Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit tidak
menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Penyebabnya
antara lain meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor
risiko, seperti faktor penjamu yang diduga berhubungan dengan PPOK; semakin
banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda; serta pencemaran
udara didalam ruangan maupun diluar ruangan dan di tempat kerja. Data Badan
Kesehatan Dunia (WHO), menunjukkan tahun 1990 PPOK menempati urutan ke-6
sebagai penyebab utama kematian didunia dan akan menempati urutan ke-3 setelah
penyakit kardiovaskular dan kanker (WHO, 2002). Diperkirakan jumlah pasien
PPOK sedang hingga berat Asia tahun 2006 mencapai 56,6 juta pasien dengan
prevalens 6,3%. Di Indonesia diperkirakan terdapat 4,8 juta pasien dengan prevalens
5,6%.
Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam
bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju.
Dari data SEAMIC Health Statistic 2001 influenza dan pneumonia merupakan
penyebab kematian nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di Brunei, nomor 7 di Malaysia,
nomor 3 di Singapura, nomor 6 di Thailand dan nomor 3 di Vietnam. Laporan WHO
1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di
dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk pneumonia dan influenza.
1.2 Tujuan Penulisan
-

Melengkapi syarat Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Rumah Sakit Umum

Daerah (RSUD) Solok tahun 2016.


Untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Bagian
Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi RSUD Solok tahun 2016.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik)
2.1.1 Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat
dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya
reversibel, bersifat progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap
partikel atau gas yang beracun/berbahaya, disertai efek ekstraparu yang berkontribusi
terhadap derajat berat penyakit.
2.1.2 Faktor Risiko
1. Asap rokok
Asap rokok mempunyai prevalens yang tinggi sebagai penyebab gejala
respirasi dan gangguan fungsi paru. Risiko PPOK pada perokok tergantung
dari dosis rokok yang dihisap, usia mulai merokok, jumlah batang rokok
pertahun dan lamanya merokok (Indeks Brikman). Tidak semua perokok
berkembang menjadi PPOK secara klinis, karena dipengaruhi oleh faktor
genetik setiap individu. Perokok pasif atau environmental tobacco smoke
(ETS) dapat memberi kontribusi terjadinya gejala respirasi dan PPOK.
2. Polusi udara
a. Polusi di dalam ruangan
- Asap rokok
- Asap kompor
b. Polusi di luar ruangan
- Gas buang kendaraan meokok
- Debu jalanan
c. Polusi di tempat kerja
- Bahan kimia
- Zat iritasi
- Gas beracun
3. Stres oksidatif
Paru selalu terpajan oleh oksidan endogen dan eksogen. Oksidan endogen
timbul dari sel fagosit dan tipe sel lainnya sedangkan oksidan eksogen dari
2

polutan dan asap rokok. Ketidakseimbangan antara oksidan dan anti oksidan
memegang peranan penting pada PPOK.
4. Infeksi saluran napas bawah berulang
Infeksi saluran napas berat pada anak akan menyebabkan penurunan fungsi
paru dan meningkatkan gejala respirasi saat dewasa.
5. Sosial ekonomi
Pajanan polusi di dalam dan luar rungan, pemukinan yang padat, nutrisi
yang jelek, dan faktor lain yang berhubungan dengan status sosial ekonomi
kemungkinan dapat menjelaskan hal ini.
6. Tumbuh kembang paru
Studi menyatakan bahwa berat lahir mempengaruhi nilai VEP1 pada masa
anak.
7. Asma
Pada laporan The Tuscon Epidemiological Study didapatkan bahwa orang
dengan asma 12 kali lebih tinggi risiko terkena PPOK.
8. Gen
Faktor risiko genetik yang paling sering terjadi adalah kekurangan 1antitrypsin sebagai inhibitor dari protease serin.
2.1.3 Patogenesa
Inflamasi saluran napas pasien PPOK merupakan amplifikasi dari respon
inflamai normal akibat iritasi kronik seperti asap rokok. Respon inflamasi abnormal
ini menyebabkan kerusakan jaringan parenkim yang mengakibatkan emfisema, dan
mengganggu mekanisme pertahanan yang mengakibatkan fibrosis saluran napas
kecil. Perubahan patologis menyebabkan udara terperankap dan keterbatasan aliran
udara yang bersifat progresif.
2.1.4 Klasifikasi
Tabel 2.1 Derajat PPOK
Derajat
Derajat I :

Klinis
Gejala batuk kronik dan produksi

Faal Paru
VEP1 / KVP < 70%

PPOK Ringan

sputum ada tetapi tidak sering.

VEP1 80% prediksi

Pada derajat ini pasien sering


tidak menyadari bahwa faal paru

Derajat II :

mulai menurun.
Gejala sesak mulai dirasakan saat

VEP1 / KVP < 70%

PPOK Sedang

aktivitas dan kadang ditemukan

50% < VEP1 < 80%

gejala batuk dan produksi

prediksi

sputum. Pada derajat ini biasanya


pasien mulai memeriksakan
Derajat III :

kesehatannya.
Gejala sesak lebih berat,

VEP1 / KVP < 70%

PPOK Berat

penurunan aktivitas, rasa lelah

30% < VEP1 < 50%

dan serangan eksaserbasi semakin prediksi


sering dan berdampak pada
Derajat IV :

kualitas hidup pasien.


Gejala diatas ditambah tanda-

VEP1 / KVP < 70%

PPOK Sangat Berat

tanda gagal napas atau gagal

VEP1 < 30% prediksi

jantung kanan dan

atau VEP1 < 50%

ketergantungan oksigen. Kualitas

prediksi disertai gagal

hidup pasien memburuk dan jika

napas.

eksaserbasi dapat mengancam


jiwa.
2.1.5 Diagnosis
a. Anamnesis
a. Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan
b. Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
c. Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
d. Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan
lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap
rokok dan polusi udara
e. Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
f. Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
b. Pemeriksaan fisis
4

PPOK dini umumnya tidak ada kelainan


a. Inspeksi
- Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal
-

sebanding)
Penggunaan otot bantu napas
Hipertropi otot bantu napas
Pelebaran sela iga
Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena

jugularis i leher dan edema tungkai


- Penampilan pink puffer atau blue bloater
b. Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
c. Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah
d. Auskultasi
- Suara napas vesikuler normal, atau melemah
- Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau
-

pada ekspirasi paksa


Ekspirasi memanjang
Bunyi jantung terdengar jauh

c. Pemeriksaan Rutin
a. Faal paru
Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP)
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau
VEP1/KVP ( % ).
- Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1%
(VEP1/KVP) < 75 %
- VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk
menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan,
APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif
dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari
20%.
Uji bronkodilator

- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada


gunakan APE meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE,
perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil

b. Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
c. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru
lain.
Pada emfisema terlihat gambaran :
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop
appearance)
Pada bronkitis kronik :
-

Normal
Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus

d. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)


1) Faal paru lengkap
- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF),
Kapasiti Paru Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat
- DLCO menurun pada emfisema
- Raw meningkat pada bronkitis kronik
- Sgaw meningkat
- Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
2) Uji latih kardiopulmoner
- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
3) Uji provokasi bronkus
4) Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
6

Gagal napas kronik stabil


- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
e. Radiologi
- CT - Scan resolusi tinggi
- Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat
emfisema atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos
- Scan ventilasi perfusi
Mengetahui fungsi respirasi paru
f. Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan
hipertrofi ventrikel kanan.
g. Ekokardiografi
Menilai funfsi jantung kanan
h. Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur
resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih
antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulng merupakan
penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.
i. Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada
usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.
2.1.6 PPOK Eksaserbasi Akut
Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan
dengan kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya
seperti polusi udara, kelelahan atau timbulnya komplikasi.
Gejala eksaserbasi :
- Sesak bertambah
- Produksi sputum meningkat
- Perubahan warna sputum
Eksaserbasi akut akan dibagi menjadi tiga :
a. Tipe (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas
b. Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas
c. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi
saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain,

peningkatan batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi


pernapasan > 20% baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline.
2.1.7 Diagnosis Banding
a.
b.
c.
d.
e.

Asma
SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis
Pneumotoraks
Gagal jantung kongestif
Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal : bronkiektasis,
destroyed lung.

2.1.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Edukasi
Berhenti merokok
Obat obatan
Rehabilitasi
Terapi oksigen
Ventilasi mekanik
Nutrisi

Obat-obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat
diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka
panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow
release ) atau obat berefek panjang ( long acting ).
Macam - macam bronkodilator :
- Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali
-

perhari).
Golongan agonis beta 2
8

Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah


penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai
obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek
panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi
eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang.
-

Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.


Kombinasi antikolinergik dan agonis beta 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek
bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang
berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana

dan mempermudah penderita.


Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka
panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa
atau puyer untuk mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan
bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.

b. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka
panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat
perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.
c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi.
d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering,
tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin
e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang
viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak
dianjurkan sebagai pemberian rutin.
f. Antitusif
9

Diberikan dengan hati hati


2.2 Pneumonia
2.2.1 Definisi
Secara kinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang
disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk. Sedangkan peradangan
paru yang disebabkan oleh nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan
toksik, obat-obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis.

2.2.2 Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu
bakteri, virus, jamur dan protozoa. Dari kepustakaan pneumonia komuniti yang
diderita oleh masyarakat luar negeri banyak disebabkan bakteri Gram positif,
sedangkan pneumonia di rumah sakit banyak disebabkan bakteri Gram negatif
sedangkan pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri anaerob. Akhir-akhir
ini laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang
ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri
Gram negatif.
2.2.3 Patogenesa
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroornagisme di paru.
Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi
ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat berkembang biak
dan menimbulkan penyakit. Resiko infeksi di paru sangat tergantung pada
kemampuan mikroorganisme untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran
napas. Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan :
1. Inokulasi langsung

10

2. Penyebaran melalui pembuluh darah


3. Inhalasi bahan aerosol
4. Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara Kolonisasi.
Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria
atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 -2,0 m melalui udara dapat
mencapai bronkus terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila
terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi
aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini
merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian
kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50 %) juga pada
keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse).
2.2.4 Klasifikasi
1. Berdasarkan klinis dan epideologis :
a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)
b. Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia / nosocomial
pneumonia)
c. Pneumonia aspirasi
d. Pneumonia pada penderita Immunocompromised
2. Berdasarkan bakteri penyebab
a. Pneumonia bakterial / tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa
bakteri mempunyai tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya
Klebsiella pada penderita alkoholik, Staphyllococcus pada penderita
pasca infeksi influenza.
b. Pneumonia atipikal, disebabkan

Mycoplasma,

Legionella

dan

Chlamydia
c. Pneumonia virus
d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi
terutama

pada

penderita

dengan

daya

tahan

lemah

(immunocompromised)
3. Berdasarkan predileksi infeksi
a. Pneumonia lobaris. Sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi
dan orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen

11

kemungkinan sekunder disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya :


pada aspirasi benda asing atau proses keganasan
b. Bronkopneumonia. Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada
lapangan paru. Dapat disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering
pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan

dengan obstruksi

bronkus
c. Pneumonia interstisial
2.2.5 Diagnosis
1. Gambaran klinis
a. Anamnesis
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh
meningkat dapat melebihi 40C, batuk dengan dahak mukoid atau purulen
kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada.
b. Pemeriksaan fisik
Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada inspeksi
dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa palpasi
fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara
napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah
halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi.
2. Pemeriksaan penunjang
a. Gambaran radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai
konsolidasi dengan " air broncogram", penyebab bronkogenik dan interstisial
serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan
penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi,
misalnya

gambaran

pneumonia

lobaris

tersering

disebabkan

oleh

Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan


infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela

12

pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas


kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus.
b. Pemeriksaan labolatorium
Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit,
biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada
hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan
LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak,
kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 20- 25% penderita
yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hikarbia,
pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.
2.2.6 Penatalaksanaan
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian antibiotik
pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji
kepekaannya, akan tetapi karena beberapa alasan yaitu :
1. penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
2. bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab
pneumonia.
3. hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu
maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris.
2.2.7 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi :
-

Efusi pleura.
Empiema.
Abses Paru.
Pneumotoraks.
Gagal napas.
Sepsis

13

BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama

: An. F

Umur

:12 tahun

Pekerjaan

: Siswa kelas 1 SMP

Alamat

: VI Suku

Nomor MR

: 022683

Tanggal masuk

: Sabtu, 29 Agustus 2016

3.2 Anamnesis
a. Keluhan Utama

: Demam sejak 3 hari yang lalu.

b. Riwayat Penyakit Sekarang :


- Demam sejak 3 hari yang lalu. Badan terasa panas saat pulang
sekolah, dirasakan terus menerus tidak

menurun hingga pasien

dibawa ke IGD rawatan tumbuh kembang, tidak disertai menggigil


dan kejang. Sebelumnya pasien dan keluarga tidak ada keluar kota
-

yang dicurigai endemik malaria.


Mual dan muntah sejak 1 hari yang lalu. Muntah sebanyak 2 kali,

berisi apa yang dimakan.


Kepala pusing, mafsu makan menurun seiring dengan munculnya

demam.
Batuk dan pilek tidak ada
Demam tidak disertai mimisan, gusi berdarah dan BAB hitam
tidak ada.

c. Riwayat Penyakit Dahulu :


- Riwayat kejang demam tidak ada
14

Riwayat demam berulang tidak ada


Riwayat penyakit lain atau pernah dirawat dalam waktu yang lama
tidak ada.

d. Riwayat Penyakit Keluarga :


- Di keluarga dan tetangga tidak ada yang menderita keluhan Demam
berdarah
e. Riwayat Kebiasaan dan kondisi lingkungan:
- Kebiasaan:
o Kebiasaan minum es tidak ada, suka main hujan dan main
-

kotor tidak ada.


Kondisi lingkugan:
o Menurut keluarga, lingkungan rumah terbilang bersih, kalengkaleng bekas tidak ada, genangan-genangan air tidak ada,
namun beberapa rumah dari rumah pasien banyak sawah dan
semak-semak.

3.3 Pemeriksaan Fisik


a. Pemeriksaan Fisik Umum
- Keadaan umum
: Tampak sakit sedang
- Kesadaran
: Compos mentis cooperatif
- Tekanan darah
: 100/60 mmHg
- Nadi
: 100 x/menit
- Napas
: 40 x/menit
- Suhu
: 39,6 C
- BB
: 30 kg
- TB
: 145 cm
b. Kepala dan Leher
- Konjungtiva
: hiperemis (+/+)
- Sklera
: ikterik (-/-)
- JVP
: 5-0 cmH2O
- KGB
: tidak ada pembesaran KGB
c. Paru
- Inspeksi

Bentuk dada normal (diameter transversal : AP = 2 : 1 )


Simetris kiri dan kanan pada keadaan statis dan dinamis

15

Palpasi

Fremitus taktil kiri dan kanan sama


Nyeri dada tidak ada
-

Perkusi

Sonor pada kedua lapang paru


-

Auskultasi :
Vesikuler, Wheezing (-/-) dan ronki (-/-)

d. Jantung
- Inspeksi
- Palpasi
-

RIC V
Perkusi
: Jantung dalam batas normal
Auskultasi : BJ I dan II reguler, bising (-), S3 gallop (-)

e. Abdomen
- Inspeksi
- Palpasi
-

: Ictus cordis tidak terlihat


: Ictus cordis teraba di linea midclavicularis sinistra

: Perut datar
: Nyeri tekan di epigastrium (+), hepar dan lien tidak

teraba.
Perkusi
: Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal

f. Ekstremitas
- Akral hangat, edema (-), sianosis (-)
- Torniquet (+) : Ptekie > 20 buah
3.4 Pemeriksaan Laboratorium
a.
b.
c.
d.

Hb
Hematokrit
Leukosit
Trombosit

: 10,2 g/dL
: 35 %
: 7.700 /mm3
: 130.800 /mm3

Kesimpulan : Ditemukan trombositopenia


3.5 Diagnosis Kerja

16

Demam Berdarah Dengue grade 1


3.6 Diagnosis Banding
3.7 Penatalaksanaan
a. Farmakoterapi
- IVFD RL 8 jam/kolf
- Paracetamol infuse 300 mg (di IGD) dan paracetamol tablet 3 x 500
mg (ruang rawat)
- Psidii 3x1 caps
- Ranitidine 2x1/2 ampul (25 mg)
- Ondansentron 2x1/2 ampul (2 mg)
b. Non Farmakoterapi
- Anjurkan anak tirah baring selama masih demam
- Kompres hangat du leher atau ketiak
- Perbanyak asupan cairan per oral: air putih, cairan elektrolit, jus buah
atau sirup. Tidak ada larangan untuk konsumsi makanan tertentu.
3.8 Pemeriksaan Anjuran
-

Tes IgG virus dengue

3.9 Follow Up
(Tabel 3.1)

17

Anda mungkin juga menyukai