Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN KEBIJAKAN MONETER

RINGKASAN EKSEKUTIF
Perekonomian Indonesia triwulan IV 2013 dan Januari 2014 menunjukkan
kebijakan stabilisasi Bank Indonesia dan Pemerintah sejak pertengahan tahun 2013
mulai mengendalikan perekonomian ke arah yang diharapkan. Respon antisipatif
Bank Indonesia melalui bauran kebijakan dapat mengendalikan inflasi kembali ke lintasan
sasaran 4,5+1% pada 2014 dan 4,0+1%% pada 2015. Kebijakan Bank Indonesia yang
berinteraksi dengan kebijakan fiskal yang konsolidatif dan ditopang koordinasi yang
intensif, juga mulai dapat mengarahkan defisit transaksi berjalan ke arah yang lebih sehat,
namun dibarengi proses moderasi pertumbuhan ekonomi yang tetap terkendali.
Perkembangan triwulan IV 2013 ini cukup positif karena diharapkan dapat menjadi basis
kesinambungan pertumbuhan ekonomi ke depan.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan IV 2013 tercatat lebih baik dari
perkiraan Bank Indonesia dan disertai dengan struktur yang lebih berimbang.
Pertumbuhan ekonomi triwulan IV 2013 meningkat dari 5,63% (yoy) pada triwulan III 2013
menjadi 5,72% (yoy), ditopang oleh membaiknya ekspor riil sejalan dengan kenaikan
permintaan mitra dagang negara-negara maju. Sementara itu, pertumbuhan permintaan
domestik mengalami moderasi tercermin dari melambatnya konsumsi rumah tangga dan
investasi, khususnya investasi nonbangunan. Dengan perkembangan ini, pertumbuhan
ekonomi Indonesia keseluruhan tahun 2013 tercatat 5,78%, masih cukup tinggi jika
dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi negara-negara dalam kelompok peringkat
yang sama.
Defisit transaksi berjalan mulai bergerak ke level yang lebih sehat dan
berkesinambungan. Defisit transaksi berjalan triwulan IV 2013 tercatat 1,98% dari PDB,
menurun signifikan dari defisit pada triwulan III 2013 sebesar 3,85% dan juga lebih rendah
dari perkiraan awal BI. Penurunan defisit transaksi berjalan dipengaruhi kenaikan ekspor
sejalan permintaan barang manufaktur dari AS dan Jepang yang meningkat, penurunan
harga komoditas ekspor yang melambat, dan nilai tukar rupiah yang cukup kompetitif,
disamping peningkatan ekspor sumber daya alam terkait dengan antisipasi pemberlakuan
UU Minerba. Penurunan defisit transaksi berjalan juga dipengaruhi penurunan impor
sejalan moderasi permintaan domestik dan nilai tukar rupiah yang melemah. Saat
bersamaan, surplus transaksi modal dan finansial meningkat sehingga dapat membiayai
defisit transaksi berjalan dan mendorong NPI kembali mencatat surplus pada triwulan IV
2013, setelah pada tiga triwulan terakhir mencatat defisit. Perkembangan positif sektor
eksternal terindikasi masih berlanjut pada pada Januari 2014 tercermin pada posisi
cadangan devisa Indonesia yang meningkat dari posisi Desember 2013 menjadi 100,7
miliar dolar AS, setara 5,7 bulan impor atau 5,6 bulan impor dan pembayaran utang luar
negeri Pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan
impor.
Fundamental perekonomian Indonesia yang membaik berdampak positif pada
meredanya tekanan depresiasi nilai tukar rupiah di triwulan IV 2013 dan berlanjut
pada Januari 2014. Secara rata-rata, rupiah Januari 2014 tercatat Rp12.075 per dolar AS,
melemah 0,7%, lebih rendah dibandingkan pelemahan rata-rata rupiah pada Desember
2013 sebesar 3,74%. Dengan perkembangan ini maka indeks nilai tukar rupiah riil efektif
(Real Effective Exchange Rate) tercatat 94,2 sehingga daya saing harga ekspor Indonesia
Laporan Kebijakan Moneter|1

relatif tinggi dan juga dapat menopang proses penyesuaian sektor eksternal ke arah yang
lebih baik. Aktivitas pasar uang, baik Rupiah maupun valas semakin berkembang dinamis
dengan volume transaksi yang meningkat dan premi risiko seperti tercermin pada Credit
Default Swap (CDS) yang menurun. Hal ini tidak terlepas dari langkah-langkah Bank
Indonesia untuk pendalaman pasar keuangan, termasuk swap lindung nilai dan repo antar
bank dengan mini MRA.
Respon kebijakan juga dapat menurunkan tekanan inflasi sehingga kembali pada
lintasan sasaran 4,5+1% pada 2014 dan 4,0+1% pada 2015. Inflasi IHK pada triwulan
IV 2013 mencapai 0,75% (qtq) atau 8,38% (yoy), menurun dibandingkan triwulan
sebelumnya sebesar 4,08% (qtq) atau 8,40% (yoy). Penurunan tekanan inflasi terjadi pada
seluruh komponen inflasi yakni inflasi inti, volatile food dan administered prices. Inflasi
pada Januari 2014 juga masih sesuai dengan pola historisnya sehingga belum mengganggu
prospek pencapaian sasaran inflasi 2014. Meskipun lebih tinggi dibandingkan dengan
inflasi Desember 2013, inflasi Januari 2014 sebesar 1,07% (mtm) tidak berbeda jauh
dibandingkan dengan rata-rata inflasi tahun 2008-2013. Kenaikan inflasi Januari 2014
terutama dipengaruhi kenaikan inflasi volatile food akibat bencana alam dan banjir yang
kemudian mengganggu produksi dan distribusi pangan di berbagai daerah terutama Jawa
dan Sumatera. Sementara itu, inflasi inti sedikit meningkat antara lain didorong dampak
pelemahan rupiah ke beberapa kelompok barang seperti kendaraan bermotor serta alat
elektronik.
Penyesuaian ekonomi Indonesia yang terkendali ditopang oleh stabilitas sistem
keuangan yang tetap terjaga. Ketahanan industri perbankan tetap solid dengan risiko
kredit, likuiditas dan pasar yang cukup terjaga, serta dengan dukungan ketahanan modal
yang masih kuat. Pertumbuhan kredit perbankan menurun dari 21,9% pada November
2013 menjadi 21,4% pada Desember 2013 (atau 17,4% dengan menghilangkan pengaruh
depresiasi nilai tukar) sejalan dengan permintaan domestik yang melambat dan kenaikan
suku bunga. Pasar saham domestik dan pasar obligasi pemerintah selama triwulan IV 2013
tetap stabil, walaupun mengalami koreksi seiring meningkatnya kembali isu percepatan
tapering off. Pada Januari 2014, kinerja pasar saham kembali membaik ditandai dengan
kenaikan IHSG. Perkembangan berbeda terlihat pada kinerja pasar obligasi pemerintah
yang menurun tercermin pada kenaikan imbal hasil SBN.
Pada tahun 2014, Bank Indonesia memperkirakan stabilitas ekonomi kembali
terkendali dan pertumbuhan ekonomi akan lebih seimbang sehingga dapat
menurunkan defisit transaksi berjalan ke level yang lebih sehat. Pertumbuhan
ekonomi 2014 diperkirakan mendekati batas bawah kisaran 5,8-6,2% dan diikuti
perbaikan sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia sejalan perkiraan masih berlanjutnya
moderasi permintaan domestik dan ekspor yang membaik didorong perbaikan ekonomi
global. Defisit transaksi berjalan diprakirakan semakin turun ke arah yang sehat
dipengaruhi prospek perbaikan ekspor dan impor yang terkendali sejalan moderasi
permintaan domestik. Sementara itu, inflasi diprakirakan dapat terjaga pada kisaran
targetnya 4,51%. Sejalan dengan prospek pertumbuhan ekonomi tersebut, pertumbuhan
kredit diperkirakan berada pada kisaran 15-17% sehingga konsisten dengan upaya
mengarahkan ekonomi menjadi lebih sehat dan seimbang.
Bank Indonesia akan terus mencermati beberapa risiko ekonomi baik dari global
maupun domestik, yang berpotensi mengganggu kembali stabilitas dan
menurunkan prospek ekonomi ke depan. Dari global, faktor risiko antara lain terkait
ketidakpastian normalisasi kebijakan bank sentral AS (The Fed) dan potensi perlambatan
ekonomi China. Risiko ini dapat mempengaruhi prospek ekonomi Indonesia melalui jalur
Laporan Kebijakan Moneter|2

finansial dan jalur perdagangan. Dari sisi domestik, beberapa risiko yang dapat
meningkatkan tekanan inflasi juga perlu dicermati seperti gangguan pasokan pangan,
kenaikan beberapa barang kelompok administered dan dampak depresiasi nilai tukar
Rupiah.
Mengevaluasi perkembangan terkini, serta prospek dan risiko perekonomian ke
depan, Bank Indonesia pada 13 Februari 2014 memutuskan untuk
mempertahankan BI Rate sebesar 7,50%, dengan suku bunga Lending Facility dan
suku bunga Deposit Facility masing-masing tetap pada level 7,50% dan 5,75%.
Kebijakan tersebut masih konsisten dengan stance kebijakan moneter ketat untuk
mengarahkan inflasi menuju ke sasaran 4,51% pada 2014 dan 4,01% pada 2015, serta
menurunkan defisit transaksi berjalan ke tingkat yang lebih sehat. Bank Indonesia juga
akan terus memperkuat bauran kebijakan moneter dan makroprudensial, melanjutkan
upaya pendalaman pasar, serta meningkatkan koordinasi dengan Pemerintah dalam
pengendalian inflasi dan defisit transaksi berjalan. Dalam kaitan ini, Bank Indonesia juga
akan terus mendorong penggunaan rupiah untuk transaksi di dalam negeri sesuai UU Mata
Uang dan perluasan instrumen lindung nilai dalam transaksi valas. Bank Indonesia juga
akan berkoordinasi dengan OJK untuk mengarahkan pertumbuhan kredit ke depan sejalan
dengan moderasi pertumbuhan permintaan domestik. Selain itu, Bank Indonesia terus
mencermati berbagai risiko, baik dari global maupun domestik, dan memastikan langkahlangkah antisipasi agar stabilitas makroekonomi tetap terjaga.

Laporan Kebijakan Moneter|3

halaman ini sengaja dikosongkan

Laporan Kebijakan Moneter|4

PERKEMBANGAN EKONOMI DAN


MONETER TERKINI

Berbagai perkembangan ekonomi Indonesia pada triwulan IV 2013 menunjukkan


bahwa berbagai respon kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia dan Pemerintah
dapat berjalan sesuai harapan. Respon antisipatif Bank Indonesia melalui bauran
kebijakan dapat menurunkan inflasi kembali ke lintasan sasaran 4,51% pada 2014 dan
4,01%% pada 2015. Interaksi antara kebijakan Bank Indonesia yang ketat dan kebijakan
fiskal yang konsolidatif guna menjaga kesinambungan dan sekaligus mengendalikan
permintaan domestik, serta ditopang koordinasi yang intensif, juga mulai dapat
mengarahkan defisit transaksi berjalan ke arah yang lebih sehat, namun dibarengi proses
moderasi pertumbuhan ekonomi yang tetap terkendali.
Respon kebijakan yang antisipatif serta ditopang perekonomian global khususnya
di negara maju yang mulai membaik dapat mendorong perbaikan ekonomi ke arah
yang lebih sehat dan seimbang pada triwulan IV 2013 dan berlanjut pada Januari
2014. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat lebih baik dari perkiraan Bank Indonesia
dan disertai dengan sumber pertumbuhan yang lebih berimbang. Defisit transaksi berjalan
mulai bergerak ke arah yang lebih sehat dan berkesinambungan. Fundamental
perekonomian Indonesia yang membaik juga berdampak positif pada meredanya tekanan
depresiasi nilai tukar rupiah. Respon kebijakan juga dapat menurunkan tekanan inflasi
sehingga kembali pada lintasan sasaran 4,5+1% pada 2014 dan 4,0+1% pada 2015.

Perkembangan Ekonomi Dunia


Satu faktor yang mendukung perbaikan ekonomi Indonesia pada triwulan IV 2013
dan berlanjut pada Januari 2014 ialah pemulihan ekonomi negara maju, termasuk
di AS, yang semakin kuat. Perekonomian AS pada triwulan IV 2013 diperkirakan tumbuh
2,2% (yoy) atau lebih tinggi dari triwulan sebelumnya. Prakiraan tersebut dipengaruhi oleh
perkembangan ekonomi AS yang membaik ditopang oleh sektor manufaktur dan sektor
konsumsi. Kondisi itu tercermin pada Purchasing Manager Index (PMI) AS yang berada
dalam tren yang meningkat, bersamaan dengan penjualan ritel dan keyakinan konsumen
yang juga membaik (Grafik 1.1). Namun, risiko di perekonomian AS masih mengemuka
terutama terkait perkembangan di sektor tenaga kerja mengingat tingkat partisipasi tenaga
kerja yang masih terus menurun, meskipun tingkat pengangguran masih dalam tren
penurunan (Grafik 1.2).

Laporan Kebijakan Moneter|5

Indeks

Indeks

Keyakinan Konsumen

ribu

Sentimen Saat Ini (Univ. Michigan) sk. kanan

Data: Des 2013


Sumber: Bloomberg
Sumber: Bloomberg

Grafik 1.1
Indeks Keyakinan Konsumen AS

Data: Des 2013

Grafik 1.2
Tingkat Pengangguran di AS

Ekonomi Eropa juga diperkirakan mulai masuk pada zona positif, dengan
pertumbuhan sebesar 0,4% (yoy) pada triwulan IV 2013. Pemulihan ekonomi Eropa
ditopang oleh kinerja ekspor dan ekspansi sektor manufaktur sebagaimana terlihat pada
tren peningkatan surplus neraca perdagangan dan PMI yang ekspansif (Grafik 1.3).
Sementara itu, konsumsi rumah tangga mulai tumbuh positif setelah selama hampir 6
tahun berada pada area negatif. Keyakinan konsumen terhadap ekonomi Eropa juga terus
meningkat (Grafik 1.4). Namun, risiko terhadap perekonomian Eropa tetap perlu dicermati
karena permasalahan struktural yang masih mengemuka, seperti potensi deflasi, tingginya
tingkat pengangguran, rendahnya pertumbuhan pendapatan serta masih ketatnya kredit.
Indeks, 50 = netral

Indeks

Sumber: Bloomberg

>50 : Ekspansi
<50 : Kontraksi
Data : Des 2013
Keyakinan Konsumen

Data : Des 2013

Sumber: Bloomberg

Grafik 1.3
PMI Manufaktur Eropa

Grafik 1.4
Keyaninan Konsumen Eropa

Pertumbuhan ekonomi Jepang diperkirakan juga meningkat dari triwulan


sebelumnya sebesar 2,4% (yoy) menjadi 3,2% (yoy) pada triwulan IV 2013.
Perbaikan perekonomian Jepang ditopang oleh kinerja sektor manufaktur yang meningkat
karena didorong oleh meningkatnya permintaan baik dari luar negeri maupun dalam negeri
(Grafik 1.5). Penjualan ritel di Jepang meningkat yang dipengaruhi oleh perilaku konsumen
yang melakukan pembelian barang lebih awal sebelum diberlakukannya kenaikan pajak
penjualan pada April 2014 (Grafik 1.6). Hal tersebut berdampak pada peningkatan tajam
jumlah pesanan baru (new orders) dan aktivitas pembelian bahan baku industri, sehingga
pertumbuhan industri manufaktur juga tumbuh cukup tertinggi.

Laporan Kebijakan Moneter|6

Indeks, PMI : 50 = netral


Tk. Penganggura (sk. kanan)

PMI > 50 = ekspansi

PMI < 50 = kontraksi

Sumber: Bloomberg

Penjualan ritel

Data : Des 2013


Sumber: Bloomberg

Grafik 1.5
PMI Manufaktur Jepang

Data : Des 2013

Grafik 1.6
Penjualan Ritel di Jepang

Berbeda dengan perkembangan ekonomi negara maju, perkembangan ekonomi di


negara berkembang khususnya China dan India menunjukkan terjadinya moderasi
pertumbuhan ekonomi (Grafik 1.7). China menunjukkan perkembangan yang mulai
melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, meskipun masih tumbuh cukup
kuat sebesar 7,7% (yoy) pada triwulan IV 2013. Secara keseluruhan tahun, pertumbuhan
China tahun 2013 juga lebih rendah dari historisnya yang secara rata-rata mencatat
pertumbuhan 10%. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi India juga belum kuat. Pada
triwulan IV 2013, ekonomi India diperkirakan tumbuh 4,7% (yoy) lebih rendah dari
triwulan III 2013.

Negara berkembang
Dunia
Negara Maju
Sumber: Bloomberg

Grafik 1.7
Pertumbuhan Ekonomi Dunia
Perbaikan ekonomi negara maju yang menguat pada gilirannya mendorong harga
komoditas nonmigas global meningkat lebih tinggi dari prakiraan semula. Kontraksi
harga komoditas nonmigas global mulai melambat dari -7,7% (yoy) pada triwulan III 2013
menjadi -2,5% (yoy) pada triwulan IV 2013. Hal itu pada gilirannya mendorong indeks
harga ekspor Indonesia (IHEX) turut membaik (Grafik 1.8). Sementara itu, harga minyak
dalam tren menurun dimana harga minas pada Januari 2014 tercatat USD1 05,1 per
barel, menurun dibandingkan harga pada Desember 2013 sebesar USD 108,9 per barel
(Tabel 1.1).

Laporan Kebijakan Moneter|7

Tabel 1.1. Perkembangan Harga Minyak Dunia


Average
2012
2013
TriwI13
+Apr13
+May13
+Jun13
TrwII13
+Jul13
+Aug13
+Sep13
TrwIII13
+Oct13
+Nov13
+Des13
TrwIV13
2014
+Jan14

WTI
94.1
98.0
94.3
92.0
94.7
95.8
94.1
104.5
106.5
106.3
105.8
100.5
93.8
97.9
97.4
93.8
93.8

Brent
103.1
104.9
105.4
100.7
100.7
100.9
100.8
103.5
106.0
106.8
105.4
107.2
107.1
110.3
108.2
106.7
106.7

Minas
115.6
108.4
114.5
104.6
101.8
100.3
102.3
106.4
108.4
108.4
107.7
111.6
107.5
108.9
109.3
105.1
105.1

ICP
112.7
105.8
111.1
100.2
99.0
100.0
99.7
103.1
110.8
109.7
107.86

Perbaikan ekonomi negara maju mendorong kenaikan kinerja pasar keuangan


global. Pada Januari 2014, kenaikan bursa saham global masih berlanjut terutama terjadi
di negara-negara maju, sedangkan kinerja pasar keuangan Asia menurun (Grafik 1.9).
Perkembangan ini dipengaruhi sentimen positif perkembangan terhadap indikator ekonomi
AS, Eropa dan Jepang. Pemulihan ekonomi negara maju mengakibatkan ketidakpastian
lebih lanjut terkait rencana pengurangan stimulus moneter di AS oleh The Fed.
Ketidakpastian tersebut mendorong bursa saham EM Asia melemah dan nilai tukar mata
uang negara-negara Asia mengalami depresiasi terhadap USD didorong keluarnya modal
asing dari bursa Asia.

Grafik 1.8
Perkembangan Indeks Harga
Komoditas Ekspor Nonmigas
Indonesia

Grafik 1.9
Perkembangan Bursa Saham Global

Pertumbuhan Ekonomi
Respon kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia serta Pemerintah dan ditopang
oleh indikasi perbaikan ekonomi negara maju mendorong pertumbuhan ekonomi
triwulan IV 2013 kembali meningkat dan ditopang sumber pertumbuhan yang
lebih berimbang. Pertumbuhan ekonomi triwulan IV 2013 mencapai 5,72% (yoy), lebih
tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 5,63% (yoy) dan perkiraan Bank
Indonesia (Tabel 1.2). Sumber pertumbuhan ekonomi juga lebih berimbang dipengaruhi
kenaikan ekspor dan moderasi pertumbuhan permintaan domestik. Secara keseluruhan,
struktur pertumbuhan ekonomi yang mulai berimbang tersebut searah dengan langkah
stabilisasi Bank Indonesia dan Pemerintah dalam membawa ekonomi ke arah yang lebih
sehat dan berkesinambungan.
Laporan Kebijakan Moneter|8

%Y-o-Y, Tahun Dasar 2000

Tabel 1.2
Pertumbuhan Ekonomi Sisi Permintaan
Komponen

2011

2012

Konsumsi Rumah Tangga

4.7

Konsumsi Pemerintah
Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto

3.2
8.8

Ekspor Barang dan Jasa

2013

2013

II

III

IV

5.3

5.2

5.1

5.5

5.3

5.3

1.3
9.7

0.4
5.5

2.2
4.5

8.9
4.5

6.4
4.4

4.9
4.7

13.6

2.0

3.6

4.8

5.2

7.4

5.3

Impor Barang dan Jasa

13.3

6.7

0.0

0.7

5.1

-0.6

1.2

PDB

6.5

6.3

6.0

5.8

5.6

5.7

5.8

Sumber : BPS

Sesuai perkiraan Bank Indonesia, kenaikan pertumbuhan ekonomi triwulan IV


2013 terutama ditopang ekspor yang meningkat tumbuh signifikan. Ekspor mampu
tumbuh sebesar 7,4% (yoy), lebih tinggi dibandingkan triwulan III 2013 yang tumbuh
sebesar 5,2% (yoy). Peningkatan ekspor tersebut dipengaruhi kenaikan ekonomi negara
maju tercermin pada meningkatnya ekspor manufaktur ke negara mitra dagang utama
seperti Amerika dan Jepang dan China. Kenaikan ekspor juga dipengaruhi oleh nilai tukar
rupiah yang secara riil berpotensi mendorong daya saing ekspor.
Berbeda dengan ekspor, pertumbuhan permintaan domestik mengalami moderasi
akibat melambatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Pertumbuhan konsumsi
rumah tangga tumbuh 5,3% (yoy) pada triwulan IV 2013, sedikit menurun dibandingkan
dengan pertumbuhan triwulan III 2013 sebesar 5,5% (yoy). Meskipun menurun,
pertumbuhan konsumsi rumah tangga masih berada pada level yang tinggi sehingga
menopang pertumbuhan ekonomi. Konsumsi rumah tangga yang masih kuat antara lain
dipengaruhi oleh masih tingginya keyakinan konsumen tercermin pada hasil survei Indeks
Kepercayaan Konsumen (IKK) Bank Indonesia dan Danareksa yang meningkat pada
triwulan IV 2013 (Grafik 1.10). Keyakinan konsumen yang menguat kemudian mendorong
masih meningkatnya penjualan eceran khususnya kelompok barang makanan dan pakaian
pada triwulan IV 2013. Sementara itu, penjualan mobil dan motor tumbuh terbatas pada
triwulan IV 2013 (Grafik 1.11).

Grafik 1.10
Indeks Keyakinan Konsumen

Grafik 1.11
Penjualan Kendaraan Bermotor

Laporan Kebijakan Moneter|9

Permintaan domestik yang melambat juga dipengaruhi oleh menurunnya


pertumbuhan konsumsi pemerintah dari 8,9% (yoy) pada triwulan III 2013 menjadi
6,4% (yoy). Perlambatan konsumsi pemerintah terutama disebabkan oleh penurunan
belanja pegawai setelah realisasi gaji ke-13 PNS pada triwulan III 2013 (Grafik 1.12).
Konsumsi pemerintah yang menurun secara umum searah dengan konsolidasi kebijakan
fiskal dalam menjaga kesinambungan dan sekaligus mengendalikan permintaan domestik.
Meskipun lebih tinggi dari defisit 2012 sebesar 1,9%, defisit APBN-P 2013 dapat dikelola
pada level 2,2% dari PDB, lebih kecil dari potensi kenaikan melebihi 3% dari PDB bila tidak
dilakukan pengurangan subsidi melalui kenaikan harga BBM bersubsidi pada akhir Juni
2013 (Tabel 1.3).

Grafik 1.12
Belanja Pemerintah

Grafik 1.13
Utilisasi Kapasitas

Tabel 1.3. Perkembangan Operasi Keuangan Pemerintah Tahun 2012-2013

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 10

Perlambatan permintaan domestik juga bersumber dari berlanjutnya tren


perlambatan investasi, khususnya investasi nonbangunan. Pada triwulan IV 2013,
investasi tercatat tumbuh 4,4% (yoy), menurun dibandingkan dengan pertumbuhan
triwulan sebelumnya sebesar 4,5% (yoy). Penurunan investasi tersebut terutama didorong
oleh kontraksi investasi nonbangunan sebesar 1,5% (yoy), dari semula tumbuh 0,40% (yoy)
pada triwulan III 2013. Perlambatan investasi pada triwulan IV 2013 ini sejalan dengan
survey utilisasi kapasitas industri pengolahan pada SKDU yang menurun (Grafik 1.13).
Sementara itu, pertumbuhan investasi bangunan tercatat 6,7% (yoy), meningkat dari 6,2%
(yoy) pada triwulan III 2013.
Perlambatan permintaan domestik pada gilirannya mendorong impor pada
triwulan IV 2013 mencatat kontraksi sebesar 0,6% (yoy). Menurut kelompok,
penurunan impor terjadi baik pada impor migas maupun nonmigas. Penurunan impor
nonmigas terjadi pada semua kelompok barang, kecuali barang konsumsi. Penurunan
impor tersebut sejalan dengan moderasi permintaan domestik dan nilai tukar rupiah yang
melemah searah dengan kebijakan nilai tukar Bank Indonesia.
Peran ekspor dalam mendorong kenaikan pertumbuhan ekonomi triwulan IV 2013
juga tergambar pada kinerja beberapa sektor tradables yang mencatat
peningkatan pertumbuhan. Beberapa sektor ekonomi seperti sektor manufaktur, sektor
pertambangan dan sektor pertanian pada triwulan IV 2013 masing-masing tumbuh 5,3%,
3,9%, 3,8%, lebih tinggi dari pertumbuhan triwulan sebelumnya masing-masing 5,2%,
0,9%, 1,0% (Tabel 1.4). Sektor industri pengolahan meningkat bersumber dari
peningkatan penjualan mobil, sepeda motor dan alat berat. Pada sektor pertambangan,
pertumbuhan didorong oleh akselerasi ekspor migas dan tembaga. Sementara itu,
pertumbuhan sektor pertanian meningkat didukung oleh peningkatan ekspor komoditi
perkebunan dan perikanan. Kinerja yang meningkat juga ditunjukkan oleh sektor listrik, gas
dan air bersih (LGA) seiring meningkatnya konsumsi listrik dan gas kota. Berbeda dengan
sektor-sektor tersebut, sektor nontradables seperti sektor perdagangan, hotel dan restoran,
sektor keuangan, real estat dan jasa perusahaan, serta sektor jasa-jasa terlihat mengalami
perlambatan pertumbuhan sejalan dengan menurunnya permintaan domestik (Tabel 1.4).
%Y-o-Y, Tahun Dasar 2000

Tabel 1.4
Pertumbuhan Ekonomi Sisi Penawaran
Sektor

2011

2012

2013
I

II

III

IV

2013

Pertanian,Peternakan,Kehutanan,& Perikanan

3.4

4.2

3.7

3.3

3.3

3.8

3.5

Pertambangan & Penggalian

1.4

1.6

0.1

-0.6

2.0

3.9

1.3

Industri Pengolahan

6.1

5.7

6.0

6.0

5.0

5.3

5.6

Listrik, Gas & Air Bersih

4.8

6.2

7.9

4.0

3.8

6.6

5.6

Konstruksi
Perdagangan, Hotel & Restoran

6.6
9.2

7.4
8.1

6.8
6.5

6.6
6.4

6.2
6.1

6.7
4.8

6.6
5.9

Pengangkutan & Komunikasi

10.7

10.0

9.6

10.9

9.9

10.3

10.2

Keuangan, Real Estat & Jasa Perusahaan

6.8

7.1

8.2

7.7

7.6

6.8

7.6

Jasa-jasa

6.7

5.2

6.5

4.5

5.6

5.3

5.5

PDB

6.5

6.3

6.0

5.8

5.6

5.7

5.8

Sumber : BPS

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 11

Secara spasial, peningkatan peran ekspor dalam pertumbuhan ekonomi triwulan


IV 2013 tergambar pada meningkatnya pertumbuhan ekonomi Kawasan Timur
Indonesia (KTI) dan Sumatera. Kedua kawasan ini mencatat pertumbuhan masingmasing sebesar 6,6% (yoy) dan 5,5% (yoy) jauh lebih tinggi dibandingkan triwulan
sebelumnya yang tercatat sebesar 6,1% (yoy) dan 5,0% (yoy) (Gambar 1.1). Tingginya
pertumbuhan di kedua kawasan ini didorong terutama oleh membaiknya kinerja ekspor
berbasis Sumber Daya Alam CPO, Karet, Batu Bara dan Timah di Sumatera serta Tembaga
dan LNG di KTI seiring dengan meningkatnya harga komoditas di tengah kenaikan
permintaan global. Sementara itu, Jakarta dan Jawa yang menguasai hampir 60% pangsa
perekonomian Indonesia tumbuh melambat pada triwulan IV 2013 masing-masing sebesar
5,6% (yoy) dan 6,0% (yoy), dari 6,2% (yoy) dan 6,1% (yoy) pada tahun sebelumnya.

Gambar 1.1. Peta Pertumbuhan Ekonomi Daerah Triwulan IV 2013


Perkembangan pertumbuhan ekonomi triwulan IV 2013 secara umum
menunjukkan respon kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia dan Pemerintah
dapat mengarahkan moderasi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2013 tetap
terkendali. Keseluruhan tahun 2013, ekonomi Indonesia tumbuh 5,8%. Meskipun lebih
rendah dibandingkan dengan kinerja tahun 2012 sebesar 6,3%, pertumbuhan ekonomi
Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan dengan negara dalam kelompok rating yang
sama (Grafik 1.14)

Grafik 1.14
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia vs Peer Countries

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 12

Neraca Pembayaran Indonesia


Respons kebijakan Bank Indonesia dan Pemerintah juga mulai memperbaiki kinerja
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan IV 2013. Neraca Pembayaran
Indonesia (NPI) triwulan IV 2013 kembali mencatat surplus yakni sebesar 4,4 miliar dolar
AS, setelah selama tiga triwulan terakhir mengalami defisit (Grafik 1.15). Perbaikan NPI
triwulan IV 2013 ditopang oleh defisit transaksi berjalan yang menurun cukup tajam
menjadi 4,0 miliar dolar AS (1,98% PDB), jauh lebih rendah dari defisit triwulan
sebelumnya sebesar 8,5 miliar dolar AS (3,85% PDB) dan perkiraan awal Bank Indonesia
(Grafik 1.16). Surplus NPI triwulan IV 2013 juga ditopang oleh peningkatan surplus
transaksi modal finansial yang mencapai 9,2 miliar dolar AS, lebih besar dari surplus pada
triwulan sebelumnya sebesar 5,6 miliar dolar AS.

Grafik 1.15
Neraca Pembayaran Indonesia

Grafik 1.16
Neraca Transaksi Berjalan

Penurunan tajam defisit transaksi berjalan triwulan IV 2013 menjadi 1,98% dari
PDB tidak terlepas dari pengaruh kenaikan permintaan negara maju, moderasi
permintaan domestik dan nilai tukar rupiah yang mendukung penyesuaian sektor
eksternal. Perkembangan itu tercermin pada kenaikan surplus neraca perdagangan
nonmigas (Grafik 1.17). Surplus neraca perdagangan nonmigas meningkat karena ekspor
nonmigas kembali tumbuh positif (3,8%, yoy) didukung oleh kenaikan ekspor manufaktur
AS, Jepang dan China1 (Tabel 1.5). Kenaikan ekspor nonmigas juga dipengaruhi oleh nilai
tukar rupiah yang cukup kompetitif, dan koreksi harga komoditas yang semakin terbatas,
selain didorong oleh peningkatan ekspor sumber daya alam terkait dengan antisipasi
pemberlakuan UU Minerba. Sementara itu, pertumbuhan impor nonmigas mencatat
kontraksi 6,6% (yoy) sejalan dengan moderasi permintaan domestik dan nilai tukar rupiah
yang melemah. Penurunan impor nonmigas terjadi pada kelompok bahan baku dan barang
modal, sedangkan impor barang konsumsi masih tumbuh positif (Grafik 1.18).

Analisa lebih lengkap mengenai hubungan ekspor Indonesia dengan permintaan China lihat boks
Keterkaitan Perdagangan China dengan Negara Kawasan Asia.
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 13

Grafik 1.17
Neraca Perdagangan

Grafik 1.18
Impor Nonmigas

Tabel 1.5. Negara Tujuan Ekspor


Pangsa
(%)

Pertumbuhan Tahunan (%, yoy)


2012*

Rincian
2013**

TOTAL

2013**
Tw. I

Tw. II

Tw. III*

Okt*

Nov*

Dec**

Tw. IV**

TOTAL

1 China

14.1

-3.9

3.0

-9.8

6.0

1.0

5.9

20.2

9.2

2.0

2 Jepang

10.7

-6.5

-8.1

-3.9

-9.3

-8.4

-9.6

4.9

-4.7

-6.5

3 Amerika Serikat

10.0

-7.2

1.8

1.3

3.3

11.8

2.7

10.3

8.3

3.6

4 India

8.7

-7.2

4.4

18.9

-13.7

7.9

31.6

-5.9

10.3

4.7

5 Singapura

6.5

-11.0

-3.0

-5.4

-3.5

-12.9

-14.5

7.7

-5.8

-4.5

6 Malaysia

4.8

-7.2

-21.5

-10.9

-15.4

-8.7

-17.6

-7.5

-11.7

-15.2

7 Korea Selatan

4.0

-9.2

-12.5

-12.5

-6.7

1.5

-18.2

-3.8

-7.1

-9.9

8 Thailand

3.5

5.9

-1.7

7.2

-9.0

-15.4

-21.7

-5.4

-14.6

-4.8

9 Belanda

2.7

-9.8

-10.2

-9.5

1.8

-20.6

-19.5

-21.7

-20.6

-10.4

10 Filipina

2.5

-0.6

8.8

0.8

3.0

-5.0

4.5

-0.4

-0.6

2.9

67.4

-6.3

-3.4

-2.6

-4.1

-2.7

-2.1

4.5

-0.1

-2.5

Total 10 Negara
*) data sementara

**) data sangat sementara

Kenaikan surplus neraca perdagangan juga dipengaruhi oleh menyempitnya


defisit neraca perdagangan migas. Neraca perdagangan migas pada triwulan IV 2013
tercatat 2,1 miliar, menurun dibandingkan dengan defisit pada triwulan III 2013 sebesar
2,6 miliar dolar (Grafik 1.19). Perbaikan necara perdagangan migas disebabkan oleh
turunnya impor minyak dan kenaikan ekspor gas. Impor minyak turun 5,6% (qtq) menjadi
9,9 miliar. Penurunan disebabkan turunnya volume impor minyak mentah dan produk
kilang sejalan dengan turunnya konsumsi BBM triwulan IV 2013 dari 118,0 juta barel
menjadi 117,9 juta barel. Sementara itu, ekspor gas naik 10,8% (qtq) menjadi 4,1 miliar
dipengaruhi oleh kenaikan volume ekspor LNG.

Grafik 1.19
Neraca Perdagangan Migas

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 14

Di tengah masih berlanjutnya ketidakpastian pasar keuangan global, transaksi


modal dan finansial triwulan IV 2013 mencatat kenaikan surplus 9,2 miliar dolar.
Kenaikan surplus transaksi modal finansial terutama didorong meningkatnya penarikan
pinjaman luar negeri swasta dan penarikan simpanan bank domestik di luar negeri, yang
sebagian ditempatkan pada beberapa instrumen yang disediakan Bank Indonesia.
Perkembangan ini tergambar pada komponen investasi lainnya (other investment) yang
mencatat surplus cukup besar sebesar 5,9 miliar dolar AS, berkebalikan dari triwulan
sebelumnya yang mencatat defisit sebesar 2,0 miliar dolar AS (Grafik 1.20). Selain itu, arus
masuk investasi langsung asing tetap kuat, meskipun lebih rendah dibandingkan dengan
angka triwulan sebelumnya akibat divestasi beberapa perusahaan PMA. Di samping itu,
investasi portofolio asing juga masih mencatat surplus, meskipun menurun akibat
berkurangnya penempatan nonresiden di pasar saham domestik. Selama Januari 2014,
investasi portofolio di pasar keuangan mencatat net beli sebesar 774,5 juta dolar AS,
setelah mengalami net jual 130,4 juta dolar AS pada bulan Desember 2013. Aksi beli
tersebut dilakukan investor nonresiden di semua instrumen Rupiah baik SUN, saham,
maupun SBI (Grafik 1.21).
Juta USD
Saham

Grafik 1.20
Neraca Transaksi Modal dan Finansial

Grafik 1.21
Aliran Dana Nonresiden

Surplus NPI triwulan IV 2013 pada gilirannya mendorong kenaikan cadangan


devisa. Pada Desember 2013, posisi cadangan devisa tercatat 99,4 miliar dolar AS,
meningkat dari 95,7 miliar dolar AS pada triwulan III 2013. Posisi cadangan devisa tersebut
setara 5,5 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah. Meskipun lebih
rendah dibandingkan dengan posisi akhir 2012 sebesar 112,8 miliar dolar AS, cadangan
devisa sejak bulan Agustus 2013 sudah berada dalam tren yang meningkat. Dalam
perkembangan terkini, cadangan devisa bahkan mencapai diatas 100 miliar dolar AS pada
akhir Januari 2014, yakni sebesar 100,7 miliar dolar AS atau setara dengan 5,6 bulan impor
dan pembayaran utang luar negeri pemerintah (Grafik 1.22).

Grafik 1.22
Perkembangan Cadangan Devisa
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 15

Nilai Tukar Rupiah


Fundamental perekonomian Indonesia yang membaik berdampak positif pada
meredanya tekanan depresiasi nilai tukar rupiah di triwulan IV 2013 dan berlanjut
pada Januari 2014. Nilai tukar rupiah secara point to point pada triwulan laporan tercatat
melemah 4,85% (qtq), lebih rendah dibandingkan dengan pelemahan pada triwulan III
2013 sebesar 14,29 (qtq). Memasuki bulan Januari 2014, tekanan depresiasi nilai tukar
terus mereda. Pada Januari 2014, rupiah ditutup di level Rp12.210 per dolar AS, melemah
0,33% dibandingkan dengan akhir Desember 2013, lebih kecil dari pelemahan pada
Desember 2013 sebesar 1,71% (Grafik 1.23). Secara rata-rata, rupiah Januari 2014 tercatat
Rp12.075 per dolar AS, melemah 0,7%, lebih rendah dibandingkan pelemahan rata-rata
rupiah pada Desember 2013 sebesar 3,74%. Tekanan terhadap rupiah yang mereda juga
dibarengi oleh volatilitas yang turun siginifikan dari bulan sebelumnya sejalan dengan
pergerakan mata uang negara-negara kawasan lainnya (Grafik 1.23 dan Grafik 1.24).
Secara keseluruhan, perkembangan nilai tukar rupiah ini searah dengan kebijakan Bank
Indonesia yang tetap konsisten menjaga stabilitas nilai tukar rupiah sesuai dengan nilai
fundamentalnya didukung berbagai upaya untuk meningkatkan pendalaman pasar valas.
VolatilitasHarian Rata2Volatilitas

Rp/USDHarian(rhs)
Rata-rata

Grafik 1.23
Pergerakan Nilai Tukar Rupiah

Grafik 1.24
Nilai Tukar Kawasan

Dengan perkembangan nilai tukar rupiah sampai Januari 2014 maka nilai tukar
rupiah secara riil dapat menopang upaya memperkuat penyesuaian sektor
eksternal ke arah yang lebih seimbang. Indeks nilai tukar rupiah riil efektif (Real
Effective Exchange Rate REER dengan tahun dasar 2006) pada Januari 2014 tercatat 94,2
sehingga dapat menopang upaya meningkatkan daya saing harga ekspor Indonesia dan
menopang upaya mengendalikan impor (Grafik 1.25). Kenaikan daya saing tersebut juga
ditopang oleh relatif terkendalinya tekanan harga setelah sempat meningkat pascakenaikan
harga BBM bersubsidi pada triwulan II 2013. Dalam skala regional, REER Indonesia lebih
kompetitif dibandingkan Filipina, Thailand, dan Malaysia namun kurang kompetitif
dibandingkan dengan Korea.
Tekanan depresiasi rupiah yang terkedali juga ditopang oleh membaiknya
aktivitas pasar uang valas. Perkembangan pasar valas terkini terlihat semakin
berkembang dinamis dengan volume transaksi yang meningkat dan premi risiko yang
menurun. Risiko yang menurun ini tercermin pada perkembangan Credit Default Swap
(CDS) yang mengalami konsolidasi (Grafik 1.26). Hal ini tidak terlepas dari langkah-langkah
Bank Indonesia untuk pendalaman pasar keuangan, termasuk swap lindung nilai dan repo
antar bank dengan mini MRA.

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 16

Grafik 1.25
Indeks REER dan Euro

Grafik 1.26
Credit Default Swap Indonesia

Inflasi
Bauran kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia dan koordinasi intensif dengan
Pemerintah dapat menurunkan inflasi ke lintasan sasaran 4,5+1% pada 2014 dan
4,0+1% pada 2015. Inflasi pada triwulan IV 2013 menurun dibandingkan dengan triwulan
III 2013, baik pada komponen inflasi inti, volatile food maupun administered prices. Inflasi
IHK pada triwulan IV 2013 mencapai 0,75% (qtq) atau 8,38% (yoy), menurun
dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 4,08% (qtq) atau 8,40% (yoy) (Grafik
1.27). Tekanan inflasi yang menurun disebabkan oleh berlanjutnya koreksi harga pangan,
menurunnya tekanan eksternal, serta meredanya dampak lanjutan kenaikan harga BBM
bersubsidi.
Inflasi pada Januari 2014 juga sesuai dengan pola historisnya sehingga belum
mengganggu prospek pencapaian sasaran inflasi 2014 yakni 4,51%. Meskipun
lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi Desember 2013, inflasi Januari 2014 sebesar
1,07% (mtm) tidak berbeda jauh dibandingkan dengan rata-rata inflasi tahun 2008-2013.
Kenaikan inflasi Januari 2014 terutama dipengaruhi kenaikan inflasi volatile food akibat
bencana alam dan banjir yang kemudian mengganggu produksi dan distribusi pangan di
berbagai daerah terutama Jawa dan Sumatera. Sementara itu, inflasi inti sedikit meningkat
antara lain didorong dampak pelemahan rupiah ke beberapa kelompok barang seperti
kendaraan bermotor serta alat elektronik.

Inti

Grafik 1.27
Perkembangan Inflasi Tahunan

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 17

Pada triwulan IV 2013, kelompok volatile food mengalami deflasi seiring


membaiknya pasokan sejumlah bahan makanan. Deflasi volatile food tercatat sebesar
0,58% (qtq), jauh lebih rendah dari ratarata historis selama lima tahun terakhir2. Tren
deflasi berlangsung setelah sebelumnya inflasi meningkat tinggi pada triwulan III 2013,
sebesar 4,36% (qtq). Berdasarkan komoditas, penyumbang utama deflasi pada triwulan ini
adalah daging ayam, telur ayam, dan bawang merah. Koreksi daging ayam didorong oleh
melimpahnya pasokan Day Old Chicken (D.O.C) dan kembali normalnya permintaan setelah
hari raya. Sementara itu, penurunan harga bawang merah dipengaruhi oleh membaiknya
pasokan sejalan dengan berlangsungnya masa panen yang sebelumnya mundur akibat
anomali cuaca. Selain itu, relaksasi kebijakan pengaturan impor hortikultura turut
mendorong terjadinya perbaikan pasokan seperti pada komoditas bawang putih. Deflasi
pada kelompok volatile food kemudian mendorong penurunan inflasi secara tahunan yakni
dari 13,94% (yoy) pada triwulan III 2013 menjadi 11,83% (yoy) pada triwulan IV 2014
(Grafik 1.28).
Pada Januari 2014, inflasi volatile food kembali meningkat akibat bencana alam
dan banjir yang mengganggu produksi dan distribusi pangan. Inflasi volatile food
tercatat sebesar 2,89% (mtm) atau 11,91% (yoy). Gangguan cuaca di Indonesia serta
erupsi Gunung Sinabung di Sumatera menyebabkan inflasi pada beberapa komoditas
seperti beras, daging sapi, dan cabai merah. Harga daging sapi juga meningkat akibat
gangguan produksi dan distribusi serta realisasi impor yang masih sangat rendah yakni
sekitar 3% dari persetujuan impor triwulan I 2014. Di sisi lain, bawang merah mencatat
deflasi pada bulan ini seiring dengan pasokan dalam negeri yang masih mencukupi karena
masih berlangsungnya panen di beberapa daerah sentra produksi.
Pada kelompok administered prices, inflasi di triwulan IV 2013 menurun tajam,
seiring dengan menurunnya intensitas penerapan kebijakan pemerintah di bidang
harga. Inflasi administered prices di triwulan IV 2013 mencapai 1,40% (qtq) atau 16,65%
(yoy) setelah triwulan sebelumnya memuncak hingga 8,94% (qtq) atau 15,47% (yoy)
(Grafik 1.29). Tekanan inflasi pada kelompok administered price pada triwulan laporan
hanya bersumber dari kenaikan tarif tenaga listrik (TTL) tahap IV pada November 2013 serta
kenaikan Bahan Bakar Rumah Tangga (BBRT), khususnya LPG terkait penyesuaian tarif
distribusi pada akhir tahun.

Grafik 1.28
Pola Inflasi/Deflasi Volatile Food

Grafik 1.29
Inflasi Administered Prices

Rata rata inflasi volatile food selama kurun 5 tahun terakhir (2008 2012) di kuartal IV sebesar
1,55% (qtq).
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 18

Pada Januari 2014, kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga LPG 12 Kg


meningkatkan inflasi administered price. Pada bulan Januari, Pemerintah menaikkan
harga LPG 12 kg dengan besaran Rp 1.000,-/kg. Kenaikan harga tersebut turut
menyumbang kenaikan inflasi kelompok administered prices. Sementara itu, komoditas lain
yang ikut menyumbang inflasi adalah rokok kretek, rokok kretek filter, dan tarif kereta api.
Tekanan inflasi inti pada triwulan IV 2014 menurun seiring meredanya dampak
lanjutan kenaikan harga BBM bersubsidi Inflasi inti pada tercatat sebesar 1,00%
(qtq), mereda dari triwulan sebelumnya yang sebesar 2,59% (qtq) atau 4,72%
(yoy). Dampak depresiasi rupiah pada periode ini masih terbatas terkait perilaku pelaku
usaha yang belum sepenuhnya mentransmisikan pelemahan nilai tukar ke harga jual,
karena mempertimbangkan daya beli yang melemah dan tingkat persaingan usaha yang
ketat (Grafik 1.30). Sementara tekanan dari sisi permintaan masih terkendali sejalan
dengan moderasi perekonomian dan respons sisi penawaran yang masih memadai, yang
tercermin dari stabilnya kapasitas utilisasi di kisaran 70% (Grafik 1.31).
%
80
75
70
70.35
65
60
1234123412341234123412341234123412341234
2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

KapasitasProduksiTerpakaiIndustriPengolahan(SKDU)

Grafik 1.30
Inflasi Inti dan Faktor Eksternal

Grafik 1.31
Kapasitas Utilisasi

Pada Januari 2014, inflasi inti meningkat menjadi 0,54% (mtm) atau 4,53% (yoy).
Perkembangan ini dipengaruhi dampak pelemahan rupiah ke beberapa kelompok barang
seperti emas perhiasan, otomotif (mobil, sepeda motor), elektronik (lemari es), dan
komoditas lain dengan kandungan impor yang cukup besar (susu bubuk dan obat dengan
resep). Namun, permintaan domestik mengalami moderasi sehingga tidak memberikan
tekanan lanjutan kepada inflasi inti.

Rata-rata

Grafik 1.32
Ekspektasi Inflasi Consensus Forecast
Tahunan

Grafik 1.33
Ekspektasi Harga Pedagang Eceran

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 19

Tekanan inflasi inti yang tetap terkendali juga ditopang oleh ekspektasi inflasi
yang masih dalam kisaran target. Hasil survei Consensus Forecast Desember 2013
menunjukkan inflasi 2014 kembali pada kisaran sasarannya (Grafik 1.32). Namun demikian,
ekspektasi inflasi tetap perlu dicermati karena survei harga di level pedagang eceran
meningkat antara lain akibat aktivitas menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 (Grafik
1.33).
Secara spasial, peningkatan inflasi pada Januari 2014 tampak terjadi di kawasan
Sumatera, Jawa, dan Jakarta serta sebagian Kawasan Timur Indonesia (KTI)
(Gambar 1.2). Meningkatnya tekanan inflasi di hampir seluruh daerah di kawasan
Sumatera terutama disebabkan terbatasnya pasokan seiring dengan produksi yang
menurun dan distribusi yang terhambat akibat kondisi cuaca yang tidak kondusif dan
bencana alam erupsi Gunung Sinabung. Seperti halnya di Sumatera, kenaikan inflasi di
Jawa dan Jakarta juga dipengaruhi oleh pasokan yang menurun akibat produksi dan
distribusi pangan yang terkendala cuaca. Sementara itu, peningkatan tekanan inflasi
pangan di KTI akibat kenaikan harga komoditas ikan segar tertahan oleh koreksi harga
komoditas subkelompok bumbu-bumbuan.

Inf >1,1%

0,6%<inf 1,1%

0,4%<inf 0,6%

Inf 0,4%

Gambar 1.2. Peta Sebaran Inflasi IHK (%, mtm)

Perkembangan Moneter
Perkembangan moneter tidak terlepas dari kebijakan yang ditempuh Bank
Indonesia dalam merespon meningkatnya tekanan pada stabilitas ekonomi dan
melebarnya defisit transaksi berjalan. Untuk merespon berbagai tantangan tersebut,
Bank Indonesia terus memperkuat bauran kebijakan melalui kebijakan suku bunga yang
konsisten dengan upaya mengendalikan inflasi sehingga sesuai dengan sasarannya,
kebijakan stabilisasi nilai tukar yang sesuai dengan nilai fundamentalnya, kebijakan operasi
moneter dan pendalaman pasar keuangan, kebijakan makroprudensial, dan penguatan
koordinasi Bank Indonesia dan Pemerintah serta kerjasama dengan bank sentral.
Pada kebijakan suku bunga, Bank Indonesia menempuh kebijakan moneter lebih
ketat dengan menaikkan suku bunga BI Rate. Secara kumulatif, BI Rate pada tahun
2013 meningkat 175 bps sehingga menjadi 7,50% pada Desember 2013. Pada November
2013, BI Rate meningkat 25 bps menjadi 7,50% dibandingkan dengan September 2013
guna memastikan inflasi bergerak kembali ke lintasan sasaran dan tetap konsisten
menurunkan defisit transaksi berjalan yang masih besar pada triwulan III 2013. Level BI Rate
tersebut kemudian terus bertahan hingga Januari 2014.
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 20

Kenaikan BI Rate tertransmisi dengan baik kepada suku bunga PUAB. Suku bunga
PUAB O/N (overnight) terlihat meningkat di sepanjang triwulan IV 2013 yang rata-rata
tertimbang di triwulan IV 2013 tercatat 5,83%, atau naik dibandingkan triwulan III 2013
yang sebesar 5,05% (Grafik 1.34). Perkembangan Januari 2014 menunjukkan tren suku
bunga PUAB O/N yang stabil sejalan dengan perkembangan BI Rate yang tidak berubah.
Rata-rata tertimbang suku bunga PUAB O/N pada bulan Januari 2014 tercatat stabil sebesar
5,90% dibandingkan bulan Desember 2013.
Di tengah tren kenaikan suku bunga, likuiditas PUAB meningkat pada triwulan IV
2013. Dibandingkan triwulan III 2013, rata-rata tertimbang volume PUAB triwulan IV 2013
sedikit meningkat menjadi Rp10,5 triliun dari Rp10,1 triliun. Peningkatan volume PUAB
pada triwulan IV 2013 antara lain didorong oleh kenaikan permintaan uang musiman di
akhir tahun yang kemudian meningkatkan permintaan uang di PUAB. Perkembangan ini
pada sisi lain akhirnya menurunkan rata-rata volume DF O/N menjadi Rp97,83 triliun dari
Rp114,22 triliun guna memenuhi permintaan tersebut (Grafik 1.35). Pada Januari 2014,
rata-rata tertimbang volume PUAB total kembali turun menjadi Rp9,9 triliun dari Rp10,2
triliun, sedangkan rata-rata volume DF O/N meningkat menjadi Rp112,8 triliun dari
Rp108,2 triliun, sejalan dengan kembalinya normalnya permintaan uang pasca kenaikan
musiman di akhir tahun.

rPUABO/N

rLendingrate

rDFO/N

rBIRate

8,0

VolDFO/N(RHS)

VolPUABO/N(RHS)

RpT

7,5

rBIRate

rPUABO/N

120

7,0

rDFO/N

Jan14

Jul13

Grafik 1.34
Suku Bunga PUAB O/N

Oct13

Jan13

Apr13

Jul12

Oct12

Jan12

Apr12

Jul11

Oct11

Jan11

Apr11

Jul10

Oct10

3
Jan10

3
Apr10

100

6,5

rPUAB :5.90%

6,0
5,5
5,0

80
60

AvgVolDF: Rp 119.8T
RRTVolPUAB:Rp9.9T

40

4,5
4,0

20

3,5
Jan12 Apr12 Jul12 Okt12 Jan13 Apr13 Jul13 Okt13 Jan14

Grafik 1.35
Suku Bunga PUAB O/N & Vol DF O/N

Kenaikan BI rate juga masih tertransmisi kepada kenaikan suku bunga perbankan,
namun diikuti menurunnya spread antara suku bunga simpanan dan suku bunga
kredit. Seiring tren kenaikan BI rate, suku bunga kredit maupun suku bunga deposito
masih meningkat pada triwulan IV 2013. Namun demikian, kenaikan suku bunga deposito
tercatat lebih tinggi daripada suku bunga kredit sejalan tingginya persaingan ketat di
kalangan perbankan untuk mempertahankan dana simpanan pihak ketiga. Selama triwulan
IV 2013, suku bunga deposito 1 bulan naik sebesar 119 bps sedangkan suku bunga kredit
naik sebesar 25 bps. Kenaikan suku bunga kredit tertinggi sebesar 33 bps terjadi pada
Kredit Modal Kerja dan Kredit Investasi masing-masing menjadi 12,12% dan 11,82%,
sedangkan suku bunga Kredit Konsumsi hanya naik 10 bps menjadi 13,13% (Grafik 1.36).
Dengan perkembangan ini, spread di antara suku bunga kredit dan deposito menurun
menjadi 447 bps, dari 541 bps pada triwulan sebelumnya (Grafik 1.37).

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 21

15

16

12.39

13

15

13.13

12.39
5
12.12

13

Sb.Kredit

Sb.KreditInvestasi

Grafik 1.36
Suku Bunga KMK, KI dan KK

SbDep1bln

Jul13

Jul12

BIrate

Jan13

Jul11

Jan12

Jul10

Jul09

Jul08

SbKredit

Jan09

Jul07

Jan08

Jul06

Jan07

Jul05

Spreadrhs

Sb.KreditKonsumsi

1
0

Jan06

11.82

Sb.KreditModalKerja

Jan08
Mar08
Mei08
Jul08
Sep08
Nop08
Jan09
Mar09
Mei09
Jul09
Sep09
Nop09
Jan10
Mar10
Mei10
Jul10
Sep10
Nop10
Jan11
Mar11
Mei11
Jul11
Sep11
Nop11
Jan12
Mar12
Mei12
Jul12
Sep12
Nop12
Jan13
Mar13
Mei13
Jul13
Sep13
Nop13

11

DataPerDes2013

7.92
Jan05

12

SelisihrKredit rDepo1:
447bps

Jan11

14

11

Jan10

17

SbLPS

Grafik 1.37
Spread Suku Bunga Perbankan

Kenaikan suku bunga dan permintaan domestik yang termoderasi sejalan dengan
arah kebijakan Bank Indonesia mengendalikan stabilitas ekonomi dan menekan
defisit transaksi berjalan kemudian berpengaruh pada menurunnya likuiditas
perekonomian. Uang beredar dalam arti sempit (M1) tumbuh melambat pada Desember
2013 menjadi 5,4% (yoy) dibandingkan pertumbuhan September 2013 yang sebesar 9,1%
(yoy). Perlambatan likuiditas M1 ini dikontribusi oleh perlambatan pertumbuhan pada uang
kartal dan giral (Grafik 1.38).
Arah kebijakan yang ditempuh juga berpengaruh pada komponen lain dalam
likuiditas perekonomian dalam arti luas (M2) yakni uang kuasi. Pertumbuhan uang
kuasi pada Desember 2013 tercatat 14,8% (yoy), mulai meningkat dibandingkan dengan
pertumbuhan Oktober 2013 sebesar 13,48% (yoy). Meskipun lebih rendah dibandingkan
dengan pertumbuhan akhir triwulan III 2013 sebesar 16,05% (yoy), kenaikan pertumbuhan
uang kuasi ini dipengaruhi oleh kenaikan suku bunga deposito dan menurunnya kegiatan
ekonomi sehingga masyarakat cenderung meningkatkan simpanan di perbankan. Namun
demikian, pengaruh kuat menurunnya pertumbuhan M1 mengakibatkan pertumbuhan M2
pada Desember 2013 tercatat 12,7% (yoy), menurun dari 14,6% pada triwulan
sebelumnya (Grafik 1.39).

25

25

%KontribusiPertumbuhanM1

20

20

15

15

10

10

%KontribusiPertumbuhanM2

M1

Kartal(COB)

GiroRupiah

5
Jan11Apr11 Jul11 Okt11Jan12Apr12 Jul12 Okt12Jan13Apr13 Jul13 Okt13

Grafik 1.38
Pertumbuhan M1 (Kontribusi)

0
Jan11 Mei11 Sep11 Jan12 Mei12 Sep12 Jan13 Mei13 Sep13

M2

M1

UangKuasi

Grafik 1.39
Pertumbuhan M2 (Kontribusi)

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 22

Berdasarkan faktor yang mempengaruhi, perlambatan M2 dipengaruhi turunnya


Net Domestic Asset (NDA) di tengah naiknya Net Foreign Asset (NFA) (Grafik 1.40).
Perlambatan NDA dipengaruhi melambatnya pertumbuhan kredit perbankan yang pada
Desember 2013 tercatat 21,4% (yoy), melambat dibandingkan dengan pertumbuhan akhir
triwulan IV 2013 sebesar 23,1% (yoy). Sementara itu, kenaikan pertumbuhan NFA lebih
banyak dipengaruhi oleh dampak depresiasi Rupiah yang menyebabkan peningkatan nilai
aset-aset valas dalam rupiah.

25

%KontribusiPertumbuhanM2

%yoy

25

20

20

15

15

10

10

0
5

M2%yoy(RHS)

NFA

NDA
10

10
Jan11Apr11Jul11Okt11Jan12Apr12Jul12Okt12Jan13Apr13Jul13Okt13

Grafik 1.40
Pertumbuhan M2 (Faktor yang Berpengaruh)

Industri Perbankan
Moderasi ekonomi Indonesia yang terkendali ditopang oleh stabilitas sistem
keuangan yang tetap terjaga. Stabilitas sistem keuangan yang terjaga ditopang oleh
ketahanan industri perbankan yang tetap solid dengan risiko kredit, likuiditas dan pasar
yang cukup terjaga. Ketahanan industri perbankan juga ditopang oleh ketahanan modal
yang masih kuat.
Pertumbuhan kredit dalam tren melambat sejalan dengan permintaan domestik
yang melambat dan kenaikan suku bunga. Sebagaimana disampaikan sebelumnya,
pertumbuhan kredit pada triwulan IV 2013 menurun menjadi 21,4% (yoy) (17,4% dengan
menetralkan depresiasi nilai tukar), dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 23,1%
(yoy). Perlambatan kredit disumbang perlambatan KMK, yang memiliki pangsa hingga 48%
dari total kredit, menjadi 20,4% (yoy) dibandingkan triwulan sebelumnya 21,9% (yoy).
Pertumbuhan KK juga turun menjadi 13,7% (yoy) dibandingkan triwulan sebelumnya
17,2%. Sementara itu, pertumbuhan KI masih meningkat menjadi 35,0% (yoy)
dibandingkan triwulan sebelumnya 33,9% (yoy) (Grafik 1.41).
Secara sektoral, perlambatan kredit terutama dipengaruhi kredit ke sektor
perdagangan. Kredit sektor perdagangan (yang memiliki pangsa terbesar) tumbuh
melambat dari 35,74% (yoy) pada triwulan III 2013 menjadi 29,3% (yoy) pada pada
triwulan IV 2013. Sementara itu, penyaluran kredit ke sektor utama lain yaitu sektor jasa
dunia usaha dan industri pengolahan meningkat, masing-masing tumbuh sebesar 24,18%
(yoy) dan 29,63% (yoy), lebih tinggi daripada triwulan sebelumnya yang sebesar 23,99%
(yoy) dan 29,07 (yoy) (Grafik 1.42).

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 23

%yoy

12
11

32

10

Pengangkutan

Perdagangan

per Des 2013

KMK

KI

KK

BIRate(RHS)

Konstruksi

Listrik,AirdanGas

IndustriPengolahan

Pertambangan
Pertanian

Jan08
Mar08
Mei08
Jul08
Sep08
Nop08
Jan09
Mar09
Mei09
Jul09
Sep09
Nop09
Jan10
Mar10
Mei10
Jul10
Sep10
Nop10
Jan11
Mar11
Mei11
Jul11
Sep11
Nop11
Jan12
Mar12
Mei12
Jul12
Sep12
Nop12
Jan13
Mar13
Mei13
Jul13
Sep13
Nop13

Total

Grafik 1.41. Pertumbuhan Kredit


Menurut Penggunaan

Sep13(%yoy)

JasaDuniaUsaha

18
11

Des13(%yoy)

JasaSosial

25

10

Des13(Kontribusi%yoy)

Lainnya

39

10

15

20

25

30

35

40

Grafik 1.42. Kontribusi Pertumbuhan


Kredit

Di tengah tren perlambatan kredit dan penurunan likuiditas, modal perbankan


masih meningkat dengan ketahanan yang tetap terjaga. Pada akhir triwulan IV 2013,
rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) masih tinggi sebesar 18,36%, jauh di
atas ketentuan minimum 8%. Angka ini juga meningkat dibandingkan dengan CAR akhir
triwulan III 2013 yang sebesar 18,00%. Hal ini mencerminkan daya tahan perbankan yang
masih kuat terhadap gejolak termasuk tekanan pelemahan nilai tukar dan kenaikan suku
bunga yang terjadi. Sementara itu, rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL)
tetap rendah dan stabil di kisaran 1,9% (Tabel 1.6).
Tabel 1.6 Kondisi Umum Perbankan
Indikator
Utama
TotalAset
DPK
Kredit*
LDR*
NPLsBruto*
CAR
NIM
ROA
*tanpachanneling

2012
Des
(TRp) 4,262.6
(TRp) 3,225.2
(TRp) 2,707.9
(%) 84.72
(%)
1.87
(%)
17.32
(%)
5.49
(%)
3.08

Jan
4,211.0
3,204.5
2,688.1
84.64
2.01
19.18
5.53
3.12

Feb
4,237.1
3,207.3
2,718.7
85.51
2.03
19.15
5.34
2.89

Mar
4,313.8
3,243.1
2,768.4
86.11
1.97
18.92
5.41
2.99

Apr
4,367.8
3,299.4
2,824.2
86.22
1.96
18.61
5.42
2.92

Mei
4,418.7
3,349.6
2,887.5
86.85
1.95
18.39
5.41
2.96

2013
Jun
Jul
4,461.8 4,510.3
3,374.4 3,392.9
2,959.1 3,021.1
88.38 89.76
1.88
1.87
17.98 17.95
5.43
5.46
2.98
3.00

Ags
4,581.1
3,440.2
3,067.4
89.86
1.99
17.89
5.46
2.99

Sep
4,737.3
3,526.2
3,147.2
89.92
1.86
18.00
5.48
3.01

Okt
4,717.0
3,520.9
3,159.5
90.40
1.91
18.36
5.50
3.03

Nov
4,817.8
3,563.4
3,214.4
90.95
1.88
18.60
5.51
3.04

Des
4,954.5
3,664.0
3,292.9
90.55
1.77
18.36
5.40
3.08

Pasar Saham dan Pasar Surat Berharga Negara


Pasar saham domestik mengalami koreksi selama triwulan IV 2013 dan kemudian
membaik pada Januari 2014. Pada triwulan IV 2013, kinerja IHSG tercatat di level
4.274,18 pada 30 Desember 2013, menurun 0,98% (qtq) dibandingkan triwulan III 2013
yang mencapai level 4,316,18 (Grafik 1.43). Perkembangan ini dipengaruhi oleh
meningkatnya kembali isu percepatan tapering dan persepsi investor asing yang belum solid
terhadap ekonomi Indonesia. Namun demikian, kinerja pasar saham domestik kembali
menguat pada Januari 2014. Kinerja IHSG selama Januari 2014 mencapai level 4.418,76 (30
Januari 2014) atau naik 3,38% (mtm) dibandingkan posisi Desember 2013. Pencapaian ini
juga lebih baik daripada kinerja bursa saham Singapura, Malaysia, Thailand dan Philipina
(Grafik 1.44). Penguatan IHSG terjadi seiring dengan meredanya kekhawatiran akan
percepatan tapering oleh the Fed, membaiknya data ekonomi global dan regional, serta
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 24

sejumlah sentimen positif global. Dari dalam negeri, kinerja IHSG juga didukung oleh
meningkatnya optimisme terhadap prospek ekonomi domestik seiring inflasi yang
terkendali dan membaiknya data neraca perdagangan.

Grafik 1.43. IHSG dan Net Beli/Jual Asing

Grafik 1.44. IHSG dan Indeks Bursa


Global Januari 2014

Dinamika pasar saham pada triwulan IV 2013 dan Januari 2014 juga dipengaruhi
oleh perilaku asing. Pada triwulan IV 2013, investor asing membukukan net jual di pasar
saham domestik sebesar Rp11,11 triliun pada triwulan IV 2013 atau lebih tinggi
dibandingkan triwulan III 2013 yang mengalami net jual sebesar Rp8,54 triliun.
Perkembangan pada Januari 2014 menunjukkan perubahan dimana investor asing telah
kembali mencatatkan net beli sebesar Rp4,82 triliun (Grafik 1.43).
Dinamika berbeda terlihat pada pasar surat berharga negara (SBN), terutama pada
Januari 2014. Pasar SBN juga mengalami koreksi pada triwulan IV 2013 ditandai yield SBN
yang meningkat dipicu permasalahan yang hampir sama dengan pasar saham. Pada
triwulan IV 2013, yield SBN meningkat sebesar 11,68 bps menjadi 8,29% dibandingkan
dengan yield pada triwulan III 2013 yang sebesar 8,17%. Yield jangka pendek, menengah
dan panjang meningkat masing-masing sebesar 22,97 bps, 2,07 bps dan 15,83 bps
menjadi sebesar 7,62%, 8,34% dan 9,08% (Grafik 1.45). Kenaikan yield SBN berlanjut
pada Januari 2014 dimana yield SBN meningkat sebesar 31,56 bps menjadi 8,60%
dibandingkan Desember 2013 yang sebesar 8,29%. Yield jangka pendek, menengah, dan
panjang meningkat masing-masing sebesar 14,45 bps, 34,30 bps dan 48,90 bps menjadi
7,77%, 8,68% dan 9,57%.

Grafik 1.45. Perubahan Yield


Triwulan IV 2013 (qtq)

Grafik 1.46. Yield SBN dan Net Jual/Beli


Asing Bulanan

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 25

Tren yield SBN hingga Januari 2014 terindikasi mulai menarik minat investor asing
untuk menanamkan modal di SBN. Hal ini tercermin pada penempatan investor asing
selama triwulan IV 2013 yang membukukan net beli Rp29,69 triliun, lebih tinggi
dibandingkan dengan net beli triwulan III-2013 yang sebesar Rp11,18 triliun. Pada periode
yang sama, kepemilikan SBN oleh Perusahaan Asuransi, Dana Pensiun, dan BI mengalami
peningkatan, sementara kepemilikan SBN oleh perbankan tercatat menurun.
Perkembangan Januari 2014 menunjukkan aksi beli oleh asing masih berlanjut. Pada
Januari 2014, investor asing membukukan net beli sebesar Rp4,82 triliun meningkat
dibandingkan dengan kondisi Desember 2013 yang membukukan net jual sebesar Rp0,37
triliun (Grafik 1.46). Pembelian oleh asing utamanya terjadi pada SBN jangka menengah
dan panjang.

Pembiayaan Non Bank


Di tengah kondisi pasar keuangan domestik yang tertekan, kinerja pembiayaan
nonbank tetap terjaga. Total pembiayaan non bank melalui penerbitan saham perdana,
right issue, obligasi korporasi, medium term notes, promissory notes dan lembaga
keuangan lainnya mencapai Rp34,7 triliun selama triwulan IV 2013 (Tabel 1.7). Nilai
tersebut meningkat tinggi dibandingkan catatan triwulan III 2013 sebesar Rp3,6 triliun.
Pada Januari 2014, pembiayaan non bank telah terkumpul dana sebesar Rp1,2 triliun, lebih
tinggi dibandingkan pembiayaan Januari 2014 yang sebesar Rp0,8 triliun. Untuk
keseluruhan tahun 2014, BEI menargetkan jumlah perusahaan yang IPO sebanyak 30
emiten atau relatif sama dengan pencapaian di tahun 2013. BEI juga menargetkan jumlah
perusahaan yang menerbitkan obligasi sebanyak 57 emiten, dan jumlah perusahaan yang
menerbitkan right issue sebanyak 60 emiten.
Tabel 1.7. Pembiayaan Non Bank
Rp, Triliun
2009 2010 2011

2012

2013

2014

Total Total Total TW I TW II TW III TW IV Total Jan Des TW I TW II TW III TW IV Total Jan Total
Non Bank
Saham

47,5 123,5 120,0 13,6 47,3 10,8 37,2 108,9 0,8 10,7 16,3 58,3 3,6 34,7 112,9 1,2 1,2
12,4 78,0 62,8 2,4 5,6 1,8 11,2 21,0 0,7 6,6 2,8 29,3 2,8 22,7 57,5 0,5 0,5

o/w Emiten Sektor Keuangan

6,6

Obligasi

25,8 34,7 51,3 9,6 41,0 7,1 20,1 77,7 0,0 3,3 12,7 27,7 0,3 9,9 50,5 0,0 0,0

o/w Emiten Sektor Keuangan

17,5

MTN dan Promissory Notes + NCD

3,9 10,8 5,9 1,6 0,8 1,9

o/w Emiten Sektor Keuangan

20,6
27,0
3,2

20,4
41,4
1,9

0,0
8,3
1,3

2,3
26,2
0,1

0,7
4,8
0,6

0,0
14,4

3,1
53,7

0,0 4,0
0,0 2,1

0,3
9,9

6,0
13,5

1,2
0,0

9,1
7,5

16,6
30,8

0,4
0,0

0,4
0,0

5,9 10,1 0,1 0,8 0,8 1,3 0,6 2,2 4,9 0,6 0,6
0,1

2,1

0,0 0,5

0,7

1,3

0,1

1,1

3,2

0,6

0,6

Sistem Pembayaran
Perkembangan sistem pembayaran dari kelompok tunai tetap solid sehingga dapat
menopang kegiatan ekonomi dan stabilitas sistem keuangan. Penyediaan uang guna
memenuhi peningkatan permintaan uang tunai menjelang perayaan Natal dan liburan
Tahun Baru dapat dilakukan dengan optimal. Pada triwulan IV 2013, rata-rata harian Uang
Kartal yang Diedarkan (UYD) tercatat sebesar Rp448,03 triliun, meningkat Rp11,78 triliun
atau naik 2,70% (qtq) dibandingkan triwulan III-2013. Angka UYD ini juga meningkat
Rp52,95 triliun atau 13,40% dibanding triwulan yang sama tahun sebelumnya (Grafik
1.47).
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 26

500

18,2%
16,8%

450
400

17,4%

16,6% 16,1% 16,4%

15,6%

14,2%

13,4%

12,7%
11,1%

350
300
250
200
150

TrwII
2011

TrwIV
2011

TrwII
2012

TrwIV
2012

Nominal(Rp.triliun)

TrwII
2013

20%
18%
16%
14%
12%
10%
8%
6%
4%
2%
0%

TrwIV
2013

Pertumbuhan(yoy)

Grafik 1.47. Perkembangan UYD (yoy)

Penyediaan uang tunai yang solid juga dibarengi dengan peningkatan kelayakan
uang beredar. Selama triwulan IV-2013, sejumlah 1,72 miliar lembar/keping Uang Tidak
Layak Edar (UTLE) telah dimusnahkan atau lebih tinggi 40,53% dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya. Jumlah tersebut setara dengan Rp41,29 triliun atau lebih tinggi
37,82% dibandingkan periode sebelumnya. Rasio pemusnahan UTLE terhadap aliran uang
masuk tercatat sebesar 47,67%, lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan IV 2013 yang
tercatat sebesar 20,76%.
Dari sistem pembayaran non tunai, moderasi perekonomian domestik berdampak
pada menurunnya transaksi sistem pembayaran non tunai. Pada triwulan IV 2013,
nilai transaksi sistem pembayaran non tunai menurun sebesar Rp1.930 triliun atau 5,31%
dibanding triwulan sebelumnya. Penurunan ini terutama terjadi pada transaksi sistem BIRTGS yang disebabkan oleh menurunnya transaksi operasi moneter. Namun demikian,
volume transaksi non tunai pada triwulan IV 2013 tetap meningkat sebesar 94,7 juta atau
9,36% dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Peningkatan volume terjadi pada
semua jenis sistem pembayaran non tunai dengan kenaikan tertinggi pada transaksi APMK
khususnya kartu ATM dan kartu ATM/Debit yang umum digunakan masyarakat untuk
mendukung aktivitas ekonomi di seputar hari libur.

Tabel 1.8. Perkembangan Nilai Sistem Pembayaran Non Tunai


TransaksiSistemPembayaranNonTunai
BIRTGS
BISSSS
Kliring
Debet
Kredit
APMK
KartuKredit
KartuATMdanATM/Debet
UangElektronik
Total

2013
QI
18,778.31
4,939.05
547.87
394.76
153.11
917.78
51.44
866.34
0.59
25,183.59

QII
21,410.43
5,299.69
605.66
414.81
190.84
989.61
55.23
934.38
0.68
28,306.07

QIII
26,369.46
8,259.94
680.80
421.16
259.64
1,039.45
57.08
982.36
0.90
36,350.55

Nilai(triliunRp)
%naik/(turun)
QIV
QtQ(IIItoIV)
24,403.82
7.45%
8,233.35
0.32%
707.99
3.99%
425.56
1.05%
282.43
8.78%
1,073.90
3.31%
59.62
4.44%
3.25%
1,014.28
0.74
17.88%
34,419.79
5.31%

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 27

Tabel 1.9. Perkembangan Volume Sistem Pembayaran Non Tunai


TransaksiSistemPembayaranNonTunai
BIRTGS
BISSSS
Kliring
Debet
Kredit
APMK
KartuKredit
KartuATMdanATM/Debet
UangElektronik
Total

2013
QI
4,250.03
34.16
24,341.27
10,615.23
13,726.04
849,409.97
56,667.47
792,742.50
30,728.04
908,763.47

QII
4,498.99
34.16
25,946.38
10,902.14
15,044.24
917,524.30
59,557.75
857,966.56
34,259.61
982,263.43

QIII
4,263.52
28.52
26,270.70
10,596.93
15,673.77
945,361.63
61,329.42
884,032.21
35,850.06
1,011,774.42

VolumedalamRibu
%naik/(turun)
QIV
QtQ(IIItoIV)
4,621.03
8.39%
35.13
23.19%
27,751.07
5.64%
10,504.32
0.87%
17,246.75
10.04%
1,037,011.28
9.69%
61,543.89
0.35%
975,467.39
10.34%
37,063.07
3.38%
1,106,481.59
9.36%

Kendati nilai transaksi mengalami penurunan, sistem pembayaran non tunai tetap
dapat berjalan lancar menopang kegiatan ekonomi. Ketersediaan sistem Bank
Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) sebagai setelmen dana, BI-SSSS sebagai
setelmen surat berharga pemerintah dan Bank Indonesia, serta SKNBI mencapai 100%
pada triwulan IV 2013. Transaksi yang aman dan lancar juga terjadi pada Alat Pembayaran
dengan Menggunakan Kartu (APMK) seperti kartu ATM, kartu ATM/debet, dan kartu kredit
serta uang elektronik yang tidak mengalami gangguan, meskipun terjadi peningkatan
kegiatan pembayaran non tunai yang cukup besar di seputar hari raya Natal dan perayaan
Tahun Baru.

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 28

PROSPEK PEREKONOMIAN

Perkembangan positif ekonomi triwulan IV 2013 dan Januari 2014 menjadi basis
penguatan pertumbuhan ekonomi ke depan. Bank Indonesia memperkirakan stabilitas
ekonomi yang kembali terkendali dan pertumbuhan ekonomi akan lebih seimbang
sehingga dapat menurunkan defisit transaksi berjalan ke level yang lebih sehat.
Pertumbuhan ekonomi 2014 diperkirakan mendekati batas bawah kisaran 5,8-6,2% dan
diikuti perbaikan sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia sejalan perkiraan masih
berlanjutnya moderasi permintaan domestik dan ekspor yang membaik didorong perbaikan
ekonomi global. Defisit transaksi berjalan diprakirakan semakin turun ke arah yang sehat
dipengaruhi prospek perbaikan ekspor dan impor yang terkendali sejalan moderasi
permintaan domestik. Sementara itu, inflasi diprakirakan dapat terjaga pada kisaran
targetnya 4,51% dan berlanjut menurun pada kisaran 4,01% pada 2015. Sejalan
dengan pertumbuhan ekonomi tersebut, pertumbuhan kredit diperkirakan berada pada
kisaran 15-17% sehingga konsisten dengan upaya mengarahkan ekonomi menjadi lebih
sehat dan seimbang.
Bank Indonesia tetap mencermati beberapa risiko ekonomi baik dari global
maupun domestik, yang berpotensi mengganggu kembali stabilitas dan prospek
perekonomian. Dari global, faktor risiko antara lain terkait ketidakpastian normalisasi
kebijakan bank sentral AS (The Fed) dan potensi perlambatan ekonomi China. Risiko ini
dapat mempengaruhi prospek ekonomi Indonesia melalui jalur finansial dan jalur
perdagangan. Dari sisi domestik, beberapa risiko yang dapat meningkatkan tekanan inflasi
juga perlu dicermati seperti gangguan pasokan pangan, kenaikan beberapa barang
kelompok administered dan dampak depresiasi nilai tukar Rupiah.

Prospek Perekonomian Global


Prospek perbaikan ekonomi domestik
pada tahun 2014 dipengaruhi prospek
pertumbuhan ekonomi global 2014 yang
diperkirakan lebih tinggi dari tahun 2013.
Meskipun masih moderat terkait tingginya
ketidakpastian, pertumbuhan ekonomi dunia
tahun 2014 diperkirakan masing-masing
sebesar 3,6% (Tabel 2.1).

Tabel 2.1
Proyeksi PDB Dunia (%)
2013

Proyeksi
2014

PDB Dunia

3.0

Jepang

1.7

1.7

Amerika Serikat

1.8

2.8

Kawasan Eropa

-0.4

0.9

0.2

0.9

Perancis
Jerman
Italia

3.6

0.6

1.6

-1.8

0.6

Prospek pertumbuhan ekonomi global


Spanyol
-1.2
0.6
dipengaruhi
pertumbuhan
ekonomi
Negara Kawasan Eropa Lainnya
-0.8
0.4
China
7.7
7.5
negara maju. Tren pemulihan ekonomi AS
India
4.7
5.3
yang diperkirakan masih berlanjut . Ekonomi
Negara Lainnya
3.1
3.6
Eropa yang mulai beralih dari resesi menjadi
Sumber: Bank Indonesia
recovery, meskipun masih belum merata.
Sejalan dengan itu, perkembangan ekonomi Jepang juga diperkirakan masih tumbuh
cukup kuat, meskipun kenaikan pajak penjualan akan diberlakukan pada bulan April 2014.

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 29

Selain didukung pemulihan ekonomi negara maju, pertumbuhan global juga mulai
mendapat dorongan dari pertumbuhan ekonomi negara-negara emerging market.
Pertumbuhan ekonomi China diperkirakan masih timbuh di level yang tinggi, meskipun
termoderasi sejalan dengan kebijakan Pemerintah China mengelola pertumbuhan ekonomi
yang berkelanjutan. Selain itu, pertumbuhan ekonomi India juga diperkirakan meningkat
ditopang oleh pertumbuhan ekspor dan ekspektasi akan berlanjutnya kebijakan struktural
untuk mendukung Investasi (Tabel 1.1).
Prospek perekonomian global yang semakin baik, termasuk perbaikan negara
Eropa, diprakirakan akan menaikkan volume perdagangan internasional. Volume
perdagangan global di tahun 2014 diperkirakan sebesar 3,8%. Sejalan dengan itu, harga
komoditas dunia diperkirakan perlahan membaik seiring dengan sinyal perbaikan ekonomi
negara maju. Namun, harga minyak masih diproyeksikan turun dengan pertimbangan
adanya tambahan pasokan dari negara-negara non-OPEC, sedangkan peningkatan
permintaan seiring pemulihan ekonomi global masih terbatas.

Prospek Pertumbuhan Ekonomi


Prospek ekonomi global yang membaik serta ekonomi domestik yang makin stabil
diperkirakan menopang pertumbuhan ekonomi menjadi lebih seimbang.
Pertumbuhan ekonomi 2014 diperkirakan mendekati batas bawah kisaran 5,8-6,2% dan
diikuti perbaikan sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia sejalan perkiraan masih
berlanjutnya moderasi permintaan domestik dan ekspor yang membaik didorong perbaikan
ekonomi global (Tabel 2.2).
%Y-o-Y, Tahun Dasar 2000

Tabel 2.2
Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Sisi Permintaan
Komponen

2011

2012

Konsumsi Rumah Tangga


Konsumsi Pemerintah

4.7
3.2

Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto


Ekspor Barang dan Jasa
Impor Barang dan Jasa
PDB

2013

2013

2014*

5.3
6.4

5.3
4.9

5.2 - 5.6
5.9 - 6.3

4.5
5.2
5.1

4.4
7.4
-0.6

4.7
5.3
1.2

5.6 - 6.0
8.3 - 8.7
5.6 - 6.0

5.6

5.7

5.8

5.8 - 6.2

II

III

IV

5.3
1.3

5.2
0.4

5.1
2.2

5.5
8.9

8.8
13.6
13.3

9.7
2.0
6.7

5.5
3.6
0.0

4.5
4.8
0.7

6.5

6.3

6.0

5.8

Sumber : BPS
* Proyeksi Bank Indonesia

Prospek pertumbuhan ekonomi ditopang konsumsi rumah tangga yang


diprakirakan masih tumbuh di level yang tinggi akibat daya beli masyarakat yang
meningkat, penyelenggaraan Pemilu 2014, serta proporsi penduduk usia produktif
yang membesar. Daya beli masyarakat diprakirakan dapat terjaga seiring dengan
peningkatan pendapatan ekspor dan kenaikan gaji/upah, serta inflasi yang terjaga. Proporsi
penduduk usia produktif yang membesar akan berdampak pada peningkatan jumlah
angkatan kerja sehingga akan berdampak positif terhadap konsumsi.
Sejalan dengan itu, investasi (PMTB) diprakirakan tumbuh lebih tinggi dari tahun
2013 seiring dengan peningkatan pertumbuhan ekspor dan konsumsi rumah
tangga. Peningkatan ivestasi juga mendapat dukungan dari alokasi anggaran infrastruktur
pemerintah yang meningkat dan optimisme penyelesaian berbagai proyek infrastruktur.
Seperti di tahun-tahun sebelumnya, pertumbuhan investasi di tahun 2014 terutama
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 30

disumbangkan oleh investasi bangunan. Hal ini terkait dengan masih besarnya kebutuhan
infrastruktur untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Prospek kenaikan investasi juga
dipengaruhi prospek kenaikan PMA sejalan kondisi Indonesia yang merupakan tujuan
utama investasi di kawasan ASEAN berdasarkan ASEAN Business Survey 2014.
Pertumbuhan ekspor diprakirakan meningkat ditopang pertumbuhan dunia dan
membaiknya daya saing. Sebagian besar negara dan kawasan tujuan utama ekspor
Indonesia diprakirakan berada dalam tren pertumbuhan yang meningkat dalam beberapa
tahun ke depan sehingga berpotensi mendorong permintaan barang ekspor Indonesia.
Selain itu, berbagai langkah-langkah peningkatan daya saing, diantaranya dengan nilai
tukar yang lebih kompetitif dan diversifikasi pasar dan produk akan dapat mendukung
pertumbuhan ekspor masa yang akan datang.
Dengan perkembangan permintaan domestik dan ekspor tersebut, pertumbuhan
impor diprakirakan meningkat. Sejalan dengan perkiraan pertumbuhan investasi yang
tumbuh lebih tinggi, pertumbuhan impor barang modal dalam bentuk mesin dan
perlengkapan diprakirakan meningkat. Kegiatan produksi diprakirakan masih tetap kuat,
antara lain untuk memenuhi permintaan dalam negeri dan ekspor yang tumbuh
meningkat, mendorong permintaan impor akan bahan baku impor masih relatif tinggi.
Impor barang konsumsi diprakirakan masih akan tetap tumbuh sejalan dengan
pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang masih cukup kuat.
Secara sektoral, pertumbuhan ekonomi masih tetap ditopang oleh sektor industri
pengolahan, sektor PHR, serta sektor pengangkutan dan komunikasi. Di samping
itu, Pemilu 2014 turut mendorong pertumbuhan ekonomi domestik melalui peningkatan
belanja iklan di sektor jasa keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, serta sektor PHR
(Tabel 2.3). Namun, sektor pertambangan diprakirakan masih tumbuh terbatas antara lain
terkait penerapan UU Minerba di awal tahun 2014.
%Y-o-Y, Tahun Dasar 2000

Tabel 2.3
Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Sisi Penawaran
Sektor

2011

2012

Pertanian,Peternakan,Kehutanan,& Perikanan

3.4

4.2

Pertambangan & Penggalian

1.4

1.6

Industri Pengolahan

6.1

Listrik, Gas & Air Bersih


Konstruksi

2013
I

IV

2013

2014*

II

III

3.7

3.3

3.3

3.8

3.5

3.1

0.1

-0.6

2.0

3.9

1.3

1.5

- 1.9

5.7

6.0

6.0

5.0

5.3

5.6

5.6

- 6.0

4.8

6.2

7.9

4.0

3.8

6.6

5.6

6.1

- 6.5

6.6

7.4

6.8

6.6

6.2

6.7

6.6

6.4

- 6.8

Perdagangan, Hotel & Restoran

9.2

8.1

6.5

6.4

6.1

4.8

5.9

5.9

- 6.3

Pengangkutan & Komunikasi

10.7

10.0

9.6

10.9

9.9

10.3

10.2

Keuangan, Real Estat & Jasa Perusahaan

6.8

7.1

8.2

7.7

7.6

6.8

7.6

6.8

- 7.2

Jasa-jasa

6.7

5.2

6.5

4.5

5.6

5.3

5.5

5.6

- 6.0

PDB

6.5

6.3

6.0

5.8

5.6

5.7

5.8

5.8

- 6.2

- 3.5

10.7 - 11.1

Sumber : BPS
* Proyeksi Bank Indonesia

Sektor Industri Pengolahan diprakirakan tumbuh pada kisaran 5,6-6,0% di


tahun 2014. Selain karena pulihnya perekonomian global dan kembali meningkatnya
volume perdagangan dunia, perbaikan kondisi perekonomian domestik berperan cukup
besar dalam meningkatkan sektor Industri Pengolahan. Perbaikan tersebut ditopang
oleh sejumlah kebijakan Pemerintah dalam memulihkan kinerja sektor Industri
Pengolahan, antara lain melalui program akselerasi dan revitalisasi industri. Di samping
itu, penyelenggaraan Pemilu 2014 diprakirakan mampu mendorong pertumbuhan
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 31

subsektor Industri Makanan dan Minuman lebih tinggi dibandingkan tahun 2013. Pada
subsektor Industri Alat Angkut, diprakirakan terjadi peningkatan pertumbuhan akibat
aktivitas produksi dan ekspor mobil LCGC ke beberapa negara, serta dijadikannya
Indonesia sebagai basis produksi mobil-mobil baru. Pada gilirannya, peningkatan
produksi otomotif yang juga didukung dengan penyelesaian konstruksi pabrik Krakatau
Posco yang dapat meningkatkan kapasitas produksi baja, diprakirakan dapat
meningkatkan subsektor Industri Logam Dasar Besi.
Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran (PHR) diprakirakan masih tumbuh
cukup tinggi pada kisaran 5,9-6,3% di tahun 2014. Pertumbuhan sektor PHR
diprakirakan terdorong oleh meningkatnya aktivitas ekonomi terkait Pemilu 2014
seperti pertemuan (Meetings, incentives, conferences, and exhibitions MICE), akan
mendorong pertumbuhan di subsektor perhotelan. Sementara itu, prospek pariwisata
sebagai salah satu penyumbang utama pertumbuhan di sektor ini diprakirakan
meningkat, dengan jumlah wisatawan baik mancanegara maupun domestik yang terus
meningkat, sehingga pada gilirannya berdampak positif terhadap perkembangan
industri pendukungnya seperti restoran, transportasi, dan retail. Selain itu,
pertumbuhan di sektor ini juga didukung oleh masih kuatnya konsumsi rumah tangga
akibat perbaikan daya beli masyarakat.
Sektor Pengangkutan dan Komunikasi 2014 diperkirakan akan tetap tumbuh tinggi
di sekitar 10,7-11,1% pada tahun 2014 sejalan dengan meningkatnya aktivitas
ekonomi domestik. Meningkatnya aktivitas perdagangan dan ekspor-impor mendorong
peningkatan pertumbuhan di subsektor pengangkutan antara lain berupa aktivitas bongkar
muat barang. Kegiatan Pemilu yang akan berlangsung pada tahun 2014 diprakirakan turut
mendorong pertumbuhan sektor ini, baik di subsektor pengangkutan maupun subsektor
komunikasi. Dalam rangka mendukung perkembangan angkutan darat, Pemerintah
berencana memperbanyak armada bus guna melayani jalur perintis. Di angkutan udara,
diperkirakan sebanyak 160 rute perintis akan dibuka untuk menghubungkan area terpencil.
Peningkatan jumlah armada sejumlah maskapai penerbangan domestik di sepanjang 2014
diprakirakan mampu mendorong laju pertumbuhan sektor angkutan. Subsektor
pengangkutan diperkirakan masih akan tumbuh tinggi di tengah kenaikan tarif jasa
angkutan terutama angkutan jalan raya pasca-kenaikan harga BBM bersubsidi, dan tekanan
nilai tukar rupiah yang mendorong naiknya biaya operasional maskapai terkait harga bahan
bakar avtur. Sejalan dengan ekspansi kelas menengah, kebutuhan akan penggunaan
telepon genggam dan cakupan jaringan komunikasi membuat kebutuhan terhadap data
dan traffic komunikasi terus bertambah. Kondisi ini tercermin pada data historis pengguna
telepon genggam yang meningkat dan rasio pengguna telepon genggam yang masih
rendah.

Sektor Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan 2014 diprakirakan tumbuh
melambat pada kisaran 6,8-7,2%. Di subsektor keuangan, dampak peningkatan BI
Rate dan harga BBM di 2013 diperkirakan akan terlihat pada ekspansi kredit yang
tumbuh melambat. Meskipun tumbuh melambat, pertumbuhan di subsektor keuangan
diperkirakan masih akan cukup tinggi, antara lain yang berasal dari jasa pelayanan (feebased income). Namun, sektor ini menjadi sektor penting dalam mendorong
perekonomian domestik di 2014 terkait belanja pemilu melalui subsektor jasa
perusahaan, ditandai dengan peningkatan belanja iklan di berbagai media massa, baik
cetak maupun elektronik.

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 32

Sektor Pertambangan diprakirakan masih mengalami pertumbuhan yang


terbatas, sekitar 1,5-1,9% di 2014. Prakiraan ini menyusul diberlakukannya UU No. 4
tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara pada 12 Januari 2014. Dalam
pelaksanaannya, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 2014,
Permen ESDM No. 1 tahun 2014, dan PMK No.6/PMK.011/2014, yang memungkinkan
enam mineral logam (tembaga, pasir besi, bijih besi, seng, timbal, dan mangaan) masih
dapat diekspor sesuai ketentuan kadar pengolahannya tanpa harus melalui proses
pemurnian, dan dikenakan tarif progresif yang ditetapkan secara bertahap tiap
semester (20-60% hingga 31 Desember 2016). Di tengah prospek sektor
pertambangan yang terbatas, kinerja subsektor Migas juga diperkirakan menurun. Hal
ini akibat Blok Cepu yang semula dijadwalkan beroperasi pada pertengahan 2014
mengalami keterlambatan pengembangan proyek selama 6 bulan, sehingga lifting
minyak di 2014 diperkirakan akan lebih rendah dari asumsi di RAPBN-2014 sebesar 870
ribu barel per hari.
Sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih (LGA) diprakirakan tumbuh di kisaran 6,16,5% di tahun 2014, seiring dengan peningkatan aktivitas sektor industri
pengolahan. Subsektor listrik memberikan kontribusi yang besar seiring dengan
penambahan kapasitas listrik di tahun 2014 sebesar 4.250 MW, sehingga pada akhir
tahun total kapasitas listrik Nasional mencapai 50.678MW. Peningkatan kapasitas di
tahun 2014 lebih besar dibandingkan peningkatan di tahun 2012 dan 2013, masingmasing sebesar 3.879MW dan 1.175MW. Tambahan kapasitas tersebut berasal dari
proyek pembangkit 10.000MW tahap pertama. Dari subsektor gas, Pemerintah
menargetkan pemanfaatan gas bumi untuk memenuhi kebutuhan transportasi pada
2014. Pembangunan infrastruktur Bahan Bakar Gas (BBG) terus dilakukan sebagai
upaya mendorong percepatan pelaksanaan konversi Bahan Bakar Minyak (BBM) ke
BBG.
Sektor Bangunan diprakirakan akan mengalami pertumbuhan yang moderat di
tahun 2014, yakni sekitar 6,4-6,8%. Hal tersebut sejalan dengan sasaran prioritas
Pemerintah dalam upaya meningkatkan kapasitas dan kualitas jaringan infrastruktur.
Dalam rangka pengembangan infrastruktur darat, Pemerintah akan membangun,
merehabilitasi dan meningkatkan kondisi jalur kereta api hingga mencapai 436 km.
Apabila RUU tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan yang saat ini masih dalam
tahap pembahasan disahkan, pelaksanaan sejumlah proyek infrastruktur kereta api dan
jalan darat di sejumlah daerah akan dapat dipercepat. Pada infrastruktur kelautan,
Pemerintah akan membangun dan merehabilitasi sebanyak 53 pelabuhan, baik perintis,
non-perintis, maupun strategis. Sementara itu, pada infrastruktur penunjang angkutan
udara, Pemerintah akan membangun 10 bandara baru dan merehabilitasi 122 bandara
perintis. Pemberlakuan UU Minerba sejak Januari 2014 lalu diperkirakan dapat
mendorong konstruksi bangunan pabrik smelter.
Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan 2014 diprakirakan
tumbuh melambat sebesar sekitar 3,1-3,5%. Prakiraan tersebut sejalan dengan
perlambatan pertumbuhan produksi, terutama akibat kondisi iklim ekstrem di awal
tahun 2014 yang menyebabkan terendamnya area pertanian dan budidaya. Namun,
kondisi iklim ekstrem tersebut diprakirakan tidak akan secara siginifikan mememgaruhi
produksi melainkan hanya menggeser panen hasil pertanian dan perikanan. Selain itu
kenaikan harga komoditas nonmigas internasional menjadi faktor yang mampu
L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 33

menahan laju perlambatan di sektor ini, terutama pada subsektor perkebunan seperti
kelapa sawit, karet, dan kopi. Di sisi fiskal, Pemerintah juga mengantisipasi potensi
perlambatan tersebut melalui penetapan anggaran Rp15,5 triliun untuk Kementerian
Pertanian sebagaimana tertuang pada APBN 2014. Penggunaan anggaran tersebut
diarahkan untuk meningkatkan produksi, produktivitas pertanian, dan mutu produk
pertanian dalam rangka penguatan program ketahanan pangan nasional.

Prospek Inflasi
Tekanan inflasi diprakirakan terkendali sesuai dengan targetnya 4,5% 1% pada
tahun 2014 dan 4% 1% pada tahun 2015 (Grafik 2.1). Inflasi yang terkendali
tersebut didukung oleh konsistensi kebijakan Bank Indonesia dalam memastikan inflasi
bergerak dalam lintasan sasaran dan ditopang koordinasi erat dengan Pemerintah. Selain
itu, terkendalinya inflasi juga didukung oleh terbatasnya peningkatan harga komoditas
internasional dan relatif stabilnya nilai tukar rupiah.

Grafik 2.1 Fanchart Inflasi


Prospek inflasi 2014 yang sesuai sasaran ditopang tekanan inflasi inti yang
diperkirakan tetap terjaga. Prospek ini dipengaruhi permintaan domestik yang
diprakirakan moderat seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang masih tumbuh di bawah
tingkat potensialnya dan masih rendahnya kapasitas utilisasi ditengah konsumsi rumah
tangga yang meningkat. Tekanan inflasi inti dari sisi eksternal relatif terjaga, terutama
terkait dengan peningkatan harga komoditas internasional yang terbatas yang sejalan
dengan perbaikan gradual laju pertumbuhan ekonomi dunia. Selain itu, dampak lanjutan
nilai tukar rupiah yang melemah diprakirakan tidak terlalu besar sehingga mendukung
terjaganya inflasi inti. Selain itu, ekspektasi inflasi diperkirakan juga tetap terjaga dengan
dukungan kebijakan dan koordinasi antara Bank Indonesia dan Pemerintah.
Inflasi dari kelompok volatile food dan inflasi administered prices
yang
diprakirakan lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2013. Inflasi volatile food
yang lebih rendah tersebut terkait dengan tidak adanya lagi dampak tahunan kenaikan
BBM yang terjadi pada pertengahan tahun 2013. Dari sisi eksternal, situasi produksi
pangan di dunia diperkirakan relatif membaik di tahun ini. Total produksi serealia di dunia
diprakirakan meningkat sebesar 8,4% di periode 2013/2014 dibandingkan dengan periode
sebelumnya. Peningkatan terjadi sebesar 2,6% di negara berkembang dan 17,4% di
negara maju (FAO Crop Prospects and Food Situation, Desember 2013). Selain itu, stok
serealia di dunia pada akhir musim 2014 diperkirakan meningkat 13,4% lebih tinggi
dibandingkan tahun sebelumnya. Dengan demikian, harga serealia dunia terutama
gandum, beras, dan jagung akan menurun di tahun 2014 yang juga diikuti dengan
penurunan harga kedelai internasional serta minyak nabati (FAO Food Price Index, Januari

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 34

2014). Sementara itu, inflasi kelompok administered prices diperkirakan kembali menurun
dan berada pada level yang rendah. Hal itu dapat tercapai apabila tidak ada kebijakan
untuk menaikkan harga barang/jasa yang bersifat strategis.

Faktor Risiko
Bank Indonesia tetap mencermati beberapa risiko ekonomi baik dari global
maupun domestik, yang berpotensi mengganggu kembali stabilitas dan prospek
perekonomian. Risiko global perlu dapat perhatian karena dapat menurunkan prospek
ekonomi Indonesia melalui jalur perdagangan dan finansial. Lebih lanjut, risiko-risiko perlu
terus dicermati karena dapat kembali meningkatkan tekanan inflasi, memberikan tekanan
kepada sektor eksternal berupa masih tingginya defisit transaksi berjalan dan menurunnya
surplus transaksi modal finansial, menurunkan pertumbuhan ekonomi dan mengganggu
stabilitas sistem keuangan.
Dari sisi global, risiko berkaitan dengan ketidakpastian normalisasi kebijakan The
Fed. Risiko ini dipengaruhi respon Bank sentral AS (The Fed) yang dapat menormalisasi
stance kebijakan sejalan dengan indikasi perbaikan kondisi perekonomian AS. Sesuai
dengan strategi komunikasi forward guidance yang diberikan, The Fed menggunakan dua
indikator sebagai acuan untuk menaikan suku bunga. Indikator yang pertama adalah
tingkat pengangguran yang cukup rendah dengan treshold 6,5%. Indikator kedua yang
digunakan The Fed adalah tingkat inflasi dengan treshold 2%. Namun, policy statement
terakhir menyatakan bahwa level 6,5% untuk tingkat pengangguran adalah soft
treshold mengingat kondisi ketenagakerjaan sebenarnya tidak sebaik yang diprakirakan,
karena tingkat partisipasi yang menurun. Di tengah masih cukup besarnya kepemilikan
asing atas aset rupiah, ketidakpastian normalisasi kebijakan The Fed dapat berakibat pada
peningkatan preferensi risk off investor asing di negara berkembang dan bisa memicu
aliran modal keluar dan memberikan tekanan kepada nilai tukar rupiah dan pasar
keuangan.
Selain ketidakpastian normalisasi kebijakan The Fed, perekonomian juga
menghadapi risiko terkait perlambatan ekonomi China. Pertumbuhan ekonomi China
ke depan diperkirakan termoderasi di 2014 dan 2015 sejalan dengan kebijakan Pemerintah
China demi menjaga pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Risiko terhadap
perekonomian China juga terkait dengan lebih ketatnya kondisi likuiditas global ke depan
di tengah porsi pembiayaan ekonomi China oleh shadow banking yang cukup besar. Risiko
perlambatan ekonomi China sudah terindikasi dari perkembangan terkini yang
menunjukkan keyakinan konsumen di China yang menurun (Grafik 2.2).

Grafik 2.2 Keyakinan Konsumen China

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 35

Dari sisi domestik, beberapa risiko perlu dapat perhatian karena dapat
meningkatkan tekanan inflasi. Risiko tersebut terkait dengan gangguan pasokan
pangan, kenaikan beberapa barang kelompok administered dan dampak depresiasi nilai
tukar Rupiah. Risiko kenaikan harga pangan terkait dampak banjir yang dapat menurunkan
pasokan dan mengganggu distribusi komoditas pangan. Tekanan inflasi semakin kuat jika
terjadi anomali cuaca, yang menimbulkan bencana banjir dan menganggu produksi dan
distribusi pangan seperti di 2002 dan 2007. BMKG memperkirakan banjir 2014 dapat lebih
buruk dibandingkan tahun sebelumnya mengingat intensitas curah hujan yang tinggi dapat
berlangsung sampai dengan Maret 2014. Sementara itu, beberapa barang kelompok
administered yang perlu dicermati ialah dampak kenaikan Tarif Tenaga Listrik. Untuk
dampak pelemahan rupiah terhadap inflasi 2014 sudah terindikasi di akhir 2013. Di awal
2014, pass-through rupiah tercermin pada kenaikan harga pada indlasi inti traded terutama
komoditas dgn kandungan impor tinggi, a.l otomotif, elektronik dan obat. Hasil survei BI
juga mengindikasikan bahwa pelaku usaha akan menaikkan harga jual di 2014, setelah
cenderung menahan di 2013 melalui penurunan margin keuntungan.

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 36

RESPONS KEBIJAKAN MONETER

Mengevaluasi perkembangan terkini, serta prospek dan risiko perekonomian ke


depan, Bank Indonesia pada 13 Februari 2014 memutuskan untuk
mempertahankan BI Rate sebesar 7,50%, dengan suku bunga Lending Facility dan
suku bunga Deposit Facility masing-masing tetap pada level 7,50% dan 5,75%.
Kebijakan tersebut masih konsisten dengan stance kebijakan moneter ketat untuk
mengarahkan inflasi menuju ke sasaran 4,51% pada 2014 dan 41% pada 2015, serta
menurunkan defisit transaksi berjalan ke tingkat yang lebih sehat.
Bank Indonesia juga akan terus memperkuat bauran kebijakan moneter dan
makroprudensial, melanjutkan upaya pendalaman pasar, serta meningkatkan
koordinasi dengan Pemerintah dalam pengendalian inflasi dan defisit transaksi
berjalan. Dalam kaitan ini, Bank Indonesia juga akan terus mendorong penggunaan rupiah
untuk transaksi di dalam negeri sesuai UU Mata Uang dan perluasan instrumen lindung
nilai dalam transaksi valas. Bank Indonesia juga akan berkoordinasi dengan OJK untuk
mengarahkan pertumbuhan kredit ke depan sejalan dengan moderasi pertumbuhan
permintaan domestik. Selain itu, Bank Indonesia terus mencermati berbagai risiko, baik dari
global maupun domestik, dan memastikan langkah-langkah antisipasi agar stabilitas
makroekonomi tetap terjaga.

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 37

Boks: Keterkaitan Perdagangan China dengan Negara Kawasan Asia

Dalam sepuluh tahun terakhir, peta perdagangan dunia mengalami perubahan


dengan semakin meningkatnya peran negara-negara emerging markets (EM) dalam
perdagangan dunia (Grafik 1). Peran Jerman dan Jepang dalam kegiatan ekspor dan
impor secara bertahap digantikan oleh Cina, yang melakukan reorientasi industri dari
low value added industry (intensive labor industry) menjadi high value added industry.
Peningkatan peran Cina tersebut memberikan implikasi positif bagi negara emerging
markets (EM), terutama negara EM di kawasan Asia yang menjadi bagian dari global
supply chain Cina. Namun keterkaitan perdagangan dengan Cina tersebut juga dapat
memberi implikasi negatif pada negara yang menjadi supply chain, apabila
perkembangan ekonomi Cina mengalami pelemahan.

Sumber : DOTS,IMF

Grafik 1. Pangsa Perdagangan Dunia


Proses reorientasi industri di Cina tercermin dari perkembangan ekspor barang
industri yang dikelompokan berdasarkan kandungan teknologi. Ekspor barang-barang
berteknologi rendah mengalami tren penurunan, sementara ekspor barang-barang
berteknologi sedang sampai dengan tinggi mengalami peningkatan. Nilai ekspor
barang berteknologi sedang sampai tinggi terus meningkat secara gradual dari USD
92,04 miliar pada tahun 2000 menjadi USD 904,5 miliar pada tahun 2011. Secara
pangsa, ekspor barang teknologi sedang sampai dengan tinggi mencapai 47,7% dari
total ekspor Cina. Sementara pangsa ekspor barang berteknologi rendah hanya
mencapai 36,8% (Grafik 2).
Sejak tahun 2005, Cina menjadi pusat assembly bagi produk-produk di kawasan
Asia. Negara-negara yang memiliki kaitan erat dalam rantai produksi ini, seperti India,
Philipina, dan Thailand mengalami peningkatan intensitas perdagangan dengan Cina
(Grafik 3). Sementara Malaysia dan Singapura mendapatkan manfaat yang lebih besar
dengan menjadi production hub dari global supply chain tersebut. Negara-negara yang
terkait erat dalam global supply chain mempunyai strength of linkage1 yang kuat
dengan negara di kawasan, terutama Cina. Sementara itu, Indonesia memiliki strength
of linkage yang rendah dengan jaringan produksi regional Asia. Rendahnya keterkaitan
sektor manufaktur Indonesia terkait dengan struktur industri Indonesia, yang belum
mampu menjadi bagian dari jaringan produksi Cina yang sedang bertransformasi
menjadi high value added.
1

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 38

Sumber : UN Comtrade

Sumber : CEIC, Worldbank

Grafik 2. Pangsa Ekspor Cina


berdasarkan muatan teknologi

Grafik 3. Neraca Perdagangan Cina

Paska krisis Global yang diikuti oleh pelemahan pertumbuhan ekonomi dunia,
pertumbuhan ekonomi dan neraca perdagangan Cina mengalami penurunan (Grafik
4). Perlambatan pertumbuhan ekonomi Cina memberikan dampak rambatan (spillover
effect) melalui jalur perdagangan, khususnya terhadap trade balance negara EM di
kawasan Asia. Dalam hal ini, penurunan trade balance paling besar dialami oleh India
dan Singapura.

Sumber : DOTS, IMF

Grafik 4. Perdagangan Cina dengan EM Asia

Sementara itu, penurunan trade balance Indonesia tidak sebesar negaranegara EM yang mempunyai strength of linkage yang besar dengan Cina. Hal ini
berimplikasi terhadap pertumbuhan ekonomi negara-negara EM yang juga mengalami
perlambatan paska krisis global. Seperti halnya dampak pada trade balance,
pertumbuhan ekonomi India dan Singapura mengalami perlambatan yang paling
besar. Sementara pertumbuhan ekonomi Indonesia meskipun mengalami
perlambatan, namun relatif lebih stabil dibandingkan dengan negara-negara EM Asia
lainnya.

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 39

Laporan Kebijakan Moneter dipublikasikan secara triwulanan oleh Bank Indonesia setelah Rapat Dewan
Gubernur (RDG) pada bulan Februari, Mei, Agustus, dan November. Selain dalam rangka memenuhi ketentuan
pasal 58 UU Bank Indonesia No. 23 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004,
laporan ini berfungsi untuk dua maksud utama, yaitu: (i) sebagai perwujudan nyata dari kerangka kerja antisipatif
yang mendasarkan pada prakiraan ekonomi dan inflasi ke depan dalam perumusan kebijakan moneter, dan (ii)
sebagai media bagi Dewan Gubernur untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat luas mengenai berbagai
pertimbangan permasalahan kebijakan yang melandasi keputusan kebijakan moneter yang ditempuh Bank
Indonesia.

Untuk informasi lebih lanjut hubungi:


Divisi Pengaturan dan Komunikasi Kebijakan
Grup Kebijakan Moneter
Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter
Telp: +62 21 2981 8334/6902
Fax: +62 21 345 2489
Email: gkm_komunikasi@bi.go.id
Website: http//www.bi.go.id

Dewan Gubernur
Agus D.W. Martowardojo Gubernur
Mirza Adityaswara Deputi Gubernur Senior
Halim Alamsyah Deputi Gubernur
Ronald Waas Deputi Gubernur
Perry Warjiyo Deputi Gubernur
Hendar Deputi Gubernur

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r | 40

Anda mungkin juga menyukai