Kasus
Kasus
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit tidak
menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Penyebabnya
antara lain meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor
risiko, seperti faktor penjamu yang diduga berhubungan dengan PPOK; semakin
banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda; serta pencemaran
udara didalam ruangan maupun diluar ruangan dan di tempat kerja. Data Badan
Kesehatan Dunia (WHO), menunjukkan tahun 1990 PPOK menempati urutan ke-6
sebagai penyebab utama kematian didunia dan akan menempati urutan ke-3 setelah
penyakit kardiovaskular dan kanker (WHO, 2002). Diperkirakan jumlah pasien
PPOK sedang hingga berat Asia tahun 2006 mencapai 56,6 juta pasien dengan
prevalens 6,3%. Di Indonesia diperkirakan terdapat 4,8 juta pasien dengan prevalens
5,6%.
Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam
bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju.
Dari data SEAMIC Health Statistic 2001 influenza dan pneumonia merupakan
penyebab kematian nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di Brunei, nomor 7 di Malaysia,
nomor 3 di Singapura, nomor 6 di Thailand dan nomor 3 di Vietnam. Laporan WHO
1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di
dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk pneumonia dan influenza.
1.2 Tujuan Penulisan
-
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik)
2.1.1 Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat
dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya
reversibel, bersifat progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap
partikel atau gas yang beracun/berbahaya, disertai efek ekstraparu yang berkontribusi
terhadap derajat berat penyakit.
2.1.2 Faktor Risiko
1. Asap rokok
Asap rokok mempunyai prevalens yang tinggi sebagai penyebab gejala
respirasi dan gangguan fungsi paru. Risiko PPOK pada perokok tergantung
dari dosis rokok yang dihisap, usia mulai merokok, jumlah batang rokok
pertahun dan lamanya merokok (Indeks Brikman). Tidak semua perokok
berkembang menjadi PPOK secara klinis, karena dipengaruhi oleh faktor
genetik setiap individu. Perokok pasif atau environmental tobacco smoke
(ETS) dapat memberi kontribusi terjadinya gejala respirasi dan PPOK.
2. Polusi udara
a. Polusi di dalam ruangan
- Asap rokok
- Asap kompor
b. Polusi di luar ruangan
- Gas buang kendaraan meokok
- Debu jalanan
c. Polusi di tempat kerja
- Bahan kimia
- Zat iritasi
- Gas beracun
3. Stres oksidatif
Paru selalu terpajan oleh oksidan endogen dan eksogen. Oksidan endogen
timbul dari sel fagosit dan tipe sel lainnya sedangkan oksidan eksogen dari
2
polutan dan asap rokok. Ketidakseimbangan antara oksidan dan anti oksidan
memegang peranan penting pada PPOK.
4. Infeksi saluran napas bawah berulang
Infeksi saluran napas berat pada anak akan menyebabkan penurunan fungsi
paru dan meningkatkan gejala respirasi saat dewasa.
5. Sosial ekonomi
Pajanan polusi di dalam dan luar rungan, pemukinan yang padat, nutrisi
yang jelek, dan faktor lain yang berhubungan dengan status sosial ekonomi
kemungkinan dapat menjelaskan hal ini.
6. Tumbuh kembang paru
Studi menyatakan bahwa berat lahir mempengaruhi nilai VEP1 pada masa
anak.
7. Asma
Pada laporan The Tuscon Epidemiological Study didapatkan bahwa orang
dengan asma 12 kali lebih tinggi risiko terkena PPOK.
8. Gen
Faktor risiko genetik yang paling sering terjadi adalah kekurangan 1antitrypsin sebagai inhibitor dari protease serin.
2.1.3 Patogenesa
Inflamasi saluran napas pasien PPOK merupakan amplifikasi dari respon
inflamai normal akibat iritasi kronik seperti asap rokok. Respon inflamasi abnormal
ini menyebabkan kerusakan jaringan parenkim yang mengakibatkan emfisema, dan
mengganggu mekanisme pertahanan yang mengakibatkan fibrosis saluran napas
kecil. Perubahan patologis menyebabkan udara terperankap dan keterbatasan aliran
udara yang bersifat progresif.
2.1.4 Klasifikasi
Tabel 2.1 Derajat PPOK
Derajat
Derajat I :
Klinis
Gejala batuk kronik dan produksi
Faal Paru
VEP1 / KVP < 70%
PPOK Ringan
Derajat II :
mulai menurun.
Gejala sesak mulai dirasakan saat
PPOK Sedang
prediksi
kesehatannya.
Gejala sesak lebih berat,
PPOK Berat
napas.
sebanding)
Penggunaan otot bantu napas
Hipertropi otot bantu napas
Pelebaran sela iga
Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena
c. Pemeriksaan Rutin
a. Faal paru
Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP)
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau
VEP1/KVP ( % ).
- Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1%
(VEP1/KVP) < 75 %
- VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk
menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan,
APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif
dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari
20%.
Uji bronkodilator
b. Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
c. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru
lain.
Pada emfisema terlihat gambaran :
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop
appearance)
Pada bronkitis kronik :
-
Normal
Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
Asma
SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis
Pneumotoraks
Gagal jantung kongestif
Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal : bronkiektasis,
destroyed lung.
2.1.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Edukasi
Berhenti merokok
Obat obatan
Rehabilitasi
Terapi oksigen
Ventilasi mekanik
Nutrisi
Obat-obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat
diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka
panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow
release ) atau obat berefek panjang ( long acting ).
Macam - macam bronkodilator :
- Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali
-
perhari).
Golongan agonis beta 2
8
b. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka
panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat
perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.
c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi.
d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering,
tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin
e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang
viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak
dianjurkan sebagai pemberian rutin.
f. Antitusif
9
2.2.2 Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu
bakteri, virus, jamur dan protozoa. Dari kepustakaan pneumonia komuniti yang
diderita oleh masyarakat luar negeri banyak disebabkan bakteri Gram positif,
sedangkan pneumonia di rumah sakit banyak disebabkan bakteri Gram negatif
sedangkan pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri anaerob. Akhir-akhir
ini laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang
ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri
Gram negatif.
2.2.3 Patogenesa
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroornagisme di paru.
Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi
ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat berkembang biak
dan menimbulkan penyakit. Resiko infeksi di paru sangat tergantung pada
kemampuan mikroorganisme untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran
napas. Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan :
1. Inokulasi langsung
10
Mycoplasma,
Legionella
dan
Chlamydia
c. Pneumonia virus
d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi
terutama
pada
penderita
dengan
daya
tahan
lemah
(immunocompromised)
3. Berdasarkan predileksi infeksi
a. Pneumonia lobaris. Sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi
dan orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen
11
dengan obstruksi
bronkus
c. Pneumonia interstisial
2.2.5 Diagnosis
1. Gambaran klinis
a. Anamnesis
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh
meningkat dapat melebihi 40C, batuk dengan dahak mukoid atau purulen
kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada.
b. Pemeriksaan fisik
Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada inspeksi
dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa palpasi
fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara
napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah
halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi.
2. Pemeriksaan penunjang
a. Gambaran radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai
konsolidasi dengan " air broncogram", penyebab bronkogenik dan interstisial
serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan
penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi,
misalnya
gambaran
pneumonia
lobaris
tersering
disebabkan
oleh
12
Efusi pleura.
Empiema.
Abses Paru.
Pneumotoraks.
Gagal napas.
Sepsis
13
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama
: An. F
Umur
:12 tahun
Pekerjaan
Alamat
: VI Suku
Nomor MR
: 022683
Tanggal masuk
3.2 Anamnesis
a. Keluhan Utama
demam.
Batuk dan pilek tidak ada
Demam tidak disertai mimisan, gusi berdarah dan BAB hitam
tidak ada.
15
Palpasi
Perkusi
Auskultasi :
Vesikuler, Wheezing (-/-) dan ronki (-/-)
d. Jantung
- Inspeksi
- Palpasi
-
RIC V
Perkusi
: Jantung dalam batas normal
Auskultasi : BJ I dan II reguler, bising (-), S3 gallop (-)
e. Abdomen
- Inspeksi
- Palpasi
-
: Perut datar
: Nyeri tekan di epigastrium (+), hepar dan lien tidak
teraba.
Perkusi
: Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
f. Ekstremitas
- Akral hangat, edema (-), sianosis (-)
- Torniquet (+) : Ptekie > 20 buah
3.4 Pemeriksaan Laboratorium
a.
b.
c.
d.
Hb
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
: 10,2 g/dL
: 35 %
: 7.700 /mm3
: 130.800 /mm3
16
3.9 Follow Up
(Tabel 3.1)
17