Pembimbing:
dr. Tjatur Kuat Sagoro, Sp.A
Disusun Oleh:
Deviana Sariputri (1420221165)
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
PENATALAKSANAAN ASMA DERAJAT BERAT PADA ANAK
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan
Klinik di Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan
Disusun Oleh:
Deviana Sariputri (1420221165)
Pembimbing
KATA PENGANTAR
Puji Syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
ridha-Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul Penatalaksanaan
Asma Derajat Berat pada Anak.
Makalah ini dibuat dengan maksud dan tujuan untuk memenuhi penilaian
pada kepaniteraan klinik di departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit
Umum Persahabatan. Terima kasih penulis sampaikan kepada dr. Tjatur Kuat
Sagoro., Sp.A selaku dokter pembimbing yang banyak memberikan masukan dan
saran. Serta teman-teman sejawat yang telah membantu dalam penyelesaian
referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, untuk itu
kritik dan saran sangat penulis harapkan demi perbaikan penulisan berikutnya.
Akhir kata, semoga referat ini dapat bermanfaat dan menambah ilmu pengetahuan
bagi penulis maupun pembaca.
Jakarta,
Desember 2016
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.........................................................................................................
LEMBAR PENGESAHAN............................................................................................
KATA PENGANTAR.....................................................................................................
DAFTAR ISI..................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................
1.1 Latar Belakang
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................
II.1 Anatomi Traktus Respiratorius..........................................................................2
II.2 Fisiologi Pernapasan..4
II.3 Asma..5
BAB III PENUTUP...........................................................................................................
III.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
prevalensi asma lebih tinggi pada anak-anak (9,3%) daripada pada orang dewasa
(8%), dengan anak-anak berusia 0-4 tahun memiliki prevalensi tertinggi
eksaserbasi asma akut (60,8%), diikuti oleh pasien berusia 5-14 tahun (56,3%).
Kematian asma pada anak jarang terjadi, tapi kemungkinan meningkat sebagai
orang dewasa dengan asma seiring bertambahnya usia.1,2
Faktor risiko yang diketahui menyebabkan eksaserbasi asma antara lain
faktor demografi, status atopik, paparan asap, dan obesitas. Terapi lini pertama
untuk mengobati eksaserbasi asma akut yaitu golongan kortikosteroid dan
bronkodilator. Global Initiative for Asthma menerbitkan pedoman pada tahun
2016 untuk manajemen asma pada anak-anak dan orang dewasa. Pedoman ini
mencakup rekomendasi untuk rawat inap, khususnya penggunaan short-acting 2agonis, oksigen, dan kortikosteroid untuk moderat untuk eksaserbasi berat, dan
pertimbangan terapi lain bagi jika tidak responsif terhadap terapi lini pertama.3
Tatalaksana asma dibagi menjadi 2 kelompok yaitu tatalaksana pada saat
serangan asma (eksaserbasi akut) atau aspek akut dan tatalaksana jangka panjang
(aspek kronis). Pada asma episodik sering dan asma persisten berar, selain
penanganan pada saat serangan, diperlukan obat pengendali (controller) yang
diberikan sebagai pencegahan terhadap serangan asma. Pada makalah ini akan
dijelaskan tentang penatalaksanaan asma derajat berat pada anak.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
rongga mulut) dan laringofaring (bagian inferior dari faring). Laring merupakan
saluran udara dan bertindak sebagai pembentukan suara terletak didepan bagian
faring setinggi vertebra servikalis empat sampai dengan enam dan di bawahnya
terdapat trakea. Laring merupakan rangkaian cincin kartilago yang dihubungkan
oleh otot dan mengandung pita suara (vocal cord). Diantara pita suara terdapat
glotis yang merupakan pemisah saluran pernafasan bagian atas dan bawah.5
(a)
(b)
Gambar 2 (a) Gambaran anatomi hidung, faring, laring dan trakea (b) Letak
pita suara dan epiglotis
Trakea dibentuk dari 16-20 cincin kartilago (panjang 12 cm) dan diantara
kartilago satu dengan yang lain dihubungkan oleh jaringan fibrosa dan di
dalamnya dilapisi oleh epitel mukosiliar yang hanya bergerak keluar. Sel-sel
bersilia ini berguna untuk mengeluarkan benda-benda asing yang masuk bersama
udara pernafasan, dan dibelakang terdiri dari jaringan ikat yang dilapisi oleh otot
polos dan lapisan mukosa.5
Bronkus merupakan lanjutan dari trakea dan terdapat dua cabang yang
terdapat pada ketinggian vertebra torakalis IV dan V. Sedangkan, tempat dimana
trakea bercabang menjadi bronkus utama kanan dan kiri disebut karina. Karina
memiliki banyak syaraf dan dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk yang
kuat jika batuk dirangsang. Bronkus utama kanan lebih pendek, lebih besar dan
lebih vertikal dari yang kiri yang terdiri dari 6-8 cincin dan mempunyai tiga
cabang. Bronkus utama kiri lebih panjang, lebih kecil, terdiri dari 9-12 cincin
serta mempunyai dua cabang.5
Bronkiolus terminalis merupakan saluran udara kecil yang tidak
mengandung alveoli dan memiliki garis tengah 1 mm. Seluruh saluran udara
3
mulai dari hidung sampai bronkiolus terminalis ini disebut saluran penghantar
udara atau zona konduksi. Bronkiolus ini mengandung kolumnar epitelium yang
mengandung lebih banyak sel goblet dan otot polos. Setelah bronkiolus terminalis
terdapat asinus yang merupakan unit fungsional paru yaitu tempat pertukaran gas.
Asinus terdiri dari bronkiolus respiratoris, duktus alveolaris dan sakus alveolaris
terminalis yang merupakan struktur akhir dari paru. Alveolus merupakan suatu
kantung udara tipis, dapat mengembang dan berbentuk seperti buah anggur yang
terdapat diujung percabangan saluran pernapasan. Dinding alveolus terdiri dari
lapisan sel alveolus Tipe I (membranuos pneumocytes). Epitel alveolus juga
mengandung sel alveolus Tipe II yang mengeluarkan surfaktan.5
dengan penyempitan jalan napas yang luas namun bervariasi, sebagian bersifat
reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga
berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan napas terhadap berbagai rangsangan.7
Eksaserbasi (serangan) asma merupakan episode perburukan gejala-gejala
asma secara progresif yang umumnya ditandai oleh distres pernapasan (sesak
napas, batuk, mengi, dada terasa tertekan atau kombinasinya).6,7
II.3.2 Etiologi
Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan faktor
lingkungan:8
1. Faktor Genetik
a) Atopi/alergi
Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat
yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah
terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus.8
b) Hipereaktivitas bronkus
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun
iritan.8
c) Obesitas
Obesitas merupakan faktor risiko asma. Mediator tertentu seperti leptin
dapat
mempengaruhi
fungsi
saluran
napas
dan
meningkatkan
berat
badan
penderita
obesitas
dengan
asma,
dapat
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast
intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran
napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator
inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan
napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa,
sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi.8
Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa
keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada
hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2 . Pada keadaan tersebut
reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang
terangsa menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A
dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang
menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma,
hipersekresi lendir dan aktivasi sel-sel inflamasi.8
Kejadian utama pada serangan asma akut adalah obstruksi jalan napas
secara luas yang merupakan kombinasi dari spasme otot polos bronkus, edem
mukosa karena inflamasi saluran napas, dan sumbatan mukus. Sumbatan yang
terjadi tidak seragam/merata di seluruh paru. Atelektasis segmental atau
subsegmental dapat terjadi. Sumbatan jalan napas menyebabkan peningkatan
tahanan jalan napas, terperangkapnya udara, dan distensi paru berlebihan
(hiperinflasi). Perubahan tahanan jalan napas yang tidak merata di seluruh
jaringan bronkus, menyebabkan tidak padu padannya ventilasi dengan perfusi
(ventilation-perfusion mismatch). Hiperinflasi paru menyebabkan penurunan
compliance paru, sehingga terjadi peningkatan kerja napas.7
Peningkatan tekanan intrapulmonal yang diperlukan untuk ekspirasi melalui
saluran napas yang menyempit, dapat makin mempersempit atau menyebabkan
penutupan dini saluran napas, sehingga meningkatkan risiko terjadinya
pneumotoraks. Peningkatan tekanan intratorakal mungkin mempengaruhi arus
balik vena dan mengurangi curah jantung yang bermanifestasi sebagai pulsus
paradoksus. Ventilasi perfusi yang tidak padu padan, hipoventilasi alveolar, dan
peningkatan kerja napas menyebabkan perubahan dalam gas darah. Pada awal
II.3.4 Klasifikasi
10
A. Berdasarkan umur
1) Asma pada bayi
2) Asma pada balita
3) Asma pada usia sekolah
4) Asma pada remaja
B. Berdasarkan Fenotip
1) Asma tercetus infeksi virus
2) Asma tercetus aktivitas
3) Asma tercetus alergen
4) Asma tercetus obesitas
5) Asma dengan banyak pencetus
C. Berdasarkan kekerapan timbulnya gejala
1) Asma intermiten
2) Asma persisten ringan
3) Asma persisten sedang
4) Asma persisten berat
Klasifikasi asma Berdasarkan kekerapan timbulnya gejala
Derajat Asma
Intermiten
Persisten
ringan
Persisten
<1x/minggu
Episode gejala asma >1x/minggu, namun
sedang
Persisten berat
11
sedang
Bicara dalam kalimat
Lebih senang duduk
Tidak gelisah
Takipnea
Takikardi
Retraksi minimal
SaO2 90-95%
PEF >50% Prediksi
PNAA 2015
Intermiten
Persisten ringan
Persisten sedang
Persisten berat
12
II.3.5 Diagnosis
Diagnosis asma dapat dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan penunjang. Kelompok anak yang patut diduga asma adalah anakanak yang menunjukkan batuk dan/atau mengi yang timbul secara episodik, dada
sakit/tertekan, cenderung pada malam /dini hari (nokturnal/morning dip),
musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma dan atopi pada pasien
atau keluarganya.7
a) Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat
hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah, dan berair
(konjungtivitis alergi), dan eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik)
disertai mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian cuaca,
adanya hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat berolahraga),
sering terbangun pada malam hari, riwayat keluarga (riwayat asma, rinitis atau
alergi lainnya dalam keluarga), memelihara binatang di dalam rumah, banyak
kecoa, terdapat bagian yang lembab di dalam rumah. Untuk mengetahui adanya
tungau debu rumah, tanyakan apakah menggunakan karpet berbulu, sofa kain
bludru, kasur kapuk, banyak barang di kamar tidur. Apakah sesak dengan baubauan seperti parfum, spray pembunuh serangga, apakah pasien merokok, orang
13
lain yang merokok di rumah atau lingkungan kerja, obat yang digunakan pasien,
apakah ada beta blocker, aspirin atau steroid.8
b) Pemeriksaan Klinis
Tergantung stadium serangan, lamanya serangan dan jenis asma, pada
asma yang ringan dan sedang tidak ditemukan kelainan fisik diluar serangan.
Pada Infeksi terlihat pernafasan cepat dan sukar, batuk paroksismal, suara
wheezing, ekspirium memanjang, retraksi supraklavikular, suprasternal,
epigastrium dan sela iga. Pada asma kronik terlihat bentuk thorak emfisematous,
bongkok kedepan, sela iga melebar, diameter anteroposterior bartambah.
Pada perkusi hipersonor pada seluruh thorak, daerah pekak
jantung dan hati mengecil. Pada auskultasi, mula-mula bunyi nafas kasar atau
mengeras, tapi pada stadium lanjut suara nafas melemah atau hampir tidak
terdengar karena aliran udara sangat lemah, dalam keadaan normal fase ekspirasi
1/3-1/2 dari fase inspirasi, waktu serangan fase ekspirasi memanjang terdengar
ronkhi kering dan ronkhi basah.8
c) Pemeriksaan Penunjang
1. Spirometer.
Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga
untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.8
2. Peak Flow Meter (PFM)
Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat tersebut
digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Oleh
karena pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan diagnosis
asma diperlukan pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau PFM).
Spirometer lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena; PFM tidak begitu
sensitif dibanding FEV. untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM
mengukur terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan
bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk
penderita yang tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV1.8
3. X-ray dada/thorax. Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak
disebabkan asma.8
14
4. Pemeriksaan IgE. Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan
adanya antibodi IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong
anamnesis dan mencari faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu
merupakan penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan
cara radioallergosorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat
dilakukan (pada dermographism).8
5. Petanda inflamasi. Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik
sebenarnya tidak berdasarkan atas penilaian obyektif inflamasi saluran
napas. Gejala klinis dan spirometri bukan merupakan petanda ideal
inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif inflamasi saluran napas dapat
dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan
kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum
yang diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan
Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat asma.
Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan gambaran
inflamasi, tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset.8
6. Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB. Pada penderita yang menunjukkan FEV1
>90%, HRB dapat dibuktikan dengan berbagai tes provokasi. Provokasi
bronkial dengan menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik
dapat menimbulkan obstruksi saluran napas pada penderita yang sensitif.
Respons sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi pada subyek alergi
tanpa asma. Di samping itu, ukuran alergen dalam alam yang terpajan pada
subyek alergi biasanya berupa partikel dengan berbagai ukuran dari 2 um
sampai 20 um, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes provokasi sebenarnya
kurang memberikan informasi klinis dibanding dengan tes kulit. Tes
provokasi nonspesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan
latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau kering, histamin, dan metakolin.8
II.3.6 Diagnosis banding
Diagnosis banding asma pada anak antara lain, pada bayi adanya benda
asing di saluran napas dan esophagus atau kelenjar timus yang menekan trakea.
Penyakit paru kronik yang berhubungan dengan bronkiektasis dan fibrosis kistik.
15
16
17
18
19
20
21
22
aminofilin
dosis
rumatan
diberikan
sebesar
0,5-1
mg/kgBB/jam.
Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24
jam, dan steroid serta aminofilin diganti peroral.
Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan
dibekali obat beta-agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam
selama 24-48 jam. Selain itu steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke
Klinik Rawat Jalan dalam 24-48 jam untuk reevaluasi tatalaksana.7
Tatalaksana Asma Jangka Panjang
Tatalaksana asma terdiri dari terapi Non medikamentosa (lingkungan dan
pencetus) dan Medikamentosa (obat Pereda dan obat pengendali). Obat
Pereda/reliever digunakan saar serangan asma akut, sedangkan reliever digunakan
untuk mencegah terjadinya serangan asma. Obat pengendali digunakan terusmenerus dalam jangka waktu panjang bergantung derajat kekerapan dan respon
terhadap pengobatan. Obat pengendali/Controller contohnya steroid inhalasi,
antileukotrien, kombinasi steroid-agonis Beta 2 kerja panjang, teofilin lepas
lambat dan anti immunoglobulin E. Saat ini tatalaksana asma jangka panjang
dilakukan secara berjenjang sesuai derajat kekerapan asma. Obat pengendali
diberikan sesuai dengan jenjangnya sedangkan obat Pereda diberikan jika ada
gejala atau serangan asma. Tatalaksana medikamentosa juga dilakukan di semua
jenjang.
23
24
25
berat relatif berat (6 19%). Secara keseluruhan dapat dikatakan 7080% asma
anak bila diikuti sampai dengan umur 21 tahun asmanya sudah menghilang.9
BAB III
PENUTUP
26
1.1 Kesimpulan
Asma merupakan penyakit respiratorik kronis yang ditandai adanya proses
inflamasi yang disertai proses remodeling. Prevalensi asma meningkat dari waktu
ke waktu yang berhubungan dengan pola hidup dan polusi. Klasifikasi asma
adalah asma episodik jarang, asma episodik sering, dan asma persisten. Pada asma
episodik jarang hanya diberikan obat reliever saja tanpa controller, sedangkan
pada asma episodik sering dan persisten diperlukan terapi jangka panjang
(controller). Pada terapi jangka panjang setelah diberikan kortikosteroid dosis
rendah kurang memuaskan dapat diberikan terapi kombinasi kortiksteroid dosis
rendah dan LABA, atau TSR, atau antileukotrien. Terapi kombinasi tersebut dapat
memperbaiki uji fungsi paru, gejala asma, dan aktivitas sehari-hari yang pada
akhirnya meningkatkan kualitas hidup anak asma. Dengan kombinasi di atas,
dosis kortikosteroid dapat diturunkan sehingga efek samping terhadap tumbuh
kembang anak dapat dikurangi. Terapi kombinasi tersebut merupakan suatu
harapan baru dalam tatalaksana asma.
DAFTAR PUSTAKA
27
1. Lampkin SJ, Maslouski CA, Maish WA, John BM. Asthma Review for
Pharmacists Providing Asthma Education, J Pediatr Pharmacol Ther
2016;21(5):444471.
2. Hooper LG, Dieye Y, Ndiaye A, Diallo A, Fan FS, Neuzil KM, Ortiz JR.
Estimating Pediatric Asthma Prevalence in Rural Senegal: A CrossSectional Survey. Pediatric Pulmonology: 2016.
3. Dilley MA, Sheehan WJ, Petty CR, Gaffin JM, Hauptman M,
Phipatanakul W. Comparison of treatment modalities for inpatient asthma
exacerbations among US pediatric Hospitals. J Allergy Clin Immunol
Pract: 2016.
4. Supriyatno B. Diagnosis dan Penatalaksanaan Terkini Asma pada Anak.
Maj Kedokt Indon, Maret 2005; 55(3): 237-243.
5. Moore, KL. 2007. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta: Hipokrates.
6. Sherwood, L. 2012. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 6. Jakarta:
EGC.
7. Unit Kerja Koordinasi Pulmonologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Konsensus Nasional Asma Anak. Sari Pediatri, Juni 2010; 2(1): 50-66.
8. Rengganis I. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Maj Kedokt
Indon, Nopember 2008; 58 (11): 444-451.
9. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma : Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksaan di Indonesia. Balai Penerbit FKUI : Jakarta, 2011.
28