Anda di halaman 1dari 33

UJIAN HARI KE-1:

FILSAFAT DAN ETIKA


BIMBINGAN DAN KONSELING
(Prof. Rochman Natawidjaja)

NONVERBAL AND METAPHORICAL TECHNIQUES


A. Konsep-konsep pokok
Komunikasi nonverbal menjelaskan tentang berbagai pesan bukan melalui
kata-kata yang diucapkan manusia (DeVito & Hecht, 1990). Pesan nonverbal
memiliki tiga makna, yaitu: kedekatan, kekuatan, dan responsif (Mehrabian, 1971).
Manusia berkomunikasi nonverbal sekitar 60%. Peneliti lain melaporkan bahwa
komunikasi melalui kata-kata secara aktual berkontribusi sebesar 7% dengan kesan
berisikan rasa suka atau tidak suka, bahasa isyarat berkontribusi 38%, dan ekspresi
atau isyarat wajah berkontribusi sebesar 55%. Pesan nonverbal biasanya lebih
dapat dipercaya daripada pesan verbal. Di negara Amerika Serikat (AS)
komunikasi nonverbal lebih dipercaya alih-alih verbal.
Banyak keragaman saluran dalam komunikasi nonverbal: ekspresi wajah,
petunjuk di suara (vocal paralanguage), komunikasi taktil (haptic), gerakan tubuh
(kinesics), komunikasi spasial (proxemics and territoriality), dan waktu
(chronemics). Slogan di AS "waktu adalah uang", "tidak ada waktu sebaik
sekarang, "waktu berlalu", "waktu dapat menjadi obat", dan "gunakan waktu
luang untuk mencium wangi bunga mawar.". Hal ini semua menunjukkan tentang
bagaimana budaya menghargai waktu di AS, mengirim berbagai pesan singkat, dan
pelan-pelan. Banyak keragaman budaya yang ditunjukkan dalam perilaku
nonverbal. Sebagai contoh, ketika berjabat tangan, orang AS, Timur Tengah, dan
Asia akan berlainan. Dalam berkomunikasi, kontak mata juga sangat menunjukkan
keragaman, baik orang AS, Jepang, dan Korea.

Perilaku nonverbal dapat menawarkan satu pemahaman komunikasi. Tabel


di bawah ini menggambarkan empat model dasar bahasa tubuh dalam bisnis
menurut Mole (2002):
Tabel 1
Bahasa Tubuh dan Maknanya
Responsif

Reflektif

Fugitif

Kombatif

Terlibat
Condong ke depan
Tubuh terbuka
Lengan terbuka
Tangan terbuka

Mendengarkan
Kepala dimiringkan
Banyak kontak mata
Mengangguk
Sering berkedip

Bosan
Menatap langit-langit
Postur merosot
Mencoret-coret
Mengetuk-ketukkan kaki

Biarkan Saya
Bicara
Jari diketukketukkan
Kaki diketukketukkan
Menatap

Berhasrat
(Posisi lari cepat)
Kaki terbuka
Kaki di bawah kursi
Berjinjit
Condong ke depan

Mengevaluasi
Menyesap gelas atau
pensil
Memukul-mukul dagu
Melihat ke atas dan ke
kanan
Kaki disilangkan
(Pergelangan kaki pada
lutut)

Biarkan Saya Pergi


Kaki mengarah ke pintu
Melihat ke sekitar
Mengancingkan jaket

Agresif
Condong ke depan
Jari menunjuk
Tinju dikepalkan

Siap untuk Setuju


Kertas ditutup
Pena diletakkan
Tangan rata di atas
meja

Penuh Perhatian
(Berdiri)
Lengan di belakang
punggung

Penolakkan
Duduk/bergerak mundur
Lengan dilipat
Kaki terbuka lebar
Kaki terbuka (paha pada
lutut)
Kepala menunduk
Cemberut

Menantang
(Berdiri)
Tangan di pinggang
Cemberut

Membela Diri
(Berdiri)
Kaki menunjuk
Tangan mengepal
Cemberut

Berbohong
Menyentuh wajah
Tangan menutupi
mulut
Menarik telinga
Mata melihat ke
bawah
Melihat sekilas
Duduk tidak tenang
Menunduk dan
melihat ke samping

Jenis-jenis perilaku nonverbal, mencakup: (1) kontak mata. Norma-norma


budaya memberikan keragaman dalam melakukan kontak mata ini; (2) wajah/
pandangan kosong, isyarat emosional yang kuat: "jangan mengganggu."; (3) melihat ke bawah, berfungsi untuk meyakinkan orang lain bahwa dia bukanlah objek
perhatian, menunjukkan "kurang kepedulian sosial.", sikap dikalahkan, rasa

bersalah, rasa malu atau memberitahu kebohongan; (4) menurunkan alis, indikasi
perselisihan, keraguan atau ketidakpastian. Ekman (1980) mengungkapkan,
kemarahan dapat dinyatakan dengan cara menurunkan alis dan ditarik bersamasama, menatap keras dan bibir erat ditekan bersama-sama; (5) menaikkan alis,
memperkuat tatapan yang cenderung mendominasi, alis tinggi dengan dahi berkerut
sering menunjukkan sikap skeptis atau kesedihan; (6) menunjukkan dominasi,
memperlihatkan pengaruh kekuasaan, atau kontrol atas sesuatu. Umumnya merujuk
pada domain yang sama dalam komunikasi: ketegasan, otoritas, pengawasan,
paksaan, kepatuhan, dominasi, kekuatan, pengaruh sosial, dan status (Berger,
1985); (7) menyilangkan tangan, menunjukkan sikap dingin; (8) tangan memegang
belakang kepala, mengisyaratkan perasaan superioritas, dominasi, dan sikap serba
mengetahui segala hal; (9) bertolak pinggang, menunjukkan pose agresif; dan
(10) bertopang dagu, isyarat terkejut, bingung atau ketidakpastian.
Proxemics atau proximal, merujuk pada "persepsi dan penggunaan ruang."
Ruang informal yang ditandai oleh zona pribadi, bervariasi secara individual, dan
keadaan. Penggunaan setiap spasial ini mempunyai hubungan yang dapat
menghambat atau meningkatkan komunikasi.
Terdapat: 1) zone intim (intimate distance), jaraknya 6-18 inchi; 2) zone
pribadi (personal distance), jaraknya 1,5-4 kaki; 3) zone sosial (social distance),
jaraknya 4-12 kaki lebih; dan 4) zone publik atau zone umum (public zone) ,
jaraknya 12 kaki lebih.
Kewilayahan (territoriality) berkaitan dengan pengakuan hal-hal bersifat
fisik sebagai milik pribadi, misalnya saja meja saya (di kampus); kamar saya
(padahal mengontrak); rumah saya (asrama); tetangga saya; negara saya; dan lainlain. Kita akan merasa aman kalau berada dalam ruang pribadi (personal space:
proximal & territoriality). Sebaliknya kita merasa terancam kalau keluar dari ruang
pribadi kita.
Beberapa teknik dalam komunikasi nonverbal, di antaranya ialah:
1. Actions speak louder than words, memfasilitasi kesadaran dan persepsi
pemahaman diri. Kegiatannya, menginterpretasi komunikasi nonverbal klien.
2. Nonverbal exaggeration or verbal repetition, mengkonfrontasi komunikasi
verbal dan nonverbal klien secara langsung dan tegas. Kegiatannya membantu
klien untuk mengungkap ulang pernyataan yang belum jelas atau tidak lengkap.
3. Breaking in, memilah-milah dan memilih-milih sesuatu yang dinyatakan oleh
klien. Kegiatannya meminta klien untuk mengeksplorasi perasaan mereka,
apakah ia merasa menjadi ingroup atau outgroup.
4. Meeting someone halfway, berkomunikasi secara nonverbal. Kegiatannya
membagi kelompok dua kelompok dengan posisi duduk yang berbeda dalam
satu ruangan tapi saling berhadapan. Tiap anggota dari kedua kelompok
diminta untuk berkumpul di satu titik, bergabung, tanpa berkomunikasi secara
verbal. Kemudian konselor meminta tiap anggota untuk mengeksplorasi
pengalaman atas kegiatan tersebut.
5. Group sociogram, memfokuskan komunikasi, hubungan, dan attachment.
Kegiatannya mengajak anggota kelompok untuk berpartisipasi dalam pengisian

sosiometri dan membuatnya dalam bentuk sosiogram, kemudian mendiskusikannya.


6. Sticks and stones, memfokuskan diri pada isu-isu kekuatan, dominasi,
pengaruh, dan agresi. Kegiatannya meminta para anggota kelompok untuk
mengungkapkan reaksinya terhadap teman sekelompoknya.
7. Feedback through posture, memfokuskan kesan pertama dan persepsi versus
realitas. Kegiatannya, anggota kelompok berfokus pada satu sama lain, per
satuan waktu, dan menerima umpan balik dari anggota yang lain dalam
kelompoknya, dengan cara memperlihatkan kesan diri melalui gestur tubuh.
8. Beating drums, mengeskpresikan emosi dan perasaan serta mengembangkan
kepercayaan. Kegiatannya, konselor memutar rekaman musik drum dan
meminta anggota kelompok untuk menari dengan bebas sesuai irama musik.
Jika musik dihentikan, semua anggota harus diam, kemudian ia memilih salah
seorang anggota untuk mengungkapkan pengalamannya.
9. Nature walk/city streets, meningkatkan kesadaran sensorik dan mendiskusikan
lingkungan yang membuatnya stres. Kegiatannya, anggota kelompok diminta
untuk berjalan-jalan di taman atau jalan-jalan kota. Mereka diminta untuk
mengeksplorasi lingkungan sedetail mungkin dan mengkomuni-kasikan
perasaannya tanpa bicara.
10. The eyes have it, meningkatkan level kenyamanan, keterbukaan, dan keterbukaan
diri. Kegiatannya, anggota kelompok berputar searah jarum jam di dalam
lingkaran, melakukan kontak mata dan berkomunikasi tanpa kata-kata.
11. Talking with your hands, mengidentifikasi dan mengkomunikasikan perasaan.
Kegiatannya, anggota kelompok berpasangan dengan teman-nya dan bergerak
nyaman. Konselor memintanya untuk berkomunikasi tanpa kata-kata dan
mengungkapkannya selama satu menit atas pengalamannya.
12. Unwrapping the problem, memberikan kesempatan untuk menyampaikan
resistensi atau konflik-konflik. Kegiatannya, meminta anggota kelompok untuk
memilih benda atau anggota lain yang dianggap signifikan dalam hidup-nya
kemudian menyampaikan resistensi atau konflik.
13. Touch-talk blind milling, berkomunikasi secara nonverbal. Kegiatannya, salah
seorang anggota ditutup matanya dan diminta untuk menjelajahi temannya
dengan cara menyentuh wajah, bahu, rambut, dan tangan, kemudian
menyampaikan pesan tersebut secara berulang kepada teman yang lainnya.
14. Eyes as windows to the soul, mengungkap pertemuan awal. Kegiatannya,
anggota berhadapan dengan temannya, saling bertatapan mata selama lima
menit secara bergantian lalu mengemukakan pengalaman yang diperolehnya.
15. Pantomimes, mengekspresikan perasaan sendiri dan perasaan orang lain.
Kegiatannya, anggota duduk berpasangan, salah seorang berdiri mengungkapkan perasaannya tanpa berbicara, kemudian mendiskusikannya.
16. Multiple body language exercises, memahami bahasa tubuh. Kegiatan ini
didesain untuk membantu peserta didik menyesuaikan bahasa tubuhnya,
melalui gerakan pemanasan: hand gestures, bar body behavior, the tell, dan the
mirroring.

Improvisasi bermain peran dalam kelompok dapat dilakukan dengan bahasa


tubuh dan tanpa berbicara serta memilih setiap adegan dan karakter yang
diinginkan.
Metafora dalam komunikasi digunakan dalam bentuk cerita, mitos,
perumpamaan, dongeng, alegori, dan anekdot. Dalam konseling dan psikoterapi,
dapat digunakan teknik untuk mengakses sumber daya klien yang tidak dapat
dikenali atau dimanfaatkan. Towers, Wollum, Dow, Senese, Ames, Berg, &
McDonald (1987) melaporkan, bahwa metafora dapat meningkatkan minat klien
dalam proses konseling dan pandangan klien sendiri terhadap konselor sebagai
orang yang dapat dipercaya. Metafora juga dapat digunakan untuk mendeskripsikan
isu-isu khusus tentang hubungan interpesonal, pemilihan solusi, membantu klien
mengenali dirinya sendiri atau menjelaskan keadaan dirinya, dan membingkaiulang permasalahan yang dihadapinya (Baker, 1985).
Berikut disajikan beberapa teknik metafora.
1. Metafora diri, membangkitkan sudut pandang yang lebih kreatif terhadap
seseorang (Goodman, 1985). Metafora adalah alat yang sangat kuat yang dapat
digunakan manusia untuk menikmati sudut pandang baru dan kreatif terhadap
diri, nilai-nilai, dan dunianya.
2. Teman sebagai metafora, menggambarkan teman pada tingkat yang lebih
dalam. Penggunaan gambar-gambar biasanya mendorong klien lebih dekat pada
perasaannya. Gunakan metafora ini untuk menggambarkan teman atau anggota
keluarga.
3. Kereta mana yang harus saya pilih, menghadirkan ide penting secara metafora
(Jacob, 1988). Menggunakan kertas dan pena bulu, gambar garis sederhana,
segiempat dan lingkaran untuk mewakili sebuah kereta yang mengarah pada
sebuah garpu pada rel; satu arah menuju masalah pada rel yang diberi nama
OD (pilihan yyang telah dilakukan); dan arah yang lain menuju pada hasil
positif pada rel yang diberi nam OK. Olah bersama klien pembuatan
keputusan dan tawaran pilihan produktif.
4. Wajah yang saya tunjukkan, membantu klien melihat dia sedang memilih
sebuah respon perasaan pada situasi yang ditentukan (Nelson, 1992: 217).
Deskripsi, tiga bentuk oval dan mulut yang mewakili wajah yang tersenyum,
wajah yang netral, dan wajah yang cemberut. Minta klien untuk memilih yang
mana yang mewakilinya dan menamainya.
5. Siapa yang memegang kekuasaan?, menunjukkan bagaimana seorang klien
mungkin telah melebih-lebihkan kekuatan seseorang dalam hidupnya, baik itu
bos atau atasannya, pasangan, orang tua atau hal signifikan lainnya. Deskripsi,
sebuah tongkat besar membentuk menara di atas bentuk yang lebih kecil dan
merendah dan beri nama.

6. Harus pergi ke mana? Menggambarkan rasa frustrasi dan perasaan terjebak


seorang klien di antara dua orang (contohnya, orang tua, atau di antara
pasangan). Deskripsinya, dua orang sedang menarik klien dengan keduanya
berkata Anda harus memilih satu di antara kami! dan beri nama.
7. Apa yang saya ingin pertengkarkan, menyediakan tingkah laku alternatif bagi
klien untuk berkelahi dan menyerang. Deskripsi, secara kooperatif konselor dan
klien dapat mengembangkan sederet alternatif pilihan kegiatan yang berisikan
pertengkaran.
8. Gabus dan kepercayaan diri, membantu klien dapat mengontrol kepercayaan
dirinya. Deskripsi, mengambil sebuah cangkir gabus dan minta klien untuk
menamainya sesuai kepercayaan dirinya (contohnya kepercayaan diri Sue).
Minta klien memegangnya sebentar dan kemudian letakkan cangkir tersebut di
atas meja. Tindakan meletakkan cangkir di atas meja mewakili keadaan klien
menyerahkan kepercayaan dirinya pada bos, orang tua, pasangan, saudara
kandung, temannya dan seterusnya. bantu klin melihat bahwa dia dapat
menyerahkan kendali atau dapat mengambil kendali dan dapat mengambil
kendali itu ketika dia memilih untuk mengambil cangkirnya.
9. Hubungan karet gelang, simbolisasi hubungan yang tegang yang juga
mengganggu klien. Deskripsi, konselor memegang satu sisi karet gelang dan
klien memegang sisi lainnya dan masing-masing harus menariknya. Setelah
beberapa saat, berhenti dan beristirahat. Tanyakan pada klien, Apa yang akan
terjadi jika Anda mencoba untuk santai dan menerima orang lain tersebut
ketimbang menghabiskan sejumlah besar energi mencoba mengubahnya?
Variasi dari strategi ini dapat dilakukan dengan meminta kedua orang yang
berkonflik hadir dan minta mereka berdua untuk memberikan saran bagaimana
mereka dapat mengurangi ketegangan dalam hubungan.
10. Mengarah ke positif ketimbang negatif, mengganti pesan diri yang negatif yang
mengganggu perkembangan. Deskripsi, dengan menggunakan alat perekam
minta klien merekam pesan diri yang negatif yang mengganggu perkembangan
(contohnya, Saya tidak berharga, Saya bodoh, Saya tidak akan
menghasilkan apapun) dan memutar pesan-pesan tersebut berulang-ulang.
Setelah beberapa lama katakan, Anda tidak akan membuat perkembangan
apapun jika anda memilih untuk mendengarkan pesan-pesan ini sepanjang ini.
Bantu klien untuk mengembangkan sederetan pernyataan diri yang positif dan
rekam pernyataan tersebut di atas citra diri yang negatif. Dorong klien untuk
mendengarkan pesan-pesan tersebut secara teratur.
11. Efek kejadian traumatis yang berkurang, mereduksi kejadian hidup sebelumnya. Deskripsi, klien diminta untuk menempelkan tanggal kejadian atau frase
deskriptif (hari kematian ibu) pada sebuah kursi sehingga dapat terlihat terus-

menerus dilihatnya. Bantu klien melihat apakah dia memilih untuk membiarkan
kejadian itu mendominasi hidupnya, atau melupkannya.
12. Menyatukan diri, membantu klien melihat bagaimana dia mengkritisi dirinya
sendiri. Deskripsi, tanah liat yang dipegang oleh konselor mewakili klien.
Ambil sedikit demi sedikit dengan memberi kesan pada klien bahwa bagian
pertama mewakili bagaimana kritik ibu yang mengoyakkannya, kedua
mewakili permasalahannya dengan bosnya dan yang ketiga menyatakan
perasaan negatifnya tentang dirinya sendiri. Setelah beberapa diskusi
kumpulkan beberapa gumpalan tersebut dan bentuk kembali secara
keseluruhan. Bantu klien melihat bahwa dia dapat membuat pilihan untuk
menyatukan dirinya sendiri.
Metafora adalah dimensi yang sangat diperlukan dalam pemahaman
manusia dan pengalamannya terkait cara berpikir, membuat alasa, atau merasakan,
sehingga dapat meningkatkan efektivitas seorang terapis (Wickman, 1999).
Pemahaman konsep metafora memungkinkan konselor untuk menyatu dengan
klien melalui peningkatan hubungan dan empati, struktur intervensi terapeutis yang
lebih konsisten dalam kerangka kerjanya (Wickman, Daniels, putih, & Fesmire,
1999: 393). Teori metafora kontemporer menyediakan konselor dengan lebih
lengkap dan akses yang cepat kepada konsep dunia klien. Terapis mencoba untuk
memahami pengalaman klien tentang ide-ide abstraknya (seperti hubungan) yang
dipahami dalam hal pengalaman yang lebih konkret (seperti perjalanan).
Tidak ada alat yang lebih baik untuk mengembangkan kesadaran diri selain
belajar menginterpretasi bahasa tubuh. Kita dapat membaca ribuan pesan dari
ekspresi wajah sendiri.
Metafora adalah dimensi yang sangat diperlukan untuk memahami manusia
dan pengalamannya serta sangat penting untuk memahami cara berpikirnya, alasan,
perasaan, membayangkan, berkomunikasi, percaya, dan berhubungan.
B. Pengayaan
Dalam proses bimbingan dan konseling, jelas bahwa komunikasi
memegang peranan yang sangat signifikan dan menjadi faktor determinan karena
pada prosesnya bimbingan dan konseling itu sendiri inheren sebagai proses
komunikasi interpersonal. Berdasarkan hal tersebut, penguasaan terhadap bentuk
keterampilan komunikasi bagi konselor perlu ditingkatkan secara lebih mendalam.
Menurut Adler & Rosenfeld (1986) menjelaskan hal-hal yang berkaitan
dengan komunikasi nonverbal, sebagai bagian dari suatu proses komunikasi.
1. Ciri-ciri Komunikasi Nonverbal

Dalam upaya untuk memahami hakekat dan makna komunikasi nonverbal,


perlu diidentifikasi beberapa karakteristik yang berkaitan dengannya, karakteristikkarakteristik itu adalah:
a. Komunikasi Nonverbal itu Ada
Pada kenyataan berkomunikasi tidak cukup hanya melalui kata-kata,
melainkan juga melalui mimik muka, gerak tubuh, dan sikap kata. Bahkan kadangkadang lebih memahami seseorang diri apa yang mereka lakukan daripada dari
kata-katanya.
b. Komunikasi Nonverbal Tidak Dapat Disembunyikan
Apapun yang dilakukan, selalu memantulkan pesan yang memberi
informasi tentang kita. Apabila mengamati seseorang secara seksama, kita akan
memperoleh begitu banyak informasi tentang orang itu. Isyarat dan informasi itu
bisa kita peroleh melalui cara ia duduk, ekspresi wajah, sikap badan, cara
berpakaian, dan lain-lain. Bila Isyarat itu kita pahami secara benar, maka kita akan
mampu memahami perasaan dan pikiran orang itu.

c. Komunikasi Nonverbal sebagai Penyalur Perasaan


Apabila kita berkomunikasi melalui kata-kata, sebenarnya lebih
mengekspresikan pikiran kita. Perasaan lebih dapat diekspresikan melalui
komunikasi nonverbal.
d. Komunikasi Nonverbal Memiliki Banyak Arti (Ambiguous)
Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri, kita sering mengalami kesulitan
dalam menafsirkan isyarat-isyarat nonverbal secara tepat. Hal ini karena isyaratisyarat komunikasi nonverbal memberi banyak arti. Ketepatan dalam memberi
makna dari suatu isyarat komunikasi nonverbal, dapat dilakukan melalui
pemahaman yang seksama tentang konsistensi isyarat itu dengan isyarat-isyarat
lainnya (termasuk isyarat verbal).
e. Komunikasi Nonverbal Dipengaruhi oleh Kebudayaan
Seperti telah diungkapkan di muka, komunikasi nonverbal seringkali
memiliki banyak arti. Keragaman arti komunikasi nonverbal di antaranya
disebabkan oleh keragaman budaya.Seringkali dijumpai isyarat dan tanda tertentu
ditafsirkan berbeda-beda. Bagi orang Sunda menundukkan wajah pada saat
berbicara dengan orang dianggap sebagai perilaku yang sopan. Bagi orang barat hal
ini berarti sebaliknya, dan lain-lain.

2. Kaitan Komunikasi Nonverbal dengan Verbal


Bila dikaitkan dan dibandingkan antara komunikasi nonverbal dengan
komunikasi verbal, maka komunikasi verbal memiliki fungsi: 1) mengulang pesan
verbal (repeating); 2) pengganti kata-kata (substituting); 3) pelengkap pesan verbal
(complementing); 4) memberi penekanan dan memperjelas (accenting); 5) mengatur verbal (contradicting).
Dalam kenyataan sebenarnya tidak bisa memilih-milih secara eksak antara
pesan verbal dengan pesan nonverbal, hal ini terjadi pada saat kita mengirimkan
pesan verbal selalu disertai oleh pesan nonverbal.
3. Tipe-tipe Komunikasi Nonverbal
Pada dasarnya kita dapat mengirim dan menerima pesan nonverbal itu dari
berbagai hal yang berkaitan dengan kita. Menurut Adler & Rosenfeld (1986: 118149) pesan nonverbal dapat dikirim dan diterima dari: 1) wajah dan muka (face and
eyes); 2) sikap badan (posture); 3) perabaan dan sentuhan (touch); 4) jarak
(proximal and territoriality); 5) penampilan fisik (physical attractiveness); 6)
pakaian (clothing); 7) lingkungan (environment).
Ekspresi wajah dan mata merupakan bagian tubuh yang paling mudah
diamati. Meskipun paling mudah diamati kita seringkali sukar sekali untuk
menafsirkan pesan dengan mengontrol ekspresi wajah dan mata kita.
Begitu juga dengan sikap tubuh kita. Kita dapat mengontrol sikap dan tubuh
kita untuk mengekspresikan berbagai peran dan Isyarat yang ingin kita sampaikan.
Seorang yang tenang, penuh percaya diri akan memperlakukan tubuhnya dengan
santai dan luwes. Tetapi sebaliknya mereka yang nervous, tidak percaya diri akan
kelihatan gemetar, dan kaku.
Kalau postur atau sikap tubuh itu berkaitan dengan terlibatnya seluruh
anggota tubuh (dalam bahasa Sunda: rengkuh) untuk menyampaikan suatu pesan,
maka gesture berkaitan dengan digunakannya salah satu bagian tubuh tangan, kaki,
pundak untuk mengekspresikan pesan, seperti juga dengan postur, gestur, dapat
dipergunakan untuk mengekspresikan berbagai pesan dan perasaan. Misalnya
mengacungkan jempol dapat ditafsirkan sebagai ungkapan persetujuan dan
penghargaan.
Sentuhan juga dapat digunakan untuk mengekspresikan dapat
meningkatkan kesehatan fisik anak. Karena sentuhan dan senyuman dari orang tua
dapat ditafsirkan sebagai ungkapan kasih sayang. Menurut Sidney Jourard (1966)
terdapat beberapa bagian dari tubuh kita sensitif sekali untuk disentuh. Pada wanita

hampir semua bagian tubuh sensitif sekali untuk disentuh. Apabila kita menyentuh
bagian tertentu dari orang lain, dengan cara tertentu, maka orang lain akan
memandang sentuhan kita itu sebagai ungkapan perasaan kita. Sentuhan sama pada
bagian yang sama yang dilakukan oleh anak, orang tua, teman, akan memberikan
tafsiran yang berbeda.
Suara (voice) juga dapat dipergunakan sebagai saluran untuk
mengungkapkan perasaan tertentu. Nada, percepatan, intonasi, volume, tekanan
(para linguistik) dapat dikontrol untuk mengekspresikan perasaan kita.
Proximal, berkaitan bagaimana kita menggunakan ruangan di sekitar kita
untuk kepentingan saluran perasaan kita. Berkaitan dengan ini, Edward T. Hall
(1969) seorang Antropolog telah melakukan serangkaian penelitian tentang jarak
yang biasa dipergunakan seseorang pada setiap harinya. Dari penelitian itu
diperoleh informasi bahwa manusia membagi ruang pribadinya (personal space)
menjadi empat zone. Keempat zone yang dimaksud adalah: 1) zone intim (intimate
distance); 2) zone pribadi (personal distance), 3) zone sosial (social distance); dan
4) zone publik atau zone umum (public zone).
Kewilayahan (territoriality) berkaitan dengan diakuinya hal-hal yang
bersifat fisik sebagai milik pribadi kita, misalnya saja meja saya (di kampus);
kamar saya (padahal mengontrak); rumah saya (asrama); tetangga saya; negara
saya; dan lain-lain.
Kita akan merasa aman kalau kita berada dalam ruang pribadi (personal
space: proximal & territoriality) kita. Sebaliknya kita merasa terancam kalau kita
keluar dari ruang pribadi kita.
Kalau kita keluar dari ruang pribadi kita, secara psikologis kita akan
mengalami hambatan (psychological barrier), dan bahkan kita pun akan
mengalami hambatan pula dalam bertindak dan bertingkah laku (behavioral
barrier).
Dalam proses komunikasi tentu saja kita harus senantiasa peduli dengan
personal pribadi kita dan orang lain. Karena kalau orang atau kita dilanggar ruang
pribadinya, kita atau orang lain akan menolak untuk berkomunikasi.
Penampilan fisik (physical attractiveness) merupakan hal yang besar
pengaruhnya dalam proses komunikasi. Beruntung sekali mereka yang cantik dan
berpenampilan menarik. Karena mereka lebih efektif dalam mempengaruhi orang.
Karena itu untuk keberhasilan komunikasi kita, hendaknya secara fisik kita tampil

semenarik mungkin. Kita dapat menggunakan dan mengontrol posture, gesture, dan
ekspresi wajah untuk kepentingan penampilan kita.
Cara berpakaian (clothing) menggambarkan sesuatu tentang orang itu, dan
bahkan sampai batas tertentu menggambarkan keadaan pribadinya. Dari beberapa
penelitian yang dilakukan hubungan antara cara berpakaian dengan kepribadian
besar sekali.
Lingkungan (environment) termasuk di dalamnya tata ruang, model
bangunan, dekorasi, besar pengaruhnya dalam proses komunikasi. Dengan
mengontrol dan mengatur ruangan kita dapat mengekspresikan berbagai maksud
dan perasaan. Begitu juga kita dapat memahami perasaan dan kepribadian orang
lain dengan memahami keadaan ruangan, misalnya ruang tamunya.
C. Komentar terhadap konsep-konsep pokok
Komunikasi terjadi di mana saja dan banyak menyentuh berbagai dimensi
kehidupan manusia. Hasil riset (Adler & Rosenfeld, 1986) melaporkan, bahwa 70%
waktu manusia dipergunakan untuk berkomunikasi sehingga komunikasi dapat
menentukan kualitas kehidupan manusia.
Di satu sisi, komunikasi yang dilakukan manusia dapat menciptakan suatu
keadaan saling mengerti, menumbuhkan ikatan persahabatan, persaudaraan,
tercipta kasih sayang, terjadi transfer ilmu pengetahuan, dan lain-lain. Di sisi lain,
dengan komunikasi tercipta juga permusuhan, perpecahan, kebencian, dan lain-lain.
Terkait dengan proses pemberian bantuan, makna pemberian bantuan
Strupp (Natawidjaja, 2009: 36) mengemukakan:
Konseling merupakan satu jenis layanan yang merupakan bagian terpadu dari
bimbingan. Konseling dapat diartikan sebagai hubungan timbal balik antara dua
orang individu, dimana yang seorang (yaitu konselor) berusaha membantu yang
lain (yaitu konseli) untuk mencapai pengertian tentang dirinya sendiri dalam
hubungannya dengan masalah-masalah yang dihadapinya pada saat ini yang
mungkin berkaitan dengan masalah di masa lalu, dan yang mungkin dihadapinya
pada waktu yang akan datang. Kemudian, psikoterapi dapat diartikan sebagai
suatu proses antarpribadi yang dirancang untuk membuahkan perubahan
perasaan, kognisi, sikap dan perilaku yang mengganggu individu yang mencari
bantuan dari seorang profesional yang terlatih
Analog dengan pendapat di atas, Natawidjaja (2009: 7) menjelaskan
karakteristik konteks hubungan dalam layanan konseling sebagai berikut:
., hubungan yang terjadi dalam konseling bukan sekedar hubungan
komunikasi yang bersifat superfisial, melainkan melibatkan pengungkapan
aspek-aspek yang mungkin sangat pribadi sifatnya sehingga memerlukan sikap
saling percaya di antara pihak-pihak yang terlibat

Berkaitan dengan sebutan atau istilah, selanjutnya Natawidjaja (2009: 7),


menegaskan bahwa:
., sebutan konselor digunakan bagi pihak helper yang mengimplikasikan
perlunya penguasaan seperangkat keterampilan tertentu (counseling skills) yang
biasanya baru bisa diperoleh melalui pengalaman pendidikan dan praktek
tertentu. Begitupun istilah konseli digunakan bagi pihak helpee untuk
mengisyaratkan bahwa mereka yang cocok mendapat layanan konseling
kelompok bukan orang atau siswa yang sekedar memerlukan informasi,
melainkan adalah mereka yang menghadapi persoalan, kesulitan, dan/atau
tantangan perkembangan yang cukup intense, tapi masih dalam batas lingkup
permasalahan individu-individu yang normal.
Proses pemberian bantuan yang diberikan oleh konselor kepada konselinya
berlangsung dalam suatu proses relasi antarpribadi yang dapat menghasilkan
pertalian dan perpaduan di antara unsur-unsur kepribadian konselor yang
dikombinasikan dengan keterampilan khusus, menghasilkan suasana yang dapat
menunjang pertumbuh-kembangan yang mengarah kepada keberhasilan yang
bermakna bagi konselor, konseli, dan bagi masyarakat pada umumnya.
Relasi sebagai suatu proses pemberian bantuan terjadi dalam suatu
hubungan. Dalam konteks formal, relasi seperti itu terjadi melalui wawancara yang
teratur dan pada umumnya terjadi antara dua orang saja (Brammer, 1979: 44).
Unsur-unsur yang membangun relasi itu dapat diperhatikan dalam gambar berikut.

Se
l

Helper

Interview
(the relationship)

Helpee

Feelings

es
nc ns
rie tio
pe cta s
Ex pe lem
Ex rob
P

Ex
Ex per
pe ien
Pr cta ces
ob tio
le ns
m
s

fP
e
N r ce
Va eed ptio
lu s n
es

n
tio
ep
rc
Pe s
lf ed
Se Ne ues
l
Va
Feelings

Gambar 2: Hubungan antara Konselor dengan Konseli dalam Proses Pemberian Bantuan

Merujuk pada gambar 2, proses pemberian bantuan yang diberikan oleh


konselor kepada konseli bersifat dinamis. Dalam proses pemberian bantuan, ada
kecenderungan terjadi perubahan, baik verbal maupun nonverbal. Selain itu, relasi
antarpribadi yang terjadi dalam proses pemberian bantuan juga secara psikologis
dapat merupakan suatu wahana utama bagi konselor dan konselinya untuk
menyatakan dan memuaskan kebutuhannya satu sama lain serta untuk menangani

masalah konseli dengan menggunakan keahlian konselor. Dalam hal ini, relasi
menekankan kecenderungan afektif karena relasi itu biasanya diartikan sebagai
pernyataan mutu emosi dari suatu interaksi.
Dari gambar di atas juga tampak, bahwa sangat terbuka bagi seorang
konselor untuk memperhatikan bahasa tubuh yang ditampilkan oleh konseli di saat
berkomunikasi. Bila dikaitkan dan dibandingkan antara komunikasi nonverbal
dengan komunikasi verbal, komunikasi nonverbal memiliki fungsi: 1) mengulang
pesan verbal (repeating); 2) pengganti kata-kata (substituting); 3) pelengkap pesan
verbal (complementing); 4) memberi penekanan dan memperjelas (accenting); serta
5) mengatur verbal (contradicting). Dalam kenyataan sebenarnya tidak dapat
memilih-milih secara eksak antara pesan verbal dengan pesan nonverbal, hal ini
terjadi pada saat kita mengirimkan pesan verbal selalu disertai oleh pesan
nonverbal juga.
Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan pemberian bantuan
melalui relasi di antaranya ialah dimensi karakteristik konselor. Hasil rangkuman
dari National Vocational Guidance Association dalam Shertzer dan Stone (1971),
Hamrin dan Paulson, Council of Student Personnel Association in Higher School,
dan Association for Counselor Education & Supervision (Syamsu Yusuf dan
Juntika, 2005: 44) dan Standar Kompetensi Konselor Indonesia (2007),
mengungkapkan bahwa seorang konselor atau calon konselor minimal harus
mempunyai karakteristik yang baik dalam hal: 1) kepercayaan diri, 2) berminat
membantu orang lain, 3) sabar, 4) sensitif terhadap reaksi dan sikap orang lain, 5)
berkomitmen terhadap nilai manusiawi individu, 6) bersikap terbuka, dan 7)
emosinya stabil, serta 8) mempunyai kepercayaan terhadap kemampuan individu
yang dibantunya.
Pendapat ini mengimplikasikan tentang pentingnya kualifikasi seorang
konselor yang bermutu. Apalagi dalam konteks globalisasi sekarang yang penuh
dengan persaingan, wacana dan isu tentang kualitas suatu profesi perlu menjadi
kepedulian, terlebih jika menyangkut kualitas kinerja suatu profesi pemberi
bantuan, seperti halnya konselor sekolah. Dapat dipahami, bahwa hanya konselor
yang berkualitas baik saja yang akan tetap bertahan serta bermanfaat secara
signifikan terhadap pihak yang dilayani. Artinya bahwa semakin berkualitas kinerja
seorang konselor maka semakin banyak atau meningkat pula masyarakat pengguna
yang merasa membutuhkan konselor tersebut sebab masyarakat pengguna
memperoleh manfaat yang memuaskan atas pelayanan profesi tersebut.
Selanjutnya, Jacobs, Masson, Harvill (2012), mengemukakan 14 teknik
yang perlu dikuasai oleh seorang konselor, sebagai pemahaman tentang nilai dan

kegunaan tiap latihan, yang diharapkan dapat akan membantu membuat pilihan
yang tepat. Adapun ke-14 jenis latihan kelompok tersebut ialah: (1) menulis
(written), (2) gerak (movement), (3) lingkaran (rounds), (4) dyad dan triad, (5)
creative props, (6) seni dan kerajinan tangan (arts and crafts), (7) fantasi, (8)
membaca bebas/umum, (9) umpan balik, (10) keper-cayaan (trust), (11)
experiential, (12) dilema moral, (13) keputusan kelompok, dan (14) sentuhan
(touching).
Ke-14 teknik ini dalam beberapa contoh latihan ini dapat dipertukarkan
dalam hal tujuan dan kegunaannya, ada kalanya suatu latihan lebih berguna
dibandingkan lainnya.
D. Rekomendasi untuk aplikasi konsep-konsep itu secara realistik dalam
pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling (BK) di sekolah berdasarkan
etika profesional
Sebagai salah satu modus layanan bimbingan dan konseling di sekolah,
strategi kelompok sampai saat ini menjadi pilihan yang dianggap lebih efektif
penggunaannya mengingat keterbatasan ruang, tempat, dan waktu.
Rochman Natawidjaja (2009) menegaskan, bahwa:
Mengingat pentingnya layanan konseling dalam situasi kelompok itu, maka
setiap konselor perlu menguasai teknik dan prosedur konseling kelompok. Untuk
dapat menguasai teknik dan prosedur konseling kelompok itu, seorang konselor
perlu menguasai prinsip teoretis mengenai konseling kelompok. Ini berarti bahwa
seorang konselor harus menguasai konsep konseling pada umumnya, teknik dan
prosedur konseling individual, dasar-dasar teoretis mengenai proses-proses
kelompok, hakekat kelompok terutama kelompok kecil dasar-dasar
komunikasi antar individu. Semua kemampuan mengenai hal-hal di atas
merupakan dasar bagi pengembangan kemampuan melaksanakan konseling
kelompok.
Di samping itu, seorang konselor perlu pula mengetahui dan menguasai
berbagai pendekatan dalam melakukan konseling pada umumnya dan konseling
kelompok pada khususnya. Dengan pengetahuan dan penguasaan pendekatanpendekatan itu, konselor dapat memilih cara serta prosedur konseling mana yang
paling tepat digunakannya untuk membantu konseli. Perlu diingat bahwa dari
sekian banyak pendekatan tidak ada satu pun yang paling baik untuk segala situasi.
Yang ada yaitu pendekatan yang paling tepat untuk menangani suatu masalah
khusus. Kekhususan ini sangat tergantung kepada berbagai faktor, di antaranya
masalah yang dihadapi oleh konseli, keadaan dan pribadi konseli sendiri, pribadi
dan kemampuan konselor, dan suasana hubungan antara konseli dan konselor dan

antara konseli dengan konseli lainnya dalam kelompok. Dengan menguasai


pendekatan sebanyak-banyaknya, maka konselor akan mampu memilih pendekatan
yang digunakannya di dalam usahanya memabantu konseli secara tepat dan
bijaksana.
Pengetahuan dan penguasaan pendekatan-pendekatan itu akan sangat
berguna pula bagi konselor dalam menyesuaikan upayanya dengan keadaan sosialbudaya Indonesia pada umumnya, dan suasana sosial budaya daerah khusunya.
Pada dasarnya, prosedur, teknik dan pendekatan konseling itu baik konseling
individual maupun konseling kelompok berasal dari budaya yang berlainan
dengan budaya Indonesia. Meskipun hakekat konseling itu sendiri telah ada pada
budaya Indonesia sejak lama, tetapi prosedur yang digunakan oleh konselor dewasa
ini lebih berorientasi kepada prosedur dan teknik yang dikembangkan dalam
budaya Barat, terutama Amerika Serikat. Unsur budaya itu, dengan sendirinya
memegang peranan penting dalam mencapai hasil konseling yang memadai.
Budaya Indonesia sebagai budaya Timur cenderung memandang guru (dan juga
konselor) sebagai seseorang yang memiliki kedudukan orang tua. Orang tua sendiri
mempunyai kedudukan tersendiri yang terhormat dalam hidup dan kehidupan
seorang anak. Hal ini berbeda dengan kecenderungan dalam budaya Barat. Dasar,
prosedur serta teknik konseling yang dikembangkan di Amerika Serikat adalah
persamaan kedudukan di antara konseli dan konselor. Seorang konselor di
Indonesia harus memiliki kewibawaan dan kekuatan pengaruh yang besar,
meskipun peranannya adalah sebagai pemberi kemudahan atau fasilitator.
Secara operasioal, direkomendasikan hal-hal sebagai berikut.
1. Sebaiknya konselor memahami komunikasi verbal dan nonverbal karena
tidak ada alat yang lebih baik untuk mengembangkan kesadaran diri selain
belajar menginterpretasi kedua komunikasi tersebut secara utuh.
2. Konselor sebaiknya memahami bahwa komunikasi nonverbal berfungsi
sebagai: 1) pengulang pesan verbal (repeating); 2) pengganti kata-kata
(substituting); 3) pelengkap pesan verbal (complementing); 4) pemberi
penekanan dan memperjelas (accenting); serta 5) pengatur verbal
(contradicting).
3. Konselor hendaknya memperhatikan aspek keragaman saluran dalam
komunikasi nonverbal, seperti: ekspresi wajah, petunjuk di suara (vocal
paralanguage), komunikasi taktil (haptic), gerakan tubuh (kinesics),
komunikasi spasial (proxemics and territoriality), dan waktu (chronemics).
4. Terdapat aspek budaya yang perlu dipertimbangkan oleh konselor di saat
melakukan kontak mata.
5. Konselor sebaiknya memahami lebih lanjut tentang 16 teknik komunikasi
nonverbal dan 12 teknik metafora agar ia dapat meningkatkan minat klien
dalam proses konseling dan pandangan klien sendiri terhadap konselor

sebagai orang yang dapat dipercaya, serta dapat digunakan mendeskripsikan


isu-isu khusus tentang hubungan interpesonal, pemilihan solusi, membantu
klien mengenali dirinya sendiri atau menjelaskan keadaan dirinya, dan
membingkai-ulang permasalahan yang dihadapinya.
6. Keterampilan menggunakan teknik metafora bagi konselor menjadi sebuah
keniscayaan karena dimensi ini sangat diperlukan untuk memahami klien,
pengalaman, cara berpikir, perasaan, membayangkan, berkomunikasi,
percaya, dan berhubungan.
E. Teori atau Aliran Filsafat (Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, dan
Metodologis)
Aliran filsafat post positivisme karena fokus kajiannya mengungkap hal-hal
yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari (realitas), bersifat holistik (utuh) karena
secara gamblang menguraikan ke-16 teknik yang ada dalam komunikasi nonverbal
dan 12 teknik metafora, menggambarkan dinamika kehidupan yang terjadi seharihari (dinamis), kompleks, kajian menguraikan teknik-teknik yang cukup kreatif,
menguraikan hal-hal yang saling memengaruhi antara teknik yang satu dengan
teknik yang lainnya, penuh makna dan terikat nilai melalui ungkapan dan eksposisi
hasil riset di beberapa negara (lintas budaya), metode penelitian kualitatif karena
banyak mengungkap proses dalam riset yang dilaporkan, induktif, memahami
makna realitas yang kompleks, dan mengkonstruksi fenomena yang terjadi.
Menurut Adler & Rosenfeld (1986), manusia pada esensinya ialah pelaku
komunikasi (as a communicator). Dilihat dari psikologi perkembangan, 120 hari
setelah terjadinya masa konsepsi, manusia telah berkomunikasi sampai dengan
akhir hayatnya nanti.
a. Alasan atau Latar Belakang Berkomunikasi
Terdapat empat alasan atau latar belakang mengapa manusia
berkomunikasi, yaitu:
1) Mengurangi ketidakpastian dengan lingkungan. Manusia berkomunikasi dengan
orang lain adalah untuk belajar tentang apa dan siapa lingkungan di luar dirinya
agar ia dapat menentukan cara yang tepat dalam berinteraksi;
2) Kebutuhan fisik. Maslow menyebutkan bahwa salah satu bentuk kebutuhan
manusia ialah kebutuhan fisik (physical needs), seperti makan, minum, tidur,
bernafas, bergerak dan beristirahat. Untuk memenuhi kebutuhan yang dimaksud
manusia tentunya harus berusaha. Usaha tersebut salah satunya dapat dipenuhi
melalui komunikasi dengan lingkungan di sekitarnya;
3) Kebutuhan sosial. Schutz (1966), manusia memerlukan kontak sosial dengan
lingkungannya setelah kebutuhan fisiknya dipenuhi. Kontak sosial ini bertujuan

untuk menciptakan situasi atau rasa kebersamaan (togetherness), mempengaruhi


individu yang lain, untuk diperhatikan dan memperhatikan individu yang lain.
4) Kebutuhan ego. Komunikasi dilakukan untuk mengaktualisasikan diri, termasuk
di dalamnya perasaan mengagumi dan ingin dikagumi orang, menghargai dan
dihargai orang, mengekspresikan keinginan sendiri dan keinginan orang lain.
b. Membutuhkan Komunikasi yang Lebih Baik
Dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, manusia
memerlukan komunikasi yang lebih baik. Di samping untuk memenuhi kebutuhankebutuhannya, manusia memerlukan komunikasi yang baik untuk: 1) kebutuhan
dan kesehatan; 2) hubungan yang lebih baik; 3) pemahaman diri.
c. Apa yang Dimaksud dengan Komunikasi
Sebenarnya sulit sekali untuk menerangkan apa yang dimaksud dengan
komunikasi. Hal ini disebabkan karena terlalu banyaknya definisi. Menurut Adler,
dkk. Untuk mendefinisikan komunikasi secara tepat perlu dikaji dari model-model
komunikasi. Namun demikian secara umum yang dimaksud dengan komunikasi
tiada lain adalah salah satu proses transaksi yang berkelanjutan, timbal balik, yang
melibatkan para komunikator yang kedudukannya mungkin berbeda, tetapi dalam
suatu lingkungan yang sama, dan secara sekaligus masing-masing menjadi
pengirim dan penerima pesan. Dalam kenyataannya pesan yang disampaikan
seringkali berubah. Hal ini terjadi karena ada berbagai gangguan. Gangguangangguan yang terjadi dalam proses komunikasi disebut noise.
d. Karakteristik Komunikator yang Efektif
Agar proses komunikasi secara efektif, maka seorang komunikator
hendaknya memiliki kecakapan: 1) menciptakan dan mengkreasikan pesan; 2)
mempersamakan diri dengan penerima; 3) menyesuaikan diri dengan keadaan; dan
4) tanggung jawab kepada penerima pesan.
Kecakapan menciptakan pesan, meliputi kecakapan untuk berbicara sesuai
dengan persepsi penerima, menyatakan pikiran dengan jelas, dapat dipercaya, an
terbuka.
Kecakapan mempersamakan diri dengan penerima, meliputi kecakapan
untuk mengembangkan sikap, perasaan, dan keyakinan sesuai dengan keadaan diri
penerima. Termasuk juga diantaranya kesamaan dalam hal umur, jenis kelamin,
dan kelas sosial.
Kecakapan menyesuaikan diri dengan keadaan, meliputi kemampuan untuk
dapat menyesuaikan diri dengan berbagai usia. Latar belakang budaya, dan latar

belakang sosial dalam berbagai situasi. Seorang komunikator tahu saat yang tepat
untuk memberi nasihat, memberi dorongan, memperjelas pernyataan atau bahkan
untuk dalam mendengarkan.
Bertanggung jawab kepada penerima pesan, meliputi usaha untuk selalu
datang tepat pada waktu yang disepakati, selalu meluangkan dan mengutamakan
waktu untuk kepentingan komunikasi.
Untuk tercapainya kegiatan konseling filosofis (M.D. Dahlan, 2004)
menekankan perlunya penciptaan nuansa dialogis antara konselor dengan klien
dalam hubungan aku-kamu. Tiap yang terlibat, dihargai sebagai pribadi, yang
memiliki kecerdasan, harga diri dan kedalamannya. Hubungan tersebut
menguntungkan klien yang membawa klien ke arah yang lebih baik, sesuai dengan
permasalahan yang dihadapinya. Lebih lanjut ditegaskan, bahwa para konselor
filosofis banyak yang menggunakan dialog ala Socrates yang pada dasarnya
menuntut klien memberikan jawaban untuk mempertajam pola pikir mereka
tentang topik tertentu. Filosof yang terlatih memiliki keterampilan dan mampu
menggunakan teknik untuk mengidentifikasi ruang lingkup pola pikir klien yang
mungkin tidak logis, tidak jelas dan tidak ajeg.

Makna pemberian bantuan Strupp (Natawidjaja, 2009: 36) mengemukakan:


Konseling merupakan satu jenis layanan yang merupakan bagian terpadu dari
bimbingan. Konseling dapat diartikan sebagai hubungan timbal balik antara dua
orang individu, dimana yang seorang (yaitu konselor) berusaha membantu yang
lain (yaitu konseli) untuk mencapai pengertian tentang dirinya sendiri dalam
hubungannya dengan masalah-masalah yang dihadapinya pada saat ini yang
mungkin berkaitan dengan masalah di masa lalu, dan yang mungkin dihadapinya
pada waktu yang akan datang. Kemudian, psikoterapi dapat diartikan sebagai
suatu proses antarpribadi yang dirancang untuk membuahkan perubahan
perasaan, kognisi, sikap dan perilaku yang mengganggu individu yang mencari
bantuan dari seorang profesional yang terlatih
Analog dengan pendapat di atas, Natawidjaja (2009: 7) menjelaskan
karakteristik konteks hubungan dalam layanan konseling sebagai berikut:
., hubungan yang terjadi dalam konseling bukan sekedar hubungan
komunikasi yang bersifat superfisial, melainkan melibatkan pengungkapan
aspek-aspek yang mungkin sangat pribadi sifatnya sehingga memerlukan sikap
saling percaya di antara pihak-pihak yang terlibat

Berkaitan dengan sebutan atau istilah, selanjutnya Natawidjaja (2009: 7),


menegaskan bahwa:
., sebutan konselor digunakan bagi pihak helper yang mengimplikasikan
perlunya penguasaan seperangkat keterampilan tertentu (counseling skills) yang
biasanya baru bisa diperoleh melalui pengalaman pendidikan dan praktek
tertentu. Begitupun istilah konseli digunakan bagi pihak helpee untuk
mengisyaratkan bahwa mereka yang cocok mendapat layanan konseling
kelompok bukan orang atau siswa yang sekedar memerlukan informasi,
melainkan adalah mereka yang menghadapi persoalan, kesulitan, dan/atau
tantangan perkembangan yang cukup intense, tapi masih dalam batas lingkup
permasalahan individu-individu yang normal.
Proses pemberian bantuan yang diberikan oleh konselor kepada konselinya
berlangsung dalam suatu proses relasi antarpribadi yang dapat menghasilkan
pertalian dan perpaduan di antara unsur-unsur kepribadian konselor yang
dikombinasikan dengan keterampilan khusus, menghasilkan suasana yang dapat
menunjang pertumbuh-kembangan yang mengarah kepada keberhasilan yang
bermakna bagi konselor, konseli, dan bagi masyarakat pada umumnya.
Relasi sebagai suatu proses pemberian bantuan terjadi dalam suatu
hubungan. Dalam konteks formal, relasi seperti itu terjadi melalui wawancara yang
teratur dan pada umumnya terjadi antara dua orang saja (Brammer, 1979: 44).
Unsur-unsur yang membangun relasi itu dapat diperhatikan dalam gambar berikut.

Se
l

Helper

Interview
(the relationship)

Helpee

Feelings

es
nc ns
rie tio
pe cta s
Ex pe lem
Ex rob
P

Ex
Ex per
pe ien
Pr cta ces
ob tio
le ns
m
s

fP
e
N r ce
Va eed ptio
lu s n
es

n
tio
ep
rc
Pe s
lf ed
Se Ne ues
l
Va
Feelings

Gambar 1: Hubungan antara Konselor dengan Konseli dalam


Proses Pemberian Bantuan
Merujuk pada gambar 2, proses pemberian bantuan yang diberikan oleh
konselor kepada konseli bersifat dinamis. Dalam proses pemberian bantuan, ada
kecenderungan terjadi perubahan, baik verbal maupun nonverbal. Selain itu, relasi
antarpribadi yang terjadi dalam proses pemberian bantuan juga secara psikologis
dapat merupakan suatu wahana utama bagi konselor dan konselinya untuk
menyatakan dan memuaskan kebutuhannya satu sama lain serta untuk menangani

masalah konseli dengan menggunakan keahlian konselor. Dalam hal ini, relasi
menekankan kecenderungan afektif karena relasi itu biasanya diartikan sebagai
pernyataan mutu emosi dari suatu interaksi.
Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan pemberian bantuan
melalui relasi di antaranya ialah dimensi karakteristik konselor. Hasil rangkuman
dari National Vocational Guidance Association dalam Shertzer dan Stone (1971),
Hamrin dan Paulson, Council of Student Personnel Association in Higher School,
dan Association for Counselor Education & Supervision (Syamsu Yusuf dan
Juntika, 2005: 44) dan Standar Kompetensi Konselor Indonesia (2007),
mengungkapkan bahwa seorang konselor atau calon konselor minimal harus
mempunyai karakteristik yang baik dalam hal: 1) kepercayaan diri, 2) berminat
membantu orang lain, 3) sabar, 4) sensitif terhadap reaksi dan sikap orang lain, 5)
berkomitmen terhadap nilai manusiawi individu, 6) bersikap terbuka, dan 7)
emosinya stabil, serta 8) mempunyai kepercayaan terhadap kemampuan individu
yang dibantunya.
Pendapat ini mengimplikasikan tentang pentingnya kualifikasi seorang
konselor yang bermutu. Apalagi dalam konteks globalisasi sekarang yang penuh
dengan persaingan, wacana dan isu tentang kualitas suatu profesi perlu menjadi
kepedulian, terlebih jika menyangkut kualitas kinerja suatu profesi pemberi
bantuan, seperti halnya konselor sekolah. Dapat dipahami, bahwa hanya konselor
yang berkualitas baik saja yang akan tetap bertahan serta bermanfaat secara
signifikan terhadap pihak yang dilayani. Artinya bahwa semakin berkualitas kinerja
seorang konselor maka semakin banyak atau meningkat pula masyarakat pengguna
yang merasa membutuhkan konselor tersebut sebab masyarakat pengguna
memperoleh manfaat yang memuaskan atas pelayanan profesi tersebut.

Referensi
Adler, Ronald B., and Rosenfeld, Lawrence B. (1986). Interplay: The Process of
Interpersonal Communication.
ABKIN. (2007). Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan
Bimbingan dan Konseling alam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta: Dirjen
Dikti Depdiknas.
Brammer, Lawrence M. (1979). The Helping Relationship: Process and Skills (2nd
edition). New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Englewood Cliffs.
Dahlan, M. D. (2004). Konseling Filosofis: Satu Kecenderungan Perkembangan
Konseling. Bahan Diskusi (Seminar Nasional Profesi Konselor Masa
Depan). Bandung: Program Pascasarjana dan Fakultas Ilmu Pendidikan.
Jacobs, Ed E., Masson, Robert L. , and Harvill, Riley L. (2012). Group
Counseling: Strategies and Skills (7th ed.). USA: Brooks/Cole, Cengage
Learning.

Natawidjaja, Rochman. (2009). Konseling Kelompok: Konsep Dasar &


Pendekatan. Bandung: Rizqi Press.
Shertzer, B. & Stone, S. C. (1971). Fundamentals of Guidance. Boston: Houghton
Mifflin Company.
Yusuf, Syamsu dan Nurihsan, Juntika A. (2005). Landasan Bimbingan &
Konseling. Bandung: PPs UPI-Rosda.
Edy Legowo, dkk. (2008). Modul Pendidikan dan Latihan Profesi Guru Bimbingan
Konseling. Surakarta: Panitia Sertifikasi Guru Rayon 13
Michael S. Kelly, dkk. 2009. Solution-Focused Brief Therapy in Schools.
Surakarta: Perpustakaan Program Studi Bimbingan dan Konseling Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

TERAPI SINGKAT BERFOKUS SOLUSI DI KELAS


A. Rasional
Salah satu komponen dari sistem pendidikan di sekolah, yaitu bimbingan
dan konseling. Layanan bimbingan dan konseling di sekolah bertujuan membantu
peserta didik untuk mengiringi proses perkembangannya melewati masa-masa
sekolah sehingga terhindar dari berbagai kesulitan dan masalah; dapat memecahkan
masalahnya sendiri baik masalah: akademik, pribadi, sosial, dan karirnya, sehingga
dapat menumbuhkembangkan dirinya sampai pada perkembangan yang optimal;
dan dapat mengaktualisasikan dirinya serta mampu bertanggung jawab terhadap
dirinya sendiri.
Mengingat permasalahan yang sering dialami oleh peserta didik, kegiatan
bimbingan dan konseling di lingkungan sekolah mencakup berbagai jenis
bimbingan di antaranya meliputi: (1) bimbingan akademik, (2) bimbingan
pengembangan sikap dan tanggung jawab profesional, (3) bimbingan penyesuaian
sosial-pribadi, dan (4) bimbingan karir.
Secara khusus, tujuan bimbingan dan konseling (ABKIN, 2007) yang
terkait dengan aspek pribadi-sosial adalah sebagai berikut.
a. Memiliki komitmen yang kuat dalam mengamalkan nilai-nilai keimanan
dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, baik dalam kehidupan
pribadi, keluarga, pergaulan dengan teman sebaya, Sekolah/Madrasah,
tempat kerja, maupun masyarakat pada umumnya.
b. Memiliki sikap toleransi terhadap umat beragama lain, dengan saling
menghormati dan memelihara hak dan kewajibannya masing-masing.
c. Memiliki pemahaman tentang irama kehidupan yang bersifat fluktuatif
antara yang menyenangkan (anugrah) dan yang tidak menyenangkan
(musibah), serta dan mampu meresponnya secara positif sesuai dengan
ajaran agama yang dianut.
d. Memiliki pemahaman dan penerimaan diri secara objektif dan konstruktif,
baik yang terkait dengan keunggulan maupun kelemahan; baik fisik
maupun psikis.
e. Memiliki sikap positif atau respek terhadap diri sendiri dan orang lain.
f. Memiliki kemampuan untuk melakukan pilihan secara sehat
g. Bersikap respek terhadap orang lain, menghormati atau menghargai orang
lain, tidak melecehkan martabat atau harga dirinya.
h. Memiliki rasa tanggung jawab, yang diwujudkan dalam bentuk komitmen
terhadap tugas atau kewajibannya.
i. Memiliki kemampuan berinteraksi sosial (human relationship), yang
diwujudkan dalam bentuk hubungan persahabatan, persaudaraan, atau
silaturahim dengan sesama manusia.
j. Memiliki kemampuan dalam menyelesaikan konflik (masalah) baik bersifat
internal (dalam diri sendiri) maupun dengan orang lain.
k. Memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan secara efektif.

Sekolah sebagai suatu sistem sosial memerlukan iklim kondusif yang dapat
mendukung ke arah proses pembelajaran yang efektif. Penyesuaian diri peserta
didik merupakan salah satu isu penting dan menjadi tugas perkembangan sosialnya.
Pada masa ini berkembang social cognition, suatu kemampuan untuk memahami
orang lain. Menurut Tina Hayati Dahlan (2011: 5): Permasalahan yang mendasar
seringkali karena peserta didik lemah dalam daya psikologis sehingga pada saat
dihadapkan pada beragam permasalahan yang dihadapi mereka dalam
kehidupannya di sekolah, mereka seringkali mengambil cara yang destruktif
terhadap diri sendiri dan orang lain. Keefektifan individu dalam mengatasi
permasalahan dan tekanan dipengaruhi oleh daya psikologis (Cavanagh dan
Levitov, 2002: 192). Tingkat daya psikologis mempengaruhi kualitas kehidupan
seseorang (Cavanagh & Levitov, 2002: 191). Daya psikologis yang dimaksudkan
di sini ialah kemampuan seseorang untuk mengatasi tantangan, permasalahan,
hambatan dan tekanan dalam kehidupannya.
Dalam konteks kehidupan di sekolah, peserta didik yang memiliki daya
psikologis rendah akan sulit untuk mengatasi hambatan dan tantangan yang
dihadapinya. Mereka akan mengatasi permasalahannya dengan cara yang negatif
dan destruktif. Sedangkan peserta didik yang memiliki daya psikologis tinggi akan
lebih mudah mengatasi hambatan dan tantangan yang dihadapinya. Mereka mampu
mengatasi permasalahan dengan cara positif dan konstruktif. Dengan demikian,
peserta didik yang memiliki daya psikologis tinggi akan memperoleh kepuasan dan
keberhasilan dalam penyelesaian masalah sosial, pribadi, studi, perkembangan
karier, dan kehidupannya di masa yang datang. Sebaliknya, peserta didik yang
memiliki tingkat daya psikologis rendah akan merasa tertekan dan tidak akan
memperoleh kepuasan dalam penyelesaian studi, karier, dan kehidupannya di masa
yang akan datang.
Daya psikologis dibangun oleh tiga unsur yang saling berkaitan, yaitu: (1)
pemenuhan kebutuhan, (2) kompetensi intrapersonal, dan (3) kompetensi
interpersonal. Ketiga unsur ini saling berkaitan satu sama lain, serta penting bagi
berfungsinya dua unsur yang lain dan bagi unsur itu sendiri, sehingga perubahan
dalam satu unsur akan diikuti oleh perubahan dalam unsur yang lain. Apabila
kompetensi intrapersonal dan interpersonal meningkat, maka pemenuhan
kebutuhan akan meningkat pula, yang kemudian akan meningkatkan daya
psikologis, yang pada akhirnya akan menentukan kesehatan psikologis atau tingkat
keberfungsian psikologis.
Tina Hayati Dahlan (2011: 6) menegaskan:
Semakin baik kompetensi intrapersonal dan interpersonal, maka semakin tinggi
tingkat pemenuhan kebutuhan psikologis mereka, dan semakin sehat fungsi
psikologis mereka. Sebaliknya, semakin buruk kompetensi intrapersonal dan

interpersonal, maka semakin rendah tingkat pemenuhan kebutuhan psikologis dan


abnormal fungsi psikologis mereka.
Kompetensi intrapersonal merupakan kemampuan yang dipelajari yang
membantu seseorang untuk berhubungan dengan dirinya sendiri. Kemampuan ini
memungkinkan orang tersebut untuk berelasi dengan lingkungannya sekaligus
memenuhi kebutuhannya karena kesadaran akan pikiran, perasaan, dan kebutuhan
yang mereka miliki semakin meningkat.
Kompetensi interpersonal merupakan metode yang dipelajari seseorang dan
digunakan dalam berinteraksi dengan orang lain. Kompetensi interpersonal
memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memahami orang lain dan juga
diri sendiri dalam konteks sosial. Kompetensi ini sangat penting karena semakin
efektif seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain, maka semakin banyak
kesempatan untuk mempelajari diri sendiri dan semakin memungkinkan mereka
untuk memenuhi kebutuhan interpersonal yang memadai.

Remaja memahami dirinya dan orang lain sebagai individu yang unik, baik
menyangkut sifat-sifat pribadi, minat, nilai-nilai maupun perasaannya.
Pemahaman ini, mendorong remaja untuk menjalin hubungan sosial yang lebih
akrab dengan lingkungan sosial (terutama teman sebaya), baik melalui jalinan
persahabatan maupun percintaan (pacaran) (Yusuf, 2008: 98).
Sejalan dengan itu, Sunaryo Kartadinata (2011: 33) menegaskan, bahwa:
Adekuasi penyesuaian diri merupakan aspek fundamental dalam proses
bimbingan dan konseling. Pendidikan pada umumnya dan bimbingan pada
khususnya bertujuan membantu individu mengembangkan suatu sistem
penyesuaian diri yang adekuat untuk memperoleh perkembangan diri yang
optimal. Perkembangan optimal berarti individu berkembang sesuai dengan
potensi dirinya, yang mengandung makna bahwa individu harus memahami
dirinya, kesempatan yang tersedia, dan melakukan pilihan yang realistik untuk
mengembangkan potensinya.
Pola penyesuaian diri adalah suatu kondisi yang terbentuk pada diri manusia;
merupakan suatu sistem yang dinamik untuk memperoleh perkembangan diri
yang optimal. Pola penyesuaian diri terbentuk melalui interaksi individu dengan
lingkungan. Ini berarti bahwa pendidikan memegang peranan penting dalam
pengembangan pola penyesuaian diri individu yang adekuat. Upaya pendidikan
dalam membantu individu mengembangkan sistem penyesuaian diri yang
adekuat berlandaskan kepada sifat-sifat manusiawi dari manusia-manusia yang
terlibat di dalamnya, terutama anak didik. Prinsip dimaksud mengandung arti
bahwa mendidik bukanlah memberi nasihat kepada anak, melainkan
mendapatkan situasi yang penuh keakraban di mana dalam situasi tersebut
terwujudnya nilai-nilai hidup dalam bentuk perilaku yang dapat memengaruhi
dan mendorong anak berbuat atas kesadaran dan kemauannya sendiri.
Dalam standar kompetensi kemandirian peserta didik pada jenjang
perguruan tinggi aspek perkembangan kematangan hubungan dengan teman

sebaya, yaitu: (1) tataran pengenalan, yaitu dapat mempelajari cara-cara membina
kerjasama dan toleransi dalam pergaulan dengan teman sebaya, (2) tataran
akomodasi, yaitu dapat menghargai nilai-nilai kerjasama dan toleransi sebagai
dasar untuk menjalin persahabatan dengan teman sebaya, (3) tataran tindakan,
yaitu mempererat jalinan persahabatan yang lebih akrab dengan memperhatikan
norma yang berlaku (ABKIN, 2007: 97).
Terdapat beberapa inisiatif pendidikan yang dirancang untuk membantu
peserta didik mencapai kompetensi kemandirian sosial yang diharapkan. Misalnya,
terapi singkat yang berfokus pada solusi (solution-focused brief therapy) atau
sering disingkat SFBT, yang dipelopori oleh Insoo Kim Berg dan Steve de Shazer,
serta praktisi SFBT berbasis sekolah dan ahli lainnya. Pendekatan ini terfokus pada
aspek-aspek utama teori SFBT, khususnya cara dimana para praktisi berfokus
solusi berpikir tentang perubahan, kapasitas klien, dan sifat resistensi klien
(OConnell dalam Palmer, 2010: 549).
Sejak dikembangkan tahun 1980-an, SFBT kemudian menjadi salah satu
alternatif pilihan bantuan yang diharapkan dapat menjadi alternatif pengobatan
jangka pendek, dengan berbagai kebutuhan atau permasalahan yang timbul di
lingkungan sekolah, dan guru bimbingan dan konseling (BK) di sekolah.
Salah satu faktor yang mendorong munculnya SFBT ialah adanya fenomena
dinamika perubahan yang terjadi dan senantiasa menuntut perhatian guru
bimbingan dan konseling (BK) memfokuskan diri pada perubahan-perubahan kecil
yang membuat perbedaan-perbedaan besar dalam kehidupan peserta didik. Apa
yang perlu dilakukan oleh guru bimbingan dan konseling (BK) atas munculnya
perubahan-perubahan kecil yang kadang-kadang sulit.
B. Tujuan
Terapi berfokus pada solusi mempunyai tujuan sebagai berikut.
1. Mengubah perilaku yang tidak sehat menjadi sehat.
2. Mengantar klien meraih kehidupan yang lebih sehat dan lebih bahagia
sepanjang kehidupannya.
3. Membantu mengidentifikasi atas perubahan-perubahan yang diinginkan
klien.
4. Membangun visi klien yang dipilih untuk masa depannya.
5. Membantu klien mengidentifikasi hal-hal yang baik untuk
kehidupannya.
6. Membantu klien membawa kesuksesan sekecil apapun ke dalam
kesadarannya.
7. Membantu klien untuk mengulang keberhasilan yang pernah diraihnya.

8. Membantu mengubah pandangan klien tentang situasi atau kerangka


berpikir dalam menghadapi situasi problematik melalui upaya
perekaman sumber-sumber dan kekuatan klien.
9. Adanya keterlibatan secara aktif dari klien untuk menerima pergantian
bahasa dan penyikapan yang berfokus pada solusi alih-alih pada
masalah (Nicholas dan Schwartz).
C. Prinsip
Menurut (OConnell dalam Palmer, 2010: 558), terapi berfokus pada solusi
mempunyai asumsi-asumsi sebagai berikut.

1. Jika tidak rusak, jangan diperbaiki. TFS menekankan bahwa orang-

2.

3.

4.

5.

oranglah yang memiliki masalah, bukannya orang-orang adalah


masalah. TFS menghindari pandangan bahwa klien itu sakit atau rusak,
dan justeru mencari hal yang sehat atau yang bisa berfungsi di dalam
kehidupan mereka.
Perubahan kecil bisa mengakibatkan perubahan besar. Perubahan
dianggap sebagai hal yang konstan dan tak bisa dielakkan. Memantik
daya perubahan malah bisa mengembalikan perasaan memilih dan
mengendalikan pada diri klien di dalam kehidupannya dan mendorong
perubahan lebih jauh.
Jika bisa berfungsi, terus lakukan. Klien didorong untuk terus
melakukan hal yang telah bisa dilakukannya. Perilaku konstruktif bisa
bermula sebelum konseling. Klien terus melanjutkan pola perilaku baru
sebelum ia merasa yakin bisa mempertahankannya.
Jika tak bisa berfungsi, jangan teruskan. Klien TFS didorong untuk
melakukan sesuatu yang berbeda untuk menghancurkan lingkaran
kegagalan. Itu mungkin berlawanan dengan aturan yang biasa dikenal
jika awalnya Anda tak berhasil, coba, coba, dan coba lagi.
Lakukan konseling sesederhana mungkin. Jika keyakinan konselor
menuntut ditemukannya penjelasan tersembunyi dan faktor-faktor
bawah, keyakinan tersebut akan memperumit dan memperlama
terjalinnya relasi.

D. Fokus Pengembangan Kompetensi


Salah satu prinsip bimbingan dan konseling komprehensif adalah bersifat
proaktif dan berorientasi pengembangan kompetensi. Berdasarkan hal tersebut,
substansi terapi berfokus pada solusi diposisikan sebagai bagian dari layanan dasar
bimbingan dan konseling. Pengembangan model ini memang melalui pengukuran
terhadap kompetensi: (1) memiliki komitmen yang kuat dalam mengamalkan nilai-

nilai keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, baik dalam
kehidupan pribadi, keluarga, pergaulan dengan teman sebaya, Sekolah/Madrasah,
tempat kerja, maupun masyarakat pada umumnya.; (2) memiliki sikap toleransi
terhadap umat beragama lain, dengan saling menghormati dan memelihara hak dan
kewajibannya masing-masing; (3) memiliki pemahaman tentang irama kehidupan
yang bersifat fluktuatif antara yang menyenangkan (anugrah) dan yang tidak
menyenangkan (musibah), serta dan mampu meresponnya secara positif sesuai
dengan ajaran agama yang dianut; (4) memiliki pemahaman dan penerimaan diri
secara objektif dan konstruktif, baik yang terkait dengan keunggulan maupun
kelemahan; baik fisik maupun psikis; (5) memiliki sikap positif atau respek
terhadap diri sendiri dan orang lain; (6) memiliki kemampuan untuk melakukan
pilihan secara sehat; (7) bersikap respek terhadap orang lain, menghormati atau
menghargai orang lain, tidak melecehkan martabat atau harga dirinya; (8) memiliki
rasa tanggung jawab, yang diwujudkan dalam bentuk komitmen terhadap tugas
atau kewajibannya; (9) memiliki kemampuan berinteraksi sosial (human
relationship), yang diwujudkan dalam bentuk hubungan persahabatan,
persaudaraan, atau silaturahim dengan sesama manusia; (10) memiliki kemampuan
dalam menyelesaikan konflik (masalah) baik bersifat internal (dalam diri sendiri)
maupun dengan orang lain.; (11) memiliki kemampuan untuk mengambil
keputusan secara efektif (ABKIN, 2007).
Secara garis besar usulan terapi berfokus pada solusi di sekolah ini,
meliputi hal-hal sebagai berikut: solusinya dirancang secara singkat, guru
bimbingan dan konseling (BK) berperan lebih aktif dalam menggeser fokus klien
(dari fokus problem ke fokus solusi). Strategi hubungan guru BK-peserta didik,
difungsikan agar klien lebih aktif dan berkembang tanggung jawabnya. Penciptaan
hubungan kerja sama dalam terapi dan memandangnya sebagai kebutuhan untuk
keberhasilan terapi. Dengan menyadari bahwa konselor memiliki keahlian di dalam
menciptakan konteks untuk perubahan, mereka menekankan bahwa klien adalah
ahli dalam kehidupan yang dialaminya dan sering memiliki perasaan yang baik
terhadap apa yang sudah atau yang belum dikerjakan di masa lampau, dan juga
sama halnya dengan apa yang harus dikerjakan di waktu yang akan datang. Jika
klien terlibat di dalam proses terapi dari awal hingga akhir, kesempatan klien
semakin meningkat dan terapi akan berhasil. Singkatnya, hubungan kooperatif dan
kolaboratif cenderung akan menjadikan lebih efektif daripada hubungan yang
bersifat hirarkis di dalam terapi (online).
Walter dan Peller (online) menguraikan empat langkah yang memberikan
ciri kepada proses SFBT, yaitu:
1. Menemukan apa yang klien inginkan daripada mencari apa yang mereka
tidak inginkan.

2. Jangan mencari penyakit dan jangan berusaha mengurangi klien dengan


memberikan label diagnostik, alih-alih mencari apa yang bisa dikerjakan
klien dengan baik dan mendorong mereka untuk meneruskannya searah
dengan yang sudah dilakukan.
3. Jika apa yang klien lakukan tidak bisa terlaksana dengan baik, kemudian
doronglah mereka untuk mencoba hal lain yang berbeda.
4. Usahakan terapi berlangsung singkat dengan mendekati setiap pertemuan
seolah-olah pertemuan itu sebagai pertemuan terakhir dan hanya satu
pertemuan.
Jika diringkas, Edy Legowo (2008: 79) proses terapi singkat berfokus solusi
mencakup dua aktivitas utama sebagai berikut:
1. Aktivitas menumbuhkembangkan kesadaran (consciousness raising)
Aktivitas menumbuhkembangkan kesadaran klien dapat berupa:
a. Membantu klien untuk makin menyadari kekecualian-kekecualian
(exceptions) yang terlepas dari masalah mereka.
b. Membantu klien menjadi semakin menyadari bahwa realitas kehidupan
bukan satu-satunya dalam keseluruhan kehidupan mereka.
c. Membantu klien mentransformasikan realitas yang pada mulanya hanya
imajinasi menjadi tujuan-tujuan spesifik dan praktis serta dapat dicapai.
2. Membuat pilihan sadar (choosing conscious)
Tujuan-tujuan yang kita pilih untuk menentukan masa depan kita. Seiring
dengan makin meningkatnya kesadaran klien tentang perkecualian-perkecualian
positif di tangan kehidupannya yang syarat problem, mereka akan bisa membuat
pilihan sadar untuk menciptakan lebih banyak lagi perkecualian-perkecualian
seperti itu.
Water dan Peller (1992) memberikan empat pandangan untuk membuat
pilihan sadar yang bersifat terapeutik:
a. Jika pilihan yang dibuat bisa bekerja efektif, jangan berhenti sampai
disitu, bergegaslah menjalani pilihan tersebut
b. Jika pilihan yang dibuat itu bekerja kurang efektif perjuangkan agar ia
menjadi lebih efektif
c. Jika pilihan yang dibuat itu sama sekali tidak efektif, bereksperimenlah
juga berimajinasikanlah mukjizat-mukjizat
d. Perlakuakan setiap sesi konseling atau psikoterapi seolah olah sesi itu
adalah sesi terakhir. Maka mulailah berubah sekarang, bukan esok,
bukan pekan depan.

E. Teknik-teknik Terapi Singkat Berfokus pada Solusi


Teknik-teknik terapi singkat berfokus pada solusi (online) pada dasarnya
mengikuti tahapan-tahapan Teknik-teknik yang digunakan dalam terapi singkat
berfokus solusi sebagai berikut:
1. Perubahan sebelum terapi
Penjadwalan suatu janji saja sering membuat perubahan positif dalam
perjalanannya. Dengan menanyakan perubahan, konselor dapat merangsang,
membangkitkan, dan memperkuat apa yang sudah dilakukan yang merupakan cara
untuk membuat perubahan. Perubahan-perubahan ini tidak dapat ditumpukan
sepenuhnya pada proses terapi itu sendiri, sehingga pertanyaan itu cenderung
mendorong klien untuk tidak banyak bergantung kepada konselor dan lebih
bergantung kepada sumber yang dimiliki dalam dirinya untuk mencapai tujuantujuan yang diinginkan.
2. Pertanyaan Ajaib/The Miracle Question (MQ)
a. Pengertian
MQ adalah teknik bertanya yang digunakan konselor untuk membantu klien
bagaimana menetapkan visi ke depan, merupakan suatu keadaan bilamana klien
tidak bermasalah, dan itu merupakan tujuan yang hendak dicapai. Klien didorong
untuk bertindak apa yang kemungkinan berbeda meskipun problemnya masih
ada.
De Jong dan Berg (Corey, 2002: 8) mengenali sejumlah alasan bahwa
pertanyaan ajaib adalah suatu teknik yang bermanfaat. Dengan bertanya kepada
klien untuk mempertimbangkan bahwa suatu keajaiban akan terjadi membuka
luasnya kemungkinan-kemungkinan di masa depan. Klien didorong untuk bebas
bermimpi sebagai cara mengenali perubahan yang memang mereka inginkan.
Pertanyaan ini memiliki focus masa depan yang dari situ klien bisa dapat memulai
mempertimbangkan suatu jenis kehidupan yang berbeda yang tidak didominasi
oleh suatu masalah tertentu. Intervensi ini mengalihkan penekanan keduanya yaitu
masalah masa lalu maupun masa sekarang terhadap hidup di masa yang akan
datang.
b. Contoh Versi tradisional MQ
Contoh 1:
Jika di suatu pertemuan konseling berakhir, Anda pulang, Anda
melakukan apapun yang Anda rencanakan pada hari itu, akhirnya Anda kelelahan
dan tidur pada malam harinya. Di tengah malam, saat Anda tidur nyenyak,
keajaiban terjadi yaitu semua masalah yang Anda alami hari ini sepertinya
terpecahkan semuanya. Tetapi karena keajaiban itu hanyalah mimpi, maka tidak
ada seorangpun yang mengatakan bahwa mukjizat terjadi. Ketika Anda bangun
pagi hari, bagaimana Anda akan memulai melakukan bahwa keajaiban terjadi?
Apa lagi yang akan Anda kerjakan? Apa lagi?

Contoh 2:
Jika Anda bangun sampai besok, dan keajaiban terjadi, Anda tidak lagi
mudah kehilangan kesabaran, seberbeda apa yang akan terjadi pada diri
Anda?Tanda-tanda pertama apa bila kemukjizatan itu terjadi?
Respon Klien barangkali :
Saya tidak akan kesal ketika seseorang memanggil nama saya. (tidak
efektif). Para konselor ingin klien mengembangkan tujuan positif, atau apa yang
akan mereka lakukan lebih dari pada apa yang mereka tidak ingin lakukan. Ini akan
menjadi lebih baik, karena memberikan kepastian akan keberhasilan.
Lebih baik, konselor barangkali meminta klien, Apa yang dapat Anda lakukan,
pada saat seseorang memanggil namamu?
3. Pertanyaan Penskalaan/Scaling Questions (SQ)
a. Pengertian
SQ adalah teknik yang digunakan konselor untuk mengidentifikasi perbedaan
yang bemanfaat bagi klien, dan dapat membantu untuk menetapkan tujuan pula.
Kutub dari skala biasanya berentang dari kondisi masalah yang terburuk yang
terjadi (0 atau 1) di salah satu ujung, dan di ujung yang lain menggambarkan
kondisi terbaik yang mungkin akan dicapai (10).
Klien diminta untuk menilai mereka saat ini berada pada posisi skala
berapa, dan pertanyaan yang kemudian digunakan untuk mengidentifikasi berbagai
sumber.
Konselor menggunakan pertanyaan yang memberi skala apabila perubahan
dalam pengalaman manusia tidak mudah diamati, seperti perasaan, suasana hati,
atau komunikasi. Pertanyaan dengan memberikan skala menjadikan klien untuk
memberikan perhatian yang lebih dekat kepada apa yang sedang mereka kerjakan
dan bagaimana mereka dapat mengambil langkah yang akan mengarahkan kepada
perubahan yang mereka kehendaki.
b. Contoh
Apa yang tidak membuatmu terperosok pada jalur skala rendah?,
Pengecualian: pada suatu hari ketika Anda berada di satu titik skala yang lebih
tinggi, apa yang akan Anda katakan bahwa hal ini merupakan hal yang berada.
Di posisi skala berapa Anda menjadi merasa cukup baik? Apa yang akan
terjadi bilamana di suatu hari Anda berada pada titik skala tersebut?
4. Exception Seeking (ES) atau Pertanyaan Pengecualian
SFBT mendasarkan pada anggapan bahwa ada saat-saat dalam hidup klien
ketika suatu masalah-masalah yang mereka kenali tidak menjadi masalah. Waktuwaktu inilah yang disebut kekecualian-kekecualian. Konselor mengajukan
pertanyaan kekecualian untuk mengarahkan klien ke arah waktu-waktu ketika
problem tidak timbul. Kekecualian adalah pengalaman-pengalaman masa lalu

dalam hidup klien yang layak untuk diharapkan muncul ketika ada masalah,
meskipun biasanya tidak. Pengungkapan ini mengingatkan kepada klien bahwa
problem itu tidak semuanya memiliki kekuatan dan tidak selalu muncul selamanya.
Pengungkapan ini juga memberikan bidang peluang bagi munculnya sumber,
ditemukannya kekuatan, dan didapatkannya kemungkinan solusi.
a. Para pendukung SFBT berpendapat bahwa selalu ada saat dimana klien
merasakan ringan atau bahkan tidak sedang mengalami masalah.
b. Konselor berusaha mendorong klien untuk menjelaskan apa yang berbeda
dengan saat ketika ia berada dalam kondisi bermasalah (kasus).
c. Tujuan dari teknik ini adalah agar klien mengulang kesuksesan di masa
lalu, dan membantu mereka mendapatkan kepercayaan untuk melakukan
perbaikan ke depan berdasarkan pengalaman suksesnya tersebut.
5. Mengatasi Pertanyaan/Coping Question (CQ)
a. Pengertian
Teknik CQ dirancang untuk memperoleh informasi tentang
berbagai sumber daya yang dimiliki klien, yang saat itu hilang (dilupakan) tak
ketahuan. Bahkan mungkin merupakan ceritera dalam kondisi klien
takberpengharapan (hoppless).
Rasa ingin tahu dan senang dapat membantu klien melihat kekuatan tanpa
mempertentangkan dengan kondisi klien senyatanya.
b. Sumber daya yang dimiliki klien ada dua yaitu:
1. Sumberdaya Internal: keterampilan, kekuatan, kualitas, kepercayaan
klien dan kapasitas mereka yang berguna.
2. Sumberdaya External: Relasi yang mendukung, seperti, mitra, keluarga,
teman, atau kelompok agama dan juga kelompok-kelompok pendukung
yang lainnya.
c. Contoh
Saya melihat hal itu benar-benar sulit bagi Anda, namun Saya kaget melihat
fakta bahwa meskipun dalam kondisi seperti itu Anda mampu me-manage dirimu
untuk bangkit, dan setiap pagi Anda melakukan semua yang diperlukan
keluargamu. Bagaimana anda melakukannya?
6. Umpan Balik Konselor kepada Klien
Para pelaksana konseling umumnya mengambil waktu jeda lima sampai
dengan sepuluh menit menjelang setiap akhir pertemuan untuk menyusun suatu
ringkasan pesan kepada klien. Selama waktu jeda ini konselor merumuskan umpan
balik yang akan diberikan kepada klien setelah waktu jeda.
De Jong dan Berg (Corey, 2002: 9) menguraikan tiga bagian pokok untuk
umpan balik yang berupa ringkasan: pujian, jembatan, dan anjuran tugas. Pujian

adalah pengakuan yang tulus terhadap apa yang telah klien lakukan yang mengarah
ke solusi yang efektif. Pujian-pujian ini yang wujudnya berbentuk dorongan,
menciptakan harapan, dan penyampaian harapan kepada klien bahwa mereka dapat
mencapai tujuan-tujuan mereka dengan menggunakan kekuatan dan keberhasilan
mereka. Kedua, sebuah jembatan menghubungkan pujian awal kepada tugas
anjuran yang diberikan. Jembatan memberikan alasan penalaran untuk pujian itu.
Aspek umpan balik ketiga berisi anjuran tugas kepada klien, yang dapat
dipertimbangkan sebagai pekerjaan rumah. Tugas pengamatan maksudnya ialah
meminta klien untuk sekedar memberikan perhatiannya kepada beberapa aspek
kehidupan mereka. Proses monitoring diri ini membantu klien mencatat perbedaanperbedaan apabila segala sesuatu keadaannya lebih baik.
7. Penghentian
Dari awal sekali wawancara berfokus solusi, konselor selalu berpikiran
bahwa dalam bekerja akan mengarah kepada penghentian. Begitu klien mampu
membangun solusi yang memuaskan, hubungan terapi dapat dihentikan. Sebelum
konseling berakhir, konselor membantu klien dalam mengenali hal-hal yang bisa
mereka lakukan untuk melanjutkan perubahan-perubahan yang telah mereka
lakukan di masa yang akan datang.
Klien juga bisa dibantu untuk mengenali rintangan atau hambatanhambatan yang kemungkinan ditemui dalam perjalanannya memelihara perubahan
yang telah mereka lakukan. Karena model terapi ini singkat, berpusat pada masa
sekarang, dan dimaksudkan untuk keluhan tertentu, akan sangat mungkin bahwa
klien akan mengalami persoalan-persoalan perkembangan lain di kemudian hari.
Klien bisa minta pertemuan tambahan kapan saja ketika mereka merasakan adanya
kebutuhan yang mereka rasakan untuk kembali ke jalan hidup yang benar.
F. Evaluasi dan Indikator Keberhasilan
Untuk mengevaluasi terapi singkat berfokus pada solusi, maka dapat dilihat
dari ketercapaian indikator-indikator atas kompetensi peserta didik berikut.
1. Memiliki komitmen yang kuat dalam mengamalkan nilai-nilai keimanan
dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, baik dalam kehidupan
pribadi, keluarga, pergaulan dengan teman sebaya, Sekolah/Madrasah,
tempat kerja, maupun masyarakat pada umumnya.
2. Memiliki sikap toleransi terhadap umat beragama lain, dengan saling
menghormati dan memelihara hak dan kewajibannya masing-masing.
3. Memiliki pemahaman tentang irama kehidupan yang bersifat fluktuatif
antara yang menyenangkan (anugrah) dan yang tidak menyenangkan
(musibah), serta dan mampu meresponnya secara positif sesuai dengan
ajaran agama yang dianut.

4. Memiliki pemahaman dan penerimaan diri secara objektif dan konstruktif,


baik yang terkait dengan keunggulan maupun kelemahan; baik fisik
maupun psikis.
5. Memiliki sikap positif atau respek terhadap diri sendiri dan orang lain.
6. Memiliki kemampuan untuk melakukan pilihan secara sehat
7. Bersikap respek terhadap orang lain, menghormati atau menghargai orang
lain, tidak melecehkan martabat atau harga dirinya.
8. Memiliki rasa tanggung jawab, yang diwujudkan dalam bentuk komitmen
terhadap tugas atau kewajibannya.
9. Memiliki kemampuan berinteraksi sosial (human relationship), yang
diwujudkan dalam bentuk hubungan persahabatan, persaudaraan, atau
silaturahim dengan sesama manusia.
10. Memiliki kemampuan dalam menyelesaikan konflik (masalah) baik bersifat
internal (dalam diri sendiri) maupun dengan orang lain.
11. Memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan secara efektif.

Referensi
Dahlan, Tina Hayati. (2012). Model Konseling Singkat Berfokus Solusi (SolutionFocused Brief Counseling) untuk Meningkatkan Daya Psikologis Mahasiswa.
Proceeding. Bandung: SPs UPI.
Depdiknas. (2007). Rambu-rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam
Jalur Pendidikan Formal. Jakarta: Dirjen PMPTK.
http://ekodageink.blogspot.com/2012/11/metode-terapi-singkat-berfokus-pada.html
Kartadinata, Sunaryo. (2011). Menguak Tabir Bimbingan dan Konseling sebagai Upaya
Pedagogis: Kiat mendidik sebagai Landasan Profesional Tindakan Konselor.
Bandung: UPI Press.
OConnell, Bill dalam Palmer, Stephen (ed.). (2010: 549). Konseling dan Psikoterapi
(Cetakan I, Alihbasa Haris H. Setiadjid). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Edy Legowo, dkk. (2008). Modul Pendidikan dan Latihan Profesi Guru Bimbingan
Konseling. Surakarta: Panitia Sertifikasi Guru Rayon 13.

Anda mungkin juga menyukai