TOPIK : XEROPTHALMIA
Penulis :
Fransiska Kartika
030.11.108
Pembimbing :
dr. H. Liliek Isyoto Yahmo, Sp.M
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME, karena atas berkatNya penulis dapat menyelesaikan tugas referat dalam kepaniteraan klinik Ilmu
Kesehatan Mata RSUD DR. Kardinah Tegal mengenai Xeropthalmia.
Fransiska Kartika
03011108
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................................i
LEMBAR PERSETUJUAN....................................................................................ii
KATA PENGANTAR.............................................................................................iii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iv
BAB 1
BAB 2
JOURNAL READING........................................................................19
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................27
BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA: Xeropthalmia
1.1 Definisi
Xerophtalmia adalah kelainan pada mata akibat kekurangan vitamin A.
Pada keadaan ini termasuk terjadinya kelainan anatomi bola mata dan
gangguan fungsi sel retina yang dapat berakibat kebutaan. Xerophtalmia
berasal dari bahasa Latin
1.3 Epidemiologi
Kurang Vitamin A (KVA) masih merupakan masalah yang tersebar di
seluruh dunia terutama di negara berkembang seperti Indonesia dan dapat
terjadi pada semua umur terutama pada masa pertumbuhan. Hasil survei
menunjukkan kasus defisiensi vitamin A subklinis masih tinggi yang
ditunjukkan lebih dari 50 persen balita mempunyai kadar retinol serum < 20
mcg/dl. Data terbaru menunjukkan masih ditemukan kasus xeropthalmia 0,13
persen dan indeks retinol serum 14,6 persen, serta terjadi penurunan cakupan
suplementasi vitamin A secara nasional.3
Adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan
tahun 1997, dimana terjadi peningkatan kasus gizi buruk di berbagai daerah
mengakibatkan masalah KVA muncul kembali. Sampai saat ini masalah KVA
di Indonesia masih membutuhkan perhatian yang serius. Data laporan baik
dari SP2TP (Sistem Pencatatan dan Pelaporan Tingkat Puskesmas) maupun
data dari survei tidak mendukung, karena selama ini kasus xeroftalmia tidak
dilaporkan secara khusus dan dianggap sudah bukan menjadi prioritas masalah
kesehatan di Indonesia.4
1.4 Faktor Risiko
Faktor resiko terjadinya xeroftalmia dapat dipengaruhi oleh tiga faktor berikut
(Depkes RI, 2007):1
1. Faktor Sosial budaya dan lingkungan dan pelayanan kesehatan
a. Ketersediaan pangan sumber vitamin A
b. Pola makan dan cara makan
c. Adanya paceklik atau rawan pangan
d. Adanya tabu atau pantangan terhadap makanan tertentu terutama yang
merupakan sumber Vit A.
e. Cakupan imunisasi, angka kesakitan dan angka kematian karena
penyakit campak dan diare
f. Sarana pelayanan kesehatan yang sulit dijangkau
- Pada keadaan ringan, sel batang retina sulit beradaptasi di ruang yang
remang-remang setelah lama berada di cahaya terang
- Penglihatan menurun pada senja hari, dimana penderita tak dapat melihat
di lingkungan yang kurang cahaya, sehingga disebut rabun senja.
Untuk mendeteksi apakah anak menderita rabun senja denga cara :
a) Bila anak sudah dapat berjalan, anak tersebut akan membentur/
menabrak
benda didepannya, karena tidak dapat melihat.
b) Bila anak belum dapat berjalan, agak sulit untuk mengatakan anak
tersebut rabun senja. Dalam keadaan ini biasanya anak diam memojok bila
didudukkan ditempat kurang cahaya.
2. XIA
: Xerosis konjungtiva
: Xerosis kornea
5. X3
Gambar 5. X3A
X3B
Tanda-tanda :
- Kornea melunak seperti bubur dan dapat terjadi ulkus.
- Tahap X3A : bila kelainan mengenai kurang dari 1/3 permukaan kornea.
- Tahap X3B : Bila kelainan mengenai semua atau lebih dari 1/3
permukaan kornea.
- Keadaan umum penderita sangat buruk.
- Pada tahap ini dapat terjadi perforasi kornea (kornea pecah)
Keratomalasia dan tukak kornea dapat berakhir dengan perforasi dan
prolaps jaringan isi bola mata dan membentuk cacat tetap yang dapat
menyebabkan kebutaan. Keadaan umum yang cepat memburuk dapat
mengakibatkan keratomalasia dan ulkus kornea tanpa harus melalui tahaptahap awal xeroftalmia.
6. XS
atau jaringan parut. Penderita menjadi buta yang sudah tidak dapat
disembuhkan walaupun dengan operasi cangkok kornea.
7. XF
: Fundus xeroftalmia
tanda-tanda
khas
KVA,
namun
hasil
pemeriksaan
lain
1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan untuk mengetahui faktor risiko tinggi yang
menyebabkan anak rentan menderita xeroftalmia. Secara lengkapnya,
anamnesis yang perlu ditanyakan kepada penderita atau keluarga penderita
adalah sebagai berikut:
a. Identitas penderita dan orang tua
1) Nama
2) Umur
3) Jenis kelamin
4) Jumlah saudara dalam keluarga
5) Jumlah saudara balita dalam keluarga
6) Anak ke berapa
7) Berat Lahir : Normal/BBLR
8) Nama ayah/ibu
9) Alamat/tempat tinggal
10) Pendidikan
11) Pekerjaan
12) Status Perkawinan
b. Keluhan Penderita
1) Keluhan Utama: Ibu mengeluh anaknya tidak bisa melihat pada
sore hari (rabun senja) atau ada kelainan pada matanya. Kadang-
10
12
termasuk sel-sel epitel pada selaput lendir mata untuk proses metabolisme.
Efek lain dari vitamin A pada penglihatan yang berpengaruh secara tidak
langsung ialah pada epitel kornea dan konjungtiva.3
Pada keadaan defisiensi vitamin A, epitel menjadi kering dan terjadi
keratinisasi seperti tampak pada gambaran xerophthalmia. Kelainan tersebut
bermula setelah terjadinya proses metaplasi sel-sel epitel, sehingga kelenjar
tidak memproduksi cairan yang dapat menyebabkan terjadinya kekeringan
pada mata, disebut xerosis konjungtiva. Bila kondisi ini berlanjut akan terjadi
yang disebut bercak Bitot (Bitot Spot). Xeroftalmia merupakan mata kering
yang terjadi pada selaput lendir (konjungtiva) dan kornea (selaput bening)
mata. Xeroftalmia yang tidak segera diobati dapat menyebabkan kebutaan.7
1.8 Patofisiologi
Terjadinya defisiensi vitamin A berkaitan dengan berbagai faktor
dalam hubungan yang komplek seperti halnya dengan masalah kekurangan
kalori protein (KKP). Makanan yang rendah dalam vitamin A biasanya juga
rendah dalam protein, lemak dan hubungannya antar hal-hal ini merupakan
faktor penting dalam terjadinya defisiensi vitamin A. Setelah dicerna, vitamin
pro A dilepaskan dari protein dalam lambung. Ester retinil ini kemudian
dihidrolisis untuk retinol dalam usus kecil, karena retinol lebih efisien
diserap. Karotenoid yang dibelah di mukosa usus menjadi molekul
retinaldehid, yang kemudian diubah menjadi retinol dan kemudian
diesterifikasi untuk menjadi ester retinil. Ester retinil dari retinoid dan asal
karotenoid diangkut melalui misel dalam drainase limfatik dari usus ke dalam
darah dan kemudian ke hati sebagai komponen dari kilomikron. Di dalam
tubuh, 50-80% dari vitamin A disimpan di hati, dimana ia terikat pada RBP
selular. Vitamin A yang tersisa disimpan ke dalam jaringan adiposa, paruparu, dan ginjal sebagai ester retinil, paling sering sebagai retinyl palmitate.6
Retinyl palmitate kemudian berjalan melalui sistem limfatik ke hati
untuk disimpan. Dengan adanya kebutuhan metabolik untuk vitamin A,
retinyl palmitate dihidrolisis dan retinol yang dibentuk kembali mengalami
13
perjalanan melalui aliran darah, yang melekat pada retinol binding protein
(RBP) untuk jaringan tempat yang membutuhkan. Penyimpanan zat didalam
tubuh yang memadai berupa Zn dan protein diperlukan untuk pembentukan
RBP, tanpa RBP, vitamin A tidak dapat diangkut ke jaringan target.6
Pigmen ungu yang terdapat pada sel basilus disebut rodopsin, yaitu
suatu senyawa protein dan vitamin A. Apabila terkena sinar, misalnya sinar
matahari, maka rodopsin akan terurai menjadi protein dan vitamin A.
Pembentukan kembali pigmen terjadi dalam keadaan gelap. Untuk
pembentukan kembali memerlukan waktu yang disebut adaptasi gelap
(disebut juga adaptasi rodopsin). Pada waktu adaptasi, mata sulit untuk
melihat. Pigmen lembayung dari sel konus merupakan senyawa iodopsin
yang merupakan gabungan antara retinin dan opsin. Ada tiga macam sel
konus, yaitu sel yang peka terhadap warna merah, hijau, dan biru. Dengan
ketiga macam sel konus tersebut mata dapat menangkap spektrum warna.
Kerusakan salah satu sel konus akan menyebabkan buta warna.7
Efek lain dari vitamin A pada penglihatan yang berpengaruh secara
tidak langsung ialah pada epitel kornea dan konjungtiva. Pada keadaan
defisiensi, epitel menjadi kering dan terjadi keratinisasi seperti tampak pada
gambaran Xerophthalmia. Xeroftalmia merupakan mata kering yang terjadi
pada selaput lendir (konjungtiva) dan kornea (selaput bening) mata.
Xeroftalmia yang tidak segera diobati dapat menyebabkan kebutaan.
Xeroftalmia terjadi akibat kurangnya konsumsi vitamin A pada bayi, anakanak, ibu hamil, dan menyusui.7
1.9 Gambaran Histopatologi
14
1.10 Penatalaksanaan
A. Jadwal dan Dosis pemberian kapsul vitamin A pada anak penderita
Xeroftalmia:1
15
18
BAB 2
JOURNAL READING
19
Abstrak
Latar belakang : Kekurangan vitamin A (KVA) dikenal sebagai penyebab utama
kebutaan di antara anak anak di India .
Tujuan & Sasaran penelitian : Penelitian potong silang ini bertujuan untuk
mengetahui prevalensi penderita KVA pada anak-anak di pedesaan.
Bahan dan Metode penelitian : Penelitian potong silang ini dilakukan pada anak
( 0-15 tahun) di wilayah pedesaan dan dipilih sampel secara acak dari desa di
bawah pusat kesehatan primer. Dari 844, sebanyak 802 anak berpartisipasi dalam
penelitian. Xeropthalmia ditentukan oleh klasifikasi dari WHO untuk menemukan
prevalensi.
Hasil : Secara keseluruhan prevalensi xerophthalmia adalah 5,4 %. Hanya
manifestasi lebih ringan dari xerophthalmia yaitu rabun senja dan Bitots spot.
Tidak ada satu pun kasus keterlibatan aktif kornea terlihat. Prevalensi Bitots spot
adalah 0,9 % pada anak dengan usia di bawah 6 tahun dan 3,3 % pada anak-anak
di atas 6 tahun. Prevalensi xerophthalmia secara signifikan terdapat pada anakanak yang lebih tua. Prevalensi lebih tinggi ( tidak signifikan ) terjadi pada anak
laki-laki, status sosial ekonomi yang rendah serta berada dalam keluarga besar.
Secara keseluruhan prevalensi anemia ditemukan 11.8 % dalam populasi
penelitian.Secara signifikan prevalensi tinggi xerophthalmia terdapat pada anakanak penderita anemia.
Kesimpulan: Kehadiran manifestasi lebih ringan dari xerophthalmia dan 0,9 %
prevalensi Bitots spot pada anak di bawah usia 6 tahun dalam penelitian ini
menunjukkan penurunan kejadian kejadian KVA (tetapi masih menjadi masalah
20
vitamin A sebagai 0,8 % sampai dengan 1 %. Sangat sedikit penelitian pada KVA
yang
Hasil
Tabel 1 menggambarkan prevalensi xerophthalmia menurut umur. Prevalensi
secara keseluruhan dari xerophthalmia ditemukan 5,4%. Hanya manifestasi lebih
ringan dari xerophthalmia yaitu rabun senja dan Bitots spot yang diamati. Tidak
satu pun kasus keterlibatan aktif kornea terlihat. Prevalensi xerophthalmia
ditemukan meningkat dengan bertambahnya usia, angka tertinggi pada kelompok
umur tahun 13-15 (11,6%). Peningkatan kejadian dengan bertambahnya usia
diikuti oleh semua manifestasi dari xerophthalmia. Meskipun prevalensi
xerophthalmia adalah 5.4%, semua prevalensi tanda dan gejala adalah 4,4%
sebagaimana 8 subjek penelitian memiliki lebih dari satu tanda / gejala. Prevalensi
Bitots spot adalah 0,9% pada anak di bawah usia 6 tahun dan 3,3% pada anakanak di atas usia 6 tahun. Peningkatan prevalensi xerophthalmia seiring dengan
peningkatan kelompok usia ditemukan signifikan secara statistik.
Tabel 2 menggambarkan prevalensi xerophthalmia menurut faktor sosiodemografis. Prevalensi lebih tinggi dari xerophthalmia diamati terjadi pada anak
laki-laki, status sosial ekonomi rendah dan anak-anak dengan jumlah anggota
keluarga dari 5 dan seterusnya, namun perbedaan tidak ditemukan signifikan.
23
24
lebih banyak pada anak-anak penderita anemia. Ini mungkin karena anemia
dikaitkan dengan rendahnya asupan nutrisi ditambah anemia umumnya dikaitkan
dengan berbagai infeksi yang selanjutnya memicu atau memperburuk kekurangan
vitamin A.
Kesimpulan
Kehadiran manifestasi lebih ringan dari xerophthalmia dan 0,9% prevalensi
Bitots spot ini pada anak di bawah usia 6 tahun dalam penelitian ini menunjukkan
penurunan kejadian KVA (tetapi masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat) dan prevalensi 3,3% pada anak-anak di atas usia 6 tahun
menunjukkan bahwa selain dari penambahan vitamin A, program profilaksis yang
mencakup anak-anak prasekolah saja, pendidikan kesehatan diperlukan untuk
diversifikasi makanan untuk menyertakan sayuran dan buah-buahan dalam diet
untuk keberlanjutan jangka panjang dalam meningkatkan status vitamin A dari
anak-anak sekolah. Pendekatan seperti ini akan meningkatkan asupan vitamin A
dan zat gizi mikro lainnya secara seimbang.
Sumber
1. Sommer A. Vitamin A deficiency and its consequences: a field guide to
detection and control, 3rd ed. Geneva, World Health Organization, 1994.
2. Sommer A, Emran N, Tjakrasudjatma S. Clinical characteristics of vitamin A
responsive and nonresponsive Bitots spots. American Journal of Ophthalmology,
1980, 90:160171.
3. Rahamathullaji L, Underwood BA, Thulasiraj RD. Reduced mortality among
children in Southern India receiving a small weekly dose of vitamin A. New
England Journal of Medicine 1990, 323: 929-35
4. World Health Organization. Indicators for Assessing Vitamin A Deficiency and
their Application in Monitoring and Evaluation Intervention Programme. WHO,
Geneva, 1996, pp 5-14.
25
26
16. Pal R, Sagar V. Antecedent risk factors of xerophthalmia among Indian rural
preschool children. Eye Contact Lens. 2008 ;34(2):106-8.
DAFTAR PUSTAKA
1. Depkes Kesehatan RI. 2003. Deteksi dan Tatalaksana Kasus Xeroftalmia:
Pedoman Bagi Tenaga Kesehatan. Jakarta.
2. Ilyas, Sidarta. 2014. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
3. Dwiyanti, H., Riyadi, H., Rimbawan, R., et al. 2013. Efek Pemberian Gula
Kelapa Yang Diperkaya Minyak Sawit Merah Terhadap Peningkatan Berat
Badan Dan Kadar Retinol Serum Tikus Defisien Vitamin A. Penelitian Gizi
Dan Makanan, 36(1), Pp.73-81.
4. Samosir, H., 2015. Hubungan Pengetahuan Bidan Tentang Vitamin A Dengan
Cakupan Pemberian Vitamin A Pada Ibu Nifas di BPS Wilayah Kerja
Puskesmas Tegal Sari Kecamatan Medan Denai Tahun 2013.
27
5. Garcia-Ferrer FJ, Schwab IR. 2007. Konjungtiva dalam Vaughan & Asbury
Oftalmologi Umum. Ed. 17. Jakarta. EGC. Hal 97-123
6. Ansstas, G. 2014. Vitamin A Deficiency Treatment & Management.
Attending Physician in Leukemia and Bone Marrow Transplant and Oncology,
Washington
University
School
of
Medicine.
Available
at
http://emedicine.medscape.com/article/126004-treatment (diakses pada Sabtu 7
Januari 2017).
7. Silva, M.A., Carvalho, C.A.D., Fonsca, P.C.D.A., Vieira, S.A., Ribeiro, A.Q.,
Priore, S.E. and Franceschini, S.D.C.C., 2015. Iron-deficiency anemia and
vitamin A deficiency prevalence and associated factors among children under
one year. Cadernos Sade Coletiva, 23(4), pp.362-367.
8. Kurihayashi, A.Y., Augusto, R.A., Escaldelai, F.M.D. and Martini, L.A., 2015.
Vitamin A and D status among child participants in a food supplementation
program. Cadernos de Sade Pblica, 31(3), pp.531-542.
9. WHO. 1995. Vitamin A Deficiency and Its Consequences. Available at
http://www.who.int/nutrition/publications/vad_consequences.pdf (diakses pada
Sabtu 7 Januari 2017).
10. Priscilia et al. 2012. Referat Xeroftalmia. Fakultas Kedokteran Universitas
Kristen Indonesia. Available at https://www.scribd.com/doc/98074258/ReferatXeroftalmia-Dr-Jannes (diakses pada Minggu 8 Januari 2017).
28