Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

PENATALAKSANAAN ASMA DERAJAT BERAT PADA ANAK

Pembimbing:
dr. Tjatur Kuat Sagoro, Sp.A

Disusun Oleh:
Deviana Sariputri (1420221165)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UPN VETERAN JAKARTA
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT PERSAHABATAN JAKARTA
PERIODE 21 NOVEMBER 2016 04 FEBRUARI 2017

LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
PENATALAKSANAAN ASMA DERAJAT BERAT PADA ANAK
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan
Klinik di Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan

Disusun Oleh:
Deviana Sariputri (1420221165)

Pembimbing

Pembimbing : dr. Tjatur Kuat Sagoro, Sp.A


Tanggal
:
Desember 2016

KATA PENGANTAR

Puji Syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
ridha-Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul Penatalaksanaan
Asma Derajat Berat pada Anak.
Makalah ini dibuat dengan maksud dan tujuan untuk memenuhi penilaian
pada kepaniteraan klinik di departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit
Umum Persahabatan. Terima kasih penulis sampaikan kepada dr. Tjatur Kuat
Sagoro., Sp.A selaku dokter pembimbing yang banyak memberikan masukan dan
saran. Serta teman-teman sejawat yang telah membantu dalam penyelesaian
referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, untuk itu
kritik dan saran sangat penulis harapkan demi perbaikan penulisan berikutnya.
Akhir kata, semoga referat ini dapat bermanfaat dan menambah ilmu pengetahuan
bagi penulis maupun pembaca.

Jakarta,

Desember 2016
Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.........................................................................................................
LEMBAR PENGESAHAN............................................................................................
KATA PENGANTAR.....................................................................................................
DAFTAR ISI..................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................
1.1 Latar Belakang
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................
II.1 Anatomi Traktus Respiratorius..........................................................................2
II.2 Fisiologi Pernapasan..4
II.3 Asma..5
BAB III PENUTUP...........................................................................................................
III.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Asma adalah gangguan kronis pada paru-paru yang melibatkan obstruksi
jalan napas, yang disebabkan oleh suatu peradangan dan keadaan hiperesponsif.
Gejala klasik asma berupa mengi yang bersifat reversibel, sesak napas, batuk, dan
sesak di dada. Ada berbagai tingkat keparahan asma, dan kondisi setiap pasien
akan berfluktuasi selama seumur hidup nya.1
Secara global, diperkirakan 334 juta orang menderita asma. Penyakit asma
merupakan penyakit kronis yang paling umum di antara anak-anak di seluruh
dunia. Menurut data National Health Interview Survey

(NHIS) tahun 2012,

prevalensi asma lebih tinggi pada anak-anak (9,3%) daripada pada orang dewasa
(8%), dengan anak-anak berusia 0-4 tahun memiliki prevalensi tertinggi
eksaserbasi asma akut (60,8%), diikuti oleh pasien berusia 5-14 tahun (56,3%).
Kematian asma pada anak jarang terjadi, tapi kemungkinan meningkat sebagai
orang dewasa dengan asma seiring bertambahnya usia.1,2
Faktor risiko yang diketahui menyebabkan eksaserbasi asma antara lain
faktor demografi, status atopik, paparan asap, dan obesitas. Terapi lini pertama
untuk mengobati eksaserbasi asma akut yaitu golongan kortikosteroid dan
bronkodilator. Global Initiative for Asthma menerbitkan pedoman pada tahun
2016 untuk manajemen asma pada anak-anak dan orang dewasa. Pedoman ini
mencakup rekomendasi untuk rawat inap, khususnya penggunaan short-acting 2agonis, oksigen, dan kortikosteroid untuk moderat untuk eksaserbasi berat, dan
pertimbangan terapi lain bagi jika tidak responsif terhadap terapi lini pertama.3
Tatalaksana asma dibagi menjadi 2 kelompok yaitu tatalaksana pada saat
serangan asma (eksaserbasi akut) atau aspek akut dan tatalaksana jangka panjang
(aspek kronis). Pada asma episodik sering dan asma persisten berar, selain
penanganan pada saat serangan, diperlukan obat pengendali (controller) yang

diberikan sebagai pencegahan terhadap serangan asma. Pada makalah ini akan
dijelaskan tentang penatalaksanaan asma derajat berat pada anak.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Anatomi Traktus Respiratorius


Secara garis besar saluran pernafasan dibagi menjadi dua zona yaitu zona
konduksi dan respiratorius. Zona konduksi dimulai dari hidung, faring, laring,
trakea, bronkus primer (principalis), bronkus sekunder (lobaris) bronkus tersier
(segmentalis) dan berakhir pada bronkiolus terminalis. Sedangkan zona
respiratoris dimulai dari bronkiolus respiratoris, duktus alveoli dan berakhir pada
sakus alveolus terminalis. Sedangkan berdasarkan letak anatomisnya, saluran
pernapasan dibagi menjadi saluran napas atas (rongga hidung, faring, laring) dan
bawah (trakea, bronkus, bronkiolus, alveolus) Saluran pernafasan mulai dari
hidung sampai bronkiolus dilapisi oleh membran mukosa yang bersilia.5

Gambar 1 Trakea, bronkus, bronkiolus dan cabang-cabangnya


Sumber: Moore, 2007

Udara mengalir dari hidung ke faring yang merupakan tempat persimpangan


antara jalan pernafasan dan jalan makanan. Faring dapat dibagi menjadi tiga
bagian yaitu nasofaring (terletak diatas palatum lunak), orofaring (bagian faring
yang tampak jika lidah ditekan, menerima udara dari nasofaring dan makanan dari
2

rongga mulut) dan laringofaring (bagian inferior dari faring). Laring merupakan
saluran udara dan bertindak sebagai pembentukan suara terletak didepan bagian
faring setinggi vertebra servikalis empat sampai dengan enam dan di bawahnya
terdapat trakea. Laring merupakan rangkaian cincin kartilago yang dihubungkan
oleh otot dan mengandung pita suara (vocal cord). Diantara pita suara terdapat
glotis yang merupakan pemisah saluran pernafasan bagian atas dan bawah.5

(a)

(b)

Gambar 2 (a) Gambaran anatomi hidung, faring, laring dan trakea (b) Letak
pita suara dan epiglotis
Trakea dibentuk dari 16-20 cincin kartilago (panjang 12 cm) dan diantara
kartilago satu dengan yang lain dihubungkan oleh jaringan fibrosa dan di
dalamnya dilapisi oleh epitel mukosiliar yang hanya bergerak keluar. Sel-sel
bersilia ini berguna untuk mengeluarkan benda-benda asing yang masuk bersama
udara pernafasan, dan dibelakang terdiri dari jaringan ikat yang dilapisi oleh otot
polos dan lapisan mukosa.5
Bronkus merupakan lanjutan dari trakea dan terdapat dua cabang yang
terdapat pada ketinggian vertebra torakalis IV dan V. Sedangkan, tempat dimana
trakea bercabang menjadi bronkus utama kanan dan kiri disebut karina. Karina
memiliki banyak syaraf dan dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk yang
kuat jika batuk dirangsang. Bronkus utama kanan lebih pendek, lebih besar dan
lebih vertikal dari yang kiri yang terdiri dari 6-8 cincin dan mempunyai tiga
cabang. Bronkus utama kiri lebih panjang, lebih kecil, terdiri dari 9-12 cincin
serta mempunyai dua cabang.5
Bronkiolus terminalis merupakan saluran udara kecil yang tidak
mengandung alveoli dan memiliki garis tengah 1 mm. Seluruh saluran udara
3

mulai dari hidung sampai bronkiolus terminalis ini disebut saluran penghantar
udara atau zona konduksi. Bronkiolus ini mengandung kolumnar epitelium yang
mengandung lebih banyak sel goblet dan otot polos. Setelah bronkiolus terminalis
terdapat asinus yang merupakan unit fungsional paru yaitu tempat pertukaran gas.
Asinus terdiri dari bronkiolus respiratoris, duktus alveolaris dan sakus alveolaris
terminalis yang merupakan struktur akhir dari paru. Alveolus merupakan suatu
kantung udara tipis, dapat mengembang dan berbentuk seperti buah anggur yang
terdapat diujung percabangan saluran pernapasan. Dinding alveolus terdiri dari
lapisan sel alveolus Tipe I (membranuos pneumocytes). Epitel alveolus juga
mengandung sel alveolus Tipe II yang mengeluarkan surfaktan.5

Gambar 3 Gambaran percabangan bronkiolus serta bagian-bagian alveolus


Sumber: Moore, 2007

II.2 Fisiologi Pernapasan


Pernapasan adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung
oksigen kedalam tubuh serta menghembuskan udara yang banyak mengandung
karbondioksida (CO2) sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh. Penghisapan ini
disebut inspirasi dan menghembuskan disebut ekspirasi.6

Ketika udara masuk kerongga hidung, udara tersebut disaring, dihangatkan


dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan fungsi utama dari mukosa
respirasi yang terdiri dari epitel thorak yang bertingkat, bersilia dan bersel goblet.
Permukaan epitel dilapisi oleh lapisan mukus yang disekresi oleh sel goblet dan
kelenjar serosa. Partikel-partikel debu yang kasar dapat disaring oleh
rambutrambut yang terdapat dalam lubang hidung. Sedangkan, partikel yang halus
akan terjerat dalam lapisan mukus untuk kemudian dibatukkan atau ditelan. Air
untuk kelembapan diberikan oleh lapisan mukus, sedangkan panas yang disuplai
keudara inspirasi berasal dari jaringan dibawahnya yang kaya dengan pembuluh
darah, sehingga bila udara mencapai faring hampir bebas debu, bersuhu
mendekati suhu tubuh dan kelembapannya mencapai 100%.6
Secara garis besar fungsi pernafasan dapat dibagi menjadi
dua yaitu pertukaran gas dan keseimbangan asam basa. Fungsi pertukaran gas
dibagi menjadi 3 proses. Pertama ventilasi, merupakan proses pergerakan keluar
masuknya udara melalui cabang-cabang trakeobronkial sehingga oksigen sampai
pada alveoli dan karbondioksida dibuang. Pergerakan ini terjadi karena adanya
perbedaan tekanan antara udara luar dengan di dalam paru-paru. Proses kedua
adalah difusi yaitu masuknya oksigen dari alveoli ke kapiler melalui membran
alveoli-kapiler. Proses ini terjadi karena gas mengalir dari tempat yang tinggi
tekanan parsialnya ketempat yang lebih rendah tekanan partialnya. Oksigen dalam
alveoli mempunyai tekanan parsial yang lebih tinggi dari oksigen yang berada
didalam darah. Karbondioksida darah lebih tinggi tekanan parsialnya dari pada
karbondioksida di alveoli. Proses ketiga adalah perfusi yaitu proses penghantaran
oksigen dari kapiler ke jaringan melalui transpor aliran darah.6
II.3 Asma
II.3.1 Definisi
Definisi Asma menurut Global Initiative for Asthma (GINA) adalah
gangguan inflamasi kronik saluran napas dengan banyak sel yang berperan,
khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan, inflamasi
ini menyebabkan episode mengi berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan
batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan

dengan penyempitan jalan napas yang luas namun bervariasi, sebagian bersifat
reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga
berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan napas terhadap berbagai rangsangan.7
Eksaserbasi (serangan) asma merupakan episode perburukan gejala-gejala
asma secara progresif yang umumnya ditandai oleh distres pernapasan (sesak
napas, batuk, mengi, dada terasa tertekan atau kombinasinya).6,7
II.3.2 Etiologi
Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan faktor
lingkungan:8
1. Faktor Genetik
a) Atopi/alergi
Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat
yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah
terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus.8
b) Hipereaktivitas bronkus
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun
iritan.8
c) Obesitas
Obesitas merupakan faktor risiko asma. Mediator tertentu seperti leptin
dapat

mempengaruhi

fungsi

saluran

napas

dan

meningkatkan

kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum jelas,


penurunan

berat

badan

penderita

obesitas

dengan

asma,

dapat

memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.8


2. Faktor lingkungan
a) Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan
kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).
b) Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur).
c) Alergen makanan, contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang
tanah, coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap pengawet, dan pewarna
makanan.

d) Alergen obat-obatan tertentu, contoh: penisilin, sefalosporin, golongan


beta laktam lainnya, eritrosin, tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain
lain.
e) Bahan yang mengiritasi, contoh: parfum, spray, dan lain-lain.
f) Ekspresi emosi berlebih
Stres/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu
juga dapat memperberat serangan asma yang sudah ada.
g) Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif
Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap
rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek
berbahaya yang dapat diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala
serupa asma pada usia dini.8
h) Polusi udara dari luar dan dalam ruangan
i) Exercise-induced asthma
Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/olahraga
tertentu. Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika
melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling
mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktivitas
biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas tersebut.8
j) Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi
asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu
terjadinya serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan
musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga (serbuk sari
beterbangan).8
II.3.3 Patofisiologi
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain
alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma
dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur
imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I
(tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat.1,8

Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk


sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi.
Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada
interstisial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila
seseorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut
meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada
sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam
mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor
kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal
pada dinding bronkiolus, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan
spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas.1,8

Gambar 4 Patofisiologi Asma


Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 1015 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan
respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung pada
otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan
alergen dan bertahan selama 16-24 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa
minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen Presenting
Cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma.1,8

Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast
intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran
napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator
inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan
napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa,
sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi.8
Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa
keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada
hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2 . Pada keadaan tersebut
reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang
terangsa menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A
dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang
menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma,
hipersekresi lendir dan aktivasi sel-sel inflamasi.8
Kejadian utama pada serangan asma akut adalah obstruksi jalan napas
secara luas yang merupakan kombinasi dari spasme otot polos bronkus, edem
mukosa karena inflamasi saluran napas, dan sumbatan mukus. Sumbatan yang
terjadi tidak seragam/merata di seluruh paru. Atelektasis segmental atau
subsegmental dapat terjadi. Sumbatan jalan napas menyebabkan peningkatan
tahanan jalan napas, terperangkapnya udara, dan distensi paru berlebihan
(hiperinflasi). Perubahan tahanan jalan napas yang tidak merata di seluruh
jaringan bronkus, menyebabkan tidak padu padannya ventilasi dengan perfusi
(ventilation-perfusion mismatch). Hiperinflasi paru menyebabkan penurunan
compliance paru, sehingga terjadi peningkatan kerja napas.7
Peningkatan tekanan intrapulmonal yang diperlukan untuk ekspirasi melalui
saluran napas yang menyempit, dapat makin mempersempit atau menyebabkan
penutupan dini saluran napas, sehingga meningkatkan risiko terjadinya
pneumotoraks. Peningkatan tekanan intratorakal mungkin mempengaruhi arus
balik vena dan mengurangi curah jantung yang bermanifestasi sebagai pulsus
paradoksus. Ventilasi perfusi yang tidak padu padan, hipoventilasi alveolar, dan
peningkatan kerja napas menyebabkan perubahan dalam gas darah. Pada awal

serangan, untuk meng-kompensasi hipoksia terjadi hiperventilasi sehingga kadar


PaCO2 akan turun dan dijumpai alkalosis respiratorik.7
Selanjutnya pada obstruksi jalan napas yang berat, akan terjadi kelelahan
otot napas dan hipoventilasi alveolar yang berakibat terjadinya hiperkapnia dan
asidosis respiratorik. Karena itu jika dijumpai kadar PaCO 2 yang cenderung naik
walau nilainya masih dalam rentang normal, harus diwaspadai sebagai tanda
kelelahan dan ancaman gagal napas. Selain itu dapat terjadi pula asidosis
metabolik akibat hipoksia jaringan dan produksi laktat oleh otot napas. Hipoksia
dan asidosis dapat menyebabkan vasokonstriksi pulmonal, namun jarang terjadi
komplikasi cor pulmonale. Hipoksia dan vasokonstriksi dapat merusak sel alveoli
sehingga produksi surfaktan berkurang atau tidak ada, dan meningkatkan risiko
terjadinya atelektasis. Bagan berikut ini dapat menjelaskan patofisiologi asma.7

Bagan 1 Patofisiologi asma


(Sumber: Sari Pediatri, Juni 2010)

II.3.4 Klasifikasi

10

A. Berdasarkan umur
1) Asma pada bayi
2) Asma pada balita
3) Asma pada usia sekolah
4) Asma pada remaja
B. Berdasarkan Fenotip
1) Asma tercetus infeksi virus
2) Asma tercetus aktivitas
3) Asma tercetus alergen
4) Asma tercetus obesitas
5) Asma dengan banyak pencetus
C. Berdasarkan kekerapan timbulnya gejala
1) Asma intermiten
2) Asma persisten ringan
3) Asma persisten sedang
4) Asma persisten berat
Klasifikasi asma Berdasarkan kekerapan timbulnya gejala
Derajat Asma
Intermiten

Deskripsi kekerapan gejala asma


Episode gejala asma <6x/tahun, atau jarak

Persisten

antar gejala asma 6 minggu


Episode gejala asma >1x/bulan atau

ringan
Persisten

<1x/minggu
Episode gejala asma >1x/minggu, namun

sedang
Persisten berat

tidak setiap hari


Episode gejala asma hampir setiap hari

D. Berdasarkan derajat berat Serangan


1) Asma serangan ringan sedang
2) Asma serangan berat
3) Serangan asma dengan ancaman henti napas
Asma Serangan ringan-

Asma Serangan Berat

Serangan Asma dengan

11

sedang
Bicara dalam kalimat
Lebih senang duduk
Tidak gelisah
Takipnea
Takikardi
Retraksi minimal
SaO2 90-95%
PEF >50% Prediksi

Bicara dalam kata


Duduk bertopang lengan
Gelisah
Takipnea
Takikardi
Retraksi jelas
SaO2 <90 %
PEF 50% Prediksi

ancaman gagal nafas


Kriteria asma serangan
berat terpenuhi
ditambah:
1. Mengantuk
2. Letargi
3. Suara nafas tidak
terdengar

E. Berdasarkan derajat kendali


1) Asma terkendali penuh
a. Tanpa obat pengendali: asma intermiten.
b. dengan obat pengendali: asma persisten ringan, sedang, berat
2) Asma terkendali sebagian
3) Asma tidak terkendali
PERBEDAAN KLASIFIKASI PNAA 2004 DAN PNAA 2015
PNAA 2004
Episodik Jarang
Episodik Sering
Persisten

PNAA 2015
Intermiten
Persisten ringan
Persisten sedang
Persisten berat

Klasifikasi asma anak berdasarkan kekerapan (PNAA 2004)

12

II.3.5 Diagnosis
Diagnosis asma dapat dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan penunjang. Kelompok anak yang patut diduga asma adalah anakanak yang menunjukkan batuk dan/atau mengi yang timbul secara episodik, dada
sakit/tertekan, cenderung pada malam /dini hari (nokturnal/morning dip),
musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma dan atopi pada pasien
atau keluarganya.7
a) Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat
hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah, dan berair
(konjungtivitis alergi), dan eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik)
disertai mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian cuaca,
adanya hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat berolahraga),
sering terbangun pada malam hari, riwayat keluarga (riwayat asma, rinitis atau
alergi lainnya dalam keluarga), memelihara binatang di dalam rumah, banyak
kecoa, terdapat bagian yang lembab di dalam rumah. Untuk mengetahui adanya
tungau debu rumah, tanyakan apakah menggunakan karpet berbulu, sofa kain
bludru, kasur kapuk, banyak barang di kamar tidur. Apakah sesak dengan baubauan seperti parfum, spray pembunuh serangga, apakah pasien merokok, orang

13

lain yang merokok di rumah atau lingkungan kerja, obat yang digunakan pasien,
apakah ada beta blocker, aspirin atau steroid.8
b) Pemeriksaan Klinis
Tergantung stadium serangan, lamanya serangan dan jenis asma, pada
asma yang ringan dan sedang tidak ditemukan kelainan fisik diluar serangan.
Pada Infeksi terlihat pernafasan cepat dan sukar, batuk paroksismal, suara
wheezing, ekspirium memanjang, retraksi supraklavikular, suprasternal,
epigastrium dan sela iga. Pada asma kronik terlihat bentuk thorak emfisematous,
bongkok kedepan, sela iga melebar, diameter anteroposterior bartambah.
Pada perkusi hipersonor pada seluruh thorak, daerah pekak
jantung dan hati mengecil. Pada auskultasi, mula-mula bunyi nafas kasar atau
mengeras, tapi pada stadium lanjut suara nafas melemah atau hampir tidak
terdengar karena aliran udara sangat lemah, dalam keadaan normal fase ekspirasi
1/3-1/2 dari fase inspirasi, waktu serangan fase ekspirasi memanjang terdengar
ronkhi kering dan ronkhi basah.8
c) Pemeriksaan Penunjang
1. Spirometer.
Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga
untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.8
2. Peak Flow Meter (PFM)
Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat tersebut
digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Oleh
karena pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan diagnosis
asma diperlukan pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau PFM).
Spirometer lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena; PFM tidak begitu
sensitif dibanding FEV. untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM
mengukur terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan
bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk
penderita yang tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV1.8
3. X-ray dada/thorax. Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak
disebabkan asma.8
14

4. Pemeriksaan IgE. Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan
adanya antibodi IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong
anamnesis dan mencari faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu
merupakan penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan
cara radioallergosorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat
dilakukan (pada dermographism).8
5. Petanda inflamasi. Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik
sebenarnya tidak berdasarkan atas penilaian obyektif inflamasi saluran
napas. Gejala klinis dan spirometri bukan merupakan petanda ideal
inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif inflamasi saluran napas dapat
dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan
kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum
yang diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan
Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat asma.
Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan gambaran
inflamasi, tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset.8
6. Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB. Pada penderita yang menunjukkan FEV1
>90%, HRB dapat dibuktikan dengan berbagai tes provokasi. Provokasi
bronkial dengan menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik
dapat menimbulkan obstruksi saluran napas pada penderita yang sensitif.
Respons sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi pada subyek alergi
tanpa asma. Di samping itu, ukuran alergen dalam alam yang terpajan pada
subyek alergi biasanya berupa partikel dengan berbagai ukuran dari 2 um
sampai 20 um, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes provokasi sebenarnya
kurang memberikan informasi klinis dibanding dengan tes kulit. Tes
provokasi nonspesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan
latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau kering, histamin, dan metakolin.8
II.3.6 Diagnosis banding
Diagnosis banding asma pada anak antara lain, pada bayi adanya benda
asing di saluran napas dan esophagus atau kelenjar timus yang menekan trakea.
Penyakit paru kronik yang berhubungan dengan bronkiektasis dan fibrosis kistik.

15

Kelainan trakea dan bronkus misalnya laringotrakeomalasia dan stenosis bronkus.


Tuberkulosis kelenjar limfe di daerah trakeobronkial. Bronkitis, tidak ditemukan
eosinofilia, suhu biasanya tinggi dan tidak herediter. Bila sering berulang dan
kronik biasanya disebabkan oleh asma. Bronkiolitis akut, biasanya menyerang
anak di bawah umur 2 tahun dan terbanyak di bawah umur 6 bulan dan jarang
berulang.
II.3.7 Penanganan Asma dan Serangan Asma pada Anak
Penatalaksanaan Asma Bertujuan:8
1. Menghilangkan & mengendalikan gejala asma, agar kualitas hidup
meningkat.
2. Mencegah eksaserbasi akut.
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin.
4. Mempertahankan aktivitas normal termasuk latihan jasmani dan aktivitas
lainnya.
5. Menghindari efek samping obat.
6. Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara ireversibel.
Ciri-ciri asma terkontrol:8
1. Tanpa gejala harian atau dalam 2x/minggu.
2. Tanpa keterbatasan aktivitas harian.
3. Tanpa gejala asma malam.
4. Tanpa pengobatan pelega atau dalam 2x/minggu.
5. Fungsi paru normal atau hampir normal.
6. Tanpa eksaserbasi.
Ciri-ciri asma tidak terkontrol:8
1. Asma malam (terbangun malam hari karena gejala asma).
2. Kunjungan ke gawat darurat, karena serangan akut.
3. Kebutuhan obat pelega meningkat.
Pengendalian asma bertujuan:8
1. Meningkatkan kemandirian pasien dalam upaya pencegahan asma.

16

2. Menurunkan jumlah kelompok masyarakat yang terpajan faktor risiko asma.


3. Terlaksananya deteksi dini pada kelompok masyarakat berisiko asma.
4. Terlaksananya penegakan diagnosis & tatalaksana pasien asma sesuai
standar.
5. Menurunnya angka kesakitan akibat asma.
6. Menurunnya angka kematian akibat asma.
Tatalaksana Serangan Asma
GINA membagi penanganan serangan asma menjadi dua,
tatalaksana di rumah dan di rumah sakit. Tatalaksana di rumah
dapat dilakukan oleh pasien atau orang tuanya di rumah. Hal ini
dapat dilakukan oleh pasien yang sebelumnya telah menjalani
terapi dengan teratur, dan mempunyai pendidikan yang cukup.7
Penanganan Serangan Asma di Rumah
Semua pasien/keluarga pasien asma perlu diberikan edukasi tentang
bagaimana memantau gejala asma, gejala serangan asma, dan rencana tatalaksana
asma yang diberikan secara tertulis. Pada panduan pengobatan di
rumah, disebutkan terapi awal berupa inhalasi beta-agonis kerja
pendek (SABA) hingga 2x dalam satu jam (diberikan satu kali
kemudian nilai klinis pasien, jika klinis baik, cukup diberikan
sekali, jika tidak ada perbaikan klinis maka dapat diulang 30
menit berikutnya). Kemudian pasien atau keluarganya diminta
melakukan penilaian respons untuk penentuan derajat serangan
yang kemudian ditindak lanjuti sesuai derajatnya. Namun untuk
kondisi di Indonesia, pemberian terapi awal di rumah seperti di
atas berisiko dan kemampuan melakukan penilaian juga masih
dipertanyakan. Dengan demikian agaknya tatalaksana di rumah
ini belum dapat diterapkan di Indonesia. Pada beberapa keadaan,
pasien harus dibawa ke tempat pelayanan keaehatan terdekat
yaitu jika pasien memiliki satu atau lebih faktor resiko ataupun
pasien mengalami serangan akut berat.7

17

Penanganan Serangan Asma di Instalasi Gawat Darurat (IGD)


Pasien asma yang datang dalam keadaan serangan, langsung dinilai derajat
serangannya menurut klasifikasi di atas sesuai dengan fasilitas yang tersedia.
Dalam panduan GINA ditekankan bahwa pemeriksaan uji fungsi paru (spirometer
atau peak flow meter) merupakan bagian integral penilaian penanganan serangan
asma, bukan hanya evaluasi klinis. Namun di Indonesia penggunaan alat tersebut
belum optimal.7
Penanganan awal terhadap pasien adalah pemberian beta-agonis secara
nebulisasi. Garam fisiologis dan mukolitik dapat ditambahkan dalam cairan
nebulisasi. Nebulisasi serupa dapat diulang dua kali dengan selang 20 menit. Pada
pemberian ketiga dapat ditambahkan obat antikolinergik. Penanganan awal ini
sekaligus dapat berfungsi sebagai penapis (screening) yaitu untuk penentuan
derajat serangan, karena penilaian derajat secara klinis tidak selalu dapat
dilakukan dengan cepat dan jelas. Jika menurut penilaian awal pasien datang jelas
dalam serangan berat, langsung berikan nebulisasi beta agonis dikombinasikan
dengan antikolinergik. Pasien dengan serangan berat yang disertai dehidrasi dan
asidosis metabolik, mungkin akan mengalami refrakter, yaitu respons yang kurang
baik terhadap nebulisasi beta-agonis. Pasien seperti ini cukup dinebulisasi sekali
saja kemudian secepatnya dirawat untuk mendapatkan obat intravena, selain
diatasi masalah dehidrasi dan asidosisnya.7
Serangan ringan-sedang
Pada pasien yang memenuhi kriteria gejala klinis untuk asma derajat ringan
sedang, sebagai tindakan awal dilakukan pemberian nebulisasi agonis beta 2
jangka pendek atau MDI spacer, yang dapat diulang hingga 2x dalam 1 jam,
dengan pertimbangan penambahan ipratropium bromide pada nebulilasi ketiga.
Kemudian pasien diobservasi, apabila pasien membaik, dapat dipulangkan. Jika
dengan 3x pemberian inhalasi beta 2 agonis maka dipertimbangkan untuk
pemakaian jalur parenteral.
a) Jika respon baik, pasien dipulangkan
b) Jika respon memburuk, pasien dirujuk ke RS

18

Jika dengan sekali nebulisasi pasien menunjukkan respons yang baik


(complete response), berarti derajat serangannya ringan. Pasien diobservasi
selama 1-2 jam, jika respons tersebut bertahan, pasien dapat dipulangkan. Pasien
dibekali obat beta-agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam. Jika
pencetus serangannya adalah infeksi virus, dapat ditambahkan steroid oral jangka
pendek (3-5 hari). Pasien kemudian dianjurkan kontrol ke Klinik Rawat Jalan
dalam waktu 24-48 jam untuk reevaluasi tatalaksananya. Selain itu jika sebelum
serangan pasien sudah mendapat obat pengendali, obat tersebut diteruskan hingga
reevaluasi di Klinik Rawat Jalan. Namun jika setelah observasi 2 jam gejala
timbul kembali, pasien diperlakukan sebagai serangan sedang.7

19

20

Bagan 2 Algoritma Tatalaksana Serangan Asma pada Anak


Serangan sedang
Jika dengan pemberian nebulisasi dua atau tiga kali, pasien hanya menunjukkan
respons parsial (incompleteresponse), kemungkinan derajat serangannya sedang.
Untuk itu perlu dinilai ulang derajatnya sesuai pedoman di depan. Jika
serangannya memang termasuk serangansedang, pasien perlu diobservasi dan

21

ditangani di Ruang Rawat Sehari (RRS). Walaupun mungkin tidak diperlukan,


namun untuk persiapan keadaan darurat, maka sejak di IGD pasien yang akan
diobservasi di RRS langsung dipasangi jalur parenteral.7
Serangan berat
Bila dengan 3 kali nebulisasi berturut-turut pasien tidak menunjukkan
respons (poor response), yaitu gejala dan tanda serangan masih ada (penilaian
ulang sesuai pedoman), maka pasien harus dirawat di Ruang Rawat Inap. Oksigen
2-4L/menit diberikan sejak awal termasuk saat nebulisasi. Pasang jalur parenteral
dan lakukan foto toraks. Jika sejak penilaian awal pasien mengalami serangan
berat, nebulisasi cukup diberikan sekali langsung dengan beta-agonis dan
antikolinergik. Sedangkan bila pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman
henti napas, pasien harus langsung dirawat di Ruang Rawat Intensif. Untuk pasien
denganserangan berat dan ancaman henti napas, langsung dibuat foto rontgen
toraks guna mendeteksi komplikasi pneumotoraks dan/atau pneumomediastinum.7
Penanganan di Ruang Rawat Sehari
Pemberian oksigen sejak dari IGD dilanjutkan. Kemudian berikan steroid
sistemik oral berupa prednisolon, prednison, atau triamsinolon. Setelah di IGD
menjalani nebulisasi 3 kali dalam 1 jam dengan respons parsial, di RRS
diteruskan dengan nebulisasi beta-agonis ditambah antikolinergik tiap 2 jam. Jika
dalam 8-12 jam klinis tetap baik, maka pasien dipulangkan dan dibekali obat
seperti pasien serangan ringan yang dipulangkan dari Klinik/IGD. Bila dalam 12
jam responsnya tetap tidak baik, maka pasien dialih rawat ke Ruang Rawat Inap
untuk mendapat steroid dan aminofilin parenteral.7
Penanganan di Ruang Rawat Inap
Pemberian oksigen diteruskan
Jika ada dehidrasi dan asidosis maka diatasi dengan pemberian cairan
intravena dan dikoreksi asidosisnya.
Steroid intravena diberikan secara bolus, tiap 6-8 jam.

22

Nebulisasi beta-agonis + antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2


jam, jika dalam 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis, jarak
pemberian dapat diperlebar menjadi tiap 4-6 jam.7
Aminofilin diberikan secara intravena dengan dosis:7
- bila pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, diberi aminofilin
dosis awal (inisial) sebesar 4-6 mg/kgBB dilarutkan dalam dekstrose atau
garam fisiologis sebanyak 20 ml, diberikan dalam 20-30 menit.
- jika pasien telah mendapat aminofilin (kurang dari 4 jam), dosis diberikan
1/2nya.
- sebaiknya kadar aminofilin diukur dan dipertahankan 10-20 mcg/ml.
-selanjutnya

aminofilin

dosis

rumatan

diberikan

sebesar

0,5-1

mg/kgBB/jam.
Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24
jam, dan steroid serta aminofilin diganti peroral.
Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan
dibekali obat beta-agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam
selama 24-48 jam. Selain itu steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke
Klinik Rawat Jalan dalam 24-48 jam untuk reevaluasi tatalaksana.7
Tatalaksana Asma Jangka Panjang
Tatalaksana asma terdiri dari terapi Non medikamentosa (lingkungan dan
pencetus) dan Medikamentosa (obat Pereda dan obat pengendali). Obat
Pereda/reliever digunakan saar serangan asma akut, sedangkan reliever digunakan
untuk mencegah terjadinya serangan asma. Obat pengendali digunakan terusmenerus dalam jangka waktu panjang bergantung derajat kekerapan dan respon
terhadap pengobatan. Obat pengendali/Controller contohnya steroid inhalasi,
antileukotrien, kombinasi steroid-agonis Beta 2 kerja panjang, teofilin lepas
lambat dan anti immunoglobulin E. Saat ini tatalaksana asma jangka panjang
dilakukan secara berjenjang sesuai derajat kekerapan asma. Obat pengendali
diberikan sesuai dengan jenjangnya sedangkan obat Pereda diberikan jika ada
gejala atau serangan asma. Tatalaksana medikamentosa juga dilakukan di semua
jenjang.

23

Bagan 3 Algoritma Tatalaksana Asma pada Anak


a) Jenjang 1
Jenjang 1 diindikasikan sebagai terapi awal pada asma intermiten dan
diterapkan juga pada pasien yang telah terkendali penuh tanpa obat
pengendali. Pada jenjang 1 pasien hanya mendapatkan inhalasi agonis beta
2 kerja pendek apabila mengalami serangan asma. Sebagai alternatif, obat
Pereda yang dapat diberikan yaitu inhalasi agonis beta 2 kerja pendek
kombinasi dengan ipratropium bromida, agonis beta 2 kerja pendek oral,
teofilin kerja pendek oral. Bila setelah ditatalaksana fengan jenjang 1
selama 6-8 minggu asma tidak terkendali penuh maka anak perlu
ditatalaksana dengan jenjang 2.
b) Jenjang 2
Jika pada awal serangan pasien didiagnosis asma persisten ringan maka
tatalaksana dimulai dari jenjang 2. Pilihan utama obat pengendali pada
jenjang ini yaitu steroid inhalasi dosis rendah, sedangkan pilihan lain dapat
diberikan antileukotrien bagi pasien yang tidak memungkinkan dengan
steroid inhalasi atau terdapat rhinitis alergik.
c) Jenjang 3

24

Jenjang 3 diindikasikan sebagai terapi awal asma anak derajat persisten


sedang atau anak dengan asma yang tidak terkendali setelah dilakukan
pengobatan jangka 2. Pilihan obat pengendali pada jenjang 3 yaitu
kombinasi steroid dosis rendah dengan agonis beta 2 kerja panjang.
Pilihan lainnya yaitu dengan menaikkan dosis inhalasi ke dosis menengah.
Selain itu dapat diberikan kombinasi steroid inhalasi dosis rendah
ditambah anti leukotrien atau kombinasi steroid inhalasi dosis rendah
dengan teofilin lepas lambat.
d) Jenjang 4
Jenjang 4 diindikasikan sebagai terapi awal asma anak derajat persisten
berat atau anak dengan asma yang tidak terkendali setelah dilakukan
pengobatan jangka 3. Pilihan utama obat pengendali pada jenjang 4 yaitu
kombinasi steroid inhalasi dosis menengah-agonis beta 2 kerja panjang.
Menaikkan dosis inhalasi steroid ke dosis tinggi hanya memberikan sedikit
perbaikan. Pilihan lain pada jenjang 4 yaitu kombinasi steroid inhalasi
dosis tinggi-antileukotrien, atau kombinasi steroid inhalasi dosis tinggiteofilin lepas lambat. Pada jenjang ini dapat dipertimbangkan penggunaan
anti Immnunoglobulin E yaitu omalizumab yang dapat memperbaiki
pengendalian asma yang disebabkan oleh alergi.
II.3.8 Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul akibat asma yaitu atelektasis, emfisema
pneumothoraks, pneumomediastinum, dan gagal nafas.9
II.3.9 Prognosis
Tingkat mortalitas akibat asma pada anak-anak lebih rendah pada anak-anak
(0,3 : 100.000 populasi) dibandingkan asma pada orang dewasa (1,9: 100.000
populasi). Prognosis baik ditemukan pada 5080% pasien, khususnya pasien yang
penyakitnya ringan dan timbul pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang masih
menderita asma 710 tahun setelah diagnosis pertama bervariasi dari 2678%
dengan nilai rata-rata 46%, akan tetapi persentase anak yang menderitaringan dan
timbul pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang menderita asma penyakit yang

25

berat relatif berat (6 19%). Secara keseluruhan dapat dikatakan 7080% asma
anak bila diikuti sampai dengan umur 21 tahun asmanya sudah menghilang.9

BAB III
PENUTUP

26

1.1 Kesimpulan
Asma merupakan penyakit respiratorik kronis yang ditandai adanya proses
inflamasi yang disertai proses remodeling. Prevalensi asma meningkat dari waktu
ke waktu yang berhubungan dengan pola hidup dan polusi. Klasifikasi asma
adalah asma episodik jarang, asma episodik sering, dan asma persisten. Pada asma
episodik jarang hanya diberikan obat reliever saja tanpa controller, sedangkan
pada asma episodik sering dan persisten diperlukan terapi jangka panjang
(controller). Pada terapi jangka panjang setelah diberikan kortikosteroid dosis
rendah kurang memuaskan dapat diberikan terapi kombinasi kortiksteroid dosis
rendah dan LABA, atau TSR, atau antileukotrien. Terapi kombinasi tersebut dapat
memperbaiki uji fungsi paru, gejala asma, dan aktivitas sehari-hari yang pada
akhirnya meningkatkan kualitas hidup anak asma. Dengan kombinasi di atas,
dosis kortikosteroid dapat diturunkan sehingga efek samping terhadap tumbuh
kembang anak dapat dikurangi. Terapi kombinasi tersebut merupakan suatu
harapan baru dalam tatalaksana asma.

DAFTAR PUSTAKA

27

1. Lampkin SJ, Maslouski CA, Maish WA, John BM. Asthma Review for
Pharmacists Providing Asthma Education, J Pediatr Pharmacol Ther
2016;21(5):444471.
2. Hooper LG, Dieye Y, Ndiaye A, Diallo A, Fan FS, Neuzil KM, Ortiz JR.
Estimating Pediatric Asthma Prevalence in Rural Senegal: A CrossSectional Survey. Pediatric Pulmonology: 2016.
3. Dilley MA, Sheehan WJ, Petty CR, Gaffin JM, Hauptman M,
Phipatanakul W. Comparison of treatment modalities for inpatient asthma
exacerbations among US pediatric Hospitals. J Allergy Clin Immunol
Pract: 2016.
4. Supriyatno B. Diagnosis dan Penatalaksanaan Terkini Asma pada Anak.
Maj Kedokt Indon, Maret 2005; 55(3): 237-243.
5. Moore, KL. 2007. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta: Hipokrates.
6. Sherwood, L. 2012. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 6. Jakarta:
EGC.
7. Unit Kerja Koordinasi Pulmonologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Konsensus Nasional Asma Anak. Sari Pediatri, Juni 2010; 2(1): 50-66.
8. Rengganis I. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Maj Kedokt
Indon, Nopember 2008; 58 (11): 444-451.
9. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma : Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksaan di Indonesia. Balai Penerbit FKUI : Jakarta, 2011.

28

Anda mungkin juga menyukai