Disusun oleh:
Putu Eka Prayitna Devi
150070300011043
Kelompok 3
2. ETIOLOGI
Etiologi PIVH bervariasi dan pada beberapa pasien tidak diketahui. Tetapi menurut
penelitian didapatkan :
a. Hipertensi, aneurisma bahwa PIVH tersering berasal dari perdarahan hipertensi
pada arteri parenkim yang sangat kecil dari jaringan yang sangat dekat dengan
sistem ventrikuler.
b. Kebiasaan merokok dan Alkoholisme
Dari studi observasional dilaporkan meningkatnya kejadian stroke perdarahan
pada pasien merokok dan konsumsi alkohol. Kandungan (zat) yang terkandung
dalam rokok, terutama nikotin dapat menyebabkan penurunan elastisitas dinding
vaskuler. Konsumsi alkohol dengan jumlah banyak maupun sedikit namun dalam
jangka waktu yang lama akan berefek pada sistem kardiovasluler, gangguan yang
mungkin muncul pada sistem jantung diantaranya adalah berhubungan dengan
fungsi fisiologis jantung, yang tersering diantaranya adalah fungsi sebagai
pompa darah, sedangkan pada sistem vaskuler, konsumsi alkohol dapat
mengganggu lipid profile yang kedepannya akan mengakibatkan gangguan pada
lemak di vaskuler yang nantinya dapat menyebabkan penyempitan vaskuler.
c. Etiologi lain yang mendasari PIVH di antaranya adalah anomali pembuluh dara
hserebral, malformasi pembuluh darah termasuk angioma kavernosa dan
aneurisma serebri merupakan penyebab tersering PIVH pada usia muda. Pada
orang dewasa, PIVH disebabkan karena penyebaran perdarahan akibat
hipertensiprimer dari struktur periventrikel.
3. FAKTOR RESIKO
a. Usia tua
b. Kebiasaan merokok
c. Alkoholisme
d. Tekanan darah lebih dari 120 mmHg.
e. Lokasi dari Intracerebral hemoragik primer.
f. Perdarahan yang dalam, pada struktur subkortikal lebih beresiko menjadi
intraventrikular hemoragik, lokasi yang sering terjadi yaitu putamen (35-50%),
lobus(30%), thalamus (10-15%), pons (5%-12%), caudatus (7%) dan serebelum
(5%). Adanya perdarahan intraventrikular meningkatkan resiko kematian yang
berbanding lurus dengan banyaknya volume IVH.
4. PATOFISIOLOGI
Hipertens
i abnormalitas formasi
vaskuler otak
Tek. Vaskuler melebihi tek. Menyebabkan vaskuler mudah
Maksimal vaskuler otak ruptur karena formasi vaskuler
sendiri
5. GEJALA
Pada dasarnya gejala dari IVH sama dengan gejala pada perdarahan intraserebral
lainnya, seperti sakit kepala mendadak, mual dan muntah, perubahan/penurunan
status mental atau level kesadaran.
a. Sakit kepala mendadak
b. Kaku kuduk
c. Muntah
d. Letargi.
e. Penurunan Kesadaran.
f. Gangguan atau penurunan fisiologis pada bagian tubuh tertentu misal pada
anggota gerak.
6. PROGNOSA
Prognosa IVH akan sangat buruk apabila merupakan hasil dari perdarahan
intraserebral yang disebabkan karena hipertensi, dan prognosa akan bertambah buruk
apabila hydrocephalus mengikuti. Hal ini dapat menyababkan peningkatan TIK dan
dapat menyebabkan hernia otak. Darah yang berada pada ventrikular otak dapat
menggumpal dan akan menyumbat aliran dari CSF sehingga dapat terjadi
hydrochepalus yang dapat dengan cepat meningkatkan TIK dan dapat menyebabkan
kematian. Kemudian, produk-produk pemecahan bekuan darah dapat merangsang
pelepasan agen-agen inflamsi yang dapat merusak granulasi dari arachnoid,
menghalangi reabsorbsi CSF dan dapat menyebabkan hydrochepalus permanen.
7. KOMPLIKASI
a. Hidrosefalus (Octaviani, 2011)
Hal ini merupakan komplikasi yang sering dan kemungkinan disebabkan karena
obstruksi cairan sirkulasi serebrospinal atau berkurangnya absorpsi meningeal.
Hidrosefalus dapat berkembang pada 50% pasien dan berhubungan dengan
keluaran yang buruk.
Terapi hidrosefalus pada pasien dilanjutkan dengan konsul ke bagian bedah saraf
dengan rencana tindakan VP shunt cito. Ventriculoperitoneal (VP) Shunt merupakan
tehnik operasi yang paling popular untuk tatalaksana hidrosefalus, yaitu LCS
dialirkan dari ventrikel otak ke rongga peritoneum. Sebuah studi tentang
hidrosefalus menunjukkan rasio kesuksesan perbaikan gejala dan tanda klinis pada
50%- 90% penelitian pada anjing yang mendapatkan tatalaksana
ventriculoperitoneal shunting.
b. Perdarahan ulang (rebleeding) (Octaviani, 2011)
Dapat terjadi setelah serangan hipertensi. Tindakan medis untuk mencegah
perdarahan ulang setelah SAH dari AHA Guideline 2009: 1). Tekanan darah
sebaiknya dimonitor dan dikontrol untuk mengimbangi risiko stroke, hipertensi yang
berhubungan dengan perdarahan ulang, dan mempertahankan CPP (cerebral
perfusion pressure). 2). Tirah baring saja tidak cukup untuk mencegah perdarahan
ulang setelah SAH. Dapat dipertimbangkan strategi tatalaksana yang lebih luas,
bersamaan dengan pengukuran yang lebih definitif. 3). Meskipun studi yang lalu
menunjukkan keseluruhan efek negatif dari antifibrinolitik, bukti sekarang
menyarankantatalaksana awal dengan pemberian antifibrinolitik jangka pendek
dilanjutkan dengan penghentian antifibrinolitik dan profilaksis melawan hipovolemi
dan vasospasme
c. Vasospasme. (Octaviani, 2011)
Beberapa laporan telah menyimpulkan hubungan antara intraventricular
hemorrhage (IVH) dengan kejadian dari vasospasme serebri, yaitu: 1). Disfungsi
arteriovena hipotalamik berperan dalam perkembangan vasospasme intrakranial.
2). Penumpukkan atau jeratan dari bahan spasmogenik akibat gangguan dari
sirkulasi cairan serebrospinal. Rekomendasi tatalaksana vasospasme serebri dari
AHA Guideline pada SAH, yaitu: Nimodipin oral diindikasikan untuk mengurangi
keluaran yang buruk yang berhubungan dengan SAH aneurisma (I, A). Nilai dari
pemberian antagonis kalsium secara oral atau intravena masih belum jelas. Dosis
oral yang dianjurkan adalah 60 mg setiap 6 jam.
8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Diagnosis klinis dari PIVH sangat sulit dan jarang dicurigai sebelum CT scan meskipun
gejala klinis menunjukkan diagnosis mengarah ke IVH, namun CT Scan kepala
diperlukan untuk konfirmasi. CT sangat sensitif dalam mengidentifikasi perdarahan akut
dan dipertimbangkan sebagai baku emas. Rekomendasi AHA Guideline 2010 untuk
pencitraan pada kasus stroke adalah:
a. Computed Tomography-Scanning (CT- scan).
CT Scan merupakan pemeriksaan paling sensitif untuk PIS (perdarahan intra
serebral/ICH) dalam beberapa jam pertama setelah perdarahan. CT-scan dapat
diulang dalam 24 jam untuk menilai stabilitas. Bedah emergensi dengan
mengeluarkan massa darah diindikasikan pada pasien sadar yang mengalami
peningkatan volume perdarahan.
b. Magnetic Resonance Imaging (MRI).
MRI dapat menunjukkan perdarahan intraserebral dalam beberapa jam pertama
setelah perdarahan. Perubahan gambaran MRI tergantung stadium disolusi
hemoglobin oksihemoglobin deoksihemoglobin methemoglobin - ferritin dan
hemosiderin.
c. CT angiografi, CT venografi, contrast-enhanced CT, contrast-enhanced MRI,
magnetic resonance angiography, and magnetic resonance venography dapat
digunakan untuk mengevaluasi lesi struktural yang mendasari, termasuk malformasi
pembuluh darah dan tumor jika terdapat kecurigaan klinis atau radiologis.
c. Fungsi saraf kranial III, IV, VI (N. Okulomotoris, Troklear dan Abdusen)
Pada mata diobservasi apakah ada odema palpebra, hiperemi konjungtiva, dan
ptosis kelopak mata
Pada pupil diperiksa reaksi terhadap cahaya, ukuran pupil, dan adanya
perdarahan pupil
Pada gerakan bola mata diperiksa enam lapang pandang (enam posisi
cardinal) yaitu lateral, lateral ke atas, medial atas, medial bawah lateral bawah.
Minta klien mengikuti arah telunjuk pemeriksa dengan bolamatanya
a. Refleks patella
Pasien berbaring terlentang, lutut diangkat ke atas sampai fleksi kurang lebih 30 0.
Tendon patella (ditengah-tengah patella dan tuberositas tibiae) dipukul dengan
refleks hammer. Respon berupa kontraksi otot quadriceps femoris yaitu ekstensi
dari lutut.
b. Refleks biceps
Lengan difleksikan terhadap siku dengan sudut 90 0 , supinasi dan lengan bawah
ditopang pada alas tertentu (meja periksa). Jari pemeriksa ditempatkan pada
tendon m. biceps (diatas lipatan siku), kemudian dipukul dengan refleks hammer.
Normal jika timbul kontraksi otot biceps, sedikit meningkat bila terjadi fleksi
sebagian dan gerakan pronasi. Bila hyperaktif maka akan terjadi penyebaran
gerakan fleksi pada lengan dan jari-jari atau sendi bahu.
c. Refleks triceps
Lengan ditopang dan difleksikan pada sudut 900 , tendon triceps diketok dengan
refleks hammer (tendon triceps berada pada jarak 1-2 cm diatas olekranon).
Respon yang normal adalah kontraksi otot triceps, sedikit meningkat bila ekstensi
ringan dan hyperaktif bila ekstensi siku tersebut menyebabkanar keatas sampai
otot-otot bahu atau mungkin ada klonus yang sementara.
d. Refleks achilles
Posisi kaki adalah dorsofleksi, untuk memudahkan pemeriksaan refleks ini kaki
yang diperiksa bisa diletakkan / disilangkan diatas tungkai bawah kontralateral.
Tendon achilles dipukul dengan refleks hammer, respon normal berupa gerakan
plantar fleksi kaki.
e. Refleks abdominal
Dilakukan dengan menggores abdomen diatas dan dibawah umbilikus. Kalau
digores seperti itu, umbilikus akan bergerak keatas dan kearah daerah yang
digores.
Reflek Patologis
a. Babinski
Stimulus : penggoresan telapak kaki bagian lateral dari posterior ke anterior.
Respons : ekstensi ibu jari kaki dan pengembangan (fanning) jari jari kaki.
b. Chaddock
Stimulus : penggoresan kulit dorsum pedis bagian lateral, sekitar malleolus
lateralis dari posterior ke anterior. Respons : seperti babinski.
c. Oppenheim
Stimulus : pengurutan crista anterior tibiae dari proksimal ke distal. Respons :
seperti babinski.
d. Gordon
Stimulus : penekanan betis secara keras, Respons : seperti babinski.
e. Schaeffer
Stimulus : memencet tendon achilles secara keras. Respons : seperti babinski.
f. Gonda
Stimulus : penekukan ( planta fleksi) maksimal jari kaki keempat. Respons :
seperti babinski.
g. Hoffman
Stimulus : goresan pada kuku jari tengah pasien. Respons : ibu jari, telunjuk dan
jari jari lainnya berefleksi.
h. Tromner
Stimulus : colekan pada ujung jari tengah pasien. Respons : seperti Hoffman.
13. TATALAKSANA
a. CT Scan kepala sangat sensitif dalam mengidentifikasi
perdarahan akut dandipertimbangkan sebagai gold standard.
b. Terapi konvensional PIVH berpusat pada tatalaksana hipertensi dan
peningkatantekanan intrakranial bersamaan dengan koreksi koagulopati dan
mencegah komplikasiseperti perdarahan ulang dan hidrosefalus.
Tatalaksana peningkatan TIK adalah dengan :
a. Resusitasi cairan intravena
b. Elevasi kepala pada posisi 300
c. Mengoreksi demam dengan antipiretik.
d. Usaha awal untuk fokus menangani peningkatan tekanan intrakranial (TIK) sangat
beralasan, karena peningkatan tekanan intrakranial yang berat berhubungan
dengan herniasi dan iskemi. Rasio mortalitas yang lebih rendah konsisten
ditemukan pada kebijakan terapi dengan: 1) Penggunaan keteter intraventrikuler
untuk mempertahankan TIK dalam batas normal dan 2) Usaha untuk
menghilangkan bekuan darah dengan menyuntikkan trombolitik dosis rendah.
Pengkajian Keperawatan
Pengkajian adalah merupakan tahap awal dari proses perawatan yaitu suatu pendekatan
yang sistematis dimana sumber data, diperoleh dari klien, keluarga klien.
1. Anamnesia/Identitas.
Meliputi : nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, agama, bangsa/suku, pendidikan,
bahasa yang digunakan dan alamat rumah.
2. Keluhan Utama.
Biasanya pada klien mengeluh sakit kepala, kadang-kadang nyeri, awalnya bisa
pada waktu melakukan kegiatan.
3. Riwayat Penyakit Sekarang.
Klien biasanya datang dengan keluhan pusing yang sangat, parase pada extrimitis,
yang didapat sesudah bangun tidur baik sinistra atau dextra, gangguan fokal,
menurunnya sensasi sensori dan tonus otot biasanya tanpa disertai kejang,
menurunnya kesadaran seperti CVA Bleeding.
4. Riwayat Penyakit Dahulu.
Pada klien dengan CVA didapat hipertensi, aktivitas dan olahraga yang tidak adekuat,
kadang klien juga cidera kepala di masa mudah dan punya riwayat DM.
5. Riwayat Kesehatan Keluarga.
Dari pihak keluarga resesif mempunyai riwayat DM dan hipertensi atau punya
anggota keluarga yang punya atau pernah mengalami CVA Bleeding maupun infark
6. Riwayat Kesehatan Lingkungan.
Resiko tinggi terjadi CVA berada pada lingkungan yang kurang sehat seperti gizi
yang jelek, aktivitas yang kurang adekuat dan pola hidup yang kurang sehat
7. Riwayat Psikososial.
Riwayat psikososial sangat berpengaruh dalam psikologi klien dengan timbul gejala-
gejala yang dialami dalam proses penerimaan terhadap penerimaan terhadap
penyakitnya.
8. Pola Sehari-hari :
1. Pola Nutrisi dan Metablisme
Biasanya pada klien dengan CVA makanan yang disukai atau tidak disukai oleh
klien, mual muntah, penurunan nafsu makan sehingga mempengaruhi status
nutrisi
2. Pola Eliminasi.
Kebiasaan dalam BAB didapatkan ,sedangkan kebiasaan BAK akan terjadi
retensi, konsumsi cairan tidak sesuai dengan kebutuhan.
DAFTAR PUSTAKA