Reflektif
Fugitif
Kombatif
Terlibat
Condong ke depan
Tubuh terbuka
Lengan terbuka
Tangan terbuka
Mendengarkan
Kepala dimiringkan
Banyak kontak mata
Mengangguk
Sering berkedip
Bosan
Menatap langit-langit
Postur merosot
Mencoret-coret
Mengetuk-ketukkan kaki
Biarkan Saya
Bicara
Jari diketukketukkan
Kaki diketukketukkan
Menatap
Berhasrat
(Posisi lari cepat)
Kaki terbuka
Kaki di bawah kursi
Berjinjit
Condong ke depan
Mengevaluasi
Menyesap gelas atau
pensil
Memukul-mukul dagu
Melihat ke atas dan ke
kanan
Kaki disilangkan
(Pergelangan kaki pada
lutut)
Agresif
Condong ke depan
Jari menunjuk
Tinju dikepalkan
Penuh Perhatian
(Berdiri)
Lengan di belakang
punggung
Penolakkan
Duduk/bergerak mundur
Lengan dilipat
Kaki terbuka lebar
Kaki terbuka (paha pada
lutut)
Kepala menunduk
Cemberut
Menantang
(Berdiri)
Tangan di pinggang
Cemberut
Membela Diri
(Berdiri)
Kaki menunjuk
Tangan mengepal
Cemberut
Berbohong
Menyentuh wajah
Tangan menutupi
mulut
Menarik telinga
Mata melihat ke
bawah
Melihat sekilas
Duduk tidak tenang
Menunduk dan
melihat ke samping
bersalah, rasa malu atau memberitahu kebohongan; (4) menurunkan alis, indikasi
perselisihan, keraguan atau ketidakpastian. Ekman (1980) mengungkapkan,
kemarahan dapat dinyatakan dengan cara menurunkan alis dan ditarik bersamasama, menatap keras dan bibir erat ditekan bersama-sama; (5) menaikkan alis,
memperkuat tatapan yang cenderung mendominasi, alis tinggi dengan dahi berkerut
sering menunjukkan sikap skeptis atau kesedihan; (6) menunjukkan dominasi,
memperlihatkan pengaruh kekuasaan, atau kontrol atas sesuatu. Umumnya merujuk
pada domain yang sama dalam komunikasi: ketegasan, otoritas, pengawasan,
paksaan, kepatuhan, dominasi, kekuatan, pengaruh sosial, dan status (Berger,
1985); (7) menyilangkan tangan, menunjukkan sikap dingin; (8) tangan memegang
belakang kepala, mengisyaratkan perasaan superioritas, dominasi, dan sikap serba
mengetahui segala hal; (9) bertolak pinggang, menunjukkan pose agresif; dan
(10) bertopang dagu, isyarat terkejut, bingung atau ketidakpastian.
Proxemics atau proximal, merujuk pada "persepsi dan penggunaan ruang."
Ruang informal yang ditandai oleh zona pribadi, bervariasi secara individual, dan
keadaan. Penggunaan setiap spasial ini mempunyai hubungan yang dapat
menghambat atau meningkatkan komunikasi.
Terdapat: 1) zone intim (intimate distance), jaraknya 6-18 inchi; 2) zone
pribadi (personal distance), jaraknya 1,5-4 kaki; 3) zone sosial (social distance),
jaraknya 4-12 kaki lebih; dan 4) zone publik atau zone umum (public zone) ,
jaraknya 12 kaki lebih.
Kewilayahan (territoriality) berkaitan dengan pengakuan hal-hal bersifat
fisik sebagai milik pribadi, misalnya saja meja saya (di kampus); kamar saya
(padahal mengontrak); rumah saya (asrama); tetangga saya; negara saya; dan lainlain. Kita akan merasa aman kalau berada dalam ruang pribadi (personal space:
proximal & territoriality). Sebaliknya kita merasa terancam kalau keluar dari ruang
pribadi kita.
Beberapa teknik dalam komunikasi nonverbal, di antaranya ialah:
1. Actions speak louder than words, memfasilitasi kesadaran dan persepsi
pemahaman diri. Kegiatannya, menginterpretasi komunikasi nonverbal klien.
2. Nonverbal exaggeration or verbal repetition, mengkonfrontasi komunikasi
verbal dan nonverbal klien secara langsung dan tegas. Kegiatannya membantu
klien untuk mengungkap ulang pernyataan yang belum jelas atau tidak lengkap.
3. Breaking in, memilah-milah dan memilih-milih sesuatu yang dinyatakan oleh
klien. Kegiatannya meminta klien untuk mengeksplorasi perasaan mereka,
apakah ia merasa menjadi ingroup atau outgroup.
4. Meeting someone halfway, berkomunikasi secara nonverbal. Kegiatannya
membagi kelompok dua kelompok dengan posisi duduk yang berbeda dalam
satu ruangan tapi saling berhadapan. Tiap anggota dari kedua kelompok
diminta untuk berkumpul di satu titik, bergabung, tanpa berkomunikasi secara
verbal. Kemudian konselor meminta tiap anggota untuk mengeksplorasi
pengalaman atas kegiatan tersebut.
5. Group sociogram, memfokuskan komunikasi, hubungan, dan attachment.
Kegiatannya mengajak anggota kelompok untuk berpartisipasi dalam pengisian
menerus dilihatnya. Bantu klien melihat apakah dia memilih untuk membiarkan
kejadian itu mendominasi hidupnya, atau melupkannya.
12. Menyatukan diri, membantu klien melihat bagaimana dia mengkritisi dirinya
sendiri. Deskripsi, tanah liat yang dipegang oleh konselor mewakili klien.
Ambil sedikit demi sedikit dengan memberi kesan pada klien bahwa bagian
pertama mewakili bagaimana kritik ibu yang mengoyakkannya, kedua
mewakili permasalahannya dengan bosnya dan yang ketiga menyatakan
perasaan negatifnya tentang dirinya sendiri. Setelah beberapa diskusi
kumpulkan beberapa gumpalan tersebut dan bentuk kembali secara
keseluruhan. Bantu klien melihat bahwa dia dapat membuat pilihan untuk
menyatukan dirinya sendiri.
Metafora adalah dimensi yang sangat diperlukan dalam pemahaman
manusia dan pengalamannya terkait cara berpikir, membuat alasa, atau merasakan,
sehingga dapat meningkatkan efektivitas seorang terapis (Wickman, 1999).
Pemahaman konsep metafora memungkinkan konselor untuk menyatu dengan
klien melalui peningkatan hubungan dan empati, struktur intervensi terapeutis yang
lebih konsisten dalam kerangka kerjanya (Wickman, Daniels, putih, & Fesmire,
1999: 393). Teori metafora kontemporer menyediakan konselor dengan lebih
lengkap dan akses yang cepat kepada konsep dunia klien. Terapis mencoba untuk
memahami pengalaman klien tentang ide-ide abstraknya (seperti hubungan) yang
dipahami dalam hal pengalaman yang lebih konkret (seperti perjalanan).
Tidak ada alat yang lebih baik untuk mengembangkan kesadaran diri selain
belajar menginterpretasi bahasa tubuh. Kita dapat membaca ribuan pesan dari
ekspresi wajah sendiri.
Metafora adalah dimensi yang sangat diperlukan untuk memahami manusia
dan pengalamannya serta sangat penting untuk memahami cara berpikirnya, alasan,
perasaan, membayangkan, berkomunikasi, percaya, dan berhubungan.
B. Pengayaan
Dalam proses bimbingan dan konseling, jelas bahwa komunikasi
memegang peranan yang sangat signifikan dan menjadi faktor determinan karena
pada prosesnya bimbingan dan konseling itu sendiri inheren sebagai proses
komunikasi interpersonal. Berdasarkan hal tersebut, penguasaan terhadap bentuk
keterampilan komunikasi bagi konselor perlu ditingkatkan secara lebih mendalam.
Menurut Adler & Rosenfeld (1986) menjelaskan hal-hal yang berkaitan
dengan komunikasi nonverbal, sebagai bagian dari suatu proses komunikasi.
1. Ciri-ciri Komunikasi Nonverbal
hampir semua bagian tubuh sensitif sekali untuk disentuh. Apabila kita menyentuh
bagian tertentu dari orang lain, dengan cara tertentu, maka orang lain akan
memandang sentuhan kita itu sebagai ungkapan perasaan kita. Sentuhan sama pada
bagian yang sama yang dilakukan oleh anak, orang tua, teman, akan memberikan
tafsiran yang berbeda.
Suara (voice) juga dapat dipergunakan sebagai saluran untuk
mengungkapkan perasaan tertentu. Nada, percepatan, intonasi, volume, tekanan
(para linguistik) dapat dikontrol untuk mengekspresikan perasaan kita.
Proximal, berkaitan bagaimana kita menggunakan ruangan di sekitar kita
untuk kepentingan saluran perasaan kita. Berkaitan dengan ini, Edward T. Hall
(1969) seorang Antropolog telah melakukan serangkaian penelitian tentang jarak
yang biasa dipergunakan seseorang pada setiap harinya. Dari penelitian itu
diperoleh informasi bahwa manusia membagi ruang pribadinya (personal space)
menjadi empat zone. Keempat zone yang dimaksud adalah: 1) zone intim (intimate
distance); 2) zone pribadi (personal distance), 3) zone sosial (social distance); dan
4) zone publik atau zone umum (public zone).
Kewilayahan (territoriality) berkaitan dengan diakuinya hal-hal yang
bersifat fisik sebagai milik pribadi kita, misalnya saja meja saya (di kampus);
kamar saya (padahal mengontrak); rumah saya (asrama); tetangga saya; negara
saya; dan lain-lain.
Kita akan merasa aman kalau kita berada dalam ruang pribadi (personal
space: proximal & territoriality) kita. Sebaliknya kita merasa terancam kalau kita
keluar dari ruang pribadi kita.
Kalau kita keluar dari ruang pribadi kita, secara psikologis kita akan
mengalami hambatan (psychological barrier), dan bahkan kita pun akan
mengalami hambatan pula dalam bertindak dan bertingkah laku (behavioral
barrier).
Dalam proses komunikasi tentu saja kita harus senantiasa peduli dengan
personal pribadi kita dan orang lain. Karena kalau orang atau kita dilanggar ruang
pribadinya, kita atau orang lain akan menolak untuk berkomunikasi.
Penampilan fisik (physical attractiveness) merupakan hal yang besar
pengaruhnya dalam proses komunikasi. Beruntung sekali mereka yang cantik dan
berpenampilan menarik. Karena mereka lebih efektif dalam mempengaruhi orang.
Karena itu untuk keberhasilan komunikasi kita, hendaknya secara fisik kita tampil
semenarik mungkin. Kita dapat menggunakan dan mengontrol posture, gesture, dan
ekspresi wajah untuk kepentingan penampilan kita.
Cara berpakaian (clothing) menggambarkan sesuatu tentang orang itu, dan
bahkan sampai batas tertentu menggambarkan keadaan pribadinya. Dari beberapa
penelitian yang dilakukan hubungan antara cara berpakaian dengan kepribadian
besar sekali.
Lingkungan (environment) termasuk di dalamnya tata ruang, model
bangunan, dekorasi, besar pengaruhnya dalam proses komunikasi. Dengan
mengontrol dan mengatur ruangan kita dapat mengekspresikan berbagai maksud
dan perasaan. Begitu juga kita dapat memahami perasaan dan kepribadian orang
lain dengan memahami keadaan ruangan, misalnya ruang tamunya.
C. Komentar terhadap konsep-konsep pokok
Komunikasi terjadi di mana saja dan banyak menyentuh berbagai dimensi
kehidupan manusia. Hasil riset (Adler & Rosenfeld, 1986) melaporkan, bahwa 70%
waktu manusia dipergunakan untuk berkomunikasi sehingga komunikasi dapat
menentukan kualitas kehidupan manusia.
Di satu sisi, komunikasi yang dilakukan manusia dapat menciptakan suatu
keadaan saling mengerti, menumbuhkan ikatan persahabatan, persaudaraan,
tercipta kasih sayang, terjadi transfer ilmu pengetahuan, dan lain-lain. Di sisi lain,
dengan komunikasi tercipta juga permusuhan, perpecahan, kebencian, dan lain-lain.
Terkait dengan proses pemberian bantuan, makna pemberian bantuan
Strupp (Natawidjaja, 2009: 36) mengemukakan:
Konseling merupakan satu jenis layanan yang merupakan bagian terpadu dari
bimbingan. Konseling dapat diartikan sebagai hubungan timbal balik antara dua
orang individu, dimana yang seorang (yaitu konselor) berusaha membantu yang
lain (yaitu konseli) untuk mencapai pengertian tentang dirinya sendiri dalam
hubungannya dengan masalah-masalah yang dihadapinya pada saat ini yang
mungkin berkaitan dengan masalah di masa lalu, dan yang mungkin dihadapinya
pada waktu yang akan datang. Kemudian, psikoterapi dapat diartikan sebagai
suatu proses antarpribadi yang dirancang untuk membuahkan perubahan
perasaan, kognisi, sikap dan perilaku yang mengganggu individu yang mencari
bantuan dari seorang profesional yang terlatih
Analog dengan pendapat di atas, Natawidjaja (2009: 7) menjelaskan
karakteristik konteks hubungan dalam layanan konseling sebagai berikut:
., hubungan yang terjadi dalam konseling bukan sekedar hubungan
komunikasi yang bersifat superfisial, melainkan melibatkan pengungkapan
aspek-aspek yang mungkin sangat pribadi sifatnya sehingga memerlukan sikap
saling percaya di antara pihak-pihak yang terlibat
Se
l
Helper
Interview
(the relationship)
Helpee
Feelings
es
nc ns
rie tio
pe cta s
Ex pe lem
Ex rob
P
Ex
Ex per
pe ien
Pr cta ces
ob tio
le ns
m
s
fP
e
N r ce
Va eed ptio
lu s n
es
n
tio
ep
rc
Pe s
lf ed
Se Ne ues
l
Va
Feelings
Gambar 2: Hubungan antara Konselor dengan Konseli dalam Proses Pemberian Bantuan
masalah konseli dengan menggunakan keahlian konselor. Dalam hal ini, relasi
menekankan kecenderungan afektif karena relasi itu biasanya diartikan sebagai
pernyataan mutu emosi dari suatu interaksi.
Dari gambar di atas juga tampak, bahwa sangat terbuka bagi seorang
konselor untuk memperhatikan bahasa tubuh yang ditampilkan oleh konseli di saat
berkomunikasi. Bila dikaitkan dan dibandingkan antara komunikasi nonverbal
dengan komunikasi verbal, komunikasi nonverbal memiliki fungsi: 1) mengulang
pesan verbal (repeating); 2) pengganti kata-kata (substituting); 3) pelengkap pesan
verbal (complementing); 4) memberi penekanan dan memperjelas (accenting); serta
5) mengatur verbal (contradicting). Dalam kenyataan sebenarnya tidak dapat
memilih-milih secara eksak antara pesan verbal dengan pesan nonverbal, hal ini
terjadi pada saat kita mengirimkan pesan verbal selalu disertai oleh pesan
nonverbal juga.
Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan pemberian bantuan
melalui relasi di antaranya ialah dimensi karakteristik konselor. Hasil rangkuman
dari National Vocational Guidance Association dalam Shertzer dan Stone (1971),
Hamrin dan Paulson, Council of Student Personnel Association in Higher School,
dan Association for Counselor Education & Supervision (Syamsu Yusuf dan
Juntika, 2005: 44) dan Standar Kompetensi Konselor Indonesia (2007),
mengungkapkan bahwa seorang konselor atau calon konselor minimal harus
mempunyai karakteristik yang baik dalam hal: 1) kepercayaan diri, 2) berminat
membantu orang lain, 3) sabar, 4) sensitif terhadap reaksi dan sikap orang lain, 5)
berkomitmen terhadap nilai manusiawi individu, 6) bersikap terbuka, dan 7)
emosinya stabil, serta 8) mempunyai kepercayaan terhadap kemampuan individu
yang dibantunya.
Pendapat ini mengimplikasikan tentang pentingnya kualifikasi seorang
konselor yang bermutu. Apalagi dalam konteks globalisasi sekarang yang penuh
dengan persaingan, wacana dan isu tentang kualitas suatu profesi perlu menjadi
kepedulian, terlebih jika menyangkut kualitas kinerja suatu profesi pemberi
bantuan, seperti halnya konselor sekolah. Dapat dipahami, bahwa hanya konselor
yang berkualitas baik saja yang akan tetap bertahan serta bermanfaat secara
signifikan terhadap pihak yang dilayani. Artinya bahwa semakin berkualitas kinerja
seorang konselor maka semakin banyak atau meningkat pula masyarakat pengguna
yang merasa membutuhkan konselor tersebut sebab masyarakat pengguna
memperoleh manfaat yang memuaskan atas pelayanan profesi tersebut.
Selanjutnya, Jacobs, Masson, Harvill (2012), mengemukakan 14 teknik
yang perlu dikuasai oleh seorang konselor, sebagai pemahaman tentang nilai dan
kegunaan tiap latihan, yang diharapkan dapat akan membantu membuat pilihan
yang tepat. Adapun ke-14 jenis latihan kelompok tersebut ialah: (1) menulis
(written), (2) gerak (movement), (3) lingkaran (rounds), (4) dyad dan triad, (5)
creative props, (6) seni dan kerajinan tangan (arts and crafts), (7) fantasi, (8)
membaca bebas/umum, (9) umpan balik, (10) keper-cayaan (trust), (11)
experiential, (12) dilema moral, (13) keputusan kelompok, dan (14) sentuhan
(touching).
Ke-14 teknik ini dalam beberapa contoh latihan ini dapat dipertukarkan
dalam hal tujuan dan kegunaannya, ada kalanya suatu latihan lebih berguna
dibandingkan lainnya.
D. Rekomendasi untuk aplikasi konsep-konsep itu secara realistik dalam
pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling (BK) di sekolah berdasarkan
etika profesional
Sebagai salah satu modus layanan bimbingan dan konseling di sekolah,
strategi kelompok sampai saat ini menjadi pilihan yang dianggap lebih efektif
penggunaannya mengingat keterbatasan ruang, tempat, dan waktu.
Rochman Natawidjaja (2009) menegaskan, bahwa:
Mengingat pentingnya layanan konseling dalam situasi kelompok itu, maka
setiap konselor perlu menguasai teknik dan prosedur konseling kelompok. Untuk
dapat menguasai teknik dan prosedur konseling kelompok itu, seorang konselor
perlu menguasai prinsip teoretis mengenai konseling kelompok. Ini berarti bahwa
seorang konselor harus menguasai konsep konseling pada umumnya, teknik dan
prosedur konseling individual, dasar-dasar teoretis mengenai proses-proses
kelompok, hakekat kelompok terutama kelompok kecil dasar-dasar
komunikasi antar individu. Semua kemampuan mengenai hal-hal di atas
merupakan dasar bagi pengembangan kemampuan melaksanakan konseling
kelompok.
Di samping itu, seorang konselor perlu pula mengetahui dan menguasai
berbagai pendekatan dalam melakukan konseling pada umumnya dan konseling
kelompok pada khususnya. Dengan pengetahuan dan penguasaan pendekatanpendekatan itu, konselor dapat memilih cara serta prosedur konseling mana yang
paling tepat digunakannya untuk membantu konseli. Perlu diingat bahwa dari
sekian banyak pendekatan tidak ada satu pun yang paling baik untuk segala situasi.
Yang ada yaitu pendekatan yang paling tepat untuk menangani suatu masalah
khusus. Kekhususan ini sangat tergantung kepada berbagai faktor, di antaranya
masalah yang dihadapi oleh konseli, keadaan dan pribadi konseli sendiri, pribadi
dan kemampuan konselor, dan suasana hubungan antara konseli dan konselor dan
belakang sosial dalam berbagai situasi. Seorang komunikator tahu saat yang tepat
untuk memberi nasihat, memberi dorongan, memperjelas pernyataan atau bahkan
untuk dalam mendengarkan.
Bertanggung jawab kepada penerima pesan, meliputi usaha untuk selalu
datang tepat pada waktu yang disepakati, selalu meluangkan dan mengutamakan
waktu untuk kepentingan komunikasi.
Untuk tercapainya kegiatan konseling filosofis (M.D. Dahlan, 2004)
menekankan perlunya penciptaan nuansa dialogis antara konselor dengan klien
dalam hubungan aku-kamu. Tiap yang terlibat, dihargai sebagai pribadi, yang
memiliki kecerdasan, harga diri dan kedalamannya. Hubungan tersebut
menguntungkan klien yang membawa klien ke arah yang lebih baik, sesuai dengan
permasalahan yang dihadapinya. Lebih lanjut ditegaskan, bahwa para konselor
filosofis banyak yang menggunakan dialog ala Socrates yang pada dasarnya
menuntut klien memberikan jawaban untuk mempertajam pola pikir mereka
tentang topik tertentu. Filosof yang terlatih memiliki keterampilan dan mampu
menggunakan teknik untuk mengidentifikasi ruang lingkup pola pikir klien yang
mungkin tidak logis, tidak jelas dan tidak ajeg.
Se
l
Helper
Interview
(the relationship)
Helpee
Feelings
es
nc ns
rie tio
pe cta s
Ex pe lem
Ex rob
P
Ex
Ex per
pe ien
Pr cta ces
ob tio
le ns
m
s
fP
e
N r ce
Va eed ptio
lu s n
es
n
tio
ep
rc
Pe s
lf ed
Se Ne ues
l
Va
Feelings
masalah konseli dengan menggunakan keahlian konselor. Dalam hal ini, relasi
menekankan kecenderungan afektif karena relasi itu biasanya diartikan sebagai
pernyataan mutu emosi dari suatu interaksi.
Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan pemberian bantuan
melalui relasi di antaranya ialah dimensi karakteristik konselor. Hasil rangkuman
dari National Vocational Guidance Association dalam Shertzer dan Stone (1971),
Hamrin dan Paulson, Council of Student Personnel Association in Higher School,
dan Association for Counselor Education & Supervision (Syamsu Yusuf dan
Juntika, 2005: 44) dan Standar Kompetensi Konselor Indonesia (2007),
mengungkapkan bahwa seorang konselor atau calon konselor minimal harus
mempunyai karakteristik yang baik dalam hal: 1) kepercayaan diri, 2) berminat
membantu orang lain, 3) sabar, 4) sensitif terhadap reaksi dan sikap orang lain, 5)
berkomitmen terhadap nilai manusiawi individu, 6) bersikap terbuka, dan 7)
emosinya stabil, serta 8) mempunyai kepercayaan terhadap kemampuan individu
yang dibantunya.
Pendapat ini mengimplikasikan tentang pentingnya kualifikasi seorang
konselor yang bermutu. Apalagi dalam konteks globalisasi sekarang yang penuh
dengan persaingan, wacana dan isu tentang kualitas suatu profesi perlu menjadi
kepedulian, terlebih jika menyangkut kualitas kinerja suatu profesi pemberi
bantuan, seperti halnya konselor sekolah. Dapat dipahami, bahwa hanya konselor
yang berkualitas baik saja yang akan tetap bertahan serta bermanfaat secara
signifikan terhadap pihak yang dilayani. Artinya bahwa semakin berkualitas kinerja
seorang konselor maka semakin banyak atau meningkat pula masyarakat pengguna
yang merasa membutuhkan konselor tersebut sebab masyarakat pengguna
memperoleh manfaat yang memuaskan atas pelayanan profesi tersebut.
Referensi
Adler, Ronald B., and Rosenfeld, Lawrence B. (1986). Interplay: The Process of
Interpersonal Communication.
ABKIN. (2007). Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan
Bimbingan dan Konseling alam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta: Dirjen
Dikti Depdiknas.
Brammer, Lawrence M. (1979). The Helping Relationship: Process and Skills (2nd
edition). New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Englewood Cliffs.
Dahlan, M. D. (2004). Konseling Filosofis: Satu Kecenderungan Perkembangan
Konseling. Bahan Diskusi (Seminar Nasional Profesi Konselor Masa
Depan). Bandung: Program Pascasarjana dan Fakultas Ilmu Pendidikan.
Jacobs, Ed E., Masson, Robert L. , and Harvill, Riley L. (2012). Group
Counseling: Strategies and Skills (7th ed.). USA: Brooks/Cole, Cengage
Learning.
Sekolah sebagai suatu sistem sosial memerlukan iklim kondusif yang dapat
mendukung ke arah proses pembelajaran yang efektif. Penyesuaian diri peserta
didik merupakan salah satu isu penting dan menjadi tugas perkembangan sosialnya.
Pada masa ini berkembang social cognition, suatu kemampuan untuk memahami
orang lain. Menurut Tina Hayati Dahlan (2011: 5): Permasalahan yang mendasar
seringkali karena peserta didik lemah dalam daya psikologis sehingga pada saat
dihadapkan pada beragam permasalahan yang dihadapi mereka dalam
kehidupannya di sekolah, mereka seringkali mengambil cara yang destruktif
terhadap diri sendiri dan orang lain. Keefektifan individu dalam mengatasi
permasalahan dan tekanan dipengaruhi oleh daya psikologis (Cavanagh dan
Levitov, 2002: 192). Tingkat daya psikologis mempengaruhi kualitas kehidupan
seseorang (Cavanagh & Levitov, 2002: 191). Daya psikologis yang dimaksudkan
di sini ialah kemampuan seseorang untuk mengatasi tantangan, permasalahan,
hambatan dan tekanan dalam kehidupannya.
Dalam konteks kehidupan di sekolah, peserta didik yang memiliki daya
psikologis rendah akan sulit untuk mengatasi hambatan dan tantangan yang
dihadapinya. Mereka akan mengatasi permasalahannya dengan cara yang negatif
dan destruktif. Sedangkan peserta didik yang memiliki daya psikologis tinggi akan
lebih mudah mengatasi hambatan dan tantangan yang dihadapinya. Mereka mampu
mengatasi permasalahan dengan cara positif dan konstruktif. Dengan demikian,
peserta didik yang memiliki daya psikologis tinggi akan memperoleh kepuasan dan
keberhasilan dalam penyelesaian masalah sosial, pribadi, studi, perkembangan
karier, dan kehidupannya di masa yang datang. Sebaliknya, peserta didik yang
memiliki tingkat daya psikologis rendah akan merasa tertekan dan tidak akan
memperoleh kepuasan dalam penyelesaian studi, karier, dan kehidupannya di masa
yang akan datang.
Daya psikologis dibangun oleh tiga unsur yang saling berkaitan, yaitu: (1)
pemenuhan kebutuhan, (2) kompetensi intrapersonal, dan (3) kompetensi
interpersonal. Ketiga unsur ini saling berkaitan satu sama lain, serta penting bagi
berfungsinya dua unsur yang lain dan bagi unsur itu sendiri, sehingga perubahan
dalam satu unsur akan diikuti oleh perubahan dalam unsur yang lain. Apabila
kompetensi intrapersonal dan interpersonal meningkat, maka pemenuhan
kebutuhan akan meningkat pula, yang kemudian akan meningkatkan daya
psikologis, yang pada akhirnya akan menentukan kesehatan psikologis atau tingkat
keberfungsian psikologis.
Tina Hayati Dahlan (2011: 6) menegaskan:
Semakin baik kompetensi intrapersonal dan interpersonal, maka semakin tinggi
tingkat pemenuhan kebutuhan psikologis mereka, dan semakin sehat fungsi
psikologis mereka. Sebaliknya, semakin buruk kompetensi intrapersonal dan
Remaja memahami dirinya dan orang lain sebagai individu yang unik, baik
menyangkut sifat-sifat pribadi, minat, nilai-nilai maupun perasaannya.
Pemahaman ini, mendorong remaja untuk menjalin hubungan sosial yang lebih
akrab dengan lingkungan sosial (terutama teman sebaya), baik melalui jalinan
persahabatan maupun percintaan (pacaran) (Yusuf, 2008: 98).
Sejalan dengan itu, Sunaryo Kartadinata (2011: 33) menegaskan, bahwa:
Adekuasi penyesuaian diri merupakan aspek fundamental dalam proses
bimbingan dan konseling. Pendidikan pada umumnya dan bimbingan pada
khususnya bertujuan membantu individu mengembangkan suatu sistem
penyesuaian diri yang adekuat untuk memperoleh perkembangan diri yang
optimal. Perkembangan optimal berarti individu berkembang sesuai dengan
potensi dirinya, yang mengandung makna bahwa individu harus memahami
dirinya, kesempatan yang tersedia, dan melakukan pilihan yang realistik untuk
mengembangkan potensinya.
Pola penyesuaian diri adalah suatu kondisi yang terbentuk pada diri manusia;
merupakan suatu sistem yang dinamik untuk memperoleh perkembangan diri
yang optimal. Pola penyesuaian diri terbentuk melalui interaksi individu dengan
lingkungan. Ini berarti bahwa pendidikan memegang peranan penting dalam
pengembangan pola penyesuaian diri individu yang adekuat. Upaya pendidikan
dalam membantu individu mengembangkan sistem penyesuaian diri yang
adekuat berlandaskan kepada sifat-sifat manusiawi dari manusia-manusia yang
terlibat di dalamnya, terutama anak didik. Prinsip dimaksud mengandung arti
bahwa mendidik bukanlah memberi nasihat kepada anak, melainkan
mendapatkan situasi yang penuh keakraban di mana dalam situasi tersebut
terwujudnya nilai-nilai hidup dalam bentuk perilaku yang dapat memengaruhi
dan mendorong anak berbuat atas kesadaran dan kemauannya sendiri.
Dalam standar kompetensi kemandirian peserta didik pada jenjang
perguruan tinggi aspek perkembangan kematangan hubungan dengan teman
sebaya, yaitu: (1) tataran pengenalan, yaitu dapat mempelajari cara-cara membina
kerjasama dan toleransi dalam pergaulan dengan teman sebaya, (2) tataran
akomodasi, yaitu dapat menghargai nilai-nilai kerjasama dan toleransi sebagai
dasar untuk menjalin persahabatan dengan teman sebaya, (3) tataran tindakan,
yaitu mempererat jalinan persahabatan yang lebih akrab dengan memperhatikan
norma yang berlaku (ABKIN, 2007: 97).
Terdapat beberapa inisiatif pendidikan yang dirancang untuk membantu
peserta didik mencapai kompetensi kemandirian sosial yang diharapkan. Misalnya,
terapi singkat yang berfokus pada solusi (solution-focused brief therapy) atau
sering disingkat SFBT, yang dipelopori oleh Insoo Kim Berg dan Steve de Shazer,
serta praktisi SFBT berbasis sekolah dan ahli lainnya. Pendekatan ini terfokus pada
aspek-aspek utama teori SFBT, khususnya cara dimana para praktisi berfokus
solusi berpikir tentang perubahan, kapasitas klien, dan sifat resistensi klien
(OConnell dalam Palmer, 2010: 549).
Sejak dikembangkan tahun 1980-an, SFBT kemudian menjadi salah satu
alternatif pilihan bantuan yang diharapkan dapat menjadi alternatif pengobatan
jangka pendek, dengan berbagai kebutuhan atau permasalahan yang timbul di
lingkungan sekolah, dan guru bimbingan dan konseling (BK) di sekolah.
Salah satu faktor yang mendorong munculnya SFBT ialah adanya fenomena
dinamika perubahan yang terjadi dan senantiasa menuntut perhatian guru
bimbingan dan konseling (BK) memfokuskan diri pada perubahan-perubahan kecil
yang membuat perbedaan-perbedaan besar dalam kehidupan peserta didik. Apa
yang perlu dilakukan oleh guru bimbingan dan konseling (BK) atas munculnya
perubahan-perubahan kecil yang kadang-kadang sulit.
B. Tujuan
Terapi berfokus pada solusi mempunyai tujuan sebagai berikut.
1. Mengubah perilaku yang tidak sehat menjadi sehat.
2. Mengantar klien meraih kehidupan yang lebih sehat dan lebih bahagia
sepanjang kehidupannya.
3. Membantu mengidentifikasi atas perubahan-perubahan yang diinginkan
klien.
4. Membangun visi klien yang dipilih untuk masa depannya.
5. Membantu klien mengidentifikasi hal-hal yang baik untuk
kehidupannya.
6. Membantu klien membawa kesuksesan sekecil apapun ke dalam
kesadarannya.
7. Membantu klien untuk mengulang keberhasilan yang pernah diraihnya.
2.
3.
4.
5.
nilai keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, baik dalam
kehidupan pribadi, keluarga, pergaulan dengan teman sebaya, Sekolah/Madrasah,
tempat kerja, maupun masyarakat pada umumnya.; (2) memiliki sikap toleransi
terhadap umat beragama lain, dengan saling menghormati dan memelihara hak dan
kewajibannya masing-masing; (3) memiliki pemahaman tentang irama kehidupan
yang bersifat fluktuatif antara yang menyenangkan (anugrah) dan yang tidak
menyenangkan (musibah), serta dan mampu meresponnya secara positif sesuai
dengan ajaran agama yang dianut; (4) memiliki pemahaman dan penerimaan diri
secara objektif dan konstruktif, baik yang terkait dengan keunggulan maupun
kelemahan; baik fisik maupun psikis; (5) memiliki sikap positif atau respek
terhadap diri sendiri dan orang lain; (6) memiliki kemampuan untuk melakukan
pilihan secara sehat; (7) bersikap respek terhadap orang lain, menghormati atau
menghargai orang lain, tidak melecehkan martabat atau harga dirinya; (8) memiliki
rasa tanggung jawab, yang diwujudkan dalam bentuk komitmen terhadap tugas
atau kewajibannya; (9) memiliki kemampuan berinteraksi sosial (human
relationship), yang diwujudkan dalam bentuk hubungan persahabatan,
persaudaraan, atau silaturahim dengan sesama manusia; (10) memiliki kemampuan
dalam menyelesaikan konflik (masalah) baik bersifat internal (dalam diri sendiri)
maupun dengan orang lain.; (11) memiliki kemampuan untuk mengambil
keputusan secara efektif (ABKIN, 2007).
Secara garis besar usulan terapi berfokus pada solusi di sekolah ini,
meliputi hal-hal sebagai berikut: solusinya dirancang secara singkat, guru
bimbingan dan konseling (BK) berperan lebih aktif dalam menggeser fokus klien
(dari fokus problem ke fokus solusi). Strategi hubungan guru BK-peserta didik,
difungsikan agar klien lebih aktif dan berkembang tanggung jawabnya. Penciptaan
hubungan kerja sama dalam terapi dan memandangnya sebagai kebutuhan untuk
keberhasilan terapi. Dengan menyadari bahwa konselor memiliki keahlian di dalam
menciptakan konteks untuk perubahan, mereka menekankan bahwa klien adalah
ahli dalam kehidupan yang dialaminya dan sering memiliki perasaan yang baik
terhadap apa yang sudah atau yang belum dikerjakan di masa lampau, dan juga
sama halnya dengan apa yang harus dikerjakan di waktu yang akan datang. Jika
klien terlibat di dalam proses terapi dari awal hingga akhir, kesempatan klien
semakin meningkat dan terapi akan berhasil. Singkatnya, hubungan kooperatif dan
kolaboratif cenderung akan menjadikan lebih efektif daripada hubungan yang
bersifat hirarkis di dalam terapi (online).
Walter dan Peller (online) menguraikan empat langkah yang memberikan
ciri kepada proses SFBT, yaitu:
1. Menemukan apa yang klien inginkan daripada mencari apa yang mereka
tidak inginkan.
Contoh 2:
Jika Anda bangun sampai besok, dan keajaiban terjadi, Anda tidak lagi
mudah kehilangan kesabaran, seberbeda apa yang akan terjadi pada diri
Anda?Tanda-tanda pertama apa bila kemukjizatan itu terjadi?
Respon Klien barangkali :
Saya tidak akan kesal ketika seseorang memanggil nama saya. (tidak
efektif). Para konselor ingin klien mengembangkan tujuan positif, atau apa yang
akan mereka lakukan lebih dari pada apa yang mereka tidak ingin lakukan. Ini akan
menjadi lebih baik, karena memberikan kepastian akan keberhasilan.
Lebih baik, konselor barangkali meminta klien, Apa yang dapat Anda lakukan,
pada saat seseorang memanggil namamu?
3. Pertanyaan Penskalaan/Scaling Questions (SQ)
a. Pengertian
SQ adalah teknik yang digunakan konselor untuk mengidentifikasi perbedaan
yang bemanfaat bagi klien, dan dapat membantu untuk menetapkan tujuan pula.
Kutub dari skala biasanya berentang dari kondisi masalah yang terburuk yang
terjadi (0 atau 1) di salah satu ujung, dan di ujung yang lain menggambarkan
kondisi terbaik yang mungkin akan dicapai (10).
Klien diminta untuk menilai mereka saat ini berada pada posisi skala
berapa, dan pertanyaan yang kemudian digunakan untuk mengidentifikasi berbagai
sumber.
Konselor menggunakan pertanyaan yang memberi skala apabila perubahan
dalam pengalaman manusia tidak mudah diamati, seperti perasaan, suasana hati,
atau komunikasi. Pertanyaan dengan memberikan skala menjadikan klien untuk
memberikan perhatian yang lebih dekat kepada apa yang sedang mereka kerjakan
dan bagaimana mereka dapat mengambil langkah yang akan mengarahkan kepada
perubahan yang mereka kehendaki.
b. Contoh
Apa yang tidak membuatmu terperosok pada jalur skala rendah?,
Pengecualian: pada suatu hari ketika Anda berada di satu titik skala yang lebih
tinggi, apa yang akan Anda katakan bahwa hal ini merupakan hal yang berada.
Di posisi skala berapa Anda menjadi merasa cukup baik? Apa yang akan
terjadi bilamana di suatu hari Anda berada pada titik skala tersebut?
4. Exception Seeking (ES) atau Pertanyaan Pengecualian
SFBT mendasarkan pada anggapan bahwa ada saat-saat dalam hidup klien
ketika suatu masalah-masalah yang mereka kenali tidak menjadi masalah. Waktuwaktu inilah yang disebut kekecualian-kekecualian. Konselor mengajukan
pertanyaan kekecualian untuk mengarahkan klien ke arah waktu-waktu ketika
problem tidak timbul. Kekecualian adalah pengalaman-pengalaman masa lalu
dalam hidup klien yang layak untuk diharapkan muncul ketika ada masalah,
meskipun biasanya tidak. Pengungkapan ini mengingatkan kepada klien bahwa
problem itu tidak semuanya memiliki kekuatan dan tidak selalu muncul selamanya.
Pengungkapan ini juga memberikan bidang peluang bagi munculnya sumber,
ditemukannya kekuatan, dan didapatkannya kemungkinan solusi.
a. Para pendukung SFBT berpendapat bahwa selalu ada saat dimana klien
merasakan ringan atau bahkan tidak sedang mengalami masalah.
b. Konselor berusaha mendorong klien untuk menjelaskan apa yang berbeda
dengan saat ketika ia berada dalam kondisi bermasalah (kasus).
c. Tujuan dari teknik ini adalah agar klien mengulang kesuksesan di masa
lalu, dan membantu mereka mendapatkan kepercayaan untuk melakukan
perbaikan ke depan berdasarkan pengalaman suksesnya tersebut.
5. Mengatasi Pertanyaan/Coping Question (CQ)
a. Pengertian
Teknik CQ dirancang untuk memperoleh informasi tentang
berbagai sumber daya yang dimiliki klien, yang saat itu hilang (dilupakan) tak
ketahuan. Bahkan mungkin merupakan ceritera dalam kondisi klien
takberpengharapan (hoppless).
Rasa ingin tahu dan senang dapat membantu klien melihat kekuatan tanpa
mempertentangkan dengan kondisi klien senyatanya.
b. Sumber daya yang dimiliki klien ada dua yaitu:
1. Sumberdaya Internal: keterampilan, kekuatan, kualitas, kepercayaan
klien dan kapasitas mereka yang berguna.
2. Sumberdaya External: Relasi yang mendukung, seperti, mitra, keluarga,
teman, atau kelompok agama dan juga kelompok-kelompok pendukung
yang lainnya.
c. Contoh
Saya melihat hal itu benar-benar sulit bagi Anda, namun Saya kaget melihat
fakta bahwa meskipun dalam kondisi seperti itu Anda mampu me-manage dirimu
untuk bangkit, dan setiap pagi Anda melakukan semua yang diperlukan
keluargamu. Bagaimana anda melakukannya?
6. Umpan Balik Konselor kepada Klien
Para pelaksana konseling umumnya mengambil waktu jeda lima sampai
dengan sepuluh menit menjelang setiap akhir pertemuan untuk menyusun suatu
ringkasan pesan kepada klien. Selama waktu jeda ini konselor merumuskan umpan
balik yang akan diberikan kepada klien setelah waktu jeda.
De Jong dan Berg (Corey, 2002: 9) menguraikan tiga bagian pokok untuk
umpan balik yang berupa ringkasan: pujian, jembatan, dan anjuran tugas. Pujian
adalah pengakuan yang tulus terhadap apa yang telah klien lakukan yang mengarah
ke solusi yang efektif. Pujian-pujian ini yang wujudnya berbentuk dorongan,
menciptakan harapan, dan penyampaian harapan kepada klien bahwa mereka dapat
mencapai tujuan-tujuan mereka dengan menggunakan kekuatan dan keberhasilan
mereka. Kedua, sebuah jembatan menghubungkan pujian awal kepada tugas
anjuran yang diberikan. Jembatan memberikan alasan penalaran untuk pujian itu.
Aspek umpan balik ketiga berisi anjuran tugas kepada klien, yang dapat
dipertimbangkan sebagai pekerjaan rumah. Tugas pengamatan maksudnya ialah
meminta klien untuk sekedar memberikan perhatiannya kepada beberapa aspek
kehidupan mereka. Proses monitoring diri ini membantu klien mencatat perbedaanperbedaan apabila segala sesuatu keadaannya lebih baik.
7. Penghentian
Dari awal sekali wawancara berfokus solusi, konselor selalu berpikiran
bahwa dalam bekerja akan mengarah kepada penghentian. Begitu klien mampu
membangun solusi yang memuaskan, hubungan terapi dapat dihentikan. Sebelum
konseling berakhir, konselor membantu klien dalam mengenali hal-hal yang bisa
mereka lakukan untuk melanjutkan perubahan-perubahan yang telah mereka
lakukan di masa yang akan datang.
Klien juga bisa dibantu untuk mengenali rintangan atau hambatanhambatan yang kemungkinan ditemui dalam perjalanannya memelihara perubahan
yang telah mereka lakukan. Karena model terapi ini singkat, berpusat pada masa
sekarang, dan dimaksudkan untuk keluhan tertentu, akan sangat mungkin bahwa
klien akan mengalami persoalan-persoalan perkembangan lain di kemudian hari.
Klien bisa minta pertemuan tambahan kapan saja ketika mereka merasakan adanya
kebutuhan yang mereka rasakan untuk kembali ke jalan hidup yang benar.
F. Evaluasi dan Indikator Keberhasilan
Untuk mengevaluasi terapi singkat berfokus pada solusi, maka dapat dilihat
dari ketercapaian indikator-indikator atas kompetensi peserta didik berikut.
1. Memiliki komitmen yang kuat dalam mengamalkan nilai-nilai keimanan
dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, baik dalam kehidupan
pribadi, keluarga, pergaulan dengan teman sebaya, Sekolah/Madrasah,
tempat kerja, maupun masyarakat pada umumnya.
2. Memiliki sikap toleransi terhadap umat beragama lain, dengan saling
menghormati dan memelihara hak dan kewajibannya masing-masing.
3. Memiliki pemahaman tentang irama kehidupan yang bersifat fluktuatif
antara yang menyenangkan (anugrah) dan yang tidak menyenangkan
(musibah), serta dan mampu meresponnya secara positif sesuai dengan
ajaran agama yang dianut.
Referensi
Dahlan, Tina Hayati. (2012). Model Konseling Singkat Berfokus Solusi (SolutionFocused Brief Counseling) untuk Meningkatkan Daya Psikologis Mahasiswa.
Proceeding. Bandung: SPs UPI.
Depdiknas. (2007). Rambu-rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam
Jalur Pendidikan Formal. Jakarta: Dirjen PMPTK.
http://ekodageink.blogspot.com/2012/11/metode-terapi-singkat-berfokus-pada.html
Kartadinata, Sunaryo. (2011). Menguak Tabir Bimbingan dan Konseling sebagai Upaya
Pedagogis: Kiat mendidik sebagai Landasan Profesional Tindakan Konselor.
Bandung: UPI Press.
OConnell, Bill dalam Palmer, Stephen (ed.). (2010: 549). Konseling dan Psikoterapi
(Cetakan I, Alihbasa Haris H. Setiadjid). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Edy Legowo, dkk. (2008). Modul Pendidikan dan Latihan Profesi Guru Bimbingan
Konseling. Surakarta: Panitia Sertifikasi Guru Rayon 13.