Anda di halaman 1dari 56

TEORI AKUNTANSI KEUANGAN

PROPOSAL

Corporate Governance, Corporate Social Responsibility, dan


Sustained Earning and Revenue Growth

Disusun oleh: Setiani Putri H/ 222151412

PROGRAM DOKTOR ILMU EKONOMI KONSENTRASI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA, 2016

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Penelitian ............................................................................. 1
1.2 Ruang Lingkup dan Perumusan Masalah Penelitian .................................. 19
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian.................................................................... 21
1.3 Signifikansi Penelitian ................................................................................ 23
1.4 Pembatasan Penelitian ................................................................................ 23
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 24
2.1 Teori yang Berhubungan dengan Perumusan Masalah ............................... 24
2.2. Rerangka Konseptual ................................................................................. 36
2.3 Hipotesis Penelitian ..................................................................................... 37
BAB III METODOLOGI PENELITIAN.............................................................. 40
3.1 Desain Penelitian ......................................................................................... 40
3.2 Populasi, Sampel, dan Metode Pengumpulan Data ..................................... 40
3.3 Pengukuran Variabel ................................................................................... 41
3.4 Analisis Data ............................................................................................... 45
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................51

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian


Manusia dan makhluk hidup lainnya, pada hakekatnya tidak bisa lepas dari
lingkungan hidup yang ada di sekitarnya. Lingkungan hidup merupakan
tempat tinggal bagi semua makhluk hidup yang ada di bumi. Semakin
berkembangnya manusia, khususnya industri, maka semakin banyaknya
eksploitasi lingkungan hidup karena industri tidak bisa lepas dari sumber daya
alam yang ada sebagai penunjang industri tersebut. Industri terus berkembang
dan berdampingan dengan lingkungan hidup yang ada di sekitarnya. Hal inilah
yang terkadang menjadi sesuatu yang kurang disorot oleh para manusia,
khususnya pelaku industri dalam melakukan penjagaan atas lingkungan
sekitarnya. Dalam industri, sebaiknya bukan hanya barang yang dihasilkan
saja yang mendapatkan perhatian, melainkan juga limbah berupa emisi atau
polusi pada lingkungan hidup.
Emisi di dunia sangat banyak, mulai dari emisi polusi udara, emisi
Green House Gases (GHG) atau Gas Efek Rumah Kaca, dan emisi lainnya
yang dapat merusak lingkungan. Kondisi ini muncul karena adanya gas-gas
pembentuk Gas Efek Rumah Kaca yang ada di atmosfer bumi yaitu uap air,
karbondioksida, metana, nitrogen oksida, dan gas lainnya yang berasal dari
manfaktur, rumah tangga dan lainnya (id.wikipedia.org, 2016). Gas Efek
Rumah Kaca ini tentu saja bukan baru-baru ini terjadi, namun sudah cukup
1

lama terjadi yaitu sekitar tahun 1.900 yang pada akhirnya menyebabkan
pemanasan global atau global warmingdan terjadi sampai sekarang ini
(www.youtube.com/Bloomberg,2015). Menurut Wikipedia Indonesia dalam
Kusminingrum (2008), pemanasan global adalah adanya proses peningkatan
suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan bumi.
Segala sumber energi yang terdapat di bumi berasal dari matahari dan
sebagian besar energi dari matahari berbentuk radiasi gelombang pendek,
termasuk cahaya yang tampak dari matahari. Ketika energi matahari ini tiba
permukaan bumi, energi tersebut akan berubah dari cahaya matahari menjadi
panas matahari yang menghangatkan bumi. Permukaan bumi akan menyerap
sebagian panas dari matahari dan kemudian memantulkan kembali sisa dari
panas matahari tersebut. Sebagian dari panas ini berwujud radiasi infra merah
gelombang panjang ke luar angkasa. Namun, sebagian panas tetap
terperangkap di atmosfer bumi akibat banyaknya jumlah gas rumah kaca yang
menjadi perangkap gelombang radiasi tersebut. Gas-gas ini menyerap dan
memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan bumi dan
akibatnya

panas

tersebut

akan

tersimpan

di

permukaan

Bumi

(id.wikipedia.org, 2016). Keadaan ini berlangsung terus hingga pada akhirnya


mengakibatkan suhu rata-rata bumi terus meningkat.
Sebenarnya efek rumah kaca sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup
yang ada di bumi untuk menghangatkan bumi, namun jika berlebihan, tentu
bumi akan menjadi sangat panas karenanya. Dengan suhu rata-rata sebesar15
C (59 F), bumi sebenarnya telah lebih panas 33 C (59 F) dari suhunya

semula, jika tidak ada efek rumah kaca suhu bumi hanya -18 C sehingga es
akan menutupi seluruh permukaan Bumi (id.wikipedia.org, 2016). Akan tetapi
sebaliknya, apabila gas-gas tersebut telah berlebihan di atmosfer, akan
mengakibatkan pemanasan global.
Pada kasus pemanasan global akibat bertambahnya gas-gas rumah kaca
seperti CO2, pemanasan pada awalnya akan menyebabkan lebih banyaknya air
yang menguap ke atmosfer. Karena uap air merupakan bagian dari gas rumah
kaca, pemanasan akan terus berlanjut dan menambah jumlah uap air di udara
sampai banyaknya uap air di udara. Efek rumah kaca yang dihasilkannya lebih
besar bila dibandingkan oleh akibat gas CO2 sendiri. Umpan balik ini hanya
berdampak secara perlahan-lahan karena CO2 memiliki usia yang panjang di
atmosfer.
Selain itu, adanya efek umpan balik karena pengaruh awan sedang
menjadi penelitian sampai saat ini. Bila dilihat dari bawah, awan akan
memantulkan kembali radiasi infra merah ke permukaan, sehingga akan
meningkatkan efek pemanasan. Sebaliknya bila dilihat dari atas, awan tersebut
akan memantulkan sinar matahari dan radiasi infra merah ke angkasa,
sehingga meningkatkan efek pendinginan. Umpan balik penting lainnya
adalah hilangnya kemampuan memantulkan cahaya (albedo) oleh es. Ketika
suhu global meningkat, es yang berada di dekat kutub mencair dengan
kecepatan yang terus meningkat. Bersamaan dengan melelehnya es tersebut,
daratan atau air di bawahnya akan terbuka. Baik daratan maupun air memiliki
kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit bila dibandingkan dengan es,

dan akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi matahari. Hal ini akan
menambah pemanasan dan menimbulkan lebih banyak lagi es yang mencair,
menjadi suatu siklus yang berkelanjutan. Selain itu, es yang meleleh juga akan
melepas gas metana (CH4) yang juga akan naik ke permukaan laut.
Kemampuan lautan untuk menyerap karbon juga akan berkurang bila ia
menghangat. Hal ini diakibatkan oleh menurunya tingkat nutrien pada zona
mesopelagic sehingga membatasi pertumbuhan diatom daripada fitoplankton
yang merupakan penyerap karbon yang rendah (id.wikipedia.org, 2016).
Seperti yang diketahui bahwa tahun 2015 merupakan tahun terpanas di dunia
yang ditandai dengan banyaknya orang yang meninggal dunia di India.
Gelombang udara panas di India selama sepekan hingga Rabu (27/5/2015)
menewaskan lebih dari 1.000 orang dan uaca ekstrem itu masih mengancam
hingga akhir Mei 2015 (sains.kompas.com, 2015). Hal tersebut merupakan
suatu pertanda bahwa manusia harus mulai memperhatikan lingkungan
dibandingkan dengan hanya memikirkan bisnis dan lainnya karena apabila
lingkungan hidup sudah rusak, maka manusia tidak bisa berbuat apapun.
Lingkungan hidup memiliki sifat pasif, artinya tidak melakukan
apapun, hanya tersedia atau pergerakannya berdasarkan alam dan manusia.
Manusia dan makhluk hidup di bumi yang sebenarnya lingkungan hidup,
terlebih manusia yang sangat berperan dalam kelangsungan hidup dan alam
sekitar. Hal ini menjadikan manusia harus bertanggung jawab dalam
memelihara alam. Bukan hanya lingkungan sehari-hari saja yang sebenarnya
sangat berpengaruh dalam pemanasan global, namun juga faktor industri yang

mempunyai peranan dalam pelepasan limbah, khususnya emisi ke lingkungan


hidup sekitar. Seperti yang dikutip dalam Tempo.co (2013),Menteri
Perindustrian Mohamad Suleman Hidayat menyatakan ada delapan sektor
industri yang menyumbang emisi karbon dalam jumlah besar yaitu industri
semen, industri baja, industri pulp dan kertas, industri tekstil, keramik, pupuk,
petrokimia dan industri makanan dan minuman tertentu.
Namun bukan hanya CO2, CO, atau CFC yang sebenarnya penyebab
pemanasan global, namun adanya faktor lain yang lebih membahayakan dari
ketiga hal di atas adalah gas metana. Gas metana adalah gas pemanasan global
yang kuat, 20 kali lebih panas daripada karbon dioksida, meskipun hidup
dalam

atmosfer

untuk

jangka

waktu

yang

jauh

lebih

singkat(http://www.livescience.com, 2012). Gas ini berasal dari jasad renik


makhluk hidup, kotoran hewan, dan lainnya yang ada di permukaan bumi.
Metana merupakan suatu alkana. Alkana secara umum mempunyai sifat sukar
bereaksi (memiliki afinitas kecil) sehingga biasa disebut sebagai parafin yaitu
bahan mudah terbakar. Sifat lain dari alkana adalah mudah mengalami reaksi
pembakaran sempurna dengan oksigen menghasilkan gas karbon dioksida
(CO2) dan uap air (H2O) dengan reaksi: CH4(g) + O2(g) -> CO2(g) + H2O(g)
(www.jejaringkimia.web.id,2010). Pada tahun 2008, para ahli Amerika dan
Rusia memperkirakan bahwa 0,5 mega ton metana dilepaskan per tahun dan
setidaknya 1.400 gigaton karbon terperangkap metana dan metana hidrat
bawah lapisan es Arktik(http://www.reuters.com/,2012). Hal ini berkaitan
denganpermafrost yaitu lapisan es yang tetap membeku saat musim panas

(summer) pada bioma gurun dingin (bioma salju) karena es metana akan
terperangkat di dalam lapisan es Artik tersebut. Apabila ini terus berlanjut,
ketika es di kutub mencair, maka semua gas metana akan keluar dari dalam
kutub dan menyebabkan pemanasan global yang parah, serta dapat mematikan
sebagian besar makhluk hidup yang ada di dunia.
Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan suhu
permukaan global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 C (2.0 hingga 11.5 F)
antara tahun 1990 dan 2100. Perbedaan angka perkiraan itu disebabkan oleh
penggunaan skenario-skenario berbeda mengenai emisi gas-gas rumah kaca
pada masa mendatang, serta model-model sensitivitas iklim yang berbeda.
Walaupun sebagian besar penelitian terfokus pada periode hingga 2100,
pemanasan dan kenaikan muka air laut diperkirakan akan terus berlanjut
selama lebih dari seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah
stabil dan hal ini mencerminkan besarnya kalor muatan (id.wikipedia.org,
2016). Jika keadaan ini terus berlanjut, maka tidak menutup kemungkinan
bahwa gas metana lepas ke permukaan bumi.
Jika dilihat dari peristiwa alam yang ada, seharusnya ini merupakan
suatu hal yang sangat penting dan harus diperhatikan dengan baik oleh seluruh
manusia yang ada di dunia ini karena manusialah yang memiliki kuasa atas
bumi dan segala isinya. Karena hal tersebut jugalah, perusahaan, sebagai
bagian kecil dalam industri juga harus ikut serta dalam mengupayakan
kelestrarian lingkungan hidup. Kemajuan industri memang membawa positif
pada kemajuan suatu negara, namun hal ini juga menjadi suatu hal yang

negatif jika berdampak buruk terhadap lingkungan. Di Indonesia, industri juga


berkembang begitu pesat dengan segala sumber daya yang tersedia di
Indonesia. Upaya masyarakat internasional menghadapi fenomena perubahan
iklim dimulai sejak ditandatanganinya United Nation Framework Convention
on Climate Change (UNFCCC) (Kardono, 2010 dalam Jannah dan Muid,
2014). Indonesia telah meratifikasi Protokol Kyoto melalui UU No. 17 Tahun
2004 dalam rangka melaksanakan pembangunan berkelanjutan serta ikut serta
dalam upaya menurunkan emisi GRK global. Indonesia sendiri telah
berkomitmen mengurangi emisi karbon sebanyak 26 persen pada tahun 2020,
yaitu kurang lebih sebanyak 0,67 Gt. Komitmen Indonesia untuk mengurangi
emisi karbon dapat dilihat pula dari adanya Perpres No. 61 Tahun 2011 dan
Perpres No. 71 Tahun 2011. Pada pasal 4 Perpres No. 61 Tahun 2011,
disebutkan bahwa pelaku usaha juga ikut andil dalam upaya penurunan emisi
GRK (Jannah dan Muid, 2014).
Dikarenakan pelaku usaha juga ikut dalam menjaga kelestarian
lingkungan, maka diperlukan adanya pengungkapan atau disclosuredalam
pelaporan Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan tersebut. CSR
sebagai konsep akuntansi yang baru adalah transparansi pengungkapan sosial
atas kegiatan atau aktivitas sosial yang dilakukan oleh perusahaan, dimana
transparansi informasi yang diungkapkan tidak hanya berupa informasi
keuangan perusahaan saja, tetapiperusahaan juga diharapkan mengungkapkan
informasi mengenai dampak-dampak sosial dan lingkungan hidup yang
diakibatkan oleh aktivitas perusahaan. CSR saat ini bukan lagi bersifat

sukarela (voluntary) dimana suatu perusahaan membantu mengatasi problem


sosial dan lingkungan, melainkan bersikap wajib (obligation) perusahaan
untuk peduli terhadap dan mengentaskan krisis kemanusiaan dan lingkungan
yang terus meningkat. Hal ini terkait dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 Pasal 74 ayat(1) tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan perseroan
yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan
segala sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan
lingkungan (Untung, 2008 dalam Handriyani dan Andayani, 2013).
CSR merupakan sebuah gagasan dimana perusahaan tidak lagi
dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu
nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi
keuanganya (financial) saja. Tetapi, tanggung jawab perusahaan juga harus
berpijak pada triple bottom line. Konsep triple bottom line merupakan
keberlanjutan

dari

konsep

sustainable

development

(pembangunan

berkelanjutan) yang secara explisit telah mengaitkan antara dimensi tujuan dan
tanggung jawab, baik kepada shareholder(pemilik perusahaan) maupun
stakeholder (publik pemangku kepentingan) (Hadi, 2011 dalam Handriyani
dan Andayani, 2013). Konsep tersebut menunjukkan bahwa tanggungjawab
sosial perusahaan merupakan suatu bentuk tindakan yang berawal dari
pertimbangan etis perusahaan yang bertujuan untuk meningkatkan ekonomi,
peningkatan kualitas hidup bagi karyawan dan keluarganya,serta peningkatan
kualitas hidup masyarakat sekitar dan masyarakat secara lebih luas.

Corporate Social Responsibility (CSR) menurut McWilliams dan Siegel


(2001) dalam Agustine (2014) didefinisikan sebagai aksi yang muncul sebagai
lanjutan dari tindakan sosial, melebihi kepentingan perusahaan dan yang
diwajibkan oleh hukum.Selama ini perusahaan dianggap sebagai lembaga
yang dapat memberikan banyak keuntungan bagi masyarakat karena bisa
memberikan kesempatan kerja, menyediakan barang yang dibutuhkan
masyarakat untuk dikonsumsi, ia membayar pajak, memberikan sumbangan,
dan lain-lain. Karenanya perusahaan mendapat legitimasi bergerak leluasa
melaksanakan kegiatannya. Namun, lama kelamaan memang perusahaan ini
dikenal juga pencari keuntungan sebesar-besarnya, akhirnya semakin disadari
bahwa dampak yang dilakukannya terhadap masyarakat cukup besar dan
semakin lama semakin besar yang sukar dikendalikan seperti polusi,
keracunan, kebisingan, diskriminasi, pemaksaan, kesewenangwenangan, dan
produksi makanan haram. Dampak luar ini disebut externalities.
Karena besarnya dampak externalities terhadap kehidupan masyarakat,
masyarakat pun menginginkan agar dampak ini dikontrol sehingga dampak
negatif, external diseconomy atausocial cost yang ditimbulkannya tidak
semakin besar. Dari sini berkembanglah ilmu akuntansi yang selama ini
dikenal hanya memberikan informasi tentang kegiatan perusahaan dengan
pihak ketiga, dengan adanya tuntutan ini maka akuntansi bukan hanya
merangkum informasi tentang hubungan perusahaan dengan pihak ketiga,
tetapi

juga

dengan

lingkungannya.

Hubungan

perusahaan

dengan

lingkungannya bersifat non-reciprocal artinya transaksi itu tidak menimbulkan

prestasi timbal-balik dari pihak yang berhubungan. Ilmu akuntansi yang


mencatat, mengukur, melaporkan externalities ini disebut Socio Economic
Accounting (SEA). Istilah lainbisa juga dipakai misalnya Environmental
Accounting, Social Responsibility Accounting, dan lain sebagainya (Sofyan
Syafri Harahap, 1993 dalam Almilia dan Wijayanto, 2007).
Konsep akuntansi lingkungan sebenarnya sudah mulai berkembang
sejak tahun 1970-an di Eropa. Akibat tekanan lembaga-lembaga bukan
pemerintah dan meningkatnya kesadaran lingkungan di kalangan masyarakat
yang mendesak agar perusahaan-perusahaan menerapkan pengelolaan
lingkungan bukan hanya kegiatan industri demi bisnis saja (Tony Djogo,2006
dalam Almilia dan Wijayanto, 2007). Banyak perusahaan industri dan jasa
besar dunia yang kini menerapkan akuntansi lingkungan. Tujuannya adalah
meningkatkan efisiensi pengelolaan lingkungan dengan melakukan penilaian
kegiatan lingkungan dari sudut pandang biaya (environmental costs) dan
manfaat atau efek (economic benefit). Akuntansi lingkungan diterapkan oleh
berbagai perusahaan untuk menghasilkan penilaian kuantitatif tentang biaya
dan efek perlindungan lingkungan (environmental protection) (Tony Djogo,
2006 dalam Almilia dan Wijayanto, 2007).Dengan adanya akuntansi
lingkungan tersebut, maka muncul adanya Environmental Disclosure yang
diterapkan

dalam

perusahaan

sebagai

pelaporannya.Kewajiban

untuk

melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungan kini bukan lagi menjadi
beban bagi perusahaan, karena banyak manfaat yang dapat diperoleh
perusahaan dari aktivitas CSR seperti misalnya menaikan nilai perusahaan.

10

Perkembangan

terkini

menunjukkan

banyak

perusahaan

yang

mengembangkan CSR dan penerapannya tidak lagi diakui sebagai cost,


melainkan sebagai suatu investasi (Erni, 2007 dalam Agustine, 2014).
Nilai perusahaan dapat memberikan kemakmuran bagi pemegang
saham secara maksimum apabila harga saham meningkat. Semakin tinggi
harga saham perusahaan, maka semakin tinggi pula kemakmuran pemegang
saham. Enterprise Value (EV) atau dikenal juga sebagai firm value (nilai
perusahaan) merupakan konsep penting bagi investor, karena merupakan
indikator bagi pasar menilai perusahaan secara keseluruhan (Nurlela dan
Islahuddin, 2008 dalam Handriyani, 2013). Diperkirakan pengungkapan dari
perusahaan dapat menambah nilai perusahaan pada pasar modal dikarenakan
semakin banyaknya investor dan stakeholder yang memilih perusahaan yang
sudah berbasis tanggung jawab terhadap lingkungan. Dengan menerapkan
CSR, diharapkan perusahaan akan memperoleh legitimasi sosial dan
memaksimalkan kekuatan keuangannya dalam jangka panjang (Kiroyan, 2006
dalam Rakhiemah, 2009). Enviromental disclosure yang merupakan bagian
dari CSR disclosure, secara teori akan mempengaruhi kinerja finansial
perusahaan. Teori stakeholder menyatakan bahwa besarnya informasi
lingkungan yang diungkapkan perusahaan akan berpengaruh terhadap
stakeholder, sehingga berakibat pada harga saham dan mempengaruhi return
tahunan perusahaan (Wulandari dan Hidayah, 2013).
Pada tanggal 20 Januari 2005 Bank Indonesia menerbitkan Paket
Kebijakan Perbankan 2005 yang terdiri dari 8 Peraturan Bank Indonesia (PBI).

11

Pada PBI No. 7/2/PBI/2005 diatur mengenai Penilaian Kualitas Aktiva Bank
Umum berdasarkan faktor-faktor prospek usaha, kinerja (performance)
perusahaan

(perusahaan)

dan

kemampuan

membayar.Dengan

mempertimbangkan masukan dari KLH, aspek lingkungan hidup menjadi


salah satu komponen dari sisi prospek usaha khusus untuk Penilaian Kualitas
Aktiva dalam bentuk Kredit. Ketentuan mengenai lingkungan hidup tercantum
pada Pasal 11 Huruf (e) (www.menlh.go.id, 2015) yaitu:
Penilaian terhadap prospek usaha sebagaimana dimaksud pada Pasal
10 Huruf a (Kualitas Kredit ditetapkan berdasarkan faktor penilaian sebagai
berikut: prospek usaha) meliputi meliputi penilaian terhadap komponenkomponen sebagai berikut:
(e) upaya yang dilakukan perusahaan dalam rangka memelihara
lingkungan hidup.

Pada Penjelasan Pasal 11 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan


perusahaan dalam huruf ini adalah perusahaan yang wajib melakukan upaya
pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Peraturan ini menilai bahwa aspek pengelolaan lingkungan
hidup yang dilakukan oleh perusahaan sangat berkaitan dengan prospek
usahanya. Berbagai jenis usaha yang dilakukan perusahaan seperti pulp dan
kertas, tekstil, semen dan otomotif, menimbulkan dampak penting terhadap
lingkungan.

12

Jika perusahaan tidak mengelola dampak penting yang ditimbulkan


oleh usahanya sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang
berlaku, maka ada potensi risiko lingkungan yang akan mengakibatkan
timbulnya kewajiban (liabilities) pada perusahaan baik dalam bentuk biaya
ganti rugi dan pemulihan maupun potensi peningkatan biaya produksi serta
penurunan nilai properti perusahaan yang dijadikan agunan. Hal-hal ini pada
akhirnya akan menimbulkan risiko kredit dan risiko reputasi yang akan
berdampak pada prospek usaha dari perusahaan dan akan mengganggu
kesehatan bank.Aspek lingkungan hidup menjadi salah satu faktor di dalam
penilaian kredit itu. BI sepakat menggunakan proper (perangkat penilaian
peringkat kinerja perusahaan dalam Pengelolaan lingkungan hidup) KLH
dalam menilai kelayakan kredit (Tempo Interaktif, 8 April 2005 dalam
Handriyani, 2013). Guna menanggulangI permasalahan yang ditimbulkan
terkait dengan tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan, Standar
Akuntansi Keuangan telah mengatur pelaporan komponen tanggung jawab
perusahaan terhadap lingkungan dalam laporan keuangan tahunan dalam
PSAK No. 32 dan No. 33
Selain itu, dengan ISO 26000 sebagai panutan dari penggunaan CSR di
dunia, sekarang ini sudah berkembang menjadi ISO 26000 and Sustainable
Development Goals atau SDGs yang memuat 17 goals dan diusung oleh
United Nation. SDGs tersebut memuat 17 goals yang memang untuk
membangun perusahaan dengan salah satu pengukuran alat kinerja dari
perusahaan

untuk

mencapai

keberlanjutan

dari

perusahaan

tersebut.

13

Keberlanjutan ini dimaksudkan adalah adanya keinginan dari perusahaan


untuk terus berlanjut sampai pada bertahannya perusahaan di masa yang akan
datang. Pokok-pokok dari SDGs adalah Governance, Human rights, Labour
practices, The environment, Fair operating practices, Consumer issues, dan
Community involvement and development. Poin-poin tersebutlah yang ada di
dalam SDGs dan juga diharapkan dapat membantu perusahaan untuk menuju
ke arah sustainable development dan juga sustainable economic growth.
Manfaat akan diperoleh perusahaan apabila melakukan praktik
pengungkapan CSR. Kotler dan Lee (2005) (dalam Sholihin, 2008)
menyatakan bahwa perusahaan akan terdorong untuk melakukan praktik
pengungkapan CSR karena dapat berdampak pada peningkatan penjualan dan
market share, memperkuat brand positioning, meningkatkan citra perusahaan,
menurunkan biaya operasi, serta meningkatkan daya tarik perusahaan dimata
investor dan analis keuangan. Investor diharapkan mempertimbangkan
informasi CSR yang diungkapkan dalam laporan tahunan perusahaan,
sehingga dalam pengambilan keputusannya investor tidak semata-mata hanya
mendasarkan pada informasi laba. Dari perspektif ekonomi, perusahaan akan
mengungkapkan suatu informasi jika informasi tersebut mengandung nilai
perusahaan (Verecchia, 1983 dalam Basalamah, et al, 2005). Respon positif
dari pelaku pasar merupakan harapan bagi perusahaan yang menerapkan CSR
agar bisa tetap berkeberlanjutan sampai ke masa yang akan datang.
Hasil penelitian dari Sayekti dan Wondabio (2007) menunjukan bahwa
tingkat pengungkapan informasi CSR dalam laporan tahunan perusahaan

14

berhubungan negatif terhadap ERC. Hasil penelitian ini mengindikasikan


bahwa investor mengapresiasi informasi CSR yang di ungkapkan dalam
laporan tahunan perusahaan. Dampak negatif tersebut memiliki makna bahwa
dengan adanya pengungkapan CSR mampu mengurangi ketidakpastian
prospek usaha dimasa mendatang karena informasi laba belum tentu persisten
dimasa depan.
Selain adanya variable independen CSR, terdapat juga variabel
independen lainnya yaitu ASEAN Corporate Governance Scorecard sebagai
salah satu indikator diberlakukannya Corporate Governance di ASEAN,
khususnya ASEAN. Perkembangan persaingan global dalam perekonomian di
dalam negeri ataupun luar negeri nasional ataupun di internasional, dapat
menimbulkan resiko terhadap bisnis yang menuntut antisipasi peluang dan
ancaman dalam strategi termasuk sistem pengendalian yang prima. Setiap
tahunnya terdapat perubahan dalam kinerja operasional bisnis terjadi
peningkatan atau penurunan dalam perkembangan perekonomian dan hal ini
tentu juga akan berakibat kepada ASEAN sebagai suatu bagian dari
masyarakat Asia yang terus berkembang dengan pesat. Tentu saja ASEAN
sendiri juga ingin memperkuat perekonomiannya dengan salah satunya adalah
menerapkan corporate governance yang merupakan salah salah satu alat untuk
mencapai sustainability development.
Kinerja keuangan akan makin baik dan dapat terus unggul dalam
persaingan, jika ada perbaikan yang dilaksanakan secara terus menerus. Untuk
itu, diperlukan keberadaan peraturan dan mekanisme pengendalian yang

15

secara efektif mengarahkan kegiatan operasional perusahaan serta kemampuan


untuk mengidentifikasi pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang
berbeda. Mekanisme untuk memperbaiki dan memaksimalkan kinerja
keuangan tersebut adalah penerapan tata kelola yang baik dalam organisasinya
atau lebih dikenal dengan good corporate governance.
Menurut Barnhart & Rosentein (1998), terdapat dua mekanisme
corporate governance, yaitu: (1) internal mechanism (mekanisme internal)
seperti komposisi dewan direksi/ komisaris, kepemilikan manajerial dan
kompensasi eksekutif (2) external mechanisms seperti pengendalian oleh pasar
dan level debt financing. Dengan berjalannya kedua mekanisme tersebut
secara bersamaan, maka sistem corporate governance perusahaan mencoba
memotivasi manajer agar memaksimalkan nilai pemegang saham dengan
pasar modal sebagai sarana untuk mendapatkan sumber dana atau alternatif
pembiayaan. Perkembangan perspektif corporate governance berawal dari
adanya teori keagenan (agency theory) (Hasan dan Safdar, 2009). Teori
keagenan mengidentifikasi potensi konflik kepentingan antara pihak-pihak
(prinsipal dan agen) dalam perusahaan yang mempengaruhi perilaku
perusahaan dalam berbagai cara yang berbeda. Dalam teori keagenan,
hubungan agensi muncul ketika satu orang atau lebih (prinsipal)
mempekerjakan orang lain (agen) untuk memberikan suatu jasa dan kemudian
mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agen tersebut.
Manajer sebagai pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui informasi
internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan

16

pemilik (pemegang saham). Oleh karena itu sebagai pengelola, manajer


berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada
pemilik. Akan tetapi informasi yang disampaikan terkadang diterima tidak
sesuai dengan kondisi perusahaan sebenarnya. Kondisi ini dikenal sebagai
informasi

yang tidak

simetris

atau asimetri

informasi

(asymmetric

information). Asimetri informasi antara manajemen (agen) dengan pemilik


(prinsipal) dapat memberikan kesempatan kepada manajer untuk melakukan
manajemen laba (earnings management). Tindakan earnings management
telah memunculkan beberapa kasus skandal pelaporan akuntansi yang secara
luas diketahui. Bahkan Jun-koo (1995) menyebutkan bahwa corporate
governance yang buruk juga disebutkan sebagai salah satu penyebab dari
krisis ekonomi yang terjadi di Asia Timur pada tahun 1997-1998, termasuk di
Indonesia.
Ernati (2004) menunjukkan beberapa indikasi buruknya praktik corporate
governance di Indonesia yaitu: (1) Struktur kepemilikan yang masih
didominasikeluarga sehingga perlindungan terhadap investor kecil masih
lemah, (2) Fungsi dewan komisaris dalam membawa inspirasi atau
kepentingan pemegang saham non-mayoritas juga masih lemah, (3) Praktek
fair business yang masih lemah, (4) Transparansi dan disclosure yang masih
rendah, (5) Praktek manajemen risiko yang belum baik, dan (6) Perlindungan
terhadap kreditur yang masih lemah. Ciri utama dari corporate governance
yang buruk adalah adanya tindakan dari manajer perusahaan yang
mementingkan dirinya sendiri sehingga mengabaikan kepentingan investor,

17

dimana ini akan menyebabkan jatuhnya harapan para investor tentang return
atas investasi yang mereka harapkan.
Konsep corporate governance diajukan demi tercapainya pengelolaan
perusahaan yang lebih transparan bagi semua pengguna laporan keuangan.
Bila konsep ini diterapkan dengan baik maka diharapkan pertumbuhan
ekonomi akan terus menanjak seiring dengan transparansi pengelolaan
perusahaan yang makin baik dan nantinya menguntungkan banyak pihak.
Sistem corporate governance memberikan perlindungan efektif bagi
pemegang saham dan kreditor sehingga mereka yakin akan memperoleh
return atas investasinya dengan benar. Corporate governance juga membantu
menciptakan lingkungan kondusif demi terciptanya pertumbuhan yang efisien
dan sustainable di sektor perusahaan. Penelitian mengenai corporate
governance menghasilkan mekanisme yang bertujuan untuk meyakinkan
bahwa tindakan manajemen selaras dengan kepentingan shareholders pada
setiap indutri (Tjager, 2003).
Penerapan CG pada perusahaan membuat perusahaan lebih dipercaya
sehingga respon pasar terhadap laba dipengaruhi oleh buruk atau baiknya
corporate governance badan usaha yang mengumunkan laba. Di Indonesia
sendiri telah memiliki lembaga survey mengenai peringkat penerapan
corporate governance bagi perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia
(BEI) yaitu The Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG) setiap
tahun sejak tahun 2001 dengan nama Corporate Governance Perception
Index (CGPI).

18

Suatu perusahaan dikatakan memiliki sustained earning dan revenue


growth di dalam perusahaannya jika perusahaan memiliki earning quality dan
ERC yang tinggi dan juga dapat membuat perusahaan lebih baik di dalam
menarik investor yang investasi di dalam perusahaan tersebut (Ghosh et al.,
2005). Perusahaan yang memiliki ERC dan earning quality yang baik diduga
bukan hanya dari sisi moneter, tetapi juga dapat dari CG dan CSR.
1.2 Ruang Lingkup dan Perumusan Masalah Penelitian
Beberapa hasil penelitian mengenai pengaruh GCG pada Earnings
Response Coefficient menunjukkan hasil yang bervariasi. Penelitian yang
dilakukan oleh Febiani (2012) menemukan bahwa mekanisme Good
Corporate Governance yaitu Kepemilikan Institusional, Kepemilikan
Manajerial, dan Kualitas Audit secara parsial berpengaruh positif pada
kualitas laba yang diproksikan menggunakan ERC. Penelitian yang dilakukan
oleh Indrawati dan Yulianti (2010) meneliti pengaruh 4 mekanisme GCG
terhadap kualitas laba dengan menggunakan ERC sebagai proksi pengukuran
kualitas laba menunjukkan hasil bahwa kepemilikan institusional saja yang
berpengaruh pada kualitas laba. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh
Rifani (2013) dalam Wulandari dan Herkulanus (2015) menemukan bahwa
Good Corporate Governance yang diproksikan dengan CGPI berpengaruh
positif pada kualitas laba yang pengukurannya menggunakan ERC. Penelitian
yang dilakukan oleh Wirajaya (2009) juga menemukan pengumuman CGPI
mengandung informasi sehingga direspon oleh pasar. Hal ini terlihat dengan
adanya abnormal return yang signifikan di seputar tanggal pengumuman.

19

Penelitian ini juga akan menguji salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
reaksi pasar terhadap informasi laba selain kualitas laba. Hasil penelitian yang
meneliti relasi antara return/earnings memperlihatkan bahwa kegunaan dari
informasi laba yang dipakai investor sangat terbatas (Sayekti & Wondabio,
2007).
Faktor lain yang memiliki pengaruh pada respon investor dalam
mengambil keputusannya adalah salah satunya yaitu corporate social
responsibility (CSR) (Sayekti dan Wondabio, 2007). Peraturan hukum di
Indonesia sudah mengatur mengenai badanusaha yang berhubungan dengan
sumberdaya alam harus mengungkapkan CSR. Hal ini tercantum di dalam
Undang-undang No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dan UU
No. 25/2007 mengenai Penanaman Modal (UU PM). Penerapan CSR yang
dilakukan perusahaan diharapkan dapat direspons positif oleh para pelaku
pasar. Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Utaminingtyas dan
Ahalik (2010) mengenai pengaruh CSR disclosure terhadap ERC yang
mengatakan bahwa CSR disclosure berpengaruh positif terhadap ERC yang
menunjukkan

bahwa

investor

mengapresiasi

informasi

CSR

yang

diungkapkan dalam laporan tahunan perusahaan. Hasil penelitian yang serupa


ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh Murwaningsari (2008).
Namun sebaliknya, penelitian yang dibuat oleh Sayekti dan Wondabio (2007)
menemukan informasi CSR dalam laporan tahunan perusahaan memiliki
pengaruh negatif terhadap ERC. Sama dengan penelitian yang dilakukan
Hidayati dan Murni (2009) dan Imroatussolihah (2013) dalam Wulandari dan

20

Herkulanus (2015). Akan tetapi, penelitian Restuti dan Nathaniel (2012)


memperoleh hasil bahwa pengungkapan CSR tidak berpengaruh terhadap
ERC. Perbedaan hasil-hasil penelitian sebelumnya membuat peneliti ingin
menguji kembali untuk mendapatkan tambahan bukti empiris mengenai
pengaruh ASEAN Corporate Governance Scorecard, dan pengungkapan ISO
26000 SDGs pada sustained earning and revenue growth yang diproyeksi
dengan ERC dan earnings quality.
Pada penelitian sebelumnya dari Ghosh et al. (2005) menggunakan
pengelompokan di dalam sampel yang digunakan yaitu sampel dengan kode
Sales (S) yang berarti bahwa selama 5 tahun selalu bertumbuh penjualannya.
Kode No Sales (NS) berarti bahwa tidak selama 5 tahun selalu bertumbuh
penjualannya. Untuk kode SO untuk perusahaan yang selama 5 tahun
bertumbuh sales dan operating earningnya. Kode NSO untuk perusahaan
yang tidak selama 5 tahun bertumbuh sales dan operating earningnya. Ghosh
meneliti mengenai ERC, earning quality, sustained earning and revenue
growth. Hasil dari penelitian adalah bahwa perusahaan yang sudah
dikelompokan menjadi data Panel A dan Panel B. Panel A berisi data
perusahaan yang selama 5 tahun berturut-turut sales dan operating earning
selalu ada dan untuk Panel B untuk perusahaan yang tidak selama 5 tahun
berturut-turut sales dan operating earning ada di dalam perusahaan tersebut.
Hasilnya adalah perusahaan yang sustain adalah perusahaan yang selalu naik
penjualannya, bukan karena pengurangan biaya di dalam perusahaan.

21

Berdasarkan penelitian penelitian terdahulu, terdapat perumusan masalah


penelitian yaitu:
1. Apakah terdapat pengaruh positif CG terhadap sustained earning and
revenue growth?
2. Apakah terdapat pengaruh positif CSR terhadap sustained earning and
revenue growth?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Berdasarkan identifikasi masalah maka tujuan Penelitian yang akan
dihasilkan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
1.

Untuk membuktikan pengaruh positif CG terhadap sustained earning


and revenue growth.

2.

Untuk membuktikan terdapat pengaruh positif CSR terhadap


sustained earning and revenue growth.

1.3.2 Manfaat Penelitian


1.3.2.1 Bagi Ilmu Pengetahuan
Bagi pengembangan ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi berupa penambahan pengetahuan dengan bukti
empiris yang lebih komprehensif atas pengaruh positif CG dan CSR
terhadap sustained earning and revenue growth.

22

1.3.2.2 Bagi Investor dan Stakeholder


Penelitian ini diharapkan mendorong terbentuknya mekanisme informasi
yang lebih

baik,

khususnya informasi

yang berkaitan dengan

sustainability development yaitu CG dan CSR terhadap sustained earning


and revenue growth.
1.3.2.3 Bagi Pemerintah
Bagi pemerintah Indonesia, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
masukan yang berkaitan dengan regulasi atau peraturan mengenai
pengungkapan, khususnya berkaitan dengan sustainability development
yaitu CG dan CSR terhadap sustained earning and revenue growth.
1.3.2.4 Bagi Akuntan
Bagi akuntan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
melalui peningkatan wawasan tentang pengaruh positif CG dan CSR
terhadap sustained earning and revenue growth.

1.3 Signifikansi Penelitian


Unsur keterbaharuan dalam penelitian ini adalah adanya pengujian model CG
dan CSR terhadap sustained earning and revenue growth.
1.4 Pembatasan Penelitian
Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah bahwa penelitian ini
hanya akan membahas aspek CG dan CSR terhadap sustained earning and
revenue growth.

23

1.5 Sistematika Penelitian


Proposal Penelitian ini akan terdiri dari 3 bab, yaitu:
Bab I Pendahuluan
Seperti yang telah dipaparkan di sebelumnya, bab ini membahas mengenai
latar belakang penelitian, ruang lingkup dan perumusan masalah penelitian,
tujuan dan manfaat penelitian, signifikansi penelitian, keterbatasan penelitian,
dan sistematika penelitian.
Bab II Tinjauan Pustaka
Dalam bab ini akan dibahas mengenai teori yang berhubungan dengan
perumusan masalah,rerangka konseptual, dan hipotesis penelitian.
Bab III Metodologi Penelitian
Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai desain penelitian, populasi, sampel,
dan metode pengumpulan data, pengembangan instrumen penelitian, uji
validitas dan reliabilitas instrumen, pengukuran variabel, dan analisis data.

24

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori yang Berhubungan dengan Perumusan Masalah


2.1.1 Theory of The Firm atau Teori Perusahaan
A. Pengertian Theory of The Firm
Perusahaan menurut Jensen dan Meckling (1976), perusahaan adalah black
boxyang dioperasikan untuk bertemu kondisi marjinal yang relevan dengan
perhatian kepada input dan output, dengan demikian memaksimalkan profit,
atau lebih akurat pada present value.Teori Perusahaan mengakui maksimisasi
laba sebagai sasaran utama perusahaan. Pertama-tama maksimisasi laba
jangka pendek. Untuk jangka panjang, maksimisasi nilai yang diharapkan
(expected value).
Berikut beberapa butir penting yang dikemukakan teori perusahaan:
1.

Organisasi yang menggabungkan dan mengatur semua sumber daya


yang tersedia untuk menghasilkan barang dan jasa yang siap dijual.

2.

Perusahaan bisnis adalah kombinasi antara: orang, asset fisik dan


keuangan, serta system dan informasi.

3.

Orang yang terlibat langsung: shareholders, management, employee,


supplier, customers. Mereka dipengaruhi secara langsung oleh
operasional perusahaan.

25

4.

Society (stakeholders) dipengaruhi oleh kegiatan firm karena: (1)


Bisnis gunakan sumberdaya yang langka; (2) Bisnis membayar pajak;
(3) Bisnis menyediakan pekerjaan; dan (4) Bisnis memproduksi
barang dan jasa untuk masyarakat. Oleh karena itu, perusahaan harus
beroperasi secara optimal.
Pada masa sekarang ini, theory of the firm sepertikenyataan sepertilow
equity ownership dari para pembuat keputusandalam satu rekening;
kebanyakan ahli merasa bahwa publiksitas dari CEO perusahaan bukan
hanya tertarik dalam memaksimalkan profit, namun juga membuat goal
dalam memaksimalkan penjualan, public relations and market share.

B. Keterbatasan Perusahaan
Keterbatasan dari perusahaan adalah:
1.

Biasanya perusahaan tidak akan bisa memaksimalkan laba atau nilainya.

2.

Perusahaan biasanya beroperasi dalam kondisi keterbatasan atau adanya


kendala-kendala tertentu yang menyebabkannya tidak dapat mencapai
posisi optimal.

3.

Ada 3 kategori keterbatasan: keterbatasan sumberdaya, keterbatasan


jumlah atau mutu keluaran, dan batasan peraturan atau hukum.

Dalam jangka panjang keberadaan mereka tidak saja menguntungkan bagi


pemilik / pemegang saham, namun juga akan membawa manfaat bagi
masyarakat luas dan pemerintah melalui suatu proses yang disebut arus

26

kegiatan ekonomi (The Circular Flow of Economic Actifity) (amikom.ac.id,


2016).

2.1.2 Teori Stakeholder


Teori stakeholder mengatakan bahwa perusahaan bukanlah suatu entitas
yang hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri namum harus
memberikan manfaat bagi stakeholder-nya(Handriyani, 2013). Stakeholder
theory merupakan salah satu teori utama yang banyak digunakan untuk
mendasari penelitian tentang sustainability report. Salah satu pendukung
teori ini adalah Donaldson dan Preston (1995) dalam Tarigan dan Semuel
(2014)

yang

berpendapat

bahwa

stakeholder

theory

memperluas

tanggungjawab organisasi kepada seluruh pemangku kepentingan tidak


hanya kepada investor atau pemilik. Pemikiran awal tentang stakeholders
theory dicetuskan oleh Freeman (1984). Freeman (1984), mendefinisikan
stakeholders sebagai kelompok yang secara siginifikan mempengaruhi
kesuksesan dan kegagalan sebuah organisasi. Secara singkat, Freeman
menggambarkan stakeholders theory sebagai respon manajer kepada
lingkungan bisnis yang ada.
Menurut Agustine (2014), teori stakeholder merupakan teori yang
menjelaskan bagaimana manajemen perusahaan memenuhi atau mengelola
harapan para stakeholder. Teori stakeholder menekankan mengenai
akuntabilitas organisasi jauh melebihi kinerja keuangan atau ekonomi
sederhana. Teori ini menyatakan bahwa organisasi akan memilih secara

27

sukarela mengungkapkan informasi tentang kinerja lingkungan, sosial dan


intelektual mereka, melebihi dan di atas permintaan wajibnya, untuk
memenuhi ekspektasi sesungguhnya atau yang diakui oleh stakeholders.
Perusahaan harus menjaga hubungan dengan para pemangku
kepentingan dengan mengakomo-dasi keinginan dan kebutuhan yang ada,
terutama para pemangku kepentingan yang mempunyai kekuatan terhadap
ketersediaan sumber daya yang digunakan untuk aktivitas operasional
perusahaan, seperti tenaga kerja, pelanggan dan pemilik (Ghozali dan
Chariri, 2007 dalam Tarigan dan Semuel 2014). Dengan demikian,
keberadaan suatu perusahaan sangat dipengaruhi oleh dukungan yang
diberikan oleh stakeholder kepada perusahaan.Pada dasarnya teori
stakeholder mendasarkan diri pada asumsi (Handriyani, 2013): (1)
perusahaan memiliki hubungan dengan banyak kelompok-kelompok
konstituen (stakeholder) yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh
keputusan perusahaan, (2) Teori ini ditekankan pada sifat alami hubungan
dalam proses dan keluaran bagi perusahaan dan stakeholder-nya, (3)
Kepentingan semua legistimasi stakeholder memiliki nilai secara hakiki, dan
tidak membentuk kepentingan yang didominasi satu sama lain, (4) Teori ini
memfokuskan pada pengambilan keputusan manajerial.
Berdasarkan asumsi stakeholder theory, maka perusahaan tidak
dapat terlepaskan diri dari lingkungan sosial. Perusahaan perlu menjaga
legitimasi stakeholder serta mendudukannya dalam kerangka kebijakan dan
pengambilan keputusan, sehingga dapatmendukung pencapaian tujuan

28

perusahaan, yaitu stabilitas usaha dan jaminan going concern (Ardianto dan
Machfudz, 2011 dalam Handriyani, 2013). Perusahaan harus menjaga
hubungan dengan para pemangku kepentingan dengan mengakomodasi
keinginan dan kebutuhan yang ada, terutama para pemangku kepentingan
yang mempunyai kekuatan terhadap ketersediaan sumber daya yang
digunakan untuk aktivitas operasional perusahaan, seperti tenaga kerja,
pelanggan dan pemilik (Ghozali dan Chariri, 2007 dalam Tarigan dan
Semuel 2014). Oleh karena itu kelangsungan hidup organisasi bergantung
pada dukungan para pemangku kepentingan sehingga aktivitas perusahaan
adalah untuk mencari dukungan tersebut. Salah satu strategi untuk menjaga
hubungan dengan para pemangku kepentingan perusahaan adalah dengan
meng-ungkapkan sustainability report yang meliputi aspek ekonomi, sosial
dan lingkungan. Pengungkapan sustainability report diharapkan dapat
memenuhi keinginan dari para pemangku kepentingan sehingga akan
menghasilkan hubungan yang harmonis antara perusahaan dengan para
pemangku kepentingan, sehingga organisasi dapat mencapai keberlanjutan
dimasa akan datang.

2.1.3 Legitimacy Theory atau Teori Legitimasi


Teori legitimasi menyatakan bahwa, organisasi secara terus menerus
mencoba untuk memastikan bahwa kegiatan operasinya diterima sesuai
dengan batasan dan norma oleh masyarakat, sehingga mereka mencoba
untuk meyakinkan bahwa aktivitasnya diterima oleh pihak luar (Deegan dan

29

Unerman, 2006 dalam Hartati, 2015). Teori legitimasi menggunakan


motivasi untuk mendapatkan pengesahan atau penerimaan dari masyarakat
(Laan, 2009 dalam Tarigan dan Semuel, 2014). Definisi tersebut
mengisyaratkan,

bahwa

legitimasi

merupakan

sistem

pengelolaan

perusahaan yang berpihak terhadap masyarakat (society), pemerintah


individu dan kelompok masyarakat. Untuk itu, sebagai suatu sistem yang
berpihakkepada

sosial,

operasi

perusahaan

harus

sejalan

dengan

harapanmasyarakat.
Pada dasarnya pengungkapan tanggungjawab sosial perusahaan
bertujuan untuk memperlihatkan kepada masyarakat aktivitas sosial yang
dilakukan oleh perusahaan dan pengaruhnya terhadap masyarakat sekitar.
Legitimasi perusahaan dimata stakeholder dapat dilakukan dengan integritas
pelaksanaan etika dalam berbisnis (business ethics integrity) serta
meningkatkan tanggungjawab sosial perusahaan (social responsibility).
Wibisono dalam Handriyani, 2013) menyatakan bahwa tanggung jawab
sosial (social responsibility) perusahaan memiliki kemanfaatan untuk
meningkatkan reputasi perusahaan, menjaga image dan strategi perusahaan.
Ghozalidan Chariri (2007) dalam Tarigan dan Semuel (2014)
menyatakan bahwa hal yang melandasi teori legitimacy adalah kontrak
sosial yang terjadi antara perusahaan dengan masyarakat dimana perusahaan
beroperasi. Shocker dan Sethi dalam Tarigan dan Semuel (2014)
memberikan penjelasan tentang konsep kontrak sosial, bahwa semua
organisasi memiliki kontrak sosial, baik eksplisit maupun implisit, dimana

30

kelangsungan hidup dan per-tumbuhan organisasi tergantung pada apa yang


dapat dikontribusikan oleh organisasi kepada masyarakat luas. Apabila
organisasi memberikan kontribusi sosial, maka keberadaan perusahaan dan
aktivitas yang dilakukan mendapat status atau restu dari masyarakat
atau lingkungan dimana perusahaan tersebut beroperasi. Teori legitimasi
mendorong perusahaan untuk meyakinkan bahwa aktivitas dan kinerjanya
dapat diterima oleh masyarakat. Laporan aktivitas tanggungjawab sosial dan
lingkungan perusahan yang dituangkan dalam sustainability report dapat
digunakan oleh perusahaan untuk membuktikan bahwa perusahaan telah
menjalankan tanggung jawab sosial dan ini sebagai upaya agar keberadaan
organisasi dapat diterima oleh masyarakat.
Legitimacy theory menyebutkan bahwa perusahaan memiliki
kontrak

dengan

masyarakat

untuk

melakukan

kegiatan

usahanya

berdasarkan nilai-nilai justice, dan bagaimana perusahaan menanggapi


berbagai kelompok kepentingan untuk melegitimasi tindakan perusahaan.
Pengungkapan CSR dalam laporan keuangan diharapkan mampu membantu
perusahaan untuk memperoleh legitimasi sosial dan memaksimalkan
keuangannya dalam jangka panjang, serta terjadi keseimbangan antara
sistem nilai perusahaan dengan nilai masyarakat, karena apabila terjadi
ketidakseimbangan maka perusahaan akan kehilangan legitimasinya dan
akan mengancam keberlangsungan perusahaan tersebut (Sayekti dan
Wondabio, 2007).

31

2.1.4 Earning Response Coefficient /ERC


Kualitas laba dapat diindikasikan sebagai kemampuan informasi laba
memberikan respon kepada pasar. Dengan kata lain, laba yang dilaporkan
memiliki kekuatan respon (power of response). Kuatnya reaksi pasar
terhadap informasi laba yang tercermin dari tingginya earnings response
coefficients (ERC), menunjukkan laba yang dilaporkan berkualitas. Scott
(2010), Cho and Jung (1991) menyatakan bahwa ERC mengukur seberapa
besar return saham dalam merespon angka laba yang dilaporkan oleh
perusahaan yang mengeluarkan sekuritas tersebut. Dengan kata lain ERC
adalah reaksi atas laba yang diumumkan (published) oleh perusahaan.
Reaksi ini mencerminkan kualitas dari laba yang dilaporkan perusahaan.
Tinggi rendahnya Earning Response Coefficient (ERC) sangat ditentukan
kekuatan responsif yang tercermin dari informasi (good/ bad news) yang
terkandung dalam laba. ERC merupakan salah satu ukuran atau proksi yang
digunakan untuk mengukur kualitas laba (Collins et al. 1984) Pengertian
Koefisien Respon Laba (Earnings Response Coefficient) menurut Cho dan
Jung (1991) adalah sebagai berikut : Koefisien Respon Laba didefinisikan
sebagai efek setiap dolar unexpected earnings terhadap return saham, dan
biasanya diukur dengan slopa koefisien dalam regresi abnormal returns
saham dan unexpected earning.
ERC berguna dalam analisis investor dalam model penilaian untuk
menentukan reaksi pasar atas informasi laba perusahaan. ERC merupakan
koefisien yang diperoleh dari regresi antara proksi harga saham dan laba

32

akuntansi. Proksi harga saham yang digunakan adalah cummulative


abnormal return (CAR), sedangkan proksi laba akuntansi adalah unexpected
earning (UE) (Chaney dan Jeter, 1991). Regresi model tersebut akan
menghasilkan ERC untuk masingmasing sampel yang akan digunakan untuk
analisis berikutnya. ERC merupakan pengaruh laba abnormal (unexpected
earnings) terhadap CAR, yang ditunjukkan melalui slope coefficient dalam
regresi abnormal return saham dengan unexpected earnings (Scott, 2010).
Hal ini menunjukkan bahwa ERC adalah reaksi CAR terhadap laba yang
diumumkan oleh perusahaan.
Ada beberapa hal yang menyebabkan respon pasar yang berbedabeda terhadap laba yaitu persistensi laba, beta, struktur permodalan
perusahaan, kualitas laba, growth opportunities, dan ukuran perusahaan
(Scott, 2003). Nilai ERC diprediksi lebih tinggi jika laba perusahaan lebih
persistensi di masa depan. Demikian juga jika kualitas laba semakin baik,
maka diprediksi nilai ERC akan semakin tinggi. Beta mencerminkan risiko
sistematis. Investor akan menilai laba sekarang untuk memprediksi laba
dan return dimasa yang akan datang. Jika future return tersebut semakin
berisiko, maka reaksi investor terhadap unexpected earnings perusahaan
juga semakin rendah (Scott, 2010). Informasi laba ini digunakan oleh
investor sebagai bahan pertimbangan dalam membuat keputusan dan untuk
mengetahui kinerja perusahaan. Akan tetapi, informasi laba saja tidak
cukup sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan karena
masih ada beberapa informasi lain yang dibutuhkan investor. Beaver

33

(1968) dalam Murwaningsari (2008) mendefinisikan, ERC atau koefisien


respon laba merupakan koefisien slope atas laba. Koefisien respon laba
mengukur besarnya kekuatan harga saham dalam merespon laba
akuntansi. Koefisien laba akuntansi dapat menunjukkan kualitas laba
perusahaan. Reaksi atas laba yang diumumkan perusahaan mencerminkan
kualitas laba yang dilaporkan perusahaan.
Tinggi rendahnya ERC sangat ditentukan oleh kekuatan responsif
yang tercermin dari informasi baik buruknya yang terkandung dalam laba.
Cho dan Jung (1991) mengklasifikasi pendekatan teoritis ERC menjadi
dua kelompok yaitu: 1. model penilaian yang didasarkan pada informasi
ekonomi

(information

economics

based

valuation

model)

yang

menunjukkan bahwa kekuatan respon investor terhadap sinyal informasi


laba merupakan fungsi dari ketidakpastian di masa mendatang. Semakin
besar noise dalam sistem pelaporan perusahaan (semakin rendah kualitas
laba), semakin kecil ERC dan, 2. model penilaian yang didasarkan pada
time series laba (time series based valuation model). Faktor-faktor lain
yang mempengaruhi Earnings Response Coefficients adalah leverage,
firms size, profitabilitas, peluang pertumbuhan dan risiko sistematik
(Mahboobe Hasanzade et al, 2013). Ukuran perusahaan berpengaruh
terhadap tingkat stock returns perusahaan tersebut. Semakin besar
perusahaan maka tingkat stock returns akan semakin besar, demikian
sebaliknya. Tidak ada hubungan yang signifikan antara leverage dengan
Earnings Response Coefficient. Investor akan bereaksi terhadap leverage

34

ketika perusahaan sangat sulit memperoleh pinjaman dari dan tingkat suku
bunga yang terlalu tinggi (Mahboobe Hasanzade et al, 2013).
Asumsi yang mendasari penelitian ERC adalah bahwa investor
merespon secara berbeda terhadap informasi laba akuntansi sesuai dengan
kredibilitas atau kualitas informasi laba akuntansi tersebut. Reaksi pasar
ditunjukkan dengan (returns saham) perusahaan tertentu yang cukup
mencolok pada saat pengumuman laba adanya perubahan harga pasar.
Maksud dari mencolok adalah perbedaan yang cukup besar antara return
realisasi dengan returns ekspektasi yang disebut sebagai returns abnormal.
Beberapa penelitian menyatakan bahwa respon pasar terhadap laba di
masing-masing perusahaan dapat bervariasi dan tidak konstan. Beberapa
peneliti yang memiliki pendapat tersebut adalah Easton dan Zmijewski
(1989); Collins dan Khotari (1989). Pihak lain mengatakan bahwa
Earnings Response Coefficient relatif tidak berubah dan tetap, diantaranya
adalah penelitian yang dilakukan oleh Kormendi dan Lipe (1987).
2.1.5. ASEAN Corporate Governance Scorecard
ASEAN CG Scorecard merupakan inisiatif dari ASEAN Capital Market
Forum (ACMF) yang beranggotakan para regulator pasar modal di negara
ASEAN. Scorecard ini juga telah digunakan untuk menilai praktek CG
perusahaan terbuka di negara ASEAN lainnya yaitu Filipina, Malaysia,
Singapura, Thailand dan Vietnam. Meskipun begitu, Indonesia masih
tergolong negara yang memiliki rata-rata nilai corporate governance rendah
diantara lima negara lain yang tergabung dalam ASEAN Capital Market

35

Forum (ACMF). Data tersebut mengacu pada ASEAN Corporate


Governance Scorecard dan merupakan hasil riset dari badan pemeringkat
domestik yang telah ditunjuk ACMF dan Asian Development Bank (ADB,
2014).

Dalam laporan ADB (2014) mengenai laporan dan penilaian


corporate governance negara ASEAN, Indonesia memperoleh nilai ratarata corporate governance 54,55%. Sedangkan Philipina, Singapura,
Malaysia, dan Thailand yang berada di atas Indonesia berturut-turut
memperoleh nilai 57,99%, 71,68%, 71,69%, dan 75,39%. Indonesian
Institute for Corporate Directorship (2013) menyebutkan perusahaan
publik di Indonesia belum menerapkan prinsip corporate governance yang
berlaku secara internasional sehingga nilai yang didasarkan dengan
scorecard ACMF ini rendah. Perusahaan publik di Indonesia kebanyakan
hanya mengacu pada aturan yang diwajibkan oleh BAPEPAM-LK, dan
bagaimanapun kepatuhan terhadap apa yang diwajibkan itu juga masih
kurang. Corporate governance kini sudah melangkah semakin jauh dalam
pelaksanaan maupun penilaiannya. ASEAN Corporate Governance
Scorecard merupakan contoh perkembangan praktik corporate governance
di regional ASEAN. Negara-negara ASEAN secara bersama menerapkan
prinsip corporate governance sebagai upaya untuk mendukung rencana
ASEAN Economic Community 2015.

36

Area yang dicakup oleh Asean CG SC adalah :


A. Rights of shareholders
B. Equitable treatment of shareholders
C. Role of stakeholders
D. Disclosure and transparency
E. Responsibilities of the board
2.1.6. ISO 26000 and SDGs
ISO 26000 tentang CSR dan Sustained Development Goals
memaparkan bahwa

memuat 17 goals yang memang untuk membangun

perusahaan dengan salah satu pengukuran alat kinerja dari perusahaan untuk
mencapai

keberlanjutan

dari

perusahaan

tersebut.

Keberlanjutan

ini

dimaksudkan adalah adanya keinginan dari perusahaan untuk terus berlanjut


sampai pada bertahannya perusahaan di masa yang akan datang. Pokok-pokok
dari SDGs adalah Governance, Human rights, Labour practices, The
environment, Fair operating practices, Consumer issues, dan Community
involvement and development. Poin-poin tersebutlah yang ada di dalam SDGs
dan juga diharapkan dapat membantu perusahaan untuk menuju ke arah
sustainable development dan juga sustainable economic growth.
2.2. Rerangka Konseptual

Corporate Governance
Sustained Earning and
Revenue Growth

CSR
37

2.3 Hipotesis Penelitian


2.3.1. Pengaruh positif Corporate Governance terhadap Sustained Earning and
Revenue Growth
Beberapa hasil penelitian mengenai pengaruh GCG pada Earnings
Response Coefficient menunjukkan hasil yang bervariasi. Penelitian yang
dilakukan oleh Febiani (2012) menemukan bahwa mekanisme Good
Corporate Governance yaitu Kepemilikan Institusional, Kepemilikan
Manajerial, dan Kualitas Audit secara parsial berpengaruh positif pada
kualitas laba yang diproksikan menggunakan ERC. Penelitian yang
dilakukan oleh Indrawati dan Yulianti (2010) meneliti pengaruh 4
mekanisme GCG terhadap kualitas laba dengan menggunakan ERC
sebagai proksi pengukuran kualitas laba menunjukkan hasil bahwa
kepemilikan institusional saja yang berpengaruh pada kualitas laba.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Rifani (2013) dalam Wulandari
dan Herkulanus (2015) menemukan bahwa Good Corporate Governance
yang diproksikan dengan CGPI berpengaruh positif pada kualitas laba
yang pengukurannya menggunakan ERC. Penelitian yang dilakukan oleh
Wirajaya (2009) juga menemukan pengumuman CGPI mengandung
informasi sehingga direspon oleh pasar. Hal ini terlihat dengan adanya
abnormal return yang signifikan di seputar tanggal pengumuman.
Penelitian ini juga akan menguji salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi reaksi pasar terhadap informasi laba selain kualitas laba.
Hasil

penelitian

yang

meneliti

relasi

antara

return/earnings

memperlihatkan bahwa kegunaan dari informasi laba yang dipakai investor

38

sangat terbatas (Sayekti & Wondabio, 2007). Namun di dalam penelitian


ini, yang digunakan adalah ASEAN Corporate Governance Scorecard
dengan adanya 5 cakupan yaitu Rights of shareholders, Equitable
treatment of shareholders, Role of stakeholders, Disclosure and
transparency, dan Responsibilities of the board terhadap ERC.
H1: Terdapat pengaruh positif Corporate Governance terhadap Sustained
Earning and Revenue Growth

2.3.1 Pengaruh CSR terhadap Sustained Earning and Revenue Growth


Faktor lain yang memiliki pengaruh pada respon investor dalam
mengambil keputusannya adalah salah satunya yaitu corporate social
responsibility (CSR) (Sayekti dan Wondabio, 2007). Peraturan hukum di
Indonesia sudah mengatur mengenai badanusaha yang berhubungan dengan
sumberdaya alam harus mengungkapkan CSR. Hal ini tercantum di dalam
Undang-undang No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dan UU
No. 25/2007 mengenai Penanaman Modal (UU PM). Penerapan CSR yang
dilakukan perusahaan diharapkan dapat direspons positif oleh para pelaku
pasar. Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Utaminingtyas dan
Ahalik (2010) mengenai pengaruh CSR disclosure terhadap ERC yang
mengatakan bahwa CSR disclosure berpengaruh positif terhadap ERC yang
menunjukkan

bahwa

investor

mengapresiasi

informasi

CSR

yang

diungkapkan dalam laporan tahunan perusahaan. Hasil penelitian yang serupa


ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh Murwaningsari (2008).

39

Namun sebaliknya, penelitian yang dibuat oleh Sayekti dan Wondabio (2007)
menemukan informasi CSR dalam laporan tahunan perusahaan memiliki
pengaruh negatif terhadap ERC. Sama dengan penelitian yang dilakukan
Hidayati dan Murni (2009) dan Imroatussolihah (2013) dalam Wulandari dan
Herkulanus (2015). Akan tetapi, penelitian Restuti dan Nathaniel (2012)
memperoleh hasil bahwa pengungkapan CSR tidak berpengaruh terhadap
ERC. Di dalam penelitian ini yang digunakan adalah pokok-pokok dalam ISO
26000 and SDGs yang merupakan pengembangan terbaru dari CSR yaitu
Governance, Human rights, Labour practices, The environment, Fair
operating practices, Consumer issues, dan Community involvement and
development.
H2: Terdapat pengaruh positif CSR terhadap Sustained Earning and Revenue
Growth

40

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Desain penelitian adalah pengaturan dari syarat-syarat untuk mengendalikan
pengumpulan data yang ada di dalam penelitian dengan tujuan
mengkombinasikan dan mengolah segala informasi yang relevan dengan
penelitian tersebut sehingga menjadi data yang dijadikan penelitian. Dalam
penelitian ini ingin mengetahui pengaruh CG dan CSR terhadap sustained
earing and revenue growth .
Objek dalam penelitian ini adalah perusahaan Indonesia yang
listing di Bursa Efek Indonesia dengan pemilihan sampel secara random
atau acak agar bisa mewakili populasi yang ada. Sebanyak 100 perusahaan
akan dipilih dari seluruh perusahaan yang listing di BEI dari berbagai
industri.
3.2 Populasi, Sampel, dan Metode Pengumpulan Data
3.2.1 Populasi dan Sampel
Populasi yang menjadi target penelitian ini adalah perusahaan yang listing
di BEI. Unit analisis adalah entitas atau perusahaan dari berbagai industri
yang terdaftar di BEI. Kriteria sampel adalah semua perusahaan dari
berbagai industri yang terdaftar pada BEI. Pada penelitian ini pemilihan
sampel dilakukan dengan metode pemilihan sampel acak atau random.

41

Metode ini dipilih dengan alasan agar sampel yang diambil dapat mewakili
populasi yang ada.
3.2.2 Metode Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dengan menggunakan data laporan keuangan (tahun
2010-2015) dari perusahaan sampel untuk kemudian diolah di dalam
penelitian (data sekunder).
3.3 Pengukuran Variabel
3.3.1 Variabel Dependen
Variabel dependen merupakan variabel yang dipengaruhi oleh variabel lain
dan variabel dependen dalam penelitian ini adalah ERC. Koefisien respon
laba merupakan koefisien yang diperoleh dengan meregresi nilai saham dan
laba akuntansi (Scott, 2012). Cummulative Abnormal Return (CAR)
digunakan sebagai proksi harga saham, Unexpected Return (UE) digunakan
sebagai proksi laba akuntansi.
1) Menghitung Cummulative Abnormal Return (CAR)
a) Menghitung actual return (return sesungguhnya) :

...................................................................... (1)

(Sumber : Jogiyanto, 2010)

42

b) Menghitung return pasar harian :

............................................(2)
Keterangan:
Rmt = Return pasar pada waktu ke-t.
IHSGt = Indeks Harga Saham Gabungan hari ke-t
IHSGt-1 = Indeks Harga Saham Gabungan hari ke-t-1
c) Menghitung expected return :
E(Rit) = i t R , - Rmt .. (3)
(Sumber : Tandellin, 2010)
Keterangan:
E(Rit) = Expected return
i t R , =Return sesungguhnya yang terjadi untuk sekuritas ke-i pada
periode peristiwa ke-t.
Rmt =Return Pasar harian
d) Menghitung abnormal return untuk masing-masing perusahaan :
ARit = Rit - ERt .... (4)
(Sumber : Jogiyanto, 2010)
Keterangan:
ARit = Abnormal Return
Rit = Actual Return

43

ERt = Expected Return


e) Menghitung Cumulative Abnormal Return (CAR) untuk masingmasing perusahaan
. (5)
(sumber: Diantimala, 2008)
Keterangan :
CARit = Cummulative Abnormal Return perusahaan i pada tahun t
ARit = Return abnormal perusahaan i pada tahun t
2) Menghitung Unexpected Earnings (UE)

UE atau laba kejutan adalah selisih antara laba sesungguhnya dengan


laba ekspektasian. UE dihitung dengan model sebagai berikut:

. (6)
(Sumber: Daud dan Syariffudin, 2008)
Keterangan:
UEi.t = laba non ekspektasian perusahaan i pada periode t
AEi.t = laba akuntansi (earnings) setelah pajak perusahaan i pada tahun t
AEi.t-1 = laba akuntansi (earnings) setelah pajak perusahaan i pada
tahun t-1

Menghitung ERC

44

. (7)
(Sumber: Scott, 2012)
Keterangan :
CARit = Cummulative Abnormal Return perusahaan i untuk interval tahun
sebelum t hingga tahun t
AEi.t = laba akuntansi (earnings) setelah pajak perusahaan i pada periode t

= konstanta
= ERC
= standar error
3.3.2 Variabel Independen
Variabel Independen adalah variabel yang mempengaruhi variabel lainnya,
dalam hal ini adalah variabel dependen dan variabel independen dalam
penelitian ini adalah ASEAN Corporate Governance Scorecard dan ISO
26000 and SDGs.
1. Corporate Governance
Pengukuran mengenai Corporate Governance diukur dengan ASEAN
Corporate Governance Scorecard diambil berdasarkan dari checklist
ASEAN Corporate Governance Scorecard yang ada di dalam
perusahaan lalu dinilai dengan skala ordinal.

45

2. Corporate Social Responsibility


Pengungkapan informasi CSR di dalam annual report badan usaha
dihitung menggunakan CSR disclosure index dengan standar GRI versi
3.1. cara untuk mengukur CSR index memakai cara dikotomi yang
apabila tiap item CSR dalam instrumen penelitian diungkapkan maka
diberikan skor 1 dan diberi skor 0 apabila tidak diungkapkan (Haniffa et
al, 2005). Kemudian, nilai dari setiap item ditambahkan untuk mendapat
semua nilai untuk setiap badan usaha. Formula perhitungan CSRI yaitu
sebagai berikut:

. (9)
(Sumber: Haniffa et al, 2005)
Keterangan:
CSRI = Corporate Social Responsibility Disclosure Index perusahaan
N = Jumlah item untuk perusahaan, n 84
X = 1 = jika item i diungkapkan; 0 = jika item i tidak diungkapkan
3.4 Analisis Data
Prosedur pengolahaan data dalam penelitian ini dimulai dengan memilah data
ke dalam variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini. Dari hasil
operasional variabel akan diuji, nilai variabel tersebut akan dimasukkan
dalam program alat uji penelitian.

46

Dikarenakan dalam penelitian ini menggunakan data time series,


ada enam uji asumsi yang harus dilakukan terhadap suatu model regresi,
yaitu:
a.

Uji Normalitas,

b.

Uji Homogenitas,

c.

Uji Linieritas,

d.

Uji Multikolinieritas,

e.

Uji Heteroskedastisitas dan

f.

Uji Autokorelasi.

Ada beberapa ahli menyebutkan bahwa dari keenam syarat untuk memenuhi
model regresi tersebut terbagi dua kelompok yaitu: uji asumsi klasik
(Normalitas, Homogenitas dan Linieritas) dan uji penyimpangan asumsi
klasik (Multikolineritas, heteroskedasitas dan Autokorelasi). Tidak jadi
masalah karena semuanya akan di bahas disini.
a. Uji Normalitas
Uji Asumsi Klasik dengan Uji Normalitas data dilakukan sebelum data
diolah berdasarkan model-model penelitian yang diajukan. Uji normalitas
bertujuan untuk mengetahui apakah variabel pengganggu atau residual
memiliki distribusi normal.
Sebagai dasar bahwa uji t dan uji F mengasumsikan bahwa nilai residual
mengikuti distribusi normal. Jika asumsi ini dilanggar maka model
regresi dianggap tidak valid dengan jumlah sampel yang ada.

47

Teknik yang

digunakan untuk menguji normalitas data adalah uji

kolmogorov-smirnov.
b. Uji Homogenitas
Uji Asumsi Klasik dengan Uji homogenitas dimaksudkan untuk
memperlihatkan bahwa dua atau lebih kelompok data sampel berasal dari
populasi yang memiliki variansi yang sama. Pada analisis regresi,
persyaratan analisis yang dibutuhkan adalah bahwa galat regresi untuk
setiap pengelompokan berdasarkan variabel terikatnya memiliki variansi
yang sama.
c. Uji Linieritas
Uji Asumsi Klasik dengan Uji ini digunakan untuk melihat apakah
spesifikasi model yang digunakan yaitu studi empiris linier, kuadrat, atau
kubik. Uji yang dilakukan untuk mendeteksi yaitu uji Durbin Watson.
d. Uji Multikolinieritas
Uji Asumsi Klasik dengan Uji multikolinieritas bertujuan untuk menguji
apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas
(independent variable). Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi
korelasi di antara viriabel bebas, karena jika hal tersebut terjadi maka
variabel-variabel tersebut tidak ortogonal atau terjadi kemiripan.
Variabel ortogonal adalah variabel bebas yang nilai korelasi antar sesama
variabel bebas bernilai nol. Uji ini untuk menghindari kebiasan dalam
proses pengambilan keputusan mengenai pengaruh parsial masingmasing variabel independen terhadap variabel dependen. Untuk

48

mendeteksi apakah terjadi problem multikol dapat melihat nilai tolerance


dan lawannya variace inflation factor (VIF).
e. Uji Heteroskedastisitas
Uji Asumsi Klasik dengan Uji heteroskedastisitas bertujuan menguji
apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan veriance dari residual
satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika variance tetap maka
disebut homoskedastisitas dan jika berbeda maka terjadi problem
heteroskedastisitas.Model regresi yang baik yaitu homoskesdatisitas atau
tidak terjadi heteroskedastisitas. Cara untuk mendeteksi ada tidaknya
heteroskedastisitas yaitu melihat scatter plot.
f. Uji Autokorelasi
Uji Asumsi Klasik dengan Uji autokorelasi bertujuan menguji apakah
model regresi linier ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada
periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode sebelumnya (t-1).
Jika terjadi korelasi maka dinamakan ada problem autokorelasi. Cara
untuk mendeteksi gejala autokorelasi yaitu uji Durbin Watson (DW test).
g. Uji F dan Uji T
Uji F dapat dilakukan dengan membandingkan F hitung dengan F tabel,
jika F hitung > dari F tabel, (Ho di tolak Ha diterima) maka model
signifikan atau bisa dilihat dalam kolom signifikansi pada Anova (Olahan
dengan SPSS, Gunakan Uji Regresi dengan Metode Enter/Full Model).
Model signifikan selama kolom signifikansi (%) < Alpha (kesiapan
berbuat salah tipe 1, yang menentukan peneliti sendiri, ilmu sosial

49

biasanya paling besar alpha 10%, atau 5% atau 1%). Dan sebaliknya jika
F hitung < F tabel, maka model tidak signifikan, hal ini juga ditandai nilai
kolom signifikansi (%) akan lebih besar dari alpha.
Uji t dikenal dengan uji parsial, yaitu untuk menguji bagaimana
pengaruh masing-masing variabel bebasnya secara sendiri-sendiri
terhadap

variabel

terikatnya.

Uji

ini

dapat

dilakukan

dengan

mambandingkan t hitung dengan t tabel atau dengan melihat kolom


signifikansi pada masing-masing t hitung, proses uji t identik dengan Uji
F (lihat perhitungan SPSS pada Coefficient Regression Full Model/Enter).
Atau bisa diganti dengan Uji metode Stepwise.

50

DAFTAR PUSTAKA
Agustine, Ira. 2014. Pengaruh Corporate Social Responsibility Terhadap Nilai
Perusahaan. FINESTA Vol. 2, No. 1, (2014) 42-47
Basalamah, A.S. dan Jermias. 2005.Social and Environmental Reporting and
Auditing in Indonesia.Gajah Mada International Jounalof Business, Vol 7,
109-127.
Benhart, S. W., dan Rosenstein S., 1998, Board Composition, Managerial
Ownership, and Firm Performance: An Empirical Analysis. Financial
Review 33, pp. 1-16.
Cho, L.Y., and K. Jung. (1991). Earnings Response Coefficients: A Synthesis of Theory and
Empirical Evidence. Journal of Accounting Literature, Vol.10. pp 85-116.

Ernati, Wayan. 2009. Pengaruh Mekanisme Corporate Governance, Leverage,


Kesempatan Bertumbuh , dan Ukuran Perusahaan Terhadap Kinerja
Perusahaan Nonkeuangan Yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode
2006-2008.
Febiani, Siska. 2012. Konservatisme Akuntansi, Corporate Governance, dan
Kualitas Laba. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Akuntansi, 1(2).
Ghosh, et al. 2005. Sustained Earnings and Revenue Growth, Earnings Quality,
and Earnings Response
Gunawan, B. dan S. S Utami. 2008. Peranan Corporate Social Responsibility
dalam Nilai Perusahaan. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Volume 7,
Nomor 2:174-185.
Handriyani, Arik Novia. 2013. Pengaruh Corporate Social Responsibility
terhadap Nilai Perusahaan dengan Profitabilitas sebagai Variabel
Moderating.Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 5 (2013)
Hasan dan Safdar Ali Butt. 2009. Impact of Ownership Structure and Corporate
Governance on Capital Stucture of Pakistani Listed Companies.
International Journal of Business and Management 4: No:2.
Heriningsih, Sucahyo dan Saputri, Novitasari. Pengaruh Corporate Social
Responsibility Disclosure DAN Environmental Performance terhadap
terhadap Economic Performance pada Perusahaan Manufaktur yang

50

Terdaftar di Bursa Efek Indonesia. ISSN 1693-0908 Jurnal Ekonomi dan


Bisnis. Volume 10. Nomor 01. Maret 2012
Indrawati, Novita. 2009. Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR)
dalam Annual Report serta Pengaruh Political Visibility dan Economic
Performance. Pekbis Jurnal, Vol.1, No.1, Maret 2009: 1-11
Indrawati, Novita dan Yulianti, Lilla. 2010. Mekanisme Corporate Governance
dan Kualitas Laba. Pekbis Jurnal, 2(2), hal: 283-291.
Jannah, Richatul dan Muid, Dul. 2014. Analisa Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Carbon Emission Disclosure pada Perusahaan di
Indonesia (Studi Empiris pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek
IndonesiaPeriode 2010-2012). Volume 3, Nomor 2, Tahun 2014, Halaman
1 http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/accounting ISSN (Online):
2337-3806.
JENSEN, Michael C dan MECKLING, William H. 1976. Theory of The Firm:
Managerial Behaviour, Agency Costs and Ownership Structure.
University of Rochester, Rochester, NY 14627, U.S.A.Journal of Financial
Economics 3 (1976) 305-360. Q North-Holland Publishing Company
Jun-koo kang. 1995. Firm Performance, Corporate Governance, and Top
Executive Turnover in Japan," (with Anil Shivdasani), Journal of Financial
Economics38 ,pp:29-58.
Kusminingrum, Nanny. 2008. Potensi Tanaman dalam Menyerap CO2 dan CO
untuk Mengurangi Dampak Pemanasan Global. Jurnal Permukiman Vol. 3
No. 2 Juli 2008.
Muliati, et.al. 2014. Corporate Disclosure As Mediating Variable On Effect Of
Financial Resources, Capability, And Characteristic Of Corporate To
Environmental. Performance. International Journal of Scientific &
Technology Research Vol. 3, ISSUE 8, AUGUST 2014 ISSN 2277-8616
IJSTR2014 www.ijstr.org.
Murwaningsari, Etty. 2008. Pengujian Simultan: Beberapa Faktor Yang
Mempengaruhi Earning Response Coefficient (ERC). Fakultas Ekonomi
Universitas Trisakti.
Scott, William R., (2010) Financial Accounting Theory. Second edition. Canada:
PrenticeHall.
Wulandari, Ratna Dian dan Hidayah, Erna. 2013. Pengaruh Environmental
Performance Dan Environmental Disclosure Terhadap Economic
Performance (Studi pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa

51

Efek Indonesia Periode 2009-2011). EKBISI, Vol. VII, No. 2, Juni 2013,
hal. 233 244.ISSN:1907-9109

Owusu, Charles Antwi dan Frimpong, Siaw. 2012. Corporate Social and
Environmental Auditing: Perceived Responsibility or Regulatory
Requirement? Research Journal of Finance and Accounting
www.iiste.orgVol 3, No 4, 2012 ISSN 2222-1697 (Paper) ISSN 2222-2847
(Online)
Rahayu, Siti. 2012. Pengaruh Konservatisma Laba Terhadap Koefisien Respon
Laba pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI.
Rakhiemah, N. A. dan Agustia, D. 2009. Pengaruh Kinerja Lingkungan terhadap
Corporate Social Responsibility (CSR) Disclosure dan Kinerja Finansial
Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
Simposium Nasional Akuntansi 12 Palembang.
Restuti, D. M. M. Dan Nathaniel, C, 2012. Pengaruh Pengungkapan Cosporate
Social Responsibility terhadap Earning Response Coefficient. Jurnal
Dinamika Manajemen. 3 (1): 40-48.
Retno, R. D. dan D. Priantinah. 2012. Pengaruh Good Corporate Governance dan
Pengungkapan Corporate Social Responsibility terhadap Nilai
Perusahaan. Jurnal Nominal Volume I Nomor I: 84-103.

Sayekti, Y., & Wondabio, L. S. (2007). Pengaruh CSR Disclosure terhadap


EarningResponse Coefficient (Suatu Studi Empiris pada Perusahaan yang
Terdaftar diBursa Efek Jakarta). Simposium Nasional Akuntansi 10
Makasar.
Setyaningtyas, Tara. 2009. Pengaruh Konservatisme Laporan Keuangan dan
Siklus Hidup Perusahaan terhadap Koefisien Respon Laba. Skripsi Sarjana
Jurusan Akuntansi pada Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret,
Surakarta.
Sholihin, Ismail. 2008. Corporate Social Responsibility from Charity to
Sustainability. Salemba Empat.
Suhardjanto, Djoko dan Choiriyah, Umi. 2007. Information Gap: Demand Supply
Environmental Disclosure di Indonesia. Jurnal Keuangan dan Perbankan,
Vol. 14, No. 1 Januari 2010, hal. 36-51

52

Sujoko dan Soebiantoro, U. 2007. Pengaruh Struktur Kepemilikan Saham,


Leverage, Faktor Intern dan Faktor Ekstern terhadap Nilai Perusahaan.
Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, 9(1), 41-48.
Suratno, Darsono, dan Siti Mutmainah. 2006. Pengaruh Environmental
Performance Terhadap Environmental Disclosure Dan Economic
Performance: Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar
Di Bursa Efek Jakarta Periode 2001-2004. SNA IX Padang. 23-26
Agustus.
Tjager, I Nyoman, Antonius Alijoyo, Humphrey R. Djemat, Bambang Soembodo.
2003. Corporate Governance Tantangan dan Kesempatan bagi Komunitas
Bisnis Indonesia. Jakarta: PT. Prenhallindo.
Tarigan, Josua dan Semuel, Hatane. Pengungkapan Sustainability Report dan
Kinerja Keuangan. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 16, No. 2,
November 2014, 88-101 ISSN 1411-0288 print / ISSN 2338-8137 online
Tristianasari, Galuh dan Fachrurrozie. ANALISIS ECONOMIC PERFORMANCE
PERUSAHAAN PERTAMBANGAN DI INDONESIA. ISSN 2252-6765
Accounting Analysis Journal 3 (2) (2014)
Wirajaya, I Gede Ary. 2009. Reaksi pasar Atas Pengumuman Corporate
Governance Perception Index. Universitas Udayana, Denpasar.

53

Anda mungkin juga menyukai