Anda di halaman 1dari 14

Definisi

Varicella (Cacar Air) adalah penyakit infeksi yang umum yang biasanya terjadi pada anak-anak
dan merupakan akibat dari infeksi primer Virus Varicella Zoster. Varicella pada anak, mempunyai
tanda yang khas berupa masa prodromal yang pendek bahkan tidak ada dan dengan adanya
bercak gatal disertai dengan papul, vesikel, pustula, dan pada akhirnya, crusta, walaupun banyak
juga

lesi

kult

yang

tidak

berkembang

sampai

vesikel.

Normalnya pada anak, gejala sistemik biasanya ringan. Komplikasi yang serius biasanya terjadi
pada dewasa dan pada anak dengan defisiensi imunitas seluler, dimana penyakit dapat
bermanifestasi klinis berupa, erupsi sangat luas, gejala konstitusional berat, dan pneumonia.
Terdapat

kemungkinan

fatal

jika

tidak

ada

terapi

antivirus

yang

diberikan.

Vaksin Live Attenuated (Oka) mulai diberikan secara rutin pada anak yang sehat diatas umur 1
tahun 1995. Setelah itu, insidensi varisella dan komplikasinya mulai menurun di Amerika
Serikat. Telah banyak negara bagian yang mewajibkan vaksin ini diberikan sebagai syarat masuk
sekolah.
Herpes Zooster disebabkan oleh reaktivasi dari Virus Varisela Zooster yang oleh penderita
varisela. Herpes Zooster ini ditandai dengan lesi unilateral terlokalisasi yang mirip dengan cacar
air dan terdistribusi pada syaraf sensoris. Biasanya lebih dari satu syaraf yang terkena dan pada
beberapa pasien dengan penyebaran hematogen, terjadi lesi menyeluruh yang timbul setelah
erupsi lokal. Zoster biasanya terjadi pada pasien dengan immunocompromised, penyakit ini juga
umum pada orang dewasa daripada anak-anak. Pada dewasa lebih sering diikuti nyeri pada kulit.
Epidemiology
Sebelum pengenalan vaksin pada tahun 1995, varisella merupakan penyakit infeksi paling sering
pada anak-anak di USA. Kebanyakan anak terinfeksi pada umur 15 tahun, dengan persentasi
dibawah 5% pada orang dewasa. Epidemik Varicella terjadi pada musim dingin dan musim semi,
tercatat lebih dari 4 juta kasus, 11.000 rawat inap, dan 100 kematian tiap tahunnya. Varicella
merupakan penyakit serius dengan persentasi komplikasi dan kematian tinggi pada balita,
dewasa, dan dengan orang imun yang terkompromi. Pada rumah tangga, persentasi penularan
dari

virus

ini

berkisar

65%-86%

Manusia merupakan host alami yang diketahui untuk VZV, dimana dikaitkan dengan dua bentuk
kesakitan- yang bentuk primer sebagai varisela (chickenpox) dan bentuk sekunder sebagai herpes
zoster. VZV merupakan infeksi yang sangat menular dan menyebar biasanya dari oral udara atau

sekresi respirasi atau terkadang melalui transfer langsung dari lesi kulit melalui transmisi
fetomaternal. Serangan sekunder meningkat pada kontak rumah yang rentan melebihi 85%.
Pada iklim temperatur, angka infeksi enunjukkan variasi musiman yang ditandai, dengan
epidemis pada musim dingin akhir dan awal musim semi. Sebaliknya, tidak ada variasi musiman
yang terlihat pada iklim tropis. Alasan untuk perbedaan penandaan ini tidaklah jelas, meskipun
telah didukung dengan pemanasan, dan kurangnya peningkatan paparan pada virus dalam bulan
musim hangat dapat menyebabkan beberapa perbedaan. Di india, disamping dekat dengan
perbataan, angka rendah yang tidak terduga melalui transmisi antar rumah telah
didokumentasikan sebesar 80%. Di Singapura, varicella timbul dalam dua epidemis besar yang
terpisah selama 23 tahun.
Meskipun infeksi primer asimptomatik adalah jarang, studi serologis mendukung bahwa
reinfeksi subklinis adalah sering. Jarangnya, pasien dengan imunokompeten dapat mengalami
episode kedua dari varicella. Varicella dalam iklim temperatur lebih sering timbul pada usia
sebelum sekolah dan anak usia sekolah kurang dari usia 10 tahun dengan insidensi tertinggi pada
kelompok usia 3-6 tahun. Disamping prevalensi varisela pada anak-anak, beberapa orang pada
iklim temperatur dapat menenai orang dewasa tanpa adanya paparan : sebuah studi rekrut militer
di United States pada era prevaksin menunjukkan bahwa 8% tentara yang direkrut adalah
seronegatif, dengan peningkatn angka seronegative pada non kulit putih dan lebih tinggi angka
seronegative

pada

tentara

yang

asalnya

di

luar

United

States.

Etiologi
Varicella disebabkan oleh Varicella Zooster Virus (VZV) yang termasuk kelompok Herpes Virus
dengan diameter kira-kira 150 200 nm. Inti virus disebut capsid yang berbentuk icosahedral,
terdiri dari protein dan DNA yang mempunyai rantai ganda yaitu rantai pendek (S) dan rantai
panjang (L) dan merupakan suatu garis dengan berat molekul 100 juta dan disusun dari 162
capsomer.

Lapisan

ini

bersifat

infeksius.

Varicella Zoster Virus dapat menyebabkan varicella dan herpes zoster. Kontak pertama dengan
virus ini akan menyebabkan varicella, oleh karena itu varicella dikatakan infeksi akut primer,
sedangkan bila penderita varicella sembuh atau dalam bentuk laten dan kemudian terjadi
serangan
Patogenesis

kembali

maka

yang

akan

muncul

adalah

Herpes

Zoster.

Virus Varicella Zooster masuk dalam mukosa nafas atau orofaring, kemudian replikasi virus
menyebar melalui pembuluh darah dan limfe ( viremia pertama ) kemudian berkembang biak di
sel retikulo endhotellial setelah itu menyebar melalui pembuluh darah (viremia ke dua) maka
timbullah

demam

dan

malaise.

Permulaan bentuk lesi pada kulit mungkin infeksi dari kapiler endothelial pada lapisan papil
dermis menyebar ke sel epitel pada epidermis, folikel kulit dan glandula sebacea dan terjadi
pembengkakan. Lesi pertama ditandai dengan adanya makula yang berkembang cepat menjadi
papula, vesikel da akhirnya menjadi crusta. Jarang lesi yang menetap dalam bentuk makula dan
papula saja. Vesikel ini akan berada pada lapisan sel dibawah kulit. Dan membentuk atap pada
stratum korneum dan lusidum, sedangkan dasarnya adalah lapisan yang lebih dalam.
Degenarasi sel akan diikuti dengan terbentuknya sel raksasa berinti banyak, dimana kebanyakan
dari

sel

tersebut

mengandung

inclusion

body

intranuclear

type

Penularan secara airborne droplet. Virus dapat menetap dan laten pada sel syaraf. Lalu dapat
terjadi

reaktivitas

maka

dapat

terjadi

Gejala

herpes

Zooster.
Klinis

Gejala mulai timbul dalam waktu 10-21 hari setelah terinfeksi pada anak-anak yang berusia
diatas 10 tahun, gejala awalnya berupa sakit kepala demam sedang dan rasa tidak enak badan,
gejala tersebut biasanya tidak ditemukan pada anak-anak yang lebih musa. Pada permulaannya,
penderita akan merasa sedikit demam, pilek, cepat merasa lelah, lesu, dan lemah. Gejala-gejala
ini khas untuk infeksi virus. Pada kasus yang lebih berat, bisa didapatkan nyeri sendi, sakit
kepala dan pusing. Beberapa hari kemudian timbullah kemerahan pada kulit yang berukuran
kecil yang pertama kali ditemukan di sekitar dada dan perut atau punggung lalu diikuti timbul di
anggota

gerak

dan

wajah.

Kemerahan pada kulit ini lalu berubah menjadi lenting berisi cairan dengan dinding tipis. Ruam
kulit ini mungkin terasa agak nyeri atau gatal sehingga dapat tergaruk tak sengaja. Jika lenting
ini dibiarkan maka akan segera mengering membentuk keropeng (krusta) yang nantinya akan
terlepas dan meninggalkan bercak di kulit yang lebih gelap (hiperpigmentasi). Bercak ini lamakelamaan akan pudar sehingga beberapa waktu kemudian tidak akan meninggalkan bekas lagi.
Lain halnya jika lenting cacar air tersebut dipecahkan. Krusta akan segera terbentuk lebih dalam
sehingga akan mengering lebih lama. kondisi ini memudahkan infeksi bakteri terjadi pada bekas
luka garukan tadi. setelah mengering bekas cacar air tadi akan menghilangkan bekas yang dalam.

Terlebih lagi jika penderita adalah dewasa atau dewasa muda, bekas cacar air akan lebih sulit
menghilang.
Papula di mulut cepat pecah dan membentuk luka terbuka (ulkus), yang sering menyebabkan
gangguan menelan. Ulkus juga dapat ditemukan di kelopak mata, saluran pernapasan bagian
atas,

rectum

dan

vagina.

Papula pada pita suara dan saluran pernapasan atas kadang menyebabkan gangguan pada
pernapasan. Bisa terjadi pembengkakan kelenjar getah bening dileher bagian samping. Cacar air
jarang menyebabkan pembentukan jaringan parut, kalaupun ada hanya berupa lekukan kecil di
sekitar mata. Luka cacar air bisa terinfeksi akibat garukan dan biasanya disebabkan oleh
staphylococcus.
Anak-anak biasanya sembuh dari cacar air tanpa masalah. Tetapi pada orang dewasa maupun
penderita gangguan sistem kekebalan, infeksi ini bisa berat atau bahkan berakibat fatal.
Pada anak sehat yang sebelumnya nirmal, penyakit ini secara umum dan biasanya jinak, dengan
komplikasi yang paling sering adalah infesi sekunder bakteri dari lesi kult. Jaringan parut
merupakan komplikasi lain yang sering. Komplikasi neurologis meliputi encephalitis dan ataxia
cerebellar akut. Varisela encephalitis dengan insiden 0,1% secara umum tampak mengalami nyeri
kepala, kejang, pola pemikiran yang terganggu, dan muntah, dengan angka mortalitas sebear 5
hingga 20%. Ataxia serebelar akut sedikit lebih jarang (0,025% insidensi) dibandingkan
ensefalitis dan secara umum tampak dalam 1 minggu ruam dengan ataxia, muntah, pembicaraan
yang terganggu, vertigo, dan atau tremor, dengan resolusi dalam 2 hingga 4 minggu.
Pada anak defisiensi imun atau kurang gizi yang tidak ditangani dengan asiklovir intravena,
angka kematian berkisar antara 15 hingga 18%. Kasus ini dikarakteristikan dengan penyebaran,
dengan pneumonia, miokarditis, artritis, hepatitis, perdarahan, dan ensefalopaty (ataxia serebelar
lebih sering). Super infeksi lesi kulit dengan Staphylococcus aureus atau Streptococcus pyogenes
dapat menyebabkan pioderma, impetigo, erysipelas, nephritis, gangrene, atau sepsis. Pada tropis
Amerika, varisella pada anak usia muda, anak kekurangan gizi dapat berkomplikasi menjadi
diare berat.
Orang dewasa tampak mempunyai penyakit yang lebih berat dibandingkan dengan anak-anak.
Dengan peningkatan 15 kali lipat pada mortalitasnya. Varisella onset dewasa lebih sering

berkomplikasi dengan pneumonitis dan ensefalitis, dengan secara klinis pneumonitis lebih dari
15 % kasus.
Orang dari area tropis yang pindah ke area temperatur berada dalam resiko untuk varisela onset
dewasa, terutama jika kontak dengan anak usia muda. Varisela ibu pada gestasi awal
menimbulkan secara jarang ke sindrom varisela kongenital yang ditandai dengan defek kulit,
atrofi ekstremitas, dan disfungsi sistem otonom. Maternal varisela pada gestasi akhir dapat
menimbulkan varisela neonatus, dengan angka mortalitas sama tingginya dengan 30% pada bayi
yang tidak diterapi.
Infeksi VZV rekuren bermanifestasi sebagai herpes zoster (shingles), sebuah penyakit yang
biasanya terlihat pada orang dewasa dengan usia lebih dari 50 tahun. Data menunukkan
perbedaan rasial dalam resiko timbulnya zoster, dengan orang tua kulit putih lebih sering berada
dalam resiko dibandingkan dengan orang tua berkulit hitam. Zoster juga dapat timbul jarang
pada anak-anak. Zoster pada pasien imunnocompromise dapat menjadi lebih berat.
Peningkatan insidensi zoster pada usia sama halnya dengan pasien imunocompromised
dikarenakan penurunan anti-VZV cell-mediated immunity. Menariknya, ada bukti bahwa
paparan pada orang yang seropositive terhadap varisela terlindungi dari perkembangan zoster,
tertama dengan menambah respon imunnya. Setelah infeksi primer, VZV (seperti HSV) timbul
pada keadaan latent dengan ganglia saraf kranial dan spinal. Stimuli non spesifik seperti stress,
imunodefisiensi atau malignansi dapat mengaktivasi virus laten dengan keterlibatan distribusi
saraf yang disalurkan melalui ganglion yang terkena. Herpes zoster timbul setelah 3- to 4-day
gejala prodromal demam, lesu, dan gangguan gastrointestinal dan erupsi vesikular kutaneus yang
nyerei pada distribusi dermatomal. Ruam biasanya unilateral dan sepanjang hanya satu
dermatom. Pada kasus yang berat, erupsi dapat menjadi lebih umum dan variseliform. Vesikel
sembuh dalam 5 hari, tetapi postherpetic neuralgia dapat saja ada. Postherpetic neuralgia, terlihat
pada lebih dari 50% pasien diatas 50 tahun, didefinisikan sebagai nyeri konstan atau intermiten
lebih dari durasi satu bulan pada area yang melibatkan dermatom. Infeksi dari mata, Herpes
zoster ophthalmicusmerupakan kondisi yang serius karena dapat menyebabkan kebutaan.
Sindroma Ramsay Hunt didefinisikan sebagai keterlibatan trias dari meatus auditorius eksternal,

hilangnya rasa pada lidah dan palsy fasialis ipsilateral. Keterlibatan dari medula spinalis dapat
menyebabkan kelumpuhan atau palsy saraf kranial.
Resiko dari ensefalitis meningkat pada orang tua dengan keterlibatan saraf kranial dan pada
pasien AIDS. Postzoster ensefalitis dapat timbul dalam 3 bentuk : infark yang dikarenakan
vaskulitis

pembuluh

darah

besar,

leukoensefalopati

multifokal

dan

ventrikulitis.

DIAGNOSIS
Diagnosis klinik varisela pada anak-anak, saat ini variola (smallpox) telah dieradikasi, biasanya
tidaklah sulit. Ruam mempunyai karakteristik dan jarangkali dibutuhkan untuk dibedakan dari
eksantem enterovral, infeksi S. aureus, rekasi obat, dermatitis kontak dan penyebaran infeksi
HSV-1. Diagnosis dengan kultur dari cairan vesikel kurang sensitif untuk HSV atau CMV dan
dapat membutuhkan waktu 7 hari.
Metode ini telah diganti dengan metode shellvial sensitive dan ebih cepat, dimana hasilnya
diberikan dalam waktu 1-3 hari. Deteksi yang lebih cepat, sensitif, dan spedifik dapat membentu
sistem dasar kultur dimasa depan sebagaimana pewarnaan PCR multiple menjadi lebih sering
untuk digunakan. Mengambil dasar vesikel mungkin dapat menunjukkan sel raksasa
multinukleasi,

dimana

tidak

dapat

jelas

dibedakan

dari

HSV.

Bagaimanapun,

immunofluorescence pada kultur atau mengambil dengan menggunakan antibodi spesifik dapat
membedakan antara HSV-1, HSV-2, dan VZV. Deteksi serologis IgM dan tingginya titer atau
empatkali peningkatan IgG anti VZV antibodi dapat berguna dalam beberapa kasus.
Deteksi dari IgM dapat meunjukkan infeksi primer (chicken pox), dimana baik tinggi titernya
atau empat kali peningkatan igG mengindikasikan rekurensi. Bagaimanapun, peningkatan IgM
juga dapat terlihat pada rekurensi. Diagnosis klinis herpes zoster virus pada orang dewasa juga
biasanya
Differensial

tidak

sulit

dalam

memberikan

karakteristik

pola

dermatom.
Diagnosis

Differensial diagnosis dari infeksi varicella sendiri termasuk infeksi yang dapat menimbulkan
vesikular exanthema, seperti infeksi herpes secara umum, hand-foot-mouth infection dan
exanthema enteroviral lainnya. Dahulu, variola dan vaccinia merupakan differensial diagnosis
yang penting namun infeksi ini sudah sangat jarang ditemukan. Herpes simpleks dapat dibedakan

dari pengelompokan vesikelnya, lokasi, dan tes immunoflorescent atau kultur, jika perlu. Tes
Tzanck dapat membantu membedakan varicella dengan enteroviral penyebab exanthem lainnya
dengan

memperlihatkan

multinucleated

giant

cell

pada

infeksi

Pemeriksaan
Pada

Herpes

zoster.

Laboratorium
pemeriksaan

darah

tidak

memberikan

gambaran

yang

spesifik.

Untuk pemeriksaan varicella bahan diambil dari dasar vesikel dengan cara kerokan atau apusan
dan dicat dengan Giemsa dan Hematoksilin Eosin, maka akan terlihat sel-sel raksasa (giant cell)
yang mempunyai inti banyak dan epitel sel berisi Acidophilic Inclusion Bodies atau dapat juga
dilakukan pengecatan dengan pewarnaan imunofluoresen, sehingga terlihat antigen virus intrasel.
Isolasi virus dapat dilakukan dengan menggunakan fibroblast pada embrio manusia. Bahan
diambil

dari

kerokan

dasar

vesikel,

kadang-kadang

ada

darah.

Antibodi terhadap varicella dapat dideteksi dengan pemeriksaan Complemen Fixation Test,
Neurailization

Test,

FAMA,

IAHA,

dan

ELISA.

Pengobatan
Meskipun vidarabine dan interferon- telah digunakan pada terapi infeksi VZV yang berat,
asiklovir tetaplah merupakan obat pilihan. Asiklovir lebih efektif pada infeksi VZV yang berat
jika diberikan secara intravena dalam 24 jam setelah timbul ruam. Terapi asiklovir oral dari anak
sehat dengan chickenpox sebaiknya dipertimbangkan , terutama pada remaja dan kontak dengan
orang rumah secara sekunder, meskipun keuntunggannya tetap ada. Dikarenakan strain resisten
asiklovor pada pasiein dengan AIDS, foscaranet harus dipertimbangkan untuk infeksi berat
dalam keadaan ini.
Untuk herpes zoster, obat pilihan adalah famciclovir dan valacyclovir. Terapi awal dari zoster
telah menunjukkan untuk memperpendek perjalan penyakit kutaneus dan menurunkan durasi
serta keparahan post herpetil neuralgia. Steorid topikal juga dapat berguna pada uveitis herpetik
dan keratitis. Zoster yang sangat nyeri dapat diterapi dengan kompres basah dan analgesik yang
menganduk kodein. Gabapentin, analog struktural neurotransmitter gamma-aminobutyric acid,
berguna dalam mengatasi postherpetic neuralgia. Antihistamin dapat berguna untuk
menyingkirkan

rasa

gatal

varisella

pada

anak-anak.

Untuk mengurangi rasa gatal dan mencegah penggarukan, sebaiknya kulit dikompres dingin.

Bisa juga dioleskan losyen kalamin, antihistamin atau losyen lainnya yang mengandung mentol
atau

fenol.

Untuk mengurangi resiko terjadinya infeksi bakteri, sebaiknya: kulit dicuci sesering mungkin
dengan ait dan sabun, menjaga kebersihan tangan, kuku dipotong pendek, pakaian tetap kering
dan

bersih.

Kadang diberikan obat untuk mengurangi gatal (antihistamin). Jika terjadi infeksi bakteri,
diberikan antibiotik. Jika kasusnya berat, bisa diberikan obat anti-virus

asiklovir.

Untuk menurunkan demam, sebaiknya gunakan asetaminofen, jangan aspirin. Karena aspirin
dapat memberikan efek samping yang buruk pada anak-anak Obat anti-virus boleh diberikan
kepada anak yang berusia lebih dari 2 tahun. Asiklovir biasanya diberikan kepada remaja, karena
pada remaja penyakit ini lebih berat. Asikloir bisa mengurangi beratnya penyakit jika diberikan
dalam

wakatu

24

jam

setelah

munculnya

ruam

yang

pertama.

Resistensi Anti-Herpes
Penemuan dan pengembangan antivirus yang efektif dan aman untuk mengobati infeksi virus
pada manusia, masih terus menjadi tantangan bagi dunia medis dan farmasi. Berbeda dengan
antibiotika, pengembangan antivirus terkesan lamban atau slow motion. Di saat antibiotika telah
banyak berhasil ditemukan, baik golongan maupun derivat baru, antivirus yang berhasil
ditemukan masih bisa dihitung dengan jari. Itu pun tidak bisa benar-benar menyembuhkan
infeksi virus.
Khusus untuk infeksi herpes, pengembangan medikamentosanya dimulai oleh suatu babak yang
cukup menakjubkan dunia medis. Tepat pada 1978, kehadiran antivirus pertama (asiklovir) untuk
infeksi virus herpes cukup fenomenal. Pasalnya, obat ini tampil sebagai antivirus yang cukup
selektif membantai musuhnya dan tidak mengganggu sel normal di sekitarnya. Momentum ini
disusul 2 tahun kemudian oleh penemuan senyawa yang masih terkait secara struktural dengan
asiklovir, yakni pensiklovir. Layaknya asiklovir, pensiklovir juga merupakan penghambat
potensial dan selektif banyak virus herpes pada manusia. Keduanya merupakan analog dari
nukleusida deoksiguanosin.
Sejak itu, upaya pencarian dan pengembangan anti herpes terus dilakukan. Sayangnya, tak satu
pun kelas antivirus baru yang ditemukan. Pengembangan hanya berhasil dilakukan, sebatas pada

perbaikan profil farmakokinetika kedua antivirus yang ada. Yakni, penemuan prodrug dari
asiklovir (valasiklovir) dan pensiklovir (famsiklovir). Generasi baru yang disahkan pertengahan
1990 ini, memang memiliki profil bioavailabilitas oral yang lebih baik ketimbang pendahulunya.
Mekanisme Kerja
Secara garis besar, asiklovir dan pensiklovir memiliki mekanisme antivirus yang sama dalam
melawan HSV. Keduanya, secara selektif diposforilasi oleh thymidine kinase (TK) hanya dalam
sel yang terinfeksi virus. Posforilasi lebih lanjut oleh enzim seluler mengacu pada produksi
asiklovir atau pensiklovir triposfat. Setelah itu keduanya berkompetisi dengan natural nucleotide
(dGTP), sehingga bisa menghambat DNA polymerase virus. Penggabungan analog triposfat pada
rantai

DNA

tadi,

akan

mencegah

perpanjangan

rantai

DNA

lebih

lanjut.

Meski demikian, beberapa studi telah mengamati ada perbedaan pada kerja kedua obat tersebut.
Pensiklovir ternyata memiliki afinitas yang lebih tinggi terhadap HSV TK ketimbang asiklovir,
makanya kadar pensiklovir triposfat pada sel terinfeksi lebih tinggi dibandingkan asiklovir
triposfat. Pensiklovir triposfat juga lebih stabil ketimbang asiklovir triposfat pada sel terinfeksi,
sehingga waktu paruh intraselulernya lebih lama sekitar 10-20 kali lipat. Selain itu, HSV DNA
polymerase tampak memiliki afinitas yang lebih tinggi terhadap asiklovir triposfat. Dalam
beraksi, asiklovir triposfat lebih bertindak sebagai suatu obligate DNA chain terminator.
Sedangkan pensiklovir triposfat bertindak membatasi perpanjangan rantai DNA (short-chain
terminator) dengan memperbaiki gugus 3-hidroksil pada sisi rantai asikliknya.
Semua mekanisme tersebut terjadi terutama pada sel terinfeksi dan terbatas pada sel normal.
Posforilasi asiklovir atau pensiklovir ditemukan minimal pada sel yang tidak terinfeksi. Tak
hanya itu, afinitas celluler DNA polymerase juga jauh lebih rendah terhadap antivirus triposfat
ketimbang HSV DNA polymerase. Hal ini merefleksikan bagaimana selektifnya aksi dari
asiklovir, pensiklovir, dan prodrug keduanya. Alhasil profil keamanan obat ini cukup baik.
Penggunaan Klinis
Pemberian oral asiklovir, valasiklovir, dan famsiklovir ditujukan untuk pengobatan episode
pertama infeksi HSV genital, infeksi HSV genital berulang, herpes zoster, dan sebagai terapi
supresif mencegah kekambuhan HSV genital. Ketiganya juga biasa diresepkan untuk mengobati
mucocutaneous herpesvirus infection pada immunocompromised patient. Sedangkan formulasi

intravena asiklovir diberikan pada pasien HSV atau varicella-zoster virus (VZV) parah, termasuk
ensefalitis dan herpes neonatus.
Selain secara oral dan intravena, pemberian topikal ternyata juga cukup membantu. Formulasi
topikal pensiklovir dan asiklovir efektif pada pasien herpes labialis berulang. Salep asiklovir
yang telah disahkan FDA sejak 15 tahun silam, diindikasikan untuk tatalaksana awal infeksi
genital dan infeksi mucocutaneous HSV tertentu pada immunocompromised patient. Belakangan
ini juga telah ada formulasi okular dari asiklovir.
Penggunaan klinis asiklovir secara luas tersebut tak lepas dari profil keamanannya yang cukup
baik. Khusus untuk famsiklovir, meski pengalaman klinisnya lebih pendek, namun profil
keamanannya sama dengan plasebo. Asiklovir, pensiklovir, dan prodrug-nya juga digunakan
secara luas, karena dikenal aman dan efektif mengobati infeksi virus herpes pada populasi
immunocompetent

dan

immunocompromised.

Resistensi Masih Stabil


Hampir tiga abad, asiklovir dan pensiklovir terus menjadi tumpuan harapan penderita infeksi
herpes di seluruh dunia. Penggunaan analog nukleusida untuk infeksi HSV dan VZV meningkat
secara cepat selama satu dekade silam, dari 75.000 kg pada 1990 hingga 332.000 kg pada 2000.
Di Amerika Serikat saja, penjualannya terhitung 54% dari total volume pada 2000.
Anehnya, meskipun distribusi analog nukelusida ini melebihi 2,3 106 kg, namun prevalensi
resistensi asiklovir pada isolat virus herpes simpleks dari immunocompetent host masih jarang
(0,1-0,7%), stabil sekitar 0,3%. Sedangkan pada pasien immunocompromised yang berisiko
lebih tinggi mengalami resistensi, prevalensi resistensi asiklovir dijumpai memang lebih besar.
Namun, lagi-lagi prevalensi virus resisten tetap stabil, biasanya berkisar 4 7%. Jadi meskipun
ada peningkatan yang progresif dalam penggunaan kedua obat ini, namun belum ditemukan
bukti ada peningkatan resistensi asiklovir.
Hal tersebut berbeda dengan fakta yang ditemukan pada penggunaan antibiotika. Pemberian
antibiotika yang tidak tepat dan berlebihan berkontribusi dalam timbulnya dan penyebaran
bakteri resisten antibiotika. Kejadian serupa juga menimpa antivirus dari infeksi virus lainnya.
Misalnya saja, penggunaan zidovudine pada infeksi human immunodeficiency virus (HIV) telah

mengarah pada kegagalan pengobatan dan transmisi virus resisten. Mutan resisten juga dijumpai
pada hingga 30 % anak dan dewasa yang diobati untuk influenza akut A dengan amantadine atau
rimantadine, dan mutan terus meningkat pada 2-3 hari awal terapi.
Sebuah program survei dan uji klinis akhirnya mencoba menguak misteri resistensi asiklovir dan
pensiklovir selama 20 tahun terakhir. Program ini dilakukan dengan mengumpulkan ribuan isolat
HSV dari seluruh dunia. Akhirnya, ada dua hal penting yang ditemukan dalam program ini.
Pertama, prevalensi HSV resisten terhadap asiklovir lebih tinggi pada immunocompromised
parah ketimbang pasien immunocompetent. Kedua, tidak ada bukti terjadi peningkatan
peningkatan prevalensi HSV resisten baik pada populasi immunocompromised maupun
immunocompetent selama periode ini.
Bagaimana sebenarnya mekanisme resistensi virus terhadap asiklovir dan pensiklovir, masih
belum begitu jelas. Namun diduga TK dan DNA polymerase virus, berhubungan erat dengan
mekanisme resistensi asiklovir dan pensiklovir. Saat ini, telah berhasil diidentifikasi tiga kelas
berbeda dari mutan TK resisten asiklovir, yakni mutan TK-negative (TKN), TK-partial (TKP),
dan TK-altered (TKA). Mutan TKN merupakan mutan yang kurang aktivitas TK-nya. Sementara
mutan TKA adalah mutan spesifik terhadap substrat yang menposforilasi timidin, tapi tidak
terhadap asiklovir atau pensiklovir. Sekitar 95 -96% isolat HSV resiten asiklovir adalah TK
deficient (TKN atau TKP), dan sisanya TKA. Mutan yang merubah DNA polymerase juga telah
diidentifikasi,

namun

jarang

dilaporkan.

Faktor Pengaruh Muncul dan Menyebarnya Resistensi


HSV resisten bisa berkembang secara spontan yang mencerminkan populasi HSV memiliki
kemampuan berubah secara alami. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya HSV resisten
asiklovir pada pasien yang tidak pernah menerima obat ini. Meski demikian, resistensi yang
diperoleh sangat jarang dijumpai pada populasi normal dan hampir semua kasus ditemukan pada
pasien immunocompromised parah. Kasus infeksi primer oleh HSV resiten juga saat jarang.
Hingga kini hanya satu laporan yang menyatakan kemungkinan terjadi transmisi HSV resisten
asiklovir.

Seperti yang telah diuraikan diatas, penggunaan yang ekstensif selama hampir 3 dekade hanya
berdampak minimal terhadap prevalensi menyeluruh dari HSV resisten pada populasi di seluruh
dunia. Beberapa faktor baik dari virus, tuan rumah (host), dan antivirus itu sendiri turut terlibat
sehingga resistensi yang ditemukan masih jarang.
Dari segi HSV sendiri, mutan HSV resisten asiklovir diduga kurang dahsyat ketimbang virus
tipe liar lainnya, dalam hal virulensi dan kemampuan aktif kembali dari masa laten dan replikasi
di perifer. Hal ini akan mengurangi kemungkinan untuk transmisi. Di samping itu infeksi HSV,
terutama infeksi HSV-1, memiliki waktu generasi yang relatif lama (waktu antara mulai infeksi
pada satu orang dengan transmisi selanjutnya pada orang lain). Oleh karena itu dinamika
perubahan fenotipe HSV dalam populasi lebih lambat ketimbang virus lain yang siap
bertransmisi semisal influenza.
Selain itu, infeksi HSV bersifat lama atau abadi, dan infeksi dengan multiple strain dari HSV-1
atau HSV-2 jarang terjadi. Akibatnya, kemungkinan superinfeksi dengan galur resisten eksogen
pada seseorang yang pernah terinfeksi dengan suatu galur HSV sensitif jarang terjadi, kecuali
pada individu immunocompetent. Demikian juga jika virus resisten muncul selama kekambuhan,
maka virus tersebut tampaknya tidak cenderung menjadi laten. Faktor lain yang membuat
resistensi HSV rendah adalah kemungkinan HSV lebih rendah mengalami eror dan akumulasi
selama replikasi virus ketimbang RNA virus.
Sementara dari segi tuan rumah (host) yang berperan, adalah kesatuan respon imun yang
berdampak penting terhadap keparahan infeksi dan risiko resistensi. Infeksi primer atau
kekambuhan herpes genital atau labialis pada immunocompetent host biasanya berakhir hanya
dalam beberapa hari dan tetap terlokalisasi. Di samping itu, HSV dikeluarkan secara cepat oleh
sistem imun, sehingga sangat terbatas terjadinya pemilihan virus resisten pada individu yang
diobati. Pada pasien dengan herpes labialis berulang, misalnya, virus dibersihkan dari lesi dalam
4-5 hari. Sistem imum juga akan bisa membersihkan virus rsisten seefektif virus sensitif. Jadi
pada pasien immunocompetent, HSV resisten biasanya hanya singgah sebentar atau tidak
menetap.

Sedangkan dari segi obat antiviral, dipertimbangkan ada dua faktor. Pertama, sebagian besar dari
mutan yang resisten dengan asiklovir dan pensiklovir telah mengalami pengurangan patogenitas
terkait dengan defisiensi TK. Kedua, penekanan yang selektif dari pengobatan dengan asiklovir
atau

pensiklovir.

Strategi Tatalaksana
Pemberian profilaksi antivirus sangat efektif menurunkan risiko infeksi HSV pada pasien dengan
immunosuppression parah, semisal pasien yang menjalani transplantasi sumsum tulang dan
kemoterapi yang intensif. Biasanya insiden infeksi HSV simptomatik berkurang dari 70% hingga
5-20%. Alhasil terapi profilaksis antivirus memiliki potensi lebih rendah berkembang menjadi
resisten ketimbang terapi akut.
Untuk pasien yang sakit parah, pemberian asiklovir intravena efektifdengan dosis 5 mg/kg setiap
12 jam. Risiko infeksi juga berkurang sangat baik pada pemberian oral; asiklovir 400 mg tiga
kali sehari; valasiklovir 500 mg dua kali sehari; famciclovir 500 mg dua atau tiga kali sehari.
Terapi profilaksis ini tidak disahkan oleh FDA untuk pasien immunocompromised.
Asiklovir intravena (5 [atau 10] mg/kg [atau 250 mg/m2] tiga kali sehari) diindikasikan untuk
pasien dengan penyakit yang ekstensif, termasuk semua infeksi sistemik. Pengobatan harus
diteruskan sampai terbukti infeksi telah sembuh. Terapi oral tambahan bisa dipertimbangkan
sampai terjadi penyembuhan komplit. Untuk pasien dengan infeksi HSV ringan sampai sedang,
pemberian terapi oral saja cukup efektif. Dan, pemberian oral prodrug valasiklovir dan
famsiklovir lebih menguntungkan karena profil farmakokinetiknya lebih baik. Meski demikian
harganya

lebih

mahal

dan

asiklovir

adalah

bisa

ditemukan

pada

pilihan

termurah.

Komplikasi
Adapun

komplikasi

yang
Pneumonia

cacar

karena

jantung

Peradangan

sendi

Peradangan

Infeksi

bakteri

(erisipelas,

adalah:
virus

Peradangan

air

hati
pioderma,

impetigo

bulosa)

Ensefalitis

(infeksi

otak).

Prognosis
Dengan perawatan teliti dan memperhatikan higiene akan memberikan prognosis yang baik

dan

jaringan

parut

yang

timbul

akan

menjadi

sedikit.

Angka kematian pada anak normal di Amerika 5,4 7,5 dari 10.000 kasus varicella.
Pada neonatus dan anak yang menderita leukimia, immunodefisiensi, sering menimbulkan

komplikasi

dan

angka

kematian

yang

meningkat.

Angka kematian pada penderita yang mendapatkan pengobatan immunosupresif tanpa


mendapatkan vaksinasi dan pengobatan antivirus antar 7 27% dan sebagian besar penyebab
kematian

adalah

akibat

komplikasi

pneumonitis

dan

ensefalitis.

Pencegahan
Untuk mencegah cacar air diberikan suatu vaksin. Kepada orang yang belum pernah
mendapatkan vaksinasi cacar air dan memiliki resiko tinggi mengalami komplikasi (misalnya
penderita

gangguan

sistem

kekebalan),

bisa

diberikan

immunoglobulin

zoster

atau

immunoglobulin varicella-zoster. Vaksin varisela biasanya diberikan kepada anak yang berusia
12-18 bulan

Anda mungkin juga menyukai