dapat dipancarkan melalui bare
fibre, right angle fibre, atau intersitial fibre. Kelenjar prostat pada suhu 60-650C akan
mengalami koagulasi dan pada suhu yang lebih dari 1000C mengalami vaporisasi.
Jika dibandingkan dengan pembedahan, pemakaian Laser ternyata lebih sedikit
menimbulkan komplikasi dan penyembuhan lebih cepat, tetapi kemampuan dalam
meningkatkan perbaikan gejala miksi maupun Qmax tidak sebaik TURP. Disamping itu
terapi ini membutuhkan terapi ulang 2% setiap tahun. Kekurangannya adalah: tidak
dapat diperoleh jaringan untuk pemeriksaan patologi, sering banyak menimbulkan
disuria pasca bedah yang dapat berlangsung sampai 2 bulan, tidak langsung dapat
miksi spontan setelah operasi, dan peak flow rate lebih rendah dari pada pasca TURP.
Penggunaan pembedahan dengan energy Laser telah berkembang dengan
pesat akhir-akhir ini. Penelitian klinis memakai Nd:YAG menunjukkan hasil yang
hampir sama dengan cara desobstruksi TURP, terutama dalam perbaikan skor miksi
dan pancaran urine. Meskipun demikian efek lebih lanjut dari Laser masih belum
banyak diketahui. Teknik ini dianjurkan pada pasien yang memakai terapi antikoagulan
dalam jangka waktu lama atau tidak mungkin dilakukan tindakan TURP karena
kesehatannya.

Tindakan Invasif Minimal


a. Termoterapi
Termoterapi kelenjar prostat adalah pemanasan > 45C sehingga menimbulkan
nekrosis koagulasi jaringan prostat. Gelombang panas dihasilkan dari berbagai cara,
antara lain adalah:
1. TUMT (transurethral microwave thermotherapy),
2. TUNA (transurethral needle ablation),
3. HIFU (high intensity focused ultrasound), dan
4. Laser.
Makin tinggi suhu di dalam jaringan prostat makin baik hasil klinik yang
didapatkan, tetapi makin banyak menimbulkan efek samping. Teknik termoterapi ini
seringkali tidak memerlukan mondok di rumah sakit, namun masih harus memakai
kateter dalam jangka waktu lama. Sering kali diperlukan waktu 3-6 minggu untuk
menilai kepuasan pasien terhadap terapi ini. Pada umumnya terapi ini lebih efektif
daripada terapi medikamnetosa tetapi kurang efektif dibandingkan dengan TURP.
Tidak banyak menimbulkan perdarahan sehingga cocok diindikasikan pada pasien
yang memakai terapi antikoagulansia.
Energi yang dihasilkan oleh TUMT berasal dari gelombang mikro yang disalurkan
melalui kateter ke dalam kelenjar prostat sehingga dapat merusak kelenjar prostat
yang diinginkan. Jaringan lain dilindungi oleh sistem pendingin guna menghindari dari
kerusakan selama proses pemanasan berlangsung. Morbiditasnya rendah dan dapat
dikerjakan tanpa pembiusan. TUMT terdiri atas energi rendah dan energi tinggi. TUMT
energi rendah diperuntukkan bagi adenoma yang kecil dan obstruksi ringan,
sedangkan TUMT energi tinggi untuk prostat yang besar dan obstruksi yang lebih
berat. TUMT energi tinggi menghasilkan respon terapi yang lebih baik, tetapi
menimbulkan morbiditas yang lebih besar daripada yang energi rendah.
Teknik TUNA memakai energi dari frekuensi radio yang menimbulkan panas
sampai mencapai 1000 C, sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat. Sistem ini
terdiri atas kateter TUNA yang dihubungkan dengan generator yang dapat
membangkitkan energi pada frekuensi radio 490 kHz. Kateter dimasukkan ke dalam
uretra melalui sistoskopi dengan pemberian anestesi topikal xylocaine sehingga jarum
yang terletak pada ujung kateter terletak pada kelenjar prostat. TUNA dapat
memperbaiki gejala hingga 50-60% dan meningkatkan Qmax hingga 40-50% Pasien
sering kali masih mengeluh hematuria, disuria, kadang-kadang retensi urine, dan
epididimo-orkitis.
Energi panas yang ditujukan untuk menimbulkan nekrosis prostat pada HIFU
berasal dari gelombang ultrasonografi dari transduser piezokeramik yang mempunyai
frekuensi 0,5-10 MHz. Energi dipancarkan melalui alat yang diletakkan transrektal dan
difokuskan ke kelenjar prostat. Teknik ini memerlukan anestesi umum. Data klinis
menunjukkan terjadi perbaikan gejala klinis 5060% dan Qmax rata-rata meningkat
4050%. Efek lebih lanjut dari HIFU belum diketahui, dan sementara tercatat bahwa
kegagalan terapi terjadi sebanyak 10% setiap tahun.
b. Stent
Stent prostat dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi obstruksi karena
pembesaran prostat. Stent dipasang intraluminal di antara leher buli-buli dan di
sebelah proksimal verumontanum sehingga urine dapat leluasa melewati lumen uretra

prostatika. Stent dapat dipasang secara temporer atau permanen. Yang temporer
dipasang selama 6-36 bulan dan terbuat dari bahan yang tidak diserap dan tidak
mengadakan reaksi dengan jaringan. Alat ini dipasang dan dilepas kembali secara
endoskopi. Stent yang telah terpasang bisa mengalami enkrustasi, obstruksi,
menyebabkan nyeri perineal, dan disuria.

4. Pengawasan berkala
Semua pasien BPH setelah mendapatkan terapi atau petunjuk watchful waiting
perlu mendapatkan pengawasan berkala (follow up) untuk mengetahui hasil terapi
serta perjalanan penyakitnya sehingga mungkin perlu dilakukan pemilihan terapi lain
atau dilakukan terapi ulang jika dijumpai adanya kegagalan dari terapi itu. Secara rutin
dilakukan pemeriksaan IPSS, uroflometri, atau pengukuran volume residu urine pasca
miksi. Pasien yang menjalani tindakan intervensi perlu dilakukan pemerik-saan kultur
urine untuk melihat kemungkinan penyulit infeksi saluran kemih akibat tindakan itu.
Jadwal pemeriksaan tergantung pada terapi yang dijalani oleh pasien seperti terlihat
pada tabel 2.

J. PENGKAJIAN
Pengkajian pada pasien BPH dilakukan dengan pendekatan proses keperawatan.
Menurut Doenges (1999) fokus pengkajian pasien dengan BPH adalah sebagai
berikut :
a. Sirkulasi
Pada kasus BPH sering dijumpai adanya gangguan sirkulasi; pada kasus
preoperasi dapat dijumpai adanya peningkatan tekanan darah yang disebabkan
oleh karena efek pembesaran ginjal. Penurunan tekanan darah; peningkatan
nadi sering dijumpai pada. kasus postoperasi BPH yang terjadi karena
kekurangan volume cairan.
b. Integritas Ego

Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas egonya


karena memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan yang dapat
dilihat dari tanda-tanda seperti kegelisahan, kacau mental, perubahan perilaku.
c. Eliminasi
Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali dialami oleh
pasien dengan preoperasi, perlu dikaji keragu-raguan dalam memulai aliran
urin, aliran urin berkurang, pengosongan kandung kemih inkomplit, frekuensi
berkemih, nokturia, disuria dan hematuria. Sedangkan pada postoperasi BPH
yang terjadi karena tindakan invasif serta prosedur pembedahan sehingga perlu
adanya obervasi drainase kateter untuk mengetahui adanya perdarahan
dengan mengevaluasi warna urin. Evaluasi warna urin, contoh : merah terang
dengan bekuan darah, perdarahan dengan tidak ada bekuan, peningkatan
viskositas, warna keruh, gelap dengan bekuan. Selain terjadi gangguan
eliminasi urin, juga ada kemugkinan terjadinya konstipasi. Pada preoperasi
BPH hal tersebut terjadi karena protrusi prostat ke dalam rektum, sedangkan
pada postoperasi BPH, karena perubahan pola makan dan makanan.
d. Makanan dan cairan
Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek
penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi), maupun efek dari anastesi
pada postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala: anoreksia, mual, muntah,
penurunan berat badan, tindakan yang perlu dikaji adalah awasi masukan dan
pengeluaran baik cairan maupun nutrisinya.
e. Nyeri dan kenyamanan
Menurut hierarki Maslow, kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan dasar
yang utama. Karena menghindari nyeri merupakan kebutuhan yang harus
dipenuhi. Pada pasien postoperasi biasanya ditemukan adanya nyeri
suprapubik, pinggul tajam dan kuat, nyeri punggung bawah.
f. Keselamatan/ keamanan
Pada kasus operasi terutama pada kasus penyakit BPH faktor keselamatan
tidak luput dari pengkajian perawat karena hal ini sangat penting untuk
menghindari segala jenis tuntutan akibat kelalaian paramedik, tindakan yang
perlu dilakukan adalah kaji adanya tanda-tanda infeksi saluran perkemihan
seperti adanya demam (pada preoperasi), sedang pada postoperasi perlu
adanya inspeksi balutan dan juga adanya tanda-tanda infeksi baik pada luka
bedah maupun pada saluran perkemihannya.
g. Seksualitas
Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi terkadang mengalami
masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksualnya, takut
inkontinensia/menetes selama hubungan intim, penurunan kekuatan kontraksi
saat ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri tekan pada prostat.
h. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium diperlukan pada pasien preoperasi maupun
postoperasi BPH. Pada preoperasi perlu dikaji, antara lain urin analisa, kultur
urin, urologi., urin, BUN/kreatinin, asam fosfat serum, SDP/sel darah putih.
Sedangkan pada postoperasinya perlu dikaji kadar hemoglobin dan hematokrit
karena imbas dari perdarahan. Dan kadar leukosit untuk mengetahui ada
tidaknya infeksi.
2) DIAGNOSA KEPERAWATAN

Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agens cidera (biologis)
2. Gangguan eliminasi berhubungan dengan obstruksi anatomik
3. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
3) RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
1. Diagnosa 1: Nyeri akut berhubungan dengan agens cidera (biologis)
Tujuan : Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3x24 jam nyeri
klien berkurang
NOC :
No
Pain control
1
2
3
4
5
1
Uses anlagesic as recomended

2
Uses non analgesic relief

measures
3
Reports pain controlled

4
Recognizes pain onset

Pain Level
1
2
3
4
5
1
Reported pain

2
Length of pain episodes

3
Rubbing affected area

4
Facial expression of pain

NIC/Intervensi : Pain Management


1. Lakukan pengkajian secara komprehensif yang meliputi lokasi, karakteristik,
onset/durasi, frekuensi, kualitas dan intensitas nyeri
2. Kaji reaksi nonverbal akibat ketidaknyamanan (nyeri)
3. Control lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti kebisingan
4. Berikan analgesik sesuai rekomendasi dan kondisi klien.
5. Gunakan komunikasi terapeutik untuk menggali kualitas dan pengalaman
nyeri klien.
6. Gunakan teknik mengurangi nyeri non farmakologis ( e.g : relaksasi
progresif, dll)
7. Dukung klien untuk memonitor rasa nyerinya dengan memberikan catatan
kontrol nyeri.
8. Kurangi kegiatan yang dapat menyebabkan nyeri pada klien/tingkatkan
istirahat.
9. Monitor efektifitas intervensi kolaborasi yang telah diberikan kepada klien.
2. Diagnosa 2: Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi anatomik
ditandai dengan hesistansi, retensi urine
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keparwatan selama 3 x 24 jam gangguan
eliminasi urin klien membaik.
NOC:
No
1
2
3

Urine Elemination
Elimination pattern
Urinary frequency
Urinary retention

Intervensi : Urinary Elimination Management


1. Monitor eliminasi urin termasuk frekuensi, konsistensi, volume, warna dan
bau.
2. Monitor tanda dan gejala retensi urin
3. Catat waktu terakhir eliminasi urin
4. Kolaborasi pemberian
bisoprolol (merelaksasikan kandung kemih dan
jaringan prostat)
Urinary retention care
1. Memasang kateter urine
2. Monitor intake and output
3. Diagnosa 3: Risiko infeksi dengan factor resiko penyakit kronik (BPH)
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam risiko infeksi
berkurang.
NOC:
No
1
2
3

Infection Saverity
Fever
Urine culture colonization
White
blood
count
elevation

Intervensi : Infection Control


1. Pertahankan teknik aseptif
2. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan.
3. Gunakan katerter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung kemih.
4. Tingkatkan intake nutrisi.
5. Berikan terapi antibiotic
6. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan local.
7. Ajarkan klien dan keluarga tanda dan gejala infeksi.

DAFTAR PUSTAKA

Birowo P, Rahardjo D. Pembesaran Prostat Jinak. Jurnal Kedokteran & Farmasi


Medika. 2002. No 7 tahun ke XXVIII.
Edwards JE, Moore RA. Finasteride in the treatment of clinical benign prostatic
hyperplasia: a systematic review of randomised trials. BMC Urol 2002;2:14.
Graber,Mark A. 2006.Buku saku dokter keluarga.Ed.3. jakarata : ECG
K. Abbas; Nelson Fausto, D; Richard Mitchell, (2005, May). Robbins Basic Pathology
(7th ed.). Saunders.
Kim Hyung. Urology. Brunicardi. Schwartz Principles of Surgery. 8th edition. USA :
McGrow-Hill. 2004
Nurusalam. 2006. Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika
Piere A. grace & Neil R. borley. 2006. At a Glane ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta:
Erlangga
Rachman M, Tsukamoto T, Masumori N, Crane MM. Change in international prostate
symptom score, prostrate-specific antigen and prostate volume in patients with
benign prostatic hyperplasia followed longitudinally. Int J Urol 2009;14:321-4.
Roehrborn, Mcconnell. Benign Prostatic Hyperplasia. Wein. Campbell-Walsh Urology.
9th edition. Philadelphia : Saunders. 2007
Sjamsuhidayat. (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C., Brenda G. Bare. 2002. BUKU AJAR Keperawatan Medikal
Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Vol 2. Jakarta : EGC.
Young, Barbara, et al. Wheater's Functional Histology: A Text and Colour Atlas, 5th ed.
New York: Churchill Livingstone, 2006.
Yuwana R. Permasalahan Bedah Urologi pada Manula. Semarang : UPG Ilmu Bedah
FK Undip.
Williams, Linda S. dan Paula D. Hopper. 2007. Understanding Medical Surgical
Nursing Third Edition. F.A Davis
Williams. Urology. Doherty, Way. Current Surgical Diagnosis and Treatment. 12th
edition. USA : McGrow-Hill. 2006

Anda mungkin juga menyukai