Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN
I.

Latar Belakang
Blok Muskuloskeletal adalah blok ke-22 semester III dari Kurikulum Berbasis
Kompetensi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.
Pada kesempatan ini dilaksanakan tutorial studi kasus sebagai bahan pembelajaran untuk

II.

menghadapi kasus yang sebenarnya pada waktu yang akan datang.


Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan dari laporan tutorial studi kasus ini, yaitu:
a. Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari sistem
pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.
b. Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode analisis
pembelajaran diskusi kelompok.
c. Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial.

III.

Data Tutorial
Tutor

dr. Muzakkie, SpB (K) (OT)

Moderator

Nyimas Shafira Nur Mutmainnah

Sekertaris

Defina Yunita
Andani Lestari

Waktu

1. Senin, 14 November 2016


Pukul 10.00 12.00 WIB
2. Rabu, 16 November 2016
Pukul 10.00 12.00 WIB

BAB II
ISI
I.

Skenario
Mrs. Ani, 43 year old presents with a history of a insidious onset of joint pain since
three months ago. Affected are all small joints of the hands, wrists, knees, and
forefeet. A steroid dose-pack and 400mg dose of ibuprofen three times a day relieved
all symptoms for one more month, but was followed by a slow return of joint pain,
now with clearly swelling, and morning stiffness lasting two hours. In the afternoon,
she often felt low grade fever, fatigue, and less appetite. There is no back pain. She
works half-time in a flower shop, and is having difficulty cutting flowers and picking
up anything over five pounds. Physical exam reveals boggy synovitis at the
metacarpal phalangeal joints with tenderness. There is tenderness but no synovitis at
the knees and metatarsal joints. Her BMI is in the normal range.
Laboratory evaluation revealed that her rheumatoid factor was positive, anti-cyclic
citrullinated peptide (CCP) negative, 60mm/hour of sedimentation rate, and 35mg/dl
of C reactive protein. All other routine laboratory findings were normal. X-rays of her
affected joints show minimal periarticular osteopenia and no erosion.

II.

Klarifikasi Istilah
No. Kata
1
Joint pain

Arti
Rasa

sakit

pada

menghubungkan

bagian

tulang

tubuh

dengan

yang
tulang,

menyebabkan pergerakan dan kualitas hidup


2

terganggu
Agen antiinflamasi non steroid yang digunakan

Ibuprofen

untuk
3
4

Clearly swelling
Morning stiffness

mengurangi

rasa

sakit

serta

pada

pengobatan rheumatoid arthritis dan osteoathritis


Bengkak yang jelas
Perlambatan atau kesulitan bergerak ketika
bangun pagi atau setelah menetap pada suatu
posisi terlalu lama yang meliputi kedua sisi tubuh

5
6

Synovitis
Metacarpal

dan membaik setelah adanya pergerakan


Radang pada membran synovial
phalangeal Sendi yang menghubungkan tulang metacarpal

joints
Metatarsal

(telapak tangan) dengan jari-jari tangan


phalangeal Sendi yang menghubungkan tulang metatarsal

8
9

joints
Tenderness
Rheumatoid factor

(telapak kaki) dengan jari-jari kaki


Nyeri tekan
Jenis antibody (IgM) yang bereaksi terhadap
antibodi IgG yang abnormal yang dihasilkan oleh

penyakit autoimun seperti rheumatoid arthritis


citrullinated Antibodi sebagai penanda rheumatoid arthritis

10

Anti-cyclic

11

peptide
C reactive protein

Tes darah yang mengukur jumlah protein (yang


disebut protein C reaktif) dalam darah. Protein C
reaktif mengukur keseluruhan kadar peradangan
dalam tubuh. Kadar CRP yang tinggi disebabkan
oleh infeksi dan berbagai penyakit jangka

12

Periarticular osteopenia

panjang lainnya
Periarticular: disekitar sendi
Osteopenia: pengurangan massa tulang akibat
penurunan kecepatan sintesis osteoid sampai
tingkat

yang

tidak

cukup

lagi

untuk

mengkompensasi proses lisis normal tulang


III.

Identifikasi Masalah
No. Masalah
1
Mrs. Ani, 43 year old presents with a history of a insidious

Prioritas
***

onset of joint pain since three months ago. Affected are all
small joints of the hands, wrists, knees, and forefeet.
2

A steroid dose-pack and 400mg dose of ibuprofen three

**

times a day relieved all symptoms for one more month, but
was followed by a slow return of joint pain, now with
clearly swelling, and morning stiffness lasting two hours.
3

In the afternoon, she often felt low grade fever, fatigue, and

**

less appetite. There is no back pain.


4

She works half-time in a flower shop, and is having

**

difficulty cutting flowers and picking up anything over five


pounds.
5

Physical exam reveals boggy synovitis at the metacarpal


phalangeal joints with tenderness. There is tenderness but

no synovitis at the knees and metatarsal joints. Her BMI is


in the normal range.
6

Laboratory evaluation revealed that her rheumatoid factor

was positive, anti-cyclic citrullinated peptide (CCP)


negative, 60mm/hour of sedimentation rate, and 35mg/dl of
C reactive protein. All other routine laboratory findings
were normal. X-rays of her affected joints show minimal
periarticular osteopenia and no erosion.
IV.

Analisis Masalah
1. Mrs. Ani, 43 year old presents with a history of an insidious onset of joint pain
since three months ago. Affected are all small joints of the hands, wrists, knees,
and forefeet.
a. Bagaimana hubungan jenis kelamin dan usia terhadap kasus?
Jawab: Rheumatoid Arthritis merupakan penyakit yang jarang pada
laki-laki dibawah umur 30 tahun. Insiden penyakit ini memuncak pada
umur 60-70 tahun.
Prevalensi dari artritis reumatoid mendekati 0,8 % dari populasi.
Wanita terkena tiga kali lebih sering dibandingkan dengan laki-laki.
Penyakit ini menyerang orang-orang di seluruh dunia dari berbagai
suku bangsa. Onset dari penyakit ini sering pada dekade ke-empat dan
ke-lima dari kehidupan.
b. Mengapa menyerang pada sendi-sendi yang kecil?
Jawab: Degenerasi yang terjadi pada RA akan berefek pertama kali di
sendi-sendi kecil pada tubuh, seperti sendi pada jari, tangan, dan kaki.
Kerusakan kemudian menyebar ke sendi-sendi besar yang lain.
c. Apa saja penyakit yang menyebabkan nyeri sendi?
Jawab:
Rheumatoid Arthritis
Rheumatoid arthritis disebabkan oleh kerusakan system
autoimun sehingga tubuh menghasilkan zat yang menyebabkan
peradangan, terutama pada sendi. Bagian tubuh yang sering
diserang yaitu sendi jari tangan dan kaki, dan tulang belakang.
Serangan rematik membuat peradangan dan pembengkakan

selaput sendi dan secara bertahap menghancurkan kapsul sendi.


Osteoarthritis

Merupakan penyakit sendi degenerative (umumnya menyerang


mereka yang berusia diatas 45 tahun).Pada osteoarthritis, sendi
mengalami nyeri namun tidak diawali dengan peradangan.Rasa
nyeri biasanya terasa bila mengangkat beban dan pada awal
gerakan dari posisi istirahat. Penyebabnya karena penuaan
.tulang rawan yang menutupi tulang articular mengalami
pergesekan secara bertahap. Biasa terjadi pada pinggul, lutut,

tangan, dll.
Ankylosing Spondylitis
Merupakan salah satu bentuk dari artritis lainnya.Kondisi ini
terutama menyebabkan nyeri dan peradangan sendi tulang
belakang dan panggul.Gejala ini dirasakan sewaktu tidur,

setelah bangun tidur, atau setelah interval tidak aktif.


Psoriatic Arthritis
Merupakan efek samping dari psoriasis.Pembengkakan
menyakitkan dapat terjadi di semua sendi terutama ruas jari,
pergelangan tangan, dll.Gejala biasanya disertai masalah kulit.

Biasa terjadi pada usia 30-50 tahun.


Gout (asam urat)
Merupakan hasil dari kadar asam urat yang tinggi dalam darah.

Rasa sakit sendi disertai bengkak, kemerahan, dan hangat.


Hepatitis
Influenza
2. A steroid dose-pack and 400mg dose of ibuprofen three times a day relieved all
symptoms for one more month, but was followed by a slow return of joint pain,
now with clearly swelling, and morning stiffness lasting two hours.
a. Apa indikasi dan kontraindikasi steroid dan ibuprofen?
Jawab:
Kontraindikasi steroid kortikosteroid tidak boleh diberikan
pada keadaan infeksi jamur yang sistemik, herpes simpleks,

keratitis, hipersensitivitas biasanya kortikotropin dan intravena.


Indikasi steroid digunakan untuk reaksi alergi akut berat
yang membahayakan kehidupan seperti status asmatikus,
anafilaksis. Selain itu, diberikan juga untuk reaksi alergi berat
yang

tidak

membahayakan

mengganggu seperti dermatitis.

kehidupan

tetapi

sangat

Kontraindikasi ibuprofen ibuprofen tidak boleh diberikan


pada pasien yang memiliki riwayat alergi ibuprofen, aspirin,
atau NSAID lainnya. Tidak boleh diberikan pada pasien yang
akan atau telah menjalani operasi jantung. Obat ini juga tidak
boleh diberikan pada pasien yang memiliki masalah ginjal, hati,

asma, urtikaria, radang/tukak pada lambung atau usus.


Indikasi Ibuprofen
1. Sakit gigi dan setelah cabut gigi
2. Sakit kepala termasuk migraine
3. Sakit pada telinga
4. Nyeri otot dan sendi termasuk nyeri akibat asam urat

dan reumatik
5. Nyeri akibat batu ginjal
6. Nyeri pasca operasi
7. Nyeri haid
8. Demam
b. Apa efek samping steroid dan ibuprofen?
Jawab:
Efek samping ibuprofen:
- Mual
- Dyspepsia
- Diare dan sembelit
- Ulserasi gastrointestinal/ perdarahan
- Sakit kepala, pusing, ruam
- Retensi garam dan cairan
- Hipertensi
Efek samping steroid:
- Jangka pendek:
o Gangguan tidur
o Meningkatkan napsu makan
o Meningkatkan berat badan
o Efek psikologis, termasuk
-

penurunan energi
Jangka panjang:
o Pengurangan produksi kortisol
o Osteoporosis terutama pada

peningkatan

atau

perokok,

post

menopause, orang tua,dll.


o Penurunan pertumbuhan pada anak-anak
o Lemah otot terutama di bahu dan otot paha
o Meningkatkan diabetes mellitus
o Peningkatan trigliserida
o Retensi garam
c. Bagaimana hubungan penggunaan obat dengan gejala yang dialami?

Jawab: Obat-obat tersebut berfungsi untuk meredakan nyeri pada


pasien tetapi tidak memperbaiki penyakitnya. Oleh karena itu pasien
tetap mengalami kekambuhan.
d. Apa penyebab dan bagaimana mekanisme nyeri sendi?
Jawab: Inflamasi pada synovial menyebabkan pembengkakan pada
sendi. Nyeri berasal dari kapsul sendi yang dirangsang oleh serabut
yang berfungsi sebagai reseptor nyeri dan sangat sensitif terhadap
peregangan.
e. Apa penyebab dan bagaimana mekanisme bengkak?
Jawab: Efusi cairan synovial menyebabkan nyeri dan pembengkakan
yang terlihat pada sendi metacarpal phalangeal.
f. Apa penyebab dan bagaimana mekanisme kaku di pagi hari?
Jawab: Nyeri sendi ini menyebabkan pasien membatasi pergerakannya,
saat immobilisasi lama akan terjadi pemendekan otot yang dapat
menyebabkan kekakuan sendi.
3. In the afternoon, she often felt low grade fever, fatigue, and less appetite. There
is no back pain.
a. Apa penyebab dan bagaimana mekanisme gejala tersebut?
Jawab:
Gejala-gejala tersebut merupakan gejala konstitusional pada kasus
Rheumatoid Arthritis. Pada rheumatoid arthritis terdapat mediatormediator inflamasi seperti IL-1 yang dapat menyebabkan demam dan
IL-6 yang dapat menyebabkan kelelahan dan perubahan mood menjadi
depresi sehingga pasien kurang nafsu makan.
b. Apa makna klinis dari tidak ada nyeri punggung
Jawab: Nyeri punggung banyak penyebabnya bisa jadi strain otot
punggung, gangguan pada tulang dan persendian vertebra, atau bisa
juga penjalaran nyeri (contoh : angina pectoris)
4. She works half-time in a flower shop, and is having difficulty cutting flowers and
picking up anything over five pounds.
a. Apa makna klinis pasien kesulitan memotong bunga dan mengangkat
benda yang beratnya lebih dari 5 pound?
Jawab: Rheumatoid Arthritis merupakan penyakit inflamasi kronik dan
progresif yang menyerang sendi-sendi kecil walaupun dapat juga
menyerang sendi-sendi besar. Adapun persendian yang biasa diserang
oleh Rheumatoid Arthritis adalah pergelangan tangan, tangan, lutut,
pergelangan kaki, dan kaki. Pekerjaan memotong bunga ataupun
mengangkat beban melibatkan tangan dan tentu menjadi terganggu

karena Ny Ani menderita Rheumatoid Arthritis pada metacarpal


phalangeal joint.
5. Physical exam reveals boggy synovitis at the metacarpal phalangeal joints with
tenderness. There is tenderness but no synovitis at the knees and metatarsal
joints. Her BMI is in the normal range.
a. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik?
Jawab:
Pemeriksaan Fisik
Boggy

synovitis

at

the

Normal

Interpretasi

Tidak Ada

Abnormal

Tidak Ada

Abnormal

Normal

Abnormal

metacarpal phalangeal joints


with tenderness.
There is tenderness but no
synovitis at the knees and
metatarsal joints.
Her BMI is in the normal
range.
b. Bagaimana mekanisme hasil pemeriksaan fisik yang abnormal?
Jawab: Terjadi peradangan pada sinovial (sinovitis) dengan gambaran
boggy yang khas pada RA dan sekaligus menyingkirkan DD OA.
Terjadi reaksi inflamasi akibat autoimun karena adanya antigen yang
spesifik terhadap HLA-DR yang menyebabkan sel T CD4+ proliferasi
dan juga mengundang sel B untuk membentuk autoantibodi.
c. Mengapa sinovitis hanya ditemukan pada metacarpal?
Jawab: Pada bagian lutut dan sendi metatarsal phalangeal sudah mulai
terjadi inflamasi ringan ditandai dengan nyeri tekan, namun belum
ditemui pembengkakan.
6. Laboratory evaluation revealed that her rheumatoid factor was positive, anticyclic citrullinated peptide (CCP) negative, 60mm/hour of sedimentation rate,
and 35mg/dl of C reactive protein. All other routine laboratory findings were
normal. X-rays of her affected joints show minimal periarticular osteopenia and
no erosion.
a. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium?
Jawab:
Temuan Klinis

Interpretasi

rheumatoid factor was positive


anti-cyclic

citrullinated

peptide

Abnormal
(CCP) Normal

negative
, 60mm/hour of sedimentation rate

Abnormal (meningkat)

35mg/dl of C reactive protein

Abnormal

X-rays of her affected joints show minimal Abnormal


periarticular osteopenia
b. Bagaimana mekanisme hasil pemeriksaan laboratorium dan gambaran
X-ray yang abnormal?
Jawab:
No.

Pemeriksaan

Interpretasi

Mekanisme

Abnormal

Hasilnya negative pada 30%

Laboratorium
1.

Rheumatoid factor was


positive

penderita AR stadium dini. Jika


pemeriksaan awal negatif dapat
diulang selama 6-12 bulan dari
onset penyakit. Bisa memberikan
hasil

positif

pada

beberapa

penyakit seperti SLE (sistemik


eritematosus

lupus),

skleroderma, sindrom sjogrens,


penyakit keganasan, sarkoidosis,
infeksi

(virus,

parasit

atau

Tidak

akurat

untuk

bakteri).

menilai perburukan penyakit.


2.

Anti-cyclic
citrullinated
(CCP) negative

Abnormal
peptide

Berkolerasi dengan perburukan


penyaki,

sensitivitasnya

meningkat

bila

dikombinasi

dengan pemeriksaan RF, lebih


spesifik

dibandingkan

dengan

RF, tidak semua laboraturium


mempunyai pemeriksaan anti-

CCP
3.

60mm/hour

of

Abnormal

sedimentation rate,

Sering meningkat >30 mm/jam,


bisa digunakan untuk monitor
perjalanan penyakit

4.

35 mg/dl of C reactive

Abnormal

protein.

Umumnya meningkat sampai >


0,7

picogram/mL,

digunakan

bisa

untuk

monitor

perjalanan penyakit
5.

All

other

laboratory

routine

Normal

Abnormal

Mampu medeteksi adanya erosi

findings

were normal.
6.

X-rays of her affected


joints show minimal

sendi lebih awal dibandingkan

periarticular osteopenia

dengan

and no erosion.

struktur

foto

polos,

sendi

peradangan

tampilan

lebih

yang

rinci.

ditimbulkan

dari penyakit RA ini bersifat


sistemik

tidak

hanya

mempengaruhi sendi tapi juga


seluruh

tubuh

,zat

yang

menimbulkan peradangan (IL-6)


ternyata mampu menyebabkan
erosi tulang, (IL-6) ini bersifat
menghambat zat pembentukan
tulang dan mengaktifkan zat
yang menyebabkan kerusakan
tidak hanya di tulang rawan tapi
juga tulang di seluruh tubuh
sehingga RA ini juga mampu
menyebabkan

Osteoporosis.

Namun pada kasus belum sampai


osteoporosis, yang terjadi adalah
osteopenia

periartikular

yaitu

penurunan massa tulang atau


penipisan tulang ringan disekitar
sendi.

Osteopenia

merupakan

awal dari osteoporosis.


c. Apa indikasi dilakukan pemeriksaan tersebut?
Jawab: Pemeriksaaan laboratorium menunjukkan peninggian laju
endap darah dan factor rheumatoid yang positif sekitar 70%; pada awal
penyakit faktor ini negatif. Jumlah sel darah merah dan komplemen C4
menurun.

Pemeriksaan

C-reaktif

protein (CRP) dan antibodi

antinukleus (ANA) dapat menunjukan hasil yang positif.


Pemeriksaan darah rutin selain untuk mengetahui kadar limfosit dan
mediator

inflamasi

lainnya

juga

untuk

mengetahui

apakah

kecenderungan anemia atau tidak, karena salah satu manifestasi klinis


dari RA adalah anemia. Anemia biasanya terjadi pada penderita
rheumatoid arthritis. Jumlah ESR (Erytrocyte Sedimentation Rate) dan
atau CRP (C-Reaktive Protein) sebanding dengan aktivitas proses
inflamasi dan berguna dalam pemantauan pengobatan.
7. Aspek klinis:
a. Diagnosis Banding
Jawab: Artropati

reaktif,

spondiloartropati

eritematosus sistemik, artritis gout.


b. Algoritma penegakkan diagnosis
Jawab: 7 kriteria ARA:
- Kaku di pagi hari: >1 jam
- Arthritis pada 3 daerah
- Arthritis pada persendian tangan
- Arthritis simetris
- Nodul rheumatoid (jarang ditemukan)
- Faktor rheumatoid serum (tidak selalu +)
- Perubahan gambaran X-ray: adanya
(beberapa bulan/minggu)

seronegatif,

lupus

erosi/dekalsifikasi

c. Diagnosis kerja
Jawab: Rheumatoid arthritis
d. Etiologi
Jawab: Rheumatoid arthritis melibatkan reaksi sistemik, tetapi
penyebab pastinya belum diketahui.
e. Epidemiologi
Jawab: Insiden penyakit ini memuncak pada umur 60-70 tahun.
Prevalensi dari artritis reumatoid mendekati 0,8 % dari populasi.
Wanita terkena tiga kali lebih sering dibandingkan dengan laki-laki.
Penyakit ini menyerang orang-orang di seluruh dunia dari berbagai
suku bangsa. Onset dari penyakit ini sering pada dekade ke-empat dan
ke-lima dari kehidupan.
f. Faktor risiko
Jawab:
1) Faktor genetik: Beberapa

penelitian

yang

telah

dilakukan

melaporkan terjadinya rheumatoid arthritis sangat terkait dengan


faktor genetik. Delapan puluh persen orang kulit putih yang
menderita rheumatoid arthritis mengekspresikan HLA-DR1 atau
HLA-DR4 pada MHC yang terdapat di permukaan sel T. Pasien
yang mengekspresikan antigen HLA-DR4 3,5 kali lebih rentan
terhadap rheumatoid arthritis.
2) Usia dan jenis kelamin: Insidensi rheumatoid arthritis lebih banyak
dialami oleh wanita daripada laki-laki dengan rasio 2:1 hingga 3:1.
Perbedaan ini diasumsikan karena pengaruh dari hormon namun
data ini masih dalam penelitian. Wanita memiliki hormon estrogen

sehingga dapat memicu sistem imun. Onset rheumatoid arthritis


terjadi pada orang-orang usia sekitar 50 tahun.
3) Infeksi: Infeksi dapat memicu rheumatoid arthritis pada host yang
mudah terinfeksi secara genetik. Virus merupakan agen yang
potensial memicu rheumatoid arthritis seperti parvovirus, rubella,
EBV, borellia burgdorferi.
4) Lingkungan: Faktor lingkungan dan gaya hidup juga dapat memicu
rheumatoid arthritis seperti merokok.
g. Patofisiologi dan pathogenesis
Jawab:

Gambar 1 . Regulasi sel-sel imun pada proses inflamasi sendi


Dari penelitian mutakhir (menurut Harris E D 1993 dan Dessureault
1989) diketahui bahwa patogenesis AR terjadi akibat rantai peristiwa
imunologis sebagai berikut :
Suatu antigen penyebab AR yang berada pada membran sinovial, akan
diproses oleh antigen presenting cells (APC) yang terdiri dari berbagai
jenis sel seperti sel sinoviosit A, sel dendritik atau makrofag yang
semuanya mengekspresi determinan HLA-DR pada membran selnya.
Antigen yang telah diproses akan dikenali dan diikat oleh sel CD4+

bersama dengan determinan HLA-DR yang terdapat pada permukaan


membran APC tersebut membentuk suatu kompleks trimolekular.
Kompleks trimolekular ini dengan bantuan interleukin-1 (IL-1) yang
dibebaskan oleh monosit atau makrofag selanjutnya akan menyebabkan
terjadinya aktivasi sel CD4+.
Pada tahap selanjutnya kompleks antigen trimolekular tersebut akan
mengekspresi reseptor interleukin-2 (IL-2) pada permukaan CD4+. IL2 yang diekskresi oleh sel CD4+ akan mengikatkan diri pada reseptor
spesifik pada permukaannya sendiri dan akan menyebabkan terjadinya
mitosis dan proliferasi sel tersebut. Proliferasi sel CD4+ ini akan
berlangsung terus selama antigen tetap berada dalam lingkunan
tersebut. Selain IL-2, CD4+ yang telah teraktivasi juga mensekresi
berbagai limfokin lain seperti gamma-interferon, tumor necrosis factor
(TNF-), interleukin-3 (IL-3), interleukin-4 (IL-4), granulocytemacrophage colony stimulating factor (GM-CSF) serta beberapa
mediator lain yang bekerja merangsang makrofag untuk meningkatkan
aktivitas fagositosisnya dan merangsang proliferasi dan aktivasi sel B
untuk memproduksi antibodi. Produksi antibodi oleh sel B ini dibantu
oleh IL-1, IL-2, dan IL-4.
Setelah berikatan dengan antigen yang sesuai, antibodi yang dihasilkan
akan membentuk kompleks imun yang akan berdifusi secara bebas ke
dalam ruang sendi. Pengendapan kompleks imun akan mengaktivasi
sistem komplemen yang akan membebaskan komponen-komplemen
C5a. Komponen-komplemen C5a merupakan faktor kemotaktik yang
selain meningkatkan permeabilitas vaskular juga dapat menarik lebih
banyak sel polimorfonuklear (PMN) dan monosit ke arah lokasi
tersebut. Pemeriksaan histopatologis membran sinovial menunjukkan
bahwa lesi yang paling dini dijumpai pada AR adalah peningkatan
permeabilitas mikrovaskular membran sinovial, infiltrasi sel PMN dan
pengendapan fibrin pada membran sinovial.
Fagositosis kompleks imun oleh sel radang akan disertai oleh
pembentukan dan pembebasan radikal oksigen bebas, leukotrien,
prostaglandin dan protease neutral (collagenase dan stromelysin) yang
akan menyebabkan erosi rawan sendi dan tulang Radikal oksigen bebas
dapat menyebabkan terjadinya depolimerisasi hialuronat sehingga

mengakibatkan terjadinya penurunan viskositas cairan sendi. Selain itu


radikal oksigen bebas juga merusak kolagen dan proteoglikan rawan
sendi.
Prostaglandin E2( PGE2) memiliki efek vasodilator yang kuat dan
dapat merangsang terjadinya resorpsi tulang osteoklastik dengan
bantuan IL-1 dan TNF. Rantai peristiwa imunologis ini sebenarnya
akan terhenti bila antigen penyebab dapat dihilangkan dari lingkungan
tersebut. Akan tetapi pada AR, antigen atau komponen antigen
umumnya akan menetap pada struktur persendian, sehingga proses
destruksi sendi akan berlangsung terus. Tidak terhentinya destruksi
persendian pada AR kemungkinan juga disebabkan oleh terdapatnya
faktor reumatoid. Faktor reumatoid adalah suatu autoantibodi terhadap
epitop fraksi Fc IgG yang dijumpai pada 70-90 % pasien AR. Faktor
reumatoid akan berikatan dengan komplemen atau mengalami agregasi
sendiri, sehingga proses peradangan akan berlanjut terus. Pengendapan
kompleks imun juga menyebabkan terjadinya degranulasi mast cell
yang menyebabkan terjadinya pembebasan histamin dan berbagai
enzim proteolitik serta aktivasi jalur asam arakidonat.
Masuknya sel radang ke dalam membran sinovial akibat pengendapan
kompleks imun menyebabkan terbentuknya pannus yang merupakan
elemen yang paling destruktif dalam patogenesis AR. Pannus
merupakan jaringan granulasi yang terdiri dari sel fibroblas yang
berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel radang. Secara
histopatologis pada daerah perbatasan rawan sendi dan pannus
terdapatnya sel mononukleus, umumnya banyak dijumpai kerusakan
jaringan kolagen dan proteoglikan.
h. Manifestasi klinis
Jawab:
1. Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan
menurun dan demam. Terkadang kelelahan dapat demikian
hebatnya.
2. Poliartritis simetris terutama pada sendi perifer, termasuk sendisendi di tangan, namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi
interfalangs distal. Hampir semua sendi diartrodial dapat terserang.
3. Kekakuan di pagi hari selama lebih dari 1 jam: dapat bersifat
generalisata tatapi terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini

berbeda dengan kekakuan sendi pada osteoartritis, yang biasanya


hanya berlangsung selama beberapa menit dan selalu kurang dari 1
jam.
4. Artritis erosif merupakan ciri khas penyakit ini pada gambaran
radiologik. Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di
tepi tulang dan ini dapat dilihat pada radiogram.
5. Deformitas: kerusakan dari struktur-struktur penunjang sendi dengan
perjalanan penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi jari, subluksasi
sendi metakarpofalangeal, deformitas boutonniere dan leher angsa
adalah beberapa deformitas tangan yang sering dijumpai pada
penderita. Pada kaki terdapat protrusi (tonjolan) kaput metatarsal
yang timbul sekunder dari subluksasi metatarsal. Sendi-sendi besar
juga dapat terserang dan mengalami pengurangan kemampuan
bergerak terutama dalam melakukan gerak ekstensi.
6. Nodula-nodula reumatoid adalah massa subkutan yang ditemukan
pada sekitar sepertiga orang dewasa penderita arthritis rheumatoid.
Lokasi yang paling sering dari deformitas ini adalah bursa
olekranon (sendi siku ) atau di sepanjang permukaan ekstensor dari
lengan; walaupun demikian nodula-nodula ini dapat juga timbul
pada tempat-tempat lainnya. Adanya nodula-nodula ini biasanya
merupakan suatu petunjuk suatu penyakit yang aktif dan lebih berat.
7. Manifestasi ekstra-artikular: artritis reumatoid juga dapat menyerang
organ-organ lain di luar sendi. Jantung (perikarditis), paru-paru
(pleuritis), mata, dan pembuluh darah dapat rusak.
i. Pemeriksaan penunjang
Jawab:
Darah perifer : anemia, trombositosis, dan peningkatan laju endap
darah & C-reactive protein.
Analisis cairan sendi inflamasi : leukosit 5.000-50.000/L, PMN
>50%, protein meningkat, glukosa menurun, uji bekuan musin
buruk, kristal (-), kultur bakteri (-).
Rheumatoid factor (RF) serum umumnya positif. Rheumatoid factor
adalah antibodi terhadap fraksi Fc IgG dan berhubungan dengan
prognosis.
j. Tatalaksana, edukasi, pencegahan
Jawab:

Tujuan pengobatan RA ialah menghilangkan inflamasi, mencegah


deformitas, mengembalikan fungsi sendi, dan mencegah destruksi
jaringan lebih lanjut.
1) Terapi medikamentosa
a) NSAID/OAINS, diberikan sejak dini untuk mengatasi nyeri
sendi akibat inflamasi yang sering dijumpai, tetapi tidak
melindungi kerusakan tulang rawan sendi dan tulang dari
proses destruksi.
b) DMARD (Disease-Modifying Anti Rheumatic Drugs), untuk
mengontrol penyakit dan mengurangi kerusakan sendi. Terapi
dengan DMARD dapat dilakukan secara tunggal ataupun
kombinasi. Mula khasiatnya baru terlihat setelah 3-12 bulan
kemudian. Setelah 2-5 tahun, maka efektivitasnya dalam
menekan

proses

reumatoid

akan berkurang. Keputusan

penggunaannya bergantung pada pertimbangan risiko manfaat


oleh dokter. Umumnya segera diberikan setelah diagnosis
artritis reumatoid ditegakkan, atau bila respon OAINS tidak
baik, meski masih dalam status tersangka. Jenis-jenis yang
digunakan adalah:
Klorokuin, paling banyak digunakan karena harganya
terjangkau, namun efektivitasnya lebih rendah dibandingkan
dengan yang lain. Dosis anjuran klorokuin fosfat 250
mg/hari hidrosiklorokuin 400 mg/hari. Efek samping
bergantung pada dosis harian, berupa penurunan ketajaman
penglihatan, dermatitis makulopapular, nausea, diare, dan
anemia hemolitik.
Sulfasalazin dalam bentuk tablet bersalut enteric digunakan
dalam dosis 1 x 500 mg/hari, ditingkatkan 500 mg per
minggu, sampai mencapai dosis 4 x 500 mg. Setelah remisi
tercapai, dosis dapat diturunkan hingga 1 g/hari untuk
dipakai dalam jangka panjang sampai tercapai remisi
sempurna. Jika dalam waktu 3 bulan tidak terlihat
khasiatnya, obat ini dihentikan dan diganti dengan yang lain,
atau dikombinasi. Efek sampingnya nausea, muntah, dan
dyspepsia.

D-penisilamin, kurang disukai karena bekerja sangat lambat.


Digunakan dalam dosis 250-300 mg/hari, kemudian dosis
ditingkatkan setiap 2-4 minggu sebesar 250-300 mg/hari
untuk mencapai dosis total 4x 250-300 mg/hari. Efek
samping antara lain ruam kulit urtikaria atau mobiliformis,
stomatitis, dan pemfigus.
Garam emas adalah gold

standard bagi

DMARD.

Khasiatnya tidak diragukan lagi meski sering timbul efek


samping.

Auro

sodium

tiomalat

(AST)

diberikan

intramuskular, dimulai dengan dosis percobaan pertama


sebesar 10 mg, seminggu kemudian disusul dosis kedua
sebesar 20 mg. Seminggu kemudian diberikan dosis penuh
50 mg/minggu selama 20 minggu. Dapat dilanjutkan dengan
dosis tambahan sebesar 50 mg tiap 2 minggu sampai 3
bulan. Jika diperlukan, dapat diberikan dosis 50 mg setiap 3
minggu sampai keadaan remisi tercapai. Efek samping
berupa pruritis, stomatitis, proteinuria, trombositopenia, dan
aplasia sumsum tulang. Jenis yang lain adalah auranofin
yang diberikan dalam dosis 2 x 3 mg. Efek samping lebih
jarang dijumpai, pada awal sering ditemukan diare yang
dapat diatasi dengan penurunan dosis.
Obat imunosupresif atau imunoregulator. Metotreksat sangat
mudah digunakan dan waktu mula kerjanya relatif pendek
dibandingkan dengan yang lain. Dosis dimulai 5-7,5 mg
setiap minggu. Bila dalam 4 bulan tidak menunjukkan
perbaikan, dosis harus ditingkatkan. Dosis jarang melebihi
20 mg/minggu. Efek samping jarang ditemukan. Penggunaan
siklosporin untuk artritis reumatoid masih dalam penelitian.
c) Agen biologic, seperti etanercept (anti TNF-), infliximab (anti
TNF-),

tocilizumab

(anti

IL-6),

rituximab

(antibody

monoclonal anti-sel B).


d) Penggunaan kortikosteroid sistemik, atau dengan kombinasi
imunosupresan lain (siklofosfamid atau siklosporin) pada kasus
yang berat : vaskulitis, skleritis, serositis lekalsitrans.
2) Terapi bedah ortopedi

Jika berbagai cara pengobatan telah dilakukan dan tidak berhasil


serta terdapat alasan yang cukup kuat, dapat dilakukan pengobatan
pembedahan.

Terapi

bedah

ortopedi

ini

dilakukan

untuk

memperbaiki fungsi, mobilitas, dan mengontrol nyeri. Jenis


Prosedur dapat berupa : sinovektomi, artrodesis, total joint
replacement, memperbaiki deviasi ulnar, tendon repair and
transfer, dan sebagainya.
3) Rehabilitasi
Rehabilitasi merupakan tindakan untuk mengembalikan tingkat
kemampuan pasien AR dengan cara:
Mengurangi rasa nyeri
Mencegah terjadinya kekakuan dan keterbatasan gerak

sendi
Mencegah terjadinya atrofi dan kelemahan otot
Mencegah terjadinya deformitas
Meningkatkan rasa nyaman dan kepercayaan diri
Mempertahankan kemandirian sehingga tidak bergantung

kepada orang lain.


Rehabilitasi dilaksanakan dengan berbagai cara antara lain dengan
mengistirahatkan sendi yang terlibat, latihan serta dengan
menggunakan

modalitas

terapi

fisis

seperti

pemanasan,

pendinginan, peningkatan ambang rasa nyeri dengan arus listrik.


Manfaat terapi fisis dalam pengobatan AR telah ternyata terbukti
dan saat ini merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan
dalam penatalaksanaan AR.
k. Komplikasi
Jawab:
Komplikasi

Keterangan
Berkolerasi dengan LED dan aktivitas penyakit, 75% penderita

Anemia

AR mengalami anemia karena penyakit kronik dan 25% penderita


memberikan respons terhadap terapi besi.
Mungkin akibat sekunder dari terapi yang diberikan, kejadian
limfoma dan leukemia 2-3 kali lebih sering terjadi pada penderita

Kanker

AR, peningkatan resiko terjadinya berbagai tumor solid,


penurunan risiko terjadinya kanker genitourinaria, diperkirankan
karena penggunaan OAINS.

1/3 penderita AR mungkin mengalami efusi perikardial


Komplikasi kardiak

asimptomatik saat diagnosis ditegakkan, miokarditis bisa terjadi,


baik dengan atau tanpa gejala, blok atrioventrikular jarang
ditemukan.
Tenosinovitis pada ligamentum transversum bisa menyebabkan
instabilitas sumbu atlas, hati-hati bila melakukan intubasi

Penyakit tulang

endotrakeal, mungkin ditemukan hilangnya lordosis servikal dan

belakang leher

berkurangnya lingkup gerak leher, subluksasi C4-C5 dan C5-C6,

(cervical spine disease)

penyempitan celah sendi pada foto servikal lateral. Myelopati bisa


terjadi yang ditandai oleh kelemahan bertahap pada ekstremitas
atas dan parestesia.

Gangguan mata
Pembentukan fistula
Peningkatan infeksi

Episkleritis jarang terjadi.


Terbentuknya sinus kutaneus dekat sendi yang terkena,
terhubungnya bursa dengan kulit.
Umumnya merupakan efek dari terapi AR.
Deviasi ulnar pada sendi metakarpofalangeal; deformitas

Deformitas sendi tangan boutonniere, deformitas swan neck, hiperekstensi dari ibu jari,
peningkatan risiko ruptur tendon.
Deformitas sendi lain

Beberapa kelainan yang bisa ditemukan: frozen shoulder, kista


popliteal, sindrom terowongan karpal dan tarsal.
Nodul paru bisa bersama-sama dengan kanker dan pembentukan
lesi kavitas, bisa ditemukan inflamasi pada sendi cricoarytenoid

Komplikasi pernafasan

dengan gejala suara serak dan nyeri pada laring, pleuritis


ditemukan pada 20% penderita, fibrosis intestinal bisa ditandai
dengan adanya ronki pada pemeriksaan fisik.
Ditemukan pada 20-35% penderita AR, biasanya ditemukan pada

Nodul reumatoid

permukaan ekstensor ekstremitas atau daerah penekanan lainnya,


tetapi bisa juga ditemukan pada daerah sklera, pita suara, sakrum,
atau vertebra.

Vaskulitis

Bentuk kelainannya antara lain, arteritis distal, perikarditis,


neuropati perfer, lesi kutaneus, arteritis, organ visera, dan arteritis
koroner, terjadi peningkatan risiko pada penderita perempuan,

titer RF yang tinggi, mendapat terapi steroid dan mendapat


beberapa macam DMARD, berhubungan dengan peningkatan
resiko terjadinya infark miokard.
l. Prognosis
Jawab: Dubia ad bonam
Vitam: bonam
Fungsionam: dubia
Sanationam: malam
m. SKDI
Jawab: 3A

V.

Keterbatasan Ilmu Pengetahuan


No

Learning Issue

What I know

.
1

What I dont What I have


know

Anatomi

dan

to prove
Textbook

Fisiologi

IT

Persendian
2

Rheumatoid
Arthritis

References

Journal

VI.
Learning Issue
a. Anatomi dan fisiologi persendian
Sendi merupakan suatu engsel yang membuat anggota tubuh dapat bergerak dengan baik,
juga merupakan suatu penghubung antara ruas tulang yang satu dengan ruas tulang lainnya,
sehingga kedua tulang tersebut dapat digerakkan sesuai dengan jenis persendian yang
diperantarainya.

Gambar 2 . Struktur Sendi


Rawan sendi yang melapisi ujung-ujung tulang mempunyai mempunyai fungsi ganda yaitu
untuk melindungi ujung tulang agar tidak aus dan memungkinkan pergerakan sendi menjadi
mulus/licin, serta sebagai penahan beban dan peredam benturan. Agar rawan berfungsi baik,
maka diperlukan matriks rawan yang baik pula. Matriks terdiri dari 2 tipe makromolekul,
yaitu :

Proteoglikan : yang meliputi 10% berat kering rawan sendi, mengandung 70-80% air, hal
inilah yang menyebabkan tahan terhadap tekanan dan memungkinkan rawan sendi

elastis.
Kolagen : komponen ini meliputi 50% berat kering rawan sendi, sangat tahan terhadap
tarikan. Makin kearah ujung rawan sendi makin tebal, sehingga rawan sendi yang tebal
kolagennya akan tahan terhadap tarikan

Disamping itu matriks juga mengandung mineral, air, dan zat organik lain seperti enzim.
Klasifikasi Sendi
Secara struktural :
1. Persendian fibrosa, yaitu persendian yang tidak memiliki rongga sendi dan diperkokoh
dengan jaringan ikat fibrosa.
2. Persendian kartilago, yaitu persendian yang tidak memiliki rongga sendi dan diperkokoh
dengan jaringan kartilago.
3. Persendian sinovial, yaitu persendian yang memiliki rongga sendi dan diperkokoh dengan
kapsul dan ligament artikular yang membungkusnya.
Menurut fungsinya :
1.

Sendi sinartosis (sendi mati), sendi ini dibungkus dengan jaringan ikat fibrosa atau
kartilago. Sendi jenis ini antara lain adalah :
a) Sutura, yaitu sendi yang dihubungkan dengan jaringan ikat fibrosa rapat yang hanya
ditemukan pada tulang tengkorak. Contoh: sutura sagital dan parietal.
b) Sinkondrosis, yaitu sendi yang tulang-tulangnya dihubungkan dengan kartilago hialin.

2.

Contoh: lempeng epifisis sementara antara epifisis dan diafisis pada tulang panjang.
Sendi amfiartosis (sendi dengan pergerakan terbatas) Sendi ini memungkinkan gerakan
terbatas sebagai respon terhadap torsi dan kompresi. Sendi jenis ini antara lain adalah:
a) Simfisis, adalah sendi yang kedua tulangnya dihubungkan dengan diskus kartilago,
yang menjadi bantalan sendi dan memungkinkan terjadi sedikit gerakan. Contoh:
simpisis pubis
b) Sindesmosis, terbentuk saat tulang-tulang yang berdekatan dihubungkan dengan seratserat jaringan ikat kolagen. Contoh: ditemukan pada tulang yang bersisihan seperti
radius dan ulna, serta tibia dan fibula
c) Gomposis, adalah sendi dimana tulang berbentuk kerucut masuk dengan pas dalam

3.

kantong tulang, seperti pada gigi yang tertanam pada tulang rahang
Sendi diartosis (sendi dengan pergerakan bebas) disebut juga sendi synovial Sendi ini
memiliki rongga sendi yang berisi cairan sinofial. Klasifikasi persendian synovial terdiri
dari:
a) Sendi sferoidal, yang terdiri dari sebuah tulang yang masuk kedalam rongga
berbentuk cangkir pada tulang lain. Contoh: sendi panggul dan bahu
b) Sendi engsel, terdiri dari sebuah tulang yang masuk dengan pas pada permukaan
konkaf tulang kedua, sehingga memungkinkan gerakan kesatu arah. Contoh: sendi
c)

lutut dan siku.


Sendi kisar, yaitu tulang bentuk kerucut yang masuk pas cekungan tulang kedua dan
dapat berputar kesemua arah. Contoh: tulang atas, persendian bagian kepala

d) Sendi kondiloid, merupakan sendi biaksial, yang memungkinkan gerakan kedua arah
e)

disudut kanan setiap tulang. Contoh: sendi antara tulang radius dan tulang karpal
Sendi pelana, permukaan tulang yang berartikulasi berbentuk konkaf disatu sisi dan
konkaf pada sisi lain, sehingga tulang akan masuk dengan pas seperti dua pelana
yang saling menyatu. Satu-satunya sendi pelana sejati yang ada dalam tubuh adalah

f)

persendian antara tulang karpal dan metakarpal pada ibu jari.


Sendi peluru, adalah salah satu sendi yang permukaan kedua tulang berartikulasi
berbentuk datar, sehingga memungkinkan gerakan meluncur antara satu tulang
dengan tulang yang lainnya. Persendian semacam ini disebut sendi nonaksia.
Misalnya: Persendian intervertebra, dan persendian antara tulang-tulang karpa dan
tulang-tulang tarsal. Struktur sendi sinovial tersusun atas:
Tulang rawan sendi. Tersusun atas tulang rawan hialin yang berfungsi untuk
melindungi tulang dari benturan dan meredam tekanan.
Rongga sendi. Tempat cairan sinovial
Kapsul sendi
Cairan sinovial. Cairan sinovial berasal dari filtrasi darah yang disekresikan
fibroblast dalam membrane sinovial, cairan ini berfungsi sebagai pelumas untuk
mempermudah gerakan.
Reinforcing ligament Beberapa persendian sinovial menguat dan mengeras oleh
ligament yang menutupinya. Berfungsi untuk mempertebal kapsul sendi,
reinforcing ligament terbagi menjadi dua yaitu extracapsular ligament yang
berada di luar kapsul sendi dan intracapsularligamen yang berada di dalam.
Syaraf Syaraf akan mendeteksi rasa nyeri pada persendian dan memonitor
peregangan pada sendi.
Pembuluh darah. Suplai pembuluh darah untuk membentuk cairan sinovial.

Fungsi sendi :
1. Mempermudah gerakan antara kedua ujung-ujung tulang.
2. Berperan dalam pertumbuhan tulang ke arah memanjang.
b. Rheumatoid arthritis
Definisi
Rheumatoid arthritis (RA) merupakan penyakit autoimun dengan inflamasi kronis dan
progresif sistemik yang ditandai dengan pembengkakan dan nyeri sendi, serta destruksi
membrane sinovial persendian. Rheumatoid arthritis dapat menyebabkan disabilitas berat
serta mortalitas dini.

Etiologi, Epidemiologi, dan Faktor Risiko


Penyebab RA masih belum diketahui. Diduga RA mungkin merupakan manifestasi dari
respon terhadap agen infeksi dalam berbagai genetik yang rentan. Karena distribusi di seluruh
dunia RA, telah dihipotesiskan bahwa jika agen infeksius terlibat, organisme harus di manamana. Sejumlah kemungkinan agen penyebab telah diusulkan, termasuk virus Mycoplasma,
Epstein-Barr (EBV), cytomegalovirus, parvovirus, dan virus rubella, namun bukti yang
meyakinkan bahwa ini atau agen infeksi lainnya yang menyebabkan RA belum muncul.
Proses dimana agen infeksi dapat menyebabkan arthritis inflamasi kronis dengan distribusi
karakteristik juga masih belum diketahui.
RA terjadi akibat adanya predisposisi genetic, terutama HLA-DR4 dan HLA-DR1, yang
menimbulkan reaksi imunologis pada membran sinovium. Human Leukocyte Antigen system
(HLA) merupakan sebutan untuk Major Histocompatibility Complex (MHC) yang terdapat
pada manusia. Kelompok gen tersebut terletak pada kromosom 6 dan menandai antigen
berupa protein pada permukaan sel dan gen-gen yang lain. Antigen HLA mayor berperan
penting dalam fungsi imun dan dapat dibedakan menjadi 2 kelas yang memiliki fungsi
berbeda, yaitu: 1) antigen kelas I (ABC) - memproduksi peptida dari dalam sel (termasuk
peptida viral), dan 2) antigen kelas II (DR, DP, & DQ) - memproduksi antigen fagositosis dari
luar untuk limfosit T.
Prevalensi RA adalah 0,8% dari populasi (kisaran 0,3-2,1%). RA lebih sering terjadi pada
perempuan (rasio 3:1 dibanding laki-laki), serta insidens tertinggi ditemukan pada usia 20-45
tahun.
Patogenesis
Dari penelitian mutakhir (menurut Harris E D 1993 dan Dessureault 1989) diketahui bahwa
patogenesis AR terjadi akibat rantai peristiwa imunologis sebagai berikut :
Suatu antigen penyebab AR yang berada pada membran sinovial, akan diproses oleh antigen
presenting cells (APC) yang terdiri dari berbagai jenis sel seperti sel sinoviosit A, sel
dendritik atau makrofag yang semuanya mengekspresi determinan HLA-DR pada membran
selnya. Antigen yang telah diproses akan dikenali dan diikat oleh sel CD4+ bersama dengan
determinan HLA-DR yang terdapat pada permukaan membran APC tersebut membentuk
suatu kompleks trimolekular. Kompleks trimolekular ini dengan bantuan interleukin-1 (IL-1)
yang dibebaskan oleh monosit atau makrofag selanjutnya akan menyebabkan terjadinya
aktivasi sel CD4+.

Gambar 3 . Regulasi sel-sel imun pada proses inflamasi sendi


Pada tahap selanjutnya kompleks antigen trimolekular tersebut akan mengekspresi reseptor
interleukin-2 (IL-2) pada permukaan CD4+. IL-2 yang diekskresi oleh sel CD4+ akan
mengikatkan diri pada reseptor spesifik pada permukaannya sendiri dan akan menyebabkan
terjadinya mitosis dan proliferasi sel tersebut. Proliferasi sel CD4+ ini akan berlangsung terus
selama antigen tetap berada dalam lingkunan tersebut. Selain IL-2, CD4+ yang telah
teraktivasi juga mensekresi berbagai limfokin lain seperti gamma-interferon, tumor necrosis
factor (TNF-), interleukin-3 (IL-3), interleukin-4 (IL-4), granulocyte-macrophage colony
stimulating factor (GM-CSF) serta beberapa mediator lain yang bekerja merangsang
makrofag untuk meningkatkan aktivitas fagositosisnya dan merangsang proliferasi dan
aktivasi sel B untuk memproduksi antibodi. Produksi antibodi oleh sel B ini dibantu oleh IL1, IL-2, dan IL-4.
Setelah berikatan dengan antigen yang sesuai, antibodi yang dihasilkan akan membentuk
kompleks imun yang akan berdifusi secara bebas ke dalam ruang sendi. Pengendapan
kompleks imun akan mengaktivasi sistem komplemen yang akan membebaskan komponenkomplemen C5a. Komponen-komplemen C5a merupakan faktor kemotaktik yang selain

meningkatkan permeabilitas vaskular juga dapat menarik lebih banyak sel polimorfonuklear
(PMN) dan monosit ke arah lokasi tersebut. Pemeriksaan histopatologis membran sinovial
menunjukkan bahwa lesi yang paling dini dijumpai pada AR adalah peningkatan
permeabilitas mikrovaskular membran sinovial, infiltrasi sel PMN dan pengendapan fibrin
pada membran sinovial.
Fagositosis kompleks imun oleh sel radang akan disertai oleh pembentukan dan pembebasan
radikal oksigen bebas, leukotrien, prostaglandin dan protease neutral (collagenase dan
stromelysin) yang akan menyebabkan erosi rawan sendi dan tulang Radikal oksigen bebas
dapat menyebabkan terjadinya depolimerisasi hialuronat sehingga mengakibatkan terjadinya
penurunan viskositas cairan sendi. Selain itu radikal oksigen bebas juga merusak kolagen dan
proteoglikan rawan sendi.
Prostaglandin E2( PGE2) memiliki efek vasodilator yang kuat dan dapat merangsang
terjadinya resorpsi tulang osteoklastik dengan bantuan IL-1 dan TNF. Rantai peristiwa
imunologis ini sebenarnya akan terhenti bila antigen penyebab dapat dihilangkan dari
lingkungan tersebut. Akan tetapi pada AR, antigen atau komponen antigen umumnya akan
menetap pada struktur persendian, sehingga proses destruksi sendi akan berlangsung terus.
Tidak terhentinya destruksi persendian pada AR kemungkinan juga disebabkan oleh
terdapatnya faktor reumatoid. Faktor reumatoid adalah suatu autoantibodi terhadap epitop
fraksi Fc IgG yang dijumpai pada 70-90 % pasien AR. Faktor reumatoid akan berikatan
dengan komplemen atau mengalami agregasi sendiri, sehingga proses peradangan akan
berlanjut terus. Pengendapan kompleks imun juga menyebabkan terjadinya degranulasi mast
cell yang menyebabkan terjadinya pembebasan histamin dan berbagai enzim proteolitik serta
aktivasi jalur asam arakidonat.
Masuknya sel radang ke dalam membran sinovial akibat pengendapan kompleks imun
menyebabkan terbentuknya pannus yang merupakan elemen yang paling destruktif dalam
patogenesis AR. Pannus merupakan jaringan granulasi yang terdiri dari sel fibroblas yang
berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel radang. Secara histopatologis pada daerah
perbatasan rawan sendi dan pannus terdapatnya sel mononukleus, umumnya banyak dijumpai
kerusakan jaringan kolagen dan proteoglikan.
Manifestasi Klinis
RA memiliki karakteristik berupa inflamasi sinovial dan hiperplasia (swelling), produksi
autoantibodi (rheumatoid factor dan anticitrullinated protein antibody [ACPA]), destruksi

kartilago dan tulang (deformity), dan gejala sistemik termasuk di antaranya cardiovascular,
pulmonary, psychological, dan skeletal disorders.
Ada beberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan pada penderita artritis reumatoid.
Gambaran klinis ini tidak harus timbul sekaligus pada saat yang bersamaan oleh karena
penyakit ini memiliki gambaran klinis yang sangat bervariasi. Menurut Michael ( 1995 )
gejalanya adalah sebagai berikut :

Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan menurun dan


demam. Terkadang kelelahan dapat demikian hebatnya.

Poliartritis simetris terutama pada sendi perifer, termasuk sendi-sendi di tangan,


namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalangs distal. Hampir semua sendi
diartrodial dapat terserang.

Kekakuan di pagi hari selama lebih dari 1 jam: dapat bersifat generalisata tatapi
terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda dengan kekakuan sendi pada
osteoartritis, yang biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit dan selalu
kurang dari 1 jam.

Artritis erosif merupakan ciri khas penyakit ini pada gambaran radiologik.
Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di tepi tulang dan ini dapat dilihat
pada radiogram.

Deformitas: kerusakan dari struktur-struktur penunjang sendi dengan perjalanan


penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi jari, subluksasi sendi metakarpofalangeal,
deformitas boutonniere dan leher angsa adalah beberapa deformitas tangan yang
sering dijumpai pada penderita. Pada kaki terdapat protrusi (tonjolan) kaput
metatarsal yang timbul sekunder dari subluksasi metatarsal. Sendi-sendi besar juga
dapat terserang dan mengalami pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam
melakukan gerak ekstensi.

Nodula-nodula reumatoid adalah massa subkutan yang ditemukan pada sekitar


sepertiga orang dewasa penderita arthritis rheumatoid. Lokasi yang paling sering dari
deformitas ini adalah bursa olekranon (sendi siku ) atau di sepanjang permukaan
ekstensor dari lengan; walaupun demikian nodula-nodula ini dapat juga timbul pada
tempat-tempat lainnya. Adanya nodula-nodula ini biasanya merupakan suatu petunjuk
suatu penyakit yang aktif dan lebih berat.

Manifestasi ekstra-artikular: artritis reumatoid juga dapat menyerang organ-organ lain di luar
sendi. Jantung (perikarditis), paru-paru (pleuritis), mata, dan pembuluh darah dapat rusak.

Pemeriksaan Penunjang
Darah perifer : anemia, trombositosis, dan peningkatan laju endap darah & C-reactive
protein.
Analisis cairan sendi inflamasi : leukosit 5.000-50.000/L, PMN >50%, protein meningkat,
glukosa menurun, uji bekuan musin buruk, kristal (-), kultur bakteri (-).
Rheumatoid factor (RF) serum umumnya positif. Rheumatoid factor adalah antibodi terhadap
fraksi Fc IgG dan berhubungan dengan prognosis.
Diagnosis
Kriteria American Rheumatism Association untuk Artritis Reumatoid (ARA, 1987) :

Kaku pagi hari


Kekakuan pada pagi hari pada persendian dan disekitarnya, sekurangnya selama 1 jam
sebelum perbaikan maksimal

Artritis pada 3 daerah


Pembengkakan jaringan lunak atau persendian atau lebih efusi (bukan pertumbuhan
tulang) pada sekurang-kurangnya 3 sendi secara bersamaan yang diobservasi oleh
seorang dokter. Dalam kriteria ini terdapat 14 persendian yang memenuhi kriteria
yaitu PIP, MCP, pergelangan tangan, siku pergelangan kaki dan MTP kiri dan kanan.

Artritis pada persendian tangan


Setidaknya terjadi pembengkakan satu persendian tangan.

Artritis simetris
Keterlibatan sendi yang sama pada kedua belah sisi, keterlibatan PIP, MCP atau MTP
bilateral dapat diterima walaupun tidak mutlak bersifat simetris.

Nodul rheumatoid
Nodul subkutan pada penonjolan tulang atau permukaan ekstensor atau daerah jukstaartrikular yang diobservasi oleh seorang dokter.

Faktor rheumatoid serum


Terdapatnya titer abnormal faktor reumatoid serum yang diperiksa dengan cara yang
memberikan hasil positif kurang dari 5% kelompok kontrol yang diperiksa.

Perubahan gambaran
Perubahan gambaran radiologis yang radiologis khas bagi arthritis reumotoid pada
periksaan sinar X tangan posteroanterior atau pergelangan tangan yang harus

menunjukkan adanya erosi atau dekalsifikasi tulang yang berlokalisasi pada sendi atau
daerah yang berdekatan dengan sendi (perubahan akibat osteoartritis saja tidak
memenuhi persyaratan).
Untuk keperluan klasifikasi, seseorang dikatakan menderita artritis reumatoid jika ia
sekurang-kurangnya memenuhi 4 dari 7 kriteria di atas. Kriteria 1 sampai 4 harus terdapat
minimal selama 6 minggu. Pasien dengan dua diagnosis tidak dieksklusikan. Pembagian
diagnosis sebagai artritis reumatoid klasik, definit, probable atau possible tidak perlu dibuat.

Diagnosis Banding
Artropati reaktif, spondiloartropati seronegatif, lupus eritematosus sistemik, artritis gout.
Tatalaksana
Tujuan

pengobatan

RA

ialah

menghilangkan

inflamasi,

mencegah

deformitas,

mengembalikan fungsi sendi, dan mencegah destruksi jaringan lebih lanjut.


Terapi medikamentosa

NSAID/OAINS, diberikan sejak dini untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi
yang sering dijumpai, tetapi tidak melindungi kerusakan tulang rawan sendi dan
tulang dari proses destruksi.

DMARD (Disease-Modifying Anti Rheumatic Drugs), untuk mengontrol penyakit


dan mengurangi kerusakan sendi. Terapi dengan DMARD dapat dilakukan secara
tunggal ataupun kombinasi. Mula khasiatnya baru terlihat setelah 3-12 bulan

kemudian. Setelah 2-5 tahun, maka efektivitasnya dalam menekan proses reumatoid
akan berkurang. Keputusan penggunaannya bergantung pada pertimbangan risiko
manfaat oleh dokter. Umumnya segera diberikan setelah diagnosis artritis reumatoid
ditegakkan, atau bila respon OAINS tidak baik, meski masih dalam status tersangka.
Jenis-jenis yang digunakan adalah:

Klorokuin,

paling

banyak

digunakan

karena

harganya

terjangkau,

namun

efektivitasnya lebih rendah dibandingkan dengan yang lain. Dosis anjuran klorokuin
fosfat 250 mg/hari hidrosiklorokuin 400 mg/hari. Efek samping bergantung pada
dosis harian, berupa penurunan ketajaman penglihatan, dermatitis makulopapular,
nausea, diare, dan anemia hemolitik.

Sulfasalazin dalam bentuk tablet bersalut enteric digunakan dalam dosis 1 x 500
mg/hari, ditingkatkan 500 mg per minggu, sampai mencapai dosis 4 x 500 mg.
Setelah remisi tercapai, dosis dapat diturunkan hingga 1 g/hari untuk dipakai dalam
jangka panjang sampai tercapai remisi sempurna. Jika dalam waktu 3 bulan tidak
terlihat khasiatnya, obat ini dihentikan dan diganti dengan yang lain, atau
dikombinasi. Efek sampingnya nausea, muntah, dan dyspepsia.

D-penisilamin, kurang disukai karena bekerja sangat lambat. Digunakan dalam dosis
250-300 mg/hari, kemudian dosis ditingkatkan setiap 2-4 minggu sebesar 250-300
mg/hari untuk mencapai dosis total 4x 250-300 mg/hari. Efek samping antara lain
ruam kulit urtikaria atau mobiliformis, stomatitis, dan pemfigus.

Garam emas adalah gold standard bagi DMARD. Khasiatnya tidak diragukan lagi
meski sering timbul efek samping. Auro sodium tiomalat (AST) diberikan
intramuskular, dimulai dengan dosis percobaan pertama sebesar 10 mg, seminggu
kemudian disusul dosis kedua sebesar 20 mg. Seminggu kemudian diberikan dosis
penuh 50 mg/minggu selama 20 minggu. Dapat dilanjutkan dengan dosis tambahan
sebesar 50 mg tiap 2 minggu sampai 3 bulan. Jika diperlukan, dapat diberikan dosis
50 mg setiap 3 minggu sampai keadaan remisi tercapai. Efek samping berupa pruritis,
stomatitis, proteinuria, trombositopenia, dan aplasia sumsum tulang. Jenis yang lain
adalah auranofin yang diberikan dalam dosis 2 x 3 mg. Efek samping lebih jarang
dijumpai, pada awal sering ditemukan diare yang dapat diatasi dengan penurunan
dosis.

Obat imunosupresif atau imunoregulator. Metotreksat sangat mudah digunakan dan


waktu mula kerjanya relatif pendek dibandingkan dengan yang lain. Dosis dimulai 5-

7,5 mg setiap minggu. Bila dalam 4 bulan tidak menunjukkan perbaikan, dosis harus
ditingkatkan. Dosis jarang melebihi 20 mg/minggu. Efek samping jarang ditemukan.
Penggunaan siklosporin untuk artritis reumatoid masih dalam penelitian.

Agen biologic, seperti etanercept (anti TNF-), infliximab (anti TNF-), tocilizumab
(anti IL-6), rituximab (antibody monoclonal anti-sel B).

Penggunaan kortikosteroid sistemik, atau dengan kombinasi imunosupresan lain


(siklofosfamid atau siklosporin) pada kasus yang berat : vaskulitis, skleritis, serositis
lekalsitrans.

Terapi bedah ortopedi


Jika berbagai cara pengobatan telah dilakukan dan tidak berhasil serta terdapat alasan
yang cukup kuat, dapat dilakukan pengobatan pembedahan. Terapi bedah ortopedi ini
dilakukan untuk memperbaiki fungsi, mobilitas, dan mengontrol nyeri. Jenis Prosedur
dapat berupa : sinovektomi, artrodesis, total joint replacement, memperbaiki deviasi
ulnar, tendon repair and transfer, dan sebagainya.
Rehabilitasi
Rehabilitasi merupakan tindakan untuk mengembalikan tingkat kemampuan pasien
AR dengan cara:
o Mengurangi rasa nyeri
o Mencegah terjadinya kekakuan dan keterbatasan gerak sendi
o Mencegah terjadinya atrofi dan kelemahan otot
o Mencegah terjadinya deformitas
o Meningkatkan rasa nyaman dan kepercayaan diri
o Mempertahankan kemandirian sehingga tidak bergantung kepada orang lain.
Rehabilitasi dilaksanakan dengan berbagai cara antara lain dengan mengistirahatkan
sendi yang terlibat, latihan serta dengan menggunakan modalitas terapi fisis seperti
pemanasan, pendinginan, peningkatan ambang rasa nyeri dengan arus listrik. Manfaat
terapi fisis dalam pengobatan AR telah ternyata terbukti dan saat ini merupakan salah
satu bagian yang tidak terpisahkan dalam penatalaksanaan AR.
Komplikasi
Komplikas rheumatoid arthritis umumnya tidak bersifat fatal. Namun penyakit ini bersifat
progresif sehingga keterbatasan dan nyeri sendi dapat semakin berat bila tidak diobati.

Prognosis
Prognosis rheumatoid arthritis sangat bergantung dari waktu diagnosis dan pengobatan
dimulai.Sekitar 40% pasien rheumatoid arthritis mengalami hendaya dalam 10 tahun ke
depannya. Penggunaan DMARD kurang dari 12 minggu setelah gejala awal menunjukkan
hasil remisi yang lebih baik.

VII.

Kerangka Konsep

VIII.

Sintesis

Ny. Ani, 43 tahun, mengeluh mengalami nyeri sendi sejak tiga bulan yang lalu. Ia mengeluh
kekakuan pada pagi hari yang berlangsung selama 2 jam. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
adanya pembengkakan dan gangguan pada beberapa sendi, antara lain sendi kecil jari-jari
tangan, pergelangan tangan, lutut, dan pergelangan kaki. Jari-jari tangan yang terkena adalah
sendi metacarpal phalangeal. Pasien juga mengeluhkan sering demam ringan, mudah lelah,
dan kurang nafas makan.
Rheumatoid arthritis merupakan penyakit autoimun yang bersifat kronis. Rheumatoid
arthritis menyerang synovium. Penyakit ini sering menyerang orang dekade ke empat dan
lima, dan juga sering ditemukan pada wanita. Penyebabnya belum diketahui.
Rheumatoid arthritis berhubungan dengan beberapa faktor, seperti faktor genetik. Selain
faktor genetik, ada faktor lingkungan yang memengaruhi munculnya gejala, seperti infeksi.
Rheumatoid arthritis berisiko mengenai perokok, umur yang lebih tua, penggunaan salisilat,
dan konsumsi kopi berlebihan. Kerusakan sendi pada RA dimulai dengan adanya proliferasi
makrofag dan fibroblast synovial yang dicetuskan oleh autoimun dan infeksi yang akan
memicu terjadinya reaksi imun oleh mediator-mediator inflamasi.
Masuknya sel radang ke dalam membran sinovial akibat pengendapan kompleks imun
menyebabkan terbentuknya pannus. Pannus, elemen yang paling destruktif dalam
patogenesis RA, merupakan jaringan granulasi yang terdiri dari sel fibroblas yang
berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel-sel radang. Pada gambaran histopatologis
daerah perbatasan rawan sendi dan pannus terdapat sel mononukleus, umumnya banyak
dijumpai kerusakan jaringan kolagen dan proteoglikan.
Nyeri sendi ini menyebabkan pasien membatasi pergerakannya, saat immobilisasi lama akan
terjadi pemendekan otot yang dapat menyebabkan kekakuan sendi. Maka dari itu, pasien ini
sering merasakan kaku sendi saat setelah bangun tidur.
Peradangan tersebut menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah sehingga
terjadi ekstravasasi cairan ke celah sendi, sehingga terjadi efusi cairan synovial. Efusi cairan
synovial menyebabkan nyeri dan pembengkakan yang terlihat pada sendi metacarpal
phalangeal.

Pada lutut dan sendi metatarsal phalangeal sudah mulai terjadi inflamasi ringan ditandai
dengan nyeri tekan, namun belum ditemui pembengkakan.
Peningkatan laju endap darah dan C-reaktif protein mengindikasikan bahwa terjadi reaksi
inflamasi dalam tubuh pasien. Antibodi dari CCP tidak ditemukan pada pasien. Anti CCP
memang spesifik terhadap RA, namun tidak ditemukannya anti CCP tidak menyingkirkan
diagnosis RA. Adanya anti CCP biasanya menandakan prognosis buruk.
Pasien mengkonsumsi steroid dose pack dan ibuprofen 400 mg tiga kali sehari sebelumnya.
Obat ini memperbaiki nyeri, tetapi tidak menghambat perkembangan penyakit, sehingga
penyakitnya kambuh. Steroid menurunkan inflamasi dengan menurunkan fungsi imun
sehingga nyeri berkurang dan menghambat kerusakan sendi lebih lanjut. Penggunaan steroid
tidak boleh jangka panjang. Ibuprofen berfungsi mengurangi prostaglandin yang dihasilkan
karena adanya induksi oleh mediator proinflamasi.
Perkembangan RA dapat bermanifestasi ektra artikular. Saat RA tak terkontrol dapat
menyebabkan deformitas dan disabilitas yang menurunkan kualitas hidup seseorang.
Tatalaksana awal pada pasien ini adalah diberikan NSAID untuk mengurangi nyeri dan
pembengkakan. NSAID tidak merubah perjalanan penyakit. Untuk terapi selanjutnya, pasien
dirujuk ke dokter spesialis orthopedi.
Pengobatan selanjutnya untuk mengatasi perjalanan penyakitnya dapat diberikan DMARD
(Disease Modifying Anti-Rheumatic Drugs), yang terdiri dari: MTX atau metrotexate (7,5
25 mg per oral yang baru akan menimbulkan respons 1 2 bulan); Hidroksiklorokuin (200
400 mg per oral yang akan menimbulkan respon 2 6 bulan kemudian); dan Sulfasalazin (2
3 g per oral yang akan menimbulkan respons 1 3 kemudian).

BAB III
PENUTUP
I.

Kesimpulan
Mrs. Ani, wanita 43 tahun yang memiliki keluhan nyeri sendi mengalami Rheumatoid
Arthritis.

Daftar Pustaka
Ariff B. Mahdzub, Muhammad. 2015. "Ulnar Deviations". Kuantan: University College Shahputra
Arthritis Research UK. 2014. Rheumatoid Arthritis. http://arthritisresearchuk.org. Diakses
pada 15 November 2016. 05:38:44 WIB
Choy, Ernest. 2012. Understanding The Dynamics: Pathways Involved in The Pathogenesis of
Rheumatoid Arthritis. : Oxford University Journals
Firestein, Gary S. 2009. Etiology and Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis. Kelley's Textbook of
Rheumatology, 9th ed. Philadelphia.
Harris ED Jr., 1993, Etiology and Pathogenesis of Reumatoid Arthritis. Dalam: Textbook of
Rheumatology.Philadhelpia:Saunders Co
Hollmann DB. Arthritis & musculoskeletal disorders. In: Tierney LM, McPhee, Papadakis MA (Eds):
Current Medical Diagnosis & Treatment, 34 th ed., Appleton & Lange, International Edition,
Connecticut 2005, 729-32.
Kumar, V., Cotran, R. S., Robbins, S. L., 2007. BUKU AJAR PATOLOGI Edisi 7. Jakarta : EGC
Nurida, Theresia, dkk. 2010. "Imunopatologi 2: Rheumatoid Arthritis". Yogyakarta: Universitas Sanata
Dharma
Price, SA. Dan Wilson LM., 1993, Patofisiologi: Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit bag 2.
Jakarta: EGC
Siti Setiati dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing
Tanto, Chris (ed), dkk. 2014. Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV. Jakarta: Media Aesculapius
Young, Kelly. 2009. "What Causes Rheumatoid Arthritis Fatigue?". http://rawarrior.com/ what-causesrheumatoid-arthritis-fatigue/, diunduh pada 15 November 2016, pukul 20.02 WIB

Anda mungkin juga menyukai