Anda di halaman 1dari 276

PRA KATA

Penulisan buku Strategi Pengembangan Wilayah


Pertambangan Rakyat di Kabupaten Bombana, Sulawesi
Tenggara ini, bukan hanya dimaksudkan untuk memberikan
suatu pemikiran pragmatis sebagai sebuah alternatif solusi
dalam mengatasi persoalan penambangan oleh masyarakat
yang dihadapi pemerintah Kabupaten Bombana, tetapi lebih
dari itu untuk memberikan suatu strategi penataan kegiatan
pertambangan rakyat agar kegiatan tersebut dapat
memberikan manfaat bagi semua pihak dan sekaligus
mencegah terjadinya degradasi lingkungan yang sangat
merugikan. Strategi yang ditawarkan ini disusun berdasarkan
pengalaman panjang penelitian Tim Kajian Tambang LIPI yang
telah melakukan penelitian di kawasan pertambangan sejak
tahun 2003 tentang konflik dan berbagai persoalan sosial
yang timbul akibat adanya aktivitas pertambangan.
Penelitian yang telah dilakukan di berbagai daerah di
Indonesia, mulai dari belahan barat Nusantara (di provinsi
Bengkulu), Bangka-Belitung, terus ke Jawa Barat, Lombok,
Sulawesi, Kalimantan, hingga ke wilayah timur Indonesia
(provinsi Papua) menunjukkan, bahwa kegiatan masyarakat
yang menambang masih belum ditata dan dikelola dengan
baik sehingga selalu menimbulkan berbagai persoalan sosial
budaya, ekonomi dan bahkan berperan dalam melahirkan
kerusuhan-kerusuhan yang berwarna politik. Hampir semua
pemerintah daerah (pemda) menerapkan kebijakan
pembiaran terhadap kegiatan masyarakat itu dengan

Pra Kata ii
berbagai alasan, baik karena belum adanya konsep yang
teruji dalam pengelolaan kegiatan masyarakat yang
menambang tersebut, maupun karena ketidakmampuan
pemda dalam menyediakan lapangan pekerjaan pengganti.
Fakta yang tersaji hingga saat ini menunjukkan
bahwa akibat kebijakan pembiaran ini, semua aktivitas
penambangan oleh masyarakat tersebut tidak berdampak
pada peningkatan kesejahteraan mereka dan bahkan hanya
menyisakan kerusakan lingkungan dan berbagai kerugian
sosial budaya yang akan membekas hingga waktu yang lama.
Untuk menghindari semua itu, maka buku ini diharapkan
akan dapat menjadi salah satu acuan bagi pemda untuk
membangun suatu kebijakan, mekanisme serta kelembagaan
yang efisien dan efektif dalam pengelolaan pertambangan
rakyat di Indonesia. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak.

Jakarta, Desember 2010


Tim Kajian Tambang LIPI

DAFTAR SINGKATAN
4WD
Ag
AMDAL
AMDAL
APBD
Au
BPS
BUMD
Cd
Cu
DAS
DPRD
HP
HTI
IPR
IUP
K3
KepMen
KIMP
KP
KTP
MM
PAD
PDRB
Pemkab
Perbup
Perda
Pergub
PerMen
PerMenhut
PERPU

: four-wheel-drive
: Perak
: Analisis
Mengenai
Dampak
Lingkungan
: Analisis
Mengenai
Dampak
Lingkungan
: Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah
: Emas
: Badan Pusat Statistik
: Badan Usaha Milik Daerah
: Cadmium
: Tembaga
: daerah aliran sungai
: Dewan Perwakilan Daerah
: Hutan produksi
: Hutan Tanaman Industri
: Izin Pertambangan Rakyat
: Ijin Usaha Pertambangan
: kesehatan dan keselamatan kerja
: Keputusan Menteri
: Kartu Izin Masuk Penambangan
: Kuasa Pertambangan
: Kartu Tanda Penduduk
: Masyarakat yang Menambang
: Pendapatan Asli Daerah
: Produk Domestik Regional Brutto
: Pemerintah Kabupaten
: Peraturan Bupati
: Peraturan Daerah
: Peraturan Gubernur
: Peraturan Menteri
: Peraturan Menteri Kehutanan
: Peraturan
Pengganti
Undangundang
iii

DAFTAR SINGKATAN

PETI
PLM
PP
PR
PT
SDA
SDM
SLTA
SP
SRTM
SSM
TBC
TI
TSK
UKL-IPL

:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:

UU
UU Minerba

:
:

WP
WPR
Zn

:
:
:

Penambang Tanpa Ijin


Panca Logam Makmur
Peraturan Pemerintah
Pertambangan Rakyat
Perseroan Terbatas
Sumber Daya Alam
Sumber Daya Manusia
Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
Satuan Pemukiman
Shuttle Radar Topography Mission
Small Scale Mining
tuberculose
Tambang Inkonvensional
Pertambangan Skala Kecil
Upaya Pengelolaan Lingkungan
Upaya Pemantauan Lingkungan
Undang-Undang
Undang-undang
Mineral
dan
Batubara
Wilayah Pertambangan
Wilayah Pertambangan Rakyat
Zinc

iv

DAFTAR GAMBAR, TABEL DAN FOTO


Gambar 1.1. Peta geologi daerah Bombana yang
menunjukkan posisi geografis dan batuan penyusunnya
(warna merah tua adalah batuan metamorfosa). Dari
Simanjuntak et.al, 1993. ................................................. 3
Gambar 1.2. Skema kerugian pada aspek ekonomi, sosial
budaya, politik dan lingkungan akibat berlangsungnya
kegiatan masyarakat yang menambang secara ilegal .. 25
Foto 2.1. Foto Kartu Izin Masuk Pertambangan (KIMP) yang
dikeluarkan oleh Pemkab Bombana. ............................ 71
Foto 2.2. Lokasi penambangan di kawasan hutan di SP-8 yang
sudah rusak. .................................................................. 77
Tabel 1. Volume (Ton) dan Nilai Perdagangan Antar Pulau
(Rp. 000,-), Hasil Bumi dan Tambang Tahun 2007........ 94
Foto 3.1. Foto kegiatan masyarakat yang Penambang di
sungai Tahi Ite. ............................................................ 100
Foto 3.2. Para penambang dan sepeda motornya tengah
beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan mereka
menuju lokasi penambangan. ..................................... 105
Foto 3.3. Foto butiran emas yang berhasil diperoleh oleh
kelompok penambang setelah didulang dengan
menggunakan kuali. .................................................... 107
Foto 3.4. Lobang bekas galian para penambang di SP-8 yang
ditinggalkan begitu saja. ............................................. 108
Foto 3.5.Pasar di lokasi penambangan SP-9 yang juga menjual
ikan laut segar walau lokasinya jauh di pedalaman.... 110
Foto 3.6. Foto penambang yang menggunakan air genangan
untuk kebutuhan mandi dan mencuci di sungai Tahi Ite.
.................................................................................... 131
Gambar 4.1. Bagan alir konsep good mining practice
(Suyartono, 2003). ...................................................... 146
v

DAFTAR GAMBAR, TABEL DAN FOTO

Gambar 4.2. Bagan alir konsep metoda perolehan emas


letakan ........................................................................ 152
Foto 4.1. Foto pendulangan emas letakan oleh masyarakat
yang menambang di sungai Tahi Ite, Kabupaten
Bombana. .................................................................... 156
Foto 4.2. Penambangan dengan cara sumuran (A) dan
sluicebox mini (B) di lokasi SP-9. ................................. 160
Foto 4.3. Foto kegiatan tambang semprot di lokasi SP-6,
kabupaten Bombana................................................... 163
Foto 4.4. Foto kondisi fisik lingkungan penambangan di lokasi
SP-9, Wumbubangka, Kabupaten Bombana. .............. 167
Foto 4.5. Foto lahan di tepi sungai yang sudah terdagradasi
akibat penambangan masyarakat............................... 168
Foto 4.6. Foto tumpukan kerikil sisa proses pengolahan
dengan sluices box yang berserakan begitu saja di aliran
sungai. ......................................................................... 170
Gambar 4.3. Penambangan emas letakan dengan cara
tambang semprot ....................................................... 171
Gambar 4.4. Skema bagian-bagian penting dari sebuah rocker
washer......................................................................... 174
Gambar 4.5. Ilustrasi peran pemisahan oleh riffles dalam
sebuah sluicebox. ........................................................ 176
Gambar 4.6. Pola penambangan emas letakan dengan model
kolam pengendapan. .................................................. 179
Gambar 5.1. Peta topografi lokasi penambangan rakyat di
Bombana berdasarkan citra SRTM ............................. 198
Foto 5.1. Asap tebal yang keluar dari knalpot mesin
penyemprot dalam kegiatan penambangan oleh
masyarakat.................................................................. 204
Tabel 5.1. Tahapan perubahan teknik penambangan emas di
Bombana. .................................................................... 206

vi

DAFTAR GAMBAR, TABEL DAN FOTO

Foto 5.2. Alur sungai yang sudah hilang dan sulit dikenali lagi
akibat penambangan oleh masyarakat. di Sungai Tahi Ite
.................................................................................... 208
Foto 5.3. Daerah bantaran dan tepi sungai yang sudah
berubah menjadi kumpulan lobang-lobang yang berbaris
rapat. ........................................................................... 209
Foto 5.4. Kondisi lahan di tepi aliran sungai dan badan sungai
yang sudah ditutupi oleh sampah dan batuan dari
limbah pertambangan ................................................ 209
Foto 5.5. Bagian badan aliran sungai Tahi Ite yang sudah
berubah menjadi aliran lumpur yang merupakan limbah
pertambangan masyarakat ......................................... 210
Foto

5.6. Genangan air bercampur lumpur yang


dipergunakan oleh para penambang untuk memenuhi
kebutuhan kehidupan mereka sehari-hari. ................ 212

Gambar 5.2. Padang rumput yang rimbun (warna oranye)


yang menutupi daerah endapan sungai atau dataran
banjir dan dikelilingi oleh vegetasi semak belukar (warna
hijau). Sungai mengalir dari selatan (bagian bawah
gambar) ....................................................................... 217
Gambar 5.3. Padang rumput (warna oranye) pada dataran
banjir, sebagian hilang karena penambangan emas
letakan. Citra menunjukan pergeseran sungai mengikuti
daerah penambangan. ................................................ 217
Gambar 6.1. Skema strategi pengembangan Wilayah
Pertambangan Rakyat di Kabupaten Bombana. ......... 234
Gambar 6.2. Posisi lobang galian yang tegak lurus arah aliran
sungai purba (kiri) dan penampang lobang galian yang
bagian dasarnya ditempati oleh lapisan pasir yang
mengandung emas (kanan). ....................................... 252
Gambar 6.3. Skema sentra ekstraksi dalam pemisahan emas
dari pasir pengotornya dengan sistem sirkulasi air
tertutup. ...................................................................... 255

vii

DAFTAR ISI
PRA KATA ...................................................................................... i
DAFTAR SINGKATAN................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR, TABEL DAN FOTO ......................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................ viii
KEGIATAN MASYARAKAT YANG MENAMBANG DI BOMBANA:
. Persolan dan Pemikiran Kedepan dalam Pertambangan Rakyat
..................................................................................................... 1
Oleh: Iskandar Zulkarnain
Pendahuluan ................................................................. 1
Kegiatan Masyarakat yang Menambang di Bombana ....... 3
Persoalan pada Kegiatan Rakyat yang Menambang ......... 9
Potret Kegiatan Masyarakat yang Menambang ............... 9
Persoalan MM pada Aspek Kebijakan Pemerintah ......... 18
Pemikiran Ke Depan .................................................... 32
PERSOALAN DALAM KEBIJAKAN PERTAMBANGAN RAKYAT DI
INDONESIA: Kasus Bombana................................................ 48
Oleh: Tri Nuke Pudjiastuti
Pendahuluan ............................................................... 48
Pertambangan Rakyat dalam UU Minerba Tahun 2009 .. 54
Peraturan Daerah dan Penertiban: Kasus Bombana ....... 66
Kebijakan Daerah Pasca 17 Maret 2009 ........................ 80
Penutup ...................................................................... 83
Daftar Pustaka............................................................. 86
DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL
BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT DI BOMBANA ........... 88
Oleh: Tri Nuke Pudjiastuti
Pendahuluan ..................................................................... 88

viii

DAFTAR ISI

Dinamika Masyarakat Sebelum Berlangsung Kegiatan


Penambangan ................................................................... 92
Kegiatan Penambangan oleh Masyarakat ........................ 98
Potret Masyarakat Pasca Maret 2009 ............................ 112
Perubahan Kondisi Masyarakat ...................................... 120
Penutup .......................................................................... 133
Daftar Pustaka ................................................................ 137
TEKNIK PENAMBANGAN EMAS DI BOMBANA: Tipologi dan
Dampaknya.............................................................................. 139
Oleh: Eko Tri Sumarnadi Agustinus
Pendahuluan ................................................................... 139
Keterdapatan Emas di Alam dan Teknik Penambangannya
........................................................................................ 140
Konsep Good Mining Practice ...................................... 145
Konsep Penambangan Emas Letakan ............................. 148
Konsep Pemisahan Emas Letakan .................................. 149
Konsep Peningkatan Perolehan Emas Letakan............... 151
Tipologi Penambangan Emas di Bombana ..................... 154
Analisis Dampak Teknik Penambangan dan Alternatif
Solusinya ......................................................................... 166
Alternatif solusi: ............................................................. 170
Penutup .......................................................................... 179
Daftar Pustaka ................................................................ 183
DAMPAK LINGKUNGAN PENAMBANGAN EMAS LETAKAN OLEH
MASYARAKAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI
TENGGARA............................................................................... 185
Oleh: Hadi Suparyanto
Pendahuluan ................................................................... 185
Konsep Degradasi Lingkungan ........................................ 189
Degradasi Lingkungan akibat Penambangan Emas di
Bombana......................................................................... 197
Perubahan dan degradasi lingkungan akibat
penambangan. ................................................................ 202
Analisis Permasalahan Lingkungan ................................. 205

ix

DAFTAR ISI

Kerusakan Bentang Alam/Morfologi .............................. 207


Kerusakan Kualitas Air .................................................... 211
Solusi Alternatif untuk Penanggulangan. ....................... 213
STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH PERTAMBANGAN
RAKYAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA . 226
Oleh: Iskandar Zulkarnain
Pendahuluan ................................................................... 226
Strategi Pengembangan Wilayah Pertambangan Rakyat di
Bombana......................................................................... 232
Penutup .......................................................................... 263

BAB

1
KEGIATAN MASYARAKAT YANG
MENAMBANG DI BOMBANA:
Persolan dan Pemikiran Kedepan dalam
Pertambangan Rakyat
Oleh: Iskandar Zulkarnain

Pendahuluan
Kegiatan masyarakat yang menambang merupakan fenomena
global yang erat kaitannya dengan kemiskinan karena selalu
melibatkan komunitas yang terbatas kemampuan modalitas dan
ekonominya. Kegiatan ini bisa ditemukan hampir di semua
negara berkembang pada kedua belahan hemisphere bumi ini,
terutama di Asia dan Afrika. Khususnya di Indonesia, fenomena
ini senantiasa terkait dengan kelompok masyarakat yang
terbatas keahlian dan modal ekonominya, terutama mereka
yang sudah mewarisi tradisi menambang dari leluhur mereka,
atau merupakan pilihan yang menarik bagi warga masyarakat
yang terkena dampak goncangan ekonomi.

BAB I - KEGIATAN MASYARAKAT YANG MENAMBANG DI BOMBANA:


Persoalan dan Pemikiran Ke depan dalam Pertambangan Rakyat

Hal ini antara lain ditunjukkan oleh berlipat gandanya jumlah


masyarakat yang menambang ketika krisis ekonomi melanda
Indonesia sejak pertengahan tahun 1997.1
Akibat segala keterbatasan yang terdapat pada para
penambang tersebut, kegiatan ini telah menimbulkan
persoalan yang sangat kompleks, mulai dari persoalan
pelanggaran hukum, pemborosan sumber daya tambang,
persoalan sosial budaya, ekonomi dan politik hingga
ancaman kerusakan lingkungan yang serius. Semua itu
seringkali menjadi bertambah rumit, tatkala pemerintah
setempat tidak memiliki konsep dan pemahaman yang baik
dalam menangani dan merespon persoalan ini, yang
merupakan persoalan lintas sektor. Apa yang terjadi di
Bombana merupakan potret suram pengelolaan kegiatan
masyarakat yang menambang sehingga manfaat yang
diperoleh dari kegiatan tersebut tidak seimbang dengan
kerugian dan persoalan yang harus ditangani.
Dalam konteks di atas, tulisan ini menjadi penting
karena akan membahas berbagai aspek dari semua
persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh kegiatan
masyarakat yang menambang tersebut secara sistematis,
seperti apa penyebabnya, bagaimana dampak yang
ditimbulkannya dan bagaimana konsep akademis yang

Fenomena tersebut dicerminkan oleh kegiatan masyarakat yang menambang


secara ilegal di wilayah konsesi tambang emas Perseroan Terbatas (PT) Aneka
Tambang di Pongkor, Kabupaten Bogor, menjadi sangat marak sejak terjadinya krisis
ekonomi dan mencapai puncaknya pada tahun 1998. Lihat Iskandar Zulkarnain dkk.,
Potensi Konflik di Kawasan Pertambangan: Kasus Pongkor dan Cikotok, Program
Kompetitif LIPI, Jakarta, 2003.

BAB I - KEGIATAN MASYARAKAT YANG MENAMBANG di BOMBANA:


persoalan dan pemikiran ke depan dalam pertambangan rakyat

rasional dan implementatif yang ditawarkan untuk mengelola


kegiatan masyarakat tersebut.

Kegiatan Masyarakat yang Menambang di Bombana


Pada September 2008, awal bulan Ramadhan, masyarakat di
sekitar aliran sungai Tahi Ite, Kecamatan Rarowatu, sekitar
30km dari Kasipute (Rumbia) ibukota Kabupaten Bombana,
Provinsi Sulawesi Tenggara (Gambar 1.1) dikejutkan oleh
berita ditemukannya emas oleh seorang warga masyarakat
lokal yang mendulang di sungai itu.

Gambar 1. 1. Peta geologi daerah Bombana yang menunjukkan


posisi geografis dan batuan penyusunnya (warna
merah tua adalah batuan metamorfosa). Dari
Simanjuntak et.al, 1993.

Berita itu menyebar dengan cepat bagaikan virus dan


menimbulkan medan magnet yang sangat kuat yang menarik
puluhan ribu orang dari berbagai daerah di tanah air
mengalir ke Bombana untuk ikut mengais rezeki dengan

BAB I - KEGIATAN MASYARAKAT YANG MENAMBANG DI BOMBANA:


Persoalan dan Pemikiran Ke depan dalam Pertambangan Rakyat

melakukan pendulangan.2 Penemuan ini direspon oleh


pemerintah kabupaten Bombana dengan statement pro
rakyat yang dinyatakan secara eksplisit oleh Bupati Bombana
bahwa semua itu adalah berkah untuk rakyat Bombana dan
oleh karena itu pertambangan emas ini akan diprioritaskan
sebagai pertambangan rakyat.3 Inilah awal munculnya
berbagai persoalan yang harus dihadapi oleh pemerintah dan
masyarakat Bombana, baik persoalan lingkungan yang serius
maupun persoalan sosial, ekonomi dan budaya akibat
strategi pemerintah yang kurang efektif dalam menangani
persoalan rakyat yang menambang tersebut.
Kabupaten Bombana adalah kabupaten baru yang
merupakan pemekaran dari Kabupaten Buton yang dibentuk
berdasarkan Undang-Undang (UU) No. 29 tahun 2003
tertanggal 18 Desember 2003.4 Secara geografis, kabupaten
ini terletak di jazirah paling selatan dari semenanjung
Sulawesi Tenggara dengan jarak sekitar 230 km dari Kendari
dan dapat dicapai dengan menggunakan mobil dalam waktu
sekitar 4 jam. Secara geologi, sebagian besar kawasan ini
ditutupi oleh batuan malihan atau metamorfosa yang
pembentukannya tidak terkait dengan proses mineralisasi
atau pengendapan mineral emas. Oleh karena itu, fenomena
ditemukannya emas di wilayah ini merupakan suatu hal yang

Pendulangan adalah suatu kegiatan pemisahan mineral berharga (emas) dari


mineral pengotornya melalui media air dan dulang (berbentuk kuali/wajan).
3
http://www.majalahtambang.com/detail_berita.php?category=1&newsnr=810
(diunduh pada tanggal 19 November 2008)
4
Lihat UU No. 29 tahun 2003 tentang pembentukan Kabupaten Bombana,
Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Kolaka Utara.

BAB I - KEGIATAN MASYARAKAT YANG MENAMBANG di BOMBANA:


persoalan dan pemikiran ke depan dalam pertambangan rakyat

tidak lazim dan memerlukan penjelasan geologis yang


khusus.
Tersebarnya berita penemuan emas di Bombana
telah menyebabkan sejumlah persoalan bagi pemerintah dan
masyarakat setempat, mulai dari persoalan sosial budaya,
ekonomi dan politik hingga persoalan lingkungan.
Hal ini disebabkan karena masyarakat Bombana yang
pada dasarnya adalah petani tiba-tiba dihadapkan dengan
maraknya kegiatan pertambangan yang kondisinya sangat
berbeda dengan lingkungan pertanian.5 Sungai-sungai di
kawasan ini yang lebih bersifat intermittent (hanya berair
pada musim hujan) dan selama ini sepi serta tidak menarik,
tiba-tiba menjadi ramai dan hiruk pikuk oleh aktivitas
masyarakat yang menambang.6 Lahan kebun masyarakat di
sepanjang tepi sungai berubah menjadi objek sewa menyewa
dalam perburuan emas dan akhirnya menyisakan kerusakan
lahan yang serius. Bagi masyarakat lokal, besarnya
penghasilan yang dapat diperoleh dari kegiatan menambang
emas tersebut adalah sebuah harapan untuk mengubah
nasib mereka dan keluar dari persoalan kemiskinan yang
membelit. Bukti yang terlihat dari besarnya hasil
pendulangan yang diperoleh setiap hari merupakan alasan

Lihat Bab III.


Emas di Bombana dikategorikan sebagai endapan emas sekunder atau letakan
(placer) yang terdapat di dalam endapan sungai purba yang biasanya terkonsentrasi
pada bagian-bagian tertentu alur sungai purba tersebut. Dengan demikian
penggalian yang dilakukan oleh masyarakat selalu diarahkan untuk mencari pasir
endapan sungai purba yang biasanya terdapat pada kedalaman yang relatif dangkal
(3-6 meter).
6

BAB I - KEGIATAN MASYARAKAT YANG MENAMBANG DI BOMBANA:


Persoalan dan Pemikiran Ke depan dalam Pertambangan Rakyat

utama yang menyebabkan banyak diantara


masyarakat lokal meninggalkan profesinya.7

warga

Sebagian besar dari mereka adalah petani yang


memang tidak dapat melakukan kegiatan pertanian
sepanjang tahun, baik karena ketiadaan irigasi untuk
persawahan sehingga mereka sangat tergantung pada musim
hujan, maupun karena kebun yang mereka miliki (jambu
mente, coklat) tidak terlalu memerlukan perawatan hingga
datangnya masa panen.8 Alih profesi dari kalangan petani
tersebut dapat dikatakan tidak membawa dampak yang
signifikan bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat karena
mereka tidak terkait langsung dengan aktivitas publik.
Namun demikian, alih profesi akibat gemerlapnya hasil
pertambangan tersebut juga terjadi pada tenaga kerja yang
langsung terkait dengan pemenuhan kebutuhan umum,
antara lain seperti buruh, nelayan, pelaku transportasi dan
pedagang sembako. Beralihnya mereka semua dari profesi
aslinya telah menyebabkan kelangkaan tenaga kerja buruh
sehingga banyak kegiatan pembangunan yang terbengkalai.9
Ikan menjadi langka di pasar karena nelayan tidak lagi
melaut, melainkan berduyun-duyun pergi ke tambang.
Transportasi laut terganggu karena pemilik kapal menjual
7

Pada awal ditemukannya emas di Bombana, para pendulang di Sungai Tahi Ite
dapat memperoleh emas rata-rata antara 10 hingga 50 gram, namun setelah
semakin banyaknya penambang yang ikut mendulang, penghasilan mereka menurun
hingga rata-rata 1 hingga 5 gram. Ketika kemudian, terjadi penggunaan mesin dalam
proses penggalian maka pendapatan mereka yang mendulang semakin kecil hingga
rata-rata kurang dari 0.5 gram.
8
Lihat BPS, Bombana dalam Angka tahun 2008, Rumbia, 2009.
9
Hasil wawancara dengan masyarakat pengusaha hotel di Kasipute dan aparat
pemerintah Kabupaten Bombana, bulan Agustus 2009.

BAB I - KEGIATAN MASYARAKAT YANG MENAMBANG di BOMBANA:


persoalan dan pemikiran ke depan dalam pertambangan rakyat

kapalnya dan membawa awak kapalnya untuk menambang10


dan sebagian pedagang juga mengalihkan perhatiannya ke
lokasi penambangan. Semua kelangkaan tersebut berujung
pada naiknya harga-harga sembako di Kabupaten Bombana,
sehingga menambah beban hidup masyarakat. Kondisi ini
menyebabkan masyarakat lokal yang tadinya tidak tertarik
untuk ikut melakukan penambangan menjadi tidak memiliki
pilihan lain selain ikut terlibat dalam aktivitas tersebut untuk
memenuhi kebutuhan hidup mereka. Semua masyarakat
lokal tersebut di atas pada dasarnya bukan penambang dan
mereka belajar bagaimana caranya menambang dari para
pendatang yang pada umumnya memang sudah berprofesi
sebagai penambang (yaitu mereka yang melihat tidak ada
profesi lain yang lebih mereka minati selain menambang).
Bagi para pendatang ini, menambang bukan hanya
lagi sebagai sebuah pekerjaan, tetapi sudah menjadi profesi
bahkan hidup mereka, yaitu hidup yang mereka jalani dari
satu tempat ke tempat lain untuk melakukan penambangan.
Namun tidak demikian halnya bagi masyarakat lokal yang
berakar pada budaya tani, kondisi yang mereka hadapi telah
memaksa mereka untuk terlibat dalam kegiatan tersebut,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Mereka tidak
punya pilihan lain karena perubahan kondisi telah mengubah
suasana kehidupan mereka menjadi sangat berbeda. Hargaharga berbagai bahan keperluan hidup meningkat dan setiap
hari mereka disuguhi dengan informasi penghasilan instan
yang begitu menggoda, sehingga pada akhirnya banyak
10

Hasil wawancara dengan penambang yang tadinya adalah pengusaha transportasi


laut di lokasi penambangan sungai Tahi Ite, pada tanggal 10 Juli 2009.

BAB I - KEGIATAN MASYARAKAT YANG MENAMBANG DI BOMBANA:


Persoalan dan Pemikiran Ke depan dalam Pertambangan Rakyat

warga masyarakat lokal yang juga ikut melakukan kegiatan


penambangan walau miskin pengalaman.
Sementara itu pada sisi lain, pemerintah kabupaten
Bombana yang pada awalnya begitu pro rakyat dalam
merespon keberadaan penambangan di wilayah mereka,
namun kemudian menyadari bahwa mengelola kegiatan
masyarakat yang menambang bukanlah hal yang sederhana
dan dapat berdampak sangat fatal bagi kelestarian
lingkungan. Hal ini terlihat dari berbagai kebijakan yang
diambil pemerintah kabupaten yang mencerminkan cara
pandang yang parsial dan kurangnya pengalaman dalam
menangani kegiatan pertambangan.11 Misalnya, kebijakan
penerbitan Kartu Izin Masuk Penambangan (KIMP) bagi para
penambang jelas tidak selaras dengan UU No.11 tahun 1967
dan UU No. 4 tahun 2009 yang mengharuskan adanya Izin
Pertambangan Rakyat (IPR) bagi kegiatan masyarakat
tersebut. Demikian juga halnya dalam penerbitan Peraturan
Bupati No. 7 tahun 2008 tentang Pedoman Pengelolaan
Pertambangan Rakyat Bahan Galian Strategis dan Vital
(Golongan A dan B) serta penerbitan Peraturan Daerah
(Perda) Kabupaten Bombana No. 20 tahun 2008 tentang
Pengelolaan Pertambangan Rakyat Bahan Galian Strategis
dan Vital (Gol. A dan B) dalam Daerah, belum
memperhatikan peraturan perundang-undangan yang
berlaku tentang kehutanan. Seiring dengan semakin
parahnya degradasi lingkungan yang terjadi, akhirnya
pemerintah kabupaten meralat kebijakan pro rakyat yang
selama ini didengungkan dan menutup kegiatan masyarakat
11

Penjelasan lebih detil ada di Bab II

BAB I - KEGIATAN MASYARAKAT YANG MENAMBANG di BOMBANA:


persoalan dan pemikiran ke depan dalam pertambangan rakyat

tersebut serta menyerahkan pengelolaan potensi bahan


tambang emas tersebut kepada investor. Persoalan
sepertinya belum selesai, karena lahan tambang yang
diserahkan kepada para investor tersebut, sebagian besar
telah rusak akibat aktivitas masyarakat sebelumnya sehingga
terbuka kemungkinan bagi para investor tersebut untuk
berkelit dalam proses rehabilitasinya kelak.

Persoalan pada Kegiatan Rakyat yang Menambang


Bercermin pada fenomena yang terjadi di Bombana, seperti
diuraikan di atas, maka dalam menyoroti dan membahas
berbagai persoalan yang timbul akibat kegiatan rakyat atau
masyarakat yang menambang, perlu diperoleh terlebih
dahulu gambaran atau potret kegiatan tersebut yang terjadi
baik di Indonesia khususnya maupun di dunia pada
umumnya. Setelah itu, barulah berbagai persoalan yang
terjadi pada kegiatan masyarakat yang menambang dapat
dipahami dan dibahas secara efektif.

Potret Kegiatan Masyarakat yang Menambang


Terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara istilah
Pertambangan Rakyat (PR) dengan Masyarakat yang
Menambang (MM). Definisi dan pengertian PR dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku, adalah sebuah
fenomena yang menggambarkan aktivitas masyarakat lokal
secara legal untuk mendapatkan penghasilan dengan
melakukan penambangan dengan peralatan yang sederhana,
terutama untuk komoditi yang mudah diperoleh atau
dieksploitasi, untuk penghidupan sendiri. Hal senada juga

10

BAB I - KEGIATAN MASYARAKAT YANG MENAMBANG DI BOMBANA:


Persoalan dan Pemikiran Ke depan dalam Pertambangan Rakyat

tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang


memuat klausul tentang PR.12 Namun dalam pengertian yang
berkembang secara umum di masyarakat, telah terjadi
distorsi makna dalam terminologi ini yang menganggap
bahwa semua kegiatan penambangan yang dilakukan oleh
warga masyarakat tanpa melihat sifat dan karakternya,
langsung digolongkan sebagai PR. Oleh karena itu, kegiatan
MM saat ini yang umumnya masih bersifat ilegal,
sesungguhnya tidak dapat disebut atau disamakan dengan PR
seperti yang dimaksud dalam peraturan perundangundangan yang berlaku. Walaupun kegiatan tersebut di
tengah masyarakat tetap saja dikenal dengan sebutan
kegiatan pertambangan rakyat, namun dalam tulisan ini
kegiatan tersebut disebut sebagai kegiatan MM. Masih
ilegalnya kegiatan MM di Indonesia pada dasarnya
disebabkan oleh masih lemahnya peraturan perundangundangan yang mengatur tentang PR di negeri ini (termasuk
penegakan hukumnya), yang kemungkinan besar salah
satunya disebabkan karena kecilnya potensi ekonomi untuk
pemasukan negara dari sektor ini.
Kegiatan MM adalah fenomena yang dapat ditemui
hampir di seluruh wilayah tanah air, terutama di daerah
bekas tempat beroperasinya perusahaan tambang Belanda
pada masa lalu seperti di Lebong Tandai, Bengkulu atau
bekas wilayah konsesi perusahaan pertambangan yang sudah
ditinggalkan pada era setelah kemerdekaan seperti di
12

Definisi tentang PR ini dapat dilihat dalam UU No. 11 tahun 1967 dan Peraturan
Pemerintah (PP) serta Peraturan Menteri (PerMen) turunannya hingga UU No. 4
tahun 2009.

BAB I - KEGIATAN MASYARAKAT YANG MENAMBANG di BOMBANA:


persoalan dan pemikiran ke depan dalam pertambangan rakyat

11

Hampalit, Kalimantan Tengah.13 Oleh karena itu,


berlangsungnya kegiatan MM di Bombana yang tidak punya
sejarah pertambangan seperti tempat-tempat di atas,
merupakan suatu fenomena yang tidak lazim, apalagi wilayah
ini secara konsep geologi klasik tidak memiliki potensi untuk
membentuk cebakan emas. Penemuan emas di Bombana
dapat dikatakan terjadi secara tidak sengaja, karena warga
masyarakat yang menemukan tersebut hanya mencoba
melakukan pendulangan tanpa didasari suatu konsep ilmiah
apapun, yang biasa dilakukan oleh semua masyarakat yang
menambang.
Tetap berlangsungnya kegiatan masyarakat yang
menambang ini secara terus menerus dan cenderung turun
temurun, setidaknya disebabkan oleh dua aspek. Pertama,
sifat kegiatan tersebut yang dapat menghasilkan uang secara
cepat (instant money) dan kadangkala dalam jumlah yang
cukup signifikan sehingga selalu menimbulkan harapan bagi
mereka yang ingin mengubah nasibnya dengan cepat. Kedua,
kegiatan tersebut tidak memerlukan pengetahuan dan
keahlian yang tinggi, tetapi lebih berdasarkan pengalaman
dengan bermodalkan tenaga dan keberanian, sehingga
menjadi salah satu pilihan yang sangat menarik untuk
dijadikan mata pencaharian, terutama bagi mereka yang
berpendidikan terbatas dan memiliki kondisi fisik yang cukup
kuat.
Walaupun kegiatan MM ini, pada satu sisi telah
menimbulkan banyak kerugian, baik nyawa, ekonomi serta
13

Lihat Iskandar Zulkarnain dkk., Peran dan Dinamika Pertambangan Rakyat di


Indonesia, Program Kompetitif LIPI, Jakarta, 2007, hlm 83-184.

12

BAB I - KEGIATAN MASYARAKAT YANG MENAMBANG DI BOMBANA:


Persoalan dan Pemikiran Ke depan dalam Pertambangan Rakyat

lingkungan, tetapi pada sisi lain ternyata umumnya juga


belum mampu menyejahterakan masyarakat penambang
secara signifikan. Hal ini terlihat di hampir semua lokasi
tempat masyarakat melakukan penambangan, mulai dari
Sumatera di wilayah barat hingga Papua di wilayah timur.
Memang terdapat sejumlah kecil penambang yang
menunjukkan kenaikan tingkat kesejahteraan yang cukup
mencolok, karena lobang galian atau hasil yang mereka
peroleh pada suatu ketika (dalam rentang waktu yang
pendek atau hanya beberapa minggu waktu produksi) sangat
besar, tetapi kemudian masa panen tersebut akan berakhir
dan hasil yang sudah diperoleh tersebut perlahan-lahan akan
kembali habis dipergunakan untuk memodali usaha mereka
menggali pada lobang-lobang yang baru.14 Siklus ini terus
terjadi dan berlangsung karena masyarakat penambang
tersebut pada umumnya tidak memiliki keahlian dan
kemampuan dalam melakukan eksplorasi sehingga usaha
mereka yang menyedot biaya besar tersebut hanya
dilandaskan pada insting dan pengalaman belaka yang pada
ujungnya menghabiskan modal ekonomi mereka.
Kegiatan penuh spekulasi itu ternyata tetap
dilakonkan oleh para penambang sejak ratusan tahun yang
lalu karena harapan yang selalu mereka bangun dalam diri
mereka, bahwa suatu saat mereka akan dapat menemukan
hasil yang akan membuat mereka memiliki banyak uang.
Kondisi tersebut sesungguhnya menunjukkan bahwa bagi
para penambang kegiatan menambang tersebut bukan lagi
14

Ibid

BAB I - KEGIATAN MASYARAKAT YANG MENAMBANG di BOMBANA:


persoalan dan pemikiran ke depan dalam pertambangan rakyat

13

hanya sekedar mencari penghidupan secara logis, tetapi


sudah menjadi jalan kehidupan bagi mereka karena disana
ada harapan yang tidak pernah padam walau seringkali apa
yang mereka lakukan itu sudah tidak lagi dapat dianggap
sebagai sesuatu yang rasional.15 Hal ini terlihat dari tingkat
mobilitas mereka yang tinggi dan kesiapan mereka
menanggung resiko. Mereka rela meninggalkan keluarga
mereka selama berbulan-bulan untuk datang ke daerah asing
untuk melakukan penambangan walau tidak ada jaminan
akan berhasil. Oleh karena itu, kita akan dapat menemukan
orang-orang yang berasal dari wilayah barat Indonesia
seperti Bengkulu, Tasikmalaya, Garut, Lumajang, Pacitan dan
lainnya sedang berbaur melakukan penambangan di Maluku
atau di Sulawesi dengan penduduk setempat atau dengan
rekan mereka yang berasal dari Gorontalo, Manado ataupun
Halmahera.16 Hal yang sama juga bisa ditemui di pulau
Bangka, bagaimana orang-orang dari Palembang, Lampung
maupun Kabaena berbaur dengan penduduk lokal dalam
melakukan penambangan timah yang dikenal dengan
sebutan Tambang Inkonvensional (TI).17 Bagi sebagian
mereka, menambang mungkin merupakan pilihan sementara
akibat tekanan ekonomi, tapi bagi sebagian lainnya kegiatan
15

Apa yang dilakukan para penambang tersebut nyaris dapat dikatakan tidak
rasional karena data observasi di lapangan menunjukkan bahwa dalam rentang
waktu penambangan yang bertahun-tahun, mereka memperoleh hasil yang banyak
hanya dalam waktu tidak lebih dari dua bulan. Seringkali dalam setahun tidak
sekalipun mereka memperoleh hasil yang memadai, sementara biaya yang harus
mereka keluarkan semakin mahal dengan bertambah dalamnya lobang galian.
16
Lihat Iskandar Zulkarnain dkk., Ibid, 2007.
17
Lihat Iskandar Zulkarnain dkk., Konflik di Kawasan Pertambangan Timah Bangka
Belitung; Persoalan dan Alternatif Solusi, Program Kompetitif LIPI, Jakarta, 2005,
hlm. 78-88.

14

BAB I - KEGIATAN MASYARAKAT YANG MENAMBANG DI BOMBANA:


Persoalan dan Pemikiran Ke depan dalam Pertambangan Rakyat

tersebut memang merupakan hidup mereka yang mereka


nikmati dan jalani sepanjang kehidupan mereka.
Kondisi ekonomi penambang yang sangat terbatas,
sebenarnya merupakan faktor yang dapat menghentikan
kegiatan tersebut, karena dengan sifat kegiatan yang
spekulatif itu, maka sudah bisa dipastikan modal mereka
akan segera habis sebelum memperoleh hasil. Namun
adanya aktor lain, yakni pemodal, yang juga memiliki cara
pandang yang mirip dengan para penambang tersebut dan
mereka memiliki kemampuan ekonomi yang kuat,
menyebabkan kegiatan ini terus berlanjut karena terjadinya
suatu simbiose mutualistis (kerjasama yang saling
menguntungkan) antara keduanya.18 Kerjasama antara kedua
pihak ini, yakni penambang dan pemodal dapat dijumpai di
setiap lokasi penambangan masyarakat di seluruh
Indonesia.19 Sulit untuk dikatakan siapa yang tergantung
pada siapa, karena pada satu sisi, jelas para penambang
tergantung pada pemodal untuk dapat melanjutkan usaha
mereka, namun di sisi lain para pemodal juga tergantung
pada penambang karena mereka mengharapkan hasil dari
kegiatan penambangan tersebut. Tidak jarang para pemodal
ini kehilangan uang modal mereka dalam jumlah besar
karena kegiatan penambangan tersebut tidak berhasil,
sementara itu mereka tidak dapat menuntut kerugian
18

Cara pandang para penambang dengan pemodal bisa dikatakan sama karena
mereka sama-sama menyimpan harapan yang besar untuk memperoleh hasil dan
sangat berani berspekulasi. Sangat sering terjadi penambang dan pemodal
menghabiskan modal hingga ratusan juta rupiah tanpa hasil tetapi mereka tidak
mengalami depresi seperti layaknya masyarakat umum.
19
Lihat Iskandar Zulkarnain dkk., Ibid, 2007.

BAB I - KEGIATAN MASYARAKAT YANG MENAMBANG di BOMBANA:


persoalan dan pemikiran ke depan dalam pertambangan rakyat

15

tersebut dari para penambang yang nyata-nyata tidak


memiliki uang atau modal.20
Oleh karena itu, kegiatan penambangan tersebut
hanya akan dapat meningkatkan kesejahteraan para
pelakunya, bila pemerintah setempat mengatur kegiatan
tersebut sebagai sebuah kebijakan untuk memberdayakan
masyarakatnya, atau bila tidak, pemerintah dapat
menghentikan kegiatan tersebut agar tidak merusak
lingkungan. Namun hingga saat ini pemerintah tampaknya
belum memberikan perhatian yang cukup memadai terhadap
persoalan tersebut walaupun kegiatan ini dapat ditemui
hampir di seluruh wilayah tanah air. Hal ini antara lain
disebabkan oleh karena pemerintah belum mampu
menyediakan pekerjaan pengganti dan karena belum adanya
acuan yang bisa dijadikan landasan dalam mengelola
pertambangan rakyat.21
Secara umum, kegiatan MM di suatu lokasi hampir
selalu dimotori oleh para penambang pendatang yang
merupakan komunitas penambang turun temurun. Mobilitas
mereka sangat tinggi dan hampir selalu berpindah-pindah
menuju lokasi yang lebih menjanjikan.22 Oleh karena itu,
budaya mereka menjadi sangat cair sehingga mereka dapat
bekerja dengan siapa saja dalam satu kelompok (jumlah
anggota kelompok mereka juga beragam, mulai dari tiga
orang hingga lebih dari 10 orang) tanpa melihat suku dan
daerah asal. Budaya seperti inilah agaknya yang
20

Ibid.
Ibid.
22
Ibid.
21

16

BAB I - KEGIATAN MASYARAKAT YANG MENAMBANG DI BOMBANA:


Persoalan dan Pemikiran Ke depan dalam Pertambangan Rakyat

menyebabkan
lemahnya
ikatan
emosional
(rasa
kesetiakawanan dan kepedulian) diantara mereka dan
rendahnya tanggungjawab terhadap dampak negatif yang
timbul dari aktifitas mereka.23 Hal ini sepertinya juga dipicu
oleh rendahnya kualitas komunikasi antara mereka dengan
masyarakat lokal karena pada umumnya lokasi
penambangan, tempat mereka juga tinggal, berada jauh dari
perkampungan. Kondisi tersebut menyebabkan mereka
merasa tidak perlu memperhatikan lingkungan di lokasi
penambangan karena tidak bersentuhan langsung dengan
masyarakat setempat. Sikap ini memperoleh jalan
pembenaran ketika sikap yang sama juga ditunjukkan oleh
masyarakat lokal yang ikut melakukan penambangan.
Dari sisi keahlian serta Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (K3), kegiatan MM menunjukkan tingkat keahlian dan
K3 yang rendah. Mereka melaksanakan kegiatan pencarian
sumber daya tambang hanya berdasarkan pengalaman tanpa
dilandasi pengetahuan eksplorasi yang memadai sehingga
lebih banyak menimbulkan kerugian ekonomi bagi mereka
sendiri (tidak memperoleh hasil) dan kerugian lingkungan.24
Sementara itu, dalam melakukan penggalian untuk
mendapatkan komoditi yang dicari, mereka cenderung
23

Rendahnya ikatan emosional terhadap sesama penambang terlihat dari sikap


mereka yang dingin ketika menceritakan adanya penambang lain yang tertimbun
dan meninggal tanpa ada upaya untuk mengeluarkan jasad korban dari bawah
timbunan tersebut. Bahkan ada penambang yang menggali dan mengenai bagian
jasad mayat sehingga mengeluarkan darah, tetapi kemudian mereka timbun kembali
tanpa adanya keinginan untuk mengevakuasi korban. Hasil wawancara dengan
penambang emas di lokasi SP8, kecamatan Wumbubangka, kabupaten Bombana,
bulan Desember 2008.
24
Lihat Iskandar Zulkarnain dkk, Potensi Konflik di Kawasan Pertambangan: Kasus
Pongkor dan Cikotok, Jakarta: LIPI, 2003, hlm. 108-124.

BAB I - KEGIATAN MASYARAKAT YANG MENAMBANG di BOMBANA:


persoalan dan pemikiran ke depan dalam pertambangan rakyat

17

kurang memperhatikan K3, sehingga banyak diantara mereka


yang terkena penyakit tuberculose (TBC) ataupun penyakit
saraf dengan gejala tremor akibat keracunan merkuri serta
banyak juga yang tewas karena tertimbun di lobang galian
mereka sendiri.25
Lebih jauh lagi, potret MM di Indonesia juga tidak
dapat dilepaskan dari tumbuhnya bibit-bibit konflik antara
para penambang dengan masyarakat lokal akibat terjadinya
benturan nilai-nilai yang dianut masyarakat setempat dengan
norma kehidupan yang dibawa oleh para penambang.
Hampir seluruh lokasi kegiatan MM di Indonesia tumbuh
menjadi pusat jual beli, mulai dari bahan kebutuhan hidup,
kebutuhan penambangan hingga komoditi hiburan seperti
minuman keras dan prostitusi. Kedua hal yang terakhir
tersebut yang pada umumnya menimbulkan potensi konflik
yang lebih tinggi antara para penambang dengan masyarakat
setempat.
Dari potret kegiatan MM yang diuraikan di atas,
maka secara umum dapat dikatakan bahwa, persoalan pada
kegiatan MM dapat dicermati dari dua aspek yang berbeda,
yakni dari aspek kebijakan pemerintah termasuk peraturan
perundang-undangan dan pada aspek operasional
penambangan dan dampaknya.

25

Lihat Iskandar Zulkarnain dkk., Ibid, 2007, hlm. 126-127 dan hasil wawancara
dengan penambang emas di SP8, kecamatan Wumbubangka, kabupaten Bombana,
Sultra pada Desember 2008.

18

BAB I - KEGIATAN MASYARAKAT YANG MENAMBANG DI BOMBANA:


Persoalan dan Pemikiran Ke depan dalam Pertambangan Rakyat

Persoalan MM pada Aspek Kebijakan Pemerintah


Seperti telah disinggung sebelumnya, bahwa hingga saat ini
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
kegiatan PR masih bersifat normatif dan belum
implementatif, baik pada level PP apalagi pada tataran UU.
Kalaupun ada yang mencoba mengatur hingga tingkat
operasional seperti pada UU No.4 tahun 2009 tentang
Mineral dan Batubara, namun aturan-aturan tersebut masih
memperlakukan PR sama dengan perusahaan-perusahaan
pertambangan komersil, terutama dalam hal kewajibankewajiban yang harus dipenuhi. Kondisi ini jelas sulit untuk
dipenuhi oleh PR karena mereka memiliki sumber daya yang
semuanya sangat terbatas dan kegiatan mereka tidak bersifat
komersil. Akibatnya, kegiatan MM yang berlangsung hingga
saat ini umumnya masih bersifat ilegal dan tidak dapat
disebut sebagai PR seperti yang diatur oleh peraturan
perundang-undangan. Namun demikian, keyataannya
kegiatan tersebut masih terus berlangsung, dan hal ini antara
lain karena ketidakmampuan pemerintah menyediakan
pekerjaan alternatif bagi para penambang dan juga karena
belum adanya model pengelolaan PR yang sukses dan dapat
dijadikan rujukan oleh pemerintah setempat.26
Persoalan pada tataran kebijakan pemerintah ini juga
tercermin dalam inkonsistensi definisi atau terminologi yang
dipakai dalam berbagai peraturan yang diterbitkan sehingga
26

Walaupun sejumlah kabupaten telah memiliki Perda untuk mengatur kegiatan PR


namun mereka belum berani mengimplementasikannya karena belum adanya
contoh sukses yang dapat diacu, seperti yang terjadi di Kabupaten Halmahera Utara.
Iskandar Zulkarnain dkk.,Ibid, 2007, hlm. 141.

BAB I - KEGIATAN MASYARAKAT YANG MENAMBANG di BOMBANA:


persoalan dan pemikiran ke depan dalam pertambangan rakyat

19

seringkali menimbulkan kerancuan makna, misalnya antara


PR dengan Pertambangan Skala Kecil (TSK).
Terminologi Pertambangan Rakyat
Terminologi PR hanya dikenal di Indonesia dan tidak
digunakan dalam lingkup regional apalagi global. Di
dunia internasional, kegiatan pertambangan rakyat
diekspresikan dengan sebutan artisanal (pendulangan)
dan atau Small Scale Mining (SSM atau TSK). Kedua
peristilahan tersebut pada dasarnya juga tidak berada
pada level atau hirarki pengertian yang sama, karena
artisanal hanya menunjukkan sebuah kegiatan secara
deskriptif yakni suatu aktivitas pendulangan tanpa
adanya gambaran informasi lainnya tentang siapa yang
melakukannya, bagaimana dan dimana melakukannya,
prosedur dan peralatan yang digunakan, apalagi
tentang organisasi dan mekanisme yang mengatur
kegiatan tersebut. Sementara itu, istilah SSM atau TSK
memiliki pengertian yang melekat padanya sebagai
sebuah kegiatan penambangan yang memenuhi
kaidah-kaidah penambangan yang baik dan benar dan
dalam skala yang terbatas atau kecil, baik dalam modal
yang dimiliki, jumlah tenaga kerja yang terlibat
maupun jumlah produksi yang dihasilkan. Kegiatan
SSM atau TSK ini diatur dengan jelas dan rinci dalam
peraturan perundang-undangan di negara-negara lain,
seperti di Zimbabwe, Afrika Selatan, Bolivia dan
Filipina.27 Sedangkan di Indonesia, aturan-aturan yang
diterbitkan tentang kegiatan TSK tersebut masih belum
27

Ibid., hlm. 229

20

BAB I - KEGIATAN MASYARAKAT YANG MENAMBANG DI BOMBANA:


Persoalan dan Pemikiran Ke depan dalam Pertambangan Rakyat

ada, walaupun istilah TSK tersebut telah diperkenalkan


sejak tahun 1986 namun belum diakomodir secara
spesifik dalam berbagai peraturan perundangundangan yang sudah diterbitkan hingga saat ini.28
Terminologi PR ini juga sesungguhnya keluar
dari aturan umum tata bahasa Indonesia karena bila
dianalogikan dengan kata pertambangan emas yang
berarti aktivitas penambangan untuk memperoleh
emas, maka pertambangan rakyat bukan berarti
aktivitas penambangan untuk memperoleh rakyat
tetapi bermakna aktivitas penambangan yang
dilakukan oleh rakyat. Dalam hal ini, terminologi PR
tersebut merupakan sebuah idiom, atau sebuah
terminologi yang keluar dari ketentuan bahasa yang
umum.
Di kalangan masyarakat luas, seringkali terjadi
pemahaman yang bias tentang PR. Pertambangan
Rakyat yang bersifat legal dan memiliki sejumlah hak
dan kewajiban dalam kegiatannya, seringkali
disamakan dengan kegiatan rakyat yang menambang
walaupun berstatus ilegal, karena hanya dilihat
pelakunya saja, yaitu rakyat. Lebih jauh lagi, karena
sifat kegiatan masyarakat tersebut itu ilegal, maka
seringkali PR juga disamakan dengan kegiatan
masyarakat yang sering dikenal dengan sebutan
Penambangan Tanpa Ijin (PETI)29. Namun kemudian,
28

Ibid., hlm.44
Istilah PETI pada awalnya ditujukan hanya kepada para penambang yang
melakukan penambangan komoditi emas, dan karena status mereka yang umumnya
29

BAB I - KEGIATAN MASYARAKAT YANG MENAMBANG di BOMBANA:


persoalan dan pemikiran ke depan dalam pertambangan rakyat

21

terjadi distorsi pengertian dalam terminologi PETI itu


sendiri ketika istilah tersebut lebih ditekankan pada
aspek ilegalnya tanpa melihat siapa pelakunya, apa
teknologi yang dipergunakan dan berapa besarnya
modal yang ditanamkan. Akibatnya, istilah PETI tidak
lagi identik dengan kegiatan masyarakat yang
menambang tanpa izin, tetapi digunakan untuk semua
kegiatan penambangan yang dilakukan tanpa izin oleh
siapapun.30
Pertambangan Rakyat yang sebenarnya,
seperti yang tercantum dalam UU No.11 tahun 1967,
didefinisikan sebagai suatu kegiatan penggalian atau
penambangan yang dilakukan oleh masyarakat dengan
menggunakan peralatan atau teknologi sederhana
untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Lebih
tepatnya pada pasal 2 UU tersebut di atas disebutkan:
yang dimaksud dengan Pertambangan Rakyat
adalah suatu usaha pertambangan bahan-bahan
galian dari semua golongan A,B dan C yang
dilakukan oleh rakyat setempat secara kecil-

illegal maka disebut Penambang Emas Tanpa Ijin atau PETI. Namun kemudian istilah
PETI dipakai untuk seluruh penambangan tanpa ijin dengan tidak melihat lagi
kepada komoditi yang ditambang. Lihat Iskandar Zulkarnain dkk., Ibid, 2003, hlm 1820.
30
Sebagai ilustrasi, pada era sebelum tahun 2006 kegiatan PETI sangat marak di
kawasan penambangan batubara di Kalimantan Selatan. PETI dalam kasus ini dapat
dibedakan menjadi tiga kategori, yakni: (i) PETI berupa perusahaan yang melakukan
penambangan tetapi tidak memiliki Kuasa Penambangan (KP); (ii) PETI berupa
perusahaan yang memiliki KP tetapi menambang di luar wilayah KP nya dan (iii)
Masyarakat pemilik lahan yang menambang secara illegal dengan bekerjasama
dengan pemodal.

22

BAB I - KEGIATAN MASYARAKAT YANG MENAMBANG DI BOMBANA:


Persoalan dan Pemikiran Ke depan dalam Pertambangan Rakyat

kecilan atau secara gotong royong dengan alat


sederhana untuk pencaharian sendiri.
Dengan demikian kegiatan penambangan yang
menggunakan teknologi tinggi dengan melibatkan
modal yang besar dan bertujuan komersil tidak
termasuk ke dalam batasan kegiatan pertambangan
rakyat.
Terlepas dari berbagai hal di atas, terminologi
PR juga mengundang perdebatan dalam konteks
penggunaan kata pertambangan. Secara umum
kegiatan pertambangan bermakna sebagai suatu
rangkaian proses penambangan yang mencakup
kegiatan penggalian komoditi tambang dari dalam
bumi, pengangkutan, pemurnian hingga penjualan
produk.31 Dengan demikian, kegiatan pertambangan
rakyat yang hanya berfokus pada kegiatan penggalian,
menurut kalangan ini belum dapat disebut sebagai
suatu kegiatan penambangan.
Sementara itu, UU No.4 tahun 2009 tentang
Mineral dan Batubara menegaskan bahwa ruang
lingkup PR tidak hanya menyangkut pertambangan
logam saja, tetapi juga bahan tambang non-logam dan
batuan,32 namun UU tersebut tidak memuat batasan
31

Lihat ibid, 2003, hlm. 18.


Pada UU No. 11 tahun 1967, bahan galian tambang dibagi menjadi tiga Golongan,
yakni Golongan A, B dan C yang mengklasifikasikan minyak bumi, gas alam, aspal,
batubara, nikel, timah putih dan uranium sebagai bahan galian strategis yang
disebut Golongan A, sedangkan besi, bauksit, tembaga, seng, emas, platina, perak
dan intan dimasukkan ke dalam Golongan B sebagai bahan galian vital dan Golongan
C disebut sebagai mineral industri dan terdiri dari batu permata, pasir kuarsa,
32

BAB I - KEGIATAN MASYARAKAT YANG MENAMBANG di BOMBANA:


persoalan dan pemikiran ke depan dalam pertambangan rakyat

23

atau definisi PR. Hal ini dapat dimengerti karena


terminologi PR yang diacu oleh UU ini didasarkan pada
pelakunya, yakni masyarakat yang umumnya
masyarakat lokal atau rakyat setempat dan skalanya
yang kecil. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
pertambangan rakyat yang dimaksud oleh UU tersebut
dapat disamakan dengan TSK yang konsepnya sudah
dikenal sejak tahun 1986. Dalam konteks ini, usaha
pertambangan tersebut umumnya dijalankan oleh
suatu badan usaha yang berbadan hukum dengan
modal tertentu dan umumnya bertujuan komersil.
Tetapi diperbolehkannya IPR oleh UU ini diberikan
kepada perseorangan dan bukan hanya kepada suatu
badan usaha, akan dapat membuka peluang untuk
tidak tercapainya suatu usaha pertambangan yang baik
dan benar berdasarkan konsep good mining practice.
Hal itu disebabkan lebih sulitnya menuntut
pertanggungjawaban dari perseorangan daripada
perusahaan dalam kewajiban, baik kewajiban ekonomi
(pajak, royalti dan sebagainya) maupun kewajiban
reklamasi. Dengan demikian, UU ini dapat dikatakan
belum mengatur sepenuhnya atau pengaturannya
belum berdasarkan persoalan riil masyarakat yang
menambang
walaupun
telah
menggunakan
terminologi Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR)
untuk wilayah pertambangannya dan menggunakan

marmer, granit, tanah liat dan pasir. Sementara itu, dalam UU No.4 tahun 2009
pembagian ini tidak dipakai lagi dan diubah menjadi Mineral Logam, Non-Logam dan
Batuan.

24

BAB I - KEGIATAN MASYARAKAT YANG MENAMBANG DI BOMBANA:


Persoalan dan Pemikiran Ke depan dalam Pertambangan Rakyat

IPR untuk perizinannya. Persoalan MM pada Aspek


Operasional Penambangan dan Dampaknya
Bila didasarkan pada batasan atau definisi seperti disebutkan
di atas, maka dengan statusnya yang ilegal semua kegiatan
masyarakat yang menambang saat ini tidak dapat
dikategorikan sebagai PR. Namun karena yang melakukannya
adalah masyarakat, maka kegiatan tersebut seringkali di
tengah masyarakat maupun oleh pemerintah disebut sebagai
kegiatan PR sehingga pengertian PR yang sesungguhnya
menjadi kabur.
Berbagai persoalan yang muncul di sekitar kegiatan
masyarakat yang menambang ini dapat dikatakan semuanya
bersumber dari persoalan keilegalan kegiatan tersebut,
karena dengan statusnya yang ilegal, kegiatan itu menjadi
tidak terkontrol atau luput dari pembinaan maupun
pengawasan pemerintah, baik dari aspek kewajiban maupun
hak yang seharusnya dilindungi oleh peraturan yang berlaku.
Bila kegiatan masyarakat yang menambang ini
dicermati dengan seksama pada semua lokasi kegiatan
mereka, maka akan terlihat persoalan-persoalan yang sama
walaupun dengan tingkat intensitas yang beragam.
Persoalan-persoalan tersebut dapat dibedakan menjadi
persoalan sosial budaya, politik dan keamanan, persoalan
kesehatan, kerugian ekonomi serta kerugian lingkungan
(Gambar 1.2). Persoalan-persoalan ini akan mencapai
puncaknya pada kondisi dan waktu tertentu karena tidak
adanya pengaturan dan pengawasan oleh pemerintah
setempat sebagai pemegang otoritas wilayah.

BAB I - KEGIATAN MASYARAKAT YANG MENAMBANG di BOMBANA:


persoalan dan pemikiran ke depan dalam pertambangan rakyat

25

Persoalan sosial budaya yang terjadi di kawasan


masyarakat yang menambang, terutama akan dialami oleh
masyarakat lokal yang pada dasarnya bukan penambang.

Gambar 1. 2. Skema kerugian pada aspek ekonomi, sosial budaya,


politik dan lingkungan akibat berlangsungnya
kegiatan masyarakat yang menambang secara ilegal

Pada umumnya mereka itu adalah petani atau nelayan,


namun kemudian tergiur untuk melakukan penambangan.
Budaya produktif dan kerja keras dalam waktu panjang yang

26

BAB I - KEGIATAN MASYARAKAT YANG MENAMBANG DI BOMBANA:


Persoalan dan Pemikiran Ke depan dalam Pertambangan Rakyat

tertanam dalam diri mereka sebagai petani atau nelayan


secara perlahan tererosi menjadi budaya konsumtif akibat
pola pekerjaan menambang yang cenderung memberikan
penghasilan yang cepat dan relatif lebih banyak. Namun dari
perspektif lain, persoalan budaya juga dapat terjadi pada
masyarakat lokal yang tidak ikut menambang, melalui
interaksi mereka dengan penambang pendatang yang
memiliki budaya beragam dan nilai-nilai yang relatif longgar.
Tidak jarang benturan budaya ini bermuara pada persoalan
rasa aman dan ketegangan sehingga dapat saja berujung
pada konflik fisik berupa kerusuhan, seperti yang terjadi
antara penduduk setempat dengan penambang pendatang di
desa Cisarua, Pongkor sekitar tahun 1998.33 Pada kondisi
tertentu, seringkali kehadiran penambang pendatang dalam
jumlah banyak di suatu lokasi akan diikuti oleh kehadiran
praktek-praktek prostitusi dan perdagangan minuman keras.
Kondisi tersebut akan dapat mempengaruhi budaya
masyarakat lokal, seperti terjadinya degradasi nilai-nilai
moral dan susila, terutama pada kalangan generasi muda
atau bahkan dapat menimbulkan ketegangan antara
masyarakat lokal yang menentang situasi tersebut dengan
para pendatang di lokasi itu, seperti yang terjadi di lokasi Air
Nona, Koba di pulau Bangka.34

33

Pada waktu itu, timbul ketegangan antara penambang pendatang yang tinggal di
desa tersebut dengan penduduk lokal karena berbagai perbedaan norma dan
perilaku sehingga berujung pada pembakaran sejumlah rumah di desa tersebut oleh
para penambang pendatang. Lihat Iskandar Zulkarnain dkk., Ibid, 2003, hlm. 154157.
34
Lihat Iskandar Zulkarnain dkk., Konflik Timah di Bangka Belitung: Persoalan dan
Alternatif Solusi, Program Kompetitif LIPI, Jakarta, 2005.

BAB I - KEGIATAN MASYARAKAT YANG MENAMBANG di BOMBANA:


persoalan dan pemikiran ke depan dalam pertambangan rakyat

27

Sementara itu, kehadiran para penambang


pendatang di suatu wilayah akan dapat menjadi alat politik
bagi kalangan tertentu untuk memenangkan pertarungan
perebutan kekuasaan di wilayah tersebut, seperti yang
terjadi pada Pilkada Propinsi Kepulauan Bangka Belitung
pada tahun 2007.35 Ketidakpuasan para penambang TI
terhadap Gubernur yang menjabat pada waktu itu telah
memicu penyerangan Kantor Gubernur oleh para
penambang TI pada Agustus 2006 sehingga menjadi isu yang
menguntungkan bagi calon yang lainnya sehingga dapat
memenangkan Pilkada tersebut.
Seperti telah disinggung sebelumnya, kerugian
ekonomi yang dialami oleh negara juga terjadi karena sifat
kegiatan tersebut yang ilegal alias tidak berizin sehingga telah
menyebabkan masyarakat yang melakukan penambangan itu
tidak terikat oleh kewajiban apapun, baik kewajiban ekonomi
berupa pajak-pajak dan royalti terhadap negara maupun
berupa tanggungjawab untuk menjaga kelestarian
lingkungan. Hal tersebut tentu saja menyebabkan negara
kehilangan sumber ekonomi yang seharusnya diterima dari
setiap kegiatan eksploitasi sumber daya tambang di negeri
ini. Kerugian negara dari tidak dibayarkannya pajak-pajak dan
royalti tersebut semakin besar ketika terjadi pemborosan
sumber daya tambang akibat tidak efisiennya teknik
penggalian dan pengolahan yang diterapkan oleh masyarakat
penambang tersebut. Kondisi ini terjadi khusus untuk
penambangan komoditi tertentu yang membutuhkan

35

Ibid.

28

BAB I - KEGIATAN MASYARAKAT YANG MENAMBANG DI BOMBANA:


Persoalan dan Pemikiran Ke depan dalam Pertambangan Rakyat

tahapan eksplorasi untuk menemukannya, seperti emas


primer. Seperti kondisi pada umumnya, masyarakat yang
menambang secara ilegal tersebut tidaklah dibekali dengan
data dan pengetahuan yang memadai karena mereka tidak
memiliki kemampuan, baik secara finansial maupun
pengetahuan untuk melakukan eksplorasi (mencari dan
menemukan bahan galian tambang). Akibatnya, semua
rangkaian proses pencarian sumber daya tambang tersebut
mereka lakukan berdasarkan perkiraan dan pengalaman
semata, sehingga mengakibatkan tidak semua sumber daya
tambang di kawasan tersebut dapat dipastikan telah
terambil, sedangkan kondisi wilayah tersebut sudah menjadi
porak poranda akibat penggalian-penggalian yang tidak
sistematis tersebut. Dengan demikian, sumber daya tambang
yang masih tertinggal di wilayah itu tidak dapat lagi
ditambang secara ekonomis karena kondisi yang sudah rusak
tersebut akan meningkatkan biaya eksploitasi dan kewajiban
reklamasi.
Selain itu, penerapan teknik amalgamasi dalam
proses ekstraksi logam emas oleh para penambang telah
menyebabkan sejumlah komoditi tersebut tertinggal pada
ampas proses itu (disebut tailing), karena tingkat perolehan
proses ini (recovery rate) masih rendah, yakni hanya sekitar
60%. Kedua hal inilah yang dikategorikan sebagai terjadinya
pemborosan sumber daya tambang dan ini merupakan
kerugian bagi negara karena negara kehilangan sumber daya
tambangnya yang seharusnya dapat memberikan
pendapatan atau income kepada negara.

BAB I - KEGIATAN MASYARAKAT YANG MENAMBANG di BOMBANA:


persoalan dan pemikiran ke depan dalam pertambangan rakyat

29

Sementara itu, kerugian ekonomi yang dialami oleh


para penambang akibat sifat aktivitas mereka yang ilegal
berpangkal pada hilangnya peluang untuk mendapatkan
bimbingan dan bantuan dari pemerintah dalam melakukan
eksploitasi sumber daya tambang tersebut. Dengan
demikian, para penambang melakukan kegiatannya hanya
berdasarkan pengetahuan sederhana dan pengalaman yang
mereka miliki yang sudah diwariskan sejak ratusan tahun
yang lalu. Oleh karena itu, seringkali penggalian yang mereka
lakukan tidak mendapatkan hasil seperti yang diharapkan.
Akibatnya jumlah penghasilan yang mereka peroleh tidak
sebanding dengan biaya yang sudah mereka keluarkan untuk
melakukan penggalian tersebut. Selain itu, rendahnya tingkat
perolehan (khususnya logam emas) dari teknik ekstraksi yang
mereka terapkan telah menyebabkan rendahnya kuantitas
emas yang mereka peroleh dari kegiatan tersebut sehingga
membuat penghasilan mereka juga menjadi lebih kecil.
Semua itu merupakan kerugian ekonomi yang menimpa para
penambang itu sendiri.
Hal lain yang merupakan kerugian ekonomi para
penambang adalah keterlibatan mereka dalam kerjasama
dengan para pemodal atau tengkulak atau cukong yang
umumnya merugikan mereka. Sebagai komunitas miskin
yang mencoba memperbaiki kesejahteraannya, tentunya
mereka tidak memiliki uang yang banyak atau modal yang
kuat untuk membiayai kegiatan penambangan mereka.
Akibatnya ketika hasil yang diperoleh tidak mampu menutupi
biaya operasional mereka, maka tiada jalan lain bagi mereka
selain membuat perjanjian kerjasama dengan para pemodal.

30

BAB I - KEGIATAN MASYARAKAT YANG MENAMBANG DI BOMBANA:


Persoalan dan Pemikiran Ke depan dalam Pertambangan Rakyat

Secara umum pola kerjasama tersebut akan memberikan


setengah bagian dari batu atau material yang diperoleh
kepada pemilik modal dan sisanya baru dibagi rata diantara
para penambang. Kemudian batu tersebut harus diproses
dengan menyewa peralatan yang dimiliki sang pemodal dan
hasilnya harus dijual kepada sang pemilik modal dengan
harga yang lebih rendah dari harga pasar. Kondisi ini jelas
sangat merugikan para penambang secara ekonomi pada
satu sisi dan pada sisi lain mereka menjadi tergantung pada
sang pemodal. Namun pernah juga terjadi sang pemodal
menjadi bangkrut karena hasil yang diperoleh penambang
tidak mampu menutupi biaya yang sudah dikeluarkannya.
Dalam hal ini sang pemodal tidak dapat menuntut ganti rugi
dari penambang karena para penambang juga tidak
memperoleh hasil yang berarti.
Pada sisi lain, sifat ilegal kegiatan masyarakat yang
menambang ini juga menimbulkan kerugian lingkungan yang
sangat serius, karena tidak adanya persyaratan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang dipersiapkan
seperti juga rencana reklamasi ataupun kewajiban untuk
menyetor dana jaminan reklamasi. Tidak adanya kajian
AMDAL yang dilakukan mengindikasikan tidak adanya
rencana penambangan yang disusun berdasarkan prinsipprinsip penambangan yang baik dan benar, sehingga sudah
dapat dipastikan bahwa akan terjadi kerusakan lahan yang
serius, baik berupa terjadinya degradasi kualitas lahan (lahan
produktif berubah menjadi hamparan butiran pasir dan
kerikil) maupun berubahnya tata air tanah karena terganggu
dan rusaknya sistem air tanah di wilayah tersebut. Pada

BAB I - KEGIATAN MASYARAKAT YANG MENAMBANG di BOMBANA:


persoalan dan pemikiran ke depan dalam pertambangan rakyat

31

wilayah penambangan masyarakat, khususnya untuk


komoditi emas primer ataupun sekunder, akan banyak
ditemukan lobang-lobang galian tidak berpola atau tidak
beraturan karena sistem penggalian yang bersifat
spekulatif.36 Tidak cukup sampai disitu, proses penambangan
komoditi logam sekunder (seperti emas dan timah) yang
dilakukan dengan menggunakan mesin semprot dan hisap
akan menimbulkan kolam-kolam atau genangan air yang
keruh, hilangnya alur atau badan sungai, meningkatnya
kekeruhan air permukaan dan punahnya biota lokal di sungai
tersebut.37 Akibatnya sungai itu akan kehilangan fungsinya
untuk menopang sistem kehidupan dalam ekosistem wilayah
setempat. Kondisi ini akan memerlukan upaya yang mahal
dan kerja ekstra keras untuk dapat memulihkan keadaan
tersebut sehingga kawasan itu dapat kembali menjadi lahan
produktif dan mampu menopang ekosistem sekitarnya.
Semua kerugian yang diuraikan di atas akan dapat
ditemui di seluruh wilayah Indonesia pada lokasi dimana
terdapat kegiatan masyarakat yang menambang walau
intensitas kerugiannya akan dapat berbeda dari satu tempat
ke tempat lainnya.

36

Untuk endapan emas primer, biasanya para penambang tersebut hanya mengikuti
urat-urat emas yang mereka temukan di permukaan. Bila urat-urat itu menghilang
pada kedalaman tertentu dan mereka tidak tahu lagi kemana urat tersebut
menerusnya, maka mereka akan meninggalkan lobang itu dan menggali lobang baru
di lokasi lain yang mereka perkirakan akan menemukan urat emas lainnya. Jadi,
semua kegiatan penggalian tersebut sangat bersifat spekulatif.
37
Lihat Iskandar Zulkarnain dkk., Konflik Timah di Bangka Belitung: Persoalan dan
Alternatif Solusi, Program Kompetitif LIPI, Jakarta, 2005.

32

BAB I - KEGIATAN MASYARAKAT YANG MENAMBANG DI BOMBANA:


Persoalan dan Pemikiran Ke depan dalam Pertambangan Rakyat

Pemikiran Ke Depan
Persoalan masyarakat yang menambang secara ilegal seperti
diuraikan di atas, hingga saat ini belum mendapatkan
perhatian yang memadai dari pemerintah, baik pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah. Memang adalah suatu
kenyataan bahwa kegiatan tersebut tidak akan pernah
menjanjikan pemasukan yang berarti bagi pemerintah untuk
menambah modal pembangunan fisik dalam lingkup daerah
apalagi nasional. Namun demikian, membiarkan kegiatan
tersebut berlangsung tanpa pengaturan dan penataan yang
efektif dan efisien bukanlah sebuah sikap dan kebijakan yang
tepat dan bijak. Persoalan ini hendaknya dilihat sebagai suatu
tanggungjawab yang diemban oleh pemerintah daerah dalam
memberdayakan masyarakatnya. Fakta hingga saat ini
menunjukkan bahwa keberadaan kegiatan masyarakat yang
menambang tersebut bukanlah sesuatu yang dapat diingkari
terus menerus karena mereka eksis dan kegiatan itu
mendatangkan berbagai kerugian bagi berbagai pihak serta
merupakan persoalan yang sampai saat ini tidak dapat diatasi
oleh pemerintah daerah. Oleh karena itu, diperlukan suatu
political will dari pemerintah untuk mengatur dan menata
kegiatan masyarakat tersebut agar dapat memberikan
manfaat baik bagi negara, masyarakat penambang itu sendiri
maupun masyarakat lokal yang bukan penambang serta
meminimalisir dampak lingkungan yang terjadi.
Untuk mengubah sifat kegiatan masyarakat tersebut
dari yang merugikan menuju ke arah suatu kegiatan yang
bermanfaat ekonomi dan berwawasan lingkungan, maka
pemerintah terkait perlu mengaturnya secara sistematis,

BAB I - KEGIATAN MASYARAKAT YANG MENAMBANG di BOMBANA:


persoalan dan pemikiran ke depan dalam pertambangan rakyat

33

efektif dan efisien dalam sebuah konsep yang komprehensif.


Konsep ini haruslah melibatkan semua pemangku
kepentingan yang terkait dalam kegiatan masyarakat yang
menambang tersebut, yakni pemerintah daerah, masyarakat
penambang dan masyarakat lokal. Pola kegiatan
penambangan yang selama ini dilakukan masyarakat dalam
kelompok kecil, tanpa organisasi, bersifat spekulatif dan
ilegal harus diubah dan diatur secara khusus, sesuai dengan
keterbatasan kemampuan mereka, baik keterbatasan
keahlian maupun finansial. Konsep seperti itu telah
dihasilkan melalui penelitian program kompetitif LIPI pada
tahun 2008.38

Gambar 1. 3. Empat aspek utama dalam Konsep


PR yang harus dilaksanakan secara
simultan
38

Lihat Iskandar Zulkarnain dkk., Konsep Pertambangan Rakyat dalam Kerangka


Pengelolaan Sumber Daya Tambang yang Berkelanjutan, LIPI, Jakarta, 2008.

34

BAB I - KEGIATAN MASYARAKAT YANG MENAMBANG DI BOMBANA:


Persoalan dan Pemikiran Ke depan dalam Pertambangan Rakyat

Berdasarkan konsep tersebut, setidaknya diperlukan


pengaturan dalam empat aspek utama yang harus diterapkan
secara bersamaan dan konsisten, yakni: (1) Aspek Kebijakan;
(2) Aspek Modalitas; (3) Aspek Kelembagaan serta (4) Aspek
Teknologi dan Pengelolaan Lingkungan (Gambar 1.3).
Ke empat aspek tersebut harus diterapkan secara
simultan karena kalau hanya salah satu yang dilaksanakan
maka kegiatan PR tersebut tidak akan memberikan dampak
ekonomi yang optimal ataupun dampak lingkungan yang
minimal.
1. Aspek Kebijakan
Pada aspek kebijakan diperlukan kebijakan yang
komprehensif dari Pemda agar usaha penambangan
yang dilakukan masyarakat tersebut dapat
memberikan penghasilan yang pasti dan memadai
kepada para penambang dan juga semua pemangku
kepentingan terkait, sehingga kegiatan tersebut
cukup layak dijadikan mata pencaharian. Selain itu,
kebijakan tersebut haruslah juga akan dapat
menjamin terlindunginya lingkungan sekitar dari
dampak kerusakan dan pencemaran yang akan
merugikan masyarakat untuk jangka waktu yang
lama. Oleh karena itu, kebijakan dalam pengaturan
pertambangan rakyat ke depan haruslah difokuskan
setidaknya pada lima hal, yakni; (i) Kebijakan dalam
penetapan WPR; (ii) Kebijakan untuk IPR; (iii)
Kebijakan pembentukan badan pengelola WPR; (iv)
Kebijakan dalam penentuan iuran produksi atau
royalti dan (v) Kebijakan dalam pelaksanaan

BAB I - KEGIATAN MASYARAKAT YANG MENAMBANG di BOMBANA:


persoalan dan pemikiran ke depan dalam pertambangan rakyat

35

reklamasi. Semua kebijakan tersebut dalam


implementasinya harus dituangkan ke dalam Perda.
Dalam
penetapan
WPR,
pemerintah
hendaknya menetapkan suatu kawasan menjadi WPR
untuk komoditi tertentu (emas, timah, intan dan
lainnya) berdasarkan pada data dan informasi geologi
yang rinci berdasarkan hasil eksplorasi. Jadi, bukan
hanya penetapan wilayah geografis semata tanpa
mengetahui berapa cadangan tambang yang dapat
dieksploitasi dari wilayah tersebut. Kegiatan
eksplorasi dimaksud haruslah dilakukan oleh
Pemkab/kota terkait dan direncanakan dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Bila lokasi yang berpotensi telah ditemukan,
maka disusunlah disain penambangan komoditi
tersebut berdasarkan pada informasi tentang teknik
dan jarak penggalian yang harus dilakukan, serta
waktu dan biaya yang dibutuhkan untuk
melaksanakannya. Semua variabel tersebut haruslah
bermuara pada tingkat efisiensi tertinggi, sehingga
nilai keuntungan ekonomi yang diperoleh akan
maksimal.
Perhitungan
berdasarkan
disain
penambangan yang sudah disusun itulah yang akan
menjadi pijakan dalam menentukan apakah lokasi
tersebut dapat diajukan untuk ditetapkan sebagai
sebuah WPR. Usulan ini kemudian disampaikan oleh
Pemerintah Kabupaten (Pemkab)/ Pemerintah Kota
(Pemkot) kepada Gubernur untuk diajukan kepada
Menteri.

36

BAB I - KEGIATAN MASYARAKAT YANG MENAMBANG DI BOMBANA:


Persoalan dan Pemikiran Ke depan dalam Pertambangan Rakyat

Dalam konteks kebijakan IPR, pemerintah


idealnya menentukan IPR tidak berdasarkan satuan
luas wilayah, tetapi berdasarkan potensi bahan
tambang yang dapat diambil secara ekonomis dan
berpijak pada disain tambang yang sudah dibuat oleh
Pemkab/kota. Jadi, setiap IPR yang diterbitkan pasti
akan dapat memberikan keuntungan pada
masyarakat penambang. Kebijakan IPR yang berlaku
saat ini didasarkan pada luas wilayah (satu IPR
luasnya maksimum 5 ha) tanpa adanya suatu
kepastian bahwa wilayah IPR tersebut akan
memberikan hasil yang menguntungkan bagi
pemegang IPR. Masa berlaku IPR akan habis dengan
selesainya pelaksanaan proses penambangan yang
sudah direncanakan dalam disain tambang.
Selanjutnya, harus ditegaskan bahwa IPR hanya
dapat diberikan kepada suatu badan usaha berupa
koperasi atau yayasan yang anggotanya adalah para
penambang setempat dan tidak dapat diberikan
kepada perseorangan karena akan sangat sulit dalam
pembinaan dan pengawasannya.
Berbeda dengan pengelolaan WPR saat ini,
konsep ini mengusulkan agar pengelola WPR tidak
diperankan oleh Pemkab/kota melalui dinas terkait,
melainkan dikelola oleh suatu lembaga ekonomi yang
dijalankan secara profesional dan bersifat komersil
namun tetap memiliki pertimbangan sosial yang
rasional. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi
benturan kepentingan antara dinas sebagai institusi

BAB I - KEGIATAN MASYARAKAT YANG MENAMBANG di BOMBANA:


persoalan dan pemikiran ke depan dalam pertambangan rakyat

37

penerbit IPR dan dinas sebagai pengelola WPR yang


harus berperan secara professional. Pembentukan
lembaga ini difasilitasi oleh Pemkab/kota terkait dan
lembaga ini berkewajiban untuk memberikan
bimbingan teknis dan bantuan permodalan kepada
para pemegang IPR dalam suatu hubungan kerjasama
timbal balik yang saling menguntungkan.
Dalam konteks iuran produksi, kewajiban
royalti bagi para pemegang IPR harus disesuaikan
dengan penghasilan yang akan mereka peroleh,
sehingga
setidaknya
mereka
memperoleh
keuntungan tidak kurang dari dua puluh persen agar
mereka dapat menjadi berdaya (empowered).39 Jadi,
tidak seperti dalam Keputusan Menteri (KepMen)
pertambangan tahun 1986 maupun UU No.4 tahun
2009 tentang Minerba, yang menyatakan bahwa
iuran produksi atau royalti yang harus dikeluarkan
oleh PR diatur sesuai dengan aturan tentang royalti
yang berlaku untuk perusahaan pertambangan.
Sementara itu, seperti yang juga berlaku saat
ini bahwa semua usaha PR juga terkena kewajiban
untuk melaksanakan reklamasi terhadap bekas lahan
tambang mereka. Dalam konsep ini, lembaga
pengelola WPR yang bertanggungjawab untuk
melakukan reklamasi terhadap bekas penambangan
di WPR dengan dana yang dihimpun melalui iuran

39

Ibid.

38

BAB I - KEGIATAN MASYARAKAT YANG MENAMBANG DI BOMBANA:


Persoalan dan Pemikiran Ke depan dalam Pertambangan Rakyat

dari setiap pemegang IPR sesuai dengan beban


reklamasi yang ditimbulkannya.
2. Aspek Modalitas
Aspek kedua yang penting dalam konsep PR ini
adalah Aspek Modalitas. Dalam aspek Modalitas,
setidaknya ada lima hal yang harus dilakukan untuk
meningkatkan keberhasilan para penambang rakyat
dalam meningkatkan kesejahteraan mereka. Hal yang
pertama adalah mengembangkan relasi yang
seimbang antar pemangku kepentingan. Seperti
diketahui, terdapat empat aktor yang berperan di
wilayah pertambangan rakyat, yakni pemerintah,
pengelola WPR, pemegang IPR dan para penambang.
Hubungan atau relasi yang terjadi antar aktor
tersebut harus berjalan secara seimbang dan
harmonis sesuai dengan peran masing-masing.
Pemerintah menjalankan perannya sebagai pembina
dan pengawas terhadap Pengelola dan Pemegang
IPR, sedangkan Pengelola WPR menjalankan fungsi
pembinaan dan pengawasan tersebut terhadap
Pemegang IPR. Sementara itu, Pemegang IPR terikat
dalam perjanjian hak dan kewajiban dengan para
Penambang. Pada konsep LIPI, selain empat jenis
relasi di atas, perlu juga dikembangkan relasi antara
Pemda - Penambang, namun relasi tersebut tidak
disarankan disini karena pembinaan penambang
dapat juga dilakukan oleh pengelola WPR dan tidak
oleh Pemda.

BAB I - KEGIATAN MASYARAKAT YANG MENAMBANG di BOMBANA:


persoalan dan pemikiran ke depan dalam pertambangan rakyat

39

Hal yang kedua adalah meningkatkan


pengertian tentang kegiatan PR pada para
penambang. Pada tahap ini, pemerintah dan semua
pihak
berkewajiban
mendorong
masyarakat
penambang untuk mengubah cara pandang (mindset) mereka dalam melihat kegiatan PR. Perubahan
cara pandang ini akan dapat mengubah perilaku
mereka
dalam
melaksanakan
kegiatan
penambangan, meskipun perubahan sikap belum
tentu dapat mengubah atau memperkirakan
tindakan
aksi
(behavior)
mereka.
Upaya
meningkatkan pengertian masyarakat penambang
tentang kegiatan PR adalah suatu usaha transformasi
cara pandang yang berjalan melalui proses
komunikasi yang kontinyu, baik secara verbal
maupun tertulis. Dengan demikian, dalam proses
penyampaian informasi/pesan ini terdapat aspek
penting yang menentukan keberhasilan proses
tersebut, antara lain: Jelas Isi Pesannya; Kredibel
Sumber Pesannya; Kredibel Penyampai Pesannya;
Cara Menyampaikan Pesan yang tepat serta Waktu
Proses Perubahan yang cukup. Pesan harus
disampaikan dalam bentuk contoh dan perbandingan
yang bersifat operasional dan tidak hanya bersifat
kualitatif dan normatif.
Hal yang ketiga yang perlu dilakukan dalam
rangka meningkatkan modalitas para penambang
adalah membangun keahlian mereka. Keahlian para
penambang perlu ditingkatkan tetapi juga perlu

40

BAB I - KEGIATAN MASYARAKAT YANG MENAMBANG DI BOMBANA:


Persoalan dan Pemikiran Ke depan dalam Pertambangan Rakyat

dilakukan diversifikasi keahlian melalui pendidikan


dan latihan. Diversifikasi keahlian (seperti mekanik,
elektronik, pertanian, perkebunan dan sebagainya)
dipakai sebagai pemicu dan membuka wawasan
mereka untuk tertarik bekerja di sektor lain.
Membangun keahlian ditekankan pada membangun
kemampuan kewirausahaan (enterpreneurship) yang
diharapkan dapat meningkatkan kemampuan mereka
dalam menciptakan lapangan pekerjaan.
Sementara itu, hal yang ke empat adalah
penegasan
status
ketenagakerjaan
mereka.
Pentingnya status ketenagakerjaan bagi para
penambang adalah untuk memberikan perlindungan
hukum kepada mereka sehingga mereka mengetahui
tentang hak dan kewajiban mereka secara jelas.
Kejelasan status hukum inilah yang membuat para
penambang mempunyai posisi tawar dihadapan
pemegang IPR. Status ketenagakerjaan ini sangat
terkait dengan Perjanjian Kerja dan Izin Tinggal dan
Kerja.
Hal yang terakhir pada aspek Modalitas yang
perlu dilakukan adalah penguatan perekonomian
penambang. Upaya memperkuat perekonomian
penambang dapat dilakukan dengan transformasi
struktural yang meliputi proses perubahan dari
ekonomi tradisional ke ekonomi modern, dari
ekonomi lemah ke ekonomi yang tangguh, dan dari
ekonomi subsisten ke ekonomi pasar. Perubahan
struktural ini mensyaratkan langkah-langkah

BAB I - KEGIATAN MASYARAKAT YANG MENAMBANG di BOMBANA:


persoalan dan pemikiran ke depan dalam pertambangan rakyat

41

mendasar yang meliputi pengalokasian sumberdaya


alam (SDA), penguatan kelembagaan, serta
pemberdayaan
sumberdaya manusia (SDM).
Beberapa langkah strategis yang harus ditempuh
dalam
rangka
memperkuat
perekonomian
penambang adalah: (a) Mendirikan dan membina
koperasi yang anggotanya adalah para penambang;
(b) Memberikan bantuan modal usaha dan
pendampingan kepada penambang untuk berusaha
di sektor lain yang mereka kuasai dan minati; (c)
Membuka kesempatan kepada kelompok penambang
untuk bermitra dengan pemerintah atau Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD) atau pengelola WPR
dalam melakukan berbagai kewajiban yang
dibebankan kepada pengelola WPR, seperti misalnya
melaksanakan reklamasi.
3. Aspek Kelembagaan
Dalam aspek ini diperlukan adanya suatu institusi
atau lembaga yang mewakili peran dan keberadaan
para aktor yang saling berinteraksi di kawasan
pertambangan tersebut. Keempat aktor tersebut
dalam implementasi konsep ini harus diwakili oleh
bentuk kelembagaan tertentu, yakni Dinas
Pertambangan yang mewakili pemerintah, suatu
badan usaha seperti BUMD atau perusahaan lokal
yang mewakili pengelola WPR, koperasi atau yayasan
untuk pemegang IPR serta Serikat atau Asosiasi
Pekerja untuk para penambang.
4. Aspek Teknologi dan Pengelolaan Lingkungan

42

BAB I - KEGIATAN MASYARAKAT YANG MENAMBANG DI BOMBANA:


Persoalan dan Pemikiran Ke depan dalam Pertambangan Rakyat

Aspek yang terakhir dari konsep ini adalah Aspek


Teknologi dan Pengelolaan Lingkungan. Aspek
teknologi adalah yang berhubungan dengan teknik
penambangan dan pengolahan yang diterapkan pada
PR dalam memperoleh komoditi mineral logam
primer seperti emas (Au). Sementara itu, untuk
komoditi mineral non logam (intan dan batuan) atau
logam sekunder (seperti emas placer, timah/Sn),
lebih difokuskan pada teknik penambangan atau
penggaliannya saja. Teknik penambangan diartikan
sebagai cara penambangan mulai dari penggalian
atau penyemprotan, pengerukan dan pengangkutan
bijih ke tempat pengolahan. Dalam hal ini, teknik
yang dipergunakan haruslah efisien, aman (mengikuti
aturan K3) dan berwawasan lingkungan. Sementara
itu, teknik pengolahan diartikan sebagai cara untuk
memisahkan
kumpulan
mineral
berharga
(konsentrat) dari mineral-mineral pengotornya atau
ampas (tailing). Dalam konteks ini, teknik yang
dipergunakan haruslah efisien dalam arti memiliki
nilai recovery rate yang tinggi, aman dan murah.
Sementara itu, pengelolaan lingkungan yang
dimaksud disini adalah hal-hal yang dilakukan agar
dampak negatif pada lingkungan dapat ditekan
semaksimal mungkin.
Pada bab-bab berikutnya dalam buku berbentuk bunga
rampai ini, akan dimuat bahasan yang lebih rinci tentang
persoalan kegiatan masyarakat yang menambang di
Kabupaten Bombana, baik dari perspektif sosial, ekonomi,

BAB I - KEGIATAN MASYARAKAT YANG MENAMBANG di BOMBANA:


persoalan dan pemikiran ke depan dalam pertambangan rakyat

43

budaya, kebijakan atau peraturan maupun teknik


penambangan dan pengelolaan lingkungan. Pada akhirnya
akan diuraikan dan dibahas strategi pengembangan wilayah
pertambangan rakyat yang dapat diimplementasikan di
wilayah ini yang dapat memberikan manfaat bagi semua
pemangku kepentingan. Secara terstruktur, sistematika
pembahasan bab-bab selanjutnya adalah sebagai berikut:

Berbagai persoalan yang dihadapi pemerintah dan


masyarakat yang bersumber dari kegiatan
masyarakat yang menambang tidaklah sesuatu yang
muncul dengan tiba-tiba, namun memiliki
keterkaitan yang erat dengan kebijakan yang diambil
dan peraturan yang diberlakukan oleh pemerintah,
baik pada level nasional maupun pada level daerah.
Oleh karena itu, pembahasan tentang persoalanpersoalan tersebut haruslah mencakup kajian dan
analisis tentang kelemahan kebijakan dan peraturan
yang berlaku sehingga dapat dijadikan acuan dalam
merumuskan strategi pengembangan PR di masa
depan. Pembahasan ini akan disajikan dalam Bab II.

Kegiatan masyarakat yang menambang tidak


diragukan lagi akan berdampak signifikan pada aspek
ekonomi, sosial budaya dan juga lingkungan.
Terjadinya perubahan budaya masyarakat non
penambang menjadi budaya penambang, dari pola
produktif menjadi konsumtif, akan mengubah pola
hidup dan norma masyarakat sehingga menimbulkan
kerentanan pada masyarakat itu sendiri. Secara lebih
rinci, pembahasan ini akan disajikan dalam Bab III.

44

BAB I - KEGIATAN MASYARAKAT YANG MENAMBANG DI BOMBANA:


Persoalan dan Pemikiran Ke depan dalam Pertambangan Rakyat

Sudah dapat dipastikan bahwa teknik penambangan


dan ekstraksi sederhana yang dipergunakan oleh
masyarakat dalam mendapatkan komoditi tambang
memiliki tingkat efisiensi yang rendah. Hal ini akan
menyebabkan terjadinya pemborosan sumber daya
tambang dan rendahnya nilai ekonomi yang
diperoleh para penambang, sehingga diperlukan
suatu teknik yang memiliki tingkat efisiensi yang lebih
tinggi tetapi masih dapat diterapkan oleh masyarakat
secara baik dan benar. Semua itu akan dibahas dan
disajikan dalam Bab IV.

Penambangan emas letakan (placer deposit) di


Bombana dapat dikatakan merupakan satu-satunya
penambangan emas jenis ini di Indonesia saat ini.
Keterlibatan penambang dalam jumlah yang begitu
besar tanpa suatu konsep penambangan yang baik
dari pemerintah daerah telah menimbulkan
degradasi lingkungan yang sangat serius. Degradasi
kualitas lahan dan air yang memprihatinkan di
Daerah Aliran Sungai tempat penambangan
berlokasi, memerlukan suatu kajian yang rinci dan
pemikiran yang realistis untuk mengatasi persoalan
yang sudah terjadi dan mencegah kemungkinan
terulangnya di masa depan. Pembahasan ini akan
diuraikan dalam Bab V.

Harus diakui bahwa selalu berulangnya persoalanpersoalan yang sama pada setiap wilayah
pertambangan masyarakat menunjukkan bahwa
pemerintah, baik pusat maupun daerah, belum

BAB I - KEGIATAN MASYARAKAT YANG MENAMBANG di BOMBANA:


persoalan dan pemikiran ke depan dalam pertambangan rakyat

45

memiliki suatu acuan maupun konsep yang tepat


dalam mengelola dan mengembangkan WPR. Hal ini
disebabkan karena persoalan ini sering dilihat secara
parsial dan seringkali dimanfaatkan oleh oknumoknum pemerintah untuk mendapatkan keuntungan
pribadi maupun kelompok. Padahal untuk mengelola
suatu WPR diperlukan suatu strategi yang
komprehensif yang mencakup tidak hanya aspek
teknik penambangan dan lingkungan tetapi juga
sangat ditentukan oleh aspek kebijakan dan sosial
budaya serta ekonomi masyarakat. Pembahasan
tentang strategi pengembangan WPR ini akan
diuraikan pada Bab VI.

46

BAB I - KEGIATAN MASYARAKAT YANG MENAMBANG DI BOMBANA:


Persoalan dan Pemikiran Ke depan dalam Pertambangan Rakyat

Daftar Pustaka
BPS, Kabupaten Bombana dalam Angka, Bombana Regency
in Figures 2007/2008, Bombana, 2008.
Iskandar Zulkarnain dkk., Konflik di Kawasan Pertambangan
Timah Bangka Belitung; Persoalan dan Alternatif
Solusi, Program Kompetitif LIPI, Jakarta, 2005
Iskandar Zulkarnain dkk., Konflik Timah di Bangka Belitung:
Persoalan dan Alternatif Solusi, Program Kompetitif
LIPI, Jakarta, 2005
Iskandar Zulkarnain dkk., Konsep Pertambangan Rakyat
dalam Kerangka Pengelolaan Sumber Daya
Tambang yang Berkelanjutan, Program Kompetitif
LIPI, Jakarta, 2008
Iskandar Zulkarnain dkk., Peran dan Dinamika Pertambangan
Rakyat di Indonesia, Program Kompetitif LIPI,
Jakarta, 2007
Iskandar Zulkarnain dkk., Potensi Konflik di Kawasan
Pertambangan: Kasus Pongkor dan Cikotok,
Program Kompetitif LIPI, Jakarta, 2003.
Majalah Tambang On Line pada tanggal 19 November 2008
yang
dapat
diunduh
pada
alamat
http://www.majalahtambang.com/detail_berita.ph
p?category=1&newsnr=810
Simandjuntak, T.O., Surono dan Sukid, Peta Geologi Lembar
Kolaka, Sulawesi Skala 1:250.000, Pusat Penelitian
dan Pengembangan Geologi Bandung, 1993
UU No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertambangan

BAB I - KEGIATAN MASYARAKAT YANG MENAMBANG di BOMBANA:


persoalan dan pemikiran ke depan dalam pertambangan rakyat

47

UU No. 29 tahun 2003 tentang pembentukan Kabupaten


Bombana, Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten
Kolaka Utara
UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara

BAB

2
PERSOALAN DALAM KEBIJAKAN
PERTAMBANGAN RAKYAT DI
INDONESIA: Kasus Bombana
Oleh: Tri Nuke Pudjiastuti

Pendahuluan
Sebelum membahas persoalan kebijakan tentang
pertambangan rakyat yang diterapkan di kabupaten
Bombana, maka perlu dipahami terlebih dahulu kerangka
permasalahan kebijakan di sektor ini. Secara umum,
persoalan rakyat yang menambang sebenarnya memiliki satu
pola persoalan yang hampir sama dari satu tempat ke tempat
yang lain, bila dilihat dari perspektif kebijakan dan
peraturannya. Merujuk pada hasil penelitian Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2008 yang berjudul
Konsep Pertambangan Rakyat dalam Kerangka Pengelolaan
Sumber Daya Tambang yang Berkelanjutan, terlihat bahwa
rumitnya persoalan masyarakat yang menambang saat ini
terkait erat dengan sejumlah faktor, dan salah satunya
adalah faktor lemahnya kebijakan pemerintah dalam hal
48

BAB II - PERSOALAN DALAM KEBIJAKAN PERTAMBANGAN RAKYAT di


INDONESIA: Kasus Bombana

49

pengaturan dan pengelolaan kegiatan tersebut. Dijelaskan


pula bahwa pertambangan rakyat di Indonesia, pada
dasarnya bukanlah suatu fenomena baru, tetapi telah ada
sejak masa penjajahan Belanda di Indonesia. Secara singkat
dapat dijelaskan bahwa pada masa itu, pola yang
dikembangkan di sektor ini adalah mempekerjakan rakyat
pada pertambangan milik pemerintah maupun perusahaan,
namun belum terdapat pengaturan yang khusus. Kebijakan
ataupun mekanisme yang dijalankan sangat tergantung
kepada cara pandang pemilik dan atau kesepakatan kedua
belah pihak. 40
Barulah setelah Indonesia merdeka, kegiatan
pertambangan rakyat mulai diatur dan masuk ke dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan
yang dimaksud, secara khronologis, adalah Peraturan
Pengganti Undang-undang (PERPU) No. 37 th 1960 tentang
pertambangan dan kemudian berlanjut dengan Undangundang (UU) No.11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pertambangan, dan Peraturan Pemerintah RI No. 75
Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 11
Tahun 1967 hingga Peraturan Pemerintah (PP) No. 79 Tahun
1992 dan No. 75 Tahun 2001. Namun semua peraturan
tersebut lebih mengatur pada pembatasan atau definisi suatu
pertambangan rakyat, dan belum mengatur bagaimana
kegiatan tersebut seharusnya dilaksanakan.41
40

Lihat tulisan Mary F. Sommer, Penambang Emas, Petani dan Pedagang di Distrik
Tionghoa Kalimantan Barat, Yayasan Nabil, 341 hal, Jakarta, 2008
41
Lihat semua penjelasan tentang kebijakan pertambangan rakyat di Indonesia pada
Iskandar Zulkarnain dkk., Konsep Pertambangan Rakyat dalam Kerangka
Pengelolaan Sumber Daya Tambang yang Berkelanjutan, Jakarta: LIPI, 2008.

50

BAB III - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT DI BOMBANA

Meskipun pada masa pemerintahan Orde Baru


telah dilaksanakan beberapa proyek uji coba (pilot project)
pertambangan rakyat di beberapa lokasi di Indonesia, yang
kemudian diikuti oleh kebijakan yang dikeluarkan dalam
bentuk Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No.
01P/201/M.PE/1986
tentang
Pedoman
Pengelolaan
Pertambangan Rakyat Bahan Galian Strategis dan Vital
(Golongan A&B), namun pada hakekatnya pertambangan
rakyat masih lebih dimaknai sebagai suatu usaha
pertambangan skala kecil (TSK) daripada sebagai suatu
pertambangan rakyat yang sesungguhnya. Padahal
karakteristik antara TSK dengan pertambangan rakyat
memiliki banyak perbedaan dan sulit untuk disejajarkan.42
Kebijakan semacam itu, memang telah menghasilkan
beberapa contoh lokasi pertambangan rakyat di Indonesia.
Namun hasil penelitian LIPI menunjukkan bahwa kegiatan ini
masih kurang jelas konsep operasionalnya dan masih kurang
memperhitungnya aspek sosial budaya ekonomi dan
karakteristik komoditinya, sehingga tidak berjalan
sebagaimana yang diinginkan. Karakter budaya masyarakat
yang mobile secara turun temurun dalam melakukan
penambangan, membuat lokasi-lokasi proyek percontohan
tersebut ditinggalkan sebagian besar penambangnya.43
Sejak kurun waktu itu hingga keluarnya Undangundang Mineral dan Batubara (UU Minerba) pada awal tahun
2009 yang lalu, tidak ada peraturan lain yang menjadi acuan
operasional pertambangan rakyat. Sementara itu,
42
43

Ibid
Ibid.

BAB II - PERSOALAN DALAM KEBIJAKAN PERTAMBANGAN RAKYAT di


INDONESIA: Kasus Bombana

51

berubahnya sistem politik di Indonesia, yang semula


sentralisasi menjadi desentralisasi dan diterapkannya prinsipprinsip otonomi daerah dalam banyak aspek, telah
menyebabkan peraturan-peraturan di tingkat pusat tidak
mudah untuk diterjemahkan dengan baik ke dalam
peraturan-peraturan di tingkat kota ataupun kabupaten.
Akibatnya banyak pemerintah daerah yang melakukan
interpetasi terhadap peraturan-peraturan tersebut sesuai
dengan kemampuan dan kondisi di daerahnya.
Dalam UU Minerba No. 4 Tahun 2009 dan
peraturan turunannya, yaitu PP No. 22 dan No. 23 tahun
2009, sebenarnya terlihat upaya untuk memberikan peluang
yang lebih besar kepada masyarakat untuk ikut berusaha di
sektor pertambangan. Namun demikian, pasal-pasal yang
termuat dalam UU maupun PP tersebut masih perlu
dijabarkan lebih teknis untuk dapat dioperasionalkan
sehingga ketentuan-ketentuan tersebut dapat diturunkan ke
tingkat peraturan daerah. Dengan demikian, barulah
peraturan-peraturan tersebut akan dapat memberikan solusi
penyelesaian persoalan yang berkembang di seputar
masyarakat yang melakukan penambangan, yang saat ini
merebak dimana-mana.
Upaya pemerintah, baik di tingkat pusat maupun
daerah, dalam memberikan perhatian pada sektor
pertambangan, khususnya kepada penambangan yang
dilakukan oleh masyarakat, bukan tidak ada. Namun
perhatian tersebut masih lebih banyak dititikberatkan pada
upaya penertiban antara legal dan ilegal, dan cenderung
kurang melihat akar permasalahan yang sebenarnya, baik

52

BAB III - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT DI BOMBANA

pada level masyarakat yang melakukan penambangan


maupun di tingkat pemerintahan.44
Di satu sisi, kekayaan mineral yang tersebar hampir
di seluruh Indonesia, telah menjadikan mineral sebagai salah
satu sumber mata pencaharian rakyat untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya mulai dengan cara mendulang
(artisanal) maupun dengan bantuan peralatan mesin. Pilihan
hidup sebagai penambang dilakonkan mereka, selain karena
lebih menjanjikan, juga karena mereka tidak memiliki mata
pencaharian lain dengan penghasilan yang memadai.
Sementara itu di sisi lain, pemerintah seringkali tidak mau
mengambil sikap yang tegas karena sejumlah faktor, antara
lain: (i) belum adanya suatu model pertambangan rakyat
yang dapat dijadikan acuan; (ii) pemerintah belum bisa
menyediakan alternatif pekerjaan yang lebih menjanjikan.
Sikap tidak tegas pemerintah ini tercermin antara lain dari
lemahnya penegakkan hukum di daerah tersebut.
Keadaan tersebut, terlihat secara jelas di
kabupaten Bombana-Propinsi Sulawesi Tenggara yang dapat
diangkat sebagai salah satu kasusnya. Bombana sebagai
kabupaten baru, sejak awal menyandarkan kekuatan
perekonomiannnya untuk pendapatan asli daerahnya di
bidang pertanian-perkebunan dan juga perikanan. Pertanian44

Salah satu contoh bagaimana upaya penertiban terhadap masyarakat yang


melakukan penambangan di kepulauan Bangka-Belitung. Penertiban bukan berarti
pengaturan dan pembinaan, tetapi dititikberatkan pada pembersihkan ketika mereka
berstatus illegal. Akibatnya bila satu wilayah ditertibkan, maka kegiatan ilegal akan
muncul di wilayah lainnya dan begitu seterusnya. Lihat Iskandar Zulkarnain dkk.
Konflik di Kawasan Pertambangan Timah, Bangka Belitung: Persoalan dan Alternatif
Solusi, Jakarta: Riset Kompetitif Pengembangan Iptek LIPI, 2005.

BAB II - PERSOALAN DALAM KEBIJAKAN PERTAMBANGAN RAKYAT di


INDONESIA: Kasus Bombana

53

perkebunan dan perikanan tersebut telah secara turun


temurun menjadi mata pencaharian sebagain besar
masyarakat Bombana.
Namun, sejak menjelang akhir tahun 2008, ketika
penambangan emas di beberapa wilayah Bombana yang
dilakukan oleh masyarakat,45 ternyata mampu mengubah
arah pembangunan di Bombana secara cepat dan mendasar.
Upaya menarik investor dengan menerbitkan izin berupa
Kuasa Pertambangan (KP)46 untuk tambang emas kepada
perusahaan, di samping upaya mengembangkan tambang
rakyat telah menyebabkan terjadinya pergeseran sumber
Pendapatan Asli Daerah (PAD) kabupaten tersebut dari sektor
pertanian-perkebunan
dan
perikanan
ke
sektor
pertambangan.
Suatu kebijakan yang tidak didasarkan pada suatu
perencanaan dan pengaturan tata ruang dan wilayah tetapi
lebih dilandaskan pada perhitungan pemasukan PAD, akan
cenderung rapuh dan akan lebih mudah menciptakan potensi
konflik horisontal. Demikian pula halnya ketika peraturanperaturan daerah disusun dengan tidak memperhatikan
peraturan yang lebih tinggi yang dikeluarkan oleh pemerintah
pusat, maka juga akan melahirkan potensi konflik vertikal. Hal
tersebut menunjukkan bahwa pemerintah kabupaten
45

Lihat Bab I.
Istilah Kuasa Penambangan (KP) digunakan pada UU 11 Tahun 1967, sedangkan
dalam UU no.4 Tahun 2009 istilah tersebut tidak lagi digunakan dan diganti dengan
Ijin Usaha Penambangan (IUP) dan Wilayah Penambangan (WP). Lihat UU No. 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan PP No. 22 Tahun 2010
tentang Wilayah Pertambangan dan PP No.23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan
Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
46

54

BAB III - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT DI BOMBANA

Bombana tidak mempersiapkan proses pergeseran tersebut


dengan perencanaan dan pertimbangan yang matang,
sehingga menimbulkan situasi yang dilematik seperti
sekarang ini.
Untuk itu, tulisan bab ini akan membahas
kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan yang terkait
dengan pelaksanaan masyarakat yang menambang,
khususnya yang terkait dengan kebijakan dan peraturan yang
terbaru, mulai dari pemerintahan tingkat pusat hingga respon
kebijakan di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten (dalam
hal ini Kabupaten Bombana). Selain itu, dalam tulisan ini juga
akan dianalisis pola relasi yang dibangun diantara mereka,
yang seringkali lebih diwarnai oleh adanya tarik menarik
kepentingan di antara mereka.

Pertambangan Rakyat dalam UU Minerba Tahun 2009


Sebagaimana telah disinggung dalam bab sebelumnya, istilah
Pertambangan Rakyat (PR) digunakan untuk kegiatan
pertambangan yang dilakukan oleh masyarakat secara legal
dan formal dan mengacu pada ketentuan-ketentuan atau
peraturan yang ada. Dalam konteks tersebut, UU Minerba
No. 4 Tahun 2009, yang merupakan pengganti UU No.11
tahun
1967
tentang
Ketentuan-Ketentuan
Pokok
Pertambangan, memberikan porsi yang cukup banyak untuk
pengaturan PR. Setidaknya terdapat 32 pasal yang
menyinggung secara langsung dan terkait dengan
pertambangan rakyat dari semua pasal yang terdapat dalam
UU ini. Jumlah ini jelas jauh lebih signifikan dibandingkan
dengan undang-undang sebelumnya yang hanya memuat

BAB II - PERSOALAN DALAM KEBIJAKAN PERTAMBANGAN RAKYAT di


INDONESIA: Kasus Bombana

55

satu pasal saja, yaitu tentang batasan pengertian PR.47


Namun demikian, banyaknya jumlah pasal yang memberikan
perhatian kepada PR tidak otomatis menjamin pasal-pasal
tersebut dapat dioperasionalkan atau diterjemahkan
langsung ke dalam peraturan daerah untuk dilaksanakan.
Secara umum PR dalam UU Minerba tahun 2009
digambarkan sebagai suatu kegiatan yang berkesan tidak ada
bedanya dengan pertambangan yang dilakukan oleh
perusahaan. Kegiatan pertambangan tersebut hanya berbeda
dalam skala luas wilayah dan investasi.48 Akibatnya dapat
ditafsirkan bahwa aktivitas PR menurut UU ini, diperlakukan
sebagai bagian dari aktivitas pertambangan pada umumnya,
yaitu suatu rangkaian kegiatan yang dimulai dengan
penyelidikan umum, ekplorasi, eksploitasi hingga penjualan.
Padahal bila diperhatikan karakteristik kegiatan masyarakat
yang melakukan penambangan, maka akan terlihat bahwa
lingkungan dan kondisinya sangat berbeda sehingga akan
sangat sulit diatur dengan cara dan pola sebagaimana suatu
perusahaan pertambangan.
Menyitir hasil penelitian tim LIPI sebelumnya,
bahwa masyarakat yang melakukan penambangan cenderung
memiliki mobilitas yang tinggi dan pada umumnya tidak
berkelompok. Mereka cenderung bersifat individual, namun
ketika mereka sampai pada suatu wilayah, maka dengan
cepat mereka dapat menyesuaikan diri untuk mencari teman
dan membentuk kelompok. Menariknya, ketika hasil
galiannya terlihat menjanjikan, maka tidak lama kemudian
47
48

UU No. 6 Tahun 1967 tentang Pertambangan Umum, pasal 2.


UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, pasal 1

56

BAB III - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT DI BOMBANA

teman-teman sekampungnya akan menyusul, biasanya dalam


jumlah besar dan membentuk kelompok-kelompok sendiri.
Pada umumnya identitas daerah asalnya akan tetap dibawa,
tetapi tidak membuat mereka saling mengganggu satu
dengan yang lain, karena interaksi yang dibangun biasanya
hanya dalam kelompoknya. Apabila hasil yang mereka
peroleh tidak lagi cukup memadai, maka mereka dengan
mudah pula pergi berpindah mencari tempat lain.49 Kondisi
ini dapat terjadi, karena mereka selalu melakukan kegiatan
penambangan secara ilegal, tanpa izin dan tanggungjawab
hukum
sebagaimana
layaknya
sebuah
aktifitas
pertambangan. Sifat kegiatan mereka yang ilegal tersebut
tidak dapat dihindari karena mereka tidak memiliki modal
ekonomi dan keahlian yang dibutuhkan untuk menjalankan
suatu usaha pertambangan. Oleh karena itu, dengan karakter
masyarakat penambang yang seperti itu, maka akan sulit
menerapkan aturan penambangan yang digunakan untuk
perusahaan terhadap PR.
Selain yang telah diuraikan di atas, hal penting
lainnya yang perlu dicermati adalah kenyataan bahwa
ternyata tidak ada satu pasal pun dalam UU Minerba 2009
yang menjelaskan batasan atau pengertian tentang PR.
Dengan demikian, dapat diinterpretasikan bahwa batasan
tentang PR tersebut masih mengacu kepada peraturan
sebelumnya, yakni UU no. 11 tahun 1967 ataupun Peraturan
Menteri (PerMen) Pertambangan dan Energi (Tamben) tahun
1986 yang memuat batasan tentang PR. Walaupun batasan
49

Iskandar Zulkarnain dkk., Dinamika dan Peran Pertambangan Rakyat di


Indonesia, Jakarta: LIPI, 2007, 51.

BAB II - PERSOALAN DALAM KEBIJAKAN PERTAMBANGAN RAKYAT di


INDONESIA: Kasus Bombana

57

tersebut juga tidak cukup menjelaskan tentang pengaturan


kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh rakyat, namun
setidaknya terdapat pengertian atau batasan dari kegiatan
tersebut, yaitu:
Pertambangan Rakyat adalah suatu usaha
pertambangan bahan-bahan galian dari semua
golongan a,b,c yang dilakukan oleh rakyat setempat
secara kecil-kecilan atau secara gotong royong dengan
alat sederhana untuk mata pencaharian sendiri.
Sementara itu, dalam PerMen Tamben No.
01P/201/M.PE/1986 sudah terdapat penekanan siapa pelaku
penambangan tersebut yaitu dengan tambahan kalimat yang
berbunyi yang dilakukan oleh rakyat setempat yang
bertempat tinggal di daerah bersangkutan. Batasan
pengertian tersebut setidaknya akan memudahkan dalam
pengelompokan masyarakat yang dapat dimasukkan kedalam
batasan PR. Di samping itu, batasan tersebut juga
memberikan kemudahan kepada pemerintah daerah dalam
penataan mobilitas penduduk.
Bila diteliti dari kasus-kasus konflik di kawasan
pertambangan, seperti di Bangka-Belitung, Kalimantan
maupun di Maluku Utara, keterlibatan masyarakat yang
melakukan aktivitas penambangan dalam situasi konflik,
sepertinya tidak dapat dilepaskan dari ketidakjelasan batasan
pengertian PR tersebut. Akibatnya segala kegiatan penggalian
yang dilakukan oleh masyarakat, dengan alat sederhana
ataupun alat berat di suatu wilayah tertentu dapat
dipersepsikan sebagai PR. Selain itu, ketidakjelasan batasan

58

BAB III - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT DI BOMBANA

tentang asal masyarakat pelaku penambangan juga akan


turut mempengaruhi kondisi demografi, sosial budaya dan
ekonomi suatu wilayah.
Batasan ini menjadi penting, sebagaimana telah
dijelaskan dalam buku hasil penelitian tim LIPI yang berjudul
Dinamika dan Peran Pertambangan Rakyat di Indonesia,
karena
karakteristik
masyarakat
yang
melakukan
penambangan secara turun temurun dan berpindah-pindah
perlu untuk dipahami dan dicarikan jalan keluarnya. Mobilitas
mereka pada kenyataannya memicu terjadinya mobilitas
secara masiv pada masyarakat non penambang, yang pada
umumnya petani atau pengangguran untuk ikut mengadu
nasib di kawasan penambangan yang dikerjakan
masyarakat.50 Dengan adanya batasan kebutuhan sendiri,
dengan peralatan sederhana dan masyarakat lokal, maka
sedikit banyak dapat membatasi besarnya mobilitas
penduduk di suatu wilayah yang dari banyak kasus
menunjukkan sebagai penyebab terjadinya gesekan sosial
ekonomi yang berpotensi menjadi konflik horizontal.51
Meskipun dalam pasal 3 ayat e pada UU Minerba
tersebut juga ditekankan bahwa dalam rangka mendukung
pembangunan nasional, pengelolaan mineral dan batubara
juga ditujukan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat
lokal, serta menciptakan lapangan kerja dan untuk sebesarbesarnya bagi kesejahteraan rakyat, namun klausul tersebut
50

Ibid., 46-52.
Lihat hasil penelitian Iskandar Zulkarnain dkk, Potensi Konflik di Daerah
Pertambangan: Kasus Cikotok dan Pongkor, Jakarta: Riset Kompetitif Pengembangan
Iptek LIPI, 2003.
51

BAB II - PERSOALAN DALAM KEBIJAKAN PERTAMBANGAN RAKYAT di


INDONESIA: Kasus Bombana

59

adalah suatu pernyataan umum bagi seluruh pertambangan


yang dikelola di Indonesia, dan bukan khusus untuk PR.
UU Minerba dan peraturan turunannya tersebut
tidak lagi membagi komoditi berdasarkan golongan
kepentingan negara, yaitu golongan A (strategis), golongan B
(vital) dan golongan C (mineral industri), tetapi lebih
didasarkan pada jenis komoditinya dalam usaha
pertambangan. Dalam pasal 34 disebutkan bahwa usaha
pertambangan dikelompokkan menjadi pertambangan
mineral dan batubara. Sedangkan pertambangan mineral
sendiri masih dibagi menjadi 4 jenis yaitu: mineral radioaktif,
mineral logam, mineral bukan logam dan batuan. Untuk
usaha PR, yang dulunya dimasukkan pada golongan A, B
maupun C, maka dengan pengelompokan baru ini seperti
yang tertuang dalam pasal 66 disebutkan bahwa kegiatan PR
dikelompokkan sebagai berikut:
1. Pertambangan mineral logam
2. Pertambangan mineral bukan logam
3. Pertambangan batuan, dan/atau
4. Pertambangan batubara
Namun sayangnya pengelompokkan tersebut ternyata tidak
cukup diterjemahkan dalam PP sebagai peraturan
turunannya, sehingga tidak cukup memberi arti dalam
penataan kegiatan penambangan yang dilakukan dalam skala
PR.

60

BAB III - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT DI BOMBANA

Usaha PR dapat dilaksanakan bila telah memiliki Izin


Pertambangan Rakyat (IPR). Pihak yang berhak memberikan
IPR, dalam pasal 67 ayat 1 pada UU Minerba No. 4/2009 dan
peraturan turunannya PP No. 23/2010, disebutkan:
Bupati/Walikota memberikan IPR terutama kepada
penduduk setempat, baik perseorangan maupun kelompok
masyarakat dan/atau koperasi. Penekanan pemberian IPR
terutama kepada penduduk setempat, adalah suatu cara
yang penting untuk mencegah terjadinya mobilitas besarbesaran pada suatu wilayah, seperti yang terjadi sekarang ini
di banyak wilayah penambangan yang dilakukan oleh
masyarakat. Namun demikian, karena pasal tersebut
menyebutkan terutama kepada penduduk setempat maka
dapat diartikan masih memberi peluang kepada bukan
penduduk setempat. Peluang ini yang harus diatur lebih
lanjut dalam kebijakan dan peraturan turunannya di tingkat
pusat maupun daerah, sebab bila tidak ada kejelasan dan
ketegasan, maka persoalan penduduk setempat dan non
setempat akan terus berulang.
Dalam operasional penerbitan IPR tersebut
disebutkan dalam ayat 2 UU Minerba pada pasal yang sama,
bahwa kewenangan pelaksanaan pemberian IPR dapat
dilimpahkan kepada Camat sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan. Namun pada ayat 3 ditekankan bahwa
pemohon IPR tetap wajib membuat surat permohonannya
kepada Bupati/Walikota. Adapun pada pasal 68 dijelaskan IPR
diberikan untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan
dapat diperpanjang. Kewenangan tersebut terkait dengan
berbagai kewajiban pemerintah seperti yang tertuang dalam

BAB II - PERSOALAN DALAM KEBIJAKAN PERTAMBANGAN RAKYAT di


INDONESIA: Kasus Bombana

61

pasal 73, 139, 140, 142, 143, yang secara ringkas isinya adalah
sebagai berikut:
1. Melaksanakan pembinaan dan pengawasan di bidang
pengusahaan, teknologi pertambangan, serta
permodalan dan pemasaran dalam usaha
meningkatkan kemampuan usaha PR. Pembinaan
yang dilakukan terhadap pemegang IPR yaitu:
a. Memberikan
pedoman
dan
pelaksanaan
pengelolaan
pertambangan;
b. Pemberian
konsultasi;

bimbingan,

standar
usaha

supervisi

dan

c. Pendidikan dan latihan;


d. Perencanaan, penelitian, pengembangan,
pemantauan dan evaluasi pelaksanaan
penyelenggaraan usaha pertambangan.
2. Wajib mencatat hasil produksi dari seluruh kegiatan
dan melaporkan secara berkala kepada Menteri dan
Gubernur setempat, setidaknya 6 bulan sekali.
3. Pemerintah kabupaten/kota bertanggungjawab
terhadap pengamanan teknis dan pengawasan pada
usaha PR yang meliputi:
a. Keselamatan dan kesehatan kerja;
b. Pengelolaan lingkungan hidup; dan
c. Pasca tambang
4. Untuk memudahkan pelaksanaan kewajiban dan
tanggungjawab tersebut, maka suatu kabupaten/kota

62

BAB III - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT DI BOMBANA

wajib mengangkat pejabat fungsional inspektur


tambang, sebagaimana ketentuan perundangundangan yang berlaku.
Dalam perizinan juga ditekankan pada pasal 138,
bahwa hak atas IPR, salah satunya, bukan merupakan hak
atas tanah yang digunakan untuk menambang. Izin tersebut
hanyalah sebatas izin berusaha dalam bentuk PR.
Sedangkan dalam PP No. 22 Tahun 2010 pasal 4
dijelaskan bahwa persyaratan untuk mendapatkan IPR sama
dengan persyaratan untuk mendapatkan Izin Usaha
Pertambangan (IUP) untuk perusahaan, yaitu harus
memenuhi persyaratan administratif, teknis, lingkungan, dan
finansial. Menariknya, diantara pasal-pasal khusus tentang PR
tersebut, terdapat satu pasal (yaitu pasal 48) yang
menyatakan bahwa persyaratan lingkungan tidak disyaratkan
untuk kegiatan PR. Padahal seperti diketahui bahwa
persoalan lingkungan menjadi persoalan tersendiri dalam
penambangan yang dilakukan oleh masyarakat.52 Selain itu,
persyaratan yang dicantumkan tidak diikuti dengan
penjelasan lebih lanjut dan tidak disesuaikan dengan
spesifikasi masih-masing kategori jenis usaha, sehingga
menyulitkan pertambangan pada skala rakyat. Terlalu banyak
kasus pertambangan, khususnya yang dilakukan oleh
masyarakat, bukannya mendatangkan kesejahteraan dan
perbaikan kondisi masyarakat, tetapi lebih banyak menjadi
petaka.53 Oleh karena itu, seharusnya untuk kategori
52

Lihat bab V tentang lingkungan.


Lihat bagaimana penambangan mangan di flores yang sarat dengan berbagai
kepentingan dan tidak memperhatikan keberlangsungan sosial ekonomi dan
53

BAB II - PERSOALAN DALAM KEBIJAKAN PERTAMBANGAN RAKYAT di


INDONESIA: Kasus Bombana

63

penambangan rakyat pun tetap diberlakukan persyaratan


lingkungan, sebagaimana persyaratan teknis yang harus
diikuti dan dilaksanakan.
Sementara itu, persyaratan teknis yang tercantum
dalam pasal tersebut di atas hanya menekankan pentingnya
surat pernyataan yang memuat paling sedikit mengenai:
a. Sumuran pada IPR paling dalam 25 (dua puluh lima)
meter;
b. Menggunakan pompa mekanik, penggelundungan
atau permesinan dengan jumlah tenaga maksimal 25
(dua puluh lima) horse power untuk 1 (satu) IPR; dan
c. Tidak menggunakan alat berat dan bahan peledak.
Surat pernyataan seperti di atas, bila tidak diikuti oleh pasal
pengaturan operasional dan pembinaan yang jelas, dapat
dipastikan tidak akan cukup menjamin kepatuhan para
penambang rakyat pada ketentuan yang digariskan. Hasil
penelitian LIPI menunjukkan bahwa pembatasan tanpa ada
pengaturan dan pembinaan lebih lanjut akan sulit dipenuhi
oleh masyarakat yang menambang.54
Kembali pada pengertian IPR tersebut, ternyata
telah terjadi pergeseran batasan antara yang ada dalam RUU
dengan yang tertulis dalam UU Minerba pasal 1. Pada
awalnya adalah izin yang diberikan kepada perseorangan
setempat yang melaksanakan usaha pertambangan dengan

lingkungan telah menjadi persoalan serius. Alex Jebadu dkk (Eds.), Pertambangan di
Flores-Lembata: Berkah atau Kutuk?, Jogyakarta: CV Titian Galang Printaka, 2009.
54
Lihat kasus penambangan di Pasolo Gorontalo Utara, Iskandar Zulkarnain,
Ibid.hlm 148

64

BAB III - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT DI BOMBANA

menggunakan alat sederhana menjadi adalah izin untuk


melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah
pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi
terbatas. Dua kata kunci yang dipakai dalam pasal tersebut
yakni wilayah pertambangan rakyat (WPR) dan luas wilayah
dan investasi terbatas, bersifat sangat kualitatif dan akan
menimbulkan penafsiran yang majemuk sehingga sulit untuk
dilaksanakan. Kalau IPR hanya diberikan dalam suatu WPR,
maka bila WPR belum terbentuk masyarakat tidak mungkin
melakukan penambangan walaupun mereka merasa yakin
lokasi tersebut akan dapat memberikan mata pencaharian
bagi mereka. Dengan kondisi yang demikian, maka semua
kegiatan masyarakat yang menambang saat ini harus
dihentikan dan ditutup karena wilayah penambangan mereka
bukan WPR, padahal kegiatan tersebut adalah sumber
kehidupan mereka. Hal tersebut menunjukkan bahwa pasal
tentang IPR ini masih sulit untuk direalisasikan. Kata kunci
kedua berupa luas wilayah dan investasi terbatas dapat
dipahami sebagai konsekuensi logis dari luas wilayah yang
ditetapkan untuk satu IPR. Bila luas wilayah untuk satu IPR
hanya 1 ha (pasal 68), maka secara otomatis investasi yang
diperlukan juga akan terbatas. Namun hal yang penting
dalam konteks ini adalah apakah ada jaminan bahwa setiap
wilayah IPR tersebut mengandung cadangan mineral yang
ekonomis sehingga akan dapat memberikan keuntungan
kepada pemegang IPR. Bila jaminan tersebut tidak ada dan
masyarakat diharapkan untuk melakukan eksplorasi sendiri,
maka penerbitan IPR kepada masyarakat akan lebih banyak
merugikan para penambang dan pada ujungnya mereka akan

BAB II - PERSOALAN DALAM KEBIJAKAN PERTAMBANGAN RAKYAT di


INDONESIA: Kasus Bombana

65

cenderung kembali kepada kegiatan yang ilegal seperti saat


ini.
Proses pembentukan suatu Wilayah Pertambangan
Rakyat (WPR) membutuhkan waktu yang cukup lama karena
wilayah tersebut harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu.
Bupati/Walikota mempunyai kewenangan menetapkan suatu
WPR, setelah dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan
Daerah (DPRD) (pasal 21). Sedangkan kriteria yang harus
dipenuhi untuk suatu WPR (pasal 22 dan 23 UU Minerba
No.4/2009 dan pasal 26 PP No. 4/2010) adalah:
a. Mempunyai cadangan mineral sekunder yang
terdapat di sungai dan/atau diantara tepi dan tepi
sungai;
b. Mempunyai cadangan primer logam atau batubara
dengan kedalaman maksimal 25 (duapuluh lima)
meter;
c. Merupakan endapan teras, dataran banjir dan
endapat sungai purba;
d. Luas maksimal WPR adalah 25 (duapuluh lima)
hektar;
e. Menyebutkan jenis komoditas yang akan ditambang
dan/atau
f.

Merupakan wilayah atau tempat kegiatan tambang


rakyat yang sudah dikerjakan sekurang-kurangnya 15
(limabelas) tahun;

g. Bupati/Walikota wajib melakukan pengumuman


mengenai rencana WPR kepada masyarakat secara
terbuka (pasal 23).

66

BAB III - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT DI BOMBANA

Untuk memenuhi kriteria-kriteria di atas jelas


dibutuhkan waktu dan biaya karena memerlukan suatu kajian
geologi yang sistematis. Salah satu kriteria tersebut di atas,
yakni kriteria f, juga menyisakan masalah yang tidak
disediakan solusinya, karena hampir semua wilayah kegiatan
tambang rakyat untuk emas primer yang sudah berlangsung
lebih dari 15 tahun, semuanya memiliki lobang galian
sedalam puluhan hingga beberapa ratus meter. Kondisi ini
melanggar ketentuan yang ditetapkan pada kriteria b.
Pasal-pasal yang memuat tentang kegiatan PR
memang tidak diuraikan secara detail dalam UU, namun
ternyata peraturan pelaksananya pun seperti PP No. 22 dan
23 tahun 2010, juga tidak mengatur dengan jelas. Bahkan
beberapa pasal seperti tersebut di atas, seolah-olah hanya
dipindahkan dari UU ke dalam PP, sehingga tidak dapat
dijadikan pedoman. Oleh karena itu, ketentuan lebih lanjut
mengenai pedoman, prosedur penetapan WPR dan perizinan
IPR sebaiknya diatur secara operasional dalam Peraturan
Menteri dan Peraturan Daerah (Perda) agar tidak
menimbulkan interpretasi yang beragam berdasarkan
kepentingan masing-masing.

Peraturan Daerah dan Penertiban: Kasus Bombana


Terbatasnya kebijakan di tingkat pusat seperti tersebut di
atas, dapat dipahami bila menimbulkan keragaman
interpretasi pada daerah yang memiliki potensi PR. Pada
umumnya, potensi sumberdaya tambang mineral maupun
batubara di suatu wilayah hampir selalu pada awalnya
dieksploitasi oleh perusahaan, kemudian diikuti oleh

BAB II - PERSOALAN DALAM KEBIJAKAN PERTAMBANGAN RAKYAT di


INDONESIA: Kasus Bombana

67

masyarakat secara ilegal, baik ketika perusahaan masih


beroperasi apalagi bila wilayah tersebut sudah ditinggalkan
oleh perusahaan. Kasus yang terjadi di Bombana menjadi
menarik, karena potensi sumberdaya tambang tersebut pada
awal mulanya (2008) dieksploitasi oleh masyarakat dan baru
pada tahun 2009 ada perusahaan yang melakukan
penambangan di wilayah tersebut. Sebagaimana telah
disinggung pada bab sebelumnya, bahwa ada warga
setempat yang menemukan emas di Sungai Tahi Ite pada
akhir 2008. Ketika berita tersebut tersebar, maka hanya
dalam hitungan hari banyak warga masyarakat dari berbagai
wilayah Indonesia datang berbondong-bondong dan
mengadu nasib ke sungai Tahi Ite dan beberapa lokasi lainnya
di Bombana.55 Keadaan menjadi semakin rumit, bukan hanya
karena persoalan tingginya mobilitas orang ke wilayah
tersebut, tetapi juga karena diperkirakan 95 persen lokasi
yang ditambang masyakarat merupakan kawasan hutan, yang
dulunya merupakan Hutan Tanaman Industri (HTI) PT Barito
Pasific. Setidaknya dari dua lokasi terbesar pada waktu itu, di
Tahi Ite dan Satuan Pemukiman (SP)-9 perkiraan luas wilayah
yang dipakai oleh masyarakat untuk ditambang mencapai
sekitar 3000 ha.

55

Panjang alokasi wilayah penambangan dari hasil pengukuran sementara Dinas


Kehutanan Bombana sekitar 40 km dengan asumsi lebar sungai yang ditambang 20
meter dan diperkirakan luas wilayah yang ditambang sekitar 80 ha, tetapi luas
wilayah yang sudah dirambah masyarakat mencapai 3000 ha (di SP 9 sekitar 1.264 ha
dan di Tahi Ite 1.886 Ha). Sedangkan tentang dinamika masyakarat penambang lihat
bab tiga.

68

BAB III - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT DI BOMBANA

Perkiraan luas wilayah yang ditambang rakyat di Lokasi SP9 dan


Tahi Ite (penghitungan Oktober 2008)

SP9/Wumbubangka
Sungai Tahi Ite

HPT (ha)

HP (ha)

193
53

1.007
1.393

APL
(ha)
64
240

Total
(ha)
1.264
1.886

Sumber: Dinas Kehutanan Kabupaten Bombana 2008.


Catatan: perkiraan ini diambil dalam total wilayah, namun dalam pengerjaannya
lebih berupa pada spot-spot wilayah.

Dari sisi peraturan, kawasan hutan produksi (HP)


tersebut memungkinkan untuk dialihfungsikan dan diubah
peruntukannya. Menurut PP No.10 Tahun 2010, perubahan
peruntukan dan fungsi kawasan hutan tetap dan/atau hutan
produksi terbatas menjadi bukan kawasan hutan dapat
dilakukan dengan memberikan lahan pengganti dari bukan
kawasan hutan menjadi kawasan hutan. Hal itu dapat
dilakukan guna memenuhi tuntutan dinamika pembangunan
nasional dan daerah serta aspirasi masyarakat dengan tetap
berlandaskan pada optimalisasi distribusi fungsi, manfaat
kawasan hutan secara lestari dan berkelanjutan, serta
keberadaan kawasan hutan dengan luasan yang cukup dan
sebaran yang proporsional.56 Persoalannya, kehadiran para
penambang tersebut tidak diatur secara terencana,
mengingat serbuan masyarakat ke kawasan tersebut sangat
cepat dan dalam jumlah yang terus bertambah.
Bukan suatu yang mudah bagi pemerintah daerah
menyikapi dan menentukan kebijakan yang sesuai dengan
ketentuan peraturan di tingkat pusat, ketika peraturan
56

Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan


Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan pada Pasal 1 dan 2.

BAB II - PERSOALAN DALAM KEBIJAKAN PERTAMBANGAN RAKYAT di


INDONESIA: Kasus Bombana

69

tersebut belum bersifat operasional. Pemerintah kabupaten


Bombana terkesan terburu-buru dan juga bimbang dalam
merespon kehadiran gelombang masyarakat penambang
tersebut. Hal tersebut terlihat dari sejumlah kebijakan yang
diambil pemerintah kabupaten tersebut secara bertahap:
1. Masyarakat diperbolehkan melakukan penambangan
karena keberadaan emas di wilayah tersebut
merupakan berkah bagi masyarakat Bombana.
2. Sekitar sebulan kemudian diterbitkan Kartu Ijin
Masuk Penambangan (KIMP) yang berlaku selama
enam bulan sebagai kontrol terhadap mobilitas
penambang dan kontribusi terhadap pendapatan
daerah.
3. Larangan bagi masyarakat untuk melakukan
penambangan, karena akan diatur dan ditertibkan.
Penertiban yang melibatkan aparat keamanan
dilaksanakan sejalan dengan upaya mengosongkan
lokasi aktivitas penambangan.
4. Penerbitan Kuasa Pertambangan (KP) bagi
perusahaan-perusahaan yang ingin melakukan
investasi pertambangan.
Ketika kebijakan penerbitan KIMP diberlakukan, maka diikuti
dengan ketentuan bahwa masyarakat yang diizinkan
menambang adalah:
1. Masyarakat dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP)
Bombana
2. Masyarakat dengan KTP di Propinsi Sulawesi
Tenggara (Sultra)

70

BAB III - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT DI BOMBANA

Namun dalam kenyataannya, orang-orang dari berbagai


penjuru Indonesia seperti dari Jawa, Kalimantan, Sulawesi
Tengah dan Utara turut mendatangi lokasi penambangan dan
sulit untuk dibendung. Akses mereka untuk masuk ke wilayah
pertambangan, ternyata tidak lepas dari campur tangan
oknum aparat yang memberikan izin masuk.
Pada saat kegiatan penambangan masyarakat tersebut
menimbulkan ancaman kerusakan lingkungan yang cukup
serius, maka Bupati mengirim surat resmi ke Departemen
Kehutanan, Lingkungan Hidup dan Kepolisian untuk meminta
bantuan dalam menyelesaikan persoalan tersebut. Tindakan
tersebut kemudian diikuti dengan membentuk tim
penertiban dengan instansi terkait, yang dipimpin langsung
oleh Asisten I Bupati.
Mencermati kebijakan penerbitan KIMP oleh pemerintah
Kabupaten Bombana, kartu KIMP (Foto 2.1) hanya berlaku
selama 6 bulan, yakni mulai 1 November 2008 sampai dengan
17 Maret 2009. Kartu tersebut dikeluarkan pada dua lokasi
yang dianggap merupakan wilayah konsentrasi para
penambang, yaitu di Tahi Ite dan Wumbubangka atau SP9.
Untuk mendapatkan kartu tersebut, penambang warga
Bombana dikenakan biaya retribusi sebesar Rp 300.000,sedangkan warga non-Bombana/Sultra harus membayar Rp
500.000,-. Selain itu, mereka juga harus membayar iuran
bulanan, untuk warga Bombana Rp 100.000,- dan nonBombana/Sultra Rp 300.000,-. Namun demikian, kebijakan
tersebut di lapangan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu,
termasuk oknum aparat pemerintah dan aparat
kepolisian/tentara
untuk
mendapatkan
keuntungan

BAB II - PERSOALAN DALAM KEBIJAKAN PERTAMBANGAN RAKYAT di


INDONESIA: Kasus Bombana

71

pribadi/kelompok. Informasi dari para penambang


menyebutkan bahwa biaya pengurusan kartu KIMP yang
harus mereka bayar jauh lebih mahal dari tarif resmi, yakni
berkisar antara Rp 750.000- Rp 1.500.000,-57

Sumber: Dokumen Tambang Tim LIPI.

Foto 2. 1. Foto Kartu Izin Masuk


Pertambangan (KIMP) yang
dikeluarkan oleh Pemkab
Bombana.

Data di kabupaten Bombana menunjukkan bahwa


para penambang yang terdaftar berjumlah lebih dar 63 ribu
orang dengan perincian 59.826 orang merupakan warga
kabupaten Bombana, sedangkan 4.034 orang dari luar
Bombana. Adapun urutan prosedur dalam pengajuan
57

Hasil wawancara dengan masyarakat yang menjadi penambang dari lingkungan


Bombana maupun non-Bombana (wilayah propinsi Sulawesi Tenggara dan dari
Sulawesi Utara/Jawa) pada bulan Desember 2008 dan Agustus 2009.

72

BAB III - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT DI BOMBANA

permohonan untuk memperoleh kartu tersebut adalah


sebagai berikut:58
-

Memiliki surat pengantar dari Desa

Didaftarkan ke Kesatuan
Masyarakat (Kesbanglinmas)

Disetujui oleh Dinas Pertambangan

Ditandatangai
oleh
Kabupaten Bombana

Bangsa

Sekretaris

Lintas

Daerah

Meskipun dalam pelaksanaan mekanisme perizinan


tersebut dipenuhi dengan pungutan yang jauh lebih besar
dari ketentuan KIMP, antusias masyarakat untuk menggali
emas tidak pernah surut. Meskipun diberitakan beberapa
lokasi telah menurun hasil emasnya, tetapi hasil tersebut
masih tetap dianggap lebih baik dibandingkan bekerja
sebagai petani, nelayan ataupun tukang bangunan.
Kebijakan KIMP yang hanya berusia 6 bulan
(berakhir pada 17 Maret 2009), pada kenyataannya tidak
cukup memiliki kekuatan hukum. Desakan pemerintah
Propinsi yang merasa ikut memiliki tanggungjawab dan
kewenangan telah memaksa pemerintah kabupaten
Bombana untuk menindaklanjuti (merevisi) kebijakan KIMP
tersebut, sehingga terbitlah Peraturan Bupati No. 7 tahun
2008 tentang Pedoman Pengelolaan Pertambangan Rakyat
Bahan Galian Strategis dan Vital (Gol. A dan B) pada tanggal
16 Desember 2008. Peraturan Bupati (Perbup) ini diharapkan
dapat memberi ruang gerak kepada para penambang untuk
58

Ibid.

BAB II - PERSOALAN DALAM KEBIJAKAN PERTAMBANGAN RAKYAT di


INDONESIA: Kasus Bombana

73

melakukan aktivitasnya. Fungsi dari Perbup tersebut


sebenarnya juga menjadi payung hukum atau rujukan hukum
bagi dikeluarkannya KIMP, sehingga pemda tidak menyalahi
aturan hukum dan sekaligus diharapkan dapat mengatur
pelaksanaan pertambangan oleh masyarakat yang sudah
berjalan. Berdasarkan Perbup tersebut Pemda berencana
akan mengalokasikan wilayah sekitar aliran sungai sepanjang
sekitar 40 km untuk dibagi-bagi menjadi wilayah PR.
Pengertian PR di dalam Perbup tersebut, masih
mengikuti pengertian yang digariskan dalam UU No. 11 Tahun
1967, yang tertuang dalam pasal 1 yaitu:
Pertambangan Rakyat adalah Usaha Pertambangan
Galian strategis (Golongan A) dan Vital (Golongan B)
yang dilakukan oleh rakyat setempat yang bertempat
tinggal di daerah yang bersangkutan untuk
penghidupan mereka sendiri sehari-hari yang
diusahakan secara sederhana
Sedangkan pengaturan kegiatan penambangan tersebut
dimuat dalam pasal 2, 3 dan 7 yang menyatakan bahwa
hanya boleh dilakukan oleh penduduk Kabupaten Bombana
yang berusia minimal 17 tahun dan dibuktikan dengan KTP
serta
pelaksanaan
kegiatannya
dilakukan
secara
berkelompok. Setiap kelompok terdiri dari 20-30 orang
dengan dikoordinir oleh seorang ketua kelompok.
Seperti pada umumnya peraturan yang dikeluarkan
untuk mengatur PR, Perbup ini juga menggariskan
pengurusan izin yang tidak mudah untuk dipenuhi oleh para
penambang, karena pada umumnya mereka termasuk

74

BAB III - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT DI BOMBANA

klasifikasi sumber daya manusia yang terbatas pendidikan,


keahlian dan kondisi ekonominya.59 Hal tersebut dapat
dicermati dalam Peraturan Bupati pasal 4 yang menyatakan
bahwa:
1. Calon penambang membuat permohonan dengan
melampirkan peta situasi yang menunjukkan batasbatas yang jelas, alat-alat yang digunakan, jumlah
anggota kelompok serta jenis bahan galian yang akan
ditambang.
2. Memiliki Berita Acara Peninjauan Lapangan
3. Memiliki Upaya Pengelolaan Lingkungan Upaya
Pemantauan Lingkungan (UKL-IPL) yang diterbitkan
oleh Kantor Lingkungan Hidup, Kebersihan,
Pertamanan dan Pemakaman
4. Memiliki Izin Lokasi yang diterbitkan oleh Dinas
Pertambangan dan Energi atas nama Bupati.
Untuk memenuhi semua ketentuan di atas jelas
para penambang memerlukan pengetahuan, keahlian dan
modal yang memadai agar mereka bisa mengikuti dan
melaksanakan
prosedur
tersebut.
Padahal
pada
kenyataannya sebagian besar dari mereka hanyalah petani
yang mencoba beralih profesi dan sebagian lagi adalah
pendatang yang mencari sumber kehidupan, sehingga semua
persyaratan tersebut tidak mungkin dapat mereka penuhi.
Kondisi inilah yang menyebabkan hampir semua kegiatan
masyarakat yang menambang di seluruh penjuru Indonesia
selalu bersifat ilegal.
59

Ibid. dan juga dari pengamatan tim peneliti di lapangan pada bulan Desember
2008.

BAB II - PERSOALAN DALAM KEBIJAKAN PERTAMBANGAN RAKYAT di


INDONESIA: Kasus Bombana

75

Lebih jauh lagi, dalam peraturan tersebut tidak


dijelaskan jangka waktu masa berlaku izin yang diberikan itu,
tetapi sebaliknya terdapat pasal yang mengatur tentang
penghentian aktivitas penambangan berdasarkan sejumlah
alasan. Alasan yang dimaksud adalah bila membahayakan
lingkungan
dan
keselamatan
penambang,
terjadi
persengketaan hak milik tanah, melanggar peraturan, bahan
galian sudah habis, dan untuk kepentingan negara/daerah.
Meskipun proses penghentian aktivitas penambangan tidak
dapat begitu saja dilakukan, tetapi adanya klausul yang
menyebutkan bahwa Bupati mencabut izin setelah
memperhatikan pendapat Dinas Pertambangan dan Energi,
telah menempatkan masyarakat pada posisi yang lemah.
Selain itu, lemahnya posisi masyarakat di mata hukum dapat
dilihat dari klausul untuk kepentingan negara/daerah.
Klausul itu memberi kesan bahwa keberadaan masyarakat
dapat diabaikan, bila pemerintah berkehendak.
Namun demikian, Perbup tersebut tetap lemah di
mata hukum nasional karena penentuan lokasi penambangan
yang tidak mengikuti aturan dan ketentuan yang ada.
Pemerintah kabupaten menerbitkan KIMP tanpa terlebih
dahulu menentukan lokasi atau wilayah penambangan dan
berbagai ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan. KIMP seolah-olah hanya menjadi
stempel legal untuk masuk ke lokasi mana saja dan
mengizinkan penambang untuk menggali dimana saja.
Akibatnya, batasan lokasi penambangan menjadi acak dan
tidak jelas. Yang menjadi patokan hanyalah sepanjang alur
sungai, dengan tidak melakukan penambangan atau

76

BAB III - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT DI BOMBANA

menambah luas aliran sungai yang dapat mengakibatkan


longsor. Perbup ini juga menetapkan wilayah yang terlarang
bagi kegiatan penambangan, yaitu:
1. Wilayah suaka alam, hutan wisata dan hutan lindung
2. Wilayah yang tertutup untuk kepentingan umum dan
pada lapangan, sekitar lapangan-lapangan dan
bangunan pertahanan.
3. Tempat-tempat kuburan, yang dianggap suci, wilayah
umum, seperti jalan umum, saluran dan instalasi
listrik, saluran dan instalasi gas, tanggul sungai dan
sebagainya.
Berbeda halnya dengan Perbup Bombana tersebut,
Peraturan Gubernur (Pergub) Sulawesi Tenggara No. 30
Tahun 2008 tentang Pedoman Pengelolaan Pertambangan
Rakyat Bahan Galian Strategis dan Vital (Golonga A dan B) di
Sultra, memberikan batasan lokasi dimana izin penambangan
dikeluarkan, yaitu di WPR. Meskipun dalam hal pemberian
izin, Pergub ini masih mengacu pada peraturan yang lama,
tetapi pengertian WPR yang dimaksud cukup jelas, yaitu
suatu wilayah yang ditentukan dengan mempertimbangkan
data geologi bawah permukaan dalam bentuk tiga dimensi
dan kajian mengenai dampak lingkungan. Selain itu, WPR
yang dimaksud harus mengandung cadangan terukur yang
cukup signifikan dalam skala PR yang berlokasi dalam tata
ruang budi daya atau bagian kuasa pertambangan yang tidak
ekonomis bagi perusahaan serta dimasukkan sebagai bagian
dari rencana tata ruang wilayah Kabupaten/Kota.
Kecepatan perubahan arah kebijakan suatu
kabupaten/kota bukan tidak membawa resiko potensi konflik.

BAB II - PERSOALAN DALAM KEBIJAKAN PERTAMBANGAN RAKYAT di


INDONESIA: Kasus Bombana

77

Selain potensi konflik horisontal, juga potensi konflik vertikal.


Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah Kabupaten
seringkali juga berbenturan dengan kebijakan dan peraturan
yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan maupun
Lingkungan. Hal tersebut terjadi karena sebagian lahan yang
diizinkan untuk kegiatan penambangan tersebut merupakan
wilayah hutan lindung maupun daerah aliran sungai (DAS)
yang seharusnya terlarang untuk kegiatan tersebut.

Sumber: Dokumen Tambang Tim LIPI.

Foto 2. 2. Lokasi penambangan di kawasan hutan


di SP-8 yang sudah rusak.

Bila dikembalikan pada Peraturan Menteri


Kehutanan (PerMenhut) No. P.43/Menhut-II/2008 tentang
Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, sebenarnya hutan
dapat dipakai untuk kegiatan lainnya yang memberi manfaat
bagi masyarakat dan negara dengan mematuhi beberapa
ketentuan. Ketentuan yang dimasud adalah pinjam pakai
kawasan hutan dilaksanakan dengan syarat tidak mengubah

78

BAB III - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT DI BOMBANA

status, fungsi dan peruntukan kawasan hutan.60 Meskipun


dalam pasal 5 Peraturan Menteri Kehutanan (PerMenhut)
tersebut terdapat penjelasan tentang peluang pinjam pakai
kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan, namun pada
pasal 2 dijelaskan bahwa yang menerbitkan izin tersebut
adalah Menteri Kehutanan, dan bukan Bupati. Hal itu
diperkuat melalui PP no. 10 Tahun 2010 pasal 5 yang
menegaskan bahwa perubahan peruntukan dan fungsi
kawasan hutan dapat ditetapkan oleh Menteri yang
didasarkan pada hasil penelitian terpadu.
Kasus Bombana, yang sekitar 95 persen kegiatan
pertambangannya dilaksanakan di kawasan hutan, akan
menjadi persoalan tersendiri ke depan bila tidak ditata.
Apalagi ketika dampak kegiatan para penambang tersebut
sudah menunjukkan terjadinya kerusakan bentang alam yang
sangat mengkhawatirkan. Foto 2.2 yang menunjukkan lokasi
pertambangan yang sudah merambah ke wilayah
punggungan bukit, akan membuat Pemkab Bombana sulit
untuk mempertanggungjawabkan izin yang mereka terbitkan
dengan ketentuan pada wilayah sepanjang aliran sungai.
Gubernur Sulawesi Tenggara merasa tidak bisa
berdiam diri pada waktu itu, karena kerusakan lingkungan
yang semakin memprihatinkan, selain tidak terbendungnya
mobilitas manusia yang dapat mengganggu keseimbangan
sosial ekonomi di Sultra secara keseluruhan. Kebijakan
membentuk tim untuk penataan masyarakat yang
menambang yang dipimpin langsung oleh Wakil Gubernur,
60

Peraturan Menteri Kehutanan No. No. P.43/Menhut-II/2008 tentang Pedoman


Pinjam Pakai Kawasan Hutan, pasal 3.

BAB II - PERSOALAN DALAM KEBIJAKAN PERTAMBANGAN RAKYAT di


INDONESIA: Kasus Bombana

79

ternyata tidak sepenuhnya mendapat sambutan baik dari


pihak pemerintah kabupaten. Di era otonomi daerah dan
desentralisasi ini, inisiatif tersebut sepertinya dianggap
sebagai bagian dari upaya mencampuri urusan internal
kabupaten. Meskipun tidak terjadi konflik terbuka, tetapi
terasa ada nuansa potensi konflik kepentingan karena
kemungkinan terjadi perbedaan dalam menginterpretasikan
peraturan yang berlaku, apalagi pada waktu itu UU Minerba
belum disahkan.
Sementara itu, adanya potensi sumberdaya
tambang emas di kabupaten Bombana telah membuat
perubahan dan pergeseran kebijakan pemerintah setempat,
yang semula bertumpu pada hasil kebun dan pertanian,
menjadi bertumpu pada pertambangan dan penggalian sejak
awal tahun 2009. Hal tersebut diindikasikan dengan
dibukanya peluang bagi para investor di bidang
pertambangan. Adapun kawasan yang disediakan bagi para
investor tersebut adalah juga wilayah tempat masyarakat
melakukan penambangan. Perubahan tersebut secara resmi
disampaikan dalam rencana pengembangan wilayah-wilayah
di kabupaten tersebut oleh Bupati.61 Bahkan rencana adanya
penambangan
emas
oleh
perusahaan
membuat
dipercepatnya kebijakan pembangunan bandara di
Kabupaten Bombana, yang rencananya akan menelan biaya
mencapai 6 milyar rupiah.62
61

Pidato Bupati yang disampaikan di depan DPRD Bombana pada bulan Januari
2009.
62
Penjelasan Ketua Pansus Angaran DPRD Kabupaten Bombana, lihat Radar Sultra,
17 Maret 2009: http://www.radarbuton.com/index.php?act=news&nid=26926
(diunduh tanggal 5 Agustus 2009).

80

BAB III - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT DI BOMBANA

Kebijakan pemkab yang memberikan izin pada


perusahaan pertambangan, dimaksudkan selain untuk
efisiensi eksploitasi komoditi emas di wilayah itu, juga untuk
mewadahi keinginan masyarakat yang ingin menambang
melalui kemitraan dengan perusahaan. Selain itu, pemkab
juga berencana untuk mengalokasikan beberapa wilayah
tertentu untuk WPR.
Namun demikian, persoalan masyarakat yang
menambang dalam lingkup PR di Bombana menjadi semakin
kompleks ketika kebijakan yang diberlakukan tidak cukup
mengatur sampai ke tingkat operasionalnya. Sementara itu,
upaya-upaya penertiban yang dilakukan yang cenderung
represif membuat masyarakat semakin sulit untuk ditata
karena mereka merasa dirugikan. Pemerintah Propinsi
maupun Bombana sebenarnya cukup menyadari bahwa
aturan yang digariskan tidak lagi mampu mengakomodir
kegiatan masyarakat yang melakukan penambangan dalam
skala PR sejak adanya UU No. 4 tahun 2009 tersebut. Proses
penataan PR di wilayah tersebut menjadi terhenti, karena
Pemda menunggu keluarnya PP yang mengaturnya. Hal itu
dilakukan karena adanya kekuatiran akan terjadi
ketidakselarasan antara peraturan daerahnya dengan
peraturan pemerintah pusat.63

Kebijakan Daerah Pasca 17 Maret 2009


Menjelang akhir masa berlakunya KIMP, desakan
pemerintah Propinsi untuk segera melakukan penertiban
direspon dengan baik oleh pemkab, sehingga kemudian
63

Hasil wawancana dengan Asisten I Bupati Bombana, pada tanggal Agustus 2009.

BAB II - PERSOALAN DALAM KEBIJAKAN PERTAMBANGAN RAKYAT di


INDONESIA: Kasus Bombana

81

dilakukan penertiban bersama antara propinsi dan


kabupaten. Dalam penertiban tersebut, dilakukan
pengosongan kawasan-kawasan yang merupakan lokasi
penambangan masyarakat, seperti di Wumbubangka maupun
SP8, SP 7 dan lainnya, kecuali sungai Tahi Ite. Lokasi sungai
Tahi Ite menjadi pengecualian, karena sebenarnya kawasan
tersebut dicadangkan oleh Pemda Kabupaten Bombana
untuk lokasi PR. Meskipun rencana tersebut belum dapat
direalisasikan setelah keluarnya Perda Pertambangan Rakyat,
tetapi rencana tersebut sepertinya tetap akan diupayakan.
Sementara itu, pemerintah Propinsi Sulawesi
Tenggara mempunyai cara pandang yang berbeda dengan
Pemda Kabupaten Bombana. Pasca 17 Maret 2009,
pemerintah propinsi memandang penting adanya
pembersihan kegiatan penambangan yang dilakukan rakyat
secara menyeluruh agar lebih mudah dilakukan penataan.
Untuk itu diperintahkan kepada Bupati agar melaksanakan 4
hal pokok, yaitu:64
1. Menghentikan seluruh kegiatan penambangan
emas tanpa izin secara manual maupun yang
menggunakan mesin. Bila perlu dilakukan
penindakan hukum;
2. Menetapkan WPR paling lambat Juni 2009;
3. Pengelolaan
Pilpres;

64

WPR

segera

dimulai

setelah

Surat Gubernur Sulawesi Tenggara No. 545/1494 tertanggal 22 April 2009 tentang
Penertiban Kegiatan Penambangan di Kab Bombana, yang ditembuskan ke
Pemerintah Pusat.

82

BAB III - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT DI BOMBANA

4. Menghentikan aktivitas KP yang belum


mengurus izin pinjam pakai bila itu di kawasan
hutan.
Menariknya kebijakan tersebut tidak cukup mendapat
tanggapan dari Bupati Bombana. Keberatan-keberatan
pemerintah Propinsi tersebut dianggap tidak cukup realistis
dalam upaya mengembangkan wilayah Bombana, selama PP
yang mengaturnya belum keluar. Meskipun demikian upaya
penertiban bersama antara kabupaten dan propinsi tetap
dilaksanakan. Akan tetapi hasilnya dapat dipastikan tidak
menunjukkan perbaikan situasi dan kondisi di kawasan
pertambangan.
Belum adanya kepastian hukum dan berubahnya
orientasi pemkab Bombana dari pertambangan skala rakyat
ke skala perusahaan tampaknya disebabkan oleh kesadaran
bahwa pemkab tidak akan mampu melakukan penataan dan
rehabilitasi lokasi-lokasi yang pernah digarap oleh
masyarakat. Hampir seluruh aliran sungai yang digarap
masyarakat sejak mulai adanya penambangan tidak lagi dapat
diidentifikasi letak dan bentuknya, karena sudah berubah dan
dapat dikatakan hilang.
Meskipun demikian, bukan berarti masyarakat yang
melakukan penambangan sudah berhenti begitu saja, tetapi
terjadi kebijaksanaan setempat, yaitu adanya ijin dan
pengaturan dari para pemilik lahan yang mengatur kegiatan
penambangan. Pemerintah tidak lagi mampu mengatur

BAB II - PERSOALAN DALAM KEBIJAKAN PERTAMBANGAN RAKYAT di


INDONESIA: Kasus Bombana

kegiatan tersebut, meskipun upaya


dilakukan.65

83

penertiban terus

Penutup
Sejak awal dapat disimpulkan bahwa peran state actor masih
sangat dominan dalam menentukan penyelenggaraan
pemerintahan di Bombana. Di satu sisi, hal tersebut
merupakan suatu yang positif, mengingat perubahan situasi
yang cepat memerlukan penanganan yang cepat pula. Namun
di sisi lain, keterbatasan pemahaman dan pengalaman serta
belum adanya suatu panduan yang jelas dalam pengelolaan
kegiatan pertambangan oleh masyarakat telah menyebabkan
keputusan-keputusan yang diambil berbenturan dengan
peraturan-peraturan di atasnya sehingga terkesan seperti
hanya ingin mencari cepat dan mudahnya saja.
Persoalan praktek kebijakan dan peraturan tentang
pertambangan rakyat tidak dapat dilepaskan dari
ketidakjelasan kebijakan dan peraturan di tingkat nasional.
Pentingnya pengaturan pertambangan rakyat agar menjadi
lebih operasional, menguntungkan semua pihak dan
mencegah terjadinya kerusakan lingkungan sepertinya belum
menjadi hal yang prioritas bagi pemerintah pusat. Hal
tersebut kemungkinan disebabkan karena nilai ekonomi
kegiatan ini sebagai sumber pemasukan negara tidak cukup
signifikan bila dibandingkan dengan pertambangan yang
dilakukan oleh perusahaan besar. Selain itu, juga isu
masyarakat yang menambang lebih diidentikkan dengan
65

Lihat Bab III, yang menjelaskan bagaimana upaya masyarakat yang melakukan
penambangan pasca tgl 17 Maret 2009.

84

BAB III - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT DI BOMBANA

persoalan legal dan ilegal dibandingkan secara positif dilihat


sebagai masa transisi untuk membangun masyarakat yang
lebih sejahtera dan mandiri.
Keadaan menjadi semakin buruk, ketika pemerintah
daerah secara sadar menginterpertasikan dan memanfaatkan
celah-celah atau titik lemah yang terdapat dalam peraturanperaturan yang ada untuk kepentingan daerah. Bahkan dari
praktek-praktek yang terjadi di lapangan, dimana para oknum
ikut memainkan peranannya, membuat praktek diskresi
(pencapai kepentingan dan tujuan individu) telah menjadi
tujuan dan hal yang penting serta tidak tergugatkan.
Berdasarkan semua uraian di atas, untuk menyikapi
semua persoalan yang melingkupi sektor pertambangan
rakyat dan mencari solusi terbaik, maka pemerintah
kabupaten perlu terlebih dahulu menentukan dengan bijak
pilihannya, apakah akan tetap melaksanakan pertambangan
rakyat atau akan menutup sama sekali seluruh akses
masyarakat atas penambangan, atau memberi akses yang
lebih luas kepada masyarakat. Artinya ada sebagian wilayah
yang diperuntukkan sebagai wilayah pertambangan rakyat,
namun di samping itu masyarakat juga dimungkinkan untuk
melakukan kemitraan dengan perusahaan. Bila pilihan ketiga
akan dipilih, yang saat ini agaknya menjadi pilihan sementara
pemkab, maka ada dua hal mendasar yang harus
diperhatikan dalam melaksanakan kebijakan tersebut, yaitu:
1. Mengembangkan
strategi
pengaturan
kebijakan, kelembagaan dan penguatan sumber
daya manusia serta teknik penambangan dan

BAB II - PERSOALAN DALAM KEBIJAKAN PERTAMBANGAN RAKYAT di


INDONESIA: Kasus Bombana

85

pengelolaan dampak lingkungan dalam


pengelolaan pertambangan masyarakat.
2. Membuat kebijakan dan peraturan kemitraan
antara perusahaan dan masyarakat yang
melakukan penambangan di dalam wilayah KP
perusahaan.
Selain itu, pemkab juga perlu menyiapkan alternatif bidang
usaha untuk masyarakat lokal, baik melalui diversifikasi
peningkatan keahlian serta membuka peluang usaha di sektor
lain sehingga pertambangan rakyat hanya dimaksudkan
sebagai kegiatan sementara dan bukan menjadi jalan hidup
masyarakat.

86

BAB III - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT DI BOMBANA

Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik, Kabupaten Bombana dalam Angka
2007/2008, Rumbia: Badan Pusat Statestik
Kabupaten Bombana, 2008.
Hidayat. Syarif. Too Much Too Soon, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2007.
Jebadu Alex dkk (Eds.), Pertambangan di Flores-Lembata:
Berkah atau Kutuk?, Jogyakarta: CV Titian Galang
Printaka, 2009.
Peraturan Bupati No. 7 tahun 2008 tentang Pedoman
Pengelolaan Pertambangan Rakyat Bahan Galian
Strategis dan Vital (Gol. A dan B).
Peraturan Gubernur Sulawesi Tenggara No. 30 Tahun 2008
tentang Pedoman Pengelolaan Pertambangan
Rakyat Bahan Galian Strategis dan Vital (Golonga A
dan B) di Sulawesi Tenggara.
Peraturan Menteri Kehutanan No. No. P.43/Menhut-II/2008
tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan.
Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara
Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan
Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2010 tentang Wilayah
Pertambangan
Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang
Pelaksanaan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara.
Radar
Sultra,
17
Maret
2009:
http://www.radarbuton.com/index.php?act
(diunduh tanggal 5 Agustus 2009).

BAB II - PERSOALAN DALAM KEBIJAKAN PERTAMBANGAN RAKYAT di


INDONESIA: Kasus Bombana

87

Surat Gubernur Sulawesi Tenggara No. 545/1494 tertanggal


22 April 2009 tentang Penertiban Kegiatan
Penambangan di Kab Bombana.
UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batu Bara.
UU No. 6 Tahun 1967 tentang Pertambangan Umum.
Zulkarnain, Iskandar dkk., Dinamika dan Peran Pertambangan
Rakyat di Indonesia, Jakarta: Riset Kompetitif LIPI,
2007.
Zulkarnain, Iskandar dkk., Konflik di Kawasan Pertambangan
Timah, Bangka Belitung: Persoalan dan Alternatif
Solusi, Jakarta: Riset Kompetitif Pengembangan
Iptek LIPI, 2005.
Zulkarnain, Iskandar dkk., Panduan Pemberdayaan
Masyarakat di Kawasan Pertambangan, Jakarta:
Riset Kompetitif Pengembangan IPTEK LIPI, 2006
Zulkarnain, Iskandar dkk., Potensi Konflik di Daerah
Pertambangan: Kasus Cikotok dan Pongkor, Jakarta:
Riset Kompetitif Pengembangan Iptek LIPI, 2003.

BAB

3
DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN
EMAS TERHADAP SOSIAL BUDAYA
DAN EKONOMI MASYARAKAT DI
BOMBANA
Oleh: Tri Nuke Pudjiastuti

Pendahuluan
Kabupaten Bombana, yang luasnya hanya sekitar 331.616 ha
dan beribukota di Rumbia, merupakan kabupaten baru hasil
pemekaran Kabupaten Buton yang sarat dengan persoalan
masyarakat dan ketatawilayahan. Persoalan lapangan
pekerjaan maupun sarana prasarana yang terbatas telah
membuat Bombana lambat dalam perkembangan
pembangunannya.Hal tersebut sepertinya tidak dapat
dilepaskan dari kondisi wilayah yang sebagian besar berupa
lahan kering dan hutan Taman Nasional.66 Meskipun jarak
tempuh dari Kendari ke Rumbia hanya sekitar 230 km,
namun karena sarana transportasi yang buruk, terutama
jalan raya yang rusak parah, membuat jumlah angkutan
66

Kabupaten Bombana dalam Angka 2007/2008., Bombana, BPS, 2008.

88

BAB iII - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT di BOMBANA

89

umum ke Bombana sangat terbatas dan daerah tersebut


tidak menjadi lokasi tujuan yang nyaman.
Bombana memiliki sejarah panjang dalam
kehidupan bermasyarakatnya dan telah berkembang sejak
zaman Belanda.Hubungan dagang yang dibangun dari para
pedagang Bugis lewat laut sejak zaman penjajahan Belanda,
telah membuat wilayah tersebut tidak sepenuhnya terisolir
dari dunia luar.
Dengan penduduk yang beragam suku, ada suku
Bugis yang menetap dan turun temurun di Bombana, wilayah
tersebut tumbuh sebagai kawasan pertanian dan tangkapan
ikan yang melimpah.67Selain itu, Bombana juga berpotensi
untuk hasil perkebunan dengan tiga komoditi unggulannya,
yaitu jambu, kelapa dan kakao dalam jumlah besar.68 Di
samping itu, sejak tahun 1980-an wilayah Bombana juga
dikenal sebagai wilayah transmigrasi,meskipun dapat
dikatakan pola transmigrasi tersebut menemui kegagalan di
beberapa kawasan, karena lahan kering yang tidak dapat
digarap masyarakat transmigran.Kawasan tersebut kemudian
berubah menjadi area Hutan Tanaman Industri (HTI) PT
Barito Pasific Timber.69
Sejak awal, ketiga komoditi unggulan tersebut
merupakan modal utama yang paling diandalkan untuk
membangun dan mengembangkan Bombana sebagai sebuah
kabupaten yang maju. Kekuatan tersebut juga agaknya
67

Hasil wawancara dengan Tokoh Adat Moronene (Mokolele generasi terakhir) di


Kendari tanggal 15 Agustus 2009.
68
BPS, Ibid.
69
Penjelasan dari Asisten I Bupati Bombana pada tanggal 13 Agustus 2009.

90

BAB III - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT DI BOMBANA

merupakan salah satu alasan kuat untuk memisahkan diri


dari Kabupaten Buton. Sebagaimana telah dijelaskan di bab
dua, perubahan fisik maupun sosial ekonomi setelah
pemekaran pada tahun 2003 tidak terlalu banyak terjadi di
Bombana, tetapi tidak demikian halnya setelah
ditemukannya emas di wilayah tersebut.
Setelah penemuan emas di kawasan tersebut pada
bulan September tahun 2008, ternyata keyakinan atas
kekuatan ketiga komoditi tersebut di atas mengalami
pergeseran.Menjadi suatu perkara yang tidak mudah bagi
kabupaten tersebut untuk mempertahankan komoditi
unggulannya, apalagi untuk meningkatkan kekuatankekuatan yang dimiliki sebelumnya, mengingat daya tarik
penambangan emas yang luar biasa.
Orientasi masyarakat maupun pemerintah
kabupaten Bombana pun berubah. Kabupaten yang awalnya
menyandarkan pendapatan asli daerahnya di bidang
pertanian-perkebunan dan juga perikanan, sejak tahun 2009
mengalami perubahan landasan ekonomi pembangunan
secara cepat dan mendasar, setelah adanya penambangan
emas di wilayahnya yang dilakukan oleh masyarakat. Sejak
saat itu, kabupaten tersebut menempatkan pertambangan
sebagai tumpuan Pendapatan Asli Daerah (PAD) nya.70
Perubahan kebijakan yang diikuti oleh perubahan
keadaan yang cepat namun tidak diikuti dengan penataan
sarana prasarana serta peraturan yang dibutuhkan, telah
70

Penjelasan Asisten I Bupati Bombana pada tanggal 13 Agustus 2009 yang menyitir
penjelasan Bupati Bombana.

BAB iII - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT di BOMBANA

91

membuat Bombana memasuki fase chaos.Beralihnya


konsentrasi dan animo masyarakat ke sektor pertambangan
telah menimbulkan kesulitan dalam berbagai bidang karena
hilangnya tenaga kerja untuk membangun sarana dan
prasarana, untuk menggarap lahan, sawah, kebun maupun
yang biasanya bekerja sebagai nelayan. Akibatnya, pada awal
tahun 2009 Bombana sempat mengalami krisis kebutuhan
pokok.Hal itu dapat dipastikan memicu peningkatan suplai
dari luar, sehingga harga-harga kebutuhan pokok meningkat
drastis.71Lebih buruk lagi tingginya mobilitas masyarakat dari
sekitar Bombana dan dari luar Propinsi Sulawesi Tenggara
(Sultra) yang turut melakukan penambangan sudah tidak
terkontrol.Meskipun beberapa upaya telah dilakukan oleh
Pemerintah Kabupaten, namun tidak banyak membuahkan
perubahan.
Dalam konteks di atas, maka tulisan ini akan
memetakan dan menunjukkan dampak serta kemungkinankemungkinan ke depan dari aktivitas penambangan yang
dilakukan masyarakat di kabupaten Bombana. Analisis yang
dilakukan lebih banyak difokuskan pada tataran
masyarakat.Adapun masyarakat yang dimaksud adalah
masyarakat yang melakukan penambangan maupun
masyarakat umum yang tidak melakukan penambangan.

71

Hasil wawancara dengan beberapa orang Bombana: pemilik Hotel, penjual


makanan, sopir, guru dan pegawai pemerintahan di Rumbia Bombana pada
tanggal 10-14 Agustus 2009.

92

BAB III - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT DI BOMBANA

Dinamika Masyarakat Sebelum Berlangsung Kegiatan


Penambangan
Sejarah mencatat bahwa, wilayah Bombana lebih
dikenal sebagai wilayah Moronene, karena yang menetap di
wilayah tersebut adalah mayoritas etnis Moronene. Etnis
Moronene merupakan salah satu etnis di Sulawesi Tenggara,
yang berkembang tidak hanya di jazirah Sulawesi Tenggara,
tetapi juga di pulau Kabaena.Pada zaman Belanda, mereka
berkembang dan membentuk wilayah-wilayah otonom yang
dipimpin oleh Mokole-Mokole.72Masyarakat etnis Moronene
hingga sekarang hidup sebagai petani-petani penggarap
lahan kering. Setelah tahun 1965, perkembangan jumlah
etnis Moronene menjadi menurun, karena adanya persoalan
politik di kawasan itu yang membuat masyarakat tercerai
berai dan struktur sosial masyarakat Moronene menjadi
hancur.Meskipun saat ini dari sisi jumlah mereka telah
banyak berkurang,73 tetapi adat istiadat mereka masih bisa
dilihat dan dikenali, seperti upacarapernikahan atau
kematian.
Sementara itu, usaha laut di wilayah ini terus
berkembang, karena adanya para nelayan Bugis dan
Butonyang datang ke wilayah tersebut untuk berdagang sejak
72

Mokole adalah sebutan dan sekaligus gelar yang diberikan Raja Buton bagi
penguasa suatu wilayah.
73
Etnis Moronene kehidupannya di Bombana terganggu, ketika terjadi peristiwa
DI/TII.Beberapa kawasan Bombana diduduki oleh pasukan DI/TII, yang
mengakibatkan desa-desa yang telah mereka bangun di sekitar Rumbia di tinggalkan
dan semua berlindung menjadi satu di Kasipute.Pada tahun 1965 militer
mengembangkan wilayah Bombana menjadi ditrik-distrik.Demikian pula tata
pemerintahan dilakukan dalam keseragaman pola dengan kawasan yang rawan
konflik lainnya.Rendahnya tingkat keamanan membuat mereka banyak yang pergi
meninggalkan Bombana.

BAB iII - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT di BOMBANA

93

zaman penjajahan Belanda.Banyak dari masyarakat Bugis


yang kemudian menetap dan berkembang secara turun
temurun di wilayah tersebut.Dengan sifat masyarakat Bugis
yang begitu dinamis, maka tidak mengherankan bila mereka
menjadi lebih banyak berperan dalam perdagangan dan
pemerintahan dibandingkan dengan etnis Moronene, yang
cenderung tidak berkembang secara signifikan.74Hingga
sekarang dapat dilihat, banyak diantara pemimpin
pemerintahan adalah masyarakat lokal keturunan etnis
Bugis.
Sementara itu, secara sosiologis masyarakat
kabupaten Bombana merupakan masyarakat pertanian,
bukan masyarakat penambang. Hal itu terlihat dari data pada
Tabel 1 yang menunjukkan bahwa sebelum adanya
penambangan emas di kawasan tersebut, hasil
pertanian,perkebunan
dan
perikanan
merupakan
andalannya. Pola kehidupannya berproses mulai dari
pengolahan tanah, menanam, perawatan hingga mengambil
hasil. Proses yang panjang tersebut, juga membentuk pola
hidup masyarakat yang cenderung tidak banyak gejolak
dalam kehidupan sosialnya. Walaupun adakalanyabahwa
angka yang semakin besar tidak menjamin semakin
banyaknya masyarakat yang bekerja di bidang tersebut,
namun setidaknya dapat diartikan bahwa perikanan,
perkebunan dan kehutanan menjadi tumpuan lapangan
pekerjaan bagi masyarakat di kawasan itu. Selain informasi
dan data yang diperoleh dari cerita dan pendapat masyarakat
74

Hasil Wawancara dengan dengan Tokoh Adat Adat Moronene (Mokolele generasi
terakhir) di Kendari tanggal 15 Agustus 2009.

94

BAB III - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT DI BOMBANA

asli Bombana,75 data pada Tabel 1menunjukkan bahwa


bukan pertambangan yang menjadi tumpuan bagi kabupaten
tersebut untuk mengembangkan perdagangannya.
Tabel 1. Volume (Ton) dan Nilai Perdagangan Antar Pulau (Rp.
000,-), Hasil Bumi dan Tambang Tahun 2007
No.

Hasil Bumi, Laut, Tambang

1
2
3
4
5
6

Pertanian tanaman pangan


Perkebunan
Peternakan
Perikanan
Kehutanan
Hasil tambang

Volume
38
40
300
1500,5*)
-

Nilai
368
2.468.000
7.545.000
2.715.000
-

Sementara itu, kalaupun ada hasil tambang yang


berkontribusi untuk pemasukan daerah, maka yang dimaksud
dengan jenis hasil tambang di Bombana selama ini ternyata
bertumpu pada pertambangan bahan galian golongan C. Hal
itu terlihat dari pendapatan pajak di kabupaten Bombana,
yang menunjukkan jenis penerimaan pajak pengambilan dan
pengolahan bahan galian golongan C. Pemasukan pajak
tersebut pada tahun 2007 mencapai sekitar 54 juta rupiah
dan jumlah itu hanya seperempat dari pajak pemanfaatan
hasil-hasil perkebunan dan hasil ikutannya.76
Meskipun tidak ada data yang menyebutkan besar
prosentase masyarakat yang bekerja pada bidang tertentu
secara pasti, tetapi dengan mencermati data-data statistik
75

Wawancara dengan masyarakat yang telah tinggal turun temurun dari berbagai
kalangan di wilayah Bombana pada bulan Desember 2008 dan tanggal 10 13
Agustus 2009.
76
Kabupaten Bombana dalam Angka 2007/2008, Badan Pusat Statistik Kabupaten
Bombana, 2008, 290.

BAB iII - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT di BOMBANA

95

lainnya akandapat diperkirakan. Data pada Tabel 2 mampu


menunjukkan bahwa pertambangan bukanlah merupakan
bidang yang sejak awal telah digeluti oleh masyarakat
Bombana.Meskipun data di bawah tidak merepresentasikan
besarnya lapangan pekerjaan yang ada, namun setidaknya
dari jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia dalam kurun
waktu dua tahun dapat menunjukkan pentingnya sektor
pertanian di wilayah tersebut.
Tabel 2 di bawah menunjukkan bahwa ketersediaan
pekerjaan pertambangan jumlahnya tidak banyak dan
peminatnya pun juga tidak banyak. Berbeda halnya dengan
jumlah pekerjaan pada sektor pertanian yang lebih banyak
tersedia.
Tabel 2. Banyaknya Lowongan Kerja yang Terdaftar, Terpenuhi
dan Belum Terpenuhi Menurut Lapangan Usaha Tahun
2007
No

Lapangan
Usaha

Sisa
2006

Terdaftar
2007

Jumlah
Terdaftar

Terpe
nuhi

1
2

Pertanian
Pertambangan
/Penggalian
Keuangan,
Asuransi,
Persewaan,
Bangunan
Usaha jasa sosial/
Kemasyarakatan/
Perorangan
Kegiatan lainnya
Jumlah

621
2

865
8

1.486
10

812
8

Belum
Terpenuhi
674
2

22

20

42

99

418

542

980

508

452

1.063

1.435

2.498

1.364

1.131

Sumber: Dinas Nakertrans dan Dissos Kabupaten Bombana, 2007.

96

BAB III - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT DI BOMBANA

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS)


kabupaten Bombana 2008, angkatan kerja di wilayah ini
mencapai 66,92 persen dari jumlah penduduk.Dari jumlah
angkatan kerja tersebut, yang bekerja mencapai 96,48 persen
sedangkan
yang
tidak
bekerja
hanyalah
3,5
persen.Masyarakat Bombana yang tidak bekerja atau yang
mencari pekerjaan, pada umumnya memiliki tingkat
pendidikan yang cukup memadai.Ini terbukti dari data yang
menunjukkan bahwa 59,29 persen berpendidikan setingkat
dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), sedangkan
sisanya (40,71 persen) berpendidikan di atas SLTA.77
Fenomena data statistik di atas menunjukkan
bahwa walaupun masih terdapat peluang yang besar dalam
beberapa lapangan kerja di kabupaten Bombana namun
masih terdapat pengangguran walau dalam jumlah
sedikit.Fakta tersebut yang menunjukkan masih besarnya
lowongan pekerjaan di sektor pertanian (Tabel 1) yang belum
terisi, mengindikasikan bahwa bidang pertanian sepertinya
bukan lagi menjadi bidang yang diminati oleh sebagian
masyarakat Bombana.Namun demikian, dilihat dari Produk
Domestik Regional Brutto (PDRB) perkapita kabupaten,
sektor pertanian masih tetap menjadi unggulan lapangan
usaha yang menyumbang untuk PDRB sebesar 58,56 persen
dari total.Pada tahun 2007, terjadi peningkatan
pertumbuhan ekonomi sebesar 7,14 persen, namun tidak
menyebabkan terjadinya perubahan struktur ekonomi yang
berarti di Bombana.

77

Ibid., 105-107.

BAB iII - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT di BOMBANA

97

Sampai pada tahun 2007, komoditi unggulan


kabupaten Bombana masih belum berubah dan ini
ditunjukkan oleh produksi hasil pertanian dan perkebunan
komoditi tersebut yang cukup signifikan,seperti kelapa
(11.486 ton), jambu mete (10.676 ton) dan kakao (8.853 ton).
Namun akibat dampak perubahan iklim dan juga persoalan
perawatan lahan membuat masyarakat Bombana kesulitan
mengembangkan hasil pertanian lahan kering tersebut secara
lebih baik.Menurut beberapa narasumber di lapangan,
menurunnya hasil kebun berdampak serius pada pendapatan
yang mereka terima.Sebenarnya persoalan menurunnya hasil
pertanian tersebut sudah menjadi bahasan di tingkat
pemerintah Bombana, tetapi masyarakat merasa belum ada
tindakan yang berarti yang mampu menyelesaian persoalan
mereka.
Selain itu, bila diperhatikan lebih jauh, daerah
penghasil ketiga komoditi di atas, ternyata tidak merata di
setiap kecamatan, ketiga komoditi tersebut umumnya
ditemukan hanya di pulau Kabaena, Kabaena Timur,
Kecamatan Rarowatu, Poleang Timur, Poleang dan Poleang
Barat. Kecamatan-kecamatan tersebut merupakan juga
penghasil bagi jenis tanaman rakyat lainnya, seperti pala,
kemiri, dan kopi.Sementara itu, produksi sayur-sayuran bisa
didapatkan di kecamatan lainnya.78
Menurunnya pendapatan masyarakat tidak
diragukan lagi berdampak pada pemenuhan berbagai
kebutuhan ekonomi lainnya, termasuk untuk menyekolahkan
78

Ibid.

98

BAB III - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT DI BOMBANA

anak dan biaya kesehatan. Di beberapa wilayah Bombana


banyak masyarakat petani mulai turun ke kota untuk menjadi
buruh kasar (pekerja informal). Pola pekerjaan informal inilah
yang mengantarkan sebagian masyarakat untuk selalu
mencari peluang mendapatkan rezeki yang lebih banyak.Oleh
karena itu, ketika mereka mendengar adanya penambangan
emas di wilayah Bombana yang dapat dilakukan oleh
masyarakat, maka banyak diantara mereka yang
memalingkan perhatiannya pada kegiatan tersebut.
Daya tarik penambangan emas bagi masyarakat
Bombana tidak dapat dipungkiri sangatlah besar.Daya tarik
itu semakin kuat,ketika banyak penambang pendatang yang
mempunyai pengalaman menambang emas dari berbagai
wilayah yang kemudian mengajarkan kepada mereka
bagaimana membedakan tanah yang mengandung emas
maupun cara mendulangnya. Akibatnya, tidak hanya para
pengangguran, tetapi bahkan berbagai lapisan masyarakat
Bombana dan sekitarnya banyak yang beralih profesi dan
berebut bekerja mencari emas.

Kegiatan Penambangan oleh Masyarakat


Perubahan perhatian masyarakat berawal setelah
ditemukannya emas oleh warga setempat di Sungai Tahi Ite
pada tanggal 5 September 2008, dan sejak saat itulah
penambangan emas mulai dilakukan oleh masyarakat di
Kabupaten Bombana.79 Tingginya antusiasme masyarakat
79

Lihat Forum Kendari dan Kompas Online pada bulan September 2008:
http://www.forum. kendari.info/viewtopic.php// (diunduh pada Desember 2008)
dan http://www.kompas.com/ read/berita_bombana// (diunduh pada Desember
2009).

BAB iII - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT di BOMBANA

99

yang tidak hanya datang dari propinsi Sultra, tetapi juga dari
berbagai penjuru Indonesia untuk mengadu nasib bekerja
sebagai penambang emas di Bombana, ternyata telah
menimbulkan banyak perubahan dalam berbagai sisi.
a. Lokasi Penambangan
Lokasi penambangan tersebar di beberapa wilayah
sekitar kota Rumbia dalam 5 kecamatan, yaitu:
kecamatan Rarowatu dan Poleang Utara, Rarowatu Utara
dan Lantari Jaya serta kecamatan Rumbia. Lokasi
penambangan tersebut tepatnya pertama kali di Sungai
Tahi Ite, lalu berkembang ke desa Rau-Rau, sungai
Wumbubangka, desa Hukaeya, Satuan Pemukiman (SP) 8,
SP1, SP9 dan SP2.80Pada umumnya mereka melakukan
penambangan pada aliran sungai, seperti sepanjang
aliran sungai Tahi Ite, dan sungai di SP-8 dan SP-9.Namun
sejak bulan Oktober 2008, sebagian masyarakat yang
kebanyakan
berasal
dari
Kolaka
melakukan
penambangan di lokasi baru, yaitu di lokasi Gondrong
(mencakup
Bukit
Penyesalan
atau
Bukit
81
Tobat). Penambangan dilakukan tidak hanya terbatas
dengan mendulang pasir pada aliran sungai, tetapi
kemudian juga meluas ke lahan di sekitar pinggiran
sungai yang umumnya adalah areal perkebunan coklat.
80

Satuan Pemukiman (SP) merupakan istilah yang dipergunakan untuk lokasi


transmigrasi dan saat ini lokasi-lokasi tersebut sudah ditinggalkan oleh para
transmigran tersebut. Waktu tempuh dari kota Rumbia ke kawasan-kawasan
tersebut pada umumnya membutuhkan waktu sekitar 2-3 jam perjalanan dengan
kendaraan bermotor.
81
Untuk mencapai lokasi Gondrong tersebut diperlukan waktu sekitar 5 hingga 6 jam
berjalan kaki dari pinggir jalan raya sebelum pertigaan menuju Tahi Ite.

100

BAB III - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT DI BOMBANA

Dari waktu ke waktu, ternyata lokasi penambangan yang


dilakukan masyarakat terus berkembang, bergerak di
seluruh aliran sungai yang terkait.
Penggalian di daerah aliran sungai (Foto 3.1)
menjadi tidak terkendali karena dari awal penambang
sudah diizinkan untuk melakukan penggalian di
sepanjang sungai. Hanya dalam waktu beberapa bulan
saja, aliran sungai di beberapa tempat sudah sulit untuk
dikenali dan bahkan ada yang telah berpindah.82

Sumber: Dokumen Tim Tambang LIPI

Foto 3. 1. Foto kegiatan masyarakat yang Penambang di


sungai Tahi Ite.

Adanya lokasi penambangan yang berhimpit


dengan lahan dan pemukiman masyarakat, juga
merupakan salah satu faktor yang ikut memperce-pat
masuknya masyarakat lo-kal dalam aktivitas penam
bangan. Selain itu, hal terse-but juga menjadi penyebab
82

Lihat laporan bab V.

BAB iII - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT di BOMBANA

101

semakin cepatnya alih atau divesifikasi profesi di


kalangan masyarakat setempat di Bombana.
Persoalan menjadi lebih kompleks, ketika
kondisi di atas dikaitkan dengan status lokasi
penambangan.Data pemerintah kabupaten (pemkab)
menunjukkan bahwa lokasi sepanjang pinggir sungai
adalah kawasan perkebunan, hutan produksi, hutan
lindung dan lahan kebun masyarakat, seperti di sekitar
sungai Tahi Ite.Sedangkan lokasi SP 8 dan SP 9, dulunya
merupakan lokasi transmigrasi dari Jawa dan Bali.Namun
karena ternyata tanahnya tidak subur, maka pemerintah
memindahkan mereka ke lokasi lainnya, sehingga lokasi
tersebut tidak lagi berpenduduk.Setelah kembali menjadi
tanah negara, maka sebagian besar, khususnya di SP 9,
dari lokasi tersebut sempat dimanfaatkan sebagai hutan
produksi oleh perusahaan PT Barito Timber Pacific.Dalam
perkembangannya, ternyata lokasi itu ditetapkan
menjadi hutan lindung, sehingga tidak mungkin untuk
dimanfaatkan oleh pemerintah setempat.83
b. Pola Mobilitas
Data pemerintah Kabupaten Bombana menunjukkan
bahwa mobilitas masyarakat penambang sangat tinggi,
tidak hanya masyarakat lokal, tetapi juga dari luar
Sultra.Sebagian besar datang dari Sulawesi Tengah,
Sulawesi Utara, Gorontalo, Kalimantan dan Jawa

83

Penjelasan dari Dinas kehutanan kabupaten Bombana, hasil wawancara di


Bombana tanggal 12 Agustus 2009.

102

BAB III - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT DI BOMBANA

Timur.84Kebijakan yang diambil pemerintah ternyata


hanya bersifat pendataan tanpa mengatur dengan
seksama dalam suatu sistem pertambangan rakyat yang
efisien, efektif dan berwawasan lingkungan.85 Pada sisi
lain, walaupun kegiatan ini menghasilkan uang secara
instan, namun kenyataan menunjukkan bahwa sebagian
besar dari mereka tidak mengalami peningkatan
kesejahteraan yang berarti. Pada umumnya, selain
keahlian yang mereka miliki sangat terbatas, mereka
juga kurang memperhatikan Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (K3), sehingga di samping kegiatan
tersebut banyak bersifat spekulatif, juga banyak
diantara mereka yang akhirnya tewas terkubur dalam
lobang galian mereka sendiri.
Mobilitas masyarakat penambang yang tinggi
diikuti pula oleh mobilitas masyarakat penjual jasa dan
pedagang. Di beberapa tempat strategis, seperti di
tempat transit dan lokasi pemukiman yang sekaligus
penambangan, banyak masyarakat yang berdagang
berbagai kebutuhan penambang, seperti bahan
makanan, makanan siap saji dan perlengkapan
penambangan. Mereka berkembang menjadi suatu
komunitas tersendiri di wilayah penambangan yang
relatif terisolir, sehingga di lokasi tersebut terjadi
peningkatan harga-harga kebutuhan secara tajam, baik
sembako apalagi barang-barang yang terkait dengan
aktivitas
penambangan
seperti
wajan
untuk
84

Penjelasan Dinas Pertambangan Bombana pada bulan Desember 2008.


Lihat penjelasan bab II.

85

BAB iII - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT di BOMBANA

103

pendulangan, bensin/solar untuk mesin penyemprot,


selang, tenda plastik, dll.
Jumlah
masyarakat
yang
melakukan
penambangan sangat berfluktuatif. Pada akhir tahun
2008, data pemerintah lokal menunjukkan bahwa
penambang yang melakukan aktivitas penggalian di
sungai Tahi Ite, SP8 dan SP9 serta di beberapa wilayah di
sepanjang sungai, diperkirakan mencapai lebih dari 100
ribu orang, meskipun yang terdaftar sebagai penerima
Kartu Izin Masuk Penambangan (KIMP) hanya sebanyak
lebih dari 63 ribu orang. Dari data tersebut, komposisi
warga masyarakat yang terlibat adalah 59.826 orang
penduduk Sultra dan 4.034 penduduk non-Sultra.Akan
tetapi tidak ada data resmi yang menunjukkan jumlah
penduduk Kabupaten Bombana yang terlibat.Beberapa
sumber mengatakan bahwa penduduk Bombana yang
terlibat hanya sekitar 40 persen dari penduduk Sultra.86
Besarnya keterlibatan warga masyarakat nonBombana tidak terlepas dari peran dan kebijakan para
aparat
pemerintah
maupun
keamanan
di
wilayahnya.Sebagai contoh, Dinas Tenaga Kerja Pemkab
Kendari memberangkatkan sekitar 250 penambang ke
Bombana dalam dua gelombang. Jumlah itu belum
termasuk ribuan penambang lainnya dari Konawe
Selatan, Kolaka, Kolaka Utara, dan Muna, yang
berinisiatif
pergi
sendiri
tanpa
izin
dari

86

Data dan Penjelasan Dinas Pertambangan Kabupaten Bombana pada tanggal 20


Desember 2009.

104

BAB III - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT DI BOMBANA

pemkabnya.87Semua itu sepertinya didasarkan pada


keinginan pemerintah non-Bombana untuk membuka
peluang bagi masyarakatnya agar memperoleh
pekerjaan yang lebih menjanjikan.
Menyikapi membanjirnya penambang yang
datang ke Bombana, Pemkab Bombana merasa perlu
untuk melakukan pembatasan pendulang yang dimulai
sejak 1 November 2008. Pemkab memberlakukan biaya
izin per pendulang mulai dari Rp 300 ribu (untuk warga
Bombana) hingga Rp 1 juta (untuk warga luar Bombana)
dan iuran bulanan sebesar Rp 500 ribu. Meskipun
alasannya untuk penertiban, namun terkesan
kepentingan mendapatkan dana retribusi lebih utama
dibandingkan tujuan penertiban itu sendiri.
Sementara itu, tingginya mobilitas penambang
di Bombana dapat dilihat antara lain dari konvoi belasan
sepeda motor yang membawa peralatan sama: ransel
pakaian, wajan besar, sekop, linggis, jerigen, dan tenda
terpal, seperti yang terlihat pada Foto 3.2. Baik
pengemudi
maupun
pemboncengnya
rata-rata
berpakaian lusuh dan berdebu, yang mengindikasikan
mereka baru datang dari perjalanan yang cukup jauh.
Beberapa hal yang membuat mereka bergerak atau
berpindah, adalah:
1. Mencari lokasi baru untuk menambang dengan
membawa perlengkapan
penggalian dan
logistiknya;
87

Ibid.

BAB iII - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT di BOMBANA

105

2. Meninggalkan lokasi untuk sementara karena


logistik habis, ingin istirahat atau bila ingin
menjual butiran emasnya.
3. Meninggalkan lokasi untuk selamanya karena
tidak akan menambang lagi.
Adapun pola mobilitas dari kelompok
penambang yang satu dengan yang lain umumnya tidak
sama. Untuk penambang yang berasal dari sekitar
Bombana, ada yang mening-galkan lokasi seminggu
seka-li, dua minggu sekali ataupun sebulan sekali.

Sumber: Dokumen Tambang Tim LIPI.

Foto 3. 2. Para penambang dan sepeda motornya


tengah beristirahat sebelum
melanjutkan perjalanan mereka
menuju lokasi penambangan.

Sedangkan yang berasal dari luar Sultra, mereka


melakukannya sebulan atau pun dua bulan
sekali.Perbedaan pola tersebut tidak lepas dari alasan
pertama dan kedua di atas, tetapi ada juga untuk

106

BAB III - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT DI BOMBANA

keperluan lainnya, seperti mengurus kebun atau karena


tidak mendapatkan hasil.88
c. Mekanisme Kerja Kelompok
Untuk dapat melakukan proses dari awal hingga akhir
penambangan, biasanya para penambang bekerja
berkelompok, meskipun ada juga beberapa orang yang
melakukannya sendirian. Dengan membentuk kelompok
yang beranggotakan minimal 3 orang dan maksimal bisa
lebih dari sepuluh orang, mereka membagi tugas kerja
untuk mempercepat dan mempermudah pekerjaan
mereka.Pembagian tugas dalam satu kelompok,
biasanya terdiri dari menggali tanah, menyediakan air,
mendulang, dan menyiapkan logistik. Pembentukkan
kelompok menjadi perlu, karena pasir yang mengandung
butiran emas biasanya terdapat pada kedalaman
tertentu,berkisar dari kedalaman empat meter hingga
kurang dari satu meter.
Namun demikian, kedalaman pasir tersebut
berbeda dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Seperti di
Wumbubangka, penambang baru mendapatkan pasir
tersebut pada kedalaman 4-6 meter. Pasir yang
bercampur tanah itu lantas dikumpulkan untuk didulang
dengan menggunakan air.89 Dari praktek di Bombana,
pendulangan oleh masyarakat diperkirakan seki-tar 80
persen proses dilakukan di kawasan aliran sungai.
88

Hasil wawancara dengan para penambang di Bombana pada tanggal 10-13 Agustus
2009.
89
Lihat bab penggalian dan pengolahan

BAB iII - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT di BOMBANA

107

Hasildari pendulangan tersebut adalah serbuk dan


butiran emas (Foto 3.3).

Sumber: Dokumen Tambang Tim LIPI.

Foto 3. 3. Foto butiran emas yang berhasil


diperoleh oleh kelompok penambang
setelah didulang dengan menggunakan
kuali.

Kedatangan puluhan ribu penambang emas


benar-benar menyulap wajah lahan transmigran di
Sentra Permukiman Delapan (SP-8). Kawasan padang
ilalang yang dulu tak terjamah itu pun berubah menjadi
sebuah kota baru. Pusat keramaian Bombana seolah
pindah ke SP-8.Di lokasi ini, tingkat kedalaman pasir
yang mengandung emas juga sulit diduga. Ada yang baru
menggali dua meter sudah mendapatkan pasir yang
mengandung emas, tetapi ada juga harus menggali
hingga enam meter baru mendapatkan yang mereka
cari. Pada umumnya, pasir yang mengandung emas
diam-bil dari sebuah lobang berukuran sekitar 1,5 x 1,5
meter. Kalau lobang galian tersebut sudah tidak
mengandung pasir tersebut, maka para penambang

108

BAB III - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT DI BOMBANA

membuat lobang yang baru, baik di lokasi yang sama


atau pindah ke lokasi yang baru. Lobang yang lama dan
tanah sisa galian cenderung dibiarkan begitu
saja.Akibatnya di lokasi penambangan terdapat banyak
lobang sisa galian yang mencapai ratusan jumlahnya
(Foto 3.4).

Sumber: Dokumen Tambang Tim LIPI.

Foto 3. 4. Lobang bekas galian para penambang


di SP-8 yang ditinggalkan begitu saja.

Semakin banyak orang yang datang, semakin


kecil jumlah pendapatan yang diperoleh setiap
harinya.Ada yang hanya mendapat 1-2 kaca90 per hari
ada sampai beberapa gram. Biasanya dihitung dalam
kelompok, bila mendapat lima gram emas dan satub
kelompok berangota 10 orang, maka diperkirakan akan
diperoleh satu seperempat juta rupiah. Dari jumlah
tersebut kemudian dibagi rata seluruh anggota
kelompok, maka per orang 125 ribu rupiah per
90

1 kaca = 0,1 gram (1/10 gram)

BAB iII - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT di BOMBANA

109

hari.ratusan pengepul emas siap membeli dengan harga


bersaing.91
d. Kegiatan yang Menghasilkan Dampak Multiplier
Suatu kegiatan ekonomi tidak pernah berdiri sendiri, akan
tetapi cenderung saling mempengaruhi. Masyarakat
penambang yang tinggal di pinggiran Sungai Tahi Ite serta
lahan SP-8 berjumlah puluhan ribu,bahkan pernah
mencapai jumlah lebih dari seratus ribu pendulang,dan
mereka membangun tenda (kemah) sebagai rumah
sementara.Ribuan tenda itu umumnya seragam, yakni
berbahan terpal biru.
Banyaknya tenda tersebut membuat lokasi-lokasi
itumenjadi mirip perkampungan,bahkan di SP-8 yang
merupakan lokasi terpadat malah hampir menyerupai
sebuah kota. Di sana ada pasar yang menjajakan segala
kebutuhan para penambang (Foto 3.5). Mulai beras
hingga linggis,bahkan praktek lokalisasi terselubung pun
tersedia. Perputaran uang di SP-8 dan Desa Raurau yang

91

Sebagai perbandingan, di lokasi SP8 proses penambangan secara berkelompok,


bukan hanya dilakukan diantara masyarakat saja, tetapi masyarakat yang bekerja
dalam perusahaan. Di lokasi penambangan ternyata pemerintah mengeluarkan izin
kuasa pertambangan (KP)eksplorasi kepada PT Panca Logam Makmur (PLM).
Perusahaan itu bekerja pada lokasi seluas 1.200 hektare.Mereka masih tahap
eksplorasi.PT PLM menggunakan alat berat, seperti ekskavator (untuk menggali
material), dump truck (pengangkut material ke lokasi pendulangan), empat mesin
molen (untuk mempercepat pendulangan), hingga ekstraktor (pengumpul serbuk
emas).Khusus alat ekstraktor didatangkan dari Kanada.Para pendulang yang terdiri
dari masyarakat merupakan mitra kerja mereka dengan sistem bagi hasil 70:30.
Artinya, apabila dalam sehari mendapatkan 100 gram, bagian PT PLM sebanyak 70
gram dan sisanya milik pekerja.

110

BAB III - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT DI BOMBANA

tidak jauh dari SP-8, diperkirakan bisa mencapai miliran


rupiah per hari.Perkiraan ini didasarkan pada perhitungan
bahwa, setiap pendulang rata-rata mendapatkan 1 gram
emas per hari, maka saat itu juga dia memiliki uang
kontan sekitar Rp 250 ribu. Jika di dua kawasan
penambangan tersebut terdapat 60 ribu penambang,
total uang kontan yang berputar bisa mencapai Rp 15
miliar per hari. Itu dengan asumsi seluruh pendulang
menjual emasnya tidak di luar lokasi penambangan.

Sumber: Dokumen Tambang Tim LIPI.

Foto 3. 5.Pasar di lokasi penambangan SP-9 yang


juga menjual ikan laut segar walau
lokasinya jauh di pedalaman.

Tingginya perputaran uang dan jauhnya lokasi


penambangan dari pusat perekonomian daerah,
membuat harga kebutuhan sehari-hari menjadi mahal.
Harga mi rebus plus telur, misalnya, bisa mencapai Rp
15.000,- per porsi. Air dalam kemasan ukuran 1,5 liter
yang biasanya harganya Rp 3000,- dijual dengan harga

BAB iII - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT di BOMBANA

111

tiga kali lipat. Harga seekor ayam bisa mencapai Rp 200


ribu per ekor.Terbatasnya uang kontan sering memaksa
penambang menggunakan emas sebagai alat tukar,
khususnya ketika mereka terbentur oleh kebutuhan
mendesak.Bahkan, sudah menjadi rahasia umum,
transaksi seks juga ada yang menggunakan tarif gramgraman emas.92
Jumlah sepeda motor yang beroperasi di
kawasan tersebut sangat banyak, bukan hanya untuk
mobilitas penambang, tetapi sepeda motor ini juga
merupakan alat angkut barang-barang bawaan mereka,
termasuk batu-batu mereka. Hal itu setidaknya dapat
ditunjukkan dengan banyaknya sepeda motor yang lalu
lalang, baikdi lokasi maupun dari jalan masuk SP2.
Demikian pula, ketika mereka tidak lagi menjadi
penambang, banyak diantara mereka tetap bekerja di
kawasan tersebut menjadi tukang ojek dengan
memanfaatkan motor sebagai sarananya. Selain itu,
mobil berpenggerak empat roda (four-wheel-drive/4WD)
beraneka merek, seperti Toyota Hardtop, Mitsubishi
Strada, Toyota Hilux, dan Ford Ranger turut merambah
wilayah-wilayah penambangan. Para pemilik mobil
bertenaga besar itu pada umumnya adalah pemasok
kebutuhan air bersih, bahan makanan maupun para
pedagang/pemodal yang punya anak buah di lokasi
penambangan.

92

Penjelasan dari beberapa orang yang bekerja di sungai Tahi Ite, hasil wawancara
pada bulan Desember 2008.

112

BAB III - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT DI BOMBANA

Tingginya intensitas kegiatan penambangan


tersebut berdampak luas pada banyak pihak yang
melaksanakan kegiatan di kawasan tersebut.Kegiatan
yang mendukung penambangan yang signifikan dapat
dilihat di jalan menuju Sungai Tahi Ite.Berbagai macam
warung berjejer di pinggir jalan tersebut untuk
memenuhi segala kebutuhan para penambang maupun
pengunjung di kawasan itu.Warung-warung tersebut
merupakan warung tumbuh, yaitu ramai menjamur
ketika mulai ada penambang.Mereka menjual berbagai
macam kebutuhan penambang, mulai makanan dan
bahan makanan, kelengkapan tambang hingga
kelengkapan untuk bermukim, seperti tikar, tenda, tali
dll.

Potret Masyarakat Pasca Maret 2009


Sejak bulan Maret hingga pertengahan tahun 2009, tepatnya
sejak tanggal 17 Maret 2009, merupakan hari-hari yang
kelam bagi masyarakat penambang di kawasan
pertambangan di Bombana. Pemerintah Kabupaten Bombana
memberlakukan kebijakan untuk mengakhiri masa
berlakunya KIMP.Berakhirnya pemberlakuan KIMP tersebut
telah membawa beberapa konsekuensi atau dampak yang
lebih banyak negatifnya dibanding positifnya.
a. Chaos di Lokasi Penambangan
Setelah 6 bulan masa berlaku KIMP yang berakhir pada
tanggal 17 Maret 2009, maka pemerintah kabupaten
Bombana berencana menutup dan mengosongkan lokasi
yang dipergunakan rakyat untuk menambang. Namun

BAB iII - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT di BOMBANA

113

dalam pelaksanaannya, ternyata tindakan pengosongan


tersebut dipercepat dua hari menjadi tanggal 15 Maret.
Menurut Ketua Tim Penertiban Tambang Emas
Kabupaten Bombana, tanggal tersebut merupakan batas
waktu terakhir bagi puluhan ribu pendulang atau
penambang untuk meninggalkan lokasi pertambangan
baik di lokasi Wumbubangka, Tahi Ite, maupun di
berbagai lokasi lainnya. Tidak terkecuali bagi sekitar
seribu pedagang yang berjualan di kawasan
pertambangan itu. Untuk mengefektifkan pengosongan
tersebut, maka mulai tanggal 6 hingga 9 Maret dilakukan
sosialisasi yang disertai dengan penutupan lobang-lobang
tikus yang menjadi peninggalan puluhan ribu
penambang/pendulang. Pada tanggal 10 hingga 14 Maret
dilaksanakanlah pengosongan lokasi tersebut dengan
menyuruh semua pendulang dan pedagang untuk segera
meninggalkan lokasi pertambangan tersebut. Tindakan
pengosongan ini, kemudian diikuti dengan pemutusan
jalur-jalur alternatif yang jadi pintu masuk pendulang
selama ini, kecuali dua jalur yaitu Tahi Ite dan SP2.93Ada
beberapa alasan mengapa penutupan tersebut
dipercepat, yaitu:94

93

Masa berlaku KIMP sudah tidak diperpanjang lagi


setelah masa berlakunya berakhir pada tanggal 17
Maret 2009.

Adanya pesta demokrasi Pemilu Presiden maupun


Pemilu Calon Legislatif

Kendari Pos, 3 Maret 2009.


Penjelasan Ketua Tim Penertiban Tambang Emas Kabupaten Bombana.

94

114
-

BAB III - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT DI BOMBANA

Kerusakan lingkungan di lokasi pertambangan sudah


sangat parah.

Meskipun dalam sepekan sebelum tanggal 17


Maret sudah puluhan ribu masyarakat penambang
meninggalkan lokasi tambang emas dan kembali ke
daerah masing-masing,namun pada kenyataan, pada
tanggal 17 Maret itu masih banyak para penambang yang
tetap bertahan di lokasi. Akibatnya, petugas penertiban
yang dibantu aparat kepolisian mengusir mereka secara
paksa dari kawasan tambang.Pengusiran tersebut diawali
dengan pembakaran ribuan tenda para penambang yang
masih bertahan dalam beberapa hari terakhir sebelum
tanggal 17 Maret tersebut.Tenda-tenda para penambang
yang di dalamnya masih terdapat tas pakaian, uang dan
berbagai perlengkapan lainnya, dibakar tanpa kompromi.
Padahal, kartu izin penambangan yang dibayar Rp
500.000 plus retribusi Rp 300.000 per bulan baru akan
berakhir masa berlakunya pada hari Selasa tanggal 17
Maret 2009. Beberapa penambang yang tendanya
dibakar menangis histeris karena di dalam tenda masih
terdapat pakaian dan sejumlah uang.95
Masyarakat yang menambang emas pada saat
ini masih banyak yang bertahan, tetapi mereka
bersembunyi di kawasan hutan sekitar lokasi
penambangan dan melakukan aktifitasnya melalui jalanjalan tikus.Penambang yang bersembunyi di dalam
95

Penjelasan salah seorang penambang emas asal Kota Baubau pada


http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/ dinamika/artikel.php (diunduh pada
tanggal 12 September 2009).

BAB iII - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT di BOMBANA

115

kawasan hutan diperkirakan jumlahnya masih mencapai


ribuan orang.Kalaupun ada yang tertangkap tangan oleh
petugas, ternyata mereka masih bisa bernegosiasi.Oleh
karena itu, dengan kondisi yang demikian,
makasepertinya akan sulit untuk bisa menghentikan
aktivitas penambangan emas yang dilakukan oleh
masyarakat di Bombana.
Upaya
penutupan tersebut
ditanggapi
masyarakat secara beragam. Sekelompok massa yang
menamakan diri Forum Aspirasi Masyarakat pemilik
lahan tambang dan peternak sapi di wilayah Kecamatan
Rarowatu menyatakan bahwa mereka merasa tidak
dihargai karena tidak pernah dilibatkan atau tidak diajak
bermusyawarah dalam pengambilan keputusan oleh
Pemkab Bombana ataupun oleh pihak investor dalam
pengelolaan tambang emas khususnya yang berada
dalam cakupan lahan milik mereka. Mereka meminta
agar diakui secara defacto bahwa sebagian besar lahanlahan tambang di wilayah Bombana adalah milik
masyarakat yang telah lama dimanfaatkan yang
dibuktikan dengan keberadaan berbagai jenis tanaman di
lahan tersebut.Oleh karena itu, kemudian pemkab
Bombana meminta kepada para investor yang sudah
memperoleh izin KP untuk melakukan koordinasi secara
transparan dengan pemilik lahan tambang yang akan
dijadikan bahan pertimbangan bagi Bupati dan DPRD
dalam pengambilan keputusan.96 Mereka juga
96

Hasil tatap muka antara para pejabat kabupaten Bombana dengan Wakil Gubernur
Sultra di Rumbia pada tanggal 16 Desmber 2008.

116

BAB III - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT DI BOMBANA

mengungkapkan kekesalan mereka atas banyaknya izin


KP yang dikeluarkan Pemkab Bombana yang sudah
mencapai 11 investor,97 sehingga sebagian besar lahan
yang tersedia sudah dikuasai oleh para investor tanpa
ada alokasi untuk penambangan rakyat. Mereka
berkeinginan, sesuai dengan janji Bupati, agar
masyarakat masih tetap dapat menambang dengan cara
bermitra.Oleh karena itu, mereka menuntut kepada
pemkab Bombana agar mencabut Ijin Usaha
Pertambangan (IUP) investor yang tidak menjalin
kesepakatan dan kerjasama yang baik dengan pemilik
lahan.
b. Keterlibatan Oknum Aparat
Pada pasca penertiban,terungkap di lapangan bahwa
ternyata bukan hanya masyarakat saja yang mencuri-curi
untuk melakukan penambangan, tetapi yang lebih
mencolok adalah para oknum aparat pemerintah
maupun keamanan di Bombana yang juga kembali turut
memasukkan unit mesin penambangan98 mereka secara
ilegal. Razia Tim Penertiban dari Propinsi, menemukan 50
unit mesin penambangan yang beroperasi pasca
penertiban di SP-9. Untuk itu Gubernur Sultra
memerintahkan untuk melakukan pembersihan atas
semua unit mesin penambangan ilegal tersebut.Hal itu
97

Pada waktu itu, masih 11 KP yang diproses oleh pemkab Bombana dan pada
kunjungan ke Bombana pada Juni 2010, Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang
diproses oleh Dinas Pertambangan Bombana sudah mencapai 40 IUP.
98
Satu unit mesin penambangan terdiri dari satu mesin semprot dan satu mesin
penghisap serta sebuah sluice box.

BAB iII - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT di BOMBANA

117

dimaksudkan agar semua pihak merasa diperlakukan


secara adil, sehingga tidak ada persepsi hanya
masyarakat biasa saja yang dikeluarkan. Terkait
penutupan tambang emas Bombana, Gubernur Sultra,
Nur Alam, menyatakan perlunya melakukan pemetaan
kembali sistem alokasi wilayahnya agar menjadi jelas
mana wilayah yang boleh digunakan rakyat dengan tertib
dan mana lokasi yang dipersiapkan untuk industri
berskala besar.99Sebab tidak dapat dipungkiri, bahwa
kehadiran industri besar itu juga banyak memberi
manfaat. Selain membuka lapangan kerja baru, juga ada
royalti, pajak dan keuntungan-keuntungan lainnya yang
akan diterima oleh pemerintah daerah.
Namun sayangnya, karena keterbatasan sarana
dan prasarana serta kurangnya personil Tim Penertiban
Propinsi, maka puluhan mesin-mesin itu tidak dapat
langsung diangkat untuk diamankan sebagai barang
sitaan.Tim penertiban hanya melumpuhkan barang
temuan mereka dengan membongkar panel vital
mesin.Berbagai sumber mengatakan bahwa masuknya
mesin-mesin itu ke SP 9 bukan lewat jalur tikus,
melainkan diangkut melalui jalan atau akses umum.100
c. Politisasi Hak Ulayat
Pemanfaatan lahan bekas pemukiman yang sudah
ditinggalkan, selama ini tidak pernah menjadi persoalan,
99

Hasil wawancara dengan Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Sulawesi


Tenggara pada tanggal 14 Agustus 2009.
100
Ibid.

118

BAB III - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT DI BOMBANA

namun dengan adanya kandungan emas di lahan


tersebut,
mendadak
persoalan
hak
ulayat
dimunculkan.Momentum penutupan tambang oleh
pemerintah Kabupaten Bombana dimanfaatkan oleh
sejumlah tokoh masyarakat dan keluarganya untuk
mengklaim lokasi tersebut sebagai wilayah hak ulayat
mereka.Konsekuensinya, sejumlah tokoh suku Moronene
mulai memberlakukan pungutan terhadap penambang,
bila para penambang tersebut menggali lobang untuk
menambang di lahan tersebut.Mereka menganggap para
penambang itu beraktivitas di wilayah tanah ulayat
mereka.Itulah sebabnya mereka mengajukan protes
kepada DPRD dan Bupati atas beroperasinya PT Panca
Logam Makmur (PLM) yang telah mengantongi KP dari
Bupati di wilayah yang mereka klaim sebagai wilayah
mereka. Puluhan warga yang menamakan diri Forum
Masyarakat Rumpun Pewaris Tanah Adat RarowatuRarowatu Utara dengan Koordinator Lapangan bernama
Mansur Lababa dan Asrin Thayeb mendesak Bupati
Bombana untuk mencabut semua rekomendasi KP yang
sudah dikeluarkan karena dinilai telah merugikan
masyarakat pewaris tanah adat khususnya di wilayah
Rarowatu dan Rarowatu Utara.
Tak diketahui berapa nilai kompensasi dari
pemanfaatan tanah ulayat tersebut.Yang jelas, sejak
ramainya pendulangan di lahan lokasi penambangan,
pungutan mengatasnamakan masyarakat setempat mulai
marak.Para penambang bahkan dikenai pungutan lebih
sekali dalam sehari. Nilainya bervariasi. Yang termurah

BAB iII - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT di BOMBANA

119

Rp 10.000 setiap penambang per tiga hari.Selain


pungutan, pemilik tanah ulayat menerapkan bagi hasil
terhadap para penambang liar.Misalnya, yang dilakukan
Budirman, tokoh setempat, yang menetapkan bagi hasil
5:2 terhadap para penambang. Artinya, setiap 5 gram
emas yang diperoleh pendulang, 2 gram diserahkan
kepada Budirman.101
Sementara itu, di sisi lain Dinas Pertambangan
Kabupaten Bombana sudah mengeluarkan izin KP kepada
dua perusahaan, yakni PT PLM dan PT Tiran
Indonesia.Izin KP itu masih untuk tahap eksplorasi alias
penelitian belum sampai pada tahap eksploitasi.Namun
walaupun KP nya masih eksplorasi, PT PLM terlihat sudah
melakukan aktifitas penambangan dengan melibatkan
sebagian masyarakat yang menambang sebagai pekerja
mereka.
Kegiatan penambangan emas ini juga memicu
bermunculannya para pedagang atau pembeli emas. Di pasar
Kasipute dapat dijumpai deretan kios bertuliskan beli emas
yang siap membeli emas hasil penambangan. Harga yang
dipatok biasanya seragam, yakni Rp 250.000,- per gram.
Harga ini jauh lebih mahal dibanding saat pekan-pekan
pertama ditemukannya emas yang hanya dihargai sekitar Rp
180.000,- per gram.

101

Penjelasan dari keturuan pemilik lahan yang telah menempati wilayah SP 8


sebelum ada transmigarsi di wilayah tersebut.Hasil wawancara pada tanggal 12
Agustus 2009.

120

BAB III - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT DI BOMBANA

Perubahan Kondisi Masyarakat


Perubahan yang terjadi dengan sangat cepat yang
berpengaruh kuat pada kehidupan sosial ekonomi dan tata
sosial budaya masyarakat tidak dapat dielakkan lagi.Hal itu
tidak hanya berlaku bagi masyarakat yang melakukan
penambangan, tetapi juga masyarakat yang berada di sekitar
kawasan penambangan khususnya dan di Bombana pada
umumnya.Beberapa hal penting yang mengalami perubahan,
dapat diuraikan seperti di bawah ini.
a. Perubahan sosial-ekonomi
Daya tarik emas yang begitu besardan kuat yang
menjanjikan penghasilan yang menggiurkan di tengah
kondisi perekonomian yang sulit, membuat informasi
tentang tambang emas yang diperoleh masyarakat
menjadi sesuatu yang sangat menggoda. Hal itu dapat
dilihat dari begitu ditemukannya emas pada tanggal 5
September 2008 oleh warga setempat di Sungai Tahi Ite,
maka secara cepat pula ribuan penambang dadakan
berbondong-bondong
menuju
Bombana.Darihasil
wawancara dengan para penambang, diketahui bahwa
meskipun informasi yang mereka peroleh tidak cukup
jelas dan umumnya hanya dari mulut ke mulut, namun hal
itu telah mampu membuat mereka meninggalkan
daerahnya dan pekerjaannya, yang umumnya petani,
nelayan dan pedagang.
Adanya kegiatan penambangan emas di
Bombana, telah jadi pembicaraan sejak orang pertama
kali mendarat di Bandara Walter Robert Monginsid di

BAB iII - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT di BOMBANA

121

Kendari, karena bandara tersebut adalah satu-satunya


lokasi pendaratan terdekat bagi para penambang dari luar
Sulawesi Tenggara.Bahkan menurut Dinas Perhubungan
Pemprov Sultra, rata-rata isian pesawat yang menuju
Kendari meningkat mencapai 90 persen. Sriwijaya Air,
misalnya, yang pada 10 Desember 2008 atau berselang
dua bulan sejak ditemukannya emas, menambah jadwal
kursi penerbangan dari 125 seat menjadi 144 seat per
hari. Sementara itu, Garuda Indonesia berusaha
mempercepat rencana membuka rute baru Kendari
Jakarta melalui Makassar dari Maret 2009 menjadi 16
Januari lalu.102
Sejak adanya tambang emas, kondisi Kota
Kasipute mendadak berubah drastis.Aktivitas ekonomi
menggeliat kencang.SPBU yang sebelumnya sepi
pembeli, belakangan diserbu berbagai kendaraan. Mulai
sepeda motor yang rata-rata baru, hingga mobil 4WD
yang akan menuju lokasi penambangan. Saat stok bensin
di SPBU habis, pengendara tak punya pilihan selain
membeli dari penjual eceran dengan harga Rp 10.000,per liter.
Berbondong-bondongnya
masyarakat
ke
wilayah penambangan untuk mengadu nasibnya, tidak
hanya terjadi pada masyarakat yang memang telah
berprofesi sebagai penambang di wilayah lain, tetapi
masyarakat lokal Bombana juga berusaha mengambil
bagian.Dari penjelasan pihak pemkab maupun
102

Kaltim Pos, Januari 2009.

122

BAB III - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT DI BOMBANA

masyarakat di Bombana, banyak petani lebih suka pergi


mendulang emas daripada mengurus hasil panen
mereka.Nelayan juga enggan melaut.Demikian juga para
sopir, pengojek, dan pedagang.Bahkan, saat itu sejumlah
perkantoran juga sepi ditinggal karyawannya untuk pergi
menambang.Banyak sekali warga ramai-ramai hijrah ke
lokasi penambangan.
Namun demikian, besarnya jumlah masyarakat
yang melakukan aktivitas penambangan dari Sulawesi
Tenggara dan non-Sulawesi Tenggara telah membawa
persoalan sosial, budaya dan ekonomi yang signifikan di
wilayah tersebut. Daya tarik untuk mendapatkan
penghasilan yang tinggi dalam waktu singkat dari
kegiatan menambang, telah menyebabkan beralihnya
profesi masyarakat dari sebelumnya petani, pedagang
atau nelayan menjadi penambang. Kondisi ini telah
menyebabkan terjadinya kegoncangan keseimbangan
perekonomian di Kabupaten Bombana, khususnya di kota
Rumbia. Warga masyarakat yang selama ini memenuhi
kebutuhan hidupnya dari para petani, nelayan ataupun
dari buruh, sekarang sulit untuk mendapatkan bahan
kebutuhan hidup sehari-hari seperti beras, ikan dan
bahkan tenaga buruh bangunan pun sudah sulit untuk
didapatkan.103
Hampir semua sektor tenaga kerja menjadi
lumpuh karena terjadinya alih profesi besar-besaran
menjadi penambang, bahkan sejumlah oknum pegawai
103

Hasil wawancara dengan beberapa warga kota Rumbia pada bulan Desember
2008 dan Agustus 2009.

BAB iII - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT di BOMBANA

123

negeri sipil turut mengambil bagian, sehingga proses


produksi di sektor lainnya menjadi hampir tidak berjalan.
Dampaknya, berbagai lapangan kerja yang ditinggalkan
tersebut menjadi lumpuh dan berimbas kepada
mandegnya suplai berbagai kebutuhan masyarakat,
sehingga berujung pada kelangkaan persediaan
kebutuhan hidup dan naiknya harga-harga kebutuhan
tersebut. Masyarakat mengeluhkan sepinya jual beli di
pasar Kasipute dan hampir tidak adanya aktivitas di
pelabuhan di Kasipute. Bahkan sejumlah pegawai negeri
sipil (PNS) pun nekat bersama teman-temannya sekantor
membolos beberapa hari untuk mendulang. Beberapa
oknum polisi yang seharusnya mengamankan Kasipute
juga ada yang ikut menambang. Di tengah euforia itu,
Bupati Bombana Atikurrahman maupun Kapolres
Bombana AKBP Yan Sultra sepertinya mengizinkan juga
anak buahnya untuk mendulang. Sejumlah warga
tetangga Kabupaten Bombana juga tersedot ke SP-8 dan
Sungai Tahi Ite.104
Sementara itu, para pengojek mulai jarang
beroperasi sejak maraknya aktivitas penambangan
emas.Mereka lebih suka mendulang emas.Pilihan
tersebut dapat dipahami, karena dalam sekali mendulang
emas mereka dapat mengantongi 0,5 gram hingga 1
gram.Itu setara dengan sepuluh kali lipat dari
penghasilannya sebagai tukang ojek.Kalaupun ada
pengojek, itu pun hanya satu dua.Mereka mematok tarif
104

Penjelasan beberapa warga Kasipute, pejabat pemda maupun berita yang tertulis
di Kaltim Pos, Januari 2009.

124

BAB III - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT DI BOMBANA

yang sangat mahal. Sebagai contoh, bila akan ke lokasi


penambangan di SP-8 tarif yang dipatok hingga sampai
tiga lipat bahkan lebih dari tarif biasanya, yaitu Rp 400
ribu untuk menyewa ojek setengah hari berkeliling SP-8
dan Sungai Tahi Ite. Namun demikian ada juga beberapa
tukang ojek asli dari Rumbia yang juga berprofesi sebagai
pendulang. Mereka menjadi tukang ojek sebagai
selingan, yakni ketika mereka sedang istirahat dari
kegiatan menambang.
Perubahan yang signifikan terjadi pada
penjualan kendaraan roda dua. Warga Bombana banyak
yang membelanjakan uang hasil penambangannya untuk
kendaraan bermotor. Sebelum ada penambangan emas,
jumlah penjualan sepeda motor sangat rendah, tetapi
setelah dibuka penambangan sejak 1 November 2008,
banyak sepeda motor dan mobil baru yang beroperasi
dengan rata-rata berpelat nomor mulai bulan OktoberNovember 2008. Kendaraan-kendaraan itu umumnya
dibeli merekasecara tunai. Bahkan menurut pengelola
Hotel Yayad, pada bulan-bulan itu hingga Maret 2009
banyak dealer yang kehabisan persediaan. Mereka
meminta tambahan ke Makassar bahkan ke Surabaya.
Bahkan untuk mempermudah pembeli, beberapa dealer
sengaja membuka show room di pinggir jalan.
Namun demikian, tingginya transaksi uang
tunai yang terjadi acapkali tidak diimbangi dengan
perluasan layanan perbankan.Tiga bank yang ada, yakni
Bank BRI, Bank Muamalat, dan BPD Sultra, selalu ramai
dan
cenderung
kewalahan
melayani
antrian

BAB iII - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT di BOMBANA

125

nasabah.Bahkan, satu-satunya ATM milik BPD Sultra


sering tidak berfungsi.Akibat sulitnya transaksi dengan
uang tunai, maka banyak yang melakukan transaksi
dengan menggunakan butiran emas.Model transaksi
dengan emas ini ternyata juga sampai pada transaksi
yang dilakukan penambang dengan TSK.Menurut para
penambang, tarif mereka antara 1-2 gram emas,
tergantung kemolekannya.105
Tingkat hunian hotel juga meningkat
drastis.Mayoritas hotel di Kasipute penuh oleh calon
penambang
atau
pembeli
emas
dari
luar
Bombana.Padahal, pengelola hotel sudah menaikkan
harga menginap hingga 100 persen dari hari
biasanya.Selain itu juga, dalam beberapa bulan jumlah
hotel yang ada di Rumbia dengan cepat bertambah.
Dengan fasilitas yang sama dengan kategori hotel melati,
pemilik hotel tersebut memasang tarif seharga hotel
bintang layaknya.
b. Perubahan Budaya
Perubahan budaya masyarakat di Bombana terlihat masih
relevan didekati dengan pemikiran Selo Soemarjan, yang
menekankan bahwa perubahan sosial yang dialami suatu
masyarakat bukan suatu yang salah, mengingat
perubahan sosial merupakan variasi dan cara hidup yang
diterima, baik karena perubahan kondisi geografis,
kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi

105

Penjelasan penambang dari Lamongan, Jatim, pada tanggal 10 Agustus 2009.

126

BAB III - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT DI BOMBANA

maupun adanya penemuan baru (difusi) dalam


masyarakat, seperti yang terjadi di Bombana. Perubahan
tersebut dapat mencakup segala sistem sosial yang
berkembang, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap dan
pola perilaku di antara kelompok masyarakat.106
Bila diperhatikan sejarah sosial kehidupan
masyarakat di Bombana, sistem sosial yang awalnya
dibangun adalah suatu sistem masyarakat petani maupun
masyarakat nelayan, dimana hal itu berbeda dengan
budaya kegiatan menambang yang tengah dilakukan oleh
masyarakat. Budaya petani ataupun nelayan dalam
menjalankan aktivitasnya secara umum membutuhkan
proses, waktu dan ketekunan tersendiri, mulai dari
mengolah tanah, menanam bibit, merawat hingga
tumbuh dan baru kemudian mendapat hasil. Sedangkan
pada para nelayan, mereka mulai dengan membuat jaring
dan kapal, menyiapkan keperluan ke laut, waktu ke laut,
menangkap ikan dan membawa pulang hasil yang dibatasi
oleh waktu.Di sini ada keteraturan dan ketentuan yang
mau tidak mau harus diikuti.Pola pekerjaan yang demikian
kemudian menjadi budaya dan cara hidup yang turun
temurun.
Sementara itu, kegiatan menambang hasilnya
cenderung instan, karena bila hari ini mendapatkan hasil
maka hari itu juga bisa memperoleh uang, yang biasanya
dalam jumlah jauh lebih besar bila dibandingkan dengan
hasil sebagai petani ataupun nelayan dan buruh
106

Selo Soemarjan, Pengantar Sosiologi, Jakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas


Ekonomi Universitas Indonesia, 1964.

BAB iII - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT di BOMBANA

127

bangunan. Akibatnya, ketika hal itu terus berlangsung dan


masyarakat terbiasa dengan pola yang demikian, maka
mereka akan mengalami perubahan budaya dari budaya
proses ke budaya instan yang akan sangat merugikan
dalam jangka panjang. Sebenarnya pola pekerjaan
penambangan pun ada prosesnya, yaitu proses penataan
kembali atau penghijauan kembali lahan setelah
ditambang.Namun proses tersebut tidak dilakukan oleh
masyarakat yang melakukan penambangan, mengingat
mereka mengerjakannya di lahan umum tanpa
pengawasan. Dalam jangka panjang, dapat dipastikan
kerusakan lingkungan akan menyebar secara meluas dan
menjadikan lahan-lahan tersebut tidak produktif lagi.
Persoalan di atas bukan saja akanmenyebabkan
terjadinya degradasi lingkungan, tetapi masyarakat juga
akan mengalami degradasi sosial kemasyarakatan, karena
pekerjaan penambangan telah mulai membentuk mereka
untuk hanya memikirkan diri dan kelompoknya. Salah satu
yang dapat dilihat secara nyata, yaitu ketika para
penambang mengalami kecelakaan hingga tertimbun
tanah, hanya beberapa yang kemudian digali dan
dikembalikan
ke
daerahnya
oleh
sesama
temannya.Namun karena sebagian besar mereka datang
untuk mengadu nasib secara sendiri-sendiri, maka ketika
hal itu terjadi, tidak terlihat adanya keinginan untuk
membantu.Akibatnya, banyak yang dibiarkan terkubur
dalam timbunan tanah di lobang galiannya. Bahkan
beredar suatu keyakinan diantara mereka, bahwa

128

BAB III - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT DI BOMBANA

semakin banyak yang mati tertimbun, maka emasnya


akansemakin banyak.107
c. Perubahan Relasi
Penambangan emas di Bombana telah mengubah pola
kehidupan banyak masyarakat di wilayah tersebut secara
cepat.Sebagaimana dijelaskan oleh John Paul Laderach
dalam transformasi konfliknya, bahwa perubahanperubahan di sekitar suatu masyarakat yang terjadi
secara cepat merupakan suatu konflik tersendiri. Hal itu
akan berdampak pada dimensi-dimensi personal,
struktural, relasional dan kultural. Perubahan khusus
pada dimensi relasi, akanmempengaruhi aspek-aspek
afektivitas
relasi,
kekuasaan,
ketergantungan,
108
komunikasi dan interaksi. Dalam konteks tersebut,
hubungan atau relasi antar pemangku kepentingan di
kawasan tempat masyarakat menambang di Bombana
memperlihatkan suatu pola tertentu yang dapat
dijabarkan sebagai berikut:
Antar masyarakat yang melakukan penambangan
Pada umumnya para penambang tersebut datang
dari berbagai desa, kabupaten dan pulau, yang tidak
saling mengenal satu dengan yang lain. Namun,
mereka mempunyai tujuan yang sama satu dengan
yang lain, maka komunikasi yang dibangun pada
107

Penjelasan masyarakat yang melakukan penambangan di SP8 , hasil wawancara


pada tanggal 12 Agustus 2009
108
John Paul Lederach, Konflik dan Perubahan, Transformasi Konflik (terjemahan),
Jogyakarta: Duta Wacana Press, 2005, hlm.36.

BAB iII - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT di BOMBANA

129

umumnya saling menunjukkan batas hak penggalian


tanah yang ditambang. Sepanjang tidak melanggar
wilayah penggalian masing-masing, maka tidak akan
timbul masalah. Sedangkan interaksi yang dibangun
hampir tidak ada, sehingga secara umum mereka
berinteraksi dengan kelompoknya sendiri.
Antara masyarakat
penambang

umum

dengan masyarakat

Komunikasi dan interaksi para penambang dengan


masyarakat umum hampir tidak ada, karena para
penambang hidup secara ekslusif.Kalaupun ada,
hanya untuk kepentingan tertentu, seperti bila
mereka membutuhkan pertolongan atau ijin untuk
masuk ke dalam wilayah tersebut.
Antara pemasok kebutuhan dengan masyarakat
penambang
Komunikasi dan interaksi para penambang lebih
banyak dengan para pemasok kebutuhan
penambangan ataupun kebutuhan sehari-hari
maupun dengan pemodal yang menfasilitasi dana
kegiatan tersebut, dibandingkan dengan masyarakat
umum.
Meskipun
demikian,
mereka
cenderungmembatasi interaksi mereka sesuai
dengan kebutuhannya.
Antara aparat (keamanan dan pemerintah) dengan
masyarakat penambang

130

BAB III - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT DI BOMBANA

Hampir tidak ada komunikasi dan interaksi para


penambang dengan aparat.Terutama setelah
kejadian pengusiran pada bulan Maret 2009,
membuat mereka enggan bertemu dengan
aparat.Pola yang mereka bangun cenderung
menggunakan perantara daripada berhubungan
langsung dengan aparat. Perantara tersebut biasanya
penguasa lahan tempat mereka beraktivitas yang
melakukan komunikasi dan interaksi dengan aparat
maupun oknum aparat yang ingin mengambil
keuntungan atas kegiatan mereka.
d. Kerentanan terhadap Penyakit dan Keselamatan Kerja
Kegiatan penambangan yang dilakukan di sungai dengan
cara pendulangan dalam jumlah banyak menimbulkan
persoalan tersendiri bagi kesehatan. Ketika jumlah para
pendulang tersebut sudah terlalu banyak, maka aktivitas
mereka berdampak pada rusaknya badan sungai
sehingga tidak berbentuk lagi dan air sungai menjadi
tidak mengalir lagi. Bila diperhatikan, kondisi badan
sungai tersebut lebih mirip kubangan besar daripada
sebuah sungai.Hal itu disebabkan karena banyak
pendulang yang nekat menggali dasar atau pinggir
sungai yang mereka perkirakan mengandung emas.Hal
yang memprihatinkan adalah, bahwa seluruh aktivitas
keseharian penambang tersebut dilakukan di kubangan
itu. Mereka mendirikan tenda di dekat kubangan dan
umumnya mereka menggunakan genangan air tersebut

BAB iII - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT di BOMBANA

131

untuk berbagai kebutuhan mereka, seperti mandi dan


mencuci (Foto 3.6).

Sumber: Dokumen Tambang Tim LIPI.

Foto 3. 6. Foto penambang yang menggunakan


air genangan untuk kebutuhan mandi
dan mencuci di sungai Tahi Ite.

Data yang ada di kabupaten menunjukkan


bahwa tidak sedikit pendulang yang terkena diare
karena kondisi kotor tersebut.Data itu selaras dengan
pengamatan di lapangan, karena banyak penambang di
lokasi-lokasi SP maupun di sungai Tahi Ite mengalami
gatal-gatal dan diare. Hal ini bisa dimengerti karena
begitu rendahnya tingkat sanitasi dan kebersihan di
lokasi tersebut, dan hal itu sebetulnya merupakan
konsekuensi logis dari adanya aktivitas puluhan ribu
orang di suatu areal yang terbatas.Air bersih serta MCK
merupakan aspek yang terabaikan dan merupakan

132

BAB III - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT DI BOMBANA

faktor yang bertanggungjawab terhadap berjangkitnya


penyakit tersebut di atas.109
Masyarakat yang melakukan penambangan
dengan cara pendulangan tersebut, pada umumnya
tidak memiliki pemahaman tentang bagaimana cara
menambang yang baik dan benar.Ketika mereka
mendulang pada aliran sungai, hampir tidak ada resiko
yang mengancam nyawa mereka. Namun ketika pasir
yang akan didulang tersebut tidak lagi mereka temukan
pada aliran sungai, maka mereka mulai melakukan
penggalian di sepanjang bantaran sungai. Walaupun
lobang penggalian mereka hanya mencapai kedalaman
sekitar 4-5 meter, namun karena mereka mencoba
membuat terowongan pada kedalaman tersebut,
sementara tanah penutupnya merupakan material
lepas, maka banyak diantara mereka yang kemudian
terkubur ketika terowongan itu ambruk atau amblas.
Tidak ada data akurat tentang jumlah penambang yang
mengalami kecelakaan dan meninggal akibat ambrukan
lobang galian tersebut. Data di Kabupaten mencatat 39
orang telah meninggal dunia akibat tertimbun di lobang
galian mereka, sedangkan data di Propinsi menyebutkan
40 orang. Namun informasi di lapangan yang diperoleh
dari penambang, di lokasi SP-9saja tidak kurang dari 100
orang yang sudah meninggal sejak pertambangan
tersebut dimulai.
109

Penjelasan dokter dari Kementerian Kesehatan RI yang telah selesai melakukan


peninjauan di lokasi masyarakat penambang dalam tatap muka antara aparat
PemKab Bombana dengan Wakil Gubernur Sultra di Rumbia pada tanggal 16
Desember 2008.

BAB iII - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT di BOMBANA

133

Dampak lingkungan yang terjadi saat ini sudah cukup


mengkhawatirkan karena kegiatan penggalian dan
pendulangan yang dilakukan oleh para penambang
tersebut telah menyebabkan hancurnya sistem sungai
dan ekologinya, terutama di lokasi SP-8 dan SP-9.Pada
saat ini, sudah sangat sulit untuk dapat mengenali aliran
sungai asal karena semua badan sungai tersebut sudah
diacak-acak oleh lobang penggalian masyarakat.Semua
wilayah yang tadinya bantaran sungai sekarang sudah
berubah menjadi deretan lobang-lobang yang berjejer
teratur dan nyaris tanpa antara lagi.Air menjadi sangat
keruh dan sebagian besar tergenang membentuk kolam
kubangan dan hanya pada bagian tertentu saja yang
masih mengalir.Selain itu, lahan-lahan produktif yang
tadinya berupa kebun coklat di tebing sungai, sekarang
berubah menjadi kumpulan lobang-lobang dan tanah
timbunan yang jelas tidak dapat lagi dimanfaatkan
begitu saja untuk perkebunan.

Penutup
Kegiatan penambangan emas yang dilakukan oleh
masyarakat, secara cepat telah memberikan dampak yang
signifikan terhadap budaya dan ekonomi masyarakat
Bombana.Dengan belajar dan meniru dari para pendatang
yang sebagian besar telah lama menggeluti penambangan
tradisional tersebut, ternyata dengan cepat masyarakat yang
tadinya non-penambang dapat beradaptasi menjadi
penambang emas secara sederhana, yaitu dengan cara
mendulang.Perubahan profesi yang mereka lakoni telah
mengubah perilaku mereka dari masyarakat yang memiliki

134

BAB III - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT DI BOMBANA

budaya proses, sebagaimana budaya petani atau nelayan,


menjadi budaya penambang yang serba instan. Menggali hari
ini maka hari ini pula mendapatkan hasilnya.Daya tarik
aktivitas yang langsung mendapatkan hasil tersebut telah
mengubah budaya masyarakat sehingga mereka tidak lagi
berada dalam tatanan kemasyarakatan yang mereka
warisi.Akibatnya
keseimbangan
aktivitas
sekolah,
pemerintahan, pasar, petani, nelayan maupun pelaku
ekonomi lainnya terganggu.Chaos ekonomi tidak dapat
dihindari pada akhir tahun 2008 hingga akhir tahun 2009
ketika penelitian ini dilakukan.
Tingginya frekuensi masyarakat yang datang ke
lokasi dan tingginya jumlah warga masyarakat yang beralih
profesi atau hanya sebatas diversifikasi pekerjaan merupakan
suatu kondisi yang menunjukkan bahwa daya tarik
penambangan
emas
sangatlah
tinggi.Keikutsertaan
masyarakat, tidak hanya mereka yang telah memiliki latar
belakang sebagai penambang emas, telah memberikan
pengalaman yang berbeda kepada masyarakat lokal yang
umumnya berasal dari kalangan petani atau nelayan. Pola
relasi yang terbentuk pada komunitas penambang tersebut
sangat berbeda dibandingkan dengan masyarakat petani
atau nelayan.Pertama, interaksi aktor pada kegiatan
penambangan tidak terbangun secara baik, meskipun mereka
ada yang bekerja dalam kelompok, tetapi cenderung
individual dan tidak cukup berinteraksi dengan yang lain.
Kedua, pola pekerjaan penambangan memberikan hasil yang
instan, yaitu mulai bekerja pagi dan sore sudah mendapatkan
hasil atau setidaknya dikumpulkan hingga seminggu. Kondisi

BAB iII - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT di BOMBANA

135

yang cepat untuk mendapatkan hasil ini, telah mengajarkan


kepada mereka suatu budaya untuk mendapatkan sesuatu
secara instan. Berbeda halnya dengan budaya petani atau
pekebun yang membutuhkan waktu dan proses untuk dapat
menghasilkan sesuatu. Tipe pekerjaan yang dilakukan terus
menerus dan menjadi suatu kebiasaan, akan menjadi suatu
budaya bagi masyarakat tersebut. Oleh karena itu, akan
menjadi suatu yang sulit nantinya bagi pemerintah atau
masyarakat itu sendiri untuk kembali kepada budaya asal
mereka,bila mereka tidak lagi bertani.
Ketika suatu wilayah menjadi chaos, maka
pemerintah daerah perlu segera menata dan melakukan
musyawarah di semua level masyarakat maupun
pemerintahan untuk mencari jalan keluarnya,mengingat
ternyata tidak ada suatu jaminan bahwa masyarakat menjadi
lebih baik kehidupan ekonominya setelah bekerja menjadi
penambang.
Pembangunan
suatu
kawasan
memerlukan
keseimbangan pada aspek-aspek yang berperan dalam
pembangunan itu. Dengan kata lain, proses pembangunan
tidak dapat hanya fokus pada satu sektor dan mengabaikan
atau mengalahkan sektor lainnya. Oleh karena itu, bila
pertambangan akan dijadikan salah satu sektor unggulan di
kabupaten tersebut, maka haruslah diperhatikan secara
cermat aspek-aspek yang terkait. Khusus dalam hal pekerja
atau masyarakat yang melakukan penambangan, haruslah
mempertimbangkan sejumlah hal seperti: (i) membuat
ketentuan siapa yang berhak mekakukan penambangan; (ii)
melakukan penyiapan pengetahuan dan ketrampilan

136

BAB III - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT DI BOMBANA

masyarakat yang terkait dengan penambangan; (iii)


pengaturan pengorganisasian dan kelembagaannya serta
mekanisme operasionalnya. Dengan demikian, baik secara
langsung maupun tidak langsung, kegiatan pertambangan
oleh masyarakat tersebut akan memberikan dampak yang
positif bagi kawasan tersebut.

BAB iII - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT di BOMBANA

137

Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik, Kabupaten Bombana dalam Angka
2007/2008, Rumbia: Badan Pusat Statestik
Kabupaten Bombana, 2008.
Chambers, Robert, Poverty and Livelihoods: Whose Rality
Counts?, dalam Uner Kirdar dan Leonard Silk
(eds.).People:
from
Inpoverishment
to
Empowerment, New York: New York University
Press, 1995.
Delors, Jacques, Questions Concerning Europian Security,
Brussels, Address, International Institute for
Strategic Studies, September, 1993.
Kartasasmita, Ginandjar, Pembangunan untuk Rakyat:
Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan.
Jakarta: CIDES, 1996.
Lederach, John Paul, Konflik dan Perubahan, Transformasi
Konflik (terjemahan), Jogyakarta: Duta Wacana
Press, 2005
Mubyarto, Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia. Jakarta:
LP3ES, 1988.
Sasono, Adi, Ekonomi Kerakyatan dalam Dinamika
Perubahan paper yang disampaikan dalam
Konferensi Internasional Ekonomi Jaringan: Menuju
Demokratisasi Ekonomi di Indonesia di Hotel
Shangri-La, 6-7 Desember 1999, Jakarta, Indonesia,
1999.
Soemarjan, Selo. Pengantar Sosiologi, Jakarta: Yayasan
Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,
1964.

138

BAB III - DAMPAK KEGIATAN PENAMBANGAN EMAS TERHADAP SOSIAL


BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT DI BOMBANA

Sosialismanto, Duto, Hegemoni Negara: Ekonomi Politik


Pedesaan Jawa, Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama,
2001.
Yuliati, Yayuk dan Poernomo, Mangku, Sosiologi Pedesaan,
Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2003.
Zulkarnain, Iskandar dkk., Dinamika dan Peran
Pertambangan Rakyat di Indonesia, Jakarta: Riset
Kompetitif LIPI, 2007.
Zulkarnain, Iskandar dkk., Konflik di Kawasan Pertambangan
Timah, Bangka Belitung: Persoalan dan Alternatif
Solusi, Jakarta: Riset Kompetitif Pengembangan
Iptek LIPI, 2005.
Zulkarnain, Iskandar dkk., Panduan Pemberdayaan
Masyarakat di Kawasan Pertambangan, Jakarta:
Riset Kompetitif Pengembangan IPTEK LIPI, 2006
Zulkarnain, Iskandar dkk., Potensi Konflik di Daerah
Pertambangan: Kasus Cikotok dan Pongkor, Jakarta:
Riset Kompetitif Pengembangan Iptek LIPI, 2003.

BAB

4
TEKNIK PENAMBANGAN EMAS DI
BOMBANA:
Tipologi dan Dampaknya
Oleh: Eko Tri Sumarnadi Agustinus

Pendahuluan
Teknik penambangan emas yang diterapkan oleh masyarakat
penambang di Bombana, seperti teknik penambangan yang
umum dijumpai di semua lokasi penambangan masyarakat,
juga merupakan teknik sederhana dan diaplikasikan dengan
peralatan yang mudah untuk diperoleh. Teknik penambangan
yang diterapkan oleh masyarakat pada dasarnya dapat
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu teknik penambangan
komoditi primer (dalam hal ini hanya emas) dan teknik
penambangan komoditi sekunder (emas, timah dan intan).
Endapan emas yang ditemukan di Bombana merupakan jenis
endapan sekunder, sehingga teknologi penambangan yang
diterapkan tersebut lebih bersifat mekanis dan hampir tidak
menggunakan reagen/zat kimia yang sangat berpotensi
menimbulkan pencemaran. Akan tetapi, kegiatan mekanis

139

140

BAB IV - DAMPAK PENAMBANGAN EMAS dI BOMBANA: Tipologi dan


Dampaknya

berupa penggalian yang terjadi dalam proses penambangan


emas di Bombana ini justru telah menimbulkan dampak
lingkungan yang sangat serius.
Teknik penambangan emas di Bombana menjadi
penting untuk dibahas dan diangkat dalam tulisan ini, di
samping karena penambangan emas sekunder relatif jarang
terjadi di Indonesia juga karena kegiatan penambangan yang
dilakukan oleh masyarakat dalam kurun waktu enam bulan
(mulai September 2008 hingga 17 Maret 2009) tersebut telah
menyebabkan terjadinya konsentrasi manusia di kawasan
tersebut hingga lebih dari 125.000 orang. Adanya aktivitas
ratusan ribu orang yang terlibat dalam proses penambangan
emas di Bombana tersebut tidak diragukan lagi akan
menyebabkan berbagai dampak terhadap kondisi sekitarnya,
baik dampak sosial, ekonomi, budaya, politik dan juga
lingkungan. Namun demikian, yang akan dibahas dalam
tulisan ini hanyalah terfokus kepada tipologi teknik
penambangan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut serta
dampak yang ditimbulkannya. Tulisan ini akan diakhiri
dengan sebuah catatan penutup yang berisi sebuah
rekomendasi tentang teknik penambangan yang efektif dan
berwawasan lingkungan, yang dapat menjadi pilihan bagi
pemerintah suatu daerah dalam mengelola pertambangan
emas sekunder dalam skala masyarakat.

Keterdapatan Emas di Alam dan Teknik


Penambangannya
Secara umum, keterdapatan emas di alam dapat
diklasifikasikan menjadi 2 jenis yang berbeda, yakni cebakan

BAB IV TEKNIK PENAMBANGAN EMAS DI BOMBANA:


Tipologi dan Dampaknya

141

emas primer dan cebakan emas sekunder.110 Cebakan emas


primer pada umumnya terdapat didalam perut bumi dalam
bentuk urat-urat kuarsa (vein) yang mengandung emas dan
masih bercampur dengan mineral asosiasinya. Batuan kuarsa
yang mengandung emas tersebut seringkali disebut sebagai
bijih emas.111 Keberadaan logam emas di dalam batuan pada
cebakan emas primer bisa dalam bentuk nuggets,112 yakni
berupa butiran logam emas murni (native gold), tetapi bisa
juga berupa butiran emas sangat halus yang terjebak di
dalam mineral sulfida dan/atau mineral oksida lainnya.
Cebakan emas primer pada umumnya terdapat berasosiasi
dengan batuan volkanik dan magmatik karena dalam proses
pengendapannya logam emas tersebut ditransport oleh
fluida hydrothermal yang terjadi akibat proses magmatik
atau volkanik. Sedangkan cebakan emas sekunder terbentuk
akibat adanya proses pelapukan, baik secara fisik maupun
kimia, dari batuan pembawa cebakan emas primer yang
kemudian dibawa oleh aliran air sungai dan akhirnya
110

Cebakan adalah terminologi untuk cadangan komoditi logam yang terdapat di


dalam batuan pembawanya. Lihat Iskandar Zulkarnain, dkk, Konsep Pertambangan
Rakyat dalam Kerangka Pengelolaan Sumber Daya Tambang yang Berkelanjutan,
LIPI Press, Jakarta, 2008.
111
Suratman, dkk, Pelindian Bijih Emas dengan Larutan Amonia Tiosulfat (Batch
Scale), tekMIRA,2006. Sebagai ilustrasi dijelaskan pada hasil identifikasi mineralogi
dan karakterisasi contoh bijih emas secara mikroskopis menunjukkan bahwa
cebakan emas yang berasosiasi dengan urat kuarsa digolongkan menjadi empat
macam, yakni : fasies karbonan- kuarsa, mangan oksida-kuarsa, kuarsa opal berlapis
dan kuarsa bersulfida. Beberapa jenis mineral yang berasosiasi dengan emas
diantaranya pirit, galena, sfalerit, kalkopirit, silikat ( plagioklas, klorit, dll) bersama
material karbonan.
112
http: //www.dim.esdm.go.id/2005-04-05/endapan placer, diunduh bulan
Oktober 2009.
Nuggets adalah butiran logam emas yang terdapat di alam yang relatif murni
dengan bentuk tidak beraturan dan dapat dilihat secara kasat mata.

142

BAB IV - DAMPAK PENAMBANGAN EMAS dI BOMBANA: Tipologi dan


Dampaknya

diendapkan pada daerah aliran sungai yang berarus lemah.


Bila lokasi pengendapannya masih dekat dengan sumber
pelapukannya, maka endapan itu disebut endapan elluvial,
tetapi bila sudah jauh dari sumbernya dikenal dengan nama
endapan alluvial. Cebakan emas sekunder yang terdapat di
dalam kedua endapan tersebut dikenal dengan nama
cebakan emas letakan (placer gold deposit), seperti yang
ditambang masyarakat di Kabupaten Bombana, Provinsi
Sulawesi Tenggara.
Terkait dengan sistem penambangan suatu cebakan
bahan galian, baik berupa cebakan primer maupun sekunder,
secara umum dikenal dua sistem penambangan yang
berbeda, yakni sistem tambang bawah tanah (underground
mining) dan sistem tambang terbuka (surface mining).
Namun dalam kasus tertentu, seperti ketika suatu cebakan
sekunder berada dibawah permukaan air, maka sistem
penambangannya dapat dilakukan dengan sistem tambang
bawah air (underwater mining). Pemilihan sistem
penambangan yang paling tepat dan ekonomis untuk suatu
cebakan bahan galian tertentu, biasanya sangat tergantung
pada nilai stripping ratio113 dari cebakan tersebut. Semua
proses penambangan bahan galian biasanya akan
menggunakan salah satu sistem penambangan di atas atau
kombinasinya yang dianggap paling ekonomis dan efisien.
113

Stripping ratio : adalah perbandingan antara volume atau berat material tanah
penutup terhadap volume atau berat bahan galian atau bijih yang akan ditambang.
Stripping ratio merupakan salah satu faktor dalam pemilihan sistem penambangan.
Semakin besar nilai stripping ratio pada umumnya diatas (>5) lebih cocok untuk
ditambang dengan sistem tambang bawah tanah (underground mining) ketimbang
sistem tambang terbuka (surface mining) disamping faktor-faktor lainnya.

BAB IV TEKNIK PENAMBANGAN EMAS DI BOMBANA:


Tipologi dan Dampaknya

143

Contoh penerapan sistem tambang bawah tanah di


Indonesia, adalah pada penambangan bijih emas di Pongkor
oleh PT. Aneka Tambang dan Lebong Tandai oleh PT Lusang
Mining. Sedangkan sistem tambang terbuka antara lain
diterapkan oleh PT. Nusa Halmahera Minerals pada
penambangan bijih emas di Kabupaten Halmahera Utara.
Sementara itu, penerapan kombinasi sistem tambang
terbuka dan tertutup dilakukan oleh PT. Freeport Indonesia
untuk penambangan bijih tembaga (termasuk emas di
dalamnya) di Tembagapura, Papua. Adapun contoh
penerapan sistem tambang bawah air, dapat dilihat pada
penambangan timah di P. Bangka dan P. Belitung yang
dilakukan dengan menggunakan kapal keruk.
Proses penambangan pada dasarnya berlangsung
dalam 3 (tiga) rangkaian kegiatan, yakni pembongkaran,
pemuatan dan pengangkutan. Tingkat kesulitan proses
penambangan suatu bahan galian akan sangat tergantung
pada kondisi dan karakter cebakan yang akan ditambang,
meliputi jenis dan bentuk tiga dimensi cebakan (mencakup
panjang, lebar, dan ketebalan) serta kedalaman atau
ketebalan lapisan tanah penutup. Sementara itu, teknik
penambangannya mencakup berbagai cara, mulai dari
menggunakan alat gali yang paling sederhana (cangkul,
pahat, palu, ganco) hingga menggunakan alat berat (seperti
excavator). Akan tetapi pada kasus dimana batuannya
bersifat keras dan kompak, maka pada umumnya dibantu
dengan menggunakan bahan peledak dengan teknik

144

BAB IV - DAMPAK PENAMBANGAN EMAS dI BOMBANA: Tipologi dan


Dampaknya

peledakan yang tepat.114 Demikian pula cara untuk pemuatan


dan pengangkutannya dapat dilakukan dengan menggunakan
beragam peralatan, mulai dari yang sederhana (manual)
hingga menggunakan peralatan modern yang bersifat
mekanis dan elektris.
Pada tahapan selanjutnya, bahan galian yang sudah
ditambang (bijih) harus diproses untuk mendapatkan
komoditi mineralnya. Proses ini pada prinsipnya adalah suatu
rangkaian kegiatan untuk memisahkan logam yang akan
diambil dari mineral-mineral lain yang terdapat bersama
logam tersebut di dalam bijih. 115 Mineral lainnya itu disebut
sebagai mineral pengotor, sedangkan prosesnya dikenal
dengan nama proses benefisiasi. Benefisiasi mineral logam
primer dapat dilakukan berdasarkan: (i) perbedaan sifat-sifat
fisik, baik perbedaan berat jenis (specific gravity), perbedaan
sifat permukaan mineral (flotasi) maupun perbedaan sifat
kemagnitan (magnetic separator); (ii) perbedaan sifat-sifat
kimia maupun kombinasi dengan sifat-sifat fisik, seperti pada
proses amalgamasi, sianidasi, dan thioureasi.116 Sementara
itu, proses benefisiasi pada logam sekunder pada umumnya
didasarkan pada perbedaan berat jenis dan dilakukan dengan
menggunakan media air atau aliran air. Proses benefisiasi
114

Teknik peledakan biasa digunakan dalam teknologi penambangan terutama


untuk batuan yang bersifat keras, baik untuk sistem penambangan bawah tanah
(seperti di Pongkor) maupun untuk tambang terbuka (seperti di Batu Hijau dan
Garsberg) dan quarry industri semen (seperti di Cibinong dan Palimanan).
115
Taggart, Handbook of Mineral Dressing, John Wiley & Sons, Inc, New York, 1960
116
Amalgamasi adalah proses pengikatan logam emas (Au) dan perak (Ag) oleh air
raksa (Hg), sedangkan sianidasi adalah pelarutan (pelindian) logam emas (Au) dan
perak (Ag) oleh bahan sianida (KCN, NaCN). Sedangkan tioureasi adalah pelarutan
(pelindian) logam emas (Au) dan perak (Ag) ataupun logam dasar seperti tembaga
(Cu) oleh amonium thiourea atau amonium thiosulfat.

BAB IV TEKNIK PENAMBANGAN EMAS DI BOMBANA:


Tipologi dan Dampaknya

145

logam sekunder tersebut dapat dilakukan dari cara yang


paling sederhana, yakni menggunakan dulang (pans), hingga
cara moderen seperti menggunakan sluicebox dan/atau
(rockers), palong (long toms), jigs, humprey spiral dan meja
goyang (shaking table).

Konsep Good Mining Practice


Paradigma pengelolaan kegiatan usaha pertambangan yang
baik dan benar (good mining practice) yang membangun
peradaban, didefinisikan sebagai suatu kegiatan usaha
pertambangan yang memenuhi ketentuan-ketentuan,
kriteria, kaidah dan norma-norma yang tetap sehingga
pemanfaatan sumberdaya mineral memberikan hasil yang
optimal dan dampak buruk yang minimal.117 Semuanya itu
meliputi perizinan, teknik penambangan, keselamatan dan
kesehatan kerja (K3), kepedulian lingkungan, keterkaitan
hulu-hilir/konservasi, peningkatan nilai tambah dan
pengembangan masyarakat/wilayah di sekitar lokasi
kegiatan, serta mempersiapkan penutupan dan pasca
tambang, dalam bingkai kaidah peraturan perundangan dan
standar yang berlaku, sesuai dengan tahap-tahap kegiatan
pertambangan (Gambar 4.1).
Secara umum, konsep tersebut didasarkan pada
prinsip bahwa industri pertambangan umum, yakni industri
pertambangan mineral yang menghasilkan logam, non-logam
dan energi (batubara) serta panas bumi mempunyai titik
berat pada isu demokrasi, keadilan dan pemerataan yang
117

Suyartono, Good Mining Practice, Konsep tentang Pengelolaan Pertambangan


yang Baik dan Benar, Studi Nusa, Jakarta, 2003.

146

BAB IV - DAMPAK PENAMBANGAN EMAS dI BOMBANA: Tipologi dan


Dampaknya

harus melibatkan antar dan inter generasi. Konsep tersebut


hanya dapat terlaksana dengan baik jika melibatkan para
pemangku kepentingan (stakeholder) secara optimal dalam
bentuk kemitraan. Sementara pola pikir yang mendasarinya
adalah social justice and equity, pendekatan holistik,
komprehensif, terpadu, menghargai keanekaragaman atau
pluralisme serta berwawasan jangka panjang. 118

Gambar 4. 1. Bagan alir konsep good mining practice


(Suyartono, 2003).

Melalui tata cara pengelolaan pertambangan yang


baik dan benar, diharapkan dapat dihindari terjadinya
pemborosan sumberdaya mineral dan tercapainya
optimalisasi pemanfaatannya, terlindunginya fungsi-fungsi
lingkungan serta terlindunginya keselamatan dan kesehatan
118

Iskandar Zulkarnain, dkk, Konsep Pertambangan Rakyat dalam Kerangka


Pengelolaan Sumber Daya Tambang yang Berkelanjutan, LIPI Press, 2008, hlm. 12.

BAB IV TEKNIK PENAMBANGAN EMAS DI BOMBANA:


Tipologi dan Dampaknya

147

para pekerja. Oleh karena itu, dalam praktek pengelolaan


pertambangan yang baik dan benar perlu dilakukan: (i)
penerapan teknik pertambangan yang tepat; (ii) peduli
lingkungan; (iii) peduli keselamatan dan kesehatan kerja; (iv)
penerapan prinsip konservasi; (v) memiliki nilai tambah; (vi)
optimalisasi manfaat bagi masyarakat dan (vii) standardisasi
produk pertambangan. Namun dalam skala masyarakat yang
menambang, prinsip-prinsip tersebut masih sulit untuk
diterapkan, karena adanya sejumlah keterbatasan mereka,
seperti keterbatasan modal dan keahlian.119
Mengingat berbagai keterbatasan pada masyarakat
yang menambang, maka konsep good mining practice
tersebut perlu disesuaikan dengan kondisi masyarakat
penambang, terutama dalam memilih dan menerapkan
teknik pertambangan yang tepat. Diantara sejumlah
prosedur dalam penerapan teknik pertambangan yang tepat,
prosedur yang dapat dilakukan masyarakat penambang
hanya terbatas pada kegiatan penambangan, pengangkutan
dan pengolahan. Sedangkan kegiatan lainnya seperti
penetapan cadangan, studi kelayakan, penutupan tambang
dan pasca tambang, sulit untuk dapat dilaksanakan oleh
mereka, sehingga sebaiknya dilakukan oleh pemerintah.
Walaupun demikian, masyarakat yang menambang tersebut
tetap harus memiliki kepedulian terhadap lingkungan dan K-3
serta menerapkan prinsip optimalisasi pemanfaatan
sumberdaya mineral. Untuk membahas dan mengkaji
berbagai aspek dalam kegiatan masyarakat yang menambang
119

Ibid, hlm. 13-20.

148

BAB IV - DAMPAK PENAMBANGAN EMAS dI BOMBANA: Tipologi dan


Dampaknya

cebakan emas letakan (placer deposit) agar dapat memahami


persoalan yang dihadapi mereka dan mendapatkan teknik
penambangan yang tepat dengan mengacu kepada prinsipprinsip good mining practice, maka kegiatan masyarakat yang
menambang emas di Bombana akan dianalisis dengan
menggunakan konsep penambangan, konsep pengolahan
dan optimalisasi perolehan emas letakan yang telah
disesuaikan dengan skala masyarakat.

Konsep Penambangan Emas Letakan


Secara konseptual, sistem penambangan cebakan emas
letakan dapat dilakukan dengan sistem tambang terbuka
dan/atau sistem tambang bawah air (underwater mining)
karena pada umumnya terdapat pada cebakan eluvial
dan/atau aluvial tanpa dan/atau dengan lapisan tanah
penutup yang relatif tipis. Khusus untuk cebakan emas
letakan dimana komponen materialnya bersifat lepas dan
ukuran butirnya bergradasi dari kerakal, kerikil, pasir hingga
lanau, maka cara penambangan dan pengangkutannya dapat
dilakukan dengan metoda hydrolic mining, yakni suatu
metoda
penambangan
dimana
semua
aktivitas
penambangannya dilakukan dengan menggunakan media air.
Beberapa contoh penerapan metoda penambangan
tersebut, diantaranya adalah cara penambangan dengan
menggunakan kapal keruk (sistem tambang bawah air) dan
cara tambang semprot (sistem tambang terbuka).
Penambangan dengan mengunakan kapal keruk memerlukan
modal besar dan biasanya hanya dilakukan pada level

BAB IV TEKNIK PENAMBANGAN EMAS DI BOMBANA:


Tipologi dan Dampaknya

149

perusahaan, seperti penambangan yang dilakukan oleh PT


Timah di perairan Bangka dan Belitung.

Konsep Pemisahan Emas Letakan


Secara umum, konsep pemisahan mineral logam berharga
(emas) dari mineral-mineral pengotornya (impurities) dapat
dilakukan berdasarkan perbedaan sifat-sifat fisiknya. Salah
satu diantaranya adalah berdasarkan perbedaan berat jenis
(specific gravity=SG). Seperti diketahui bahwa mineral yang
mengandung logam emas (SG=14-19) yang berkadar tinggi
akan memiliki berat jenis yang tinggi pula, sementara itu
mineral-mineral pengotornya pada umumnya memiliki berat
jenis yang lebih ringan (SG=2,5-7,5).120 Perbedaan berat jenis
secara signifikan itulah yang dijadikan sebagai dasar dalam
memisahkan logam dari mineral pengotornya. Metoda
tersebut dikenal dengan nama metoda konsentrasi
gravimetri (gravity concentration).121 Metoda tersebut dalam
prosesnya selalu menggunakan media aliran air, dan metoda
ini merupakan yang paling cocok untuk diterapkan dalam
proses memperoleh emas letakan. Walaupun dalam
prakteknya, penerapan proses atau metoda tersebut belum
tentu memperoleh hasil yang optimal, karena sebagian
butiran emas yang berukuran sangat halus dalam bentuk
flour, fload atau colloidal gold seringkali hilang dalam
proses.122 Pada awal penemuan metoda ini, pemisahan emas
120

Touloukian, at all, Physical Properties of Rocks and Minerals, Volume II02,


McGraw Hill Book Company, New York, 1981
121
Gravity concentration, adalah konsentrasi bijih emas dengan menggunakan
prinsip perbedaan berat jenis (specific gravity).
122
Flour, fload, coloidal gold, merupakan peringkat bentuk ukuran butiran emas
yang relatif halus, dari yang berbentuk tepung hingga berbentuk koloidal.

150

BAB IV - DAMPAK PENAMBANGAN EMAS dI BOMBANA: Tipologi dan


Dampaknya

letakan dari pengotornya hanya mampu memperoleh emas


tidak lebih dari 60 %, namun sejak 1945 dengan perbaikan
variabel yang digunakan, perolehan emas bisa mencapai
sekitar 7075%.123 Kini dengan perubahan komponen dan
disain baru dari peralatan yang sejenis, perolehan emas
letakan dengan metoda ini semakin tinggi.
Peralatan untuk teknik konsentrasi gravimetri
mencakup dulang (pans), rocker atau sluicebox, longtoms,
jigs dan shakingtable. Namun demikian, tidak semua jenis
peralatan tersebut dapat efektif dalam memperoleh emas,
karena masih tergantung dari faktor kondisi masing-masing
cebakan emas letakan tersebut. Faktor kondisi tersebut
meliputi ukuran besar butir, kandungan lempung (clay),
distribusi ukuran emas, derajat liberasi butiran emas,
karakter air dan aliran air yang semuanya itu akan
berpengaruh terhadap tingkat perolehan emas. 124 Guna lebih
memahami karakteristik alat dan kondisi pemrosesan dengan
metoda tersebut, perlu dilakukan percobaan secara intensif
dan sejumlah pengujian sebagai salah satu persyaratan
dalam perencanaan maupun dalam sistem perolehan emas
yang optimal.
Metoda konsentrasi gravimetri ini bertujuan untuk
memisahkan bijih (ore) emas letakan dari batuan/tanah
penambangan (run of mine). Batuan/tanah tersebut
diperlakukan sebagai umpan (feed) proses untuk
menghasilkan 2 (dua) jenis produk, yakni konsentrat
123

Spiller D.E, Gravity Separation of Gold then and now, Denver, Colorado, 1983.
Michael Silva, Placer Gold Recovery Methods, California Department of
Concervation Division of Mines and Geology, 1986.
124

BAB IV TEKNIK PENAMBANGAN EMAS DI BOMBANA:


Tipologi dan Dampaknya

151

(concentrate) dan ampas (tailing). Secara ideal, tingkat


prosentase perolehan emas letakan yang tinggi akan
mengindikasikan bahwa semua atau sebanyak mungkin emas
yang terkandung di dalam umpan akan masuk atau berada di
dalam konsentrat, sedangkan mineral-mineral pengotornya
akan berada di dalam ampas. Namun demikian, dalam
prakteknya proses pemisahan tersebut tidak pernah
sempurna, karena sebagian mineral pengotor ikut masuk ke
dalam konsentrat, sedangkan sebagian logam emas ikut
masuk ke dalam ampas. Hal tersebut terjadi karena terdapat
berbagai faktor yang berperan dalam proses pemisahan
tersebut.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa tidak
hanya faktor karakteristik bijih sebagai umpan proses yang
berperan dalam menentukan tingkat perolehan, tetapi juga
faktor kondisi dan jenis alat yang digunakan serta faktor
keahlian
operator
dalam
menentukan
variabel
pengoperasiannya. Dengan demikian, untuk menghasilkan
produk pemisahan emas letakan yang optimal perlu
memperhatikan faktor-faktor yang berkaitan dan
berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung
terhadap proses pemisahan tersebut. Berikut ini adalah salah
satu konsep tentang bagaimana cara menerapkan metoda
konsentrasi gravimetri untuk memperoleh tingkat perolehan
emas letakan yang optimal.

Konsep Peningkatan Perolehan Emas Letakan


Menurut Silva (1983), untuk meningkatkan perolehan emas
letakan secara optimal dapat dilakukan melalui kombinasi

152

BAB IV - DAMPAK PENAMBANGAN EMAS dI BOMBANA: Tipologi dan


Dampaknya

dari 3 (tiga) tahapan proses, yakni tahap roughing, cleaning


dan scavenging (Gambar 4.2).

Gambar 4. 2. Bagan alir konsep metoda perolehan emas


letakan

Tahap roughing, adalah tahap pertama dalam proses


pemisahan bijih yang langsung menggunakan batuan/tanah
dari hasil penambangan sebagai umpan proses. Alat yang
digunakan disebut roughers, biasanya berupa rocker
dan/atau sluicebox. Proses pemisahan ini menghasilkan 2
(dua) jenis produk, yakni konsentrat (C1) dan ampas (T1).
Konsentrat tersebut pada umumnya masih mengandung
mineral-mineral pengotor, demikian pula pada ampas yang
diperoleh kemungkinan masih terdapat mineral yang
mengandung emas di dalamnya.
Tahap kedua dalam proses pemisahan ini adalah
tahap cleaning, yakni merupakan proses mengolah kembali

BAB IV TEKNIK PENAMBANGAN EMAS DI BOMBANA:


Tipologi dan Dampaknya

153

konsentrat (C1) yang diperoleh dari roughers untuk


menghilangkan mineral-mineral pengotornya yang pada
umumnya berupa pasir berwarna hitam (black sand). Proses
ini sangat sederhana sekali, yakni berupa proses pencucian
dan/atau pemisahan butiran emas dari pasir hitam (black
sand). Proses cleaning ini dapat dilakukan secara manual
dengan menggunakan dulang atau dengan peralatan lainnya
yang bersifat mekanis, seperti jigs dan shaking tables.
Sebagai umpan dalam proses cleaning ini adalah konsentrat
yang diperoleh dari proses pemisahan pada tahap pertama
atau roughing (C1). Proses pemisahan tahap kedua ini atau
cleaning juga akan menghasilkan 2 (dua) jenis produk, yakni
konsentrat (C2) dan ampas (T2). Konsentrat C2 pada umumnya
sudah benar-benar bersih dari mineral-mineral pengotornya
dibandingkan konsentrat roughing (C1) dan hanya terdiri dari
butiran emas, sedangkan ampasnya (T2) harusnya sudah
tidak lagi mengandung emas dan bisa langsung dibuang ke
disposal.
Tahap ketiga dalam proses pemisahan ini adalah
tahap scavenging. Tahap ini ditujukan untuk memperoleh
logam emas dari ampas T1 yang masih mengandung emas,
sehingga yang digunakan sebagai umpan dalam proses ini
adalah ampas pada tahap pertama atau roughing (T1) dan
tahap kedua atau cleaning (T2) bila diduga masih ada mineral
pembawa emas di dalamnya. Alat yang digunakan disebut
sebagai scavengers yang bisa berupa sluicebox atau
longtoms. Proses pemisahan tahap ketiga ini juga
menghasilkan 2 (dua) jenis produk, yakni konsentrat (C3)
terdiri dari butiran emas yang relatif halus dan bersih dari

154

BAB IV - DAMPAK PENAMBANGAN EMAS dI BOMBANA: Tipologi dan


Dampaknya

mineral-mineral pengotornya dan ampas (T3) yang sudah


tidak lagi mengandung butiran emas sehingga bisa langsung
dibuang ke disposal.
Ketiga konsep di atas yang merupakan konsep
pengelolaan pertambangan good mining practice yang telah
disesuaikan dalam skala masyarakat yang menambang,
selanjutnya akan digunakan dalam menganalisis tipologi
penambangan emas di Bombana.

Tipologi Penambangan Emas di Bombana


Cebakan emas di daerah Bombana dikategorikan sebagai
cebakan emas letakan karena pada umumnya terdapat
berupa endapan sungai, dengan ketebalan lapisan yang
mengandung emas hanya sekitar 0,3 meter, sedangkan
ketebalan lapisan tanah penutup bervariasi dari 1 hingga 8
meter. Dengan kondisi demikian, maka akan sangat mudah
bagi masyarakat yang menambang untuk mendapatkan
butiran emas, baik dengan cara pendulangan maupun
dengan cara penggalian (sumuran, paritan) ataupun dengan
metoda tambang semprot.
Teknik penambangan cebakan emas letakan yang
dijumpai di Bombana, pada prinsipnya merupakan kombinasi
dari 3 (tiga) kegiatan, yakni pembongkaran, pengangkutan
dan pengolahan/pemisahan yang dilakukan secara simultan.
Walaupun ketiga kegiatan itu dilakukan oleh semua
penambang, baik secara perorangan maupun berkelompok,
namun terdapat perbedaan diantara mereka dalam jumlah
perolehan, karena adanya perbedaan pada peralatan yang
digunakan untuk ketiga proses kegiatan tersebut. Tipologi

BAB IV TEKNIK PENAMBANGAN EMAS DI BOMBANA:


Tipologi dan Dampaknya

155

penambangan emas yang dilakukan oleh masyarakat di


Bombana, dapat dikelompokkan menjadi tiga tipologi seperti
disajikan pada Tabel 4.1.
Tabel 4. 1. Tipologi penambangan emas oleh masyarakat di
Bombana.
No.
1

Tipologi
Penambangan dan
perolehan emas
letakan dengan
cara pendulangan

Peralatan
Dulang yang
terbuat dari kayu
dan wajan yang
terbuat dari
logam.

Keterangan
Pendulangan
yang dilakukan
pada badan
sungai
(perorangan)

Penambangan
dengan cara
penggalian
berbentuk
(sumuran, paritan)
dan perolehan
emas letakan
dengan mini
sluicebox dan
pendulangan

Cangkul, linggis
dan sekop sebagai
alat gali. Mini
sluicebox dan
dulang yang
terbuat dari kayu
serta wajan yang
terbuat dari
logam.

Pembuatan
sumuran,
paritan di tepi
sungai untuk
memperoleh
umpan mini
sluicebox dan
pendulangan
(kelompok: 3-5
orang)

Penambangan
dengan cara
tambang semprot,
perolehan emas
letakan dengan
sluicebox, longtoms
dan pendulangan

Pompa air, selang


air dan monitor,
sluice box,
longtoms
Dulang yang
terbuat dari kayu
dan wajan yang
terbuat dari
logam

Penyemprotan
dengan air
bertekanan
tinggi untuk
memperoleh
umpan sluice
box, longtoms
dan
pendulangan.
(kelompok: 5-10
orang)

156

BAB IV - DAMPAK PENAMBANGAN EMAS dI BOMBANA: Tipologi dan


Dampaknya

Berikut ini diuraikan ketiga tipologi penambangan emas yang


dilakukan oleh masyarakat di Bombana secara lebih detil,
sehingga dapat dianalisis tingkat efisiensi dan ekonomisnya.
Tipologi 1. Penambangan dan Perolehan Emas Letakan
dengan Cara Pendulangan.
Ketika pertama kali emas ditemukan di daerah
Bombana, sang penemu mendapatkannya melalui
pendulangan di suatu lokasi di sungai Tahi Ite. Berdasarkan
pengalaman itu, maka cara penambangan yang paling cepat,
mudah dan sederhana adalah dengan cara pendulangan
(Foto 4.1).

Sumber: Dokumen Tim Tambang LIPI, 2009

Foto 4. 1. Foto pendulangan emas letakan oleh


masyarakat yang menambang di sungai
Tahi Ite, Kabupaten Bombana.

Tipologi penambangan dan perolehan emas dengan


cara pendulangan dilakukan dengan menggunakan dulang
kayu atau wajan (kuali). Proses pendulangan dilakukan di
badan sungai atau ceruk sungai yang berair, karena di

BAB IV TEKNIK PENAMBANGAN EMAS DI BOMBANA:


Tipologi dan Dampaknya

157

samping faktor lokasi keterdapatan emas, faktor air juga


menjadi faktor penting dalam proses pemisahan emas
letakan ini. Umpan proses pendulangan berupa bijih atau
material yang mengandung butiran emas letakan dan masih
bercampur dengan lumpur, lempung, pasir, kerikil hingga
kerakal yang diambil atau dikeruk dari dalam sungai dan
langsung didulang di tempat tersebut. Namun ketika jumlah
pendulang mulai mencapai puluhan ribu orang maka umpan
proses pendulangan tidak dapat lagi diperoleh dari badan
sungai, sehingga mulailah dilakukan pengerukan material
pada tepi sungai baik berupa ceruk maupun paritan dan
diangkut ke tempat pendulangan secara manual. Tahapan
sebelum dilakukan pendulangan diawali dengan proses
penggalian/pengerukan, pemuatan, pengadukan untuk
memberaikan butiran emas yang terselimuti oleh tanah
(lempung), penyaringan/ pemisahan material berbutir kasar.
Kemudian baru dilakukan pendulangan di bawah permukaan
air sungai atau ceruk yang berisi air.
Adapun tahapan pendulangan secara rinci yang
dilakukan oleh masyarakat dapat dibagi dalam tiga tahap,
yaitu:

Tahap pertama:
Bijih atau material yang mengandung emas letakan
dimasukkan hingga setengah dari volume dulang.
Selanjutnya ditambahkan air ke dulang yang berisi
material tersebut dengan cara mencelupkan ke
dalam air sungai atau ceruk yang berair. Campuran
material tersebut kemudian diaduk dengan

158

BAB IV - DAMPAK PENAMBANGAN EMAS dI BOMBANA: Tipologi dan


Dampaknya

menggunakan tangan, sehingga secara otomatis


lumpur (clay) akan terangkat atau naik ke permukaan
air dan beberapa batuan (gravel) di dalamnya tercuci.
Proses ini sekaligus untuk memberaikan butiran emas
halus yang menempel pada permukaan batuan
tersebut. Selanjutnya dulang diangkat dari
permukaan air sungai dan ditiriskan secara hati-hati,
dan material (batuan) yang berukuran kasar
dipisahkan dan dikeluarkan dari dalam dulang.
Dengan demikian, material di dalam dulang menjadi
berkurang dan hanya tinggal material berukuran
halus (pasir) yang relatif berbutir seragam. Proses
tersebut biasanya dilakukan beberapa kali sehingga
volume dulang terpenuhi untuk tahapan berikutnya.

Tahap kedua:
Dulang yang terisi material halus dan berukuran
seragam sebagai hasil tahap pertama, diisi kembali
dengan air (dicelupkan dibawah permukaan air) dan
dulang digoyang-goyangkan dari sisi ke sisi dulang
secara perlahan-lahan dengan gerakan memutar
sedemikian rupa sehingga isi dulang dengan berat
jenis ringan terlempar keluar karena goyangan
memutar tersebut. Dengan demikian, secara
perlahan-lahan material ringan akan menempati
bagian pinggir dulang dan keluar ke permukaan air
melewati bibir dulang.

Tahap ketiga:

BAB IV TEKNIK PENAMBANGAN EMAS DI BOMBANA:


Tipologi dan Dampaknya

159

Dulang dicelupkan kembali ke dalam air secara


periodik dan digoyangkan kembali dengan gerakan
memutar secara perlahan-lahan dengan putaran
yang sama untuk mengumpulkan sisa material yang
mempunyai berat jenis tinggi (konsentrat).
Sementara material yang berbutir kasar diperiksa dan
dibuang dengan menggunakan tangan. Butiran emas
akan diperoleh berupa konsentrat yang berada pada
dasar dulang bersama-sama butiran material lainnya
dengan berat jenis tinggi (pasir hitam). Emas kasar
berbentuk nuggets dapat langsung diambil dan
disimpan, sedangkan emas berbutir halus akan
dipisahkan kembali dari mineral lainnya (pasir hitam)
dengan cara yang sama. Untuk sekali proses setiap
tahapan
pendulangan
ini
pada
umumnya
berlangsung selama 15 menit.
Keuntungan tipologi penambangan seperti ini
terletak pada peralatannya yang sederhana, mudah
dan cepat serta murah biaya pengoperasiannya.
Sedangkan kelemahan tipologi ini adalah tingkat
efisiensi yang masih rendah, karena pada umumnya
masih banyak butiran emas yang relatif halus dan
berbentuk pipih ikut terbuang bersama-sama dengan
material pengotornya. Walaupun demikian, proses
pendulangan ini juga sangat ditentukan oleh
ketrampilan pendulangnya. Tipologi penambangan
ini pada umumnya dilakukan baik secara individu
maupun secara berkelompok dan biasanya dilakukan
oleh masyarakat setempat.

160

BAB IV - DAMPAK PENAMBANGAN EMAS dI BOMBANA: Tipologi dan


Dampaknya

Tipologi 2. Penambangan dengan cara penggalian (berupa


sumuran, paritan) dan pengolahan/pemisahan
butiran emas letakan dengan menggunakan mini
sluicebox dan pendulangan.
Ketika butiran emas letakan mulai sulit diperoleh
pada badan sungai, para penambang mulai menggali hingga
batuan dasar pada tepi sungai dan mengorek tebing-tebing
sungai seperti yang dilakukan oleh masyarakat yang
menambang di sungai Tahi Ite. Kondisi tersebut dapat
dipahami, mengingat cebakan emas yang berada pada
lapisan tersebut ditutupi oleh tanah penutup yang cukup
tebal, sementara lapisan material yang diduga mengandung
emas letakan relatif terbatas (Foto 4.2.A).

Sumber: Dokumen Tim Tambang LIPI, 2009

Foto 4. 2. Penambangan dengan cara sumuran (A) dan sluicebox


mini (B) di lokasi SP-9.

Tipologi penambangan yang kedua ini dicirikan


dengan penggalian sumuran atau paritan dengan
menggunakan peralatan sederhana, seperti cangkul dan
sekop di lokasi yang diduga mengandung emas tanpa didasari
oleh data yang akurat dengan cara membuat. Jika penggalian
telah mencapai kedalaman tertentu (sampai pada lapisan
cebakan yang diduga mengandung emas), baru dilakukan

BAB IV TEKNIK PENAMBANGAN EMAS DI BOMBANA:


Tipologi dan Dampaknya

161

penggalian ke arah mendatar tanpa sistem penyangga. Pola


penggalian tidak beraturan, sehingga mengakibatkan baik
jarak antar lubang maupun arah penambangan juga tidak
beraturan. Material yang diperoleh, diangkut ke permukaan
tanah dengan menggunakan timba ember dan selanjutnya
diangkut ke tempat pendulangan yang berlokasi di badan
sungai atau ceruk yang berair untuk dilakukan pemisahan
emas dari material pengotornya.
Ketika semakin sulit untuk memperoleh butiran emas
yang relatif kasar, para penambang berupaya untuk
memperoleh butiran emas yang relatif halus dengan
melakukan proses pemisahan sebanyak mungkin. Oleh
karena itu, mereka melakukannya dengan menggunakan mini
sluicebox yang terbuat dari kerangka dan anyaman bambu
yang berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran
panjang 1,5 m dan lebar 0,5 m yang dasarnya dilapisi dengan
karpet. Salah satu bagian ujung atas dari mini sluicebox
tersebut dikombinasikan dengan sebuah kotak terbuka yang
dilengkapi dengan jaring yang berfungsi untuk pemberaian
dan menyaring material berbutir kasar (kerikil). Mini
sluicebox tersebut dipasang dengan membentuk sudut
kemiringan yang relatif kecil, sehingga air yang dituangkan
dengan menggunakan ember ke dalam mini sluicebox
tersebut dapat mengalir diatas karpet (Foto 4.2.B).
Deskripsi tahapan detil dalam pemisahan emas
letakan dengan menggunakan mini sluicebox yang dilakukan
oleh masyarakat adalah sebagai berikut:
Tahap pertama:

162

BAB IV - DAMPAK PENAMBANGAN EMAS dI BOMBANA: Tipologi dan


Dampaknya

Material hasil penggalian dimasukkan ke dalam


baskom berisi air untuk dilakukan proses sorting,
yakni pemilahan dan pemisahan material berbutir
kasar (gravel).
Tahap kedua:
Material hasil sorting dimasukkan ke dalam kotak
mini sluicebox dan kemudian diikuti dengan
penuangan beberapa ember air untuk proses
pemberaian dan sekaligus proses pencucian.
Tahap ketiga:
Setelah beberapa kali proses penuangan umpan
ke dalam mini sluicebox, karpet dilepas dan dicuci
di dalam baskom atau ember dan selanjutnya
dilakukan pemisahan emas berbutir halus dari
mineral pengotornya berupa pasir hitam
(blacksand) dengan cara pendulangan.
Tipologi penambangan emas letakan yang seperti ini
pada umumnya dilakukan secara berkelompok dan setiap
kelompok terdiri dari 3 hingga 5 orang. Anggota kelompok ini
biasanya terdiri dari masyarakat setempat yang telah berbaur
dengan masyarakat pendatang. Kelebihan tipologi
penambangan ini dibandingkan dengan tipologi sebelumnya
adalah bahwa emas yang berbutir halus dapat tertangkap,
namun kelemahannya memerlukan biaya penggalian
tambahan untuk memperoleh material untuk umpan proses
pemisahan.

BAB IV TEKNIK PENAMBANGAN EMAS DI BOMBANA:


Tipologi dan Dampaknya

163

Tipologi 3. Penambangan dengan cara tambang semprot


dengan menggunakan sluicebox dan
pendulangan.
Kedua tipologi penambangan yang dibahas
sebelumnya biasanya dilakukan oleh masyarakat penambang
yang memiliki modal terbatas, sehingga hasil yang diperoleh
juga relatif lebih sedikit. Namun bagi kelompok penambang
yang dimodali oleh pemodal atau bekerja sebagai
penambang pekerja pada seorang pemodal, mereka lebih
memilih tipologi ketiga ini, yakni dengan cara tambang
semprot dengan sluicebox dan pendulangan (Foto 4.3.)
karena pekerjaannya relatif lebih ringan dan hasilnya jauh
lebih banyak.

Dokumen: Tim Kajian Tambang LIPI, 2009.

Foto 4. 3. Foto kegiatan tambang semprot di lokasi SP-6,


kabupaten Bombana.

Penambangan jenis ini juga tidak harus pada lokasi


penambangan yang masih baru, karena biasanya tailing pada
area bekas penambanganpun, juga masih banyak
mengandung butiran emas yang sangat halus yang tidak
dapat diambil dengan tipologi penambangan pertama atau

164

BAB IV - DAMPAK PENAMBANGAN EMAS dI BOMBANA: Tipologi dan


Dampaknya

kedua. Teknik penambangan seperti ini juga diterapkan pada


penambangan timah di Bangka-Belitung125 dan pada tambang
intan di Martapura, Kalimantan Selatan.126 Oleh karena itu,
dapat dipastikan bahwa para penambang yang menerapkan
teknik penambangan tipologi ketiga ini bukanlah penduduk
lokal melainkan para penambang pendatang yang sudah
memiliki pengalaman dalam pengoperasian tambang
semprot.
Pada tipologi penambangan ini diperlukan minimal
dua buah pompa (masing-masing berkekuatan 8 PK dan
selang air berukuran 4 inci untuk ukuran sluicbox kecil serta
pompa 24 PK dan selang air 6 inci untuk ukuran sluicebox
yang lebih besar. Panjang selang yang diperlukan tergantung
dari jauh dekatnya lokasi penambangan dari sumber air.
Sluicebox dibuat dari papan dengan rangka kayu dan
berbentuk kotak empat persegi panjang dengan ukuran
panjang 3 m, lebar 1 m dan tinggi 0,3 m yang alasnya dilapisi
dengan karpet dan riffle. Pada ujung atasnya dipasang kotak
terbuka (feeder) yang dilengkapi dengan saringan (grizly)
untuk menyaring material yang berukuran lebih kasar (kerikil,
gravel). Satu unit peralatan ini bisa terdiri dari 1 hingga 3
rangkaian sluice box yang dipasang secara bertingkat dengan
arah memanjang. Peralatan ini dipasang diatas penyangga
dengan sudut kemiringan sekitar 5-10o agar lumpur (pulp)
bisa mengalir ke bawah.

125

Lihat Iskandar Zulkarnain dkk., Konflik di Kawasan Pertambangan Timah Bangka


Belitung: Persoalan dan Alternatif Solusi, Program Kompetitif LIPI, Jakarta, 2005
126
Lihat Iskandar Zulkarnain dkk., Peran dan Dinamika Pertambangan Rakyat di
Indonesia, Program Kompetitif LIPI, Jakarta, 2007.

BAB IV TEKNIK PENAMBANGAN EMAS DI BOMBANA:


Tipologi dan Dampaknya

165

Penambangan
dimulai
dengan
menyemprot
tumpukan material (tailing) pada area bekas penambangan
sebelumnya dengan pompa pertama (P1). Penyemprotan itu
dimaksudkan untuk memberaikan lapisan material yang
mengandung butiran emas sehingga berbentuk lumpur (pulp)
yang selanjutnya disedot dengan pompa kedua (P2) dan di
alirkan menuju sluicebox atau palong (longtoms). Setelah
rangkaian proses tersebut berlangsung kontinyu sekitar 3
jam, kemudian karpet dilepas dan material yang terjebak di
atas karpet ditampung di dalam baskom pencuci untuk
selanjutnya dilakukan pendulangan untuk memisahkan
butiran emas halus dari material pengotornya.
Penambangan dengan cara tambang semprot ini
tidak hanya dilakukan di daerah Tahi Iite, tetapi juga terdapat
di lokasi SP-6, SP,8 dan SP-9. Penambangannya tidak hanya
dilakukan pada badan sungai, tetapi juga merambah pada
cabang-cabang sungai kering (intermitten) 127 bahkan ke arah
hulu sungai. Kelemahan tipologi penambangan ini adalah
adanya ketergantungan pada ketersediaan air dan bila
penyemprotan dilakukan pada tebing-tebing sungai yang
cukup terjal, maka akan berpotensi menimbulkan longsoran.
Tipologi penambangan ini pada umumnya dilakukan secara
berkelompok dengan anggota 5 hingga 10 orang dan
biasanya merupakan kemitraan antara pemodal dan
penambang yang telah berpengalaman dalam pengoperasian
tambang semprot.

127

Intermitten, adalah sungai yang berair hanya ketika musim hujan.

166

BAB IV - DAMPAK PENAMBANGAN EMAS dI BOMBANA: Tipologi dan


Dampaknya

Analisis Dampak Teknik Penambangan dan Alternatif


Solusinya
Dampak yang dimaksud disini lebih ditekankan pada dampak
lingkungan karena pemilihan teknik penambangan akan
menetukan dampak seperti apa yang akan ditanggung oleh
lingkungan tersebut.
Dampak pada Tipologi 1.
Tipologi penambangan dengan cara pendulangan ini
berdampak pada terjadinya pemborosan sumber daya
tambang karena kurang efisien, terutama untuk menangkap
emas yang berbutir halus. Dulang sesungguhnya hanya cocok
digunakan untuk pekerjaan yang berhubungan dengan
prospecting (yakni, pencarian emas dalam tahap penyelidikan
umum), proses cleaning terhadap konsentrat hasil roughing,
atau untuk mengeksploitasi cebakan eluvial yang kaya akan
emas berbutir kasar dan/atau cebakan emas letakan yang
lokasinya memang benar-benar terisolasi.
Pendulangan di sungai tidak menimbulkan kerusakan
lingkungan yang cukup berarti, karena tidak dilakukan
penggalian dan secara fisik hanya menyebabkan penurunan
kualitas air berupa meningkatnya kekeruhan air. Namun
ketika ribuan pendulang tinggal di sekitar sungai (Foto 4.4),
maka dampak penambangan yang ditimbulkan menjadi
signifikan. Hal ini terjadi karena mereka mulai melakukan
penggalian di bantaran sungai dan bahkan hingga ke kaki
bukit untuk mendapatkan material yang akan didulang.
Ampas dari pendulangan itu mereka biarkan berserakan di
daerah aliran sungai sehingga ekosistem sungai menjadi

BAB IV TEKNIK PENAMBANGAN EMAS DI BOMBANA:


Tipologi dan Dampaknya

rusak dan bahkan seringkali sangat


mengidentifikasi badan sungai asalnya.

sulit

167
untuk

Dokumen: Tim Kajian Tambang LIPI, 2009.

Foto 4. 4. Foto kondisi fisik lingkungan penambangan di lokasi


SP-9, Wumbubangka, Kabupaten Bombana.

Dampak pada Tipologi 2.


Tipologi 2 ini masih menekankan pada proses pendulangan
sebagai cara memisahkan emas dari material pengotornya,
namun material umpan pendulangan tersebut tidak lagi
diambil dari sungai melainkan diperoleh dengan melakukan
penggalian sumuran atau paritan. Mereka membuat
sumuran atau paritan mulai dari lokasi yang masih dekat
dengan sungai hingga agak jauh ke kaki bukit. Penggalian
tersebut bertujuan untuk memperoleh lapisan tanah yang
diduga mengandung emas, yang selanjutnya diangkut secara
manual ke lokasi pengolahan untuk dilakukan pemisahan
butiran emas dari material pengotornya dengan cara
pendulangan.
Dalam melakukan penggalian sumuran atau paritan
tersebut, para penambang tidak memiliki keahlian untuk

168

BAB IV - DAMPAK PENAMBANGAN EMAS dI BOMBANA: Tipologi dan


Dampaknya

menentukan dengan tepat lokasi yang mengandung emas,


sehingga seringkali lobang yang mereka gali tersebut tidak
mengandung emas. Akibatnya, hampir seluruh wilayah aktivitas masyarakat tersebut telah penuh dengan lobang-lobang
galian.

Dokumen: Tim Kajian Tambang LIPI, 2009.

Foto 4. 5. Foto lahan di tepi sungai yang sudah


terdagradasi akibat penambangan
masyarakat

Penerapan teknik penambangan tipologi 2 telah


menimbulkan dampak lingkungan yang sangat serius dan
jauh lebih besar dari penerapan teknik penambangan tipologi
1. Dapat dikatakan semua lahan di sekitar aliran sungai
hingga ke punggungan bukit di sekitarnya telah mengalami
degradasi yang sangat parah karena tidak akan dapat
dimanfaatkan lagi bila tidak direhabilitasi terlebih dahulu.
Bentang alam dari dataran atau daerah landai yang tadinya
sebagian merupakan perkebunan coklat masyarakat berubah
menjadi kumpulan lobang-lobang dengan tumpukan tanah

BAB IV TEKNIK PENAMBANGAN EMAS DI BOMBANA:


Tipologi dan Dampaknya

169

tinggi di pinggirnya (Foto 4.5). Sedangkan di tempat proses


pendulangan, mereka membuang tailing pendulangan itu
secara acak sehingga aliran sungai tersebut tidak dapat lagi
dikenali arah alirannya.
Dampak pada Tipologi 3.
Secara konseptual tipologi penambangan tipe ketiga ini
merupakan teknik penambangan yang lazim dan ideal untuk
digunakan dalam proses eksploitasi cebakan emas letakan.
Seperti dampak akibat teknik penambangan tipologi 2,
penerapan teknik penambangan ini juga menimbulkan
kerusakan fisik lingkungan yang parah, karena akan
terbentuk lobang-lobang berdiameter cukup besar (bisa
mencapai lebih dari 3 meter) pada lokasi penyemprotan
dengan kedalaman bervariasi (sangat tergantung dari
kedalaman lapisan pasir pembawa emas yang mereka cari
atau sampai pada ditemukannya batuan dasar/keras yang
tidak lagi bisa disemprot). Sementara itu, pada lokasi dimana
sluicebox dioperasikan akan terjadi penumpukan kerikilkerikil lepas dan aliran lumpur yang cukup deras (Foto 4.6)
sehingga mampu mengubah pola aliran sungai yang sudah
ada. Aliran lumpur tersebut tentu saja menyebabkan
terjadinya penurunan kualitas air permukaan atau air sungai
di lokasi tersebut, sehingga tidak akan dapat dimanfaatkan
lagi untuk kebutuhan sehari-hari. Selain itu, karena wilayah
yang dipengaruhi oleh aliran lumpur tersebut cukup luas,
maka akan terjadi perubahan ekosistem sungai tersebut yang
dapat berujung pada punahnya biota-biota endemik tertentu
dari wilayah tersebut.

170

BAB IV - DAMPAK PENAMBANGAN EMAS dI BOMBANA: Tipologi dan


Dampaknya

Dokumen: Tim Kajian Tambang LIPI, 2009.

Foto 4. 6. Foto tumpukan kerikil sisa proses


pengolahan dengan sluices box yang
berserakan begitu saja di aliran sungai.

Alternatif solusi:
Seperti telah dijelaskan sebelumnya pada konsep good
mining practice, bahwa dalam pengelolaan pertambangan
yang baik dan benar bagi masyarakat, penyesuaian konsep ini
lebih difokuskan pada pemilihan teknik pertambangan yang
tepat, namun dengan tetap memperhatikan kepedulian
lingkungan dan K3 serta optimalisasi pemanfaatan
sumberdaya mineral. Hasil pengamatan lapangan dan analisis
kualitatif tipologi penambangan emas letakan yang dilakukan
oleh masyarakat yang menambang di Bombana,
menunjukkan bahwa pola kegiatan penambangan yang
dilakukan masyarakat masih dalam kelompok kecil, tanpa
organisasi dan bersifat spekulatif. Sebagaimana telah
disinggung sebelumnya (lihat Bab 1), bahwa pola tersebut
perlu diubah dan diatur sesuai dengan keterbatasan

BAB IV TEKNIK PENAMBANGAN EMAS DI BOMBANA:


Tipologi dan Dampaknya

171

kemampuan mereka, baik keterbatasan keahlian maupun


finansial.
Sementara itu, untuk mengubah dan mengatur pola
kegiatan pertambangan masyarakat agar memberikan
keuntungan yang optimal bagi semua pemangku kepentingan
harus dilakukan pembenahan paling tidak pada 4 aspek,
yakni aspek kebijakan, aspek modalitas, aspek kelembagaan
dan aspek teknologi dan pengelolaan lingkungan. Khusus
untuk aspek teknologi dan pengelolaan lingkungan, teknologi
penambangan dan pengolahan yang tepat bagi
pertambangan emas letakan dalam skala masyarakat adalah
teknik tambang semprot seperti tipologi tiga, namun telah
direncanakan dengan efektif dan efisien serta berwawasan
lingkungan.
Teknik penambangan ini menggunakan peralatan
berupa pompa, selang air, dan monitor (Gambar 4.3).

Gambar 4. 3. Penambangan emas letakan dengan cara tambang


semprot

172

BAB IV - DAMPAK PENAMBANGAN EMAS dI BOMBANA: Tipologi dan


Dampaknya

Pemilihan tambang semprot didasarkan pada kriteria


bahwa tambang semprot mempunyai kapasitas produksi
relatif besar dan dapat dilakukan secara berkelompok.
Aktivitas penambangan yang terdiri dari kegiatan
pembongkaran
(penyemprotan),
pemuatan
dan
pengangkutan hasil tambang dapat dilakukan secara
simultan. Baik peralatan yang dibutuhkan maupun teknis
pengoperasiannya relatif sederhana, sementara tingkat
resiko terjadinya kecelakaan relatif kecil.
Tahapan pengoperasian tambang semprot tersebut
dimulai dari kegiatan penggalian/pembongkaran material
yang dilakukan dengan cara menyemprotkan air yang
bertekanan tinggi pada bagian tebing penggalian dengan
menggunakan monitor, yakni alat yang menghasilkan air
bertekanan tinggi yang diperoleh melalui pompa air. Hasil
pembongkaran material tersebut pada umumnya berbentuk
lumpur (slurry) yang selanjutnya dialirkan melalui melalui
selang air menuju alat pemisahan berupa rockers atau
sluicebox dan/atau longtoms (Gambar 4.3). Produk yang
diperoleh dari pemisahan tersebut berupa tailing dan
konsentrat emas yang masih mengandung pasir hitam
(blacksand). Konsentrat ini selanjutnya diproses melalui
pendulangan sehingga diperoleh logam emas dan pasir
hitamnya dibuang sebagai tailing.
Tahapan yang paling penting dalam teknik tambang
semprot ini adalah pada proses pemisahan dengan rockers
atau sluicebox bersaringan dan/atau longtoms, karena

BAB IV TEKNIK PENAMBANGAN EMAS DI BOMBANA:


Tipologi dan Dampaknya

173

tingkat efisiensi proses yang menentukan tingginya


perolehan yang dapat dicapai sangat ditentukan oleh
pemilihan variabel dalam proses pemisahan ini. Oleh karena
itu, berikut ini akan diuraikan lebih detil tentang peralatan
rockers yang merupakan teknik pemisahan yang utama
dalam tambang semprot.

Penggunaan rockers sebagai unit alat pemisah utama :


Secara konseptual, rocker 128 merupakan salah satu alat
konsentrasi gravimetri yang fleksibel, karena disamping
konstruksinya yang cukup sederhana ia juga efektif dan
relatif murah biaya pengoperasiannya serta dapat digunakan
secara berkelompok. Alat konsentrasi ini terbuat dari kayu,
yakni terdiri dari sebuah sluicebox yang dilengkapi dengan
saringan (screen) dan apron.129 Saringannya yang berukuran
(1620) inci dengan lebar lubang bukaan (opening) sekitar
0,5 inci, dapat berperan untuk memotong material kasar
tetapi cukup lunak, sehingga memberi kesempatan kepada
tanah untuk terberai secara lebih sempurna (Gambar 4.4).
Dengan demikian semua partikel emas berbutir halus dapat
terlepas/terbebas dari ikatan tanah/lempung. Sedangkan
apron yang dipasang menyudut akan berperan untuk
mengarahkan atau membawa semua material ke bagian
ujung atas sebuah rocker. Pada bagian dasar atau lantai
sluicebox dipasang rifflers yang berfungsi untuk membentuk
128

Rockers, adalah sejenis alat konsentrasi gravimetri atau sama dengan sluicebox
tetapi dilengkapi dengan screen dan apron.
129
Screen, adalah saringan yang terbuat dari kawat atau plat yang dilubangi. Apron
terbuat dari kain kanvas yang dilubangi secara mendatar (strip) yang berfungsi untuk
mengarahkan material ke ujung bagian atas dari sebuah rockers.

174

BAB IV - DAMPAK PENAMBANGAN EMAS dI BOMBANA: Tipologi dan


Dampaknya

turbulensi pada aliran air sehingga dapat menangkap atau


menjebak butiran emas yang ikut terbawa oleh aliran air.
Konstruksi rocker pada umumnya mempunyai panjang 3
meter, dengan lebar antara 60 hingga 75 cm dan tinggi
sekitar 0,5 meter (Gambar 4.4). Secara teknis, pembahasan
rinci dari rocker telah ditulis oleh Silva (1986).

Gambar 4. 4. Skema bagian-bagian penting dari sebuah


rocker washer.

Bagian terpenting dari sebuah rocker adalah


sluicebox, didefinisikan sebagai artificial channel yang
dikontrol oleh sejumlah aliran air. Sluicebox yang dilengkapi
dengan riffles merupakan salah satu bentuk alat konsentrasi
gravimerti tertua yang masih digunakan hingga kini. Berbagai
macam bahan dapat digunakan untuk pembuatan sluicebox
ini, mulai dari kayu, aluminium, plastik hingga baja. Sluicebox
berukuran kecil yang terbuat dari aluminium atau baja dan
mudah diangkut (portable), biasanya digunakan untuk

BAB IV TEKNIK PENAMBANGAN EMAS DI BOMBANA:


Tipologi dan Dampaknya

175

kegiatan prospecting.130 Walaupun ukuran panjang sluicebox


bisa mencapai ratusan feet yang dipasang secara bertingkat
dan biasanya disebut sebagai longtoms, namun secara umum
hanya mempunyai panjang 12 feet dan lebar sekitar 2 feet.
Sluicebox yang berukuran panjang lebih efisien dari pada
sluicebox yang berukuran pendek tetapi lebar. Kemiringan
sudut terpasang berkisar antara 4 hingga 18 derajat untuk
setiap panjang 12 feet. Kondisi tersebut tergantung pada
jumlah air yang tersedia, ukuran material yang diproses serta
ukuran partikel emas yang akan diperoleh.
Sluicebox dalam pengoperasiannya memerlukan
media aliran air, namun jika air yang dialirkan ke dalam
umpan (feed) terlalu besar dapat mengakibatkan lapisan
pasir yang mengandung emas hilang keluar melalui dasar
sluicebox. Oleh karena itu penggunaan riffles menjadi
penting, karena riffles di dalam sluicebox akan membentuk
gaya putaran (turbulance) dan memutar kembali materialmaterial di dalam aliran air kearah asalnya. Gerakan
memutar tersebut dapat mengakibatkan partikel berat jatuh
terguling dan dengan cepat terperangkap oleh lekukan media
tersebut (Gambar 4.5).
Riffles bisa terbuat dari kayu, batu, besi atau baja
dan berukuran tinggi antara 0,5 hingga 1 inci, sedangkan
bahan lainnya yang ikut berperan untuk meningkatkan
perolehan emas berbutir halus adalah karpet (carpet),
courdoroy, burlap yang dipasang pada dasar sluicebox.

130

Prospecting, merupakan tahap penyelidikan awal dari tahapan pertambangan

176

BAB IV - DAMPAK PENAMBANGAN EMAS dI BOMBANA: Tipologi dan


Dampaknya

Seperti telah disinggung sebelumnya, butiran emas


dengan pasir pengotornya akan tertahan oleh riffles dan
tersangkut pada rambut karpet yang dipasang di dasar
sluicebox.

Sumber: Modifikasi dari Silva (1986).

Gambar 4. 5. Ilustrasi peran pemisahan oleh riffles dalam


sebuah sluicebox.

Oleh karena itu, aspek yang tidak kalah pentingnya


dalam pengoperasian rocker adalah kecepatan air yang
dialirkan pada sluicebox, karena akan menentukan apakah
butiran emas akan dapat terjebak pada riffles atau akan ikut
hanyut bersama tailing. Setelah pengoperasian rocker
selama waktu tertentu (bias hingga 8 jam), maka kemudian
karpet diangkat dan dicuci untuk mendapatkan butiran emas
yang masih bercampur dengan pasir pengotornya. Untuk
memperoleh butiran emas tersebut maka dilakukan
pendulangan terhadap campuran (konsentrat) emas dan
pasir tersebut.

Penggunaan dulang sebagai unit alat pencucian


(pembersih) konsentrat :
Secara teknis, dulang yang biasanya terbuat dari kayu
(di Bombana wajan juga digunakan sebagai dulang)

BAB IV TEKNIK PENAMBANGAN EMAS DI BOMBANA:


Tipologi dan Dampaknya

177

digunakan sebagai unit alat pencucian (pembersih)


konsentrat. Walaupun bentuk dan ukuran dulang dapat
bervariasi, namun terdapat standar untuk ukuran dulang.
Misalnya gold pans di Amerika mempunyai ukuran standar
sebagai berikut: diameter bagian atas antara 37,5 cm hingga
45 cm, kedalaman lekukan 5-6,5 cm serta sudut kemiringan
sisi-sisinya antara 30 hingga 45o. Tetapi di beberapa tempat
di Indonesia, seperti di penambangan intan di Martapura,
Kalimantan Selatan, dulang yang dipergunakan rata-rata
memiliki diameter lebih dari 50 cm. Tingkat perolehan proses
pendulangan akan menjadi optimal jika material yang akan
didulang berbutir relatif seragam disamping dibutuhkan
pengalaman dan ketrampilan pendulang.
Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa dalam
rangkaian penambangan dengan sistem tambang semprot
diperlukan media air dalam kuantitas yang cukup banyak. Hal
itu disebabkan karena seluruh proses produksi dalam sistem
ini (mulai dari menambang, mengangkut hingga
memisahkan) memerlukan air dalam jumlah yang signifikan.
Oleh karena itu, diperlukan perencanaan penggunaan air
yang efisien dalam seluruh kegiatan penambangan ini secara
komprehensif, termasuk untuk menghindari terjadinya
degradasi lingkungan yang tidak diinginkan.

Pola penggunaan air yang efektif dan efisien pada


tambang semprot
Dari uraian di atas dapat dipahami dengan jelas bahwa
kegiatan penambangan dengan sistem tambang semprot
sangat tergantung pada ketersediaan air. Bila jumlah air tidak

178

BAB IV - DAMPAK PENAMBANGAN EMAS dI BOMBANA: Tipologi dan


Dampaknya

memadai, maka kegiatan ini tidak akan dapat dijalankan. Hal


ini jugalah yang menyebabkan berhentinya kegiatan tambang
semprot masyarakat di Bombana pada pertengahan tahun
2009 yang lalu di wilayah Wumbubangka, Kabupaten
Bombana, Provinsi Sulawesi Tenggara. Berdasarkan kondisi di
atas, maka untuk kegiatan penambangan dengan sistem
tambang semprot perlu dilakukan perencanaan yang detil,
mulai dari kebutuhan air di front penambangan hingga
proses pemisahan emas dari pengotornya serta mencegah
semaksimal mungkin terjadinya degradasi lingkungan. Dalam
konsep ini, air yang dipakai untuk proses penyemprotan pada
front penambangan akan mengalir membawa material tanah
dalam bentuk lumpur (slurry), ke bagian yang terendah
(biasanya berbentuk kolam) dalam front penambangan
tersebut. Dari sini, lumpur tersebut disedot melalui selang
dan dinaikkan ke bagian atas rocker dan selanjutnya mengalir
keluar sluicebox setelah butiran emas yang dibawanya
terperangkap pada riffles dan karpet. Air lumpur ini
kemudian dialirkan ke kolam pengendapan (settling pound)
bertingkat agar material padat berukuran halus yang
dibawanya dapat terendapkan dan tingkat kekeruhan air
akan menurun (Gambar 4.6).
Dari kolam pengendapan pertama, air dialirkan ke
kolam pengendapan kedua sehingga material yang masih
tersisa di dalam air dapat mengendap di kolam ini. Air yang
sudah mulai jernih dari kolam pengendapan kedua ini
dialirkan ke kolam ketiga melalui dinding yang terbuat
timbunan material lepas sehingga dapat berfungsi sebagai
filter. Dengan demikian, pada akhirnya semua material

BAB IV TEKNIK PENAMBANGAN EMAS DI BOMBANA:


Tipologi dan Dampaknya

179

ampas akan menumpuk pada kolam kedua sehingga kolam


ini disebut juga sebagai tailing dump. Air di dalam kolam
ketiga, sudah dapat dipastikan akan terbebas dari kekeruhan
dan material halus yang terlarut di dalamnya sehingga dapat
dialirkan ke front penambangan untuk proses penyemprotan.
Dengan demikian, ketersediaan air untuk proses produksi
sistem tambang semprot ini akan dapat dipenuhi dan tingkat
degradasi lingkungan akibat aliran air akan dapat
diminimalisir.

Sumber: diolah dari Farirington (2000).

Gambar 4. 6. Pola penambangan emas letakan dengan


model kolam pengendapan.

Penutup
Penambangan emas letakan (gold placer deposit) yang
dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten Bombana, Provinsi
Sulawesi Tenggara sejak September 2008 hingga
pertengahan
tahun
2009
(Kartu
Izin
Masuk
Pertambangan/KIMP yang dikeluarkan Pemkab Bombana

180

BAB IV - DAMPAK PENAMBANGAN EMAS dI BOMBANA: Tipologi dan


Dampaknya

berlaku dari September 2008 hingga 17 Maret 2009) telah


menyisakan sejumlah persoalan yang rumit bagi pemerintah
lokal dan ketidakpuasan pada level masyarakat. Namun yang
paling nyata dan tidak dapat diingkari adalah kerusakan
lingkungan yang sangat serius dan terjadinya pemborosan
sumber daya tambang akibat tidak efektif dan tidak
efisiennya proses penambangan yang dilakukan oleh
masyarakat.
Penambangan yang dilakukan tanpa perencanaan
atau disain dari pemerintah setempat, tidak terorganisir
(tanpa kelembagaan) dan tidak memperhitungkan Kesehatan
dan Keselamatan Kerja (K3) serta menggunakan teknik
penggalian dan pemisahan emas yang tidak efektif dan
efisien adalah penyebab utama terjadinya berbagai kerugian
yang harus dialami oleh semua pihak, baik pemerintah lokal,
masyarakat pendatang apalagi masyarakat lokal. Hal ini
terjadi karena hingga saat ini memang belum terdapat suatu
model penambangan masyarakat yang berwawasan
lingkungan dan dapat memberikan keuntungan yang
proporsional bagi semua pemangku kepentingan. Sebuah
konsep teoritis tentang pengembangan Pertambangan
Rakyat dalam kerangka pengelolaan tambang yang
berkelanjutan sudah disusun oleh Tim Kajian Pertambangan
LIPI pada tahun 2008, namun konsep ini memerlukan suatu
political will dan komitmen yang tinggi dari pemerintah
daerah untuk mengimplementasikannya.
Seperti telah diuraikan di atas, penambangan emas
letakan oleh masyarakat haruslah dikelola dengan mengacu
kepada kaidah-kaidah pertambangan yang baik dan benar

BAB IV TEKNIK PENAMBANGAN EMAS DI BOMBANA:


Tipologi dan Dampaknya

181

(good mining practice) oleh pemerintah setempat dengan


pengaturan dan pembinaan yang edukatif dan persuasif.
Penambangan haruslah dilakukan oleh masyarakat sesuai
dengan disain yang sudah ditetapkan pemerintah dalam
kelompok-kelompok yang terorganisir (bentuk kelembagaan
terkecil) dengan teknik penambangan yang sudah
ditentukan. Tambang semprot dalam skala masyarakat
adalah sistem penambangan yang paling tepat untuk
dipergunakan dalam Pertambangan Rakyat untuk komoditi
tambang sekunder, seperti emas letakan, pasir timah dan
intan. Sistem ini dijalankan dalam disain yang sudah
mempertimbangkan berbagai aspek teknis, mulai dari cara
penyemprotan pada front penambangan, ukuran dan disain
rocker yang paling efektif dan efisien, kecepatan aliran air
yang optimal pada sluicebox, penanganan material kasar dari
tailing hingga pengelolaan aliran air dalam sistem sirkulasi
yang hemat air. Dengan disain yang seperti itu, maka
penambangan emas letakan oleh masyarakat akan dapat
memberikan hasil yang maksimal dengan biaya ekonomis
serta dampak lingkungan yang seminimal mungkin.
Oleh karena itu, agar pelajaran mahal seperti yang
terjadi di Bombana tidak terulang lagi, maka setiap
pemerintah kabupaten/kota yang memiliki potensi sumber
daya emas letakan di daerahnya yang berkeinginan
memberikan peluang bagi masyarakatnya untuk mengakses
sumber daya tersebut, dapat menerapkan sistem
penambangan yang sudah diuraikan di atas. Namun tetap
harus diingat, sebaik-baiknya sebuah konsep tetap tidak akan
berhasil dengan optimal bila para pihak terkait dalam

182

BAB IV - DAMPAK PENAMBANGAN EMAS dI BOMBANA: Tipologi dan


Dampaknya

kegiatan tersebut tidak menunjukkan tanggungjawab dan


komitmen yang tinggi dalam memainkan perannya.

Daftar Pustaka
Farrington, J, Environmental problems of placer gold mining
in the Zaamar Goldfield, Mongolia, Word Placer
ournal, Volume 1, November 2000.
Heemskerk, M., and Kooye, R. van der, Challenges To
Sustainable Small-Scale Mine Development In
Suriname, 2003,
Michael Silva, Placer Gold Recovery Methods, California
Department of Concervation Division of Mines and
Geology, 1986.
Suratman, dkk, Pelindian Bijih Emas dengan Larutan Amonia
Tiosulfat (Batch Scale), tekMIRA, bandung, 2006.
Suyartono, Good Mining Practice, Konsep tentang
Pengelolaan Pertambangan yang Baik dan Benar,
Studi Nusa, 2003.
Spiller D.E, Gravity Separation of Gold then and now,
Denver, Colorado, 1983.
Taggart, Handbook of Mineral Dressing, John Wiley & Sons,
Inc, New York, 1960
Touloukian, Physical Properties of Rocks and Minerals,
Volume II02, McGraw Hill Book Company, New York,
1981
Zulkarnain, Iskandar dkk., Potensi Konflik di Daerah
Pertambangan: Kasus Cikotok dan Pongkor, Jakarta:
Riset Kompetitif Pengembangan Iptek - LIPI, 2003.
Zulkarnain, Iskandar dkk., Konflik di Kawasan Pertambangan
Timah, Bangka Belitung: Persoalan dan Alternatif
Solusi, Jakarta: Riset Kompetitif Pengembangan Iptek
-LIPI, 2005.

183

184

BAB IV - DAMPAK PENAMBANGAN EMAS dI BOMBANA: Tipologi dan


Dampaknya

Zulkarnain, Iskandar dkk., Dinamika dan Peran


Pertambangan Rakyat di Indonesia, Jakarta: Riset
Kompetitif LIPI, 2007.
Zulkarnain Iskandar, dkk, Konsep Pertambangan Rakyat
dalam Kerangka Pengelolaan Sumber Daya
Tambang yang Berkelanjutan, LIPI Press, 2008.
http: //www.majalah tambang.com/2008-11-19/merebut
rezeki emas bombana, (diunduh bulan November
2009).
http: //www.dim.esdm.go.id/2005-04-05/endapan placer
(diunduh bulan Oktober 2009).

BAB

5
DAMPAK LINGKUNGAN
PENAMBANGAN EMAS LETAKAN
OLEH MASYARAKAT DI KABUPATEN
BOMBANA, SULAWESI TENGGARA
Oleh: Hadi Suparyanto

Pendahuluan
Hampir dapat dipastikan bahwa sebagian besar masyarakat
di Indonesia cenderung mengidentikkan kegiatan
pertambangan dengan perusakan lingkungan, sehingga
seolah-olah dunia pertambangan itu adalah bagian dari
potret buram negeri ini. Pencitraan yang tidak
menguntungkan ini pada dasarnya tidak lepas dari sikap
tertutup sektor ini kepada publik dan pemberitaan media
massa yang seringkali tidak berimbang sehingga pesan yang
sampai kepada masyarakat luas hanyalah dampak lingkungan
yang begitu merugikan tanpa informasi utuh tentang sisi
positifnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau
banyak opini dan persepsi yang berkembang di tengah

185

186

BAB V - DAMPAK LINGKUNGAN PENAMBANGAN EMAS LETAKAN OLEH


MASYARAKAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI

masyarakat dibangun berdasarkan informasi yang tidak


lengkap dan tidak sepenuhnya benar, yang pada ujungnya
akan menyesatkan dan sangat merugikan semua pihak.
Adalah sesuatu yang tidak dapat diingkari bahwa
kegiatan pertambangan dengan sistem tambang terbuka
akan menyebabkan terjadinya perubahan bentang alam yang
signifikan. Gunung yang tadinya menjulang tinggi dapat
berubah menjadi lembah atau danau dengan kedalaman
ratusan meter akibat kegiatan pertambangan. Ada bagian
wilayah pertambangan yang dapat dikembalikan ke
bentuknya semula, seperti pada pertambangan batubara,
namun tetap akan menyisakan bagian yang tidak mungkin
bisa dikembalikan lagi karena sebagian dari material
pembentuknya telah diambil sebagai komoditi tambang.
Namun semua perubahan bentang alam itu tidak terjadi
tanpa kompensasi karena sebagian dari modal pembangunan
negeri ini datang dari sektor pertambangan. Perubahan
bentang alam itulah yang dipahami dan diklaim oleh
masyarakat luas sebagai dampak atau kerusakan lingkungan.
Isu lingkungan ini akan menjadi tekanan yang
semakin kuat ketika di wilayah pertambangan tersebut
muncul berbagai dampak sosial, ekonomi dan kesehatan
yang diperkirakan memiliki keterkaitan yang erat dengan
aktivitas pertambangan yang berlangsung di wilayah
tersebut, sepertinya munculnya penyakit pada warga di
kampung terdekat dengan lokasi penambangan,131

131

Lihat Iskandar Zulkarnain dkk., Dinamika dan Peran Pertambangan Rakyat di


Indonesia, Program Kompetitif LIPI, Jakarta, 2007.

BAB V - DAMPAK LINGKUNGAN PENAMBANGAN EMAS LETAKAN OLEH


MASYARAKAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI

187

menghilangnya ikan di pesisir pantai wilayah itu132 dan


beragam isu lainnya termasuk kerusakan ekosistem. Semua
fenomena dampak yang merugikan masyarakat tersebut
seolah-olah menjadi sebuah legitimasi yang tak terbantahkan
untuk menempatkan aktivitas pertambangan sebagai sumber
segala kerusakan dan kerugian walaupun sederet
persyaratan keamanan lingkungan, seperti Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL), telah dipenuhi sebelum
aktivitas tersebut dimulai. Tidak hanya dalam skala
perusahaan, persoalan kerusakan atau degradasi lingkungan
ini juga terjadi pada kegiatan pertambangan oleh
masyarakat,133 namun dampak pertambangan oleh
masyarakat tersebut sepertinya tidak terlalu dipersoalkan.
Keterlibatan masyarakat lokal dalam kegiatan
pertambangan di Indonesia sudah tercatat sejak abad ke 3
Masehi. Pada waktu itu pelaut-pelaut Cina telah mengetahui
bahwa timah yang berasal dari Pulau Bangka (waktu itu
dikenal dengan nama: Pu-lei) merupakan hasil usaha dari
masyarakat setempat.134 Sejarah telah mencatat bahwa
penambangan oleh masyarakat telah terjadi hampir di
seluruh Indonesia dengan beragam komoditi, terutama
komoditi yang mudah didapat dan bernilai jual tinggi seperti
emas, timah dan intan. Semua kegiatan itu juga
menimbulkan dampak lingkungan, dari berubahnya bentang
132

Lihat Iskandar Zulkarnain dkk., Konflik di Kawasan Pertambangan Batubara


Kalimantan Selatan: Menuju Solusi Awal, Program Kompetitif LIPI, 2004.
133
Leanne Farrell, et al, Dirty Metal : Mining, Communities and the Environment,
Earthworks and Oxfam America, 2004, hlm. 34.
134
Mary F. Somers Heidhues, Bangka Tin and Mentok Pepper: Chinese Settlement on
an Indonesian Island, Institute of Southeast Asian Studies, Pasir Panjang,
Singapore, 1992, 270.

188

BAB V - DAMPAK LINGKUNGAN PENAMBANGAN EMAS LETAKAN OLEH


MASYARAKAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI

alam, lenyapnya vegetasi permukaan, meningkatnya erosi,


bahkan seringkali peristiwa banjir dan kekeringan serta
sejumlah kerusakan lingkungan lainnya dikaitkan dengan
kegiatan ini walaupun bukti yang diajukan masih terus
diperdebatkan. Tidak hanya sampai disitu, kegiatan
penambangan oleh masyarakat yang menggunakan merkuri
untuk memperoleh emas dari batuan telah banyak
mencemari air tanah dan sungai.135 Bahkan pada tahun 2008
ada pendapat yang menganggap kegiatan penambangan oleh
masyarakat tersebut sebagai salah satu dari 10 penyebab
terjadinya pencemaran terparah di dunia.136
Walaupun dilakukan dalam skala masyarakat,
kegiatan penambangan yang dilakukan masyarakat di
Bombana, pada kenyataannya juga telah mengakibatkan
dampak lingkungan yang serius. Dampak kegiatan ini bisa jadi
menjadi lebih penting untuk dicermati daripada kegiatan
oleh perusahaan, karena penambangan yang dilakukan oleh
masyarakat tersebut tidak memenuhi berbagai persyaratan
keamanan lingkungan sebagaimana yang ditetapkan UndangUndang dan peraturan pelaksananya. Selain itu, jenis
cebakan emas yang ditambang masyarakat di Bombana
adalah jenis emas letakan (gold placer deposit) yang jarang
dijumpai dalam pertambangan rakyat, sehingga dampaknya
akan berbeda dan lebih signifikan daripada yang sering
terjadi pada berbagai lokasi pertambangan rakyat di
Indonesia. Dalam konteks inilah pembahasan dampak
135

Ibid.
Bret Ericson, et al, The Worlds Worst Pollution Problems, Blacksmith Institute &
Green Cross, Switzerland, 2008, hlm. 11.
136

BAB V - DAMPAK LINGKUNGAN PENAMBANGAN EMAS LETAKAN OLEH


MASYARAKAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI

189

lingkungan kegiatan penambangan rakyat di Bombana ini


menjadi penting dan perlu dilakukan untuk mendapatkan
suatu pola pengelolaan lingkungan yang tepat dalam
penambangan komoditi jenis ini dalam skala masyarakat.

Konsep Degradasi Lingkungan


Degradasi lingkungan adalah suatu proses yang
menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan
alam, baik akibat habitat makhluk hidup yang hancur,
hilangnya keragaman hayati maupun karena terjadinya
pengurangan atau deplesi sumber daya (resources depletion).
Secara klasik dan sederhana, degradasi lingkungan sering
diindikasikan dengan terjadinya deplesi sumber daya
khususnya sumber daya alam. Dalam hal ini, udara, air,
tanah, mineral dan semua sumber daya lainnya berada pada
kondisi yang rentan untuk mengalami deplesi akibat adanya
penggunaan yang berlebihan atau karena salah dalam
pengelolaannya. Proses yang menyebabkan lingkungan
menjadi kurang bernilai dan bahkan hancur ini dapat
berlangsung sepenuhnya secara alami atau ia dapat
dipercepat atau diakibatkan oleh aktifitas manusia.137
Bila dicermati, terjadinya degradasi lingkungan
tersebut pada dasarnya adalah sebagai sebuah akibat dari
suatu relasi yang dinamis antara aktifitas sosio-ekonomi,
institusional dan teknologi. Perubahan-perubahan lingkungan
menuju kondisi yang lebih buruk tersebut dapat didorong
oleh banyak faktor, antara lain pertumbuhan ekonomi, laju
137

Lihat
Smith,
S.E,
What
is
Environmental
Degradation?
http://www.wisegeek.com/what-is-environmental-degradation.htm., 2010.

pada

190

BAB V - DAMPAK LINGKUNGAN PENAMBANGAN EMAS LETAKAN OLEH


MASYARAKAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI

pertambahan penduduk, urbanisasi, intensifikasi sektor


pertanian, peningkatan konsumsi energi dan perkembangan
modus transportasi. Sementara itu, kemiskinan masih tetap
menjadi sebuah penyebab utama dalam sejumlah masalah
lingkungan.138
Konsep dasar degradasi lingkungan mulai ramai
dibicarakan sejak awal tahun 70-an yang kemudian
berkembang dalam berbagai disiplin ilmu seperti kehutanan,
ekonomi, hukum dan sebagainya. Secara garis besar, konsep
tersebut menyatakan lingkungan hidup secara fisik memiliki
setidaknya empat komponen, yaitu atmosphere (udara),
hidrosphere (air), lithosphere (batuan) dan biosphere
(makhluk hidup). Keempat komponen ini tidak berdiri sendiri
melainkan memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya
melalui hubungan keseimbangan yang dinamis dalam satu
kesatuan sistem. Setiap perubahan pada setiap komponen,
baik yang bersifat alamiah maupun karena ulah manusia,
akan berpengaruh pada komponen lainnya yang pada
akhirnya akan membentuk suatu keseimbangan yang baru.
Keseimbangan yang dinamis ini dapat tercapai secara alami,
tetapi pencapaian keseimbangan tersebut sangat tergantung
pada besaran perubahan tersebut, sehingga bila sampai pada
satu besaran tertentu maka keseimbangan itu tidak bisa
tercapai lagi.139 Dengan kata lain, lingkungan memiliki
toleransi terhadap suatu proses perubahan yang dialaminya
138

Lihat The Underlying Causes of Environmental Degradation pada


http://indiabudget.nic.in/es98-99/chap1104.pdf (diunduh pada 17 Mei 2010).
139
Jamaluddin Md Jahi, et al., Development, Environmental Degradation and
Environmental Management in Malaysia, European Journal of Social Sciences
Volume 9, Number 2, 2009, hlm.8.

BAB V - DAMPAK LINGKUNGAN PENAMBANGAN EMAS LETAKAN OLEH


MASYARAKAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI

191

sejauh tidak melebihi batas daya dukungnya. Begitu batas itu


terlampaui, maka lingkungan tersebut secara fisik mulai
mengalami kerusakan. Pada keadaan ini lingkungan
dinyatakan mulai mengalami degradasi.
Dalam konteks kegiatan pertambangan dalam skala
perusahaan, perubahan lingkungan mulai terjadi ketika
kegiatan tersebut sudah mulai memasuki tahapan konstruksi
dalam proses eksploitasi. Penyiapan lahan dan pembangunan
infrastruktur untuk melaksanakan proses produksi
menyebabkan terjadinya penebangan vegetasi penutup di
semua lokasi yang sudah direncanakan untuk tapak berbagai
infrastruktur tersebut. Dengan demikian, lingkungan di
wilayah tersebut akan berproses untuk mencapai
keseimbangan yang baru. Perubahan lingkungan yang
semakin besar akan terjadi ketika aktifitas penambangan
memasuki tahapan produksi yang dicirikan dengan mulai
dilakukannya kegiatan pembongkaran dan pengangkutan
material bijih atau komoditi lainnya dari zona penambangan
(mining front) ke lokasi pengolahan. Pada tahapan ini,
perubahan yang terjadi tidak hanya pada aspek lithosphere
saja seperti pada tahapan konstruksi, tetapi sudah mencakup
ketiga aspek lainnya. Proses pengolahan dan ekstraksi bijih
yang dilakukan akan menyebabkan terjadinya perubahan
yang relatif terbatas pada kualitas udara, namun sangat
signifikan pada aspek hidrosphere karena melibatkan
penggunaan air yang secara kuantitas sangat besar dan
mempengaruhi lingkungan ekosistem yang mencakup aspek
biosphere. Penurunan kualitas udara yang terbatas tersebut,
pada umumnya terjadi akibat adanya debu yang mengepul

192

BAB V - DAMPAK LINGKUNGAN PENAMBANGAN EMAS LETAKAN OLEH


MASYARAKAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI

dari jalan tanah yang digunakan untuk mengangkut komoditi


tambang terkait, baik dari tambang ke pabrik pengolahan
ataupun dari pabrik ke pelabuhan.140 Selain itu, memang
pada dasarnya kegiatan penambangan terutama tambangtambang besar mengonsumsi enerji yang sangat besar, baik
untuk transportasi material tambang dari lokasi
penambangan ke tempat peleburan, ventilasi udara,
pengatur temperatur lobang tambang maupun untuk unit
peleburan dan pemurnian. Walaupun semua sistem sudah
dirancang untuk berwawasan lingkungan, namun bisa jadi
semua proses tersebut akan melepaskan sejumlah CO2 dan
logam berat yang terikat pada sulfida ke udara sehingga turut
menyumbang terjadinya peristiwa pemanasan global. Setiap
tahunnya diperkirakan 142 juta ton sulfur dioksida dilepaskan
ke atmosfer dari pabrik peleburan.141 Nilai tersebut
diperkirakan mencapai 13 % dari total emisi global.
Sementara itu, pembongkaran dan penggalian yang
dilakukan di zona penambangan akan menimbulkan
perubahan bentang alam yang signifikan dalam radius
kilometer sehingga menimbulkan perubahan yang tidak kecil
dalam aspek lithosphere (bentang alam) dan hidrosphere
(tata air).
Di samping terjadinya perubahan dalam tatanan
sumber daya air, proses penambangan mineral dan batubara
dalam skala perusahaan juga seringkali menimbulkan
persoalan serius dalam kualitas air karena terbentuknya air

140
141

Lihat Iskandar, Ibid., 2004.


Leanne Farrell, ,Ibid.., hlm. 34.

BAB V - DAMPAK LINGKUNGAN PENAMBANGAN EMAS LETAKAN OLEH


MASYARAKAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI

193

asam tambang.142 Air asam tambang ini akan menyebabkan


terjadinya kontaminasi ataupun pencemaran terhadap air
tanah sehingga tidak dapat dimanfaatkan lagi oleh
masyarakat. Salah satu contoh dari kasus ini adalah
penambangan logam primer (Cu, Ag, Au, Zn, Cd) di Iron
Mountain Mine di Shasta County, California.143 Kegiatan
pertambangan tersebut mulai beroperasi sejak tahun 1860
dengan menggunakan metoda tambang bawah permukaan
dan tambang permukaan, pada daerah pegunungan yang terkekar-kan.144 Aktivitas tersebut telah mengubah kondisi tata
air setempat dan menyebabkan terjadinya reaksi mineral
yang mengandung sulfida dengan oksigen dan air. Reaksi ini
menyebabkan terjadinya pembentukan air asam tambang
yang intensif dan kemudian mengalir masuk ke sejumlah
anak sungai sehingga menyebabkan kematian ikan serta
mengancam sumber air minum penduduk setempat. Dalam
sistem pertambangan modern, ancaman air asam tambang
ini telah dapat diatasi melalui intervensi teknologi
berdasarkan kajian AMDAL yang rinci dan mendalam.
Selain itu, bila wilayah tersebut memiliki kekayaan
tanaman endemik yang tinggi, maka aktifitas pertambangan
juga dapat menjurus pada perubahan lingkungan biosphere
142

Air asam tambang adalah air dengan pH rendah (bersifat asam) yang umumnya
terdapat pada tambang-tambang yang telah ditinggalkan. Keasaman air ini berasal
dari dekomposisi logam sulfida yang tadinya dalam kondisi reduksi, namun
kemudian tersingkap dan mengalami oksidasi sehingga membentuk asam di dalam
air. Terkadang bakteri juga mempercepat proses dekomposisi ion-ion logam ini.
143
Long- and Short-term Impacts of Mining in the Environment, pada
http://www.pollutionissues.com/CoEa/Disasters-Environmental-MiningAccidents.html
144
Kekar adalah suatu struktur geologi berupa rekahan-rekahan yang terjadi pada
batuan akibat proses tektonik yang dialami oleh wilayah tersebut.

194

BAB V - DAMPAK LINGKUNGAN PENAMBANGAN EMAS LETAKAN OLEH


MASYARAKAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI

yang berujung pada penurunan kualitas keragaman hayati


(biodiversity). Namun hal itu akan terjadi bila aktifitas
pertambangan tersebut tidak dilakukan dalam kaidah-kaidah
good mining practice.
Perubahan yang terjadi pada aspek lithosphere dan
hidrosphere akan dapat menemukan keseimbangan yang
baru sepanjang intensitas perubahan yang terjadi tidak
melampaui batas kapasitas lingkungan itu untuk memulihkan
dirinya sendiri (self recovery). Namun bila kapasitas itu
terlampaui maka kegiatan pertambangan tersebut akan
menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan yang akan
sangat merugikan. Namun bila perubahan lingkungan
tersebut berakibat pada aspek biosphere, maka secara parsial
lingkungan tersebut sudah mengalami degradasi karena
terjadinya penurunan kualitas keragaman hayati yang tidak
mungkin kembali dengan sendirinya.
Sementara
itu
dalam
konteks
kegiatan
pertambangan dalam skala masyarakat, perubahan
lingkungan dapat terjadi dalam intensitas yang kecil, tetapi
juga dapat menimbulkan dampak yang sangat serius, seperti
yang terjadi di Bombana. Dampak yang sangat serius ini
terjadi karena melibatkan jumlah orang yang sangat besar
(mencapai ratusan ribu orang, baik yang bekerja sebagai
penambang maupun sebagai aktor pendukung, seperti
pedagang, pengangkut dan pemilik modal). Disamping itu,
kegiatan penggalian yang mereka lakukan tanpa aturan dan
tanpa perencanaan telah mengakibatkan kerusakan
ekosistem yang bahkan dapat lebih buruk dari kegiatan
penambangan oleh perusahaan, karena masyarakat

BAB V - DAMPAK LINGKUNGAN PENAMBANGAN EMAS LETAKAN OLEH


MASYARAKAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI

195

penambang tersebut tidak mungkin untuk memenuhi


persyaratan AMDAL dan reklamasi.
Dalam menunjang kegiatannya, masyarakat
penambang selalu memanfaatkan tanaman pepohonan di
wilayah tersebut sebagai bahan konstruksi, baik untuk lobang
tambang maupun untuk membangun tempat tinggal.
Hilangnya tutupan lahan, baik karena kegiatan penambangan
maupun untuk material konstruksi lobang tambang, akan
menyebabkan kenaikan intensitas erosi dan volume air
larian. Beban sedimen yang diangkut air larian ini bertambah,
baik yang berasal dari tanah hara maupun ceceran material
tambang. Dalam suatu sistem Daerah Aliran Sungai (DAS), air
larian tersebut akan melaju ke hilir dan masuk ke dalam
aliran sungai. Hal ini menimbulkan degradasi lingkungan pada
aspek lithosphere maupun biosphere. Dari aspek hidrosphere,
guna memenuhi kebutuhan air untuk semua tahapan proses
penambangan, para penambang umumnya memanfaatkan
air sungai secara tidak sistematis dan terencana, sehingga
sisa air buangan seringkali kembali masuk ke dalam sungai.
Sungai akhirnya menjadi keruh dan dangkal. Tidak hanya
sampai disitu, kerusakan alur sungai dapat mencapai level
yang sangat ekstrim yang dicirikan oleh hilangnya alur sungai
asal akibat penumpukan batuan limbah penambangan yang
tidak terkontrol pada badan sungai asal. Kondisi ini sangat
umum terjadi pada penambangan emas letakan, seperti di
Bombana. Berkurangnya tutupan lahan, maraknya kegiatan
penggalian dan berubahnya ekosistem sungai pada akhirnya
akan sangat berpengaruh terhadap kondisi sumber-sumber
air yang terdapat di wilayah hilir. Selain itu, berkurangnya

196

BAB V - DAMPAK LINGKUNGAN PENAMBANGAN EMAS LETAKAN OLEH


MASYARAKAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI

hutan di daerah tinggian/pegunungan dalam jangka panjang


akan dapat berdampak pada perubahan iklim lokal, terutama
pola hujan yang bersifat orografis.145 Pada sejumlah kasus,
seperti di kawasan Shangxi Propinsi Mongolia Dalam, China,
aktifitas masyarakat yang menambang ini dituding sebagai
penyebab terjadinya sejumlah peristiwa kerusakan
lingkungan mulai dari banjir yang periodik, kekeringan,
hilangnya sumber-sumber air, erosi tanah, hingga
kehancuran ekologi pada suatu wilayah Daerah Aliran Sungai
(DAS).146
Penurunan kualitas sumber daya air melalui
pencemaran kimiawi juga dapat terjadi pada penambangan
skala masyarakat karena penggunaan logam merkuri dalam
proses amalgamasi. Hal ini terjadi karena budaya penambang
yang kurang hati-hati dalam menggunakan merkuri sehingga
seringkali merkuri tersebut tercampur dengan air buangan
dan kemudian mencemari air tanah dan air permukaan.
Selain itu, pencemaran merkuri ini juga dapat berasal dari
timbunan ampas maupun limbah batuan, akibat masih
adanya merkuri yang tersisa dalam timbunan ampas batuan
tersebut.

145

Besaran dan pola curah hujan yang sangat tergantung pada ketinggian
permukaan tanah.
146
Zhong Ziran, Small-scale mining problem in ChinaContributions, Problems and
Policy Options. Presented at Third Environmental Cooperation Workshop on
Sustainable Development of Mining Activities, Cairns, Australia, 58 October 1999,
hlm.13 .

BAB V - DAMPAK LINGKUNGAN PENAMBANGAN EMAS LETAKAN OLEH


MASYARAKAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI

197

Degradasi Lingkungan akibat Penambangan Emas di


Bombana
Tingkat kecepatan penurunan kualitas atau intensitas
degradasi lingkungan akibat aktivitas penambangan
masyarakat pada hakekatnya terkait dengan kondisi tanah
dan geologi setempat, terutama bila wilayah tersebut berada
dalam suatu DAS. Derajat kemiringan topografi dan tingkat
kecuraman tebing sungai serta jenis tanah dan batuan
pembentuk wilayah tersebut akan turut menentukan tingkat
laju degradasi lingkungan yang akan terjadi. Bila daerah
tersebut memiliki lereng yang landai dengan tanah atau
batuan pembentuk yang keras atau padat, maka kecepatan
laju degradasi yang terjadi akan lebih kecil bila dibandingkan
dengan wilayah berlereng curam dengan batuan pembentuk
yang lunak atau tidak padat. Oleh karena itu, pada awal
pembahasan degradasi lingkungan akibat penambangan
emas oleh masyarakat di Bombana ini akan diberikan
gambaran kondisi umum wilayah pertambangan tersebut.

Gambaran kondisi umum daerah Bombana.


Seperti telah disinggung pada bab-bab sebelumnya bahwa
aktivitas masyarakat yang menambang di daerah Bombana
diawali dengan ditemukannya emas di daerah Tahi Ite pada
September 2008. Mereka sebagian besar terkonsentrasi di
lokasi sepanjang sungai Tahi Ite, Padang Bila, Satuan
Pemukiman (SP) 8, SP 9 dan sebagian lagi terdapat di SP 1, SP
2 dan SP 6 serta lokasi Gondrong yang mencakup Bukit Tobat
atau Bukit Penyesalan.

198

BAB V - DAMPAK LINGKUNGAN PENAMBANGAN EMAS LETAKAN OLEH


MASYARAKAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI

Untuk menempatkan lokasi lokasi tersebut dalam suatu


kerangka DAS, kemudian dilakukan pengamatan dan analisis
citra yang di-peroleh dari Google Earth147 maupun Shuttle
Radar Topography Mission(SRTM). 148 Hasil analisis citra
selanjutnya ditampilkan sebagai kontur topografi pada
interval 10 m seperti ditunjukkan pada Gambar 5.1.

Gambar 5. 1. Peta topografi lokasi penambangan rakyat di


Bombana berdasarkan citra SRTM

Gambar tersebut menunjukkan bahwa semua lokasi kegiatan


penambangan masyarakat terdapat dalam dua DAS yang
berbeda, yakni DAS Wukuwuku dan DAS Tahi Ite. Secara lebih
rinci dapat diidentifikasi bahwa:
147

Google Earth merupakan sebuah program globe virtual yang memetakan bumi
dari superimposisi gambar yang dikumpulkan dari pemetaan satelit dan fotografi
udara dengan pendekatan Sistem Informasi Grafis dunia.
148
SRTM merupakan citra satelit yang dibangun dengan sistem radar dan memuat
informasi model ketinggian digital dari rupa bumi.

BAB V - DAMPAK LINGKUNGAN PENAMBANGAN EMAS LETAKAN OLEH


MASYARAKAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI

199

1.

Lokasi SP 8 dan SP 9, secara keseluruhan terletak


pada DAS Wukuwuku yang termasuk ke dalam
Kecamatan Wumbubangka. Selain itu, lokasi SP1, SP
2, dan SP 6, juga diperkirakan masuk pada daerah
DAS Wukuwuku. Pada DAS ini dan berbatasan
dengan wilayah penambangan masyarakat, juga
tengah berlangsung penambangan emas yang
dilakukan oleh perusahaan PT Panca Logam
Makmur (PLM).

2.

Lokasi Tahi Ite dan daerah Padang Bila terletak atau


termasuk ke dalam DAS Tahi Ite. Sementara itu,
lokasi Gondrong yang mencakup Bukit Penyesalan
atau Bukit Tobat diperkirakan menempati wilayah
antara DAS Tahi Ite dan DAS Wukuwuku. Dalam
lingkup wilayah yang lebih luas terlihat bahwa
kedua DAS tersebut menempati sisi utara
Pegunungan Rumbia yang memanjang hampir
berarah barat-timur, namun sungai yang terdapat
pada kedua DAS tersebut memiliki pola aliran yang
berbeda.
a. DAS Wukuwuku/Wumbubangka
DAS ini memiliki luas sekitar 2000 ha dengan
kondisi morfologi yang berubah secara signifikan
dari selatan ke utara. Pada bagian selatan, DAS
ini umumnya merupakan daerah perbukitan atau
pegunungan terjal yang merupakan lereng utara
Pegunungan Rumbia. Ke arah utara morfologi
yang terjal tersebut berubah secara berangsur

200

BAB V - DAMPAK LINGKUNGAN PENAMBANGAN EMAS LETAKAN OLEH


MASYARAKAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI

menjadi dataran bergelombang yang melandai ke


arah utara. Sungai Wukuwuku yang daerah
alirannya merupakan lokasi penambangan SP 8
dan SP 9, mengalir ke arah timurlaut. Sungai ini
tampaknya bersifat intermittent, karena airnya
hanya mengalir sewaktu musim hujan. Pada
musim kemarau, keberadaan sungai ini masih
bisa ditelusuri dari kehadiran sejumlah daerah
basah pada lembah yang landai. Daerah basah
tersebut sering menyatu dengan semak/belukar
yang relatif rapat. Tumbuhan lain yang cukup
dominan di wilayah ini umumnya adalah padang
rumput dan alang-alang.
Wilayah DAS ini dibentuk oleh dua jenis
batuan yang berbeda, yakni batuan malihan sekis
hijau yang membentuk lereng terjal di bagian
selatan serta batuan batupasir yang membentuk
wilayah dataran bergelombang yang berlereng
landai di utara. Batuan malihan sekis hijau ini
umumnya sudah mengalami pelapukan sehingga
mudah untuk tergerus dan tergradasi. Gambar
5.1 menunjukkan bahwa lokasi penambangan
masyarakat umumnya lebih dekat ke arah batuan
malihan sekis hijau yang berlereng terjal, kecuali
lokasi SP 9 yang terletak di wilayah dataran
bergelombang.
Batuan malihan sekis hijau sangat mudah
untuk melapuk dan batuan yang sudah
mengalami pelapukan akan berubah menjadi

BAB V - DAMPAK LINGKUNGAN PENAMBANGAN EMAS LETAKAN OLEH


MASYARAKAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI

201

tanah penutup yang menutupi batuan malihan


segar di bawahnya. Semakin intensif proses
pelapukan tersebut maka akan semakin tebal
tanah penutup yang terbentuk. Pada lokasi SP 8
di kaki lereng terjal, ketebalan tanah penutup
tersebut berkisar antara 3 hingga 4 meter,
sedangkan pada lokasi penambangan PT. Panca
Logam Makmur (Gambar 5.1) yang merupakan
dataran bergelombang, ketebalan tanah penutup
tersebut dapat mencapai 14 m.149
b. DAS Tahi Ite
DAS ini memiliki luas yang lebih kecil
dibandingkan DAS wukuwuku, yakni hanya
sekitar 1000 ha atau setengah luas DAS
Wukuwuku. Morfologi DAS ini umumnya
merupakan daerah dataran bergelombang
dengan anak-anak sungai terjal berbentuk V yang
mengalir sepanjang tahun. Sungai Tahi Ite sendiri
mengalir ke arah selatan. Pada daerah aliran
sungai ini terdapat lokasi penambangan Padang
Bila yang terletak di bagian hulu sungai dan lokasi
penambangan Tahi Ite yang terletak di sebelah
hilirnya. Tutupan lahan pada daerah ini, seperti
juga pada DAS Wukuwuku, umumnya merupakan
padang alang-alang dengan vegetasi semak dan
belukar pada anak-anak sungainya. Pada daerah
penambangan Padang Bila masih terdapat
149

Hasil wawancara dengan staf perusahaan PT Panca Logam Makmur pada tanggal
12 Agustus 2009

202

BAB V - DAMPAK LINGKUNGAN PENAMBANGAN EMAS LETAKAN OLEH


MASYARAKAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI

pepohonan tinggi yang cukup rapat, yang sudah


tak dijumpai di DAS Wukuwuku. Walaupun
daerah ini juga dibentuk oleh batuan malihan
sekis hijau dan batupasir, namun tidak
menunjukkan morfologi yang terjal seperti DAS
Wukuwuku. Hal ini mengindikasikan bahwa DAS
Tahi Ite ini telah mengalami proses erosi yang
lebih lanjut dibandingkan DAS Wukuwuku.
Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa
tanah penutup yang terbentuk akan mencapai
ketebalan yang signifikan. Hal ini dibuktikan
dengan ketebalan tanah penutup di daerah
Padang Bila yang dapat mencapai sekitar 14
meter.

Perubahan dan degradasi lingkungan akibat


penambangan.
Perubahan dan degradasi lingkungan yang sangat
menonjol akibat kegiatan penambangan yang dilakukan
masyarakat disini adalah rusaknya morfologi sungai. Pada
DAS Wukuwuku, sungai telah kehilangan bentuk dan daerah
alirannya sungainya sudah sulit untuk dikenali. Yang tersisa
nyaris hanya lobang-lobang dan bendungan yang menyebar
secara acak. Hal yang sama terjadi pada DAS Tahi Ite bagian
hilir. Sementara itu, pada bagian hulu sungai Tahi Ite (daerah
Padang Bila), badan sungai telah hilang dan berganti dengan
genangan-genangan air yang keruh dengan endapan lumpur.
Sebagian besar vegetasi, terutama yang tumbuh di tepian
sungai telah rusak/mati. Kegiatan penambangan menyisakan
tumpukan bongkahan batuan, endapan lumpur yang

BAB V - DAMPAK LINGKUNGAN PENAMBANGAN EMAS LETAKAN OLEH


MASYARAKAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI

203

bercampur dengan buangan tanah pucuk dan tanah penutup


dan membentuk hamparan lahan rusak yang luas.
Perubahan dan degradasi lingkungan tidak hanya
terjadi pada badan sungai, tetapi juga pada bantaran sungai,
baik yang berlereng relatif terjal maupun yang merupakan
dataran bergelombang. Hal ini terjadi karena para
penambang memperluas areal penggalian mereka untuk
mendapatkan material yang akan didulang ke arah tebing
dan lereng sungai hingga jarak beberapa ratus meter dari
pinggir sungai karena mereka tidak bisa lagi memperoleh
material tersebut pada aliran sungai. Penggalian ini
menyebabkan hampir seluruh kawasan tepi sungai berubah
menjadi lobang-lobang galian mulai dengan sumuran
berukuran kecil (diameter setengah hingga satu meter)
hingga lobang berbentuk persegi dengan panjang sisinya
sekitar dua meter. Wilayah tersebut tadinya merupakan
lahan produktif yang merupakan kebun masyarakat
(kebanyakan ditanami coklat), sekarang berubah menjadi
lahan rusak yang tidak dapat lagi dimanfaatkan.
Selain degradasi kualitas lahan di atas, aktifitas
penambangan oleh masyarakat ini juga menimbulkan
degradasi pada kualitas air sungai dan menyebabkan air
permukaan tersebut tidak lagi dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat, terutama pada aliran sungai Tahi Ite yang
mengalir sepanjang tahun. Kekeruhan yang terjadi akibat
banyaknya endapan lumpur yang berasal dari aktifitas
penambangan yang masuk ke dalam sungai dapat dipastikan
akan menyebabkan hilangnya sebagian biota akuatik sungai
itu dan terdegradasinya ekosistem sungai tersebut.

204

BAB V - DAMPAK LINGKUNGAN PENAMBANGAN EMAS LETAKAN OLEH


MASYARAKAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI

Penurunan kualitas air yang terjadi masih sebatas perubahan


sifat fisik dari bening menjadi keruh, tetapi tidak mengalami
pencemaran oleh zat kimia karena para penambang tidak
menggunakan merkuri yang beracun yang umum
dipergunakan dalam kegiatan pertambangan oleh
masyarakat.
Pada sisi lain, walaupun dapat dianggap tidak
signifikan, kegiatan penambangan oleh masyarakat tersebut
juga menimbulkan debu-debu yang mengotori udara di
sepanjang jalan yang dilalui kendaraan-kendaraan
pengangkut akibat meningkatnya mobilitas sarana
transportasi dari dan keluar lokasi penambangan. Selain itu,
ancaman terhadap penurunan kualitas udara juga datang
dari asap tebal yang keluar dari knalpot mesin-mesin diesel
yang digunakan para penambang dalam aktifitas mereka
(Foto 5.1).

Foto 5. 1. Asap tebal yang keluar dari knalpot mesin


penyemprot dalam kegiatan penambangan
oleh masyarakat

BAB V - DAMPAK LINGKUNGAN PENAMBANGAN EMAS LETAKAN OLEH


MASYARAKAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI

205

Analisis Permasalahan Lingkungan


Perubahan dan degradasi lingkungan yang terjadi
akibat kegiatan masyarakat yang menambang di Bombana
terjadi secara bertahap sejalan dengan peningkatan jumlah
penambang dan pola kerja yang mereka terapkan. Ketika
emas baru ditemukan di sungai Tahi Ite pada bulan
September 2008, perubahan dan degradasi lingkungan yang
terjadi sangatlah kecil karena jumlah masyarakat yang
menambang masih sangat terbatas dan mereka hanya
melakukan pendulangan di badan sungai. Namun seiring
dengan bertambahnya jumlah penambang yang ikut
melakukan penambangan dan beragamnya keahlian yang
mereka miliki, maka mulailah tekanan terhadap lingkungan
semakin tinggi yang berujung pada mulai terjadinya
degradasi lingkungan di wilayah itu. Penerapan berbagai
teknik penambangan secara tidak terencana dan bersifat
spekulatif menyebabkan beban lingkungan semakin berat
dan degradasi lingkungan semakin parah dan tidak
terelakkan. Semua itu dapat ditelusuri dari perubahan teknik
penambangan yang dipergunakan dan jumlah penambang
yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Khronologis
perubahan tersebut disajikan dalam Tabel 1 di bawah.
Dari Tabel 1 tersebut dapat diketahui bahwa tahap
awal mulai terjadinya degradasi lingkungan pada kegiatan
masyarakat yang menambang di Bombana adalah pada tahap
3. Hal ini terjadi bukan saja karena semakin bertambahnya
jumlah penambang yang terlibat, tetapi lebih disebabkan
karena semakin beragamnya teknik penambangan yang

206

BAB V - DAMPAK LINGKUNGAN PENAMBANGAN EMAS LETAKAN OLEH


MASYARAKAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI

diterapkan, terutama ketika


dioperasikan secara manual.

mini

sluice

box

mulai

Tabel 5. 1. Tahapan perubahan teknik penambangan emas di


Bombana.
Tahapan
Tahap 1
Pada awal
penemuan
adanya emas
di Bombana

Tahap 2
Jumlah
penambang
bertambah
dengan
pendatang
dari berbagai
daerah di
Indonesia

Tahap 3
Jumlah
penambang
semakin
bertambah

Kegiatan
Masyarakat lokal
mendulang di badan
sungai, bahan baku
merupakan material
endapan sungai.
Penambang datang
secara berkelompok,
tetapi bekerja
mendulang secara
sendiri-sendiri.
Bahan baku diperoleh
dengan melakukan
pemapasan dinding
sungai dan
pembuatan lobang di
tepi sungai.
Penambang bekerja
secara berkelompok,
dengan pembagian
tugas secara bergiliran
dari yang menggali,
membawa hasil galian
ke tepi sungai, dan
mendulang.
Perolehan emas masih
berasal dari tanah
hasil galian yang
kemudian didulang.
Penggalian bahan
baku semakin intensif.
Lobang-lobang galian
tersebar di sekitar
wilayah sungai hingga
puluhan meter dari
tepi sungai.
Kebutuhan air
meningkat. Bahan
baku diangkut ke
pinggir sungai lalu
diproses dengan cara
pendulangan dan

Peralatan
Pacul,
dulang

pacul,
linggis
dan
sebagain
ya.

Selain
peralatan
tradision
al,
pendulan
g sudah
menggun
akan mini
sluicebox yang
dioperasi
kan
secara

interaksi lingkungan
Sistem sungai masih
terjaga,
kerusakan
lebih dicirikan dengan
keruhnya air sungai
secara setempat akibat
hasil buangan air bekas
dulang. Kualitas aliran
air masih terjaga,
begitu pula sisi-sisi
sungai yang ada
Air sungai mulai keruh,
aliran sungai masih
terjaga, proses siltasi
sudah mulai terjadi
setempat Kerusakan
fisik berupa
terbentuknya lobanglobang galian dan
pemapasan dindingdinding sungai. Tanah
pucuk hilang karena
penggalian dan
pemapasan sungai.

Air sungai semakin


keruh mulai terjadi
pelumpuran.
Kerusakan sistem
sungai semakin parah.
Sungai mulai
kehilangan bentuknya.
Kerusakan terjadi pada
morfologi sungai,
akibat lobang bekas
galian, kolam
tampungan, sebaran
tanah penutup

BAB V - DAMPAK LINGKUNGAN PENAMBANGAN EMAS LETAKAN OLEH


MASYARAKAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI

Tahap 4
Penambang
mulai
bekerjasama
dengan
pemodal

menggunakan mini
sluice box secara
manual untuk
memperoleh
emasnya.
Penambang sudah
menggunakan mesin
walau masih ada yang
mendulang
Penggalian bahan
baku dengan
membuat lobang
tambang dilakukan
dengan semprotan air
bertekanan tinggi.
Lokasi lobang semakin
acak, bisa berupa
lobang baru atau
menggali kembali
lobang lama yang
sudah tertimbun.
Proses pemisahan
emas dari
pengotornya
dilakukan dengan
sluice box yang
dioperasikan dengan
menggunakan mesin

207

manual

bercampur ampas dan


bongkahan batuan.
Tanah pucuk hilang.

mesin
semprot
dan
sluicebox
dengan
kapasitas
lebih
besar ( <
25 PK).

Morfologi hancur
berubah menjadi
lobang-lobang
berukuran besar
dengan diameter
mencapai lebih dari
lima meter. Lobang
tersebut kemudian
berubah menjadi
genangan. Pada
daerah pembuangan di
sekitar sluice box
terjadi hamparan lahan
becek penuh lumpur
dengan aliran air keruh
yang turun dari sluice
box. Selain itu,
hamparan ini dipenuhi
bongkahan batuan,
endapan lumpur yang
bercampur dengan
buangan tanah pucuk
dan tanah penutup.

Degradasi semakin meningkat pada tahap 4, ketika mesinmesin bertenaga hingga 25 PK mulai dioperasikan dalam
proses penyemprotan dan ekstraksi dengan sluice box. Bila
diamati secara lebih detil, maka akan dapat diketahui bahwa
degradasi lingkungan yang terjadi secara signifikan terutama
berlangsung pada aspek bentang alam/morfologi serta
kondisi kualitas air.

Kerusakan Bentang Alam/Morfologi


Wilayah sungai di lokasi pertambangan ini telah mengalami
kerusakan dan kehancuran yang serius, karena badan sungai

208

BAB V - DAMPAK LINGKUNGAN PENAMBANGAN EMAS LETAKAN OLEH


MASYARAKAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI

yang tadinya terbentuk secara alamiah serta bantaran sungai


dan daerah pinggiran sungai yang berupa kebun masyarakat
sekarang telah berubah menjadi lobang-lobang galian yang
tak beraturan. Badan sungai menghilang dan sulit dikenali
sehingga air sungai pun tak lagi mengalir karena alur sungai
sudah tidak ada lagi (Foto 5.2).

Foto 5. 2. Alur sungai yang sudah hilang dan sulit


dikenali lagi akibat penambangan oleh
masyarakat. di Sungai Tahi Ite

Lahan yang tadinya relatif subur karena terletak di tepi


sungai menjadi hancur karena sudah berubah menjadi
puluhan bahkan mungkin ratusan lobang galian yang
tersusun berdampingan sehingga nyaris tidak ada lagi bagian
tanah yang bisa dijadikan pijakan untuk berjalan (Foto 5.3).
Material batuan yang berasal dari limbah penambangan,
tanah penutup, tanah pucuk dan limbah rumah tangga
(karena mereka juga tinggal pada tenda-tenda di pinggir

BAB V - DAMPAK LINGKUNGAN PENAMBANGAN EMAS LETAKAN OLEH


MASYARAKAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI

209

sungai) tercampur aduk pada beberapa bagian lokasi


penambangan (Foto 5.4).

Foto 5. 3. Daerah bantaran dan tepi sungai yang


sudah berubah menjadi kumpulan lobanglobang yang berbaris rapat.

Foto 5. 4. Kondisi lahan di tepi aliran sungai dan


badan sungai yang sudah ditutupi oleh
sampah dan batuan dari limbah
pertambangan

210

BAB V - DAMPAK LINGKUNGAN PENAMBANGAN EMAS LETAKAN OLEH


MASYARAKAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI

Semua ini terjadi pada kedua DAS yang ada. Hilangnya badan
sungai di DAS Wukuwuku, terutama di SP 9, tampaknya
terjadi selain karena aktifitas para penambang, juga karena
kecilnya debit aliran sungai terkait sifatnya yang intermittent
serta posisi morfologinya yang terletak di lereng landai.
Sementara itu alur sungai pada DAS Tahi Ite relatif
lebih terjaga kondisinya karena debit airnya yang mengalir
sepanjang tahun serta kondisi morfologinya yang lebih terjal
dibanding lokasi SP 9. Namun demikian, kerusakan aliran
sungai juga terjadi pada bagian sungai tertentu karena aliran
sungai tersebut telah berubah menjadi aliran lumpur yang
berasal dari limbah penambangan (Foto 5.5).

Foto 5. 5. Bagian badan aliran sungai Tahi Ite yang


sudah berubah menjadi aliran lumpur yang
merupakan limbah pertambangan
masyarakat

Hasil perhitungan secara kasar dari peta topografi


(Gambar 5.1) menunjukkan bahwa perubahan dan degradasi
bentang alam yang terjadi untuk DAS Wukuwuku mencapai

BAB V - DAMPAK LINGKUNGAN PENAMBANGAN EMAS LETAKAN OLEH


MASYARAKAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI

211

sekitar 80 ha, sedang pada DAS Tahi Ite mencapai lebih


kurang 95 ha. Perhitungan untuk DAS Tahi Ite tersebut bisa
saja terlalu luas dari yang sebenarnya mengingat perhitungan
itu dilakukan dengan menganggap luasan wilayah lokasi
masyarakat yang menambang sudah mengalami degradasi
secara homogen, padahal kenyataannya lokasi penambangan
masyarakat tidak mencakup seluruh luasan yang diplot pada
peta dalam Gambar 5.1 di atas.

Kerusakan Kualitas Air


Walaupun memiliki arah aliran dan pola sungai yang berbeda
serta karakter sungai yang tidak sama, namun kualitas air
pada kedua DAS telah sama-sama mengalami degradasi yang
cukup mengkhawatirkan, terutama secara fisik.
Pada DAS Tahi Ite yang sungainya mengalir sepanjang
tahun, air sungai yang semula bening sudah berubah menjadi
keruh dengan warna kecoklatan karena kandungan lumpur di
dalamnya yang sudah cukup tinggi yang merupakan limbah
kegiatan penambangan masyarakat. Pada bagian tertentu
dari aliran sungai tersebut, kondisinya bahkan lebih parah
karena air sungai sudah berubah menjadi lumpur semuanya
(Foto 5.5). Aktivitas penambangan masyarakat yang
dilakukan pada bagian lain aliran sungai Tahi Ite, telah
menciptakan kolam-kolam genangan yang keruh dan juga
berwarna kecoklatan karena dipengaruhi oleh limbah
pertambangan. Kondisi air sungai ini, baik yang mengalir
apalagi yang tergenang, sudah mengalami degradasi kualitas
yang signifikan sehingga tidak layak lagi untuk dipergunakan
dalam memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari. Namun

212

BAB V - DAMPAK LINGKUNGAN PENAMBANGAN EMAS LETAKAN OLEH


MASYARAKAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI

demikian, para penambang yang bermukim di tenda-tenda


temporer di daerah tepian sungai masih menggunakan air
tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka seharihari (Foto 5.6)

Foto 5. 6. Genangan air bercampur lumpur yang


dipergunakan oleh para penambang untuk
memenuhi kebutuhan kehidupan mereka
sehari-hari.

Sementara itu, pada DAS Wukuwuku yang sungainya


bersifat intermittant, air yang tersisa hanya dijumpai di
dalam kolam-kolam air yang juga keruh dan berwarna
kecoklatan. Air pada kolam-kolam tersebut pada umumnya
digunakan untuk mengoperasikan mesin semprot dan sluice
box dalam operasional pertambangan masyarakat,
sementara itu kebutuhan air untuk kehidupan mereka
diperoleh dari sumur dangkal yang mereka gali.
Penurunan kualitas air dan berubahnya tatanan air
tanah di kedua DAS tersebut akibat kegiatan penambangan
masyarakat dalam jangka panjang, tentunya akan dapat

BAB V - DAMPAK LINGKUNGAN PENAMBANGAN EMAS LETAKAN OLEH


MASYARAKAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI

213

berdampak pada areal yang lebih luas. Adanya laporan yang


menyatakan bahwa telah terjadi kekeringan di bendungan
Langkowala yang terletak lebih kurang 1,1 km di timur laut
DAS Wukuwuku150, seolah-olah menyodorkan bukti akan
seriusnya degradasi tatanan air tanah yang terjadi akibat
kegiatan masyarakat yang menambang tersebut. Kecurigaan
ini semakin menguat ketika dua kecamatan, yakni kecamatan
Rarowatu Utara dan Lantari Jaya, juga dilaporkan mengalami
kekeringan setelah maraknya penambangan masyarakat di
DAS yang terletak di hulu sungai kedua kecamatan tersebut.
Namun demikian, karakteristik geologi dan geomorfologi
wilayah tersebut yang mengindikasikan bahwa sumber daya
air disini memang relatif terbatas, kalaupun ada umumnya
hanya berupa air tanah bebas/dangkal, tampaknya tidak
cukup kuat mendukung kecurigaan tersebut. Selain itu, fakta
yang menunjukkan bahwa keberadaan air sungai di wilayah
ini sangat ditentukan selain oleh curah hujan, juga oleh
kehadiran vegetasi di sekitarnya, semakin memperlemah
alasan untuk menimpakan semua kesalahan kepada kegiatan
pertambangan masyarakat atas terjadinya musibah
kekeringan tersebut. Namun harus diakui bahwa kegiatan
pertambangan ini juga pasti memiliki andil dalam kejadian
musibah kekeringan itu.

Solusi Alternatif untuk Penanggulangan.


Kerusakan lingkungan di kawasan pertambangan rakyat di
Bombana terjadi pada badan sungai dan daerah sekitar tepi
sungai hingga ke punggungan bukit tertentu. Kerusakan
150

Lihat Kompas, Rabu, 9 Desember 2009 dan MBM Tempo edisi 11-17 Januari 2009

214

BAB V - DAMPAK LINGKUNGAN PENAMBANGAN EMAS LETAKAN OLEH


MASYARAKAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI

badan sungai sudah mencapai tingkat yang cukup parah


karena geometrinya sudah sulit untuk dikenali. Kondisi ini
menjadi lebih parah karena sifat sungai-sungai tersebut yang
intermittent, sehingga air yang tersisa di badan sungai itu
tinggal sebagai kubangan-kubangan di lobang-lobang bekas
penggalian para penambang. Lokasi yang tadinya merupakan
badan sungai, sekarang berubah menjadi lobang-lobang
galian yang terisi air dengan tumpukan material tanah
bercampur pasir dan kerikil di pinggir lobang. Sementara itu
pada bagian lain, badan sungai tersebut diisi oleh tumpukan
batu-batu kerikil yang merupakan produk ampas dari sluice
box dalam rangkaian proses penambangan emas yang
dilakukan masyarakat dengan menggunakan mesin.
Secara umum dapat dikatakan bahwa, kerusakan
lingkungan yang terjadi di Bombana ini lebih merupakan
degradasi fisik Daerah Aliran Sungai yang menyebabkan
terjadinya degradasi kualitas sumber daya lahan dan sumber
daya air. Penambangan emas letakan sebenarnya dapat
dikategorikan pada industri bersih, karena tidak
menghasilkan racun (akibat proses pemisahan secara
kimiawi), air asam tambang, dan hanya menyebabkan polusi
udara yang relatif kecil dibandingkan dengan penambangan
dan prosesing bahan galian yang lain.151 Walaupun begitu,
ketika aktivitas tersebut dilakukan tanpa perencanaan yang
dilandaskan pada konsep good mining practice, maka ia tetap
akan melahirkan sejumlah kerusakan lingkungan pada lokasi
atau wilayah tempat kegiatan itu dilakukan.
151

Seyoum Zenebe Woldemichael, Environmental impacts of gold mining on waters


and sediments of Legadembi area, thesis, Addis Ababa University, 2006, hlm.94.

BAB V - DAMPAK LINGKUNGAN PENAMBANGAN EMAS LETAKAN OLEH


MASYARAKAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI

215

Dalam upaya untuk memulihkan atau memperbaiki


kembali kondisi lingkungan yang sudah rusak tersebut, maka
diperlukan langkah-langkah yang sistematis untuk
menanggulanginya. Setidaknya diperlukan dua tahapan
dalam memperbaiki kondisi lingkungan yang sudah rusak
tersebut, yakni: (i) tahapan identifikasi dan deliniasi kawasan
yang terkena dampak; dan (ii) tahapan rehabilitasi atau
pemulihan kondisi lahan yang sudah rusak. Di bawah ini akan
dibahas setiap tahapan tersebut secara lebih rinci sehingga
dapat diimplementasikan.
1. Tahapan identifikasi dan deliniasi kawasan yang terkena
dampak
Tahapan ini merupakan fasa untuk melakukan
identifikasi terhadap berbagai jenis kerusakan lingkungan
yang terjadi serta lokasinya secara rinci dan lengkap.
Degradasi apa yang terjadi (lahan dan sumber daya air),
baik pada badan sungai ataupun tepi sungai serta
intensitas kerusakannya, termasuk bagian punggungan
bukit yang digali oleh para penambang untuk
mendapatkan material yang akan di dulang. Secara kasat
mata di lapangan, berbagai perubahan yang terjadi itu
akan tercermin terutama pada penurunan kualitas lahan
dan sumber daya air, sedangkan perubahan morfologi
tidak akan signifikan karena pada umumnya para
penambang hanya melakukan penggalian dalam skala
terbatas.
Untuk melakukan identifikasi dan deliniasi
kawasan yang telah rusak tersebut secara efektif dan

216

BAB V - DAMPAK LINGKUNGAN PENAMBANGAN EMAS LETAKAN OLEH


MASYARAKAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI

efisien, maka penggunaan citra satelit sebagai alat bantu


merupakan suatu cara yang cukup tepat dan relatif
murah.152 Perubahan kerapatan vegetasi di wilayah
pertambangan masyarakat tersebut atau berubahnya
pola tutupan lahan akibat penambangan di wilayah itu
akan memberikan sebaran rona yang spesifik, sehingga
lokasi-lokasi yang sudah digali atau ditambang oleh
masyarakat tersebut akan dapat dilokalisir atau
dideliniasi dengan mudah dan akurat. Wilayah yang
sudah pernah dan sedang dijadikan lokasi penambangan
masyarakat biasanya akan merupakan daerah yang relatif
terbuka sehingga akan menunjukkan rona yang lebih
kasar daripada wilayah yang masih belum dijamah.
Salah satu contoh pemanfaatan citra satelit guna
pengelolaan kawasan pertambangan153 dan pemantauan
kegiatan emas letakan adalah seperti yang pernah
dilakukan di daerah Mongolia154 seperti yang disajikan
dalam ilustrasi di bawah ini (Gambar 5.2. dan 5.3). Pada
Gambar 5.2 terlihat kawasan yang terdiri dari daerah
endapan sungai yang ditutupi oleh padang rumput yang
rimbun di sekitarnya (warna oranye), sedangkan wilayah
sekitarnya ditutupi oleh vegetasi berupa semak belukar
(warna hijau).

152

Ray Grayson,. Potential of satellite images for monitoring placer gold mining in
Mongolia (Summary), World Placer Journal (3), 2003.
153
Tungalag A., et al., Land Degradation Analysis in The Ongi River Basin, The
International Archieves of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial
Information Sciences, vol. XXXVII, part B7, Beijing, 2008, hlm.. 1021-1024
154
Ray Grayson,. Ibid.2003,

BAB V - DAMPAK LINGKUNGAN PENAMBANGAN EMAS LETAKAN OLEH


MASYARAKAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI

217

Gambar 5. 2. Padang
rumput yang rimbun
(warna oranye) yang
menutupi daerah
endapan sungai atau
dataran banjir dan
dikelilingi oleh
vegetasi semak
belukar (warna
hijau). Sungai
mengalir dari selatan
(bagian bawah
gambar)

Gambar 5. 3. Padang
rumput (warna oranye)
pada dataran banjir,
sebagian hilang karena
penambangan emas
letakan. Citra
menunjukan
pergeseran sungai
mengikuti daerah
penambangan.

218

BAB V - DAMPAK LINGKUNGAN PENAMBANGAN EMAS LETAKAN OLEH


MASYARAKAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI

Namun, ketika di wilayah tersebut terjadi penambangan


emas letakan oleh masyarakat, maka sebagian daerah
padang rumput tersebut berubah menjadi daerah
terbuka (warna jingga) dengan kolam-kolam genangan
air pada lobang-lobang galian penambangan (warna
biru).
Dengan menggunakan analisis dan interpretasi
citra satelit seperti di maksud di atas, maka dapat
diperoleh peta kerusakan lingkungan yang terjadi di
kawasan pertambangan emas di Bombana, baik
penyebarannya maupun intensitas dan jenis kerusakan
lahan yang terjadi. Sementara itu, dari sudut degradasi
kualitas sumber daya air, analisis citra ini akan dapat
memberikan informasi tentang wilayah mana yang perlu
mendapatkan perhatian lebih banyak akibat kegiatan
penambangan tersebut. Daerah yang memperlihatkan
jumlah kolam genangan yang terbanyak seharusnya
mendapatkan
perhatian
lebih
karena
akan
mempengaruhi tata air yang ada, tetapi sekaligus juga
berpotensi untuk dimanfaatkan dalam upaya perbaikan
kualitas air setempat.
Hasil analisis citra satelit tersebut kemudian
harus
ditindaklanjuti
dengan
pengumpulan
data/informasi dan contoh air di lapangan. Hal ini
disebabkan karena gambaran yang diperoleh dari
interpretasi citra satelit hanya terbatas pada koordinat
lokasi dan luas daerah bukaan serta kolam genangan,
sedangkan kondisi detil di lapangan tentang bagaimana

BAB V - DAMPAK LINGKUNGAN PENAMBANGAN EMAS LETAKAN OLEH


MASYARAKAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI

219

tingkat dan jenis degradasi lahan dan kualitas air yang


sudah terjadi harus diamati di lapangan.
Walaupun proses penambangan disini sangat
didominasi oleh kegiatan yang bersifat fisik/mekanik,
tetapi dampak yang ditimbulkannya tetap dapat bersifat
kimiawi. Sebagai contoh adalah seperti yang terjadi pada
Sungai Tuul di Mongolia155, yang pengayaan siltasi air
sungai (fisis) sebagai akibat penambangan emas letakan,
ternyata berhubungan erat dengan kenaikan nitrogen
dan fosfor (kimiawi) yang selanjutnya mengakibatkan
eutrofikasi Danau Baikal yang terletak di hilirnya.
2. Tahapan rehabilitasi atau pemulihan kondisi lahan yang
rusak
Setelah tahapan identifikasi dan deliniasi
kawasan yang terkena dampak dilakukan, maka
dilanjutkan ke tahapan rehabilitasi dan pemulihan
kondisi lahan yang rusak. Tahapan ini memerlukan
perencanaan detil karena setiap jenis kerusakan yang
terjadi memerlukan perlakuan yang berbeda, sesuai
dengan fungsi setiap lokasi dalam mendukung ekosistem
yang akan dipulihkan. Dalam konteks ini, maka
rehabilitasi lahan yang rusak merupakan prioritas agar
sistem sungai ataupun tata air yang ada dapat berfungsi
kembali. Langkah-langkah yang perlu dilakukan dapat
dijabarkan sebagai berikut:
155

John Farrington, Environmental problems of placer gold mining in the Zaamar


Goldfield, Mongolia, World Placer Journal, v.1, 2000.

220

BAB V - DAMPAK LINGKUNGAN PENAMBANGAN EMAS LETAKAN OLEH


MASYARAKAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI

1. Penutupan lobang-lobang galian bekas


penambangan.
Dalam melakukan penutupan lobang-lobang galian
yang terjadi selama proses penambangan haruslah
menyesuaikan antara material penutup yang akan
digunakan dengan lokasi lobang-lobang tersebut
sehingga sesuai dengan peran lokasi tersebut
dalam ekosistemnya. Lobang-lobang galian yang
berada di pinggir sungai ataupun di lereng-lereng
perbukitan harus ditimbun atau ditutup dengan
material tanah dan bukan dengan material berupa
pasir atau kerikil. Material tanah tersebut dapat
diperoleh dari tumpukan bekas galian yang
biasanya ditempatkan penambang di sisi lobang
tersebut atau mengambilnya dari lokasi lain
(sebaiknya dari lokasi yang bermorfologi lebih
tinggi sehingga tidak terbentuk lobang baru).
Mengingat lenyap atau berkurangnya unsur hara
yang terkandung pada tanah pucuk, maka perlu
dilakukan upaya pengembaliannya dan memilih
jenis teknologi penanaman tumbuhan (nursery
technology) yang paling memungkinkan agar
kawasan tersebut dapat pulih kembali.
Sementara itu, untuk lobang-lobang yang
berlokasi di tengah badan dan alur sungai,
dilakukan penutupan dengan material pasir dan
kerikil-kerikil yang berasal dari ampas proses pada
sluice box. Material ini umumnya banyak
menumpuk atau juga tersebar pada alur sungai

BAB V - DAMPAK LINGKUNGAN PENAMBANGAN EMAS LETAKAN OLEH


MASYARAKAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI

221

aslinya. Dengan menimbun lobang-lobang tersebut


dengan material pasir dan kerikil, maka
sesungguhnya
lingkungan
tersebut
secara
konseptual sudah dikembalikan kepada lingkungan
ekosistem asalnya, yakni ekosistem sebuah sungai.

Menghidupkan kembali badan sungai.


Tahapan ini dilakukan dengan memperbaiki aluralur yang sudah rusak sehingga badan sungai
kembali terbentuk dengan alur yang jelas dengan
arah aliran seperti sediakala.

Mengoptimalkan pemanfaatan limbah buangan.


Limbah buangan yang ada seperti bongkah batuan,
pasir, dan tanah dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan konstruksi, baik untuk sarana
jalan/jembatan maupun untuk bangunan.
Ketiga tahapan kegiatan di atas, dalam
implementasinya pasti memerlukan sikap,
komitmen dan political will yang tegas dari
pemerintah setempat. Tanpa semua itu, pemikiran
solutif di atas tidak akan berarti apa-apa untuk
penanggulangan kerusakan lingkungan yang terjadi
di Bombana. Hal ini disebabkan karena untuk
melaksanakan kedua tahapan dalm upaya
pemulihan lingkungan yang sudah rusak tersebut
diperlukan tidak hanya dana untuk pembiayaannya
namun juga memerlukan sarana pendukung atau
infrastruktur dan sumber daya manusia yang
memiliki pengetahuan dan keahlian yang memadai.

222

BAB V - DAMPAK LINGKUNGAN PENAMBANGAN EMAS LETAKAN OLEH


MASYARAKAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI

Upaya perbaikan lingkungan tersebut tidak


mungkin dibebankan kepada masyarakat karena
secara hukum kegiatan yang mereka lakukan
adalah legal. Hal ini dibuktikan dengan adanya
surat izin yang diterbitkan oleh pemerintah
kabupaten Bombana yang disebut dengan KIMP
(Kartu Izin Masuk Pertambangan). Walaupun
kebijakan pemkab tersebut tidak selaras dengan
UU No. 4 tahun 2009 ataupun dengan UU No.11
tahun 1967 (karena KIMP diterbitkan sebelum UU
No.4 tahun 2009 disahkan), namun dari sisi
masyarakat kepemilikan KIMP tersebut merupakan
bukti bahwa kegiatan mereka adalah legal. Dengan
demikian, semua beban dampak yang terjadi akibat
kegiatan penambangan masyarakat tersebut,
menjadi tanggungjawab pemerintah setempat
untuk mengatasinya. Namun demikian, ketika
upaya rehabilitasi lingkungan tersebut memiliki
potensi ekonomi, seperti adanya bahan galian pasir
batu (sirtu) yang dapat dimanfaatkan untuk bahan
bangunan, maka keterlibatan pengusaha lokal
sebagai mitra dapat menjadi salah satu jalan untuk
mengurangi beban pembiayaan pemerintah.
Akan tetapi khusus untuk tahapan pertama
yang merupakan proses deliniasi dan identifikasi
tingkat kerusakan yang terjadi, pemerintah
membutuhkan bantuan para ahli penginderaan jauh
dengan citra satelit lokasi terkait. Pada umumnya
pemerintah daerah, terutama yang berlokasi cukup

BAB V - DAMPAK LINGKUNGAN PENAMBANGAN EMAS LETAKAN OLEH


MASYARAKAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI

223

jauh dari ibukota provinsi belum memiliki


infrastruktur dan sumber daya manusia yang
dibutuhkan. Oleh karena itu, pemerintah daerah
perlu membangun kerjasama dengan institusiinstitusi yang memiliki kompetensi di bidang
tersebut, bukan hanya untuk mengatasi persoalan
lingkungan yang terjadi, tetapi sekaligus juga untuk
meningkatkan kapasitas (capacity building) sumber
daya manusia daerah tersebut.

224

BAB V - DAMPAK LINGKUNGAN PENAMBANGAN EMAS LETAKAN OLEH


MASYARAKAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI

Daftar Pustaka
A.Tungalag, R.Tsolmon, B. Bayatungalag, Land Degradation
Analysisi in The Ongi River Basin, The International
Archieves of the Photogrammetry, Remote Sensing and
Spatial Information Sciences, vol. XXXVII, part B7,
Beijing, 2008.
Bombana, Bonanza Pemicu Bencana, MBM Tempo edisi 1117 Januari 2009.
Ericson, B.; Hanrahan,: Kong, V. The Worlds Worst Pollution
Problems, Blacksmith Institute & Green Cross
Switzerland, 2008.
Farrell, L., Sampat, P., Sarin, R., and Slack, K., DirtyMetal,
Mining, Communities and the Environment, Earthworks
and Oxfam America, 2004.
Farrington, J., Environmental problems of placer gold
mining in the Zaamar Goldfield, Mongolia, World
Placer Journal, v.1, 2000, hlm.. 107-126
Grayson, R., Potential of satellite images for monitoring
placer gold mining in Mongolia (Summary), World
Placer Journal, v.3, 2003.
Heidhues, M. F. Somers, Bangka Tin and Mentok Pepper:
Chinese Settlement on an Indonesian Island, Institute
of Southeast Asian Studies, Pasir Panjang, Singapore,
1992.
Jahi, J.M., Aiyub, K., Arifin, K. and Awang, A., Development,
Environmental Degradation and Environmental

BAB V - DAMPAK LINGKUNGAN PENAMBANGAN EMAS LETAKAN OLEH


MASYARAKAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI

225

Management in Malaysia, European Journal of Social


Sciences, Volume 9, Number 2, 2009.
Long-and Short-term Impacts of Mining in the Environment,
http://www.pollutionissues.com/Co-Ea/DisastersEnvironmental-Mining-Accidents.html, (diunduh 21 Juli
2009).
Smith, S.E, What is Environmental Degradation? pada
http://www.wisegeek.com/what-is-environmentaldegradation.htm., 2010.
Tambang Emas Bombana Tercemar Merkuri, Kompas ,
Rabu, 9 Desember 2009.
Woldemichael, S.,Z., Environmental impacts of gold mining
on waters and sediments of Legadembi area, thesis,
Addis Ababa University, 2006.
Ziran,

Z., Small-scale mining problem in China


Contributions, Problems and Policy Options.
Presented at Third Environmental Cooperation
Workshop on Sustainable Development of Mining
Activities, Cairns, Australia, 58 October 1999.

BAB

6
STRATEGI PENGEMBANGAN
WILAYAH PERTAMBANGAN RAKYAT
DI KABUPATEN BOMBANA,
SULAWESI TENGGARA
Oleh: Iskandar Zulkarnain

Pendahuluan
Terdapat perbedaan pengertian yang sangat mendasar dan
perlu dipahami oleh setiap pemangku kepentingan
(stakeholders) dalam memahami terminologi Pertambangan
Rakyat dan kegiatan masyarakat yang menambang.
Pengertian Pertambangan Rakyat (PR) secara umum menurut
Undang Undang, lebih tepatnya dalam UU No. 11 tahun
1967, karena definisi tersebut tidak tercantum dalam UU
No.4 tahun 2009, adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh
masyarakat secara kecil-kecilan atau gotong royong untuk
menambang suatu komoditi tertentu (golongan A, B dan C)
dengan peralatan yang sederhana dan untuk pencaharian

226

BAB V I- STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH PERTAMBANGAN


RAKYAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA

227

sendiri.156 Definisi ini memang tidak mencantumkan kata


legal sebagai sifat dari kegiatan tersebut secara eksplisit,
namun tentunya kegiatan penambangan komoditi apapun di
negeri ini haruslah dilakukan secara legal atau berizin157
sehingga terdapat keuntungan dan tanggung jawab timbal
balik antara penambang dan negara. Kongkritnya, PR adalah
suatu kegiatan penambangan legal yang dilakukan oleh
masyarakat secara kecil-kecilan dengan teknik yang
sederhana dan untuk mata pencaharian sendiri. Sementara
itu, kegiatan masyarakat yang menambang hanya
mengandung makna deskriptif yang mencerminkan adanya
kegiatan satu atau sekelompok warga masyarakat yang
melakukan penambangan dan umumnya bersifat ilegal alias
tidak berizin. Namun demikian, di tengah masyarakat
seringkali terjadi pemahaman yang bias yang menyamakan
antara Pertambangan Rakyat yang legal dengan kegiatan
masyarakat yang menambang yang bersifat illegal. Jenis
kegiatan yang terakhir ini telah menimbulkan berbagai
persoalan yang lebih banyak mendatangkan kerugian
daripada manfaat. Hal tersebut terjadi karena kegiatan
masyarakat ini tidak dilakukan dengan cara yang baik dan
benar sebab mereka tidak diikat oleh aturan dan kewajiban
yang seharusnya mereka penuhi bila melakukan
penambangan. Kerugian ini mencakup kerugian ekonomi,
sosial budaya dan juga lingkungan, sedangkan manfaat yang
diperoleh hanya seringkali dirasakan oleh sekelompok kecil
pelaku kegiatan tersebut.
156
157

Lihat UU No. 11 tahun 1967, Bab I pasal 2 huruf n


Ibid, Bab III pasal 11, ayat 2

228

BAB V I- STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH PERTAMBANGAN


RAKYAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA

Berbagai persoalan yang mencakup persoalan sosial,


budaya, ekonomi, politik dan lingkungan yang timbul akibat
kegiatan masyarakat yang menambang, juga terjadi di
Kabupaten Bombana, Provinsi Sulawesi Tenggara.158 Kegiatan
tersebut berlangsung sejak awal September 2008 ketika
warga masyarakat menemukan dan mulai menambang emas
di sepanjang aliran sungai Tahi Ite, Kecamatan Rarowatu,
sekitar 30km dari Kasipute atau Rumbia, ibukota kabupaten
Bombana. Pemerintah Kabupaten Bombana yang belum
pernah memiliki pengalaman dalam menangani persoalan
masyarakat yang menambang, pada awalnya merespon
penemuan emas oleh masyarakat ini sebagai suatu berkah
dan jalan mudah untuk dapat meningkatkan Pendapatan Asli
Daerah (PAD) dan sekaligus untuk menyejahterakan
masyarakatnya. Oleh karena itu, Bupati Bombana kemudian
mengeluarkan pernyataan bahwa ditemukannya emas di
kabupaten tersebut adalah berkah untuk rakyat Bombana
dan akan diprioritaskan untuk pertambangan rakyat. Namun,
ketika arus pendatang yang ingin ikut menambang dari
berbagai wilayah di tanah air membanjiri kabupaten
tersebut, sedangkan pemerintah kabupaten belum memiliki
kebijakan, baik berupa peraturan maupun strategi
pengelolaan pertambangan dan mekanisme pengaturannya,
pemerintah kabupaten mulai merasa kewalahan dan
khawatir akan hilangnya potensi sumber daya ini tanpa
memberikan manfaat kepada daerah. Kekhawatiran ini
semakin besar ketika jumlah penambang sudah mencapai

158

Lihat Bab-bab sebelumnya.

BAB V I- STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH PERTAMBANGAN


RAKYAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA

229

puluhan ribu hingga ratusan ribu orang 159 dan kerusakan


badan sungai dan lahan di sekitarnya mulai tidak
terhindarkan.
Kondisi mengkhawatirkan yang sudah sangat
mendesak untuk ditangani tersebut memaksa pemerintah
kabupaten untuk melakukan pendataan dan mengeluarkan
aturan agar kegiatan tersebut dapat dikontrol dan diawasi.160
Untuk tujuan tersebut maka Pemerintah Kabupaten
kemudian mengeluarkan kebijakan Kartu Izin Masuk
Pertambangan (KIMP) dan menyusun Rancangan Perda
Pertambangan untuk mengatur kegiatan pertambangan
tersebut. Pembahasan yang rinci tentang hal ini dengan
berbagai dampaknya telah diuraikan pada Bab II di depan.
Kenyataan yang dihadapi pemerintah daerah antara lain
adalah terjadinya dampak kerusakan lingkungan yang sangat
serius serta adanya tuntutan masyarakat yang masih ingin
melakukan penambangan. Sementara itu, pemerintah
kabupaten telah mengeluarkan sejumlah izin berupa Kuasa
Pertambangan (KP)161 kepada perusahaan-perusahaan yang
juga ingin berinvestasi di wilayah tersebut. Kalau pemerintah
daerah masih konsisten dengan statement awalnya yang pro
rakyat dengan memberi ruang bagi masyarakat untuk
melakukan penambangan, tetapi pada saat yang bersamaan
juga ingin membuka kesempatan bagi investor untuk
159

Hasil penelitian lapangan ke Satuan Pemukiman (SP)-8, desa Wumbubangka,


kecamatan Rarowatu Utara, pada Desember 2008.
160
Hal tersebut dikemukakan oleh Sekretaris Daerah Kabupaten Bombana dalam
wawancara di kantornya di Rumbia pada bulan Desember 2008.
161
Menurut UU No.4 tahun 2009, terminology KP diganti dengan Izin Usaha
Pertambangan atau IUP.

230

BAB V I- STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH PERTAMBANGAN


RAKYAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA

berusaha di bidang pertambangan di wilayah mereka, maka


diperlukan suatu strategi dalam pengembangan wilayah
pertambangan rakyat di kawasan ini.
Munculnya kebijakan pemerintah kabupaten
Bombana yang memberikan izin eksplorasi dan eksploitasi
kepada sejumlah perusahaan, setelah berlangsungnya
penertiban yang diskriminatif162 dan pengosongan kawasan
tempat masyarakat yang menambang pada pertengahan
Maret 2009, mengindikasikan telah terjadinya perubahan
arah kebijakan pemerintah. Perubahan ini sangat mungkin
terjadi karena adanya pengalaman pemerintah yang sangat
kesulitan dalam mengatur kegiatan pertambangan yang
dilakukan oleh masyarakat, akibat tidak seimbangnya antara
tingkat kehilangan sumber daya tambang dengan kontribusi
hasil tambang tersebut kepada Pendapatan Asli Daerah (PAD)
dan juga karena tingginya kerusakan lingkungan yang terjadi.
Semua itu memberikan pelajaran berharga bagi pemerintah
kabupaten Bombana yang kemungkinan besar telah
menyebabkan mereka berpaling kepada perusahaan dalam
pengelolaan dan eksploitasi sumber daya tambang di wilayah
tersebut.
Namun demikian, janji pemerintah yang sudah
diucapkan kepada masyarakatnya untuk memberikan
kesempatan kepada warga masyarakat agar dapat
memperbaiki kesejahteraan mereka dan sekaligus
162

Penertiban yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten dinilai diskriminatif


karena pada kenyataannya kawasan tempat masyarakat yang menambang tersebut
tidak sepenuhnya kosong, tetapi masih terdapat sejumlah aktivitas pendulangan dan
bahkan dengan menggunakan mesin yang menurut para pekerjanya dimiliki oleh
oknum pejabat/aparat.

BAB V I- STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH PERTAMBANGAN


RAKYAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA

231

membangun
wilayah
mereka
melalui
kegiatan
pertambangan, haruslah juga menjadi pertimbangan
pemerintah dalam menetapkan kebijakan pengelolaan
sumber daya tambang yang ada. Hal ini perlu mendapatkan
perhatian agar bibit-bibit konflik dan kecemburuan sosial
antara masyarakat dan perusahaan tidak semakin
berkembang karena akan dapat memicu konflik sosial
terbuka yang lebih luas dan tidak menguntungkan semua
pihak. Dalam konteks ini, maka membuka ruang dan
kesempatan bagi masyarakat lokal untuk ikut melakukan
kegiatan penambangan bukanlah merupakan suatu
pemikiran yang buruk dan membahayakan, bahkan dapat
menjadi suatu jalan untuk terbukanya komunikasi dan
pengertian yang lebih baik antara pemerintah dan
masyarakat.
Agar pengalaman buruk masa lalu dalam persoalan
pertambangan rakyat ini tidak terulang lagi dan agar kegiatan
tersebut dapat memberikan manfaat bagi semua pemangku
kepentingan dengan dampak lingkungan seminimal mungkin,
maka diperlukan suatu strategi pengembangan wilayah
pertambangan rakyat yang tepat dan efisien, termasuk
strategi dalam memperbaiki kualitas lingkungan yang telah
rusak akibat kegiatan penambangan masyarakat pada kurun
waktu sebelum 17 Maret 2009.163

163

17 Maret 2009 adalah batas waktu berlakunya KIMP yang merupakan saat semua
penambang harus meninggalkan lokasi penambangan mereka. KIMP berlaku selam 6
bulan, mulai dari September 2008 hingga 17 Maret 2009.

232

BAB V I- STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH PERTAMBANGAN


RAKYAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA

Strategi Pengembangan Wilayah Pertambangan Rakyat


di Bombana
Seperti yang telah disinggung pada Bab II
sebelumnya, bahwa pengaturan kegiatan PR dalam UU No. 4
tahun 2009 dapat dikatakan belum sepenuhnya bersifat
implementable atau bisa dijalankan, karena pasal-pasal yang
mengatur kegiatan ini belum dapat mengakomodir karakter
masyarakat yang menambang. Pasal-pasal tersebut masih
memperlakukan atau menganggap bahwa kegiatan
masyarakat yang menambang itu seperti suatu kegiatan
Pertambangan Skala Kecil (TSK), padahal keduanya memiliki
karakter yang berbeda.164
Berangkat dari persoalan di atas dan dengan tetap
mengacu kepada sejumlah aturan yang tertuang dalam UU
No.4 tahun 2009, maka untuk mengakomodir kegiatan
masyarakat yang menambang tersebut diperlukan suatu
strategi yang efektif dan bersifat operasional. Pada dasarnya
persoalan kegiatan masyarakat yang menambang dapat
diatasi dengan dua strategi, yakni: (1) dengan menempatkan
dan membina masyarakat penambang untuk melaksanakan
aktivitas pertambangan tersebut dalam sebuah Wilayah
Pertambangan Rakyat (WPR); (2) atau menjadikan mereka
sebagai mitra tidak sederajat dengan perusahaan
pertambangan yang memiliki konsesi tempat mereka
menambang. Dalam kasus di Bombana, kedua strategi
tersebut dapat direalisasikan sepanjang pemerintah

164

Lihat Iskandar Zulkarnain dkk., Dinamika dan Peran Pertambangan Rakyat di


Indonesia, Bab I, hal- 17, Program Kompetitif LIPI, Jakarta, 2007

BAB V I- STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH PERTAMBANGAN


RAKYAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA

233

kabupaten memiliki keinginan atau komitmen, kesiapan dan


kemampuan dalam melaksanakannya.
1) Menempatkan dan membina masyarakat penambang
dalam WPR
Seperti yang tercantum dalam UU No.4 tahun 2009,
bahwa kegiatan masyarakat yang menambang itu hanya
dapat dilakukan secara legal dalam bentuk suatu
kegiatan PR di suatu Wilayah Pertambangan Rakyat
(WPR).165 Dalam konteks ini, tahapan untuk
menempatkan dan membina masyarakat agar dapat
melaksanakan kegiatan penambangannya dengan baik,
benar, efektif, efisien dan berwawasan lingkungan,
dapat dilakukan dalam skenario tiga tahapan besar,
yakni:
A.

Tahapan Penentuan dan Penetapan Wilayah


Pertambangan Rakyat (WPR);

B.

Tahapan Pengelolaan
Rakyat (PR) dan

C.

Tahapan Pengelolaan Lingkungan.

Kegiatan

Pertambangan

Pada tahapan penentuan dan penetapan WPR, strategi


tersebut akan mencakup tiga aspek penting, yakni aspek
kebijakan, mekanisme dan kelembagaan. Hal ini
disebabkan karena dalam penentuan dan penetapan
WPR diperlukan kesamaan cara pandang dan kerjasama
yang saling mendukung diantara komponen pimpinan
daerah sehingga WPR dapat menjadi solusi persoalan
165

Lihat UU No.4 tahun 2009, Bagian Ketiga, Pasal 20.

234

BAB V I- STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH PERTAMBANGAN


RAKYAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA

masyarakat yang menambang di wilayah tersebut.


Tahapan ini juga merupakan tahapan yang paling
penting, karena bila WPR yang sudah ditetapkan
tersebut tidak memiliki cadangan komoditi tambang
yang memadai dan tidak diketahui secara jelas
keberadaannya, maka bisa dipastikan para penambang
tersebut akan pergi meninggalkan wilayah itu dan
mencari serta menambang di wilayah baru secara illegal.

Gambar 6. 1. Skema strategi pengembangan Wilayah


Pertambangan Rakyat di Kabupaten Bombana.

Akibatnya, penetapan WPR tersebut akan menjadi siasia dan hanya memboroskan sumber daya, sementara
kerusakan dan pencemaran lingkungan akan terus
berlanjut. Sementara itu, tahapan pengelolaan kegiatan
PR akan fokus pada teknik penggalian, ekstraksi dan
pengelolaan limbah, sedangkan tahapan pemulihan dan

BAB V I- STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH PERTAMBANGAN


RAKYAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA

235

pengelolaan lingkungan akan dititik-beratkan pada


aspek kebijakan serta konsep pemulihan dan
pengelolaan lingkungan. Secara skematis, strategi
tersebut dapat digambarkan seperti pada Gambar 6.1 .
Secara khronologis, strategi ini memang
diawali dengan tahapan penentuan dan penetapan WPR
dan kemudian diikuti dengan tahapan pengelolaan
kegiatan PR. Sementara itu, tahapan pemulihan dan
pengelolaan lingkungan tidak mesti dilaksanakan setelah
tahapan pengelolaan kegiatan PR, tetapi dapat saja
dilakukan secara bersamaan dengan tahapan kedua
tersebut, sepanjang terdapat hal-hal yang harus
dilaksanakan secara bersama-sama sebagai suatu sistem
yang saling terkait, mengingat kegiatan PR tersebut
tidak dapat dilepaskan dari persoalan pengelolaan
lingkungan. Berikut ini akan dibahas satu per satu
tahapan strategi dimaksud di atas dengan aspek-aspek
yang tercakup di dalamnya.
A. Penentuan dan Penetapan WPR
Penentuan dan penetapan WPR yang dimaksud disini
adalah suatu rangkaian proses untuk menentukan
atau melokalisir suatu wilayah sebagai sebuah WPR
berdasarkan bukti-bukti empiris yang menunjukkan
wilayah tersebut berpotensi untuk dijadikan sebuah
WPR, dan melakukan tahapan mekanisme legal yang
menjadikan penetapan WPR tersebut memiliki
kekuatan hukum formal. Konsep WPR ini memang
bukan konsep baru karena sudah pernah ada WPR

236

BAB V I- STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH PERTAMBANGAN


RAKYAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA

yang ditetapkan oleh pemerintah sebelum diatur


dengan lebih rinci dalam UU No.4 tahun 2009. Di
Pasolo, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi
Gorontalo sudah ada sebuah wilayah yang ditetapkan
sebagai WPR, dan sebelumnya sudah ada juga WPR
yang berlokasi di Bolaang Mongondow, Sulawesi
Utara.166
Dalam tahapan penentuan dan penetapan
WPR ada tiga aspek penting yang saling terkait satu
sama lain dan sangat menentukan keberhasilan WPR
ini di masa depan, yakni aspek kebijakan, mekanisme
dan kelembagaan. Ketiga aspek tersebut saling
terkait dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang
lain. Kebijakan merupakan arah tindakan yang harus
ditentukan oleh pemerintah kabupaten Bombana
dalam pengelolaan PR secara umum atau dalam
penentuan dan penetapan WPR khususnya. Apabila
kebijakan tersebut sudah ditetapkan, maka untuk
menjalankan kebijakan ini diperlukan suatu
mekanisme yang efektif dan efisien agar kebijakan
yang sudah diambil tersebut akan dapat berjalan
seperti yang diharapkan. Namun dalam menjalankan
mekanisme tersebut diperlukan adanya institusi
kelembagaan yang akan berperan sebagai eksekutor
atau pelaku dalam pelaksanaan mekanisme dan
kebijakan yang sudah ditetapkan tersebut, sehingga

166

Lihat Iskandar Zulkarnain dkk., Dinamika dan Peran Pertambangan Rakyat di


Indonesia, Program Kompetitif LIPI, Jakarta, 2007

BAB V I- STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH PERTAMBANGAN


RAKYAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA

237

kebijakan dimaksud akan dapat mencapai sasaran


yang sudah ditargetkan.
Penentuan dan penetapan WPR adalah
tahapan yang paling penting dalam pengembangan
suatu wilayah pertambangan rakyat secara umum
dan di kabupaten Bombana khususnya. Dalam
tahapan ini diperlukan suatu kebijakan yang berpihak
kepada masyarakat penambang dan hal itu
memerlukan komitmen yang tinggi dari pemerintah
daerah. Dapat dikatakan, kebijakan ini memerlukan
sudut pandang yang berbeda daripada cara pandang
pemerintah daerah selama ini yang lebih fokus pada
upaya meningkatkan Pendapatan Asli daerah (PAD),
karena kegiatan PR tidak dapat memberikan
pendapatan yang signifikan kepada pemerintah. Oleh
karena itu, kebijakan ini haruslah lebih didasarkan
pada pelaksanaan tanggung jawab pemerintah dalam
pemberdayaan masyarakatnya daripada untuk
mencapai tujuan-tujuan ekonomi jangka pendek.
Artinya, kegiatan penambangan yang dilakukan oleh
masyarakat tersebut haruslah memberikan kepastian
hasil kepada mereka sehingga dapat meningkatkan
kesejahteraan mereka dan bukan hanya sebagai
usaha untung-untungan seperti yang terjadi saat
ini.167 Dengan demikian, penentuan suatu WPR
seharusnya tidak lagi dilakukan hanya didasarkan
pada indikasi keterdapatan sumber daya tambang
167

Lihat Iskandar Zulkarnain dkk., Konsep Pertambangan Rakyat dalam Pengelolaan


Sumber Daya Tambang yang Berkelanjutan, Program Kompetitif LIPI, 2008.

238

BAB V I- STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH PERTAMBANGAN


RAKYAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA

saja seperti yang saat ini tercantum dalam UU No.4


tahun 2009,168 tetapi harus berpijak pada hasil
eksplorasi yang memberikan data yang relatif akurat
tentang keberadaan, penyebaran dan potensi
komoditi tersebut di wilayah dimaksud, sehingga
kegiatan penambangan oleh masyarakat tersebut
akan dapat memberikan kepastian hasil dan pada
ujungnya akan dapat meningkatkan kesejahteraan
mereka.
Dalam kasus di Bombana, emas yang
ditemukan dan ditambang masyarakat pada era
sebelum 17 Maret 2009 diklasifikasikan sebagai
endapan emas sekunder atau disebut emas letakan
(placer deposit). Endapan emas jenis ini memiliki pola
penyebaran di alam yang dikontrol oleh alur sungai
purba, sehingga usaha eksplorasi untuk mengetahui
potensi endapan emas jenis ini di Bombana haruslah
lebih difokuskan pada pencarian alur sungai purba
tersebut. Sementara itu, beberapa informasi lisan
yang diperoleh dari perusahaan yang melakukan
eksplorasi di wilayah Bombana, menunjukkan bahwa
terdapat indikasi hubungan genetis antara endapan
emas primer dengan batuan metamorfosa sekis hijau
yang merupakan jenis batuan dominan yang
menutupi sebagian besar wilayah kabupaten
Bombana. Namun demikian, masih perlu diungkap
168

Lihat UU No.4 tahun 2009, pasal 22 huruf a,b dan f yang mengisyaratkan bahwa
suatu WPR harus memiliki cadangan mineral sekunder yang terletak di sungai atau
diantara tepi sungai, atau cadangan primer dengan kedalaman maksimum 25 meter
atau merupakan lokasi penambangan masyarakat minimal selama 15 tahun.

BAB V I- STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH PERTAMBANGAN


RAKYAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA

239

apakah mineralisasi emas primer di Bombana ini


terjadi sebelum proses metamorfosa ataukah
setelahnya, karena akan dapat memberikan pola
penyebaran yang berbeda. Pola penyebaran ini
merupakan salah satu aspek yang penting dalam
menentukan kawasan mana yang dapat dijadikan
sebagai WPR yang tepat dan mudah untuk diakses.
Puslit Geoteknologi LIPI sedang melakukan penelitian
tentang pembentukan mineralisasi emas di Bombana
ini melalui pendekatan mineralogi dan kimia batuan.
Dalam konteks di atas, pemerintah
kabupaten Bombana haruslah menentukan kebijakan
yang akan mereka ambil dan terapkan untuk
penentuan WPR, apakah WPR tersebut akan
diarahkan pada eksploitasi potensi emas sekunder
ataukah lebih ditujukan pada eksploitasi emas
primer. Kedua pilihan tersebut memiliki peluang
untuk direalisasikan dalam kegiatan penambangan
berbentuk WPR, hanya saja akan memberikan
dampak lingkungan yang berbeda dengan intensitas
yang tidak sama. Bila WPR diarahkan pada eksploitasi
endapan emas sekunder169, maka kegiatan
penggalian oleh masyarakat penambang akan
berkembang dengan cepat secara lateral tetapi
dengan lebar kawasan yang terbatas karena
penyebaran lapisan pasir yang mengandung emas
169

Lihat
Bab
IV
dan
Gold
Placer
Deposits
pada
alamat
http://earthsci.org/mineral/mindep/depfile/auplace.htm#howto, (diunduh pada 22
Oktober 2010)

240

BAB V I- STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH PERTAMBANGAN


RAKYAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA

tersebut dikontrol oleh pola aliran sungai purba dan


pada umumnya terdapat pada kedalaman tertentu
serta dengan ketebalan yang terbatas. Dengan
demikian, maka dampak lingkungan berupa
degradasi kualitas lahan akan berjalan dengan sangat
cepat apalagi bila rangkaian proses penambangan
tersebut dilakukan dengan melibatkan peralatan
mekanik atau menggunakan mesin, namun
penyebarannya hanya akan meluas/memanjang
mengikuti aliran sungai saja. Sementara itu, bila WPR
tersebut diarahkan pada kegiatan eksploitasi emas
primer, maka diperlukan suatu penelitian yang lebih
mendalam untuk memastikan apakah emas primer
yang berhubungan dengan batuan sekis hijau
tersebut
dapat
diekstraksi
dengan
teknik
170
amalgamasi yang biasa dipergunakan oleh para
penambang rakyat. Hal ini perlu diketahui lebih jauh
karena teknik amalgamasi umumnya dipakai untuk
endapan emas primer yang terbentuk berupa urat
kuarsa (quartz vein) dengan kandungan logam dasar
yang sangat rendah.171 Sementara itu, dalam konteks
potensi degradasi lingkungan, penambangan emas
primer oleh masyarakat ini seringkali dilakukan

170

Lihat Iskandar Zulkarnain dkk., Dinamika dan Peran Pertambangan Rakyat di


Indonesia, Program Kompetitif LIPI, Jakarta, 2007
171
Penggunaan teknik amalgamasi (mengekstrak emas dari batuan) akan efektif dan
efisien bila diterapkan pada endapan emas dalam urat kuarsa yang sangat rendah
kandungan logam dasarnya (tembaga, seng, timah hitam dll). Bila batuan yang
membawa emas tersebut kaya akan logam dasar, maka kemampuan air raksa dalam
mengekstrak emas dari batuan tersebut akan menurun sangat signifikan sehingga
hasil yang diperoleh akan menjadi sangat rendah.

BAB V I- STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH PERTAMBANGAN


RAKYAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA

241

melalui pembuatan lobang-lobang vertikal atau


sumuran yang dikombinasikan dengan lobang-lobang
horizontal atau terowongan. Dengan demikian,
tingkat kerusakan lahan di permukaan tidak akan
separah yang terjadi pada penambangan emas
sekunder. Namun demikian, penggalian lobanglobang tambang tersebut akan dapat mempengaruhi
system hidrologi kawasan sekitarnya sehingga dapat
menurunkan kualitas kesuburan lahan di wilayah itu.
Oleh karena itu, kegiatan eksplorasi adalah kegiatan
kunci yang harus dilakukan dalam penentuan dan
penetapan suatu WPR.
Namun demikian, proses penentuan WPR
dengan kebijakan yang berpihak kepada masyarakat
melalui kegiatan eksplorasi ini sepertinya akan
mengalami hambatan yang serius dan sulit untuk
direalisasikan. Hal ini terjadi karena pada umumnya,
pemerintah kabupaten (tidak terkecuali Kabupaten
Bombana) seringkali tidak memiliki alokasi dana
untuk membiayai kegiatan eksplorasi tersebut.
Kondisi ini menjadi lebih sulit dan mahal karena pada
umumnya SDM dan sarana serta prasarana yang
dimiliki daerah belum cukup memadai untuk
melaksanakan kegiatan eksplorasi tersebut secara
mandiri. Namun demikian, apabila pemerintah
kabupaten Bombana masih berkomitmen untuk
mengembangkan pertambangan rakyat dengan
maksud memberi kesempatan kepada masyarakat
Bombana untuk memperbaiki atau meningkatkan

242

BAB V I- STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH PERTAMBANGAN


RAKYAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA

kesejahteraannya melalui aktifitas pertambangan,


maka penentuan dan penetapan WPR ini harus
dilakukan. Undang-undang dan peraturan yang
berlaku tidak memberi ruang yang lain bagi kegiatan
masyarakat yang menambang diluar ketentuan
tentang WPR, atau dengan kata lain, WPR adalah
satu-satunya wadah yang diizinkan oleh UU untuk
mengakomodir
kegiatan
masyarakat
yang
menambang.
Penentuan kawasan atau areal WPR yang
dilakukan berdasarkan data eksplorasi tersebut,
kemudian
ditindaklanjuti
dengan
proses
penetapannya secara resmi melalui prosedur yang
sudah diatur oleh UU No.4 tahun 2009.172 Bila WPR
yang ditetapkan ini memiliki cadangan emas
sekunder, maka dapat dipastikan WPR tersebut akan
memiliki geometri yang memanjang mengikuti pola
aliran sungai purba, yang bisa saja menempati
daerah aliran sungai saat ini. Dalam kasus ini, maka
pemerintah kabupaten harus mengidentifikasi lokasi
penambangan masyarakat tersebut dengan cermat
berdasarkan potensi atau perkiraan potensi yang
terdapat dalam kawasan WPR tersebut, karena
sebaran cadangan emas sekunder biasanya bersifat
acak atau tidak memiliki pola tertentu. Dengan
demikian, terdapat area di sepanjang aliran sungai

172

Lihat UU No.4 tahun 2009, pasal 21 yang menyatakan bahwa WPR ditetapkan
oleh Bupati/Walikota setelah berkonsultasi dengan DPRD kabupaten/kota.

BAB V I- STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH PERTAMBANGAN


RAKYAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA

243

tersebut yang kaya akan emas, tetapi ada juga yang


hanya sedikit mengandung emas.
Untuk melaksanakan kegiatan penambangan
dalam kawasan WPR, pemerintah kabupaten/kota
harus
menerapkan
mekanisme
IPR
(Izin
Pertambangan Rakyat), sesuai dengan UU yang
berlaku. Identifikasi lokasi yang cermat dalam
menentukan luas dan lokasi wilayah IPR sangat
diperlukan agar setiap IPR yang diterbitkan akan
dapat memberikan hasil yang memadai bagi setiap
kelompok penambang yang bekerja dalam area IPR
tersebut.173 Hal itu berarti bahwa luas wilayah untuk
satu IPR tidak dapat didasarkan pada kesamaan luas,
seperti yang saat ini diatur dalam pasal 68 UU No. 4
tahun 2009, tetapi harus didasarkan pada kesamaan
jumlah potensi yang dapat ditambang. Dengan
demikian, satu IPR dapat memiliki luas yang berbeda
dengan IPR lainnya tetapi potensi cadangan yang
dimilikinya relatif sama. Selain itu, pada strategi yang
diusulkan dalam buku ini, pemberian IPR tidak
disarankan kepada perseorangan seperti yang diatur
dalam UU No.4 tahun 2009174 karena pada
kenyataannya penambangan oleh masyarakat selalu
dilakukan dalam kelompok, sebab tidak mungkin
173

Setiap kelompok penambang yang akan melakukan penambangan dalam WPR


harus memiliki Izin Pertambangan Rakyat (IPR) untuk suatu luas wilayah dan
investasi terbatas. Lihat UU No.4 tahun 2009 Pasal 1, angka 10.
174
Pasal 67 UU N0.4 tahun 2009 mengatur bahwa IPR terutama diberikan kepada
penduduk setempat, baik perseorangan maupun kelompok masyarakat dan/atau
koperasi.

244

BAB V I- STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH PERTAMBANGAN


RAKYAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA

dilakukan sendirian. Bila diberikan kepada


perseorangan, maka kemungkinan besar peluang
tersebut akan diambil oleh individu pemodal dan
masyarakat penambang akan tetap sebagai pekerja
yang sulit untuk keluar dari kemiskinan. Di samping
itu,
pelaksanaan
kewajiban
bagi
kegiatan
penambangan tersebut, baik kewajiban membayar
pajak maupun reklamasi akan lebih mudah dipenuhi
oleh penambang ataupun dikontrol oleh pemerintah
bila penambangan tersebut dilakukan dalam wadah
kelompok. Selain itu, bila mengacu pada Pasal 68 UU
No.4 tahun 2009 yang menyatakan bahwa luas
wilayah satu IPR yang diberikan kepada
perseorangan adalah satu hektar, sedangkan luas
satu WPR maksimal 25 hektar, maka berarti satu
WPR hanya dapat menampung 25 orang. Hal ini akan
menimbulkan persoalan dan konflik sosial yang tinggi
mengingat keterlibatan masyarakat di suatu kawasan
penambangan selalu berjumlah ribuan hingga
ratusan ribu orang.175 Jadi, strategi ini menerapkan
mekanisme pelaksanaan kegiatan penambangan
dalam WPR dengan hanya memberikan IPR kepada
kelompok masyarakat/penambang dalam suatu
lembaga masyarakat seperti koperasi. Namun di atas
semua itu, yang paling penting dalam pengelolaan
kegiatan pertambangan rakyat ini adalah kebijakan
yang tegas, bahwa IPR hanya diberikan kepada
masyarakat setempat dan bukan kepada penambang
175

Lihat Bab 1 dan bab-bab terdahulu.

BAB V I- STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH PERTAMBANGAN


RAKYAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA

245

pendatang, karena masyarakat lokal lah yang akan


berhadapan dengan segala resiko yang terjadi akibat
kegiatan penambangan tersebut. Dalam konteks ini,
sikap tegas dan komitmen yang kuat dari pemerintah
kabupaten/kota sangat diperlukan untuk mengatasi
kedatangan arus penambang pendatang ke daerah
mereka.
Walaupun IPR dalam strategi ini hanya
diberikan kepada kelompok penambang, namun
dalam implementasinya kelompok penambang ini
memerlukan
suatu
wadah
dalam
bentuk
kelembagaan yang dapat mewakili kepentingan
mereka dalam berbagai urusan dengan pihak-pihak
terkait. Adapun bentuk kelembagaan pemegang IPR
yang ideal adalah Koperasi Penambang. Koperasi ini,
bisa saja modal awalnya disediakan oleh suatu
perusahaan atau pemodal kuat yang memiliki
kemampuan profesional dalam menjalankan
organisasi tersebut dan memiliki kepedulian dalam
memberdayakan masyarakat penambang setempat.
Untuk meningkatkan tanggung jawab dan rasa
memiliki para penambang terhadap koperasi mereka,
maka secara perlahan mekanisme dan prinsip-prinsip
sebuah koperasi176 harus diterapkan sehingga sifat
para penambang yang cenderung fokus pada
176

Walaupun pada awalnya koperasi tersebut dimodali oleh sebuah perusahaan


atau pemodal kuat, namun sejak awal sudah direncanakan pengembalian modal
tersebut melalui kewajiban-kewajiban sebagaimana layaknya kewajiban anggota
koperasi sehingga pada saatnya koperasi tersebut benar-benar menjadi milik para
anggotanya.

246

BAB V I- STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH PERTAMBANGAN


RAKYAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA

kepentingan dirinya sendiri dapat berubah menjadi


rasa kebersamaan yang penuh tanggung jawab
dalam sebuah komunitas.
Dalam proses untuk memperoleh dan
menjalankan IPR tersebut, maka semua mekanisme,
baik yang menyangkut kewajiban maupun hak
pemegang IPR dapat diatur sebagaimana layaknya
suatu usaha pertambangan, namun besaran
kuantitasnya (misalnya untuk pajak-pajak ke daerah
ataupun
royalti)
disarankan
lebih
ringan
dibandingkan yang diberlakukan pada perusahaan.
Hal ini cukup beralasan karena usaha koperasi pada
dasarnya tidaklah dapat dipandang sebagai sebuah
usaha yang murni komersil sebagaimana layaknya
sebuah perusahaan, karena selain usaha koperasi
tersebut bersifat padat karya, koperasi tersebut juga
dapat dipandang telah membantu pemerintah dalam
memberdayakan masyarakat di wilayah tersebut.
Dalam hal kewajiban reklamasi, koperasi
penambang juga harus melaksanakan kewajiban
tersebut melalui mekanisme iuran atau jaminan
reklamasi. Namun dalam hal ini, pemerintah juga
dapat mengembangkan mekanisme khusus yang
berbeda dengan yang berlaku untuk perusahaan.
Dalam hal besaran jaminan reklamasi untuk setiap
hektar lahan yang harus direklamasi, pemerintah
dapat menghitung dan menetapkan nilai jaminan
reklamasi minimal dengan memberikan peluang
mengerjakannya kepada koperasi itu sendiri,

BAB V I- STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH PERTAMBANGAN


RAKYAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA

247

sehingga sebagian besar dana kewajiban berupa


iuran atau jaminan reklamasi tersebut dapat kembali
kepada mereka. Di samping itu, pelaksanaan
pekerjaan reklamasi untuk IPR harus dilaksanakan
secara bertahap dalam masa produksinya dan tidak
dilakukan setelah masa penutupan tambang. Hal itu
berarti bahwa koperasi harus memiliki disain
penambangan yang rinci dengan rencana reklamasi
dalam jadwal waktu yang jelas. Dengan demikian,
pekerjaan untuk mereklamasi lahan bekas tambang
tidak lagi menjadi beban yang seringkali berubah
menjadi kerusakan lingkungan akibat tidak
dilaksanakannya kegiatan tersebut dengan berbagai
alasan. Kebijakan, mekanisme dan bentuk
kelembagaan dalam pengembangan kegiatan PR
seperti yang diuraikan di atas, selain akan dapat
memberikan peluang kepada masyarakat penambang
untuk mendapatkan manfaat yang signifikan dari
kegiatan PR tersebut, tetapi sekaligus juga dapat
memberikan
manfaat
bagi
pemerintah
(pemberdayaan masyarakat, pemasukan pada kas
daerah) dan menghindari terjadinya kerusakan
lingkungan akibat penambangan ilegal.
Bila dicermati uraian tentang tahapan
penentuan dan penetapan WPR di atas, maka tidak
dapat dimungkiri bahwa terdapat pemikiranpemikiran yang tidak selaras dengan UU No.4 tahun
2009, seperti dasar penetapan lokasi WPR yang
berdasarkan data eksplorasi, luas wilayah untuk satu

248

BAB V I- STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH PERTAMBANGAN


RAKYAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA

IPR yang didasarkan pada potensi cadangan yang ada


serta usulan untuk memberlakukan perlakuan khusus
dalam hal iuran produksi dan reklamasi. Semua
pemikiran tersebut didasarkan pada realita kondisi
sumber daya masyarakat penambang yang tidak
dapat disamakan dengan sebuah perusahaan
tambang yang komersil. Sementara itu, pengaturan
yang dilakukan dalam UU No.4 tahun 2009 dengan
PP turunannya (PP No. 22 dan 23 tahun 2010) masih
memberlakukan berbagai kewajiban pada PR
sebagaimana layaknya yang berlaku bagi perusahaan
tambang komersil. Hal ini akan menimbulkan
berbagai kesulitan pada level implementasinya
karena masyarakat penambang tidak akan mungkin
untuk mematuhinya. Akibatnya, kegiatan masyarakat
yang menambang akan kembali berulang seperti
yang masih berlangsung hingga saat ini, yakni bersifat
illegal,
merusak
lingkungan,
menimbulkan
pemborosan sumber daya tambang dan tidak mampu
menyejahterakan masyarakat penambang itu sendiri.
Dalam konteks ini, diperlukan kebijakankebijakan terobosan dari pemerintah kabupaten/kota
untuk dapat mewadahi strategi yang sudah diuraikan
di atas, baik melalui penyusunan peraturanperaturan daerah yang bersifat melengkapi
kekurangan dalam UU No.4 tahun 2009 beserta PP
turunannya, maupun melalui komunikasi-komunikasi
dalam ranah hukum untuk mendapatkan solusi yang
efektif. Menerima kondisi yang tidak implementable

BAB V I- STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH PERTAMBANGAN


RAKYAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA

249

dari UU No. 4 tahun 2009 dalam pengelolaan PR,


tanpa upaya untuk menyiasatinya, hanya akan
membawa
pemerintah
kepada
kebijakan
pembiaran yang sangat merugikan seperti yang
terjadi saat ini.
B. Pengelolaan Kegiatan Pertambangan Rakyat
Tahapan kedua dalam strategi pengembangan WPR,
setelah tahapan penentuan dan penetapan WPR,
adalah menyangkut pengelolaan kegiatan PR itu
sendiri yang mencakup tiga aspek utama, yakni: (i)
teknik penggalian; (ii) teknik ekstraksi dan (iii) teknik
pengelolaan limbah.
Seperti telah disinggung di depan, bahwa
walaupun dari sisi proses penerbitan IPR hingga
berbagai kewajiban yang harus dilaksanakannya,
kegiatan PR memiliki variabel yang sama dengan
sebuah perusahaan, namun dalam pelaksanaan
kegiatan penambangan dan berbagai kewajibannya,
PR memiliki ciri khas yang membedakannya dengan
sebuah perusahaan pemegang Izin Usaha
Penambangan (IUP). Hal yang membedakan tersebut
antara lain karena PR tidak menggunakan teknologi
yang tinggi dalam kegiatannya, bersifat padat karya
dan memiliki berbagai keterbatasan dalam
mengakses sumber daya tambang. Namun demikian,
prinsip-prinsip good mining practice177 yang
177

Lihat Suyartono, Good Mining Practice, Konsep tentang Pengelolaan


Pertambangan yang Baik dan Benar, Studi Nusa, Jakarta, 2003.

BAB V I- STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH PERTAMBANGAN


RAKYAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA

250

diwajibkan kepada para pemegang IUP, juga harus


dilaksanakan dalam kegiatan PR walau dalam skala
dan batasan yang berbeda. Hal ini mengingat kondisi
sumber daya penambang pada kegiatan PR sangat
terbatas dan tidak sebanding dengan perusahaan
pemegang IUP yang memiliki modal yang kuat dan
sumber daya manusia yang berkualitas.
Untuk membahas strategi yang menyangkut
ketiga aspek utama di atas, maka pemerintah
kabupaten Bombana haruslah terlebih dahulu
membuat kebijakan dalam hal penentuan jenis
komoditi yang akan dijadikan sebagai objek kegiatan
PR, apakah emas sekunder yang sudah mulai
ditambang masyarakat sejak September 2008 yang
lalu ataukah emas jenis primer yang masih perlu
pembuktian lebih lanjut. Mengingat kegiatan
penambangan
yang
dilakukan
masyarakat
sebelumnya telah terjadi pada endapan emas
sekunder, maka disarankan kegiatan PR yang akan
dikembangkan di Bombana difokuskan pada
eksploitasi endapan emas sekunder tersebut.

Teknik Penggalian
Bila wilayah WPR, seperti yang diuraikan pada
tahapan pertama strategi pengembangan PR ini
sudah ditentukan dan ditetapkan, maka peta
wilayah penyebaran endapan emas sekunder ini
yang dikontrol oleh pola aliran sungai purba
tentu telah dimiliki oleh pemegang IPR

BAB V I- STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH PERTAMBANGAN


RAKYAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA

251

berdasarkan data eksplorasi yang sudah


dilaksanakan. Dalam hal ini, luas areal yang akan
ditambang
berdasarkan
peta
tersebut
seharusnya telah disesuaikan dengan luas
konsesi IPR yang dimiliki. Mengingat penyebaran
endapan emas sekunder ini tidak memiliki pola
yang homogen (artinya, tidak semua aliran
sungai purba tersebut akan mengandung emas,
dan kalaupun mengandung emas tentu tidak
dengan konsentrasi yang sama), maka perlu
dibuat peta klasifikasi atau peta zonasi yang
sangat berguna dalam merencanakan target
produksi nantinya. Peta ini juga berperan dan
diperlukan dalam menentukan teknik penggalian
seperti apa yang akan diterapkan agar lebih
ekonomis, aman dan efektif.
Dalam hal teknik penggalian, perlu
direncanakan pola penggalian yang efisien, aman
dan bersifat ekonomis. Pola penggalian tersebut
haruslah
memberikan
kemudahan
bagi
penambang dalam melaksanakan penggalian,
tidak membahayakan para penambang yang
bekerja serta murah dan mudah ketika harus
direklamasi. Mengingat endapan sungai purba
pada umumnya adalah batuan yang bersifat
lepas atau tidak kompak,baik berukuran lanau,
pasir, kerikil ataupun kerakal, maka sistem
penggalian berupa terowongan sangat tidak
dianjurkan karena akan mudah sekali mengalami

252

BAB V I- STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH PERTAMBANGAN


RAKYAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA

longsor dan menimbun atau mengubur para


penambang. Oleh karena itu, dalam teknik
penggalian endapan emas sekunder ini lebih
disarankan dengan membuat lobang galian
berupa sumuran yang memanjang dengan arah
memotong arah aliran sungai purba dengan
lebar sekitar satu hingga dua meter dan jarak
lateral antara satu lobang galian dengan lobang
galian berikutnya sekitar empat hingga enam
meter (Gambar 6.2).

Gambar 6. 2. Posisi lobang galian yang tegak lurus arah


aliran sungai purba (kiri) dan penampang
lobang galian yang bagian dasarnya
ditempati oleh lapisan pasir yang
mengandung emas (kanan).

Hal ini dimaksudkan agar lapisan pasir yang


mengandung emas pada kedalaman tertentu
(biasanya antara 2 hingga 3 meter) dengan
ketebalan pada umumnya kurang dari 40cm

BAB V I- STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH PERTAMBANGAN


RAKYAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA

253

dapat dikumpulkan di lobang galian tersebut.


Lapisan pasir mengandung emas yang terdapat
pada areal diantara dua lobang galian akan dapat
diambil dan dikumpulkan pada lobang galian,
baik dengan cara menyemprotnya maupun
dengan mencangkulnya dengan gagang cangkul
yang panjang. Tanah pucuk (top soil) yang
diperoleh pada waktu penggalian harus
dipisahkan pada tempat tertentu, sehingga
dapat dikembalikan pada saat lahan tersebut
direklamasi. Teknik penggalian seperti ini akan
mengurangi kerusakan lahan di lokasi
penambangan dan lokasi tersebut dapat segera
direhabilitasi dengan mengisi atau menimbun
lobang galian tersebut dengan material atau
pasir yang sudah diambil emasnya dan tanah
pucuk pada bagian paling atas. Dengan demikian
perpindahan lokasi lobang tambang dari satu
tempat ke tempat lain dalam wilayah IPR akan
dapat dilakukan dengan aman dan tanpa beban
karena lahan bekas tambang yang ditinggalkan
sudah direhabilitasi. Tentu saja teknik penggalian
system terbuka dapat diterapkan, tetapi biaya
penggalian yang diperlukan serta ongkos
reklamasi yang harus ditanggung akan menjadi
lebih besar.

Teknik Ekstraksi
Dalam hal teknik ekstraksi, untuk pengolahan
endapan emas sekunder ini, teknik yang paling

254

BAB V I- STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH PERTAMBANGAN


RAKYAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA

efisien dan ekonomis yang disarankan adalah


teknik ekstraksi secara mekanis dengan
penggunaan sluice box dalam suatu sistem
sirkulasi air tertutup. Teknik ekstraksi dengan
penggunaan bahan kimia seperti mercury atau
air raksa untuk menangkap butiran emas yang
berukuran sangat halus (sehingga tidak terlihat
kasat mata) tidak disarankan karena akan sangat
berpotensi untuk meracuni lingkungan. Dalam
hal ekstraksi secara mekanis, semua lapisan pasir
yang mengandung emas diangkut dari lobanglobang galian ke sentra-sentra ekstraksi, baik
melalui selang-selang berukuran besar dengan
menggunakan mesin penghisap ataupun dengan
menggunakan moda transportasi lainnya.
Sentra-sentra ekstraksi ini telah didisain secara
cermat agar air yang digunakan dalam proses
pemisahan
emas
dari
material
pasir
pembawanya dengan menggunakan sluice box
yang didisain secara teliti,178 akan mengalir ke
dalam kolam penampungan pertama179 dan akan
178

Sluice box yang dipergunakan harus didisain dengan kemiringan yang tertentu
(antara 8-10 derajat) dengan bagian sluice box yang diberi penghambat dengan
ketinggian 2-3 cm agar terbentuk aliran air turbulensi yang dapat memisahkan emas
dengan pasir pengotornya secara efektif. Kecepatan aliran air yang dialirkan pada
lantai sluice box tersebut harus diatur dengan kecepatan moderat sehingga pasir
dan emas di dalamnya tidak langsung hanyut ke tempat pembuangan. Lebih rinci
tentang sluice box dapat dilihat pada Bab IV. Lebih jelasnya lihat pada Michael Silva,
Placer Gold Recovery Methods, California Department of Concervation Division of
Mines and Geology, 1986
179
Ukuran kolam penampungan sangat tergantung dari berapa produksi yang akan
dihasilkan dan berapa volume air yang dibutuhkan. Umumnya ukurannya lebih luas
dari 500m2.

BAB V I- STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH PERTAMBANGAN


RAKYAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA

255

mengendapkan material pasir pengotor di kolam


tersebut. Sementara itu, air yang sudah terbebas
dari material pengotor tersebut dialirkan ke
kolam penampungan berikutnya (kedua) agar
menjadi lebih jernih. Air yang sudah relatif jernih
ini kemudian dihisap dengan pompa pengisap
untuk digunakan dalam proses ekstraksi
berikutnya.

Gambar 6. 3. Skema sentra ekstraksi dalam pemisahan


emas dari pasir pengotornya dengan sistem
sirkulasi air tertutup.

Dengan demikian air yang dipergunakan dalam


proses ekstraksi tersebut akan dapat terus
dipergunakan, sementara itu material padat
yang telah mengendap di kolam pertama akan
dapat dikeruk dan dikeringkan, sehingga
kemudian dapat dipergunakan untuk menimbun
lobang-lobang galian. Sketsa disain pemanfaatan
air dengan sirkulasi tertutup dengan kolam
penampungan material padatnya ditunjukkan
pada Gambar 6.3.

256

BAB V I- STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH PERTAMBANGAN


RAKYAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA

Dengan demikian, maka perpindahan lokasi


lobang-lobang galian dapat dilakukan langsung
setelah
lobang
produksi
sebelumnya
direhabilitasi. Dengan disain dan pola ekstraksi
seperti diuraikan di atas, maka pengelolaan
limbah ekstraksi yang berupa air keruh dan
material padat sudah dapat langsung tertangani
dan teratasi secara efektif dan efisien.
C. Pemulihan dan Pengelolaan Lingkungan
Strategi pemulihan lingkungan di kabupaten
Bombana sangat diperlukan karena sudah terdapat
kerusakan lahan yang cukup serius akibat kegiatan
masyarakat yang menambang pada era pra 17 Maret
2009. Sementara itu, strategi pengelolaan lingkungan
dimaksudkan
untuk
meminimalisir
dampak
lingkungan yang akan terjadi bila kegiatan PR kembali
akan dikembangkan. Namun hal yang kedua ini
sebenarnya harus sudah direncanakan oleh koperasi
penambang dan pemerintah kabupaten di dalam
kajian AMDAL, sebelum IPR untuk kegiatan tersebut
diterbitkan. Secara umum, tahapan pemulihan dan
pengelolaan lingkungan ini memiliki dua fokus utama,
yakni pada aspek kebijakan dan konsep pemulihan
dan pengelolaan lingkungan itu sendiri.
Untuk pemulihan kondisi lingkungan yang
sudah terlanjur rusak akibat kegiatan masyarakat
yang menambang sebelumnya, terutama di
sepanjang aliran sungai di Tahi Ite dan di

BAB V I- STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH PERTAMBANGAN


RAKYAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA

257

Wumbubangka (SP-8 dan SP-9), diperlukan suatu


kebijakan yang khusus yang tentunya bertujuan
untuk memanfaatkan lahan bekas tambang tersebut
seoptimal mungkin. Seperti telah diketahui, akibat
kegiatan masyarakat yang menambang pada era pra
17 Maret 2009 dengan jumlah penambang yang
diperkirakan mencapai lebih dari 120.000 orang180 di
kedua lokasi tersebut, maka hampir seluruh badan
sungai sudah dipenuhi lobang-lobang galian dalam
berbagai ukuran sehingga badan sungai itu sendiri
sudah sulit untuk bisa dikenali. Sementara itu, lahan
di pinggir sungai hingga ke tebing-tebing di atasnya
juga sudah berubah menjadi lobang-lobang galian
berukuran rata-rata dua kali dua meter dengan jarak
yang sangat dekat (sekitar 30-40cm) antara satu
lobang dengan lobang lainnya. Dengan demikian
lahan produktif di pinggir sungai yang tadinya berupa
kebun coklat masyarakat, praktis telah menjadi lahan
kritis yang tidak dapat lagi ditanami.
Untuk pemulihan lahan bekas tambang
masyarakat yang sudah rusak di sepanjang dan
sekitar daerah aliran sungai, maka pemerintah perlu
membuat kebijakan yang sistematis sehingga potensi
yang terdapat pada lahan yang sudah rusak tersebut
180

Data ini diperkirakan dari keberadaan para penambang di lokasi SP-8 saja yang
sudah mencapai angka sekitar 100.000 orang pada Desember 2008. Dengan
demikian total penambang di ketiga lokasi dimaksud (Tahi Ite, SP-8 dan SP-9)
diperkirakan akan lebih dari 120.000 orang. Lihat Iskandar Zulkarnain dan Tri Nuke
Pudjiastuti, Laporan Kajian Penambangan Emas oleh Masyarakat di Bombana,
Kerjasama Kementerian Koordinator Ekonomi RI LIPI, Desember 2008.

258

BAB V I- STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH PERTAMBANGAN


RAKYAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA

masih dapat dimanfaatkan. Seperti diketahui, bahwa


proses ekstraksi emas yang dilakukan oleh
masyarakat, baik melalui pendulangan maupun
dengan menggunakan sluice box akan menghasilkan
ampas berupa tumpukan kerikil lepas (pada
beberapa tempat menjadi gunungan kecil) yang telah
terseleksi dari material yang berukuran pasir,
sehingga kedua jenis material tersebut terdapat
sebagai dua jenis material berbeda yang terpisah.
Kondisi ini akan sangat memudahkan bila kedua
material tersebut akan dipergunakan sebagai bahan
bangunan untuk berbagai keperluan (jalan, jembatan
atau bangunan rumah/gedung). Dengan demikian,
maka dalam konsep pemulihan lingkungan yang akan
diterapkan di wilayah ini yang harus dilakukan pada
tahap awal adalah mengumpulkan semua material
kerikil dan pasir tersebut dan memindahkannya ke
tempat penampungan (stockpile) agar dapat
dipergunakan untuk berbagai keperluan. Agar proses
pengumpulan dan pemindahan kerikil dan pasir itu
lebih murah dan mudah, perlu dilakukan pemetaan
terlebih dahulu terhadap lokasi keberadaan material
tersebut sehingga diketahui dengan pasti
penyebarannya dalam kawasan yang akan dipulihkan
tersebut. Data ini akan dijadikan pijakan untuk
menentukan lokasi stockpile, kemana material
tersebut akan dipindahkan sehingga biaya dan
tenaga yang dikeluarkan akan menjadi seminimal
mungkin. Setelah proses pemindahan tersebut, maka
barulah direncanakan proses rehabilitasi lahan

BAB V I- STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH PERTAMBANGAN


RAKYAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA

259

tersebut dengan membentuk kembali badan sungai


yang sudah hilang akibat penambangan oleh
masyarakat itu dan menimbun semua lobang galian
yang tersebar di pinggir dan tebing sepanjang aliran
sungai terkait. Mengingat lahan yang digali
masyarakat di pinggir dan di tebing sepanjang aliran
sungai tersebut adalah lahan yang memiliki lapisan
tanah yang cukup tebal, maka proses rehabilitasi
lahan itu tidak memerlukan penimbunan dengan
tanah pucuk (top soil) seperti pada wilayah
penambangan perusahaan, tetapi cukup dengan
menimbun semua lobang galian yang ada. Dengan
demikian, alur sungai akan terbentuk kembali dan
lahan di sepanjang aliran sungai tersebut akan dapat
ditanami kembali.
Dalam hal penggalian yang dilakukan oleh
masyarakat berlokasi pada lereng suatu punggungan
bukit, maka proses pemulihan lahan ini juga dapat
dilakukan dengan hanya menimbun semua lobang
galian tersebut dengan tanah dan proses alam akan
memulihkannya kembali.
Sementara itu, untuk pengelolaan lingkungan
dalam kegiatan penambangan yang akan dilakukan
oleh masyarakat, diperlukan konsep yang terintegrasi
dengan proses kegiatan penambangan itu sendiri,
baik dalam proses penggalian maupun ekstraksi.
Seperti telah disinggung di atas, bahwa teknik
penggalian yang dipilih adalah penggalian lobanglobang vertical (sumuran) dengan ukuran 2x2 meter

260

BAB V I- STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH PERTAMBANGAN


RAKYAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA

dengan jarak antar lobang sekitar empat meter. Hal


ini dimaksudkan untuk memudahkan untuk
memperoleh lapisan pasir yang mengandung emas
tanpa membahayakan jiwa para penambang, serta
mudah untuk menimbunnya (mereklamasi) kembali.
Sedangkan teknik ekstraksi yang diusulkan adalah
teknik ekstraksi dengan menggunakan sluice box
dalam sistem sirkulasi air tertutup. Dalam sistem
ekstraksi ini, ampas penambangan (tailing) yang
berukuran kerikil akan terkumpul di dekat atau pada
lokasi sluice box dan dapat langsung dipindahkan ke
stockpile bila jumlahnya sudah cukup signifikan.
Sementara itu, material tailing yang berukuran pasir
atau yang lebih halus akan terbawa ke kolam
penampungan pertama dan dalam kurun waktu
tertentu akan menyebabkan pendangkalan pada
kolam tersebut. Oleh karena itu, kolam
penampungan ini harus dikeruk setelah periode
waktu tertentu dan material pasir ataupun lempung
yang diperoleh kemudian dikumpulkan pada stockpile
yang terpisah dari material kerikil. Material pasir dan
lempung ini kemudian digunakan untuk menimbun
lobang-lobang galian di lokasi penambangan bersama
tanah pucuknya yang sudah dipisahkan pada waktu
penggalian.
2) Masyarakat sebagai mitra perusahaan tidak sederajat
Strategi kedua yang dapat diterapkan dalam mewadahi
kegiatan masyarakat yang menambang adalah dengan

BAB V I- STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH PERTAMBANGAN


RAKYAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA

261

membangun kemitraan tidak sederajat antara


masyarakat
penambang
dengan
perusahaan
penambangan yang memiliki konsesi di suatu wilayah,
terutama di lokasi tempat masyarakat sudah
menambang jauh sebelum perusahaan tersebut
beroperasi di wilayah tersebut. Disebut sebagai
kemitraan tidak sederajat karena kehadiran masyarakat
yang menambang di wilayah tersebut hanya
dimungkinkan bila perusahaan berkenan menerima
kegiatan mereka di dalam wilayah konsesi perusahaan.
Dalam kasus ini, perusahaan dapat mengalokasikan
wilayah konsesi mereka yang memiliki potensi cadangan
terbatas untuk masyarakat karena wilayah tersebut
tidak ekonomis bila ditambang dalam skala perusahaan.
Hasil penambangan masyarakat tersebut haruslah dijual
kepada pihak perusahaan dan agar proses reklamasinya
nanti tidak menyulitkan perusahaan, maka kegiatan
penambangan yang dilakukan oleh masyarakat haruslah
mengikuti disain yang sudah dibuat oleh perusahaan.
Dengan demikian akan terjalin suatu kemitraan yang
saling menguntungkan antara perusahaan dan
masyarakat serta sekaligus akan dapat menghindarkan
perusahaan dari potensi konflik dengan masyarakat,
terutama dari konflik akibat kegiatan penambangan
illegal masyarakat.
Harus diakui bahwa kemitraan tidak sederajat ini
masih sulit untuk direalisasikan pada perusahaan
multinasional karena ketidaksiapan mereka dalam
bekerjasama dengan masyarakat lokal. Berbagai aspek

262

BAB V I- STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH PERTAMBANGAN


RAKYAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA

yang menjadi penghambat dalam kemitraan seperti ini


antara lain masih rendahnya tingkat ketaatan
masyarakat untuk mematuhi prosedur konsep
penambangan yang baik dan benar (good mining
practice) sehingga dikhawatirkan akan menyebabkan
mudah terjadinya kecelakaan, baik kecelakaan manusia
maupun lingkungan. Selain itu, masih ada persepsi di
kalangan perusahaan yang menganggap bahwa
membiarkan masyarakat terlibat dalam aktifitas
pertambangan di konsesi mereka hanya akan
menimbulkan berbagai persoalan yang akan merugikan
perusahaan. Hal ini merupakan persepsi yang wajar
mengingat perusahaan adalah sebuah badan usaha yang
tentunya berorientasi pada mencari keuntungan
sebesar-besarnya, sehingga melibatkan masyarakat yang
memiliki budaya kerja dan disiplin yang berbeda dengan
mereka adalah sebuah tindakan spekulasi yang
berpeluang besar merugikan perusahaan.
Kemitraan tidak sederajat seperti yang diuraikan
di atas tampaknya hanya mungkin dilakukan dengan
perusahaan pertambangan swasta nasional yang lebih
mampu memahami budaya masyarakat lokal dan masih
memiliki keinginan untuk ikut dalam proses
pemberdayaan masyarakat. Kemitraan tidak sederajat
seperti ini pernah berlangsung antara sebuah
perusahaan swasta nasional dengan masyarakat yang
menambang di wilayah kabupaten Sukabumi, Jawa

BAB V I- STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH PERTAMBANGAN


RAKYAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA

263

Barat.181 Dalam kasus ini, perusahaan menentukan


lokasi dimana masyarakat akan menambang
berdasarkan data eksplorasi yang mereka miliki dan
kemana arah penggalian harus dilakukan (apakah
vertikal atau horizontal), mengingat jenis komoditi yang
ditambang adalah endapan emas primer. Setelah itu,
perusahaan memfasilitasi masyarakat untuk mendirikan
koperasi penambang dan membangun sentra-sentra
pengolahan dengan metoda amalgamasi dengan system
pengelolaan limbah yang tidak mencemari lingkungan.
Hasil yang diperoleh masyarakat kemudian dijual kepada
perusahaan dengan harga wajar yang disepakati,
sedangkan
reklamasi
menjadi
tanggungjawab
perusahaan sebagai pemilik konsesi. Kemitraan tidak
sederajat seperti ini ternyata memberikan solusi bagi
perusahaan untuk mengatasi maraknya penambangan
illegal dan masyarakat, sedangkan di sisi lain,
masyarakat memiliki peluang untuk meningkatkan
kesejahteraannya.

Penutup
Adalah suatu kenyataan yang tidak dapat diabaikan bahwa
keberadaan masyarakat yang melakukan penambangan di
Indonesia merupakan fenomena yang sudah berlangsung
sejak ratusan tahun yang lalu. Bagi sebagian warga
masyarakat, kegiatan ini mungkin hanya dianggap sebagai
sebuah pekerjaan alternatif sementara yang dapat
181

Lihat Iskandar Zulkarnain dkk., Dinamika dan Peran Pertambangan Rakyat di


Indonesia, Program Kompetitif LIPI, 2007.

264

BAB V I- STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH PERTAMBANGAN


RAKYAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA

mendatangkan uang secara mudah, ketika krisis ekonomi


melanda Negara. Namun bagi sebagian lainnya, pekerjaan ini
adalah pilihan hidup terbaik yang tidak tergantikan dengan
jenis pekerjaan lainnya. Bagi kelompok yang terakhir ini,
melakukan penambangan bukan lagi hanya sebagai sebuah
pekerjaan tetapi telah menjadi hidup mereka. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa kegiatan menambang oleh
masyarakat ini akan selalu ada dengan intensitas yang
berbeda dari waktu ke waktu dan dari satu lokasi ke lokasi
lainnya.
Berangkat dari kenyataan di atas, maka setiap
pemerintah kabupaten/kota maupun provinsi harus memiliki
strategi yang efektif dan efisien dalam mengelola kegiatan
masyarakat ini dalam suatu WPR agar kegiatan tersebut
dapat mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat. Pada
saat yang bersamaan, pengelolaan tersebut juga dapat
menjadi salah satu bentuk upaya pemerintah dalam
memberdayakan
masyarakatnya
dan
sekaligus
menghindarkan wilayah tersebut dari degradasi lingkungan
yang dapat merugikan semua pihak. Strategi seperti yang
diuraikan untuk kasus Bombana di atas, akan dapat menjadi
suatu strategi dasar bagi setiap pemerintah daerah dalam
pengelolaan WPR. Strategi dasar itu akan dapat
dikembangkan sesuai dengan kondisi alam dan jenis komoditi
yang ditambang serta sosial budaya masyarakat setempat.
Bila WPR tersebut difokuskan pada eksploitasi komoditi
tambang primer (seperti emas primer), maka diperlukan
modifikasi dalam teknik penggalian dan ekstraksi serta
pengelolaan limbahnya, namun secara prinsip semuanya

BAB V I- STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH PERTAMBANGAN


RAKYAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA

265

menuju kepada konsep good mining practice dalam skala


pertambangan rakyat. Modifikasi ini juga perlu
mempertimbangkan aspek sosial budaya masyarakat agar
tidak berbenturan dengan sistem nilai yang mereka anut,
karena bila hal itu terjadi maka mekanisme pengelolaan
tersebut akan menghadapi hambatan pada tataran
implementasinya. Strategi ini diharapkan akan dapat menjadi
solusi bagi pemerintah dalam merespon kegiatan masyarakat
yang menambang secara efektif dan terencana. Dengan
demikian, pemerintah daerah dapat menerapkan kebijakan
yang tepat dalam pengelolaan PR dan tidak mengambil
kebijakan pembiaran seperti yang masih berlangsung
hingga saat ini.

266

BAB V I- STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH PERTAMBANGAN


RAKYAT DI KABUPATEN BOMBANA, SULAWESI TENGGARA

Daftar Pustaka
Gold

Placer
Deposits,
http://earthsci.org/mineral/mindep/depfile/auplace.ht
m#howto, (diunduh pada 22 Oktober 2010).

Michael Silva, Placer Gold Recovery Methods, California


Department of Concervation Division of Mines and
Geology, 1986.
Suyartono, Good Mining Practice, Konsep tentang
Pengelolaan Pertambangan yang Baik dan Benar, Studi
Nusa, Jakarta, 2003.
Undang-undang No.11 tahun 1967 tentang Pertambangan
Umum.
Undang-undang No.4 tahun 2009 tentang Mineral dan
Batubara.
Zulkarnain, Iskandar & Pudjiastuti, Tri Nuke, Konsep
Pertambangan Rakyat dalam Pengelolaan Sumber
Daya Tambang yang Berkelanjutan, Program
Kompetitif LIPI, 2006.
Zulkarnain, I., Pudjiastuti, TN, Sumarnadi, AET dan Sari, Betty
Rosita, Dinamika dan Peran Pertambangan Rakyat di
Indonesia, Program Kompetitif LIPI, 2007.
Zulkarnain, Iskandar & Pudjiastuti, Tri Nuke, Laporan Kajian
Penambangan Emas oleh Masyarakat di Bombana,
Kerjasama Kementerian Koordinator Ekonomi RI LIPI,
Desember 2008.

Anda mungkin juga menyukai