Anda di halaman 1dari 17

A.

LATAR BELAKANG
Konstruksi hukum pidana yang dibangun berdasar pandangan retributif, penderitaan atau
kerugian korban telah diabstraksi dan dikompensasikan dengan ancaman sanksi pidana yang
dapat dikenakan pada pelaku. Penyelesaian atas tindak pidana yang terjadipun sepenuhnya
menjadi kewenangan aparat penegak hukum. Abstraksi terhadap kerugian atau penderitaan
korban serta kewenangan penyelesaian tindak pidana dalam jalur hukum yang hanya dimiliki
oleh aparat penegak hukum tersebut tidak terlepas dari pengertian tindak pidana yang menurut
konsepsi tersebut maka negara, yang aturan-aturan hukumnya telah dilanggar oleh pelaku tindak
pidana, menempatkan diri sebagai korban dan dengan demikian juga berhak, melalui aparat
penegak hukumnya, untuk menuntut dan menjatuhkan sanksi kepada pelaku.
Dalam pandangan retributif, konstruksi penyelesaian tindak pidana akan menghadaphadapkan pelaku, sebagai pihak yang melanggar aturan hukum, melawan negara, sebagai pihak
yang aturan hukumnya telah dilanggar. Pada saat ini pemidaan hukum pidana berdasarkan
KHUP, KUHP yang sekarang diberlakukan di Indonesia adalah KUHP yang bersumber dari
hukum kolonial Belanda (Wetboek van Strafrecht) yang pada prakteknya sudah tidak sesuai
dengan kondisi masyarakat Indonesia sekarang. KUHP yang merupakan warisan KUHP
Kerajaan Belanda diberlakukan di Indonesia dengan beberapa penyesuaian, bahkan Prof.
Soedarto menyatakan bahwa teks resmi KUHP hingga saat ini masih dalam bahasa Belanda.
Pasca kemerdekaan, baik pada masa demokrasi terpimpin maupun Orde Baru, KUHP warisan
Belanda ini masih tetap berlaku termasuk pula hatzaai artikelen (pasal-pasal penyebar kebencian)
terhadap pimpinan politik, pejabat atau golongan etnis.
Dalam konstruksi hukum pidana yang demikian, segala keinginan korban yang berkaitan
dengan penyelesaian tindak pidana yang menimpa dirinya menjadi kurang bahkan tidak
diakomodasi. Padahal secara moral yuridis telah disepakati bahwa keadilan hukum diberikan
kepada orang atau pihak yang terlanggar haknya. Lembaga peradilan, termasuk peradilan pidana,
adalah lembaga yang memberikan jaminan tegaknya keadilan yang ditujukan kepada orang atau
pihak yang terlanggar hak-hak hukumnya, yang disebut sebagai korban. Pada kenyataannya,
putusan lembaga peradilan tersebut seringkali mengecewakan perasaan korban mengenai
keadilan yang didambakan

Berbeda dengan pandangan retributif yang lebih menitikberatkan pada pemidanaan


terhadap pelaku sebagai pembalasan atau pengimbalan atas kesalahan yang telah dilakukannya,
pandangan keadilan restoratif lebih menitikberatkan atau fokus pada perbaikan atau pemulihan
penderitaan korban sebagai wujud pertanggungjawaban pelaku tanpa mengesampingkan
kepentingan rehabilitasi terhadap pelaku dan kepentingan untuk menciptakan serta menjaga
ketertiban masyarakat. Pandangan keadilan restoratif juga memberi kesempatan kepada korban
untuk terlibat secara aktif dalam proses penyelesaian perkaranya.
Keadilan restoratif ditawarkan sebagai suatu pendekatan yang dianggap dapat memenuhi
tuntutan itu. Pengembalian otoritas penyelesaian pidana dari lembaga peradilan sebagai wakil
negara kepada masyarakat melalui pendekatan keadilan restoratif dimana korban dan masyarakat
merupakan komponen yang harus ada dan menentukan. Barb Toews melihat bahwa perhatian
terhadap korban merupakan core values dari keadilan restoratif. Meskipun perhatian terhadap
pelaku juga tidak kurang porsinya dibandingkan dengan teori sebelumnya. Makna yang
terkandung dalam konsep rehabilitasi, resosialisasi, restitusi, reparasi dan kompensasi tampaknya
hanya merupakan bagian dari konsep yang terkandung dalam restoratif.
Berdasarkan dari latar belakang yang dijelaskan diatas dan kebutuhan untuk melakukan
pembaruan hukum pidana dengan hasil dengan hasil dari Kongres PBB tahun 1976 tentang
pencegahan kejahatan dan perlakuan kepada pelaku kejahatan. Dalam kongres tersebut
dinyatakan bahwa hukum pidana yang ada selama ini di berbagai negara yang sering berasal dari
hukum asing dari zaman kolonial yang pada umumnya telah asing dan tidak adil (obsolete and
unjustice) serta ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan kenyataan (outmoded and unreal)
karena tidak berakar dan pada nilai-nilai budaya dan bahkan ada diskrepansi dengan aspirasi
masyarakat serta tidak responsif terhadap kebutuhan sosial masa kini. Dengan demikian pada
makalah kali ini akan dibahas dengan prospek pendekatan keadilan restoratif dalam sistem
peradilan pidana yang ada di Indonesia.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar bekalang masalah dari makalah yang berjudul Gagasan Keadilan Restoratif
dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia ini, akan membahas beberapa masalah yaitu:
1. Bagaimana sifat keadilan restoratif secara mendalam
2. Bagaimana implementasi keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana

C. PEMBAHASAN
I. SISTEM PERADILAN PIDANA
Tatanan instrumen hukum acara pidana dan pemidanaan di Indonesia telah mengatur
mengenai prosedur formal yang harus dilalui dalam menyelesaikan sebuah perkara pidana.
Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan
hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil
maupun hukum pelaksanaan pidana. Dalam sistem peradilan pidana pelaksanaan dan
penyelenggaan penegakan hukum pidana melibatkan badan-badan yang masing-masing memiliki
fungsi sendiri-sendiri. Badan-badan tersebut yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga
pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sitematik ini tindakan badan yang satu akan berpengaruh
pada badan yang lainnya.
Dalam sistem peradilan pidana dikenal tiga bentuk pendekatan, yaitu: pendekatan
normatif, administratif dan sosial.
1. Pendekatan normatif memandang keempat aparatur penegak hukum (kepolisian,
kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi pelaksana
peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat aparatur tersebut
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistim penegakan hukum semata-mata.
2. Pendekatan administratif, memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai suatu
organisasi manajeman yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat
horisontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku
dalam organisasi tersebut. Sistem yang dipergunakan adalah sistem administrasi.

3. Pendekatan sosial, memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan bagian


yang tidak terpisahkan dari suatu sistim sosial sehingga masyarakat secara keseluruhan
ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau ketidakberhasilan dari keempat aparatur
penegak hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya. Sistem yang dipergunakan
adalah sistem sosial.
Lebih lanjut menurut Romli Atmasasmita, ciri pendekatan sistim dalam peradilan pidana, ialah :
1. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana (kepolisian,
kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan).
2. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana.
3. Efektifitas sistim penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi penyelesaian
perkara.
4. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan The administration of

justice
Adapun tujuan dari sistem peradilan pidana adalah :
1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan
2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan
telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana
3. Mengusahakan mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi
kejahatannya.
Pelaksanaan peradilan pidana, ada satu istilah hukum yang dapat merangkum cita-cita
peradilan pidana, yaitu due process of law yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan
menjadi proses hukum yang adil atau layak. Secara keliru arti dari proses hukum yang adil dan
layak ini seringkali hanya dikaitkan dengan penerapan aturan-aturan hukum acara pidana suatu
Negara pada seorang tersangka atau terdakwa.
Pemahaman tentang proses hukum yang adil dan layak mengandung pula sikap batin
penghormatan terhadap hak-hak yang dipunyai warga masyarakat meskipun ia menjadi pelaku
kejahatan. Namun kedudukannya sebagai manusia memungkinkan dia untuk mendapatkan hakhaknya tanpa diskriminasi. Paling tidak hak-hak untuk didengar pandangannya tentang peristiwa

yang terjadi, hak didampingi penasehat hukum dalam setiap tahap pemeriksaan, hak memajukan
pembelaan dan hak untuk disidang dimuka pengadilan yang bebas dan dengan hakim yang tidak
memihak. Konsekuensi logis dari dianutnya proses hukum yang adil dan layak tersebut ialah
sistem peradilan pidana selain harus melaksanakan penerapan hukum acara pidana sesuai dengan
asas-asasnya, juga harus didukung oleh sikap batin penegak hukum yang menghormati hak-hak
warga masyarakat

II. PEMAHAMAN PENDEKATAN KEADILAN RESTORATIF


Keadilan restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem
peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang
dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada
saat ini. Di pihak lain, keadilan restoratif juga merupakan suatu kerangka berpikir yang baru
yang dapat digunakan dalam merespon suatu tindak pidana bagi penegak dan pekerja hukum.
Pendekatan keadilan restoratif diasumsikan sebagai pergeseran paling mutakhir dari
berbagai modal dan mekanisme yang bekerja dalam sistem peradilan pidana dalam menangani
perkara-perkara pidana pada saat ini. PBB melalui basic principles yang telah digariskannya
menilai bahwa pendekatan keadilan restoratif adalah pendekatan yang dapat dipakai dalam
sistem peradilan pidana yang rasional. Hal ini sejalan dengan pandangan G.P Hoefnagels yang
menyatakan bahwa politik kriminal harus rasional (a rational total of the responses to crime).
Pendekatan keadilan restorative merupakan suatu paradigma yang dapat dipakai sebagai bingkai
dari strategi penanganan perkara pidana yang bertujuan menjawab ketidakpuasan atas bekerjanya
sistem peradilan pidana yang ada saat ini.
Keadilan Restoratif menurut Lode Walgrave menyatakan bahwa restorative justice are not
alternative to punishment but alternative punishment. Sementara Stephen VP Grvey
menyatakan keadilan restoratif sebagai a way of responding to crime. Meskipun dinyatakan
adanya perbedaan mendasar antara konsep keadilan restorative dengan teori pemidanaan yang
ada saat ini, namun tidak sedikit yang memandang bahwa teori ini pada dasarnya hanya
melengkapi teori lain dan berhubungan dengan elemen-elemen yang ada dalam paradigma
retributif, rehabilitatif, resosialisasi sebagai paradigma pemidanaan lainnya yang telah ada
terlebih dahulu.

Untuk dapat memberikan gambaran yang lebih terperinci mengenai keadilan restoratif,
berikut ini dikutip pendapat beberapa orang ahli tentang hal tersebut :
1. Tony F. Marshall
Menurut Tony F. Marshall, keadilan restoratif adalah suatu pendekatan untuk memecahkan
masalah kejahatan di antara para pihak, yaitu korban, pelaku, dan masyarakat, dalam suatu relasi
yang aktif dengan aparat penegak hokum. Selanjutnya dikatakan bahwa untuk memecahkan
masalah kejahatan tersebut, keadilan restoratif mempergunakan asumsi-asumsi sebagai berikut:
a. Sumber dari kejahatan adalah kondisi dan relasi sosial dalam masyarakat
b. Pencegahan kejahatan tergantung pada tanggung jawab masyarakat (termasuk pemerintah
lokal dan pemerintah pusat dalam kaitannya dengan kebijakan sosial pada umumnya)
untuk menangani kondisi-kondisi sosial yang dapat menyebabkan terjadinya kejahatan
c. Kepentingan para pihak dalam penyelesaian kasus kejahatan tidak dapat diakomodasi

tanpa disediakannya fasilitas untuk terjadinya keterlibatan secara personal.

Ukuran

keadilan harus bersifat fleksibel untuk merespon fakta-fakta penting, kebutuhan personal,
dan penyelesaian dalam setiap kasus
d. Kerjasama di antara aparat penegak hukum serta antara aparat dengan masyarakat
dianggap penting untuk mengoptimalkan efektifitas dan efisiensi cara penyelesaian
kasusnya.
e. Keadilan dicapai dengan prinsip keseimbangan kepentingan di antara para pihak

2. Mark Umbreit
Meskipun tidak secara tegas menyebutkan pengertiannya, menurut Mark Umbreit, keadilan
restoratif merupakan suatu cara pemikiran atau pemahaman mengenai kejahatan dan viktimisasi
yang sangat berbeda dibanding dengan paham retributif. Pada paham retributif, negara dianggap
sebagai pihak yang paling dirugikan ketika kejahatan terjadi. Oleh karena itu, dalam proses
pemidanaan, korban dan pelaku ditempatkan pada peran serta posisi yang pasif. Sedangkan
dalam pandangan keadilan restoratif, kejahatan dipahami sebagai konflik antar individu. Oleh
karena itu, mereka yang terkait lebih langsung dengan terjadinya kejahatan, yaitu korban, pelaku

dan masyarakat, harus diberi kesempatan untuk secara aktif terlibat dalam upaya penyelesaian
konflik tersebut.
3. Cornier
Cornier, memberikan pengertian keadilan restoratif sebagai suatu pendekatan untuk
menegakkan keadilan yang difokuskan pada perbaikan atau pemulihan penderitaan yang
ditimbulkan oleh kejahatan. Cornier juga mengatakan bahwa dalam keadilan restoratif ini
mekanisme untuk meminta pertanggungjawaban pelaku dilakukan dengan memberikan
kesempatan kepada para pihak yaitu korban, pelaku dan masyarakat untuk mengidentifikasi dan
menentukan kepentingan mereka yang terkait dengan akibat kejahatan, mengupayakan
penyelesaian yang bertujuan menyembuhkan, perbaikan dan re-integrasi, serta pencegahan
penderitaan di masa datang.
Dari pendapat-pendapat tersebut di atas tampak bahwa dalam keadilan restoratif, pelaku,
korban, dan masyarakat dianggap sebagai pihak-pihak yang berkepentingan dalam penyelesaian
tindak pidana, di samping negara sendiri. Keterlibatan pihak-pihak tersebut, khususnya pelaku,
korban, dan masyarakat dalam penyelesaian tindak pidana dianggap bernilai tinggi. Selain itu,
cara pandang keadilan restoratif menuntut usaha kerja sama masyarakat dan pemerintah untuk
menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan korban dan pelaku dapat melakukan
rekonsiliasi konflik dan menyelesaikan kerugian mereka dan sekaligus menciptakan rasa aman
dalam masyarakat. Meskipun demikian, keterlibatan korban dalam proses pemidanaan perlu
diatur secara hati-hati supaya tidak menimbulkan viktimisasi sekunder yang akan menambah
berat penderitaan korban setelah yang bersangkutan mengalami penderitaan akibat tindak pidana.
Tindak pidana menurut kaca mata keadilan restoratif, adalah suatu pelanggaran terhadap
manusia dan relasi antar manusia. Keadilan restoratif, dapat dilaksanakan melalui:
1. Mediasi korban dengan pelanggar
2. Musyawarah kelompok keluarga
3. Pelayanan di masyarakat yang bersifat pemulihan baik bagi korban maupun pelaku.

Secara lebih rinci Muladi menyatakan bahwa model keadlilan restoratif mempunyai
beberapa karakteristik yaitu :
1.

Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang lain dan diakui
sebagai konflik

2.

Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan kewajiban pada


masa depan

3.

Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi

4.

Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan
utama

5.

Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas dasar hasil

6.

Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial

7.

Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restoratif

8.

Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah maupun
penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak pidana didorong untuk
bertanggung jawab

9.

Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap


perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik

10. Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial dan ekonomis
11. Stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif.
Keadilan restoratif menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam keterlibatan yang
langsung dari para pihak. Korban mampu untuk mengembalikan unsur kontrol, sementara pelaku
didorong untuk memikul tanggung jawab sebagai sebuah langkah dalam memperbaiki kesalahan
yang disebabkan oleh tindak kejahatan dan dalam membangun sistem nilai sosialnya.
Keterlibatan komunitas secara aktif memperkuat komunitas itu sendiri dan mengikat komunitas
akan nilai-nilai untuk menghormati dan rasa saling mengasihi antar sesama. Peranan pemerintah
secara substansial berkurang dalam memonopoli proses peradilan sekarang ini. Restorative
justice membutuhkan usaha-usaha yang kooperatif dari komunitas dan pemerintah untuk

menciptakan sebuah kondisi dimana korban dan pelaku dapat merekonsiliasikan konflik mereka
dan memperbaiki luka-luka mereka.
Keadilan restoratif mengembalikan konflik kepada pihak-pihak yang paling terkenal
pengaruh korban, pelaku dan kepentingan komunitas mereka, dan memberikan keutamaan pada
kepentingan-kepentingan mereka. Restorative justice juga menekankan pada hak asasi manusia
dan kebutuhan untuk mengenali dampak dari ketidakadilan sosial dan dalam cara-cara yang
sederhana untuk mengembalikan mereka daripada secara sederhana memberikan pelaku keadilan
formal atau hukum dan korban tidak mendapatkan keadilan apapun. Kemudian restorative justice
juga mengupayakan untuk merestore keamanan korban, penghormatan pribadi, martabat, dan
yang lebih penting adalah sense of control.

III. IMPLEMENTASI KEADILAN RESTORATIF DALAM SISTEM PIDANA


Di dalam proses peradilan pidana konvensional dikenal adanya restitusi atau ganti rugi
terhadap korban, sedangkan restorasi memiliki makna yang lebih luas. Restorasi meliputi
pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku. Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan
atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Pihak korban dapat menyampaikan
mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk menebusnya,
melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan
lainnya. Misalnya apabila telah terjadi perdamaian antara pelaku dan korban, dan sang korban
telah memaafkan sang pelaku, maka hal tersebut tidak akan bisa mempengaruhi kewenangan
penegak hukum untuk terus meneruskan perkara tersebut ke ranah pidana yang nantinya
berujung pada pemidanaan sang pelaku pidana. Proses formal pidana yang makan waktu lama
serta tidak memberikan kepastian bagi pelaku maupun korban tentu tidak serta merta memenuhi
maupun memulihkan hubungan antara korban dan pelaku, konsep restorative justice
menawarkan proses pemulihan yang melibatkan pelaku dan korban secara langsung dalam
penyelesaian masalahnya.
Proses pidana konvensional hanya menjadikan korban nantinya sebagai saksi dalam
tingkat persidangan yang tidak banyak mempengaruhi putusan pemidanaan, tugas penuntutan
tetap diberikan terhadap Jaksa yang hanya menerima berkas-berkas penyidikan untuk selanjutnya
diolah menjadi dasar tuntutan pemidanaan, tanpa mengetahui dan mengerti kondisi permasalahan

tersebut secara riil, dan sang pelaku berada di kursi pesakitan siap untuk menerima pidana yang
akan dijatuhkan kepadanya. Sedangkan proses restorative justice pada dasarnya dilakukan
melalui diskresi (kebijaksanaan) dan diversi ini, merupakan upaya pengalihan dari proses
peradilan pidana ke luar proses formal untuk diselesaikan secara musyawarah. Penyelesaian
melalui musyawarah sebetulnya bukan hal baru bagi bangsa Indonesia. Sebelum pendudukan
Belanda, bangsa kita sudah memiliki hukum sendiri, yaitu hukum adat. Hukum adat tidak
membedakan penyelesaian perkara pidana dengan perkara perdata, semua perkara dapat
diselesaikan secara musyawarah dengan tujuan untuk mendapatkan keseimbangan atau
pemulihan keadaan atau kita kenal dengan istilah penyelesaian di luar pengadilan.
Istilah penyelesaian di luar pengadilan umumnya dikenal sebagai kebijakan yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum yang memiliki wewenang untuk melakukan beberapa hal
sebagai berikut: sebagai penentu keluaran akhir dari suatu kasus sengketa, konflik, pertikaian
atau pelanggaran, namun juga memiliki wewenang melakukan diskresi atau pengenyampingan
perkara pidana yang dilakukan oleh pihak tertentu, dilanjutkan dengan permintaan kepada pelaku
agar mengakomodasi kerugian korban. Istilah umum yang populer adalah dilakukannya
perdamaian dalam perkara pelanggaran hukum pidana. Keuntungan dari penggunaan
penyelesaian di luar pengadilan dalam menyelesaikan kasus-kasus pidana adalah bahwa
pilihan penyelesaian pada umumnya diserahkan kepada pihak pelaku dan korban. Keuntungan
lain yang juga amat menonjol adalah biaya yang murah.
Sebagai suatu bentuk pengganti sanksi, pihak pelaku dapat menawarkan kompensasi
yang dirundingkan atau disepakati dengan pihak korban. Dengan demikian, keadilan menjadi
buah dari kesepakatan bersama antar para pihak sendiri, yaitu pihak korban dan pelaku, bukan
berdasarkan kalkulasi jaksa dan putusan hakim. Sebelumnya perlu dikemukakan beberapa alasan
bagi dilakukannya penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan pidana sebagai berikut :
1. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori delik aduan, baik aduan yang
bersifat absolut maupun aduan yang bersifat relatif.
2. Pelanggaran hukum pidana tersebut memiliki pidana denda sebagai ancaman pidana dan
pelanggar telah membayar denda tersebut (Pasal 80 KUHP).
3. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori pelanggaran, bukan kejahatan,
yang hanya diancam dengan pidana denda..

4. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk tindak pidana di bidang hukum administrasi
yang menempatkan sanksi pidana sebagai ultimum remedium.
5. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori ringan atau serba ringan dan aparat
penegak hukum menggunakan wewenangnya untuk melakukan diskresi.
6. Pelanggaran hukum pidana biasa yang dihentikan atau tidak diproses ke pengadilan
(deponir) oleh Jaksa Agung sesuai dengan wewenang hukum yang dimilikinya.
7. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori pelanggaran hukum pidana adat
yang diselesaikan melalui lembaga adat.
Sedangkan kelemahan dari penggunaan penyelesaian di luar pengadilan, dapat menjadi
sumber penyalahgunaan wewenang dari para penegak hukum, khususnya apabila diskresi
dibelokkan menjadi komoditi. Ketidakmauan menghukum juga dapat dipersepsi sebagai
melunaknya hukum dimata para pelaku kejahatan atau pelanggar aturan.
Sebelum membahas lebih jauh mengenai prospek keadilan restorative baiknya kita
melihat terlebih dahulu penerapan keadilan restoratif di beberapa negara. Hal bertujuan untuk
mengetahui gambaran sedikit contoh dari banyak negara lain yang mencoba menerapkan
pendekatan keadilan restoratif dalam penanganan perkara pidana. Trend yang berkembang
menunjukan bahwa keadilan restoratif ini hanya terbatas pada tindak pidana tertentu saja dan
yang paling banyak diterapkan adalah pada kasus-kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anakanak dan remaja seperti di New Zealand, Inggris dan Wales, Philipina dan Canada. Pandangan
ini dapat menjadi berbeda jika melihat kepada kasus di Afrika Selatan pasca aparheid.
Pemerintah Afrika Selatan justru mempergunakan pendekatan restorative justice dalam
menyelesaikan kasus-kasus kekerasan yang pernah dilakukan oleh rezim Aparheid.
Keadilan restoratif telah diterjemahkan dalam berbagai variasi rumusan dengan berbagai
variasi nilai atau dasar filosofis, syarat, strategi, mekanisme, program, dan bahkan jenis maupun
tindak pidana dan terhadap siapa saja pihak yang dapat terlibat didalamnya. Didalam beberapa
regulasi bahkan mekanisme ini diterjemahkan secara rinci. Namun yang menarik dari berbagai
regulasi tersebut adalah bahwa :

1. Terdapat beberapa negara yaitu Australia, Canada, Finlandia, Ghana, Bulgaria, atau
Belgia, yang menerjemahkannya sebagai suatu konsep mediasi dimana dibuka peluang
penyelesaian perkara pidana diluar sistem peradilan sementara
2. Terdapat beberapa negara yaitu Inggris, Selandia Baru, atau Afrika Selatan, yang
memasukkan konsep ini sebagai bagian dari sistem pemidanaan.
Dari kedua hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa keadilan restoratif, dalam
pandangan pihak-pihak penyusun regulasi tersebut telah diterjemahkan sebagai mekanisme
penanganan perkara pidana diluar sistem peradilan pidana maupun sebagai filosofis pemidanaan
baru yang melahirkan bentuk-bentuk sanksi pidana yang sifatnya berbeda dari jenis pidana
konvensional yang dikenal selama ini.
Di Indonesia pendekatan keadilan restoratif meyangkut 2 pelaku utama penegak hukum
yang ada, yaitu :
1. Lembaga Musyawarah atau Lembaga Adat
Masyarakat Indonesia menganggap fungsionalisasi lembaga musyawarah sebagai
bagian dari mekanisme yang dipilih untuk menyelesaian perkara pidana. Musyawarah
baik yang diselenggarakan oleh pelaku dan korban sendiri, atau dengan melibatkan
institusi kepolisian atau kejaksaan, atau dengan melalui lembaga adat memperlihatkan
pola pikir masyarakat dalam melihat suatu permasalahan yang muncul. Penyelesaian
masalah termasuk didalamnya adalah tindak pidana melalui musyawarah merupakan pola
pikir yang terangkum dalam keadilan restorative sebagaimana didefiniskan diatas.
Karenanya tanpa mengabaikan mekanisme yang bekerja dalam sistem hukum formal,
mekanisme penyelesaian melalui lembaga musyawarah pun bekerja dalam masyarakat.
Dalam berbagai asas dan model pendekatan keadilan restorative, proses dialog
antara pelaku dan korban merupakan moral dasar dan bagian terpenting dari penerapan
keadilan ini. Dialog langsung antara pelaku dan korban menjadikan korban dapat
mengungkapkan apa yang dirasakannya, mengemukakan harapan akan terpenuhinya hakhak dan keinginan-keinginan dari suatu penyelesaian perkara pidana. Melalui proses
dialog juga pelaku diharapkan tergugah hatinya untuk mengoreksi diri, menyadari
kesalahannya dan menerima tanggungjawab sebagai konsekuensi dari tindak pidana yang

dilakukan dengan penuh kesadaran. Dari proses dialog ini pula masyarakat dapat turut
serta

berpartisipasi

dalam

mewujudkan

hasil

kesepakatan

dan

memantau

pelaksanaannya. Dari nilai dasar inilah keadilan restorative sebagai implementasi dari
niali dasar yang ada dalam masyarakat Indonesia memiliki fondasi nilai yang kuat.
Sayangnya penyelesaian model ini belum memiliki justifikasi perundang-undangan yang
jelas.
2. Lembaga Hukum Formal atau Lembaga Penegak Hukum
Polisi melalui diskresi yang dimilikinya, Jaksa melalui opportunitas-nya serta
hakim melalui kebebasannya. Dalam praktiknya pun sebenarnya di tingkat penyidikan
kepolisian sering terbentur dengan tata acara pidana formil apabila hendak
mengesampingkan sebuah perkara pidana, diskresi yang dimiliki oleh polisi tidak
melingkupi kewenangannya untuk menilai sebuah perkara untuk terus dilanjutkan atau
dihentikan, takarannya hanya terbatas pada bukti tindak pidana yang cukup.
Terkait dengan Kepolisian, sebagai elemen awal dalam sistem peradilan pidana
Indonesia, maka dapat disebutkan bahwa dalam Naskah Akademis mengenai Court
Dispute Resolution dari Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tahun 2003, dalam
salah satu kesimpulan terakhirnya antara lain disebutkan bahwa mediasi sebagai salah
satu bentuk, seyogyanya bersifat wajib untuk perkara kecil baik perdata maupun pidana.
Itulah yang menjadikan penanganan masalah secara alternatif ini relevan untuk dikaitkan
dengan proses penegakan hukum Polri, khususnya menyangkut perkara pidana yang
ringan. Beranjak dari pemikiran tentang keunggulan dan kelemahan dari penyelesaian
perkara pidana diluar system yang tidak diakui oleh hokum formal yang berlaku,
restorative justice telah menjadi suatu kebutuhan daam masyarakat. Hal ini erat kaitannya
dengan prinsip dan tujuan pemidanaan dari peradilan adat yang berbeda dengan sistem
formal yang ada sehingga dampak dari putusan yang dihasilkan pun akan sangat berbeda.
Melihat permasalahan yang dihadapi oleh kedua lembaga penegak hukum baik formal
dan non formal pendekatan keadilan restorative menghadapi hambatan. Menurut mantan Ketua
Mahkamah Agung Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH, MCL bahwa hambatan dalam melaksanakan
perdamaian antara korban dan pelaku seringkali bersumber pada sikap penegak hukum yang

sangat formalistik dengan mengatakan proses hukum akan tetap berjalan walaupun telah terjadi
perdamaian, sifat melawan hukum tidak akan hapus karena perdamaian.

IV. CONTOH KASUS PENERAPAN PENDEKATAN RESTORATIF YANG SUDAH


DILAKUKAN DI SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

1) Pada tanggal 19 Maret 2007, terjadi kecelakaan lalu lintas di daerah Jakarta Pusat oleh
seorang sopir angkutan umum yang menewaskan 2 (dua) orang korban. Seminggu
kemudian perkara ini diselesaikan dengan cara damai di mana pelaku menyantuni
keluarga korban dengan sejumlah uang sebagai modal dagang bagi istri korban. Alasan
polisi melakukan ini semata-mata melihat bahwa tindak pidana ini merupakan kelalaian
yang ancaman pidananya di bawah 5 (lima) tahun dan kondisi ekonomi baik pelaku
maupun korban yang tidak menguntungkan. Atas pertimbangan bahwa penyelesaian
melalui proses peradilan pidana akan lebih menyengsarakan kedua belah pihak dan
dengan pertimbangan bahwa keluarga korban pun telah memaafkan pelaku, maka upaya
damai tersebut ditempuh.
2) Dalam hal pelanggaran lalu lintas misalnya, kurang lebih 2 ribu lembar perbulan
dikeluarkan surat tilang atas pelanggaran lalu lintas di jalan raya oleh Polda Metro Jaya.
Dari 1076 perkara lalulintas yang masuk ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tahun
2004 dan 3.904 Di tahun 2006, seluruhnya dipidana denda. Demikian pula di Pengadilan
Negeri Bitung di mana 13.265 perkara pelanggaran lalulintas yang masuk semuanya
diputus

dengan

pidana

denda.

Oleh

karena

itu

terlihat

bahwa

masyarakat

memperhitungkan pengeluaran atau biaya yang akan dikeluarkan dalam penyelesaian


suatu perkara yang dihadapi. Dibandingkan menghadapi birokrasi yang panjang dan
hasilnya akan sama saja, maka penyelesaian langsung melalui polisi menjadi pilihan
utama
3) Penerapan Restorative Justice Terhadap Anak Sebagai Pelaku Kejahatan di Wilayah
Hukum Polresta Samarinda. Berdasarkan data statistik kriminal di Satuan Reserse
Kriminal Polresta Samarinda jumlah tindak pidana yang terjadi selama tahun 2011
sebanyak 3.188 kasus (crime total) dan tindak pidana yang diselesaikan (crime clearance)
adalah sebanyak 2.014, dengan clearance rate adalah 63,18%. Dari 3.188 kasus yang

ditangani oleh Satuan Reserse Kriminal Polresta Samarinda, 563 kasus adalah tindak
pidana yang dilakukan oleh anak dengan jumlah penyelesaian kasus sebanyak 423
(clearance rate 75,13 %). Sedangkan pada tahun 2012 jumlah tindak pidana yang terjadi
sebanyak 2.659 kejadian dan tindak pidana yang diselesaikan (crime clearance) adalah
sebanyak 1.391, dengan clearance rate adalah 52,31%. Dari 2.659 kasus yang ditangani
oleh Satuan Reserse Kriminal Polresta Samarinda, 364 kasus adalah tindak pidana yang
dilakukan oleh anak dengan jumlah penyelesaian kasus sebanyak 261 kasus (cleareance
rate 71,7 %). Berdasarkan data statistik kriminal di atas, terlihat bahwa jumlah perkara
pidana yang dilakukan oleh anak yang ditangani oleh Satuan Reserse Kriminal Polresta
Samarinda cukup tinggi dengan rata-rata 20% dari seluruh jumlah kasus yang ditangani,
dalam penyelesainnya pun cukup tinggi dengan rata-rata penyelesaian sebesar 73%.
Dalam proses penyelesaian kasus, baik pelaku maupun korban cenderung memilih
penerapan konsep restorative justice dengan jalan kesepakatan untuk berdamai dari pada
harus melalui jalur pengadilan.

Daftar Pustaka

Ali. 2009. Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan. Jakarta: Prenada Media Group.
Bambang Kesowo. 1995. Pengantar Umum Mengenai Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) di
Indonesia. Yogyakarta : Fakultas Hukum Gadjah Mada
Barda Nawawi Arief III, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana, PT.Citra Aditya Bakti,Bandung.
Barda Nawawi Arief, 2008. Restoratif Justice: Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Pengadilan,
Pustaka Magister Semarang
Dewi dkk., 2011. Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak di
Indonesia. Depok: Indie Publishing.
Eko Soponyono. 2012. Kebijakan Perumusan Sistem Pemidanaan Yang Berorientasi Pada
Korban. Semarang.: Publikasi MMH, Jilid 41 No. 1 Januari 2012
Eva Achjani Zulfa. 2010 Keadilan Restoratif Dan Revitalisasi Lembaga Adat Di Indonesia.
Publikasi : Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 6 No.II Agustus 2010
G. Widiartana. 2011. Ide Keadilan Restoratif Pada Kebijakan Penanggulangan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga Dengan Hukum Pidana. Publikasi : Ringakasan Disertasi Universitas
Diponegoro. Semarang
I made,dkk,.. 2011. Kebijakan Formulasi Keadilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak. Publikasi : Bali, Universitas Udayana
Muladi. 2012. Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana. Publikasi : Jurnal : Seminar
Nasional Hari Ulang Tahun Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) Ke-59. Jakarta
Nugraheni. 2009. Sistem Pemidanaan Edukatif Terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana.
Semarang: Undip.
Sri Rahmi, 2013.Makalah. Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
Di Kota Makassar (Suatu Pembaruan Hukum Acara Pidana Anak). Makassar: Universitas
Hassanudin

Sukanegara. 2007. Tujuan dan Pedoman Pemidanaan dalam Pembaruan Sistem emidanaan di
Indonesia. Semarang: Universitas diponegoro.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana 2004
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana 2008
www.aic.gov.au/publications/proceedings/12/muladi.pdf
http://www.anjarnawanyep.wordpress.com/konsep-diversi-dan-restorative-justicem, diakses pada
tanggal 6 Nopember 2016
http://faturohmana/baintani.blogspot.com/p/pendekatan-restorative-justice-sebagai.html, diakses
pada tanggal 6 Nopeber 2016
http:// ferli Hidayat 1982.wordpress.com/2013/03/05/diversi-dalam-sistem-peradilanpidanaanak-di-Indonesia, diakses pada tanggal 6 Nopember 2016
http://ojs.unud.ac.id/index.php/mhv/article/view/4439/3359. JURNAL MAGISTER HUKUM
UDAYANA, diakses pada tanggal 6 NOpember 2016
http://Kmfh-unud.blogspot.com/2013/04/artikel-tentang diversi-dalam-sistem.html, diakses pada
tanggal 6 Nopember 2016.

Anda mungkin juga menyukai