Anda di halaman 1dari 10

Gagasan Frithjof Schuon

tentang Titik-Temu Agama-Agama


Adnin Armas MA

Pendahuluan
Salah satu sumber faham pluralism agama yang kini berkembang dalam wacana pemikiran keislaman
adalah gagasan Frithjof Schuon tentang titik temu agama-agama. Gagasan ini berangkat dari asumsi
bahwa sekalipun dogma, hokum, moral, ritual agama berbeda, namun nun jauh di kedalaman masingmasing agama, masih ada apa yang ia sebut a common ground. Kesamaan asas ini olehnya disebut
dengan Religio Perennis (Agama Abadi). Untuk sampai pada kesimpulan ini Schuon menempuh
perjalanan intelektual dan spiritual yang panjang. Apa yang melatarbelakangi ide agama abadi
pada diri Schuon, di bawah ini akan dipaparkan dengan mengelaborasi epistemologi dan ontologi
pemikirannya.

Asal Usul Gagasan


Istilah Religio Perennis (Agama Abadi) digunakan pertama kali oleh Frithjof Schuon. Ia
menggunakannya di dalam karya Regards sur les mondes anciens (Cahaya tentang Alam Kuno).1
Namun konsep di dalam istilah itu sendiri bukanlah baru. Sebelumnya, Ananda Kentish Coomaraswamy
(m. 1947) dan Ren Gunon (m. 1951), sudah meberi istilah yang mirip dengan itu dengan maksud
yang sama. Coomaraswamy menggunakan istilah Philosuphia Perennis (Filsafat Abadi)2 dan Gunon
menggunakan istilah Primordial Tradition (Tradisi Primodial). Tampaknya gagasan Schuon tentang
Agama Abadi hanya mengelaborasi gagasan atau ide Coomaraswamy dan Gunon.
Secara terminologis, istilah Filsafat Abadi digunakan untu k pertama kalinya di Barat oleh Agustinus
Steuchus dalam karyanya Mengenai Filsafat Abadi (De perenni philosophia), diterbitkan tahun
1540. Karya ini diperkenalkan oleh Leibniz di dalam suratnya tahun 1715. Tetapi, gagasan mengenai
Filsafat Abadi tenggelam di dalam peradaban Barat, akibat dari dominasi filsafat keduniawian,3
suatu filsafat yang dibangun berdasarkan pandangan hidup secular-liberal-ultraliberal. Filsafat inilah
yang kemudian menghasilkan berbagai macam aliran pemikiran seperti empirisisme, rasionalisme,
humanism, eksistensialisme, materialism, skeptisisme, relativisme, dan agnotisme.
Karena dominasi pandangan hidup selular liberal-ultraliberal itu maka nilai-nilai yang ada pada tradisi
1

2
3

Karya Fithjof Schuon dalam bahasa Perancis tersebut diterbitkan oleh Editions Traditionnelles, Paris (1965). Diterjemahkan
ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan oleh Perennial Books, London (1965). Diterbitkan kembali tahun 1984 oleh World
Wisdom Books, Bloomington, Indianapolis. Schuon menulis juga sebuah buku berjudul Mengenai Jejak-Jejak Agama Abadi
(Sur les trances de la Religion prenne) yang diterbitkan pada tahun 1982.
Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science (New York: State University of New York, 1993), hlm 53-54., selanjutnya diringkas Sacred Science.
Frithjof Schuon, Islam and the Perennial Philosophy (World of Islam Festival Publishing Company, Ltd, 1976), hlm vii.

dan agama-agama menjadi terpinggirkan atau bahkan dibongkar. Ren Descartes, bapak filsafat
modern dengan prinsip aku berfikir maka aku ada (cogito ergo sum) telah menjadikan rasio sebagai
satu-satunya criteria untuk mengukur kebenaran. Wahyu dan Intelek dalam struktur epistemology
terpinggirkan. Wahyu dan Intelek semakin terpojokan dengan filsafat Immanuel Kant. Bagi Kant,
manusia hanya mengetahui yang phenomena bukan yang noumena. Intelek tidak mendapat tempat
dalam struktur epistemologi Kant. Sekularisasi epistemologi semakin bergulir dengan munculnya
filsafat Hegel dan Marx yang menganggap realitas sebagai perubahan yang dialektis.4 Akhirnya,
sekularisasi epistemologi masuk juga dalam ruang lingkup agama. Hasilnya, tidak ada lagi yang
sebenarnya sacral, abadi dan universal. Semuanya manusiawi belaka.
Oleh karena latar belakang pemikiran Barat yang sedemikian itulah maka pada awal abad 20,
Coomaraswamy (m.1947) dan Gunon (m.1951) menawarkan gagasan alterbatif. Alternatif itu adalah
menghidupkan kembali nilai-nilai, hikmah, kebenaran abadi yang ada pada tradisi dan agama-agama.
Nilai-nilai tradisi itu mereka sebut filsafat abadi (philosophia perennis). Istilah lain yang sinonim
dengannya adalah hikmah abadi (Sophia perennis, al-ikmah al-khlidah, sanata darma), agama
abadi (religio perennis), agama hikmah (religio cordis, al-din al-anf) dan sains sacral (scientia
sacra). Semua istilah ini memiliki maksud yang sama yaitu menolak pandangan hidup filsafat modern
yang relativistik, positivistik, dan rasionalistik.5
Dari sekedar membaca sepintas gagasan Gunon dan Schuon ini orang bisa segera berkesimpulan
bahwa pemikiran yang kedua dipengaruhi oleh yang pertama. Tapi kesimpulan ini ternyata didukung
oleh suatu bukti bahwa mereka telah berkorespondensi selama 20 tahun. Tapi darimanakah Rene
Gunon mempunyai pemikiran seperti itu? Gunon yang dilahirkan pada 15 November 1886 di
Blois, Perancis, itu ternyata banyak dipengaruhi oleh pemikiran Gerard Encausse. Ia adalah seorang
tokoh pendiri Mayarakat Teosofi (Theosophical Society) di Perancis sekaligus tokoh Freemason,
yang mistis. Di sekolan Encausse, Gunon lebih intensif dalam kajiaannya tentang hal-hal mistis
(occult studies). Di sekolah ini pula Gunon berkenalan dengan sejumlah tokoh Freemason, teosofi
dan berbagai gerakan spiritual yang lain. Ketertarikan Gunon terhadap aktivitas gerakan teosofi
ini memang menonjol. Hal ini tampak ketika ia aktif menggelar berbagai kongres, seminar, diskusi
dan aktivitas tentang mistis dan Freemason di Perancis. Ringkasnya, Freemansori merupakan minat
Gunon yang terbesar sepanjang hidupnya (Gunon great interests throughout his life).6 Hal ini
tentunya bukan tanpa alas an. Bagi Gunon, Freemason adalah wadah dari hikmah tradisional yang
luas dan kaya dalam simbolisme dan ritual. Gunon juga yakin bahwa Freemason adalah cara terbaik
untuk menjaga banyak aspek agama Kristen yang telah hilang dan terabaikan.7
Dalam sejarahnya Gunon kemudian memeluk Islam pada tahun 19128 dengan mengubah namanya
menjadi Abdul Wahid Yahya. Pandangannya tidak terlalu banyak berubah setelah ia memeluk Islam.
Ia berpendapat bahwa ilmu yang utama sebenarnya adalah ilmu spiritual. Meski pun ilmu-ilmu lain
harus tetap dicari, namun ia hanya akan bermakna dan bermanfaat jika dikaitkan dengan ilmu spiritual.
Menurut Gunon, substansi ilmu spiritual bersumber dari supranatural dan transenden. Ilmu tersebut
adalah universal. Oleh sebab itu, ilmu tersebut tidak dibatasi oleh suatu kelompok agama tertentu.
Ia adalah milik bersama semua Tradisi Primordial (Primordial Tradition). Perbedaan teknis yang
terjadi merupakan jalan dan cara yang berbeda untuk merealisasikan Kebenaran. Perbedaan tersebut
menurutnya, sah-sah saja karena setiap agama memiliki kontribusinya yang unik untuk memahami
Realitas Akhir.9
4
5
6
7
8
9

Adnan Aslan, Religious Pluralism in Christian and Islamic Philosophy: The Thought of John Hick and Seyyed Hossein Nasr
(Richmond Surrey: Curzon Press, 1998), hlm 120-121, sekanjutnya diringkas Religious Pluralism.
Frithjof Schuon banyak mengkritik pandangan hidup filsafat modern. Lihat berbagai kritiknya di dalam, The Essential Writings of Frithjof Schuon, Editor Seyyed Hossein Nasr (New York: Amity House Inc., 1986), 486-522, selanjutnya diringkas The
Essential Writings.
Robin Waterfield, Rene Gunon and the Future of the West: The Life and Writings of a 20th century metaphysician (Crucible,
1987), hlm 36, selanjutnya diringkas Rene Gunon.
Ibid., hlm 130-131
Pietro Nutrizio di dalam Rene Gunon, The Lord of the World, Terj. Dari Le Roi du Monde (North Yorkshire: Coombe Springs
Press, 1983), hlm 69.
Robin Waterfield, Rene Gunon, hlm 126.

Pengaruh pengalaman spiritual Rene Gunon yang aktif dalam gerakan teosofi dan Freemason
itu terhadap Schuon perlu dikaji lebih mendetail. Namun pengaruh itu dapat dibuktikan dari
kesimpulannya bahwa semua agama memiliki kebenaran dan bersatu pada level Kebenaran. Tapi
sebelum mengetahui gagasannya lebih detail ada baiknya kita telusuri juga secara singkat latar
belakang Schuon dan pemikirannya.

Latar Belakang Schuon


Schuon lahir di Basel, Swiss pada 18 Juni 1907. Ayahnya, keturunan Jerman, ibunya dari ras Alastia.
Waktu Schuon kecil, ia tinggal dan sekolah di Basel. Setelah ayahnya meninggal, ibunya membawa
Schuon dan saudaranya kembali ke rumah keluarganya di Mulhouse, Perancis. Selanjutnya, ia menjadi
penduduk warga Negara Perancis. Pindahnya Schuon ke Mulhouse menyebabkannya sejak dini sudah
menguasai dua bahasa; Jerman dan Perancis. Di Mulhouse, berbagai karya klasik dari Timur seperti
Upanishad, Bhagavad-Gita dan Seribu Satu Malam sudah menarik perhatiannya. Selain itu, gagasan
Plato dan Rene Gunon ikut member dampak yang sangat mendalam dalam pemikiran Schuon.
Setelah menjalani wajib militer di tentara Perancis selama setahun setengah, Schuon pergi ke
Paris. Di sana, selain bekerja sebagai seorang desainer tekstil, ia juga mulai belajar bahasa Arab di
sebuah masjid. Pada tahun 1932 ia berkunjung ke Aljazair dan Afrika Utara untuk pertama kalinya.
Kunjungan tersebut membawa kesan yang mendalam kepada dirinya, sebab di sana ia mulai tertarik
dengan sufisme. Ia menjadi murid kepada seorang tokoh sufi di sana yaitu Shaykh al-Alawi (18691934).10 Tiga tahun setelah itu, ia berkunjung lagi untuk yang kedua kalinya ke negara di Afrika
Utara itu, yakni Aljazair dan Maroko. Pada tahun 1938, ia melakukan perjalanan ke India. Dalam
perjalanan itu ia singgah di Kairo dan di situ ia bertemu dengan Gunon, yang sebelumnya ia kenal
lewat korespondensi.
Pada tahun 1939, ketika Schuon baru tiba di India, Perang Dunia meletus. Ini menyababkannya harus
kembali ke Perancis. Setelah beberapa bulan, tentara Jerman menangkap dan memenjarakannya.
Ketika ia mengetahui rencana tentara Jerman untuk mererutnya sebagai tentara Jerman karena ras
ibunya adalah Alsatia, ia mencari suaka politik ke Swiss. Ia mendapat status sebagai warga negara
Swiss dan menetap di sana selama 40 tahun.11 Pada tahun 1949, saat itu usianya 42 tahun, Schuon
melangsungkan perkawinannya di Lausanne. Istrinya keturunan Swiss-Jerman dan seorang pelukis.
Schuon banyak menulis berbagai karyanya di Lausanne. Pada tahun 1959 dan empat tahun setelah
itu, Schuon dan istrinya berkunjung ke Amerika Barat atas undangan teman-temannya dari suku
Indian Sioux dan Crow. Dengan ditemani suku Indian tersebut Schuon beserta istrinya mengunjungi
berbagai suku Indian yang lain sekaligus tempat dan tradisi suci mereka. Bukan hanya itu, Schuon
dan istrinya diangkat menjadi keluarga James Red Cloud dari suku Sioux pada tahun 1959. Beberapa
tahun kemudian, Schuon dan istrinya diangkat menjadi keluarga kepada suku Crow. Schuon
melukiskan dan merefleksikan pengamatannya terhadap suku-suku Indian tersebut di dalam bukunya
berjudul The Feather Sun: Plains Indians in Art and Philosophy (1990). Pada tahun 1980, Schuon
dan istrinya beremigrasi ke Amerika Serikat. Ia menetap di Indiana dan aktif menulis sampai akhir
hayatnya. Ia meninggal di Bloomington pada tahun 1998.
Frithjof Schuon dikabarkan pula telah masuk Islam dan dikenal dengan nama Isa Nuruddin Ahmad
al-Shadhili al-Darquwi al-Alawi al-Maryami. Kapan ia masuk Islam, tidak banyak informasi
mengenainya. Jika membaca nama barunya dapat diduga bahwa ia masuk Islam ketika ia berada di
Alljazair melalui guru sufinya.
Dari perjalanan hidup dan intelektualnya yang panjang itu Schuon kemudian dikenal sebagai seorang
tokoh terkemuka dalam filsafat abadi dan metafisika tradisional. Pemikirannya dipuji dan dipuja,
diamini dan diikuti oleh para intelektual bertaraf internasional dan lintas agama. Dalam karyanya
10
11

Mengenai biografi lebih lanjut dari Shaikh Ahmad al-Alawi, lihat Martin Lings, A Moslem Saint of the Twentieth Century,
Shaikh Ahmad al-Alawi: His Spiritual Heritage and Legacy (London: George Allen & Unwin Ltd, 1961).
Seyyeid Hossein Nasr, The Essential Writings, hlm 51-52.

yang mencapai 20 buku lebih itu ia kembali menegaskan prinsip-prinsip metafisika tradisional,
mengeksplorasi dimensi-dimensi esoteris agama, menembus bentuk-bentuk mitologis dan agama
serta mengkritik modernitas. Schuon mengangkat perbedaan antara dimensi-dimensi trasisi agama
ekesoteris dan esoteris sekaligus menyingkap titik temu metafisik semua agama-agama ortodoks. Ia
mengungkapkan konsep Satu-satunya Realitas Akhir, Yang Mutlak, Yang Tidak Terbatas dan Maha
Sempurna. Ia menyeru supaya manusia dekat kepada-Nya.
Ringkasnya Schuon kemudian menjadi guru spiritual Seyyed Hossein Nasr. Bukan hanya itu, gagasan
Schuon ini malah dipuji habis oleh Seyyed Hossein Nasr dengan pujian yang berlebihan. Karyakarya Schuon, kata Nasr, adalah bagaikan hadiah dari langit... (The works of Schuon are like a gift
from Heaven...).12 S.H Nasr menganggap kualitas yang ada pada karya-karya Schuon tidak terdapat
pada karya orang lain dan ia adalah seorang figur yang terhebat dalam aliran ini (Nowhere in the
combination of those qualitis more clearly observable than in the works of Schuon, who is certainly
the greates figure of this school in the field of religion).13 Oleh sebab itu Nasr mengenggap Schuon
memiliki otoritas yang paling tinggi dalam metafisika tradisional dan filsafat abadi saat ini. 14
Pujian S.H. Nasr yang seperti itu diikuti oleh T.S. Eliot, seorang sastrawan terkemuka. Ia menulis:
Saya tidak menemukan karya lain yang lebih mengesankan tentang kajian perbandingan agama Timur
dan Barat.15 Dengan nama yang sama Huston Smith, seorang professor dalam bidang perbandingan
agama mengatakan bahwa: dia memberi makan jiwa saya, yang tidak bisa dilakukan penulis lain
yang masih hidup. Dia legenda hidup. Sauri teladan zaman. Saya tahu tidak ada pemikir lain yang
masih hidup mampu menandinginya.

Epistemologi Schuon
Gagasan agama abadi Schuon juga berdasarkan epistemologinya yang ia bangun sendiri. Teorinya
yang terpenting dalam epistemologinya adalah tentang intelek (Intellect). Beginya dimensi eksoterik
dan esoterik yang inheren dalam agama berasal dari dan diketahui melalui intelek. Konsep ini tidak
diambil dari Gunon, tetapi dari Meister Eckhart, seorang tokoh pemikir Kristen. Teorinya adalah
sebagai berikut: secara psikologis, ego manusia terkait dengan badan (body), otak (brain) dan hati
(heart). Jika badan diasosiasikan sebagai eksistensi fisik, otak dengan fikiran (mind), maka hati
(heart) dikaitkan dengan intelek. Jika dikaitkan dengan realitas, maka intelek dapat diasosiasikan
dengan esensi Tuhan (Yang Satu) dan langit (alam yang menjadi model dasar), sedangkan fikiran dan
badan meliputi dunia fisik, terrestrial. Intelek sangat penting karena otak dan badan berada di bawah
kendali, dan berasal dari intelek.16
Intelek adalah pusat manusia (the centre of human being), yang bersemayam di dalam hati. Kualifikasi
intelektual harus didampingi dengan kualifikasi moral. Jika tidak, maka secara spiritual, intelek tidak
akan berfungsi. Hubungan antara intelektualitas dan spiritualitas adalah bagaikan hubungan antara
pusat dan pinggiran. Intelektualitas menjadi spiritualitas ketika manusia sepenuhnya (bukan sebagai
intelektualitasnya saja) hidup di dalam kebenaran.17
Intelek lebih tinggi dari rasio karena jika rasio itu menyimpulkan sesuatu berdasarkan kepada data,
maka mental berfungsi karena eksistensi intelek. Rasio hanyalah media untuk menunjukan jalan
12
13
14
15
16
17

Ibid., hlm 16.


Nasr, Sacred Science, hlm 63.
Seyyeid Hossein Nasr dan Katherine OBrien (Editor), In Quest of the Sacred: The Modern World in the Light of Tradition
(Washington: The Foundation for Traditional Studies, 1994), hlm 5. Lihat juga pujian Nasr kepada Schuon, sebagaimana yang
ditulis oleh Adnan Aslan, Religious Pluralism, hlm 16-17.
T.S. Eliot menulis: I have met with no more impressive work in the comprative study of Oriental dan Occidental religions.
Lihat Frithjof Schuon, The Transcendent Unity of Religions (Wheaton: Theosophical Publishing House, 1984), hlm ix. Selanjutnya diringaks The Transcendent.
Frithjof Schuon, Gnosis: Divine Wisdome, Pen. G. E. H. Palmer (Midlesex: Perennial Books Ltd, 1900), hlm 78-79. Selanjutnya diringkas Gnosis.
Frithjof Schuon, Spiritual Perspectives & Human Facts, Pen. P. N. Townsend (Midlesex: Perennial Books Limited, 1987).
Selanjutnya diringkas Spiritual Perspectives.

kepada orang buta, bukan untuk melihat. Sedangkan intelek, dengan bantuan rasio, terungkap dengan
sendirinya secara pasti. Selain itu, intelek dapat menggunakan rasio untuk mendukung aktualitasnya.18
Di dunia fisik, intelek terbagi menjadi fikrian (mind) dan badan (body). Namun, hanya di dunia fisik
intelek terbagi. Di alam langit yang menjadi model dasar, atau di dalam Ide Plato, fikiran dan badan
merupakan makna yang tidak dibedakan: fikiran adalah eksistensi dan eksistensi adalah fikiran.19
Karena ia adalah model dasar (Archetype) intelek itu berasal dari alam langit, maka dalam hubungannya
dengan eksistensi duniawi intelek menjadi transenden. Dalam tingkatan wujud (being), intelek
terpresentasikan di dalam 3 aspek fundamental; intelek ketuhanan (divine intellect), intelek kosmos
(cosmic intellect), dan intelek manusia (human intellect). Intelek ketuhanan ialah cahaya murni
(pure light). Artinya ia adalah ilmu Tuhan (divine knowledge) sebagaimana adanya. Intelek kosmos
berhubungan dengan Tuhan. Refleksi dari ilmu Tuhan berada di dalam intelek kosmos. Manusia
menyerap cahaya melalui intelek kosmos. Intelek manusia adalah sebuah cermin yang memantulkan
tingkat-tingkat cahaya ketuhanan dan kosmod di dalam kaitannya dengan jiwa individu manusia yang
berada di dunia terestrial. Ketika menjadi intelek kosmos dan intelek manusia, ia menjadi terbatas
karena dunia kosmos dan manusia adalah ciptaan (makhlq). Pada masa yang sama, cahaya atau
ilmu Tuhan muncul pada semua level. Konsekuensinya, intelek manusia pun ikut serta dalam sesuatu
yang tidak diciptakan dan tidak terbatas. Bagaimanapun, aspek dan intelek yang diciptakan hanyalah
aksidental, sementara aspeknya yang substansial tidak terbatas. Pada tingkatan kosmos dan manusia,
inteke memiliki identitas yang inheren dengan intelek ketuhanan. Aspek ketuhanan inilah yang
mendefiniskan intelek, bukan aspek yang terbatas. Di dalam aspek yang tidak diciptakan, intelek
adalah intelek Tuhan.20
Menurut Schuon, intelek manusia adalah ambigu. Pada satu sisi ia bersifat ketuhanan. Pada sisi yang
lain ia bersifat manusiawi. Intelek manusia inheren di dalam intelek ketuhanan. Dalam kehidupan
duniawi (mundane existence), secara ontologis, hati merupakan pusat kehidupan. Ini menunjukan
secara potensi manusia adalah inkarnasi dari ilmu Tuhan karena manusia dapat melangkah keluar
dari eksistensi yang diciptakan ini melalui intelek yang tidak diciptakan (uncreated intellect). Intelek
manusia menggabungkan eksistensi fikiran dan badan yang terpisah, kepada sebuah kesatuan wujud
murni (pure being) yaitu Tuhan.21
Manusia memahami kebenaran melalui intuisi. Sebagai sebuah daya, intelek adalah dasar bagi intuisi.
Intuisi intelek membedakan antara yang real dan ilusi, antara wujud yang wajib dan wujud yang
mungkin. Implikasinya, ada realitas transenden di luar dunia bentuk.22
Jadi, dengan intelek, manusia mengetahui bahwa realitas dapat dibagi menjadi dua, Absolut dan
relatif, Riel dan ilusi, Yang Harus dan mungkin, yang esoteris dan eksoteris. Menurut Schuon, agamaagama bertemu pada level yang esoteris, bukan eksoteris, sebagaimana akan dipaparkan lebih lanjut.
Namun perlu kiranya dikemukakan bahwa gagasan Schuon tentang intelek terlalu berlebihan. Dalam
pemikiran Schuon, intelek, pada akhirnya bisa independen dari wahyu dan bahkan lebih tinggi dari
wahyu.23 Pendapat seperti ini tidaklah tepat. Sekalipun intelek mungkin bisa mengetahui bahwa
Tuhan itu ada, namun itu saja tidak cukup. Mengakui eksistensi-Nya tidak cukup tanpa diikuti dengan
menuruti perintah-Nya. Ibilis pun mengakui eksistensi-Nya, namun tidak mengakui perintah-Nya.
Perintah-Nya bukan diketahui melalui intelek, nemun melalui wahyu yang diturunkan-Nya. Sebagai
seorang Muslim keengganan Schuon untuk bertitik tolak dari wahyu perlu dipertanyakan. Sebab
18
19
20
21
22
23

Frithjof Schuon, Sufism: Veil and Quintessense, Pen. William Stoddart (Bloomington: World Wisdom Books, 1981), hlm 26.
Selanjutnya diringkas Sufism
Frithjof Schuon, Gnosis, hlm 78-79.
Ibid., hlm 66.
Ibid., hlm 82.
Frithjof Schuon, To Have a Center (Bloomington: World Wisdom Books, 1990), hlm 55.
Mengomentari gagasan Schuon tentang intelek, Huston Smith menempatkan intelek lebih tinggi dari wahyu. Lihat skema
yang dibuat Huston Smith di dalam Religion of the Heart: Essays Presented to Frithjof Schuon on His Eightieth Birthday, Editor Seyyed Hossein Nasr dan Willian Stoddart (Washington DC: Foundation for Traditional Studies, 1991), hlm 290.

wahyu adalah medium formal komunikasi Tuhan dengan makhluk-Nya, dan melalui petunjuk wahyu
lah intelek manusia bisa sampai kepada Tuhan. Selain itu gagasan-gagasannya tentang kesatuan
agama-agama pada level esoteris, nampaknya Schuon nampaknya kesulitan meletakkan posisi wahyu
yang dimiliki tiap-tiap agama. Sebab dalam wahyu, dalam hal ini Islam, aspek esoterik dan eksoterik
tidak dapat dipisahkan, yang pertama adalah jalan untuk menuju kepada yang kedua.

Konsep Eksoterisme24
Dalam pandangan Schuon, eksoteris adalah aspek eksternal, formal, hukum, dogmatis, ritual, etika,
dan moral sebuah agama. Eksoteris berada sepenuhnya dalam Maya, kosmos yang tercipta. Dalam
pandangan eksoteris, Tuhan dipersepsikan sebagai Pencipta dan Pembuat Hukum bukan Tuhan
sebagai Esensi karena eksoterisme berada dalam Maya, yang relatif dalam hubungannya dengan
Atma. Pandangan eksoteris bermakna pandangan yang eksklusif, absolut dan total, sekalipun dari
sudut pandang intelek adalah relatif.
Menurut Schuon, pandangan eksoteris, bukan saja benar dan sah bahkan juga keharusan mutlak bagi
keselamatan (solvation) individu. Meskipun demikian, kebenaran eksoteris adalah relatif.25 Inti dari
eksoteris adalah kepercayaan kepada huruf sebuah dogma eksklusifistik (formalistik)dan
kepatuhan terhadap hukum ritual dan moral. Selain itu, eksoterisme tidak pernah akan melampaui
individu. Eksoterisme bukan muncul dari esoterisme, namun muncul dari Tuhan.26
Schuon menyadari jika masing-masing form agama meyakini bahwa sesuatu form itu lebih hebat
dibanding dengan form yang lain. Pemikiran semacam itu, lanjut Schuon, sangat wajar. Perpindahan
agama justru terjadi karena adanya superioritas sebuah form terhadap yang lain, namun superioritas
tersebut sebenarnya relatif. Menurut Schuon, Islam misalnya, lebih baik dari Hindu karena memuat
bentuk terakhir dari Sanata Dharma. Schuon mengatakah: Sama halnya, bahwa Agama Hindu
adalah form yang paling tua yang masih hidup, mengimplikasikan bahwa agama tersebut memiliki
superioritas tertentu atau sentralitas dibanding dengan bentuk yang terakhir (Islam).27
Pendapat Schuon mengenai eksoterisme di atas masih perlu dipertanyakan. Sebab implikasi dari
konsep eksoterisme itu tadi adalah bahwa di dalam sesuatu agama tidak boleh ada truth-claim, karena
banyak jalan menuju keselamatan. Masing-masing agama adalah benar karena setiap form adalah
relatif dan terbatas. Jadi, jika logika Schuon diikuti maka agama apapun tidak akan ada yang sempurna
karena relativitas dan keterbatasan form-nya. Implikasi lebih jauh lagi agama-agama yang relatif
itu tidak dapat sempurna kecuali dengan eksoterisme agama lain.
Ini jelas pendapat yang salah dan tidak dapat diaplikasikan kepada Islam. Sebab risalah Islam
yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw mampu eksis dan menjalankan fungsinya tanpa agama
lain. Kesempurnaan Islam tidak tergantung pada eksistensi agama-agama sebelumnya, yang dalam
perjalana sejarahnya telah mengalami banyak perubahan. Tapi Islam justru meluruskan penyimpangan
yang dilakukan oleh pemeluk agama-agama tersebut. Artinya aspek-aspek eksoteris dan esoteris
agama-agama itu bukan lagi bersumber dari Tuhan, tapi telah termanusiawikan. Demikian juga
kesempurnaan Islam bukan klaim pengikutnya tapi dari wahyu sendiri (al-Midah: 3). Jadi Islam
agama yang universal secara eksoteris dan esoteris, oleh sebab itu sebenarnya kebenaran Islam tidak
hanya dapat diterima oleh para pemeluknya saja tapi juga oleh seluruh ummat manusia. Rasulullah

24
25
26
27

Secara etimologis, kata eksoterisme berasal dari bahasa Yunani kuno (-: ek dan -: terikos). Artinya sesuatu yang di
luar, bentuk eksternal dan dapat dimengeti oleh publik, bukan oleh segelintir kelompok.
Schuon, The Transcendent, hlm 15.
Schuon, Spiritual Perspective, hlm 79-80.
Schuon mengatakan: ...similarly, the fact that Hinduism is the most ancient of the living religious forms implies that it posseses a certain superiority or centrality with respect to later forms. There is not, of course, any contradiction here, since the
standpoint is different in the two cases. Lihat Frithjof Schuon, The Transcendent, hlm 36.

Saw adalah Nabi yang diutus Allah untuk seluruh manusia (al-Arf: 158).

Konsep Esoterisme28
Esoteris adalah aspek metafisis dan dimensi internal agama. Tanpa esoterisme, agama akan teredusir
menjadi sekedar aspek-aspek eksternal dan dogmatis-formalistik. Eksoterisme dan eksoterisme
saling melengkapi. Esoterisme bagaikan hati dan eksoteris bagaikan badan agama. Kehidupan
beragama yang eksoteris ada pada dunia bentuk (a world of forms), namun ia bersumber dari Esensi
yang Tak Berbentuk (the formless Essence) yang esoteris. Dimensi esoteris agama-agama itu berada
di atas dimensi eksoteris dan pada dimensi esoteris itulah menurut Schuon terdapat titik temu agamaagama.29
Melalui esoterisme, manusia akan menemukan dirinya yang benar. Alasannya karena pandangan
esoteris akan mengesampingkan ego manusia dan menggantikannya denga ego yang diwarnai dengan
nilai-nilai ketuhanan.30 Sementara eksoterisme terbatas pada individu esoterisme menembus simbolsimbol eksoterisme. Jadi esoterisme itu terkait secara inheren dengan eksoterisme, namun esoterisme
independen dari aspek eksternal, bentuk, formal agama.31 Independensi tersebut karena esensi
dari esoterisme adalah kebenaran total. Kebenaran yang tidak terbatas dan tidak teredusir kepada
eksoterisme, yang memiliki keterbatasan itu.32
Dalam membangun dikotomi esoteris-eksoteris Schuon mencari justifikasi dari ajaran tasawuf.
Menurutnya, para sufi itu mengekspresikan pandangan metafisika mereka dengan benar, indah
dan baik.33 Esensi dan hakikat pandangan metafisika tasawuf yang diambil Schuon adalah konsep
wadatul wujd.34 Makna wadatul wujd yang difahami oleh para sufi yang sahih sebenarnya bukan
dalam konteks agama, dan bukan pula berarti pantheisme, tapi dalam konteks hirarki wujd, di
mana Allah difahami sebagai Wujud Akhir yang Absolut (al-Wujd al-Akhr al-Mulaq) sedangkan
selain Allah adalah wujud yang nisbi. Namun, pemahaman hirarki wujud tersebut diarahakan oleh
Schuon kepada wujud agama-agama, di mana semua agama dianggap nisbi dan hanya Allah saja
yang absolut. Seandainya Islam pun dianggap sebagai wujud nisbi, itupun tidak benar. Sebab di
dalam Islam terdapat aspek-aspek yang mutlak dan relatif.
Jika Schuon benar-benar mengambil pandangan para Sufi, maka semestinya pemikirannya pada level
esoteris tidak akan bertentangan dengan level eksoteris. Keduanya seharunya seiring dan sejalan.
Marifat dan hakikat harus sejalan dengan tarekat dan syariat. Para sufi adalah orang-orang yang hidup
dan teguh mengerjakan perintah dan larangan Allah (baca: Syariat) pada tingkat isn. Meskipun
pada tingkatan ini mereka dapat mencapai marifat, tapi sedetik pun mereka tidak akan meninggalkan
syariat. Dalam Islam jelas sekali Tuhan telah memberi petunjuk kepada manusia jalan-jalan (arqat)
untuk menuju marifat dan hakikat. Juga memberi petunjuk pelaksanaan berbagai aspek eksoteris
untuk dapat mencapai yang esoteris melalui wahyu. Jika syariat dianggap sebagai masih pada level
eksoteris yang relatif dan terbatas, bagaimana dengan syariat itu mereka dapat mencapai hakikat
pada level esoteris yang absolut. Bagaimana halnya dengan agama-agama yang pada aspek eksoteris
hanya berdasarkan pada spekulasi spiritual tanpa bantuan wahyu, atau spekulasi spiritual yang hanya
berdasarkan mitologi dan budaya.

Metafisika Schuon
Untuk lebih jelas lagi hubungan antara eksoteris dan esoteris ada baiknya kita lacak pandangan
28
29
30
31
32
33
34

Secara etimologis, esoteris berasal dari bahasa Yunani Kuno: : eis dan .: terikos. Artinya, merujuk kepada sesuatu
yang internal, hanya dapat dimengerti oleh orang-orang tertentu. Lawan kata dari eksoteris.
Nasr, The Essential Writings, hlm 15.
Schuon, Gnosis, hlm 70-71
Schuon, Sufism, hlm 32.
Nasr, The Essential Writings, hlm 90-91.
Schuon, Sufism, hlm 42.
Schuon, Spiritual Perspectives, hlm 87.

metafisika Schuon. Dalam pandangan Schuon, metafisika bukan sekedar ilmu yang mempelajari di
luar fisika, sebagaimana definisi yang biasanya dikemukakan di dalam filsafat. Metafisika menurut
Schuon adalah ilmu tentang Realita Terakhir (Science of Ultimemate Reality).35 Namun dalam melihat
keseluruhan realitas yang ada ini ia menerapkan prinsip dualisme: Absolut dan Relatif. Yang Absolut
adalah Tuhan dan yang relatif adalah selain Tuhan.
Dalam prinsip dualisme ini ia mencoba mengkaitkan antara Absolut dan relatif. Bagi Schuon, Yang
Absolut selalu mengimplikasikan yang relatif, dan dapat diketahui melalui yang relatif. Yang Absolut
itu adalah Atma. Atma adalah Esensi Tuhan, yaitu, Tuhan di dalam dirinya (God in Himself). Atma
adalah di luar apa pun. Tabiat dari Atma (Diri) adalah berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Dari
hasil komunikasi ini muncul Manifestasi, atau maya. Manifestasi tersebut berupa, Personal God,
Kata (Logos) dan alam semesta (universe).36 Dia memiliki 3 sifat: kemutlakan (absoluteness),
ketidakterbatasan (infinitude), dan kebaikan yang sempurna (perfect goodness). Esensi yang bersifat
absolut artinya bahwa Dia ada dengan sendirinya dan dengan secara total (it is solely Itself and totally
itself). Esensi dan infinite artinya bahwa Dia mencakup segala sesuatu dan tidak dibatasi oleh apapun.
Yang Mutlak dan Yang Tidak Terbatas tidak dapat difahami tanpa satu dengan yang lain. Kedua sifat
tersebut saling berhubungan secara intrinsik. Esensi yang bersifat Maha Baik (the Sovereign Good),
adalah merupakan substansi mendasar dari Yang Mutlak dan Yang Tidak Terbatas. Namun, dalam
Essensi tidak ada perbedaan antara Yang Mutlak, Yang Tidak Terbatas, dan Maha Baik. Masingmasing tetap riel di dalam watak yang interinsik.37
Jadi yang dimaksud Schuon dengan Atma bukan Tuhan yang personal tetapi esensi atau zat Tuhan
atau Godhead, dalam istilah Huston Smith. Dan Tuhan ini diketahui melalui intelek. Ia berada di
atas iman dan wahyu. Sedangkan Maya maksudnya adalah manifestasi dari Atma yang personal,
Pencipta dan Pembuat Hukum. Artinya Personal God adalah relatif kepada Esensi tetapi absolut
kepada alam semesta yang Ia ciptakan. Tuhan sebagai Person inilah Tuhan yang dipersepsikan oleh
tingkat keberagamaan eksoteris. Dia dipersepsikan secara eksklusif oleh sebuah agama.38 Tuhan
sebagai Esensi adalah Tuhan yang dipersepsikan pada tingkat esoteris, dan ini, dalam pandangan
Schuon melintasi batas-batas agama. Inilah dasar teori dari apa yang ia sebut dengan Transcendent
Unity of Religions.
Seperti disebutkan di atas bahwa Schuon merujuk Tuhan dengan sebutan Esensi. Dalam kaitannya
dengan prinsip ini Schuon memperkenalkan prinsip bahwa agama-agama di dunia ini memahami
Tuhan sebagai Esensi pada level esoteris dan bukan pada level eksoteris. Dalam Islam esensi yang
disebutkan Schuon itu sebenarnya bukan Ilh. Iblis juga memahami Tuhan sebagai Esensi, bukan
sebagai Ilh. Jadi mengetahui Tuhan sebagai Esensi tidak berarti mengetahui-Nya sebagai Ilh. Dan
sudah tentu memahami-Nya hanya sebagai Esensi saja akan salah, jika tidak diikuti dengan pemahaman
sebagai Ilh. Memahami Tuhan sebagai Ilh berarti tidak menyekutukan-Nya dan tunduk kepadaNya dengan cara, metode, jalan dan bentuk yang dipersetujui oleh-Nya seperti yang ditunjukkan
oleh para rasul yang telah diutus-Nya. Jika hanya mengakui-Nya namun mengingkari cara, metode,
jalan dan bentuk yang dipersetujui-Nya, maka seseorang itu akan disebut kfir karena ia tidak benarbenar berserah diri kepada-Nya. Iblis yang mempercayai Tuhan yang satu, mengakui-Nya sebagai
pencipta alam semesta, masih juga disebut kfir disebabkan pengingkaran kepada perintah-Nya.39
Jadi, memahami dan mengakui Tuhan harus dengan mengikuti perintah, bentuk cara, jalan-Nya.

35
36
37
38
39

Nasr, The Essential Writings, hlm 27.


Mohammed Auwais Rafudeen, Frithjof Schuon and Problematic of Mystical Experience (Capetown: University of Capetown,
disertasi doktoral, 1999), hlm 118. Selanjutnya disingkat Mystical Experience.
Frithjof Schuon, From the Divine to the Human; Survey of Metaphysic and Epistemology, Pen. Gustavo Polit dan Deborah
Lambert (Bloomington: World Wisdom Books, 1992), hlm 35-37.
Muhammad Auwais Rafudeen, Mystical Experience, hlm 122.
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prologomena to the Metaphysic of Islam: An Exposition of the Fundamental Elements of
the Worldview of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), hlm 8. Selanjutnya diringkas Prologomena.

Selain itu, hanya dengan melalui perintah, bentuk cara, jalan-Nya maka Kebenaran akan diketahui.

Kesimpulan
Pemikiran Schuon tentang titik temu agama-agama pada level esoteris secara konseptual masih
bermasalah. Sebab pada tingkatan esoteris pin terdapat perbedaan mendasar antara Islam dengan
agama-agama lain. Pemikiran Schuon ini nampaknya didorong oleh suatu motif agar antara agamaagama yang ada di dunia tidak terjadi pertentangan. Tapi teorinya cenderung membenarkan semua
agama. Pembenaran itu bukan berdasarkan pada sesuatu yang divine, wahyu, tapi pada intelek. Padahal
Islam adalah agama yang mengajarkan kesalahan yang terdapat pada agama-agama sebelumnya.
Kesalahan yang ada pada agama selain Islam, bukan hanya diketahui dari ajaran Islam, namun dapat
juga diketahui juga dari historisitas berbagai agama tersebut. Dari kalangan agamawan Yahudi dan
Kristen, misalnya kita dapati kritik-kritik terhadap aspek-aspek Eksoterisme dan Esoterisme agama
mereka secara sangat tajam dan akurat.40 Ini menunjukan bahwa kesalahan yang ditunjukkan alQuran tentang agama itu adalah self-evident. Inti dari kritik-kritik itu berkaitan dengan sesuatu
yang sangat mendasar sekali, yakni tentang kitab suci. Persoalan apakah kitab suci kedua agama
Yuhdi-Kristen itu merupakan benar-benar firman Tuhan atau telah diubah oleh pikiran manusia yang
relatif, sangat menonjol. Hal ini juga telah disinggung dalam al-Quran dengan jelas bahwa: Mereka
mengubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka melupakan sebagian dari apa yang
merela telah diperingatkan dengannya.41
Selain itu, titik temu antar agama juga tidak terjadi pada level esoteris karena masing-masing agama
memiliki konsep Tuhan yang eksklusif atau berbeda satu sama lain pada level esoteris. Pemikiran
Schuon mengenai titik-temu agama-agama adalah merupakan produk dari pengalamannya ketika
terlibat dalam kehidupan agama-agama. Namun perlu diingat bahwa pengalaman itu bukanlah agama
itu sendiri karena pengalaman seperti itu tidak dapat diturunkan kepada masyarakat dan seluruh
manusia, namun hanya diraih oleh elit tertentu dalam setiap agama. Jadi, kesatuan transenden
(transcendent unity), seperti itu tidak dapat disebut sebagai agama, namun hanya merupakan
pengalaman keagamaan (religious experience).42 Jadi konsepnya boleh diubah menjadi transcendent
unity of religious experience.
Oleh sebab itu, gagasan Schuon tentang titik temu agama-agama pada level esoteris adalah utopia.
Level tersebut melampuai tingkat pengalaman keagamaan masyarakat umum. Ini jelas bukan
maksud agama yang diturunkan untuk ummat. Agama Islam adalah bukan untuk elit tertentu, namun
untuk ummat. Bahkan bukan saja untuk ummat Islam, namun untuk seluruh umat manusia.

40

41
42

Lihat Robert L. Wilson, Sociological Approaches to the Old Testament (Philadelphia: Fortress Press, 1984). Lihat pembahasan
Muhammad Mustafa al-Azami mengenai pendapat para sarjana Yahudi-Kristen mengenai Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru dalam The History of the Quranic Text from Revelation to Compilation: A Comparative Study with the Old and New
Testament (Leichester: UK Islamic Academy, 2003), hlm 211-299. Untuk melihat masalah lebih detil dan mendalam mengenai
sejumlah permasalahan mendasar dalam Perjanjian Baru, lihat karya Bruce M. Metzger, seorang pakar Perjanjian Baru dalam
The Text of the New Testament: Its Transmission, Corruption and Restoration (Oxford: Oxford University Press, 1968, edisi
kedua). Begitu juga karyanya yang lain seperti A Textual Commentary on the Greek New Testament (Stuttgart: United Bible
Societies, 1971) dan The Canon of the New Testament: Its Origin, Development and Significance (Oxford: Oxford University
Press, 1987. Selain karya-karya tersebut, masih banyak karya lain yang mengkritisi otentisitas Bibel sebagaimana ditunjukan
oleh pendekatan kritis-historis. Lihat juga misalinya karya Edgard Krentz, The Historical-Critical Method (Philadelphia: Fortness Press, 1975.
al-Quran surah al-Midah (5):13. Lihat juga surah yang lain seperti: al-Baqarah (2:75); al-Nis (4:46); dan al-Midah
(5:41).
al-Attas, Prologomena, hlm 8.

Anda mungkin juga menyukai