Anda di halaman 1dari 22

Sick Building Syndrome

Muhammad Izzatul Naim Bin Zainuddin


an_naem@yahoo.com
102009275
Kelompok A6
Blok 28: Occupational Medicine
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana, Jalan Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat
11470, Jakarta, Indonesia.

Abstrak
Tulisan ini bertujuan untuk mengeksplorasi fenomena Sick Building Syndrome (SBS) yang
diyakini menyebabkan efek samping pada penghuni bangunan. Fitur utama dari SBS adalah bahwa
efek dialami biasanya mulai menghilang setelah meninggalkan 'sakit' lingkungan. SBS tidak
memiliki penyebab spesifik, makalah ini berusaha untuk mengidentifikasi kontributor
kemungkinan, dan menggunakan berbagai akademis, medis, data statistik dan organisasi yang
diakui untuk melakukannya. Penyebab utama termasuk kualitas udara yang buruk dalam ruangan,
kebisingan latar belakang yang berlebihan, emisi dari bangunan sintetis tertentu dan bahan
furnishing, suhu dan polusi udara yang buruk. Terdapat hubungan erat antara SBS dan tingkat
pemeliharaan gedung bangunan. Makalah ini menawarkan informasi kepada mereka yang terlibat
dalam desain dan perawatan gedung sambil memberikan eduksi untuk majikan dan karyawan,
terutama mereka yang bekerja di lingkungan tersebut untuk menyediakan pembaca dengan
pemahaman yang lebih baik dan untuk menyoroti langkah-langkah yang dapat diambil untuk
mengurangi, jika tidak menghilangkan, SBS.
Kata kunci: Sick Building Syndrome, Sindroma Gedung Sakit, SBS, kesehatan yang buruk,
kualitas udara
Pendahuluan

Pada zaman ini kebanyakkan gedung-gedung tinggi dibangun dengan struktur lebih tertutup
dan umumnya dilengkapi sistim sirkulasi udara serta pendingin buatan untuk menciptakan kondisi
lingkungan kerja yang nyaman. Udara luar yang masuk ke dalam sistim ventilasi gedung akan
berkurang bahkan mencapai titik nol, hanya udara resirkulasi yang digunakan untuk bernapas. Hal
tersebut menyebabkan buruknya kualitas udara dalam ruangan (indoor air quality atau IAQ) dan
terdapat banyak radikal bebas bersumber dari asap rokok, ozon dari mesin fotokopi dan printer,
perabotan, cat serta bahan pembersih.
Sick building syndrome (SBS) atau sindrom gedung sakit dikenal sejak tahun 1970.
Kedokteran okupasi tahun 1980 memperkenalkan konsep SBS sebagai masalah kesehatan akibat
lingkungan kerja berhubungan dengan polusi udara, IAQ dan buruknya ventilasi gedung
perkantoran. World Health Organization (WHO) tahun 1984 melaporkan 30% gedung baru di
seluruh dunia memberikan keluhan pada pekerjanya dihubungkan dengan IAQ. Di seluruh dunia
2,7 juta jiwa meninggal akibat polusi udara, 2,2 juta di antaranya akibat indoor air pollution atau
polusi udara di dalam ruangan.1
Sick building syndrome terjadi akibat kurang baiknya rancangan, pengoperasian dan
pemeliharaan gedung. Gejala yang dapat terjadi berupa iritasi kulit, mata dan nasofaring, sakit
kepala, lethargy, fatique, mual, batuk, dan sesak. Gejala tersebut akan berkurang atau hilang bila
pekerja tidak berada di dalam gedung, hal tersebut dapat terjadi pada satu atau dapat tersebar di
seluruh lokasi gedung.
Identifikasi Penyakit Akibat Kerja
Pendekatan secara kinis dengan 7 langkah diagnosis okupasi;
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Diagnosis klinis
Pajanan yang dialami
Hubungan pajanan dengan penyakit
Besar pajanan yang dialami
Peranan faktor individu
Diagnosis okupasi

Diagnosis Klinis
Anamnesis

1. Alasan kedatangan/keluhan utama (termasuk keluhan yang masih dirasakan pada


2.
3.
4.
5.
6.

kunjungan ulangan, harapan kekhawatiran, persepsi pasien mengenai keluhan/ penyakit).


Keluhan lain/tambahan.
Riwayat perjalanan penyakit sekarang.
Riwayat penyakit keluarga.
Riwayat penyakit dahulu.
Riwayat alergi.

Anamnesi Okupasi:
1.
2.
3.
4.
5.

Jenis pekerjaan
bahan/material yang digunakan
tempat kerja (perusahaan)
lama kerja (dalam bulan / tahun)
Uraian tugas/pekerjaan (yang sekarang)
Menayakan cara-cara melakukan perkerjaan, deskripsikan setiap kegiatan yang dilakukan
secara mendetail, sejak mulai bekerja, misalnya pada pagi hari hingga selesai bekerja di
sore hari, termasuk bahanbahan yang digunakan. Buatlah bagan alur dari tiap kegitan yang
dilakukan pekerja.

Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik, yaitu pemeriksaan suara paru
melalui stetoskop. Apabila terjadi Legionellosis, dokter akan mendengar suara abnormal yang berat
(crackles). Pemeriksaan fisik lainnya meliputi pemeriksaan apakah pasien mengalami demam, nafas
cepat dan berat, takikardi/bradikardi, cyanosis, gangguan mental, dan gangguan pendengaran.

Pemeriksaan fisik seperti yang disebutkan di atas sifatnya tidak spesifik. Untuk pemeriksaan yang
lebih spesifik, dapat dilakukan uji laboratorium antara lain:
1. Pemeriksaan darah

Hitung sel darah, termasuk hitung sel darah putih. Pada pasien (+) legionellosis, dapat
terjadi leukositosis tapi sifat pemeriksaan ini tidak spesifik mengingat penyakit infeksi
lainnya juga dapat menimbulkan leukositosis; dan leukopenia (jumlah sel darah putih <
5000).

Kultur darah menunjukkan sensitivitas rendah pada pneumonia. Fungsi dari kultur darah ini
hanya sebatas untuk mengetahui potensi antibiotik yang sesuai.

Hiponatremia (kadar Natrium darah <130 mEq/L) dan mikrohematuria.

Laju sedimentasi eritrosit

Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum dengan menggunakan antibodi fluoresen spesifik Legionella, tetapi
peluang memberikan hasil negatif-palsunya tinggi.
Pada hitung leukosit, harus ditemukan lebih dari 25 sel per lapangan pandang sempit.

Pemeriksaan urin
Uji urin untuk memeriksa adanya bakteri L. pneumophila. Uji ini akurat terutama untuk
Legionella serogroup 1, tetapi 30% infeksi Legionellosis tidak disebabkan oleh organisme
serogroup 1. Hasil laboratorium dapat diketahui dalam jangka waktu kurang dari 14 hari.
Teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) memiliki sensitivitas yang lebih tinggi terhadap
adanya spesies Legionella, tetapi keterbatasan teknik PCR ini di Indonesia menjadikannya
jarang digunakan. Dengan teknik ini, DNA Legionella dapat dideteksi di dalam sampel urin
dan atau serum pada 18 dari 28 pasien dengan legionellosis, tetapi pasien dengan pneumonia
yang disebabkan oleh organisme lain tidak terdeteksi oleh PCR.
Tes Hidrosense
Tidak seperti analisa rutin yang dapat memakan waktu hingga 14 hari, tes Hidrosense ini
hanya memakan waktu 25 menit. Aplikasi alat ini mirip dengan alat tes uji kehamilan dan
memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi, yaitu 100 cfu/mL urin.

Pemeriksaan lainnya
X-Ray paru
Penemuan pada sinar X dapat bervariasi. Pneumonia dapat lobar, tetapi lebih sering tampak
sebagai bronkopneumonia yang melibatkan banyak lobus dengan atau tanpa efusi pleura.
Radiografi pada bagian dada
Dengan pemeriksaan ini, Legionellosis dapat terdeteksi dengan ditemukannya bakteri
Legionella pada bagian bawah paru.

Diagnosis Kerja
Daripada anamnesis dan pemeriksaan berikut dapat ditegakan bahwa pasien tersebut
dijangkiti penyakit legionaire. Penyakit Legionaire disebabkan oleh Legionella pneumophila
merupakan bakteri gram negatif berukuran 2-20 m, berbentuk basil, tipis, dan bersifat aerob.
Legionella mempunyai membran dalam dan membran luar, pili (fimbrae) dan dapat bergerak akibat
adanya flagel polar tunggal.

Gambar 1: Bakteri Legionella pneumophila

Siklus hidup Legionella terdiri dari dua fase utama, yaitu fase replikatif dimana bakteri tidak
bergerak dan toksisitasnya rendah; dan fase infeksi dimana bakteri menjadi lebih pendek, tebal,
timbul flagela, dan toksisitasnya tinggi.
Spesies dari Legionella mudah berkembang biak baik di dalam air keran atau bahkan di
lingkungan yang umumnya tidak mendukung perkembangbiakan bakteri seperti pada sel fagositik.
Ironisnya, mereka tidak mudah dibiakkan pada media laboratorium biasa, melainkan hanya dapat
dikembangbiakkan pada media complex broth yang menyediakan nutrisi yang diperlukan. Faktor
pertumbuhan utama yang diperlukan adalah L-cystein. Ion besi dan komponen lainnya juga
diperlukan untuk pertumbuhan optimal bakteri Legionella. Energi diperoleh terutama dari asam
amino, bukan karbohidrat. Apabila peristiwa fagositik dicegah dengan cytochalasin, pertumbuhan
bakteri menurun akibat tidak adanya akses menuju intraseluler tubuh.
Manifestasi Klinik
L. pneumophila dapat menyebabkan timbulnya penyakit pneumonia akut yang disebut
legionellosis. Legionellosis ini dapat bervariasi dari ringan (tidak perlu rawat inap) sampai

pneumonia multilobar fatal. Legionellosis merupakan penyakit infeksi pernafasan yang dapat
dimanifestasikan menjadi Penyakit Legionnaires
Gejala klinis dari penyakit Legionnaires adalah demam, panas dingin, dan batuk
dengan produksi sputum yang sedikit. Gejala ekstrapulmonari seperti sakit kepala, bingung, kaku
otot, dan gangguan pencernaan dapat terjadi. Masa inkubasi dari penyakit ini adalah 2-10 hari,
umumnya 5-6 hari.
Efek lebih lanjut yang dapat terjadi jika penyakit ini tidak diobati dengan baik adalah
destruksi dari jaringan paru dan alveolus sehingga pertukaran gas berkurang. Inflamasi kronik juga
dapat terjadi dan menghancurkan jaringan di sekitar paru sehingga memicu timbulnya empyema
dan kerusakan paru. Pada ibu hamil yang terjangkit Legionellosis, terjadi peningkatan angka
keguguran. Legionellosis dapat bersifat mortal/mematikan dengan jumlah kematian rata-rata lebih
dari 30% penderita.
Patogenesis Legionellosis
Patogenesis dari infeksi Legionella bermula dari sediaan air dan asir yang lembab yang
membentuk droplet di udara. Infeksi bermula pada saluran pernafasan bagian bawah. Makrofag
alveolus, yang merupakan pertahanan utama melawan infeksi bakteri berusaha untuk menelan
bakteri. Tetapi, Legionella merupakan parasit intraseluler fakultatif dan dapat bermultiplikasi secara
bebas di dalam makrofag.

Epidemiologi dari Legionellosis


Spesies Legionella tersebar luas di lingkungan kita. Legionella dapat ditemukan pada alat
pendingin, alat pelembab udara, wadah penyimpan air minum, bahkan pada tangki penampung air
panas. Penyebaran dengan penularan tidak terjadi. Daya hidup Legionella tinggi, disebabkan daya
tahannya yang tinggi terhadap efek klorin dan panas. Transmisi terjadi melalui aerosolisasi,
penyemprotan dari air yang terkontaminasi dengan Legionella ataupun infeksi luka akibat
terkontaminasi oleh air yang mengandung Legionella. Penyakit ini dapat bersifat epidemik atau
personal, dan dapat terjadi pada suatu komunitas atau di dalam rumah sakit. Manusia di segala usia
dapat terinfeksi Legionellosis walaupun lebih sering terjadi pada usia pertengahan/lebih tua dan
resiko terinfeksi meningkat pada perokok, peminum, penderita kelainan paru kronik, konsumen

obat imunosupresi (termasuk kemoterapi dan medikasi steroid) dan yang kekebalan tubuhnya
rendah.15
Diagnosis Banding
Haemophilus influenza
Haemophilus influenza adalah penyebab lazim infeksi saluran pernapasan bawah pada anakanak, seperti meningitis, cellulitis, epiglottitis, septic arthritis, pneumonia, dan pleural atau
gallbladder empyema. Pada orang dewasa infeksi serius jarang terjadi. Kebanyakan strain
Haemophilus influenza berkapsul polisakarida yang menghambat fagositosis oleh neutrofil bila
tidak ada antibodi opsonin.
Pada anak-anak, pemaparan terhadap H. influenza tipe b diduga berakibat imunitas dan
memperkecil infeksi yang disebabkan oleh serotip berkapsul ini pada orang dewasa. Enam tipe
antigenic polisakarida kapsul H. influenza telah dibedakan: tipe a sampai f. Tipe b sejauh ini adalah
paling sering menyebabkan infeksi serius.
Patogenesis infeksi paru yang disebabkan oleh H. influenza serupa dengan pneumonia yang
dihasilkan oleh pneumokokus. Organisme yang menempati saluran pernapasan atas, mencapai
saluran pernapasan bawah bila mekanisme pertahanan normal diubah, biasanya oleh infeksi virus
atau minum alcohol. Organisme berpenetrasi ke epitelium nasofaring dan mencapai saluran
pernapasan bawah melalui darah kapiler. Jika organisme berkapsul, fagosistosis oleh makrofag
alveolar dan neutrofil dihambat. Pembelahan bakteri oleh suatu reaksi radang dan gejala-gejala
pneumonia. Gambaran klinis dari pneumonia yang disebabkan oleh H. influenza adalah dispnea
berat, demam, batuk, dan nyeri dada. Pemeriksaan terhadap adanya infeksi H. influenza dapat
dilakukan beberapa cara, yaitu:
1

Kultur bakteri yang diambil dari sampel seperti sputum, sapuan tenggorokan, nasopharyngeal

sekret, aspirasi trakea, aspirasi paru, cairan pleural, blood, CSF, dan urin.
Sinar-x dada sering menunjukan bronkopneumonia difus yang melibatkan banyak lobus.

Pneumonia Stafilokokus
Pneumonia lebih banyak disebabkan oleh adalah Staphylococcus aureus, pneumokokus,
Haemophilus influenzae atau kombinasi ketiganya. Pneumonia Stafilokokus adalah peradangan
paru-paru yang disebabkan oleh bakteri stafilokokus. Angka kematian akibat pneumonia
stafilokokus adalah sebesar 15-40%, karena penderita pneumonia stafilokokus biasanya sudah

memiliki penyakit yang serius. Stafilokokus menyebabkan gejala-gejala pneumonia yang khas,
yaitu demam dan menggigil lebih lama daripada pneumonia pneumokokus.
Gejala lainnya yang mungkin ditemukan:
o

batuk berdahak (dahaknya bisa menyerupai lendir, berwarna kehijauan atau menyerupai nanah)

lelah

nyeri dada (sifatnya tajam dan semakin memburuk jika penderita menarik nafas dalam atau
batuk)

Stafilokokus bisa menyebabkan abses (pengumpulan nanah) di paru-paru dan kista paru
yang mengandung udara (pneumatokel), terutama pada anak-anak. Bakteri bisa terbawa oleh aliran
darah dan membentuk abses di tempat lain. Yang sering terjadi adalah pengumpulan nanah di ruang
pleura (empiema).
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik (pada pemeriksaan
dengan menggunakan stetoskop akan terdengar bunyi pernafasan yang abnormal. Pemeriksaan
lainnya yang biasa dilakukan:

Rontgen dada

Biakan dahak

Pemeriksaan darah.

Pengertian Sick Building Syndrome


Sick Building Syndrome adalah sekumpulan gejala yang dialami oleh penghuni gedung atau
bangunan dimana di dalamnya terjadi gangguan sirkulasi udara, yang dihubungkan dengan waktu
yang dihabiskan di dalam gedung tersebut, tetapi tidak terdapat penyakit atau penyebab khusus
yang dapat diidentifikasi. Keluhan-keluhan dapat timbul dari penghuni gedung pada ruang atau
bagian tertentu dari gedung tersebut, meskipun ada kemungkinan menyebar pada seluruh bagian
gedung.

Istilah Sick Building Syndrome telah dipakai secara luas, yang mengacu pada definisi
gedung sakit, meskipun tidak jelas bagaimana mendiagnosa gedung tersebut sehingga dikatakan
sakit. Penggunaan istilah Sick Building Syndrome apabila terdapat petunjuk-petunjuk utama
bahwa gedung sebagai penyebabnya, antara lain;
a) adanya gejala-gejala ketika bekerja atau tinggal di dalam gedung,
b) kejelasan berkurangnya gejala-gejala ketika meninggalkan gedung atau bekerja di tempat
lain untuk sementara,
c) munculnya gejala-gejala ketika kembali ke gedung, serta (d) adanya gejala-gejala yang
dialami oleh banyak orang.
Istilah Sindroma Gedung Sakit pertama kali diperkenalkan oleh para ahli dari Negara
Skandinavia pada awal tahun 1980-an. Istilah ini kemudian dipakai secara luas dan kini telah
tercatat berbagai laporan tentang terjadinya Sindroma Gedung Sakit dari berbagai negara di Eropa,
Amerika dan bahkan dari negara Singapura.5,6,7
Penyebab terjadinya Sick Building Syndrome berkaitan erat dengan ventilasi udara ruangan
yang kurang memadai karena kurangnya udara segar masuk ke dalam ruangan gedung, distribusi
udara yang kurang merata, serta kurang baiknya perawatan sarana ventilasi. Dilain pihak,
pencemaran udara dari dalam gedung itu sendiri yang berasal dari misalnya asap rokok, pestisida,
bahan pembersih ruangan dan sebagainya. Bahan pencemar udara yang mungkin ada dalam
ruangan dapat berupa gas CO, CO2, beberapa jenis bakteri, jamur, kotoran binatang, formaldehid
dan berbagai bahan organik lainnya yang dapat menimbulkan efek iritasi pada selaput lendir dan
kulit.
Kualitas udara dalam ruangan (indoor air quality) sebenarnya ditentukan secara sengaja
ataupun tidak sengaja oleh penghuni ruangan itu sendiri. Ada gedung yang secara khusus diatur,
baik suhu maupun frekuensi pertukaran udaranya dengan memakai peralatan ventilasi khusus, ada
pula yang dilakukan dengan mendayagunakan keadaan cuaca alamiah dengan mengatur bagian
gedung yang dapat dibuka.

Kualitas udara dalam ruangan juga dipengaruhi oleh temperatur dan kelembaban yang dapat
mempengaruhi kenyamanan dan kesehatan penghuninya. Dengan demikian kualitas udara tidak
bebas dalam ruangan sangat bervariasi.8 Apabila terdapat udara yang tidak bebas dalam ruangan,

maka bahan pencemar udara dalam konsentrasi yang cukup memiliki kesempatan untuk memasuki
tubuh penghuninya Berdasarkan hasil pemeriksaan NIOSH (The National lnstitutefor Occupational
Safety and Health), suatu badan untuk kesehatan dan keselamatan di Amerika Serikat
menunjukkan enam sumber utama pencamaran udara di dalam suatu gedung yaitu:
a) Pencemaran dari alat-alat di dalam gedung (17%): Pencemaran akibat mesin foto kopi, asap
rokok, pestisida, bahan-bahan pembersih ruangan dan lain-lain.
b) Pencemaran dari luar gedung (11%): Masuknya gas buang kendaraan bermotor yang lalu
lalang, gas dari cerobong asap atau dapur yang terletak di dekat gedung yang kesemuanya
dapat terjadi akibat penempatan lokasi lubang pemasukan udara yang tidak tepat.
c) Pencemaran akibat bahan bangunan (3%): Formaldehid, lem, asbes, fiber glass dan bahanbahan lain yang merupakan komponen bangunan pembentuk gedung tersebut.
d) Pencemaran mikroba (5%): Bakteri, jamur, protozoa dan produk mikroba lainnya yang
dapat ditemukan di saluran udara dan alat pendingin (AC) beserta seluruh sistemnya.
e) Gangguan ventilasi (52%): Kurangnya udara segar yang masuk, buruknya distribusi udara
dan kurangnya perawatan sistem ventilasi udara temyata punya peranan besar dalam
menentukan sehat tidaknya lingkungan udara di dalam suatu gedung.
f) Tak diketahui (12%)
Kualitas udara dalam ruangan yang baik didefinisikan sebagai udara yang bebas bahan
pencemar penyebab iritasi, ketidaknyamanan atau terganggunya kesehatan penghuni. Temperatur
dan kelembaban ruangan juga mempengaruhi kenyamanan dan kesehatan penghuni. Baku mutu
bahan pencemar tertinggi yang diperkenankan dari beberapa bahan pencemar udara ruangan telah
dideskripsikan dalam American Society of Health, Refrigerating, and Air Conditioning Engineers
(ASHRAE) tahun 1989. Sedangkan baku mutu tertinggi yang diperkenankan untuk kelompok
bahan pencemar spesifik dan pedoman kenyamanan dalam ruangan untuk parameter fisik yang
spesifik diuraikan dalam Guideline for Good Indoor Air Quality.
Polusi udara dalam ruang adalah tingginya konsentrasi partikel polusi yang mengudara
(airborne contaminants), bau, dan penyebab alergi yang ditimbulkan oleh penghuni/ pengguna
gedung itu sendiri atau merupakan kontaminasi polusi udara luar yang masuk ke dalam gedung.
Polusi dalam ruang digolongkan menjadi: 2,15
Polusi fisik
Yang termasuk ke dalam polusi fisik adalah:

a) Pendingin udara (kaitannya dengan suhu dan kelembaban ruang).


Secara umum, pengkondisian udara (air-conditioning) dilakukan dengan mengkondisikan
udara dari luar bisa dipanaskan (untuk heating mode seperti di negeri-negeri dingin) atau
didinginkan (untuk cooling mode seperti halnya di Indonesia) sehingga udara yang
disemburkan ke dalam ruangan mencapai kondisi set-point (temperatur dan kelembaban)
yang diinginkan. Pendingin udara diklasifikasikan menjadi pendingin udara lokal dan
sentral. Pendingin udara lokal yaitu pendingin udara yang umum dipakai di rumah-rumah,
atau beberapa ruangan kantor (biasanya ruang pejabat struktural, namun sekarang hampir
seluruh ruang baik ruang staf maupun umum sudah dipasang pendingin udara/AC),
sedangkan pendingin udara sentral adalah pendingin udara yang dikendalikan dari satu
tempat tersendiri oleh operator khusus, biasanya hotel-hotel, pusat perbelanjaan, dan
gedung perkantoran berskala besar. Kedua pendingin udara ini berpotensi dalam
menyebarkan berbagai virus dan bakteri. Idealnya, filter mesin AC dibersihkan dan
dibubuhi disinfektan setidaknya 3-4 kali setahun. Jika tidak, AC menjadi lokasi ideal bagi
perkembangbiakan rombongan bakteri. Kawanan Chlamydia sp, Escherichia sp, dan
Legionella sp, akan bersarang dengan nyaman di sela filter AC yang berair dan lembab.
Ketika udara AC menyembur ke seluruh sudut ruangan, saat itu pula koloni kuman
menyusup ke saluran pernapasan, terhirup melalui mulut, hidung, atau masuk lewat lubang
kuping. Bagi orang sehat dengan stamina prima, masuknya kuman tak mendatangkan
masalah. Lain soal jika korban yang dijambangi kuman adalah mereka yang daya tahan
tubuhnya sedang buruk.
b) Debu di ruangan kerja.
Debu merupakan partikel-partikel zat padat, yang disebabkan oleh kekuatan-kekuatan alami
atau mekanis seperti pengolahan, penghancuran, pelembutan, pengepakan yang cepat,
peledakan, dan lain-lain dari bahan, baik organik maupun anorganik, misalnya batu, kayu,
bijih, logam, arang batu, butir-butir zat dan sebagainya, yang memiliki ukuran antara 0,1
2,5 mikron. Sumber alamiah partikulat atmosfir adalah debu yang memasuki atmosfir
karena terbawa oleh angin. Oleh karena itu, debu bisa terdapat di mana saja, misalnya
untuk indoor, penumpukan barang-barang bekas yang menimbulkan debu. Karena
ukurannya yang kecil, debu dapat terhirup dan tersangkut di dalam paru sehingga dapat
mengganggu akivitas pernafasan manusia.11

c) Karpet yang tidak dirawat.


Karpet merupakan salah satu bahan bangunan yang paling membahayakan bagi kesehatan,
dan apabila memungkinkan, maka disarankan pencegahan penggunannya. Hal tersebut
karena partikel debu yang dibawa oleh manusia dari luar ruangan, pestisida yang
disemprotkan ke ruangan, akan menempel pada karpet. Selain itu ada juga kutu debu yang
biasanya tinggal di antara sela-sela karpet, mengkonsumsi partikel-partikel kulit mati yang
diproduksi oleh manusia setiap harinya. Sebagian iritasi pada Sick Building Syndrome
disebabkan oleh alergen yang terdapat pada karpet, seperti tungau atau kapang. Juga alas
karpet serta perekat yang digunakan untuk merekatkan karpet tersebut acap kali
mengeluarkan senyawa-senyawa organik yang mudah menguap. Sebagian besar orang
pernah merasakan bau kuat yang menyengat dari karpet yang baru dipasang. Bila karpet
tidak terawat, jarang dibersihkan dan dijemur, maka pertikel debu, dan pencemar lain yang
menempel di karpet akan ikut masuk ke dalam sistem pernafasan manusia sehingga dapat
mengganggu kesehatan.
Polusi biologi
Polusi biologi disebabkan oleh kutu debu, jamur, bakteri, serbuk sari tanaman, dan organisme lain.
Terutama, perkantoran modern yang biasanya menggunakan pendingin tanpa ventilasi alami.
Pekerja dapat berisiko mengidap penyakit, diantaranya: 9, 10
a) Humidifier fever yaitu suatu penyakit yang disebabkan oleh organisme yang
menyebabkan sakit pada saluran pernafasan dan alergi. Organisme ini biasanya terdapat
dan hidup pada air yang terdapat di sistem pendingin.
b) Legionnaire disease penyakit ini juga berhubungan dengan sistem pendingin dalam ruang
namun disebabkan oleh spesifik bakteri terutama bakteri legionella pneumophila. Penyakit
ini terutama akan lebih berbahaya pada pekerja dengan usia lanjut. Reaksi legionella
memang sering tidak sertai gejala mencolok bahkan seperti flu biasa. Paling-paling hanya
demam, menggigil, pusing, batuk berdahak, badan lemas, tulang ngilu dan selera makan
lenyap.
Polusi kimia
Penggunaan pewangi ruangan merupakan salah satu penyebab polusi dalam ruang karena
pewangi ruangan tersebut akan memaparkan bermacam bahan yang serba kimiawi. Ada yang bisa

menyebabkan alergi, pusing, hingga mual.


Dilaporkan bahwa 95% bahan kimia dalam pewangi adalah senyawa sintesis yang berasal
dari petrokimia, termasuk turunan benzene, aldehida dan banyak toksin serta agen pembuat peka
lain. Pajanan yang berulang-ulang akan memicu peningkatan sensitivitas dan reaksi yang semakin
kuat. Sensitivitas ke beragam bahan lain. Bahan-bahan ini dapat menimbulkan berbagai masalah
kesehatan, termasuk reaksi alergi, masalah pernapasan dan sensitivitas.pada pajanan berulang,
bahan-bahan tersebut dapat meyebabkan keadaan yang lebih serius, misalnya cacat lahir, gangguan
saraf pusat, dan kanker.
Selain itu, juga penyemprot nyamuk, rokok, mesin fotokopi yang mengeluarkan ozon,
penggunaan berbagai desinfektan, hingga tanaman hidup yang tidak pernah dikeluarkan dari
ruangan. Tanaman yang jarang dikeluarkan dari ruangan juga kurang baik karena pada malam hari
tanaman mengeluarkan karbondioksida dan mengkonsumsi oksigen. Terlebih jika tanaman tersebut
berada di dalam ruangan kantor yang jarang dibuka ventilasi udara segarnya.2
Polusi gas
Polusi gas, selain datang dari asap pembuangan kendaraan bermotor, juga terjadi di bangunan
tempat tinggal kita seperti tungku api dan pemanas yan g tidak disertai dengan sistem ventilasi
yang baik, dan juga dari kompor gas yang mengeluarkan karbonmonoksida, karbondioksida, dan
nitrogen dioksida. Selain itu juga banyak materi bangunan modern, seperti cat rumah yang masih
baru diaplikasikan, papan partikel (particle board), papan fiber (fiber board), dan berbagai macam
perabotan plastik yang mengeluarkan gas organik dalam jangka tahunan.
Polusi radiasi
a) Radiasi alam
Di antara sekian banyak sumber radiasi alam, radon merupakan sumber radiasi alam yang
paling banyak mendapatkan perhatian sehubungan dengan efek merugikan yang
ditimbulkannya. Efek merugikan tersebut berkaitan dengan kesehatan manusia. Radon
merupakan gas radioaktif yang tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa, dan secara kimia
tidak reaktif. Zat ini terbentuk dari turunan radium-226 yang termasuk dalam rantai luruhan
uranium-238 yang ada di dalam batu, tanah dan air. Zat ini dapat bermigrasi dari batuan dan

tanah masuk ke atmosfir. Berbagai bahan bangunan seperti granit, italian tuff serta alum
shale konkrete ringan, mengandung konsentrasi radium-226 yang dapat menjadi sumber
migrasi radon di dalam ruangan. Ternyata udara luar berperan penting bagi masuknya radon
ke udara ruangan melalui ventilasi udara maupun pintu dan jendela. Komponen terbesar
dari paparan radon pada manusia melalui inhalasi radon dan turunannya yang berumur
pendek. Radon dan sekitar sepertiga hasil luruhannnya akan terinhalasi dan masuk ke
dalam organ paru sebagai organ target. Gas radon yang terinhalasi ini dapat masuk ke
dalam darah serta berbagai organ maupun jaringan tubuh manusia. Penggunaan bahanbahan tambang seperti asbes dan sisa-sisa hasil pengolahan bahan tambang sebagai bahan
bangunan untuk perumahan atau gedung, dapat memperbesar kadar radon.
Indikator Sick Building Syndrome
Indikator Sick Building Syndrome yaitu:
1. Penghuni gedung mengeluh sakit kepala, iritasi mata, hidung atau tenggorokan, batuk
kering, kulit kering atau gatal, pusing dan mual, kesulitan dalam berkonsentrasi, kelelahan
dan peka terhadap bau.
2. Penyebab dari gejala tidak diketahui.
Sebagian besar pengadu melaporkan lega segera setelah meninggalkan gedung. Sedangkan
indikator sakit yang disebabkan oleh kondisi bangunan yaitu:
1. Penghuni gedung mengeluhkan gejala seperti batuk, dada sesak, demam, menggigil dan
nyeri otot.
2. Gejala-gejala dapat didefinisikan secara klinis dan telah diidentifikasi penyebabnya secara
jelas.
3. Penghuni gedung mungkin memerlukan waktu pemulihan yang lama setelah meninggalkan
gedung

Gejala Sick Building Syndrome


Para penghuni gedung umunya mengalami gejala Sick Building Syndrome yang bervariasi.
Gejala-gejala yang timbul memang berhubungan dengan tidak sehatnya udara di dalam gedung.
Keluhan yang ditemui pada sindrom ini antara lain dapat berupa batuk-batuk kering, sakit kepala,
iritasi di mata, hidung dan tenggorokan, kulit yang kering dan gatal, badan lemah, kelelahan, peka

terhadap bau yang tidak sedap serta sulit untuk berkonsentrasi. dan lain-lain. Keluhan-keluhan
tersebut biasanya menetap setidaknya dua minggu.15,16
Keluhan-keluhan tersebut biasanya tidak terlalu hebat, tetapi cukup terasa mengganggu dan
yang penting, amat berpengaruh terhadap produktifitas kerja seseorang. Sick Building Syndrome
baru dapat dipertimbangkan bila lebih dari 20% atau bahkan sampai 50%, pengguna suatu gedung
mempunyai keluhan-keluhan seperti di atas. Kalau hanya dua atau tiga orang maka mereka
mungkin sedang kena flu biasa. Keluhan atau gejala dibagi Sick Building Syndrome dibagi dalam
tujuh kategori sebagai berikut:
1. Iritasi selaput lendir, seperti iritasi mata, pedih, merah dan berair.
2. Iritasi hidung, seperti iritasi tenggorokan, sakit menelan, gatal, bersin, batuk kering.
3. Gangguan neurotoksik (gangguan saraf/gangguan kesehatan secara umum), seperti sakit
4.
5.
6.
7.

kepala, lemah, mudah tersinggung, sulit berkonsentrasi.


Gangguan paru dan pernapasan, seperti batuk, nafas bunyi, sesak nafas, rasa berat di dada.
Gangguan kulit, seperti kulit kering, kulit gatal.
Gangguan saluran cerna, seperti diare.
Gangguan lain-lain, seperti gangguan perilaku, gangguan saluran kencing, dll.
Seseorang dinyatakan menderita Sick Building Syndrome apabila memiliki keluhan sejumlah

kurang lebih 2/3 dari sekumpulan gejala lesu, hidung tersumbat, kerongkongan kering, sakit
kepala, mata gatal-gatal, mata pedih, mata kering, pilek-pilek, mata tegang, pegal-pegal, sakit leher
atau penggung, dalam kurun waktu yang bersamaan.

Penatalaksanaan
Medikamentosa
Untuk mengobati infeksi Legionellosis, dapat digunakan antibiotik. Pengobatan diberikan segera
setelah pasien di-suspect menderita Legionnaires, tanpa perlu menunggu hasil laboratorium.
Antibiotik yang umumnya digunakan untuk mengobati penyakit ini adalah :
- Quinolon : siprofloxacin, levofloxacin, moxifloxacin, gatifloxacin

- Makrolida : azithromisin, clarithromisin, eritromisin


Antibiotik yang terbukti efektif adalah eritromisin, siprofloksasin, tetrasiklin dan rifampin.
Eritromisin adalah bentuk terapi yang paling luas digunakan, dan umumnya IV, 1 gram setiap 6 jam.
Penisilin dan sefalosporin tidak efektif karena organisme ini, kecuali L. micdadei, menghasilkan
beta lactamase yang membuat mereka resisten terhadap agen beta-laktam.
Pengobatan lain mencakup:

Penukaran cairan dan elektrolit tubuh


Pemberian oksigen melalui masker atau breathing machine
Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan mengolah air yang terkontaminasi dengan bakteri L.

Pneumophila, sehingga dapat mencegah penyebaran lebih lanjut dari penyakit ini.

Non Medikamentosa
Penatalaksanaan terbaik adalah pencegahan dan atau menghilangkan sumber kontaminasi
penyebab SBS. Pasien dianjurkan menghindari gedung yang dapat menimbulkan keluhan
meskipun tidak selalu dapat terlaksana karena dapat menyebabkan kehilangan pekerjaan.
Menghilangkan sumber polutan, memperbaiki laju ventilasi dan distribusi udara, membuka
jendela sebelum menggunakan pendingin, menjaga kebersihan udara dalam gedung, pendidikan
dan komunikasi merupakan beberapa cara mengatasi SBS.3

Laju ventilasi dalam gedung harus adekuat, direkomendasikan minimum 15 L/detik/orang.


Jendela dan atau pintu yang dapat terbuka serta pemeliharaan rutin sistim HVAC dengan
membersihkan dan mengganti penyaring secara periodik (setiap 3 bulan) dapat memberikan
ventilasi yang baik, kenyamanan bekerja serta lingkungan kerja yang sehat. Larangan merokok di
ruangan harus dilaksanakan. Pencegahan SBS dengan menentukan lokasi dan arsitektur gedung
yang sehat, jauh dari sumber polutan dengan bahan bangunan ramah lingkungan, merancang
pemeliharan yang baik dan dikhususkan pada sistim HVAC sebagai penyebab tersering SBS.
Diperlukan komunikasi yang baik antara pekerja, manager dan pemelihara gedung untuk

mengetahui, mencegah serta mengatasi masalah SBS.


Pencegahan Sick Building Syndrome
Keluhan yang timbul pada penderita biasanya dapat ditangani secara simtomatis asal diikuti
dengan upaya agar suasana lingkungan udara di gedung tempat kerja menjadi Iebih sehat. Yang
perlu mendapat perhatian utama tentu bagaimana pencegahan yang dapat dilakukan untuk
menghindari suatu gedung menjadi penyebab sindrom gedung sakit ini. Ternyata upaya
pencegahannya cukup luas, menyangkut bagaimana gedung itu dibangun, bagaimana desain
ruangan, bahan-bahan yang digunakan di dalam gedung, perawatan alat-alat dan lain-lain.3
Upaya pencegahan yang dapat dilakukan meliputi:
1. Edukasi dan lawatan ke tempat kerja pasien untuk mencari sumber penyakit. (Jika
dibenarkan)
2. Umumnya penderita Sindrom Gedung Sakit akan sembuh apabila keluar dari dalam gedung
tersebut, gejala-gejala penyakitnya dapat disembuhkan dengan obat-obat simtomatis (obatobat penghilang gejala penyakit).
3. Upaya agar udara luar yang segar dapat masuk ke dalam gedung secara baik dan
terdistribusi secara merata ke semua bagian di dalam suatu gedung. Dalam hal ini perlu
diperhatikan agar lubang tempat masuknya udara luar tidak berdekatan dengan sumbersumber pencemar di luar gedung agar bahan pencemar tidak terhisap masuk ke dalam
gedung. Ventilasi dan sirkulasinya udara dalam gedung diatur sedemikian rupa agar semua
orang yang bekerja merasa segar, nyaman dan sehat, jumlah supply udara segar sesuai
dengan kebutuhan jumlah orang didalam ruangan, demikian pula harus diperhatikan jumlah
supply udara segar yang cukup apabila ada penambahan-penambahan karyawan baru dalam
jumlah yang signifikan.
4. Perlu pula diperhatikan pemilihan bahan-bahan bangunan dan bahan pembersih ruangan
yang tidak akan mencemari lingkungan udara di dalam gedung dan lebih ramah lingkungan
(green washing, non toxic, natural, ecological friendly).
5. Penambahan batas-batas ruangan dan penambahan jumlah orang yang bekerja dalam satu

ruangan hendaknya dilakukan setelah memperhitungkan agar setiap bagian ruangan dan
setiap individu mendapat ventilasi udara yang memadai.
6. Jangan asal membuat sekat ruangan saja, dan jangan terus menerus menambah jumlah
orang untuk bekerja dalam satu ruangan sehingga menjadi penuh sesak.
7. Alat-alat kantor yang mengakibatkan pencemaran udara, seperti mesin fotocopy, diletakkan
dalam ruangan terpisah.
8. Renovasi kantor dengan menggunakan bahan-bahan bangunan baru, cat baru, lem baru,
agar dipasang exhaust fan yang memadai agar pencemaran dari volatile organic compounds
(VOCs), terutama uap benzene dan formaldehyde yang berasal dari
Kesimpulan
Sick Building Syndrome adalah sekumpulan gejala yang dialami oleh penghuni gedung atau
bangunan dimana di dalamnya terjadi gangguan sirkulasi udara, yang dihubungkan dengan waktu
yang dihabiskan di dalam gedung tersebut, tetapi tidak terdapat penyakit atau penyebab khusus
yang dapat diidentifikasi.
Penyebab terjadinya Sick Building Syndrome berkaitan erat dengan ventilasi udara ruangan
yang kurang memadai karena kurangnya udara segar masuk ke dalam ruangan gedung, distribusi
udara yang kurang merata, serta kurang baiknya perawatan sarana ventilasi (indoor air quality).
Seseorang dinyatakan menderita Sick Building Syndrome apabila memiliki keluhan sejumlah
kurang lebih 2/3 dari sekumpulan gejala lesu, hidung tersumbat, kerongkongan kering, sakit kepala,
mata gatal-gatal, mata pedih, mata kering, pilek-pilek, mata tegang, pegal-pegal, sakit leher atau
penggung, dalam kurun waktu yang bersamaan.
Keluhan umumnya dapat ditangani secara simtomatis yang seyogyanya diikuti dengan upaya
penyehatan lingkungan di dalam gedung. Faktor pencegahan mempunyai peran yang amat penting.
Secara umum cara pencegahan pada dasarnya berupa turut sertanya perhitungan di bidang
kesehatan dalam membangun, menata dan merawat suatu gedung. Gedung-gedung bertingkat
dengan sistim AC sentral sudah mulai menjamur di kota-kota besar negara kita dan masalah
sindrom gedung sakit ini cepat atau lambat akan kita hadapi dalam praktek sehari-hari.1

Saran
Kantor atau perusahaan harus mengupayakan agar udara dalam gedung tempat karyawan
bekerja ventilasi dan sirkulasinya diatur sedemikian rupa agar semua orang yang bekerja merasa
segar, nyaman dan sehat, jumlah supply udara segar sesuai dengan kebutuhan jumlah orang didalam
ruangan. Meletakkan alat-alat kantor yang dapat mengakibatkan pencemaran udara dalam ruangan
terpisah, misalnya mesin fotocopy.Pemeliharaan lingkungan kerja dengan baik, jangan menyalakan
AC terus menerus, sesekali AC dimatikan.

Daftar Pustaka
1. Utami ET. Hubungan antara kualitas udara pada ruangan ber-AC sentral dan sick building
sindrome di kantor Telkom Divre IV Jateng-DIY. Tesis DIY:UNNES: 2005.
2. Heimlich JE. Environmental Health Center. Sick building syndrome. [Online]. 2009 [cited 2001
Jan 26]; Available from URL: http://www.nsc.org/ehc/indoor/sbs.htm.
3. Jaakkola K, Jaakkola MS. Sick building syndrome. In: Hendrik DJ, Burge PS, Beckett WS,
Churg A, editors. Occupational disorder of the lung: recognation management and prevention.
5th ed. London: WB Saunders;2002.p.241-55.

4. U.S Environmental Protection Agency. Indoor air facts no.4 (revised): sick Building syndrome
(SBS). [Online]. 2009. [cited 2004 Jan 14]; Available from: URL:
http://www.epa.gov/cgibin/epaprintonly.cgi.
5. Aditama TY, Andarini SL. Sick building syndrome. Med J Indones 2002;11: 124-31.
6. Menzies D, Bourbeau J. Building related illnesses. N Engl J Med 1997;337:1524-31.
7. Ooi PL, Goh KT. Sick building syndrome: an emerging stress-related disorder Int J Epidemiol
1997;26:1243-9.
8. Trout D, Bernstein J, Martinez K, Biagini R, Wallingford K. Bioaerosol lung damage in a
worker with repeated exposure to fungi in a water-damaged building. Environ Health Perspect
200;109:641-4.
9. Harrison J, Pickering CA, Faragher FB. An investigation of the relationships between microbial
and particulate indoor air pollution and the sick building syndrome. Respir Med 1992;86:22535.
10. Husman T. Health effects of indoor air microorganisms. Scan J Work Environt Health
1996;22:5-13.
11. Sabir M, Shashikiran U, Kochar SK. Building related illness and indoor pollution. J Assoc
Physicians India 1999;47:426-30.
12. Muzi G, Dell Omo M, Abbritti G. Objective assessment of ocular and respiratory alterations in
employee a sick building. Am J Ind Med 1998;34:79-88.
13. Jaakkola JJK, Heinnonen OP, Seppanen O. Mechanical ventilation in office building and the
sick building syndrome: an experimental and epidemiological study. Indoor Air 1991;1:111-21.
14. Sujayanto G. Gedung tertutup bisa menyebabkan sakit. [cited 2001 Sept 12]; Available from:
URL:http//www.indomedia.com/intisari/ewi/sept/airud/htm.
15. Hodgson M. Indoor environmental exposure and symptoms. Environ Health Perspect
2002;110:663-7.
16. Saijo y, Kishi R, Seta F, Katakura Y, Urashima Y, Hatakayama A, et al. Symptoms in relation to
chemicals and dampness in newly built dwellings. Int Arch Occup Environ Health
2004;77:461-70.

21

22

Anda mungkin juga menyukai