Anda di halaman 1dari 36

KESEHATAN DAERAH MILITER V / BRAWIJAYA

RUMKIT TK. II dr. SOEPRAOEN

PANDUAN KEGIATAN
PENGEMBANGAN PRIORITAS
5 AREA KLINIK
( CLINICAL PATHWAY )
RUMKIT TK II dr. SOEPRAOEN

KOMITE PENINGKATAN MUTU DAN KESELAMATAN PASIEN


MALANG , JULI 2014

DAFTAR ISI

BAB

halaman

DAFTAR ISI
i
I. DEFINISI
A. DEFINISI CLINICAL PATHWAY
1
B. TUJUAN KEGIATAN
2
C. PRINSIP MENYUSUN CLINICAL PATHWAY
3
II. RUANG LINGKUP
A. TINJAUAN KLINIS PENETAPAN 5 AREA PRIORITAS
6
B. PERAN DAN TANGGUNG JAWAB DALAM KEGIATAN
14
C. PELAKSANAAN KEGIATAN
15
III. TATALAKSANA
A. TABEL KEGIATAN PEMANTAUAN 5 AREA KLINIS
16
B. PENCATATAN
16
C. EVALUASI DAN PELAPORAN
17
IV. DOKUMENTASI
A. TUJUAN DOKUMENTASI
18
B. SISTEM PELAPORAN
18
C. SOSIALISASI
19
D. INDIKASI KEBERHASILAN
19
E. MONITORING, AUDIT, REVIEW
20
V. PENUTUP
21

BAB I
DEFINISI
A. DEFINISI CLINICAL PATHWAY
Clinical Pathway (CP) adalah suatu konsep perencanaan pela
yanan terpadu yang merangkum setiap langkah yang diberikan kepada
pasien berdasarkan standar pelayanan medis dan asuhan keperawatan
yang berbasis bukti dengan hasil yang terukur dan dalam jangka waktu
tertentu selama di rumah sakit.
Clinical Pathway adalah

alat

untuk

melaksanakanpelayanan

medis yang terpadu untuk mencapai hasil pelayanan yang diharapkan


dengan mempertimbangkan lama waktu perawatan. Clinical Pathway
sebagai blue print dalam melaksanakan pelayanan medis.

Clinical Pathwayadalah gambaran algoritma perawatan pasien


dan bertujuan mengurangi variasi dan biaya perawatan, meningkatkan
efisiensi, serta memperbaiki kualitas perawatan pasien.
Clinical Pathwayadalah pelayanan medis yang berpihak kepada
pasien dan menguntungkan bagi pasien, keluarga, bahkan kepada Team
Work, serta memberi peluang untuk melaksanakan evaluasi dan proses
perbaikan pelayanan medis yang terus-menerus.
Clinical Pathwaymerupakan penentuan waktu dan kategori
pelayanan, pengendalian variasi pelayanan, dan hasil atau luaran dari
pelayanan tersebut. Dengan konsep pelayanan ini maka diharapkan
bahwa pelayanan benar-benar berpihak kepada pasien dengan berbagai
kepastian, yaitu kepastian aktivitas kegiatan pelayanan yang diberikan,
kepastian hari rawat, serta kepastian biaya.
Tujuanpenentuan

Clinical

Pathway

adalah

untuk

lebih

mengefisiensikan pelayanan medis dan mengurangi sebanyak mungkin


variasi sehingga akan berdampak pada pengendalian biaya.

Kesimpulan :
Clinical Pathway adalah suatu alur proses kegiatan pelayanan
pasien yang spesifik untuk suatu penyakit atau tindakan tertentu, mulai
dari pasien masuk rawat inap sampai pasien pulang yang merupakan
integrasi dari pelayanan medis, pelayanan keperawatan, pelayanan
farmasi dan pelayanan kesehatan lainnya.
Tanpa Clinical Pathway, maka sistem INA-CBG tidak akan berjalan
sesuai dengan yang diinginkan.
Pedoman

ini

dapat

dimanfaatkan

sebagai

dasar

untuk

menetapkan biaya yang dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan serta


efisiensi pelayanan kesehatan di rumah sakit, sehingga masyarakat
mendapatkan kepastian biaya yang harus dibayarkan,dan untuk
menghindarkan

tindakan

yang

berlebihan,

yang

akhirnya

akan

berdampak pada peningkatan mutu pelayanan kesehatan.

B. TUJUAN KEGIATAN
Penyelenggaraan Clinical Pathway bertujuan untuk melaksanakan
perubahan medical technology dalam pelayanan medis yang berdampak
pada

penghematan

biaya,

mengurangi

variasi

pelayanan,

dan

peningkatan kualitas pelayanan ( kendali biaya dan kendali mutu pada


pelayanan medis, UU No. 29 tahun 2004 pasal 49 ).
Tujuan implementasi Clinical Pathway :
1. Memilih pola praktek terbaik dari berbagai macam variasi pola
praktek.
2. Menetapkan

standar

yang

diharapkan

mengenai

lama

perawatan dan penggunaan prosedur klinik yang seharusnya.

3. Menilai hubungan antara

berbagai tahap dan kondisi yang

berbeda dalam suatu proses, dan menyusun strategi untuk


mengkoordinasikan agar dapat menghasillkan pelayanan yang
lebih cepat dengan tahap yang lebih sedikit.
4. Memberikan informasi kepada seluruh staf yang terlibat
mengenai tujuan umum yang harus tercapai dari sebuah
pelayanan dan apa peran mereka dalam proses tersebut.

5. Menyediakan kerangka kerja untuk mengumpulkan dan


menganalisa data proses pelayanan, sehingga penyedia
layanan dapat mengetahui seberapa sering dan mengapa
seorang pasien tidak mendapatkan pelayanan sesuai dengan
standar.
6. Mengurangi beban dokumentasi klinik.
7. Meningkatkan

kepuasan

pasien

melalui

peningkatan

edukasi kepada pasien ( misalnya dengan menyediakan


informasi yang lebih tepat tentang rencana pelayanan )

C. PRINSIP MENYUSUN CLINICAL PATHWAY


Berbagai proses dapat dilakukan untuk menyusun clinical pathw
ay, salah
satunyaterdiri dari beberapa tahap sebagai berikut :
1. Pembentukan tim penyusunClinical Pathway.
Tim penyusun Cllinical Pathway terdiri dari staf multi disiplin
dari semua tingkat dan jenis pelayanan. Bila diperlukan, tim
dapat mencari dukungan dari konsultan atau institusi di luar
Rumah Sakit seperti organisasi profesi sebagai nara sumber.
Tim bertugas untuk menentukan dan melaksanakan langkahlangkah penyusunan Clinical Pathway.
2. Identifikasi key players.
Identifikasi key players

bertujuan untuk mengetahui siapa

saja yang terlibat dalam penanganan kasus atau kelompok


pasien yang telah ditetapkan dan untuk merencanakan focus
group

dengan

key

internal dan eksternal.

players

bersama

dengan

pelanggan

3. Pelaksanaan site visit di Rumah Sakit.


Pelaksanaan site visit di Rumah Sakit bertujuan untuk
mengenal praktek yang sekarang berlangsung, menilai sistem
pelayanan

yang

ada dan

memperkuat

alasan

mengapa

clinical pathway perlu disusun. Jika diperlukan, site visit


internal perlu dilanjutkan dengan site visit eksternal setelah
sebelumnya melakukan identifikasi partner benchmarking. Hal
ini juga diperlukan untuk mengembangkan ide.
3

4. Studi literatur.
Studi literatur diperlukan untuk menggali pertanyaan klinis
yang perlu dijawab dalam pengambilan keputusan klinis dan
untuk menilai tingkat dan kekuatan bukti ilmiah. Studi ini
sebaiknya menghasilkan laporan dan rekomendasi tertulis.
5. Diskusi kelompok terarah.
Diskusi kelompok terarah atau Focus Group Discussion
( FGD )

dilakukan

( internal

dan

kemampuan

untuk

mengenal

kebutuhan

) dan

menyesuaikan

eksternal

Rumah

Sakit

dalam

memenuhi

pelanggan
dengan
kebutuhan

tersebut, serta untuk mengenal kesenjangan antara harapan


pelanggan dan pelayanan yang diterima. Lebih lanjut diskusi
kelomp[ok

terarah

juga

perlu

dilakukan

untuk

memberi

masukan dalam pengembangan indikator mutu pelayanan


klinis

dan

kepuasan

pelanggan

serta

pengukuran

dan

pengecekan.
6. Penyusunan Pedoman Klinik.
Penyusunan

Pedoman

mempertimbangkan

hasil

Klinik

site

visit,

dilakukan
hasil

studi

dengan
literatur

( berbasis bukti ilmiah ) dan hasil diskusi kelompok terarah.


Pedoman Klinik

ini

perlu

disusun

dalam

bentuk

alur

pelayanan untuk diketahui juga oleh pasien.


7. Analisis bauran kasus.
Pedoman

analisis

bauran

kasus

dilakukan

untuk

menyediakan informasi penting baik pada saat sebelum dan


setelah penerapan clinical pathway. Meliputi : length of stay,
biaya perkasus, obat-obatan yang digunakan, test diagnosis
yang dilakukan, praktek klinis yang terlibat, dan komplikasi.

8. Menetapkan sistem pengukuran proses dan outcome.


Contoh
fungsi

ukuran-ukuran

tubuh

dan

proses antara

mobilitas, tingkat

tekanan darah, fungsi

paru,

( wellness indicator ).

dan

lain :

pengukuran

kesadaran, temperatur,

skala kesehatan

pasien

9. Membuat dokumen clinical pathway.


Penyusunan

dokumen

cllinical

pathway

perlu

memperhatikan format clinical pathway, ukuran kertas, tepi


dan perforasi untuk pemberkasan dokumen pasien. Perlu
diperhatikan

bahwa

penyusunan

dokumentasi

ini

perlu

mendapatkan ratifikasi dari Instalasi Rekam Medik untuk


melihat kesesuaian dengan dokumen lain. Setelah clinical
pathway terbentuk, perlu dilakukan uji coba sebelum akhirnya
diimplementasikan di Rumah Sakit. Saat uji coba dilakukan
penilaian secara periodik akan kelengkapan pengisian data,
dan

diikuti

dengan

pelatihan

kepada

para

staf

untuk

menggunakan clinical pathway tersebut. Lebih lanjut, perlu


juga dilakukan analisis variasi dan penelusuran mengapa
praktek di lapangan berbeda dari yang direkomendasikan
dalam clinical pathway.
Hasil

analisis

digunakan

untuk : mengidentifikasi

variasi

umum dalam pelayanan, memberi tanda kepada staf akan


adanya pasien yang tidak mencapai perkembangan yang
diharapkan, memperbaiki clinical pathway dengan menyetujui
perubahan,

dan

mengidentifikasi

aspek-aspek

yang

dapat

diteliti lebih lanjut. Hasil analisis variasi dapat menetapkan


jenis variasi yang dapat dicegah dan yang tidak dapat
dicegah, untuk kemudian menetapkan solusi bagi variasi
yang dapat dicegah ( variasi yang tidak dapat dicegah bisa
berasal dari penyakit penyerta yang menyebabkan pelayanan
menjadi kompleks bagi seorang individu).
Dengan implementasi clinical pathway, diharapkan pasien
benar-benar mendapat pelayanan yang dibutuhkan sesuai
kondisinya,

sehingga

biaya

yang

dikeluarkanpun

dapat

disesuaikan

dengan

perawatan

yang

diterima

serta

hasil

yang diharapkan.
Adanya clinical pathway juga dapat membantu dokter saat
melakukan perawatan. Rincian tahap-tahap perawatan pasien
yang tertera dalam lembar clinical pathway dapat menjadi
panduan dokter saat bekerja. Memang banyak cara untuk
menangani

sesuatu,

tetapi

bila

sering

salah, maka akan

membutuhkan waktu lebih panjang untuk mencapai tujuan


kesembuhan dan berdampak pada lebih tingginya biaya yang
harus dikeluarkan.
5

BAB II
RUANG LINGKUP
A. TINJAUAN KLINIS PENETAPAN 5 AREA PRIORITAS.
Yang merupakan kegiatan pokok dalam lima Area
Kllinis Prioritas
kasus
Standar

klinik

ialah pemantauan
yang

Pelayanan

berpedoman
Medis

terhadap
pada

(SPM)

dan

kasus-

penerapan
Standar

Pelayanan Operasional (SPO / SOP) serta Panduan


Praktek

Klinis (PPK) dan

Clinical

Pathway (CPW).

Adapun tinjauan klinis dari 5 Area Prioritas tersebut


adalah sebagai berikut :

1. Kardiologi / Penyakit Dalam.

Kasus

ACUTE MYOCARDIAL INFARCTION (AMI )

Alasan dan
Implikasi
( latar
belakang
masalah )

Acute Myocardial Infarction (AMI) adalah suatu kematian jaringan Miokard


akibat oklusi akut pembuluh darah koroner. AMI terbagi atas ST Elevasi
Myocard Acute (STEMI) dan Non ST Elevasi Myocard Acute (NSTEMI).
Laporan badan kesehatan dunia (WHO), September 2009,

AMI

merupakan penyebab kematian pertama sampai saat ini. Pada tahun 2004
diperkirakan 17,1 juta orang meninggal karena AMI, angka ini merupakan
29 % dari penyebab kematian global. Berdasarkan data Riset Kesehatan
Dasar tahun 2007 kematian akibat AMI sebesar 9,3 % dan akibat Stroke
sebesar 26,9 % dan apabila keduanya digabung sebagai penyakit
Kardiovaskular, maka tetap sebagi penyebab kematian utama di Indonesia
sebesar 36,2 %.
CPW

Ada (terlampir)

SPM / SOP

Ada (terlampir)

PPK

Ada (terlampir)

Evidence
base (data
dasar)

1. WHO : 2004, terdapat kematian akibat AMI 17,1 juta orang di Dunia
2. RISKESDAS : 2007, terdapat kematian akibat AMI sekitar 9,3 % d
i
Indonesia
3. IGD RS dr. Soepraoen 2013 terdapat 186 penderita
AMI datang berobat.

Ukuran Kinerja
Klinis

Penatalaksanaan Sesuai Guideline.

2.

THT - Tonsilektomi

Kasus Tonsilitis Khronik


Alasan
dan
Implikasi
(latar
belakang
masalah)

Tonsilektomi merupakan prosedur yang paling sering dilakukan dalam sejarah


operasi. Kontroversi mengenai tonsilektomi dilaporkan lebih banyak bila
dibandingkan dengan prosedur operasi manapun. Konsensus umum yang beredar
sekarang menyatakan bahwa tonsilektomi telah dilakukan dalam jumlah yang tidak
tepat pada anak-anak pada tahun-tahun yang lalu. Besarnya jumlah ini karena
keyakinan para dokter dan orangtua tentang keuntungan tonsilektomi dan bukan
berdasarkan bukti ilmiah atau studi klinis. Pada decade terakhir, tonsilektomi tidak
hanya dilakukan untuk tonsillitis berulang, namun juga untuk berbagai kondisi yang
lebih luas termasuk kesulitan makan, kegagalan penambahan berat badan, overbite,
tongue thrust, halitosis, mendengkur, gangguan bicara dan enuresis. Saat ini walau
jumlah operasi tonsilektomi telah mengalami penurunan bermakna, namun masih
menjadi operasi yang paling sering dilakukan. Pengeluaran pelayanan medic untuk
prosedur ini diperkirakan adalah setengah triliun dolar pertahun. Pada pertengahan
abad yang lalu, mulai terdapat pergeseran dari hamper tidak adanya kriteria yang
jelas untuk melakukan tonsilektomi menuju kriteria yang lebih tegas dan jelas.
Selama ini telah dikembangkan berbagai studi untuk menyusun indikasi formal yang
ternyata menghasilkan perseteruan berbagai pihak terkait. Dalam penyusunannya
ditemukan kesulitan untuk memprediksi kemungkinan infeksi di kemudian hari
sehingga dianjurkan terapi dilakukan dengan pendekatan personal dan tidak
berdasarkan peraturan yang kaku. American Academy of Otolaryngology - Head and
Neck Surgery telah mengeluarkan rekomendasi resmi mengenai tindakan
tonsilektomi yang merupakan kesepakatan para ahli. Saat ini, selain hasil analisa
klinis, isu di bidang ekonomi mulai muncul dalam pertimbangan pemilihan suatu
tindakan, karena mulai munculnya aturan yang ketat dalam pembayaran pelayanan
kesehatan oleh pembayar pihak ketiga. Pembayar pihak ketiga mensyaratkan
adanya indikasi yang jelas dan terdokumentasi sebelum suatu prosedur dilakukan.
Selain itu, beberapa pembayar pihak ketiga juga mensyaratkan adanya second
opinion .Walaupun fenomena ini tidak membatalkan operasi yang telah disepakati
pasien (orangtua) dan dokter, namun ternyata dapat membantu dalam proses seleksi
operasi tonsilektomi sehingga benar-benar dilakukan untuk kandidat yang tepat.
Tonsilektomi telah dilakukan oleh dokter THT, dokter bedah umum, dokter umum dan
dokter keluarga selama lebih dari 50 tahun terakhir. Namun, dalam 30 tahun terakhir,
kebutuhan akan adanya standarisasi teknik operasi menyebabkan pergeseran pola
praktek operasi tonsilektomi. Saat ini di Amerika Serikat tonsilektomi secara ekslusif
dilakukan oleh dokter THT. Tingkat komplikasi, seperti perdarahan pasca operasi
berkisar antara 0,1-8,1% dari jumlah kasus. Kematian pada operasi sangat jarang.
Kematian dapat terjadi akibat komplikasi bedah maupun anestesi. Tantangan
terbesar selain operasinya sendiri adalah pengambilan keputusan dan teknik yang
dilakukan dalam pelaksanaannya.

SPM/SOP

Ada (terlampir)

CPW

Ada (terlampir)

Kasus
PPK

Evidence (data
dasar) dan
9
Alasan
Implikasi (latar
belakang
masalah)

DHF
Dengue Haemorragic Fever )
Ada((terlampir)

Di Indonesia jumlah pasien rawat inap yang disebabkan oleh penyakit


Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit demam akut dengan
Tonsilitis Akut sebanyak 4714 orang, dengan jumlah pria 2401 orang dan
manifestasi perdarahan dalam berbagai stadia yang disebabkan oleh virus
wanita 2313 orang. Penderita yang meninggal akibat penyakit Tonsilitis
Dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypty dan Aedes
berjumlah 61 orang. Jumlah kunjungan pasien rawat jalan di Indonesia 2006
albopictus sesuai kriteria WHO untuk Demam Berdarah Dengue (DBD).
3.sebanyak
Penyakit
Anak
55.383
orang, sedangkan penderita rawat jalan yang disebabkan
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit
penyakit Tonsilitis berjumlah 37.838 orang, dengan jumlah pria 18.213
yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dan endemis di
orang, dan wanita 19.622 orang. ( www.Yanmedik-Depkes.net).
sebagian kabupaten/kota di Indonesia. Hampir setiap tahun terjadi KLB
(Kejadian Luar Biasa) di beberapa daerah yang biasanya terjadi pada
Berdasarkan data dari Rumkit Tk II dr. Soepraoen tahun 2013 jumlah pasien
musim penghujan, namun sejak awal tahun 2011 ini sampai bulan Agustus
tonsilektomi di poliklinik THT sebanyak 60 orang.
2011 tercatat jumlah kasus relative menurun sebagaimana tampak pada
grafik di bawah. DBD pertama kali dilaporkan pada tahun 1968 di Jakarta

Ukuran Kinerja
Klinis
Sumber

dan
Surabaya, dengan
48 penderita
dan dengan
angka kematian
(CFR) sebesar
Penatalaksanaan
Tonsilektomi
sesuai
guideline
41,3%. Dewasa ini DBD telah tersebar di seluruh provinsi di Indonesia (
Subdirektorat Pengendalian Arbovirosis Dit PPBB -Ditjen PP dan PL
Index.php buk.depkes.go.id HTA
Kementerian Kesehatan RI ).
Indonesia_TonsilektomipadaAnakdanDewasa.
WHO melaporkan lebih dari 2,5 milyar orang dari 2/5 populasi dunia saat
ini beresiko terinveksi virus dengue.

CPW

Ada (terlampir)

SPM / SOP

Ada (terlampir)

PPK

Ada (terlampir)

Evidence (data

Kasus DBD di Indonesia semakin meluas. Jumlah kabupaten/kota yang

dasar)

wilayahnya endemis DBD semakin meningkat. Tahun 2007 ditemukan 350


kabupaten/kota menjadi 464 kabupaten/kota pada tahun 2010.
Kasus DBD terus meningkat dalam kurun lima tahunan. Tahun 2008
tercatat 117.830 kasus dan 953 kasus kematian, di tahun 2010 meningkat
menjadi 156.086 kasus dengan 1.358 kasus kematian.

BerdasarkandatadariRumkitTk II dr. Soepraoentahun2013


jumlahpasien DHF yang rawatinapsebanyak 254 orang.
Ukuran Kinerja

Penatalaksanaan DHF sesuai dengan guideline (terlampir )

Klinis

Non formakologis : tirah baring, makanan lunak.


Farmakologis :

10

a. Simtomatis : antipiretik parasetamol bila demam.

Kasus

Appendectomy
b. Tatalaksana
terinci dapat dilihat pada lampiran protokol tatalaksana
DBD.
adalah

Alasan dan

Appendisitis

peradangan

dari

appendiks

vermiformis

dan

Implikasi (latar

merupakan penyebab
abdomen
akut yang
paling
sering.
ini dapat
1) Cairan
intravena:
Ringer
laktat
atauPenyakit
ringer asetat

belakang

mengenai
semua umur baik laki-laki maupun perempuan tetapi lebih
4-6
jam/kolf;

masalah)

sering menyerang
laki-laki
berusia
antarapada
10 sampai
30 tahun.
koloid
/ plasma
ekspander
DBD stadium
III dan IV bil
appendisitis dilakukan dengan appendectomy yaitu
aPenatalaksanaan
diperlukan.
suatu tindakan2)
pembedahan
dengan mengangkat
appendiks.
Hal ini harus
Transfusi trombosit
dan komponen
darah (optional).
segera dilakukan
tindakan bedah
karena pada
setiap DBD
keterlambatanakan
3) Pertimbangan
heparinisasi
stadium III
berakibat
meningkatkan
dan
IV dengan

morbiditas

dan

mortalitas,

yaitu dapat

menyebabkan koagulasi
terjadinyaintravaskular
perforasi atau
ruptur pada
diseminata
(KID). dinding appendiks.
Bedah appendiks
memiliki dampak
yang dapat membahayakan bagi
4) juga
Kortikosteroid
(optional).
pasien pasca operasi
khususnya
pada appendisitis yang sudah perforasi
5) Antibiotik
bila diperlukan.
dan menyebabkan sepsis rongga abdomen. Pada appendisitis yang sudah
perforasi dapat menimbulkan komplikasi infeksi luka operasi, bocornya
4.
Bedah
(leakage)
jahitan appendiks dan kematian karena sepsinya yang berat.
Namun

demikian,

bahaya

tersebut

dapat

dicegah

dengan

penatalaksanaan yang cepat dan menggunakan antibiotik profilaksis


spektrum luas.
CPW

Ada (terlampir)

SPM / SOP

Ada (terlampir)

PPK

Ada (terlampir)

11

Evidence (data

Insiden appendektomi akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara

dasar)

berkembang. Namun dalam tiga empat dasawarsa terakhir kejadiannya

Kasus

Katarak.menurun secara bermakna yaitu 100 kasus tiap 100.000 populasi menjadi

Alasan
dan

Kebutaan di Indonesia merupakan bencana nasional,sebab kebutaan menyebabkan kualitas Sumber

Implikasi (latar
belakang

52 tiap 100.000 populasi. Kejadian ini mungkin disebabkan perubahan


pola makan, yaitu negara berkembang berubah menjadi makanan kurang

Daya Manusia rendah. Hal ini berdampak pada kehilangan produktivitas serta membutuhkan biaya

serat. Menurut data epidemologi apendisitis akut,

meningkat pada

untuk rehabilitasi dan pendidikan orang buta.Dunia diperkirakan menghabiskan dana US$25 miliar

pubertas dan mencapai puncaknya pada saat remaja dan awal 20-an.

setiap tahun untuk masalah itu. Sedangkan sebanyak 3 juta orang buta di Indonesia memerlukan dana

Insiden apendisitis sama banyaknya antara wanita dan laki-laki pada masa

rehabilitasi dan pendidikan sekitar US$1,5-2 miliar setahun. Data dari Departemen Kesehatan 1982

prapuber, sedangkan pada masa remaja dan dewasa muda rationya

masa-

ditemukan, buta satu mata sebanyak 2,1% dan buta 2 mata 1,2%. Sedangkan hasil survey nasional th

lah)

1993_1996 menunjukkan, prevalensi kebutaan di Indonesia cukup tinggi yaitu mencapai 1,5%. Artinya

menjadi 3:2, kemudian angka yang tinggi ini menurun pada pria.
Di RS dr.

ada 3 juta orang buta ditemukan di antara ratusan juta penduduk Indonesia, atau merupakan angka

Soepraoen, data operasi appendectomy tahun 2013didapatkan sebanyak 2

tertinggi di Asia. Angka ini menempatkan Indonesia pada urutan pertama di Asia dan nomor dua setelah

69 kasus.

negara-negara di Afrika Tengah dan sekitar Gurun Sahara sebagai Negara dengan jumlah penduduk

Ukuran Kinerja

Apendisitis kronis: direncanakan apendektomi elektif, disesuaikan jadwal

Klinis

elektif.

tertinggi yang menderita kebutaan.Dan angka kebutaan di Indonesia sekitar 10 kali lipat di Amerika
Serikat. Katarak menjadi penyebab utama kebutaan di Asia dan menyebabkan 70% kasus kebutaan di

Apendisitis akut: direncanakan apendektomi segera (cito emergency)

Indonesia (0,78%),kemudian diikuti glaucoma (0,2),kelainan refraksi (0,14%), penyakit kornea, retina

Periapendikuler abses: insisi, drainase

dan kekurangan vitamin A. Pada tahun 2000, jumlah penderita katarak di Indonesia berbanding lurus

Periapendikuler infiltrate: pertama dirawat konservatif, medikamentosa

dengan jumlah penduduk usia lanjut, yaitu sekitar 15,3 juta. Diperkirakan setiap satu menit terdapat satu

yang adekwat, bila massa mengecil ukuran < 3cm atau menghilang,

orang menjadi buta,dan setiap tahun bertambah 500.000 orang menjadi buta, terutama bagi penduduk

dilakukan apendektomi dengan insisi paramedian

yang berada di daerah miskin dengan social ekonomi lemah. Hal ini menunjukkan adanya

Apendisitis perforata disertai tanda-tanda peritonitis local: dilakukan

kecenderungan peningkatan buta katarak dari tahun ke tahun.

12

apendektomi dengan insisi gradiron atau transversal pada appendisitis

Katarak merupakan penyakit yang pertama dari lima area prioritas pertama pada prakarsa global untuk

anak

mengurangi angka kebutaan ( Vision 2020 ). Katarak dipilih karena merupakan penyebab utama

Bila ditemukan tanda-tanda peritonitis umum, dilakukan laparatomi dengan

gangguan penglihatan di dunia. Katarak merupakan masalah nasional yang perlu segera ditanggulangi.

insisi median.
5.
Penyakit Mata.
1. Craig Sandy, Lober Williams. Appendicitis, Acute. Diakses dari

Katarak dapat menyebabkan penurunan produktivitas. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Farida

Sumber

(1999), lebih dari separuh kebutaan disebabkan oleh katarak. Bahkan 16% buta oleh karena katarak

www.emedicine.com, tanggal 23 November 2010.

dialami oleh penduduk usia produktif usia sekitar 40 tahun.

2. Katz S Michael, Tucker Jeffry. Appendicitis. Diakses dari:


www.emedicine.com, tanggal 23 November 2010.
3. Data penyakit RS dr. Soepraoen.

CPW

Ada (terlampir)
SPM/SOP Ada (terlampir)
PPK
Ada (terlampir)
Evidenc Berdasarkan data dariRumkitTk II dr. Soepraoentahun2013
ebase
(datada- jumlahoperasipasienkatarak dipoliklinik Matasebanyak 299 orang.
sar)

No

Pelaksana

Peran dan Tanggung Jawab

Karumkit Rumkit
Sebagai Pelindung dan Penanggung Jawab Penyelenggaraan
Tk II dr Soepraoen Pelayanan Kesehatan di Rumkit Tk II dr Soepraoen

Ka Instal Rawat
Inap

Sebagai Koordinator Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan di


Rumkit Tk II dr Soepraoen yang bertanggung jawab untuk
memastikan pelayanan agar berjalan baik dan terkoordinir

Komite Medik

Sebagai Pengawas Kegiatan Pelayanan Kesehatan di Rumkit Tk


II dr Soepraoen dalam hal pelayanan Medis dengan
bertanggung jawab untuk melaksanakan monitoring, audit dan
review penyelenggaraan Clinical Pathway

Dokter DPJP

Memberikan pelayanan secara langsung kepada pasien dengan


prinsip pelayanan berbasis pasien (Patient Centered Care) melalui
penyelenggaraan Clinical Pathway,
bertanggung jawab untuk
13
mempersiapkan dan melengkapi format Clinical Pathway sesuai
dengan kasus yang telah ditentukan dalam buku Pedoman Clinical

Ukuran Kinerja
5 Perawat
Klinis
(Kepala
-

Ruangan)

operasi

Hasil
yang diharapkan adalah :
Pathway.
Berpartisipasi

memantau

penyelenggaraan

Clinical

kinerja

Dokter

Pathway,

DPJP

dalam

bertanggung

hal
jawab

mengumpulkan
hasilbisa
format
Clinical Pathway
yang telah
terisisetelah
dan
Pasien
mendapatkan
penglihatannya
kembali
meneruskannya kepada Komite Medik.
Tidak ada komplikasi tindakan.

PERAN DAN TANGGUNG JAWAB DALAM KEGIATAN


Adapun pelaksana penyelenggaraan Clinical Pathway serta peran dan tanggung
jawab dari masing-masing unit adalah sebagai berikut :

14

A.

PELAKSANAAN KEGIATAN
Adapun pelaksanaan Clinical Pathway dengan jelas dibeba
nkan kepada dokter DPJP

yang bertanggung jawab

untuk

mempersiapkan dan melengkapi format Clinical Pathway sesuai


dengan kasus yang telah ditentukan dalam bukuPedoman Clinical
Pathway. Kasus yang dibuatkan clinical pathwaynya adalah kasus
utama tanpa ada kasus penyerta. Kemudian format yang telah
terisi akan dikumpulkan oleh Perawat ( Kepala Ruangan ) dengan
rekapitulasi bulanan yang akan diteruskan kepada Komite Medik.
Komite Medik akan melaksanakan monitoring, audit dan review
penyelenggaraan

Clinical

Pathway

sasaran mutu.

15

B.

tersebut

dengan

membuat

No

Kegiatan

Bulan 2014
Juli

Agt

Sept Okt

Nov

Des

Sosialisasi

Pengumpulan data

Tabulasi data

Analisa Data
Untuk melaksanakan monitoring terhadap lima area klinis prioritas dilakuk
Pembuatan
Laporan
an
Rapat
Tinjauan Manajemen
kegiatan-kegiatan
seperti dalam tabel di bawah ini.

5
6

BAB III
TATA LAKSANA

C.

TABEL KEGIATAN PEMANTAUAN 5 AREA KLINIS 2014.

D.

PENCATATAN.
Pencatatan adalah pengumpulan data data yang diper
lukan untuk melakukan

evaluasi

prioritas. Pencatatan dilakukan

terhadap

lima

area

klinis

dengan menggunakan formulir

Cllinical Pathway ( CPW ). Selanjutnya dilakukan rekapitulasi

16

terhadap

kelengkapan

pengisian

dan

kepatuhan

terhadap

pengisian seperti misalnya kepatuhan terhadap lama


perawatan

yang

telah

ditetapkan

dalam

hari

CPW, kepatuhan

terhadap pelaksanaan pemberian obat-obatan dan lain-lain.


Pencatatan dilakukan oleh Kepala Instalasi di mana pasien
tersebut dirawat, selanjutnya dilaporkan kepada Komite Medik
setiap

bulan

sekali.

Komite

Medik

selanjutnya

melakukan

rekapitulasi terhadap semua CPW dari semua Instalasi disertai


kajian dan selanjutnya dilaporkan kepada bidang pelayanan
medis. ( Alur pencatatan , evaluasi, dan pelaporan seperti di
bawah ini ).

E.

EVALUASI DAN PELAPORAN.


Untuk memudahkan memonitor alur pencatatan,

evaluasi dan

pelaporan terhadap monitoring lima area klinis prioritas ini, maka


dibuat alur sebagai berikut :

KARUMKIT TK II dr. SOEPRAOEN


INSTAL
RAWAT
INAP

KEPALA
DEPARTEM
EN /
INSTALASI /
RUANGAN

KOMITE PENINGKATAN MUTU


DAN MANAJEMEN RISIKO

17

BAB IV
DOKUMENTASI

TUJUAN DOKUMENTASI
Rumkit
Tk
II
dr.
Soepraoen merancang sistem dan proses dari hasilmodifikasi
berdasarkan prinsip perbaikan mutu yang berhubungan dengan
standar QPS2.1 tentang penyusunan :
1.
2.
3.
4.

Clinical Practice Guidelines ( Panduan Praktek Klinis ) ( PPK) ,


Standar Pelayanan Medis ( SPM ),
Standar Pelayanan Operasional ( SPO ) ( SOP ),
Clinical Pathways ( CPW ) ( Alur Klinis ).

Semua itu berfungsi sebagai protokol klinis yang digunakan untuk


memandu perawatan klinis.
Pemantauan clinical pathway yang baik bertujuan :
1. Standarisasi Proses Perawatan Klinis;

18

F.

2. Mengurangi risiko yang muncul dalam proses perawatan,


khususnya yang berhubungan dengan langkah-langkah keputusan
kritis.
3. Menyediakan perawatan klinis secara tepat waktu dan efektif
dengan sumber daya yang ada secara efisien.
4. Secara konsisten menyediakan perawatan bermutu tinggi dengan
menggunakan praktek-praktek yang sudah terbukti.

G.

SISTEM PELAPORAN.
Hasil monitoring, audit dan review penyelenggaraan Clin
ical Pathway akan dilaporkan oleh

Kepala Instalasi Rawat Inap

melalui Komite Peningkatan Mutu dan Manajemen Resiko

kepada

Kepala Rumah Sakit Tk II dr. Soepraoen diketahui oleh Ketua


Komite

Medik. Pelaporan

mengenai

keberhasilan

pencapaian

sasaran mutu penyelenggaraan Clinical Pathway dilakukan setiap


tahun.

H.

SOSIALISASI.
Segala bentuk

sosialisasi

mengenai penyelenggaraan Clinical Pathway dilakukan oleh

Kepala

Instalasi Rawat Inap bersama dengan Komite Peningkatan Mutu dan


Manajemen Resiko. Sosialisasi

dilaksanakan kepada

unit-unit

pelaksana teknis dengan melibatkan para Kepala Departemen,


para dokter / SMF, dan para Kepala Ruang Rawat Inap.

INDIKATOR KEBERHASILAN.
19

I.

Indikator
bentuk

keberhasilan

pelaporan

penyelenggaraan

yang

pencapaian

Clinical

dicapai
sasaran

dituangkan
mutu

Pathway.Adapunsasaranmutu

dalam

mengenai
mengenai

penyelenggaraan Clinical Pathway ini adalah sebagai berikut :


Format Clinical Pathway dilengkapi oleh dokter DPJP sesu
ai dengan kasus
1.

yang telah ditentukan dalam buku Pedoman Clinical Pathway den


gan target 80%.
Sasaran mutu ini diaudit dengan melihat kelengkapan pengisi
an format Clinical
Pathway oleh Komite Medik setiap bulan dengan menghitung
jumlah Format
Clinical Pathway yang dinyatakan terisi lengkap dibagi denga
n jumlah seluruh
pasien dengan kasus utama sesuai kasus dalam buku Pedoman
Clinical Pathway
setiap bulannya dikali dengan 100%.
2.

Format Rekap Hasil Pemantauan.

MONITORING, AUDIT, DAN REVIEW.

Fungsi monitoring lapangan pengisian format CPW akan


dilakukan oleh Perawat Kepala Ruangan di setiap unit pelayanan.
Monitoring, Audit, dan Review secara umum penyelenggaraan CPW
akan

dilakukan

oleh

Komite

Medik.

Untuk

rapat

tinjauan

manajemen akan dilaksanakan setiap tiga bulan sekali.

BAB V
PENUTUP

RUMKIT
TK
II
dr.
SOEPRAOEN
menetapkan lima bidang prioritas sebagai fokus yang diintegrasikan
berdasarkan diagnosis pasien, prosedur, populasi, atau penyakit.
Di bidang-bidang tersebut, guidelines ( pedoman / panduan ) ( PPK /
20

J.

Panduan Praktek Klinis ), pathway ( alur ) ( Clinical Pathways) ( Alur


Klinis ),serta protokol (standar) ( Standar Pelayanan Medik / SPM
dan Standar Pelayanan Operasional SPO / SOP ), berdampak
terhadap aspek mutu dan keselamatan pasien. Juga dapat
mengurangi terjadinya variasi hasil yang tidak diinginkan.
Diharapkan dengan Kerangka Acuan Program ini akan dapat
memberikan
penjelasan
kepada unit-unit
terkait
dalam
menyelenggarakan kegiatan ini.

Malang,. 2014
KARUMKIT TK II dr. SOEPRAOEN

dr. SOFYAN SOLICHIN, MM.


KOL.CKM.NRP. 31411

21

Anda mungkin juga menyukai