Strategi Pengembangan Wilayah Pertambang
Strategi Pengembangan Wilayah Pertambang
Pra Kata ii
berbagai alasan, baik karena belum adanya konsep yang
teruji dalam pengelolaan kegiatan masyarakat yang
menambang tersebut, maupun karena ketidakmampuan
pemda dalam menyediakan lapangan pekerjaan pengganti.
Fakta yang tersaji hingga saat ini menunjukkan
bahwa akibat kebijakan pembiaran ini, semua aktivitas
penambangan oleh masyarakat tersebut tidak berdampak
pada peningkatan kesejahteraan mereka dan bahkan hanya
menyisakan kerusakan lingkungan dan berbagai kerugian
sosial budaya yang akan membekas hingga waktu yang lama.
Untuk menghindari semua itu, maka buku ini diharapkan
akan dapat menjadi salah satu acuan bagi pemda untuk
membangun suatu kebijakan, mekanisme serta kelembagaan
yang efisien dan efektif dalam pengelolaan pertambangan
rakyat di Indonesia. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak.
DAFTAR SINGKATAN
4WD
Ag
AMDAL
AMDAL
APBD
Au
BPS
BUMD
Cd
Cu
DAS
DPRD
HP
HTI
IPR
IUP
K3
KepMen
KIMP
KP
KTP
MM
PAD
PDRB
Pemkab
Perbup
Perda
Pergub
PerMen
PerMenhut
PERPU
: four-wheel-drive
: Perak
: Analisis
Mengenai
Dampak
Lingkungan
: Analisis
Mengenai
Dampak
Lingkungan
: Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah
: Emas
: Badan Pusat Statistik
: Badan Usaha Milik Daerah
: Cadmium
: Tembaga
: daerah aliran sungai
: Dewan Perwakilan Daerah
: Hutan produksi
: Hutan Tanaman Industri
: Izin Pertambangan Rakyat
: Ijin Usaha Pertambangan
: kesehatan dan keselamatan kerja
: Keputusan Menteri
: Kartu Izin Masuk Penambangan
: Kuasa Pertambangan
: Kartu Tanda Penduduk
: Masyarakat yang Menambang
: Pendapatan Asli Daerah
: Produk Domestik Regional Brutto
: Pemerintah Kabupaten
: Peraturan Bupati
: Peraturan Daerah
: Peraturan Gubernur
: Peraturan Menteri
: Peraturan Menteri Kehutanan
: Peraturan
Pengganti
Undangundang
iii
DAFTAR SINGKATAN
PETI
PLM
PP
PR
PT
SDA
SDM
SLTA
SP
SRTM
SSM
TBC
TI
TSK
UKL-IPL
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
UU
UU Minerba
:
:
WP
WPR
Zn
:
:
:
iv
vi
Foto 5.2. Alur sungai yang sudah hilang dan sulit dikenali lagi
akibat penambangan oleh masyarakat. di Sungai Tahi Ite
.................................................................................... 208
Foto 5.3. Daerah bantaran dan tepi sungai yang sudah
berubah menjadi kumpulan lobang-lobang yang berbaris
rapat. ........................................................................... 209
Foto 5.4. Kondisi lahan di tepi aliran sungai dan badan sungai
yang sudah ditutupi oleh sampah dan batuan dari
limbah pertambangan ................................................ 209
Foto 5.5. Bagian badan aliran sungai Tahi Ite yang sudah
berubah menjadi aliran lumpur yang merupakan limbah
pertambangan masyarakat ......................................... 210
Foto
vii
DAFTAR ISI
PRA KATA ...................................................................................... i
DAFTAR SINGKATAN................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR, TABEL DAN FOTO ......................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................ viii
KEGIATAN MASYARAKAT YANG MENAMBANG DI BOMBANA:
. Persolan dan Pemikiran Kedepan dalam Pertambangan Rakyat
..................................................................................................... 1
Oleh: Iskandar Zulkarnain
Pendahuluan ................................................................. 1
Kegiatan Masyarakat yang Menambang di Bombana ....... 3
Persoalan pada Kegiatan Rakyat yang Menambang ......... 9
Potret Kegiatan Masyarakat yang Menambang ............... 9
Persoalan MM pada Aspek Kebijakan Pemerintah ......... 18
Pemikiran Ke Depan .................................................... 32
PERSOALAN DALAM KEBIJAKAN PERTAMBANGAN RAKYAT DI
INDONESIA: Kasus Bombana................................................ 48
Oleh: Tri Nuke Pudjiastuti
Pendahuluan ............................................................... 48
Pertambangan Rakyat dalam UU Minerba Tahun 2009 .. 54
Peraturan Daerah dan Penertiban: Kasus Bombana ....... 66
Kebijakan Daerah Pasca 17 Maret 2009 ........................ 80
Penutup ...................................................................... 83
Daftar Pustaka............................................................. 86
DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL
BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT DI BOMBANA ........... 88
Oleh: Tri Nuke Pudjiastuti
Pendahuluan ..................................................................... 88
viii
DAFTAR ISI
ix
DAFTAR ISI
BAB
1
KEGIATAN MASYARAKAT YANG
MENAMBANG DI BOMBANA:
Persolan dan Pemikiran Kedepan dalam
Pertambangan Rakyat
Oleh: Iskandar Zulkarnain
Pendahuluan
Kegiatan masyarakat yang menambang merupakan fenomena
global yang erat kaitannya dengan kemiskinan karena selalu
melibatkan komunitas yang terbatas kemampuan modalitas dan
ekonominya. Kegiatan ini bisa ditemukan hampir di semua
negara berkembang pada kedua belahan hemisphere bumi ini,
terutama di Asia dan Afrika. Khususnya di Indonesia, fenomena
ini senantiasa terkait dengan kelompok masyarakat yang
terbatas keahlian dan modal ekonominya, terutama mereka
yang sudah mewarisi tradisi menambang dari leluhur mereka,
atau merupakan pilihan yang menarik bagi warga masyarakat
yang terkena dampak goncangan ekonomi.
warga
Pada awal ditemukannya emas di Bombana, para pendulang di Sungai Tahi Ite
dapat memperoleh emas rata-rata antara 10 hingga 50 gram, namun setelah
semakin banyaknya penambang yang ikut mendulang, penghasilan mereka menurun
hingga rata-rata 1 hingga 5 gram. Ketika kemudian, terjadi penggunaan mesin dalam
proses penggalian maka pendapatan mereka yang mendulang semakin kecil hingga
rata-rata kurang dari 0.5 gram.
8
Lihat BPS, Bombana dalam Angka tahun 2008, Rumbia, 2009.
9
Hasil wawancara dengan masyarakat pengusaha hotel di Kasipute dan aparat
pemerintah Kabupaten Bombana, bulan Agustus 2009.
10
Definisi tentang PR ini dapat dilihat dalam UU No. 11 tahun 1967 dan Peraturan
Pemerintah (PP) serta Peraturan Menteri (PerMen) turunannya hingga UU No. 4
tahun 2009.
11
12
Ibid
13
Apa yang dilakukan para penambang tersebut nyaris dapat dikatakan tidak
rasional karena data observasi di lapangan menunjukkan bahwa dalam rentang
waktu penambangan yang bertahun-tahun, mereka memperoleh hasil yang banyak
hanya dalam waktu tidak lebih dari dua bulan. Seringkali dalam setahun tidak
sekalipun mereka memperoleh hasil yang memadai, sementara biaya yang harus
mereka keluarkan semakin mahal dengan bertambah dalamnya lobang galian.
16
Lihat Iskandar Zulkarnain dkk., Ibid, 2007.
17
Lihat Iskandar Zulkarnain dkk., Konflik di Kawasan Pertambangan Timah Bangka
Belitung; Persoalan dan Alternatif Solusi, Program Kompetitif LIPI, Jakarta, 2005,
hlm. 78-88.
14
Cara pandang para penambang dengan pemodal bisa dikatakan sama karena
mereka sama-sama menyimpan harapan yang besar untuk memperoleh hasil dan
sangat berani berspekulasi. Sangat sering terjadi penambang dan pemodal
menghabiskan modal hingga ratusan juta rupiah tanpa hasil tetapi mereka tidak
mengalami depresi seperti layaknya masyarakat umum.
19
Lihat Iskandar Zulkarnain dkk., Ibid, 2007.
15
Ibid.
Ibid.
22
Ibid.
21
16
menyebabkan
lemahnya
ikatan
emosional
(rasa
kesetiakawanan dan kepedulian) diantara mereka dan
rendahnya tanggungjawab terhadap dampak negatif yang
timbul dari aktifitas mereka.23 Hal ini sepertinya juga dipicu
oleh rendahnya kualitas komunikasi antara mereka dengan
masyarakat lokal karena pada umumnya lokasi
penambangan, tempat mereka juga tinggal, berada jauh dari
perkampungan. Kondisi tersebut menyebabkan mereka
merasa tidak perlu memperhatikan lingkungan di lokasi
penambangan karena tidak bersentuhan langsung dengan
masyarakat setempat. Sikap ini memperoleh jalan
pembenaran ketika sikap yang sama juga ditunjukkan oleh
masyarakat lokal yang ikut melakukan penambangan.
Dari sisi keahlian serta Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (K3), kegiatan MM menunjukkan tingkat keahlian dan
K3 yang rendah. Mereka melaksanakan kegiatan pencarian
sumber daya tambang hanya berdasarkan pengalaman tanpa
dilandasi pengetahuan eksplorasi yang memadai sehingga
lebih banyak menimbulkan kerugian ekonomi bagi mereka
sendiri (tidak memperoleh hasil) dan kerugian lingkungan.24
Sementara itu, dalam melakukan penggalian untuk
mendapatkan komoditi yang dicari, mereka cenderung
23
17
25
Lihat Iskandar Zulkarnain dkk., Ibid, 2007, hlm. 126-127 dan hasil wawancara
dengan penambang emas di SP8, kecamatan Wumbubangka, kabupaten Bombana,
Sultra pada Desember 2008.
18
19
20
Ibid., hlm.44
Istilah PETI pada awalnya ditujukan hanya kepada para penambang yang
melakukan penambangan komoditi emas, dan karena status mereka yang umumnya
29
21
illegal maka disebut Penambang Emas Tanpa Ijin atau PETI. Namun kemudian istilah
PETI dipakai untuk seluruh penambangan tanpa ijin dengan tidak melihat lagi
kepada komoditi yang ditambang. Lihat Iskandar Zulkarnain dkk., Ibid, 2003, hlm 1820.
30
Sebagai ilustrasi, pada era sebelum tahun 2006 kegiatan PETI sangat marak di
kawasan penambangan batubara di Kalimantan Selatan. PETI dalam kasus ini dapat
dibedakan menjadi tiga kategori, yakni: (i) PETI berupa perusahaan yang melakukan
penambangan tetapi tidak memiliki Kuasa Penambangan (KP); (ii) PETI berupa
perusahaan yang memiliki KP tetapi menambang di luar wilayah KP nya dan (iii)
Masyarakat pemilik lahan yang menambang secara illegal dengan bekerjasama
dengan pemodal.
22
23
marmer, granit, tanah liat dan pasir. Sementara itu, dalam UU No.4 tahun 2009
pembagian ini tidak dipakai lagi dan diubah menjadi Mineral Logam, Non-Logam dan
Batuan.
24
25
26
33
Pada waktu itu, timbul ketegangan antara penambang pendatang yang tinggal di
desa tersebut dengan penduduk lokal karena berbagai perbedaan norma dan
perilaku sehingga berujung pada pembakaran sejumlah rumah di desa tersebut oleh
para penambang pendatang. Lihat Iskandar Zulkarnain dkk., Ibid, 2003, hlm. 154157.
34
Lihat Iskandar Zulkarnain dkk., Konflik Timah di Bangka Belitung: Persoalan dan
Alternatif Solusi, Program Kompetitif LIPI, Jakarta, 2005.
27
35
Ibid.
28
29
30
31
36
Untuk endapan emas primer, biasanya para penambang tersebut hanya mengikuti
urat-urat emas yang mereka temukan di permukaan. Bila urat-urat itu menghilang
pada kedalaman tertentu dan mereka tidak tahu lagi kemana urat tersebut
menerusnya, maka mereka akan meninggalkan lobang itu dan menggali lobang baru
di lokasi lain yang mereka perkirakan akan menemukan urat emas lainnya. Jadi,
semua kegiatan penggalian tersebut sangat bersifat spekulatif.
37
Lihat Iskandar Zulkarnain dkk., Konflik Timah di Bangka Belitung: Persoalan dan
Alternatif Solusi, Program Kompetitif LIPI, Jakarta, 2005.
32
Pemikiran Ke Depan
Persoalan masyarakat yang menambang secara ilegal seperti
diuraikan di atas, hingga saat ini belum mendapatkan
perhatian yang memadai dari pemerintah, baik pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah. Memang adalah suatu
kenyataan bahwa kegiatan tersebut tidak akan pernah
menjanjikan pemasukan yang berarti bagi pemerintah untuk
menambah modal pembangunan fisik dalam lingkup daerah
apalagi nasional. Namun demikian, membiarkan kegiatan
tersebut berlangsung tanpa pengaturan dan penataan yang
efektif dan efisien bukanlah sebuah sikap dan kebijakan yang
tepat dan bijak. Persoalan ini hendaknya dilihat sebagai suatu
tanggungjawab yang diemban oleh pemerintah daerah dalam
memberdayakan masyarakatnya. Fakta hingga saat ini
menunjukkan bahwa keberadaan kegiatan masyarakat yang
menambang tersebut bukanlah sesuatu yang dapat diingkari
terus menerus karena mereka eksis dan kegiatan itu
mendatangkan berbagai kerugian bagi berbagai pihak serta
merupakan persoalan yang sampai saat ini tidak dapat diatasi
oleh pemerintah daerah. Oleh karena itu, diperlukan suatu
political will dari pemerintah untuk mengatur dan menata
kegiatan masyarakat tersebut agar dapat memberikan
manfaat baik bagi negara, masyarakat penambang itu sendiri
maupun masyarakat lokal yang bukan penambang serta
meminimalisir dampak lingkungan yang terjadi.
Untuk mengubah sifat kegiatan masyarakat tersebut
dari yang merugikan menuju ke arah suatu kegiatan yang
bermanfaat ekonomi dan berwawasan lingkungan, maka
pemerintah terkait perlu mengaturnya secara sistematis,
33
34
35
36
37
39
Ibid.
38
39
40
41
42
43
44
Harus diakui bahwa selalu berulangnya persoalanpersoalan yang sama pada setiap wilayah
pertambangan masyarakat menunjukkan bahwa
pemerintah, baik pusat maupun daerah, belum
45
46
Daftar Pustaka
BPS, Kabupaten Bombana dalam Angka, Bombana Regency
in Figures 2007/2008, Bombana, 2008.
Iskandar Zulkarnain dkk., Konflik di Kawasan Pertambangan
Timah Bangka Belitung; Persoalan dan Alternatif
Solusi, Program Kompetitif LIPI, Jakarta, 2005
Iskandar Zulkarnain dkk., Konflik Timah di Bangka Belitung:
Persoalan dan Alternatif Solusi, Program Kompetitif
LIPI, Jakarta, 2005
Iskandar Zulkarnain dkk., Konsep Pertambangan Rakyat
dalam Kerangka Pengelolaan Sumber Daya
Tambang yang Berkelanjutan, Program Kompetitif
LIPI, Jakarta, 2008
Iskandar Zulkarnain dkk., Peran dan Dinamika Pertambangan
Rakyat di Indonesia, Program Kompetitif LIPI,
Jakarta, 2007
Iskandar Zulkarnain dkk., Potensi Konflik di Kawasan
Pertambangan: Kasus Pongkor dan Cikotok,
Program Kompetitif LIPI, Jakarta, 2003.
Majalah Tambang On Line pada tanggal 19 November 2008
yang
dapat
diunduh
pada
alamat
http://www.majalahtambang.com/detail_berita.ph
p?category=1&newsnr=810
Simandjuntak, T.O., Surono dan Sukid, Peta Geologi Lembar
Kolaka, Sulawesi Skala 1:250.000, Pusat Penelitian
dan Pengembangan Geologi Bandung, 1993
UU No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertambangan
47
BAB
2
PERSOALAN DALAM KEBIJAKAN
PERTAMBANGAN RAKYAT DI
INDONESIA: Kasus Bombana
Oleh: Tri Nuke Pudjiastuti
Pendahuluan
Sebelum membahas persoalan kebijakan tentang
pertambangan rakyat yang diterapkan di kabupaten
Bombana, maka perlu dipahami terlebih dahulu kerangka
permasalahan kebijakan di sektor ini. Secara umum,
persoalan rakyat yang menambang sebenarnya memiliki satu
pola persoalan yang hampir sama dari satu tempat ke tempat
yang lain, bila dilihat dari perspektif kebijakan dan
peraturannya. Merujuk pada hasil penelitian Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2008 yang berjudul
Konsep Pertambangan Rakyat dalam Kerangka Pengelolaan
Sumber Daya Tambang yang Berkelanjutan, terlihat bahwa
rumitnya persoalan masyarakat yang menambang saat ini
terkait erat dengan sejumlah faktor, dan salah satunya
adalah faktor lemahnya kebijakan pemerintah dalam hal
48
49
Lihat tulisan Mary F. Sommer, Penambang Emas, Petani dan Pedagang di Distrik
Tionghoa Kalimantan Barat, Yayasan Nabil, 341 hal, Jakarta, 2008
41
Lihat semua penjelasan tentang kebijakan pertambangan rakyat di Indonesia pada
Iskandar Zulkarnain dkk., Konsep Pertambangan Rakyat dalam Kerangka
Pengelolaan Sumber Daya Tambang yang Berkelanjutan, Jakarta: LIPI, 2008.
50
Ibid
Ibid.
51
52
53
Lihat Bab I.
Istilah Kuasa Penambangan (KP) digunakan pada UU 11 Tahun 1967, sedangkan
dalam UU no.4 Tahun 2009 istilah tersebut tidak lagi digunakan dan diganti dengan
Ijin Usaha Penambangan (IUP) dan Wilayah Penambangan (WP). Lihat UU No. 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan PP No. 22 Tahun 2010
tentang Wilayah Pertambangan dan PP No.23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan
Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
46
54
55
56
57
58
Ibid., 46-52.
Lihat hasil penelitian Iskandar Zulkarnain dkk, Potensi Konflik di Daerah
Pertambangan: Kasus Cikotok dan Pongkor, Jakarta: Riset Kompetitif Pengembangan
Iptek LIPI, 2003.
51
59
60
61
pasal 73, 139, 140, 142, 143, yang secara ringkas isinya adalah
sebagai berikut:
1. Melaksanakan pembinaan dan pengawasan di bidang
pengusahaan, teknologi pertambangan, serta
permodalan dan pemasaran dalam usaha
meningkatkan kemampuan usaha PR. Pembinaan
yang dilakukan terhadap pemegang IPR yaitu:
a. Memberikan
pedoman
dan
pelaksanaan
pengelolaan
pertambangan;
b. Pemberian
konsultasi;
bimbingan,
standar
usaha
supervisi
dan
62
63
lingkungan telah menjadi persoalan serius. Alex Jebadu dkk (Eds.), Pertambangan di
Flores-Lembata: Berkah atau Kutuk?, Jogyakarta: CV Titian Galang Printaka, 2009.
54
Lihat kasus penambangan di Pasolo Gorontalo Utara, Iskandar Zulkarnain,
Ibid.hlm 148
64
65
66
67
55
68
SP9/Wumbubangka
Sungai Tahi Ite
HPT (ha)
HP (ha)
193
53
1.007
1.393
APL
(ha)
64
240
Total
(ha)
1.264
1.886
69
70
71
72
Didaftarkan ke Kesatuan
Masyarakat (Kesbanglinmas)
Ditandatangai
oleh
Kabupaten Bombana
Bangsa
Sekretaris
Lintas
Daerah
Ibid.
73
74
Ibid. dan juga dari pengamatan tim peneliti di lapangan pada bulan Desember
2008.
75
76
77
78
79
Pidato Bupati yang disampaikan di depan DPRD Bombana pada bulan Januari
2009.
62
Penjelasan Ketua Pansus Angaran DPRD Kabupaten Bombana, lihat Radar Sultra,
17 Maret 2009: http://www.radarbuton.com/index.php?act=news&nid=26926
(diunduh tanggal 5 Agustus 2009).
80
Hasil wawancana dengan Asisten I Bupati Bombana, pada tanggal Agustus 2009.
81
64
WPR
segera
dimulai
setelah
Surat Gubernur Sulawesi Tenggara No. 545/1494 tertanggal 22 April 2009 tentang
Penertiban Kegiatan Penambangan di Kab Bombana, yang ditembuskan ke
Pemerintah Pusat.
82
83
penertiban terus
Penutup
Sejak awal dapat disimpulkan bahwa peran state actor masih
sangat dominan dalam menentukan penyelenggaraan
pemerintahan di Bombana. Di satu sisi, hal tersebut
merupakan suatu yang positif, mengingat perubahan situasi
yang cepat memerlukan penanganan yang cepat pula. Namun
di sisi lain, keterbatasan pemahaman dan pengalaman serta
belum adanya suatu panduan yang jelas dalam pengelolaan
kegiatan pertambangan oleh masyarakat telah menyebabkan
keputusan-keputusan yang diambil berbenturan dengan
peraturan-peraturan di atasnya sehingga terkesan seperti
hanya ingin mencari cepat dan mudahnya saja.
Persoalan praktek kebijakan dan peraturan tentang
pertambangan rakyat tidak dapat dilepaskan dari
ketidakjelasan kebijakan dan peraturan di tingkat nasional.
Pentingnya pengaturan pertambangan rakyat agar menjadi
lebih operasional, menguntungkan semua pihak dan
mencegah terjadinya kerusakan lingkungan sepertinya belum
menjadi hal yang prioritas bagi pemerintah pusat. Hal
tersebut kemungkinan disebabkan karena nilai ekonomi
kegiatan ini sebagai sumber pemasukan negara tidak cukup
signifikan bila dibandingkan dengan pertambangan yang
dilakukan oleh perusahaan besar. Selain itu, juga isu
masyarakat yang menambang lebih diidentikkan dengan
65
Lihat Bab III, yang menjelaskan bagaimana upaya masyarakat yang melakukan
penambangan pasca tgl 17 Maret 2009.
84
85
86
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik, Kabupaten Bombana dalam Angka
2007/2008, Rumbia: Badan Pusat Statestik
Kabupaten Bombana, 2008.
Hidayat. Syarif. Too Much Too Soon, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2007.
Jebadu Alex dkk (Eds.), Pertambangan di Flores-Lembata:
Berkah atau Kutuk?, Jogyakarta: CV Titian Galang
Printaka, 2009.
Peraturan Bupati No. 7 tahun 2008 tentang Pedoman
Pengelolaan Pertambangan Rakyat Bahan Galian
Strategis dan Vital (Gol. A dan B).
Peraturan Gubernur Sulawesi Tenggara No. 30 Tahun 2008
tentang Pedoman Pengelolaan Pertambangan
Rakyat Bahan Galian Strategis dan Vital (Golonga A
dan B) di Sulawesi Tenggara.
Peraturan Menteri Kehutanan No. No. P.43/Menhut-II/2008
tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan.
Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara
Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan
Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2010 tentang Wilayah
Pertambangan
Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang
Pelaksanaan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara.
Radar
Sultra,
17
Maret
2009:
http://www.radarbuton.com/index.php?act
(diunduh tanggal 5 Agustus 2009).
87
BAB
3
DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN
EMAS TERHADAP SOSIAL BUDAYA
DAN EKONOMI MASYARAKAT DI
BOMBANA
Oleh: Tri Nuke Pudjiastuti
Pendahuluan
Kabupaten Bombana, yang luasnya hanya sekitar 331.616 ha
dan beribukota di Rumbia, merupakan kabupaten baru hasil
pemekaran Kabupaten Buton yang sarat dengan persoalan
masyarakat dan ketatawilayahan. Persoalan lapangan
pekerjaan maupun sarana prasarana yang terbatas telah
membuat Bombana lambat dalam perkembangan
pembangunannya.Hal tersebut sepertinya tidak dapat
dilepaskan dari kondisi wilayah yang sebagian besar berupa
lahan kering dan hutan Taman Nasional.66 Meskipun jarak
tempuh dari Kendari ke Rumbia hanya sekitar 230 km,
namun karena sarana transportasi yang buruk, terutama
jalan raya yang rusak parah, membuat jumlah angkutan
66
88
89
90
Penjelasan Asisten I Bupati Bombana pada tanggal 13 Agustus 2009 yang menyitir
penjelasan Bupati Bombana.
91
71
92
Mokole adalah sebutan dan sekaligus gelar yang diberikan Raja Buton bagi
penguasa suatu wilayah.
73
Etnis Moronene kehidupannya di Bombana terganggu, ketika terjadi peristiwa
DI/TII.Beberapa kawasan Bombana diduduki oleh pasukan DI/TII, yang
mengakibatkan desa-desa yang telah mereka bangun di sekitar Rumbia di tinggalkan
dan semua berlindung menjadi satu di Kasipute.Pada tahun 1965 militer
mengembangkan wilayah Bombana menjadi ditrik-distrik.Demikian pula tata
pemerintahan dilakukan dalam keseragaman pola dengan kawasan yang rawan
konflik lainnya.Rendahnya tingkat keamanan membuat mereka banyak yang pergi
meninggalkan Bombana.
93
Hasil Wawancara dengan dengan Tokoh Adat Adat Moronene (Mokolele generasi
terakhir) di Kendari tanggal 15 Agustus 2009.
94
1
2
3
4
5
6
Volume
38
40
300
1500,5*)
-
Nilai
368
2.468.000
7.545.000
2.715.000
-
Wawancara dengan masyarakat yang telah tinggal turun temurun dari berbagai
kalangan di wilayah Bombana pada bulan Desember 2008 dan tanggal 10 13
Agustus 2009.
76
Kabupaten Bombana dalam Angka 2007/2008, Badan Pusat Statistik Kabupaten
Bombana, 2008, 290.
95
Lapangan
Usaha
Sisa
2006
Terdaftar
2007
Jumlah
Terdaftar
Terpe
nuhi
1
2
Pertanian
Pertambangan
/Penggalian
Keuangan,
Asuransi,
Persewaan,
Bangunan
Usaha jasa sosial/
Kemasyarakatan/
Perorangan
Kegiatan lainnya
Jumlah
621
2
865
8
1.486
10
812
8
Belum
Terpenuhi
674
2
22
20
42
99
418
542
980
508
452
1.063
1.435
2.498
1.364
1.131
96
77
Ibid., 105-107.
97
Ibid.
98
Lihat Forum Kendari dan Kompas Online pada bulan September 2008:
http://www.forum. kendari.info/viewtopic.php// (diunduh pada Desember 2008)
dan http://www.kompas.com/ read/berita_bombana// (diunduh pada Desember
2009).
99
yang tidak hanya datang dari propinsi Sultra, tetapi juga dari
berbagai penjuru Indonesia untuk mengadu nasib bekerja
sebagai penambang emas di Bombana, ternyata telah
menimbulkan banyak perubahan dalam berbagai sisi.
a. Lokasi Penambangan
Lokasi penambangan tersebar di beberapa wilayah
sekitar kota Rumbia dalam 5 kecamatan, yaitu:
kecamatan Rarowatu dan Poleang Utara, Rarowatu Utara
dan Lantari Jaya serta kecamatan Rumbia. Lokasi
penambangan tersebut tepatnya pertama kali di Sungai
Tahi Ite, lalu berkembang ke desa Rau-Rau, sungai
Wumbubangka, desa Hukaeya, Satuan Pemukiman (SP) 8,
SP1, SP9 dan SP2.80Pada umumnya mereka melakukan
penambangan pada aliran sungai, seperti sepanjang
aliran sungai Tahi Ite, dan sungai di SP-8 dan SP-9.Namun
sejak bulan Oktober 2008, sebagian masyarakat yang
kebanyakan
berasal
dari
Kolaka
melakukan
penambangan di lokasi baru, yaitu di lokasi Gondrong
(mencakup
Bukit
Penyesalan
atau
Bukit
81
Tobat). Penambangan dilakukan tidak hanya terbatas
dengan mendulang pasir pada aliran sungai, tetapi
kemudian juga meluas ke lahan di sekitar pinggiran
sungai yang umumnya adalah areal perkebunan coklat.
80
100
101
83
102
85
103
86
104
Ibid.
105
106
Hasil wawancara dengan para penambang di Bombana pada tanggal 10-13 Agustus
2009.
89
Lihat bab penggalian dan pengolahan
107
108
109
91
110
111
92
Penjelasan dari beberapa orang yang bekerja di sungai Tahi Ite, hasil wawancara
pada bulan Desember 2008.
112
113
93
94
114
-
115
Hasil tatap muka antara para pejabat kabupaten Bombana dengan Wakil Gubernur
Sultra di Rumbia pada tanggal 16 Desmber 2008.
116
Pada waktu itu, masih 11 KP yang diproses oleh pemkab Bombana dan pada
kunjungan ke Bombana pada Juni 2010, Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang
diproses oleh Dinas Pertambangan Bombana sudah mencapai 40 IUP.
98
Satu unit mesin penambangan terdiri dari satu mesin semprot dan satu mesin
penghisap serta sebuah sluice box.
117
118
119
101
120
121
122
Hasil wawancara dengan beberapa warga kota Rumbia pada bulan Desember
2008 dan Agustus 2009.
123
Penjelasan beberapa warga Kasipute, pejabat pemda maupun berita yang tertulis
di Kaltim Pos, Januari 2009.
124
125
105
126
127
128
129
umum
dengan masyarakat
130
131
132
133
Penutup
Kegiatan penambangan emas yang dilakukan oleh
masyarakat, secara cepat telah memberikan dampak yang
signifikan terhadap budaya dan ekonomi masyarakat
Bombana.Dengan belajar dan meniru dari para pendatang
yang sebagian besar telah lama menggeluti penambangan
tradisional tersebut, ternyata dengan cepat masyarakat yang
tadinya non-penambang dapat beradaptasi menjadi
penambang emas secara sederhana, yaitu dengan cara
mendulang.Perubahan profesi yang mereka lakoni telah
mengubah perilaku mereka dari masyarakat yang memiliki
134
135
136
137
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik, Kabupaten Bombana dalam Angka
2007/2008, Rumbia: Badan Pusat Statestik
Kabupaten Bombana, 2008.
Chambers, Robert, Poverty and Livelihoods: Whose Rality
Counts?, dalam Uner Kirdar dan Leonard Silk
(eds.).People:
from
Inpoverishment
to
Empowerment, New York: New York University
Press, 1995.
Delors, Jacques, Questions Concerning Europian Security,
Brussels, Address, International Institute for
Strategic Studies, September, 1993.
Kartasasmita, Ginandjar, Pembangunan untuk Rakyat:
Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan.
Jakarta: CIDES, 1996.
Lederach, John Paul, Konflik dan Perubahan, Transformasi
Konflik (terjemahan), Jogyakarta: Duta Wacana
Press, 2005
Mubyarto, Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia. Jakarta:
LP3ES, 1988.
Sasono, Adi, Ekonomi Kerakyatan dalam Dinamika
Perubahan paper yang disampaikan dalam
Konferensi Internasional Ekonomi Jaringan: Menuju
Demokratisasi Ekonomi di Indonesia di Hotel
Shangri-La, 6-7 Desember 1999, Jakarta, Indonesia,
1999.
Soemarjan, Selo. Pengantar Sosiologi, Jakarta: Yayasan
Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,
1964.
138
BAB
4
TEKNIK PENAMBANGAN EMAS DI
BOMBANA:
Tipologi dan Dampaknya
Oleh: Eko Tri Sumarnadi Agustinus
Pendahuluan
Teknik penambangan emas yang diterapkan oleh masyarakat
penambang di Bombana, seperti teknik penambangan yang
umum dijumpai di semua lokasi penambangan masyarakat,
juga merupakan teknik sederhana dan diaplikasikan dengan
peralatan yang mudah untuk diperoleh. Teknik penambangan
yang diterapkan oleh masyarakat pada dasarnya dapat
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu teknik penambangan
komoditi primer (dalam hal ini hanya emas) dan teknik
penambangan komoditi sekunder (emas, timah dan intan).
Endapan emas yang ditemukan di Bombana merupakan jenis
endapan sekunder, sehingga teknologi penambangan yang
diterapkan tersebut lebih bersifat mekanis dan hampir tidak
menggunakan reagen/zat kimia yang sangat berpotensi
menimbulkan pencemaran. Akan tetapi, kegiatan mekanis
139
140
141
142
Stripping ratio : adalah perbandingan antara volume atau berat material tanah
penutup terhadap volume atau berat bahan galian atau bijih yang akan ditambang.
Stripping ratio merupakan salah satu faktor dalam pemilihan sistem penambangan.
Semakin besar nilai stripping ratio pada umumnya diatas (>5) lebih cocok untuk
ditambang dengan sistem tambang bawah tanah (underground mining) ketimbang
sistem tambang terbuka (surface mining) disamping faktor-faktor lainnya.
143
144
145
146
147
148
149
150
Spiller D.E, Gravity Separation of Gold then and now, Denver, Colorado, 1983.
Michael Silva, Placer Gold Recovery Methods, California Department of
Concervation Division of Mines and Geology, 1986.
124
151
152
153
154
155
Tipologi
Penambangan dan
perolehan emas
letakan dengan
cara pendulangan
Peralatan
Dulang yang
terbuat dari kayu
dan wajan yang
terbuat dari
logam.
Keterangan
Pendulangan
yang dilakukan
pada badan
sungai
(perorangan)
Penambangan
dengan cara
penggalian
berbentuk
(sumuran, paritan)
dan perolehan
emas letakan
dengan mini
sluicebox dan
pendulangan
Cangkul, linggis
dan sekop sebagai
alat gali. Mini
sluicebox dan
dulang yang
terbuat dari kayu
serta wajan yang
terbuat dari
logam.
Pembuatan
sumuran,
paritan di tepi
sungai untuk
memperoleh
umpan mini
sluicebox dan
pendulangan
(kelompok: 3-5
orang)
Penambangan
dengan cara
tambang semprot,
perolehan emas
letakan dengan
sluicebox, longtoms
dan pendulangan
Penyemprotan
dengan air
bertekanan
tinggi untuk
memperoleh
umpan sluice
box, longtoms
dan
pendulangan.
(kelompok: 5-10
orang)
156
157
Tahap pertama:
Bijih atau material yang mengandung emas letakan
dimasukkan hingga setengah dari volume dulang.
Selanjutnya ditambahkan air ke dulang yang berisi
material tersebut dengan cara mencelupkan ke
dalam air sungai atau ceruk yang berair. Campuran
material tersebut kemudian diaduk dengan
158
Tahap kedua:
Dulang yang terisi material halus dan berukuran
seragam sebagai hasil tahap pertama, diisi kembali
dengan air (dicelupkan dibawah permukaan air) dan
dulang digoyang-goyangkan dari sisi ke sisi dulang
secara perlahan-lahan dengan gerakan memutar
sedemikian rupa sehingga isi dulang dengan berat
jenis ringan terlempar keluar karena goyangan
memutar tersebut. Dengan demikian, secara
perlahan-lahan material ringan akan menempati
bagian pinggir dulang dan keluar ke permukaan air
melewati bibir dulang.
Tahap ketiga:
159
160
161
162
163
164
125
165
Penambangan
dimulai
dengan
menyemprot
tumpukan material (tailing) pada area bekas penambangan
sebelumnya dengan pompa pertama (P1). Penyemprotan itu
dimaksudkan untuk memberaikan lapisan material yang
mengandung butiran emas sehingga berbentuk lumpur (pulp)
yang selanjutnya disedot dengan pompa kedua (P2) dan di
alirkan menuju sluicebox atau palong (longtoms). Setelah
rangkaian proses tersebut berlangsung kontinyu sekitar 3
jam, kemudian karpet dilepas dan material yang terjebak di
atas karpet ditampung di dalam baskom pencuci untuk
selanjutnya dilakukan pendulangan untuk memisahkan
butiran emas halus dari material pengotornya.
Penambangan dengan cara tambang semprot ini
tidak hanya dilakukan di daerah Tahi Iite, tetapi juga terdapat
di lokasi SP-6, SP,8 dan SP-9. Penambangannya tidak hanya
dilakukan pada badan sungai, tetapi juga merambah pada
cabang-cabang sungai kering (intermitten) 127 bahkan ke arah
hulu sungai. Kelemahan tipologi penambangan ini adalah
adanya ketergantungan pada ketersediaan air dan bila
penyemprotan dilakukan pada tebing-tebing sungai yang
cukup terjal, maka akan berpotensi menimbulkan longsoran.
Tipologi penambangan ini pada umumnya dilakukan secara
berkelompok dengan anggota 5 hingga 10 orang dan
biasanya merupakan kemitraan antara pemodal dan
penambang yang telah berpengalaman dalam pengoperasian
tambang semprot.
127
166
sulit
167
untuk
168
169
170
Alternatif solusi:
Seperti telah dijelaskan sebelumnya pada konsep good
mining practice, bahwa dalam pengelolaan pertambangan
yang baik dan benar bagi masyarakat, penyesuaian konsep ini
lebih difokuskan pada pemilihan teknik pertambangan yang
tepat, namun dengan tetap memperhatikan kepedulian
lingkungan dan K3 serta optimalisasi pemanfaatan
sumberdaya mineral. Hasil pengamatan lapangan dan analisis
kualitatif tipologi penambangan emas letakan yang dilakukan
oleh masyarakat yang menambang di Bombana,
menunjukkan bahwa pola kegiatan penambangan yang
dilakukan masyarakat masih dalam kelompok kecil, tanpa
organisasi dan bersifat spekulatif. Sebagaimana telah
disinggung sebelumnya (lihat Bab 1), bahwa pola tersebut
perlu diubah dan diatur sesuai dengan keterbatasan
171
172
173
Rockers, adalah sejenis alat konsentrasi gravimetri atau sama dengan sluicebox
tetapi dilengkapi dengan screen dan apron.
129
Screen, adalah saringan yang terbuat dari kawat atau plat yang dilubangi. Apron
terbuat dari kain kanvas yang dilubangi secara mendatar (strip) yang berfungsi untuk
mengarahkan material ke ujung bagian atas dari sebuah rockers.
174
175
130
176
177
178
179
Penutup
Penambangan emas letakan (gold placer deposit) yang
dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten Bombana, Provinsi
Sulawesi Tenggara sejak September 2008 hingga
pertengahan
tahun
2009
(Kartu
Izin
Masuk
Pertambangan/KIMP yang dikeluarkan Pemkab Bombana
180
181
182
Daftar Pustaka
Farrington, J, Environmental problems of placer gold mining
in the Zaamar Goldfield, Mongolia, Word Placer
ournal, Volume 1, November 2000.
Heemskerk, M., and Kooye, R. van der, Challenges To
Sustainable Small-Scale Mine Development In
Suriname, 2003,
Michael Silva, Placer Gold Recovery Methods, California
Department of Concervation Division of Mines and
Geology, 1986.
Suratman, dkk, Pelindian Bijih Emas dengan Larutan Amonia
Tiosulfat (Batch Scale), tekMIRA, bandung, 2006.
Suyartono, Good Mining Practice, Konsep tentang
Pengelolaan Pertambangan yang Baik dan Benar,
Studi Nusa, 2003.
Spiller D.E, Gravity Separation of Gold then and now,
Denver, Colorado, 1983.
Taggart, Handbook of Mineral Dressing, John Wiley & Sons,
Inc, New York, 1960
Touloukian, Physical Properties of Rocks and Minerals,
Volume II02, McGraw Hill Book Company, New York,
1981
Zulkarnain, Iskandar dkk., Potensi Konflik di Daerah
Pertambangan: Kasus Cikotok dan Pongkor, Jakarta:
Riset Kompetitif Pengembangan Iptek - LIPI, 2003.
Zulkarnain, Iskandar dkk., Konflik di Kawasan Pertambangan
Timah, Bangka Belitung: Persoalan dan Alternatif
Solusi, Jakarta: Riset Kompetitif Pengembangan Iptek
-LIPI, 2005.
183
184
BAB
5
DAMPAK LINGKUNGAN
PENAMBANGAN EMAS LETAKAN
OLEH MASYARAKAT DI KABUPATEN
BOMBANA, SULAWESI TENGGARA
Oleh: Hadi Suparyanto
Pendahuluan
Hampir dapat dipastikan bahwa sebagian besar masyarakat
di Indonesia cenderung mengidentikkan kegiatan
pertambangan dengan perusakan lingkungan, sehingga
seolah-olah dunia pertambangan itu adalah bagian dari
potret buram negeri ini. Pencitraan yang tidak
menguntungkan ini pada dasarnya tidak lepas dari sikap
tertutup sektor ini kepada publik dan pemberitaan media
massa yang seringkali tidak berimbang sehingga pesan yang
sampai kepada masyarakat luas hanyalah dampak lingkungan
yang begitu merugikan tanpa informasi utuh tentang sisi
positifnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau
banyak opini dan persepsi yang berkembang di tengah
185
186
131
187
188
Ibid.
Bret Ericson, et al, The Worlds Worst Pollution Problems, Blacksmith Institute &
Green Cross, Switzerland, 2008, hlm. 11.
136
189
Lihat
Smith,
S.E,
What
is
Environmental
Degradation?
http://www.wisegeek.com/what-is-environmental-degradation.htm., 2010.
pada
190
191
192
140
141
193
Air asam tambang adalah air dengan pH rendah (bersifat asam) yang umumnya
terdapat pada tambang-tambang yang telah ditinggalkan. Keasaman air ini berasal
dari dekomposisi logam sulfida yang tadinya dalam kondisi reduksi, namun
kemudian tersingkap dan mengalami oksidasi sehingga membentuk asam di dalam
air. Terkadang bakteri juga mempercepat proses dekomposisi ion-ion logam ini.
143
Long- and Short-term Impacts of Mining in the Environment, pada
http://www.pollutionissues.com/CoEa/Disasters-Environmental-MiningAccidents.html
144
Kekar adalah suatu struktur geologi berupa rekahan-rekahan yang terjadi pada
batuan akibat proses tektonik yang dialami oleh wilayah tersebut.
194
195
196
145
Besaran dan pola curah hujan yang sangat tergantung pada ketinggian
permukaan tanah.
146
Zhong Ziran, Small-scale mining problem in ChinaContributions, Problems and
Policy Options. Presented at Third Environmental Cooperation Workshop on
Sustainable Development of Mining Activities, Cairns, Australia, 58 October 1999,
hlm.13 .
197
198
Google Earth merupakan sebuah program globe virtual yang memetakan bumi
dari superimposisi gambar yang dikumpulkan dari pemetaan satelit dan fotografi
udara dengan pendekatan Sistem Informasi Grafis dunia.
148
SRTM merupakan citra satelit yang dibangun dengan sistem radar dan memuat
informasi model ketinggian digital dari rupa bumi.
199
1.
2.
200
201
Hasil wawancara dengan staf perusahaan PT Panca Logam Makmur pada tanggal
12 Agustus 2009
202
203
204
205
206
mini
sluice
box
mulai
Tahap 2
Jumlah
penambang
bertambah
dengan
pendatang
dari berbagai
daerah di
Indonesia
Tahap 3
Jumlah
penambang
semakin
bertambah
Kegiatan
Masyarakat lokal
mendulang di badan
sungai, bahan baku
merupakan material
endapan sungai.
Penambang datang
secara berkelompok,
tetapi bekerja
mendulang secara
sendiri-sendiri.
Bahan baku diperoleh
dengan melakukan
pemapasan dinding
sungai dan
pembuatan lobang di
tepi sungai.
Penambang bekerja
secara berkelompok,
dengan pembagian
tugas secara bergiliran
dari yang menggali,
membawa hasil galian
ke tepi sungai, dan
mendulang.
Perolehan emas masih
berasal dari tanah
hasil galian yang
kemudian didulang.
Penggalian bahan
baku semakin intensif.
Lobang-lobang galian
tersebar di sekitar
wilayah sungai hingga
puluhan meter dari
tepi sungai.
Kebutuhan air
meningkat. Bahan
baku diangkut ke
pinggir sungai lalu
diproses dengan cara
pendulangan dan
Peralatan
Pacul,
dulang
pacul,
linggis
dan
sebagain
ya.
Selain
peralatan
tradision
al,
pendulan
g sudah
menggun
akan mini
sluicebox yang
dioperasi
kan
secara
interaksi lingkungan
Sistem sungai masih
terjaga,
kerusakan
lebih dicirikan dengan
keruhnya air sungai
secara setempat akibat
hasil buangan air bekas
dulang. Kualitas aliran
air masih terjaga,
begitu pula sisi-sisi
sungai yang ada
Air sungai mulai keruh,
aliran sungai masih
terjaga, proses siltasi
sudah mulai terjadi
setempat Kerusakan
fisik berupa
terbentuknya lobanglobang galian dan
pemapasan dindingdinding sungai. Tanah
pucuk hilang karena
penggalian dan
pemapasan sungai.
Tahap 4
Penambang
mulai
bekerjasama
dengan
pemodal
menggunakan mini
sluice box secara
manual untuk
memperoleh
emasnya.
Penambang sudah
menggunakan mesin
walau masih ada yang
mendulang
Penggalian bahan
baku dengan
membuat lobang
tambang dilakukan
dengan semprotan air
bertekanan tinggi.
Lokasi lobang semakin
acak, bisa berupa
lobang baru atau
menggali kembali
lobang lama yang
sudah tertimbun.
Proses pemisahan
emas dari
pengotornya
dilakukan dengan
sluice box yang
dioperasikan dengan
menggunakan mesin
207
manual
mesin
semprot
dan
sluicebox
dengan
kapasitas
lebih
besar ( <
25 PK).
Morfologi hancur
berubah menjadi
lobang-lobang
berukuran besar
dengan diameter
mencapai lebih dari
lima meter. Lobang
tersebut kemudian
berubah menjadi
genangan. Pada
daerah pembuangan di
sekitar sluice box
terjadi hamparan lahan
becek penuh lumpur
dengan aliran air keruh
yang turun dari sluice
box. Selain itu,
hamparan ini dipenuhi
bongkahan batuan,
endapan lumpur yang
bercampur dengan
buangan tanah pucuk
dan tanah penutup.
Degradasi semakin meningkat pada tahap 4, ketika mesinmesin bertenaga hingga 25 PK mulai dioperasikan dalam
proses penyemprotan dan ekstraksi dengan sluice box. Bila
diamati secara lebih detil, maka akan dapat diketahui bahwa
degradasi lingkungan yang terjadi secara signifikan terutama
berlangsung pada aspek bentang alam/morfologi serta
kondisi kualitas air.
208
209
210
Semua ini terjadi pada kedua DAS yang ada. Hilangnya badan
sungai di DAS Wukuwuku, terutama di SP 9, tampaknya
terjadi selain karena aktifitas para penambang, juga karena
kecilnya debit aliran sungai terkait sifatnya yang intermittent
serta posisi morfologinya yang terletak di lereng landai.
Sementara itu alur sungai pada DAS Tahi Ite relatif
lebih terjaga kondisinya karena debit airnya yang mengalir
sepanjang tahun serta kondisi morfologinya yang lebih terjal
dibanding lokasi SP 9. Namun demikian, kerusakan aliran
sungai juga terjadi pada bagian sungai tertentu karena aliran
sungai tersebut telah berubah menjadi aliran lumpur yang
berasal dari limbah penambangan (Foto 5.5).
211
212
213
Lihat Kompas, Rabu, 9 Desember 2009 dan MBM Tempo edisi 11-17 Januari 2009
214
215
216
152
Ray Grayson,. Potential of satellite images for monitoring placer gold mining in
Mongolia (Summary), World Placer Journal (3), 2003.
153
Tungalag A., et al., Land Degradation Analysis in The Ongi River Basin, The
International Archieves of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial
Information Sciences, vol. XXXVII, part B7, Beijing, 2008, hlm.. 1021-1024
154
Ray Grayson,. Ibid.2003,
217
Gambar 5. 2. Padang
rumput yang rimbun
(warna oranye) yang
menutupi daerah
endapan sungai atau
dataran banjir dan
dikelilingi oleh
vegetasi semak
belukar (warna
hijau). Sungai
mengalir dari selatan
(bagian bawah
gambar)
Gambar 5. 3. Padang
rumput (warna oranye)
pada dataran banjir,
sebagian hilang karena
penambangan emas
letakan. Citra
menunjukan
pergeseran sungai
mengikuti daerah
penambangan.
218
219
220
221
222
223
224
Daftar Pustaka
A.Tungalag, R.Tsolmon, B. Bayatungalag, Land Degradation
Analysisi in The Ongi River Basin, The International
Archieves of the Photogrammetry, Remote Sensing and
Spatial Information Sciences, vol. XXXVII, part B7,
Beijing, 2008.
Bombana, Bonanza Pemicu Bencana, MBM Tempo edisi 1117 Januari 2009.
Ericson, B.; Hanrahan,: Kong, V. The Worlds Worst Pollution
Problems, Blacksmith Institute & Green Cross
Switzerland, 2008.
Farrell, L., Sampat, P., Sarin, R., and Slack, K., DirtyMetal,
Mining, Communities and the Environment, Earthworks
and Oxfam America, 2004.
Farrington, J., Environmental problems of placer gold
mining in the Zaamar Goldfield, Mongolia, World
Placer Journal, v.1, 2000, hlm.. 107-126
Grayson, R., Potential of satellite images for monitoring
placer gold mining in Mongolia (Summary), World
Placer Journal, v.3, 2003.
Heidhues, M. F. Somers, Bangka Tin and Mentok Pepper:
Chinese Settlement on an Indonesian Island, Institute
of Southeast Asian Studies, Pasir Panjang, Singapore,
1992.
Jahi, J.M., Aiyub, K., Arifin, K. and Awang, A., Development,
Environmental Degradation and Environmental
225
BAB
6
STRATEGI PENGEMBANGAN
WILAYAH PERTAMBANGAN RAKYAT
DI KABUPATEN BOMBANA,
SULAWESI TENGGARA
Oleh: Iskandar Zulkarnain
Pendahuluan
Terdapat perbedaan pengertian yang sangat mendasar dan
perlu dipahami oleh setiap pemangku kepentingan
(stakeholders) dalam memahami terminologi Pertambangan
Rakyat dan kegiatan masyarakat yang menambang.
Pengertian Pertambangan Rakyat (PR) secara umum menurut
Undang Undang, lebih tepatnya dalam UU No. 11 tahun
1967, karena definisi tersebut tidak tercantum dalam UU
No.4 tahun 2009, adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh
masyarakat secara kecil-kecilan atau gotong royong untuk
menambang suatu komoditi tertentu (golongan A, B dan C)
dengan peralatan yang sederhana dan untuk pencaharian
226
227
228
158
229
230
231
membangun
wilayah
mereka
melalui
kegiatan
pertambangan, haruslah juga menjadi pertimbangan
pemerintah dalam menetapkan kebijakan pengelolaan
sumber daya tambang yang ada. Hal ini perlu mendapatkan
perhatian agar bibit-bibit konflik dan kecemburuan sosial
antara masyarakat dan perusahaan tidak semakin
berkembang karena akan dapat memicu konflik sosial
terbuka yang lebih luas dan tidak menguntungkan semua
pihak. Dalam konteks ini, maka membuka ruang dan
kesempatan bagi masyarakat lokal untuk ikut melakukan
kegiatan penambangan bukanlah merupakan suatu
pemikiran yang buruk dan membahayakan, bahkan dapat
menjadi suatu jalan untuk terbukanya komunikasi dan
pengertian yang lebih baik antara pemerintah dan
masyarakat.
Agar pengalaman buruk masa lalu dalam persoalan
pertambangan rakyat ini tidak terulang lagi dan agar kegiatan
tersebut dapat memberikan manfaat bagi semua pemangku
kepentingan dengan dampak lingkungan seminimal mungkin,
maka diperlukan suatu strategi pengembangan wilayah
pertambangan rakyat yang tepat dan efisien, termasuk
strategi dalam memperbaiki kualitas lingkungan yang telah
rusak akibat kegiatan penambangan masyarakat pada kurun
waktu sebelum 17 Maret 2009.163
163
17 Maret 2009 adalah batas waktu berlakunya KIMP yang merupakan saat semua
penambang harus meninggalkan lokasi penambangan mereka. KIMP berlaku selam 6
bulan, mulai dari September 2008 hingga 17 Maret 2009.
232
164
233
B.
Tahapan Pengelolaan
Rakyat (PR) dan
C.
Kegiatan
Pertambangan
234
Akibatnya, penetapan WPR tersebut akan menjadi siasia dan hanya memboroskan sumber daya, sementara
kerusakan dan pencemaran lingkungan akan terus
berlanjut. Sementara itu, tahapan pengelolaan kegiatan
PR akan fokus pada teknik penggalian, ekstraksi dan
pengelolaan limbah, sedangkan tahapan pemulihan dan
235
236
166
237
238
Lihat UU No.4 tahun 2009, pasal 22 huruf a,b dan f yang mengisyaratkan bahwa
suatu WPR harus memiliki cadangan mineral sekunder yang terletak di sungai atau
diantara tepi sungai, atau cadangan primer dengan kedalaman maksimum 25 meter
atau merupakan lokasi penambangan masyarakat minimal selama 15 tahun.
239
Lihat
Bab
IV
dan
Gold
Placer
Deposits
pada
alamat
http://earthsci.org/mineral/mindep/depfile/auplace.htm#howto, (diunduh pada 22
Oktober 2010)
240
170
241
242
172
Lihat UU No.4 tahun 2009, pasal 21 yang menyatakan bahwa WPR ditetapkan
oleh Bupati/Walikota setelah berkonsultasi dengan DPRD kabupaten/kota.
243
244
245
246
247
248
249
250
Teknik Penggalian
Bila wilayah WPR, seperti yang diuraikan pada
tahapan pertama strategi pengembangan PR ini
sudah ditentukan dan ditetapkan, maka peta
wilayah penyebaran endapan emas sekunder ini
yang dikontrol oleh pola aliran sungai purba
tentu telah dimiliki oleh pemegang IPR
251
252
253
Teknik Ekstraksi
Dalam hal teknik ekstraksi, untuk pengolahan
endapan emas sekunder ini, teknik yang paling
254
Sluice box yang dipergunakan harus didisain dengan kemiringan yang tertentu
(antara 8-10 derajat) dengan bagian sluice box yang diberi penghambat dengan
ketinggian 2-3 cm agar terbentuk aliran air turbulensi yang dapat memisahkan emas
dengan pasir pengotornya secara efektif. Kecepatan aliran air yang dialirkan pada
lantai sluice box tersebut harus diatur dengan kecepatan moderat sehingga pasir
dan emas di dalamnya tidak langsung hanyut ke tempat pembuangan. Lebih rinci
tentang sluice box dapat dilihat pada Bab IV. Lebih jelasnya lihat pada Michael Silva,
Placer Gold Recovery Methods, California Department of Concervation Division of
Mines and Geology, 1986
179
Ukuran kolam penampungan sangat tergantung dari berapa produksi yang akan
dihasilkan dan berapa volume air yang dibutuhkan. Umumnya ukurannya lebih luas
dari 500m2.
255
256
257
Data ini diperkirakan dari keberadaan para penambang di lokasi SP-8 saja yang
sudah mencapai angka sekitar 100.000 orang pada Desember 2008. Dengan
demikian total penambang di ketiga lokasi dimaksud (Tahi Ite, SP-8 dan SP-9)
diperkirakan akan lebih dari 120.000 orang. Lihat Iskandar Zulkarnain dan Tri Nuke
Pudjiastuti, Laporan Kajian Penambangan Emas oleh Masyarakat di Bombana,
Kerjasama Kementerian Koordinator Ekonomi RI LIPI, Desember 2008.
258
259
260
261
262
263
Penutup
Adalah suatu kenyataan yang tidak dapat diabaikan bahwa
keberadaan masyarakat yang melakukan penambangan di
Indonesia merupakan fenomena yang sudah berlangsung
sejak ratusan tahun yang lalu. Bagi sebagian warga
masyarakat, kegiatan ini mungkin hanya dianggap sebagai
sebuah pekerjaan alternatif sementara yang dapat
181
264
265
266
Daftar Pustaka
Gold
Placer
Deposits,
http://earthsci.org/mineral/mindep/depfile/auplace.ht
m#howto, (diunduh pada 22 Oktober 2010).