Anda di halaman 1dari 22

Sick Building Syndrome ( SBS )

Wilhelmina*
10.2009.176
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara no. 6
Jakarta Barat 11510
*E_mail : monk_w1n@yahoo.com

ABSTRACT
Sick Building Syndrome merupakan salah satu istilah yang jarang digunakan di Indonesia
sehingga banyak orang yang tidak mengetahui apa artinya. Sick Building Syndrome ( SBS )
adalah istilah yang mengacu pada sejumlah gejala alergi yang mempengaruhi sebagian pekerja
kantor dalam suatu gedung selama mereka berada di dalam gedung tersebut dan secara berangsur
menghilang setelah mereka meninggalkan gedung. Gejala-gejala gangguan kesehatan yang
sering dialami pekerja yang bekerja dalam ruang kantor diantaranya adalah iritasi mata, iritasi
hidung, iritasi tenggorokan, pilek, bintik merah pada kulit, sakit kepala, mual, muntah, batuk dan
bersin-bersin. Gejala-gejala ini dinyatakan sebagai SBS apabila gejala tersebut minimal dialami
oleh 20% dari pekerja kantor yang berada di dalam gedung. SBS muncul apabila terjadi kondisi
lingkungan yang tidak sehat di dalam ruang kerja atau gedung. Hal ini didasarkan dari
penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli dalam gedung-gedung perkantoran yang
memiliki berbagai fasilitas modern di dalamnya dan sistim ventilasi yang menggunakan air
conditioning. Tulisan ini membahas gejala-gejala SBS yang dialami oleh pekerja, sumber
pencemar potensial dari dalam gedung, penyebab dan dampak dari SBS, serta cara-cara
pencegahan dan penanggulangan yang dapat dilakukan oleh para pengelola gedung untuk
menangani SBS. Dengan demikian dapat dicapai lingkungan kerja yang sehat yang dapat
meningkatkan kinerja para pekerja, dan memberikan keuntungan baik bagi pekerja maupun bagi
pengusaha.

Kata kunci : Sick building syndrome, Air conditioning, Gedung, Perkantoran.


Pembahasan
7 Langkah Diagnosis Okupasi
1. Diagnosis Klinis
A. Anamnesis1
Informasi yang didapat dari pertanyaan rutin kepada pasien apa pekerjaan Anda?
sering tidak cukup memadai dan sering tidak lengkap. Alasan menanyakan hal ini
kepada pasien adalah:

Untuk mengkaji seberapa jauh penyakit disebabkan atau berhubungan melalaui


beberapa cara dengan pekerjaan pasien, misal anemia pada pasien mungkin akibat

terpajan timah hitam.


Alasan lain untuk menanyakan riwayat pekerjaan berhubung dengan pasien yang
kembali bekerja. Dalam hal ini, empat faktor di bawah perlu mendapatkan
pertimbangan: a) apa efek jangka panjang penyakit tersebut?; b) apa sifat pekerjaan
saat pasien kembali bekerja?; c) apakah kembali bekerja menyebabkan kambuhnya
penyakit atau memperberat penyakit?; d) apakah kembali bekerja menyebabkan
kerugian atau menggangu kesehatan teman sekerja atau masyarakat umum.
Misalnya, bila pasien diperiksa untuk keadaan yang jelas akibat terpajan pada
pekerjaan, misal anemia yang disebabkan pajanan timah hitam; asama akibat kerja;
dermatitis akibat kerja; kelainan muskuloskeletal akibat faktor ergonomi yang buruk;
maka jelas kembalinya pasien ke tempat kerja yang sama hanya akan mengakibatkan
kambuhnya penyakit yang sama. Di sini, tindakan pencegahan di tempat kerja perlu
dilakukan untuk mencegah kambuhnya penyakit.
Beberapa keadaan lain dapat memperberat penyakit akibat kerja pada kembali
pekerja ke tempat kerjan. Misalnya, pasien diabetes dengan waktu makan dan
pengobatan yang teratur mungkin terkena akibat yang merugikan bila ia kembali ke
pekerjaan bergilir, karena adanya perubahan waktu makan obat dan insulin pada
siang hari. Sama halnya pasien infark miokard tidak mungkin kembali ke tempat
kerja yang membutuhkan tenaga fisik atau pekerjaan penuh tekanan.
Seorang pasien yang kembali bekerja dapat memberi dampak pada teman kerja atau
masyarkat sekeliling. Misalnya, penderita tuberkulosa atau infeksi HIV yang kembali

ke tempat kerja. Keadaan lain dapt berupa sisa penyakit klinis tenaga kerja dapat
membahayakan diri sendiri atau teman sekerja, misalnya penderita ayan bekerja di
ban berjalan atau berada sendiri di tempat kerja. Di masyarkat umum, sekali lagi
akan

terjadi kekhawatiran, misalnya pekerja dengan jari tangan yang terinfeksi

bekerja sebagai penjual makanan atau pilot yang mempunyai masalah dalam

mengatasi stress.
Terakhir, menanyakan pasien tentang pekerjaannya akan membantu memberi
petunjuk yang baik tentang taraf pendidikan dan sosial ekonominyainformasi yang
cukup berharga agar dapat memberi saran dan informasi kepada pasien secara tepat
dan dapat dimengerti.

Ada beberapa masalah dalam melakukan anamnesis diantaranya.

Pekerjaan terakhir
Seorang dokter yang menanyakan pekerjaan pasien biasanya diberikan informasi
tentang pekerjaan saat ini. Mungkin pasien tersebut sudah pensiun atau sudah
berganti pekerjaan dan gangguan kesehatan mungkin berhubungan dengan pekerjaan
sebelumnya. Oleh karena itu, penting untuk sejauh mungkin menanyakan seluruh
riwayat pekerjaannya. Pada beberapa keadaan tertentu, hal ini mungkin
membosankan, tapi hal itu penting, khususnya bila terdapat sedikit kemiripan bahwa

penyakitnya berhubungan dengan pajanan di tempat kerja.


Jenis pekerjaan
Sewaktu ditanya tentang pekerjaan, bisanya pasien tidak terlalu jelas memberi tahu
jenis pekerjaan mereka kecuali dokter mengenal keadaan tempat kerja tersebut dan
mengetahui bahaya potensial pekerjaan tersebut. Hal ini juga khususnya terjadi bila
seorang pekerja menjelaskan pekerjaannya sebagai pekerja pabrik. Hal ini jelas perlu
diselidiki lebih lanjut dengan pertanyaan mengenai sifat bahaya pekerjaannya.
Selanjutnya, deskripsi pekerjaan yang tampaknya relatif aman, masih mungkin
menjadi penyebab penyakit.
Pekerja rangkap
Bahaya yang tak terduga lainnya dalam menanyakan riwayat pekerjaan, yaitu pasien
mungkin memiliki lebih dari satu pekerjaan. Dengan demikian, pasien hanya

menyampaikan yang mereka anggap sebagai pekerjaan utama dan tidak memberikan
informasi kepada dokter tentang pekerjaan yang lain. Oleh karena itu, tepat bila
pasien ditanya apakah memiliki pekerjaan lain.
Komponen riwayat pekerjaan termasuk:

Deskripsi pekerjaan/sifat pekerjaan


Jumlah jam kerja/jam giliran kerja
Tipe bahaya
Pekerjaan sebelumnya
Pekerjaan lain
Pajanan dalam rumah tangga
Hobi
Apakah pekerja lain menderita penyakit yang sama?

Dalam menanyakan riwayat pekerjaan, harus didapatkan informasi serinci mungkin,


apapun jenis pekerjaannya. Penting mengetahui kemungkinan bahaya yang menyebabkan
pekerja terpajan, sifat pekerjaan, jumlah jam kerja, dsb. Untuk mencapai ini, dokter harus
mengetahui rincian pekarjaan saat ini. Sama pentingnya adalah mendapatkan riwayat
pekerjaan sebelumnya karena masalah kesehatan saat ini mungkin akibat pekerjaan
sebelumnya terutama bila penyakitnya mempunyai periode laten yang panjang antara
panjan dan timbulnya penyakit misal asbestosis, silikosis, dsb.
Untuk melengkapi gambaran penyakit yang berhubungan dengan bahanya tertentu,
penyelidikan harus dilakukan apakah pasien memiliki pekerjaan lain maupun kemungkinan
pajanan di rumah tangga, atau hobi.
Tambahan informasi dalam riwayat pekerjaan:
Kebiasaan merokok
Keluhan pekerja lain yang sama
Hubungan waktu antara pekerjaan dan timbulnya gejala
Derajat pajanan
Pemakaian alat pelindung
Metode pengolahan bahan
B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dimaksudkan untuk menemukan gejala dan tanda yang sesuai untuk
suatu sindrom seperti Sick-Building Syndrome yang sering khas untuk suatu penyakit

akibat kerja. Pemeriksaan fisik mencakup pemeriksaan keadaan umum dan pemeriksaan
secara sistematik yaitu penilaian terhadap organ-organ tubuh tertentu.

Penilaian status generalis

Keadaan umum :tampak sakit ringan, sedang atau berat.

Pemeriksaan mental : (kesadaran, sikap dan tingkah laku, kontak fisik,


perhatiannya dan lain-lain lagi)

Pemeriksaan tanda vital.


Pemeriksaan ini meliputi pengukuran tekanan darah (tensi sistolik dan diastolic
dalam mmHg), denyut nadi (per menit) dan kualitasnya (lemah/sedang/cukup/kuat
serta regular/irreguler), pernapasan, suhu tubuh. Selain itu, diukur tinggi badan
(kg), berat badan (cm).

Penilaian Sistematis

Pemeriksaan Mata: memeriksa refleks pupil, kornea dan konjungtiva dan apakah
ada strabismus

Pemeriksaan THT:
Tenggorokan: memeriksa pembesaran tonsil dan suara
Hidung: melihat apakah ada rhinorrhea, mukosa hidung apakah ada
inflamasi, tes penciuman, dan epistaksis

Pemeriksaan kulit: memeriksa turgor kulit dan mendeteksi kelainan lain pada
kulit (eritema, facial rash dll)

Pemeriksaan Cor Pulmo: Memeriksa bentuk thoraks dan pergerakannya, serta


mendeteksi apakah ada kelainan bunyi jantung, dan kelainan bunyi pernapasan di
paru (ronkhi-kemungkinan legionnaires disease atau wheezing).

Pemeriksaan Abdominal :
Melakukan inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi dan mendeteksi apakah ada

kelainan bunyi usus (hiperperistalsis) dan lain-lain.


C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium :
Pemeriksaan darah lengkap/ Complete blood counts (CBC) :

Pemeriksaan Hb

Pemeriksaan Leukosit: dapat terjadi leukositosis jika etiologi penyakit


adalah bakteri (H.influenzae, legionella, streptococcus pneumoniae)

Hitung sel darah merah dan hitung sel darah putih

Pemeriksaan elektrolit: kemungkinan hiponatremia

Kultur :

Kultur bakteri dapat diambil dari sampel seperti sputum, usap tenggorok,
sekret nasopharyngeal, aspirasi trakea, aspirasi paru, cairan pleura, darah,
cerebrospinal fluid,dan urin dan menemukan kuman penyebab.

Tes Fungsi Paru:


Tes fungsi paru saat istirahat (spirometri, volume paru, kapasitas difusi) merupakan
tes diagnostik yang penting untuk menentukan status fungsi paru pasien dengan
penyakit paru kerja.Meskipun hasil tes fungsi paru tidak spesifik untuk
beberapa penyakit paru akibat kerja, tetapi pemeriksaan ini amat penting untuk
evaluasi sesak napas, membedakan adanya kelainan paru tipe restriktif atau
obstruktif dan mengetahui tingkat gangguan fungsi paru.

Tes provokasi untuk menentukan asma kerja.

Spirometri: pemeriksaan yang dilakukan dengan menggunakan spirometer untuk


mengukur kapasitas/fungsi paru pada pasien atas indikasi medis.

Pengukuran fungsi paru yang dilaporkan :


1

Forced vital capacity (FVC) adalah jumlah udara yang dapat dikeluarkan secara
paksa setelah inspirasi secara maksimal, diukur dalam liter.

Forced Expiratory volume in one second (FEV1) adalah jumlah udara yang dapat
dikeluarkan dalam waktu 1 detik, diukur dalam liter. Bersama dengan FVC
merupakan indikator utama fungsi paru-paru.

FEV1/FVC merupakan rasio FEV1/FVC. Pada orang dewasa sehat nilainya


sekitar 75% - 80%

FEF 25-75% (forced expiratory flow), optional

Peak Expiratory Flow (PEF), merupakan kecepatan pergerakan udara keluar dari
paru-paru pada awal ekspirasi, diukur dalam liter/detik.

FEF 50% dan FEF 75%, optional, merupakan rata-rata aliran (kecepatan) udara
keluar dari paru-paru selama pertengahan pernafasan (sering disebut juga sebagai
MMEF(maximal mid-expiratory flow)

Pemeriksaan Radiologi.

Rontgen

paru:

dapat

menunjukkan

gambaran

yang

bervariasi

(bronkopneumoniae, dll) dan dapat digunakan untuk menyingkir kemungkinan


tuberkulosis.
Tabel 1 : Metode penilaian efek pada SBS
Efek
Gejala
Iritasi

Metode
Wawancara
hidung, Nasal lavage

kemerahan

Acoustic rhinometry

Iritasi mata

Anterior dan posterior rhinomanometry


Conjunctival photography

Reaktiviti bronkus

Tear film break-up time


Peak flow meter
Spirometri:

Uji metakolin
Sistem saraf pusat Tes neurofisiologik
(SSP)
Respons Imunologi

Pemeriksaan vestibular
Pengukuran IgE spesifik

D. Pemeriksaan tempat kerja


Kualitas Fisik
Dalam penilaian kualitas fisik udara di dalam ruangan, ditentukan dengan beberapa
parameter, antara lain :
Suhu / temperatur udara
Sangat berperan terhadap kenyamanan kerja. Karena tubuh manusia menghasilkan
panas yang digunakan untuk metabolisme basal dan muskular, namun dari semua
energy yang dihasilkan tubuh hanya 20% saja yang dipergunakan dan sisanya
akan dibuang ke lingkungan. Variasi suhu udara tubuh dengan ruangan
memungkinkan terjadinya pelepasan suhu tubuh, sehingga tubuh merasa nyaman.

Sebaliknya suhu ruangan yang tinggi merupakan beban tambahan bagi seseorang
yang sedang bekerja.
Pengukuran suhu ruangan umumnya dibedakan menjadi 2, yaitu ( 1 ) suhu basah,
dimana pengukuran dilakukan jika udara mengandung uap air, dan ( 2 ) suhu
kering, bilamana udara sama sekali tidak mengandung uap air. Pembacaannya
dilakukan dengan thermometer sensor kering dan sensor basah. Kisaran suhu
kering 220-250C. Bagi pekerja dengan beban kerja ringan kisaran suhu dapat lebih

luas yaitu 200-250C.


Kelembaban udara
Kelembaban udara dihitung dari perbandingan suhu basah dan suhu kering
( persen ) dengan demikian kedua ukuran ini saling berkaitan. Kombinasi suhu
dan kelembaban udara yang tepat akan menciptakan kenyamanan ruangan,
sebaliknya kombinasi keduanya dapat pula memperburuk kondisi udara ruangan.
Kelembaban relative udara yang rendah, yaitu kurang dari 20% dapat
menyebabkan kekeringan selaput lendir membrane. Sedangkan kelembaban yang
tinggi pada suhu tinggi dapat meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme dan
pelepasan formaldehid dari material bangunan. Menggunakan AC disarankan agar
kelembaban relative udara besarnya sekitar 65% agar kenyamanan terpenuhi.
Berdasarkan surat edaran Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi
No.SE-01/Men/1978 tentang nilai ambang batas ( NAB ) yang berlaku untuk
lingkungan kerja panas di industri adalah kelembaban 65%-95% dengan kisaran
suhu 260C-300C. Untuk lingkungan kerja lainnya tidak ada aturan NAB.
Sedangkan menurut ASHRAE ( 1981 ) zona kenyamanan 55%-74% berada pada

kisaran suhu 220C-260C dan kelembaban 20%-70%.


Kecepatan aliran udara
Mempengaruhi gerakan udara dan pergantian udara dalam ruang, besar yang
dirasakan nyaman berkisar 0,15-1,5 m/detik, kecepatan udara kurang dari 0,1
m/detik atau lebih rendah menjadikan ruangan tidak nyaman karena tidak ada
gerakan udara, sebaliknya kecepatan udara terlalu tinggi akan menyebabkan

tarikan dingin dan atau kebisingan di dalam ruangan.


Kebersihan udara
Berkaitan dengan keberadaan kontaminasi udara

baik

kimia

maupun

mikrobiologi. Sistem ventilasi AC umumnya diperlengkapi dengan saringan udara


untuk mengurangi atau menghilangkan kemungkinan masuknya zat-zat berbahaya

ke dalam ruangan. Untuk ruangan pertemuan atau gedung-gedung dimana banyak


orang berkumpul dan ada kemungkinan merokok, dibuat suhu perangkat hisap
udara pada langit-lanit ruangan sedangkan lubang hisap jamur dibuat dilantai

dengan cenderung menhisap debu.


Bau
Merupakan faktor kualitas udara yang penting. Bau dapat menjadi petunjuk
keberadaan suatu zat kimia berbahaya seperti Hydrogen Sulfida, Amonia, dll.
Selain itu bau juga dihasilkan oleh berbagai proses biologi oleh mikroorganisme.
Kondisi ruangan yang lembab dengan suhu tunggi dan aliran udara yang tenang
biasanya menebarkan bau kurang sedap karena proses pembusukan oleh

mikroorganisme.
Kualitas ventilasi
Ventilasi merupakan salah satu faktor yang penting dalam menyebabkan terjadi
SBS. Luas ventilasi ruangan yang kurang 10% menurut standard WHO atau
ventilation rate kurang dari 20 CFM OA memberikan risiko yang besar untuk
terjadinya gejala SBS. Ventilation rate yang baik untuk suatu gedung atau ruangan
adalah 25-50 CFM OA per penghuni. Ventilasi yang paling ideal untuk suatu
ruangan apabila ventilasi dalam keadaan bersih, luas memebuhi syarat, sering
dibuka, adanya cross ventilation sehingga tidak menyebabkan adanya dead space
dalam ruangan. Ketidakseimbangan antara ventilasi dan pencemaran udara
merupakan salah satu sebab terbesar gejala SBS. Ventilasi dalam lingkungan kerja
ditujukan untuk :
Mengatur kondisi kenyamanan ruangan.
Memperbaharui udara dengan pencemaran udaran ruangan pada batas

normal.
Menjaga kebersihan udara dari kontaminasi berbahaya.
Pencahayaan
Sistem pencahayaan ruangan terdiri dari dua macam, yaitu pencahayaan alami
( sinar matahari ) dan pencahayaan buatan ( lampu ). Faktor pencahayaan penting
berkaitan dengan perkembangbiakan mikroorganisme dalam ruangan. Sinar
matahari yang mengandung ultraviolet dapat membunuh kuman-kuman sehingga

pertumbuhan mikroorganisme terhambat.


Kualitas Kimia
Karbon dioksida ( CO2 )

Konsentrasi CO2 di dalam ruangan perlu dipertahankan pada kisaran 0,01% agar
menjamin kenyaman pekerja, keberadaan gas ini dalam ruangan biasanya berasal

dari tingginya kepadatan orang diruangan tersebut.


Karbon monoksida
Merupakan gas, tidak berbau dan dapat bercampur dengan udara pada berbagai
temperature. Sumber utama terbentuknya CO di udara adalah pembakaran tidak
sempurna bahan bakar minyak. Emisi gas CO dalam ruangan terakumulasi dari
pembakaran batu bara, gas, atau minyak untuk memasak, pemanas ruangan serta
asap rokok. Hal ini umumnya karena kondisi ventilasi ruangan kurang baik
sehingga tidak dapat mengalir keluar dengan baik. Namun dapat pula terjadi pada
gedung-gedung yang berada di daerah pencemaran gas CO tinggi dimana emisi
CO di dalam ruangan justru berasal dari luar ruangan.
Bagi kesehatan manusia tingginya konsentrasi CO berakibat fatal yaitu anemia,
gangguan sel darah, penyakit paru kronis, resiko pada kehamilan dan kelahiran

bayi.
Nitrogen oksida ( NOx )
Nitrogen Monoksida ( NO ) dan Nitrogen Dioksida ( NO 2 ) adalah polutan yang
paling banyak ditemukan dilingkungan luar ( outdoor ) biasanya merupakan
campuran sehingga sering disebut NOx ( Nitrogen Oksida ). NOx berasal dari
proses pembakaran suhu tinggi, berwarna orangen coklat kemerahan dan berbau
tajam, bersifat korosif dan merupakan oksidator yang kuat, dilingkungan gas ini
merupakan salah satu penyebab dari hujan asam.
Target organ NOx adalah sistem pernafasan dan sistem kardiovaskuler.
Dampaknya bagi kesehatan bersifat kronik dan secara khusus belum banyak
dilaporkan. Sumber polutan NOx didalam ruangan berasal dari proses

pembakaran rokok dan alat pemanas ruangan.


Asap rokok
Asap rokok merupakan sumber pencemar ruangan yang potensial. Bahaya asap
rokok tidak saja mengganggu kesehatan perokok tetapi juga orang-orang yang
bukan perokok/perokok pasif yang menghisap rokok secara tidak sengaja atau
bahkan yang tidak dikehendakinya, perokok pasif mempunyai risiko lebih besar
daripada perokok aktif. Penyakit-penyakit yang berhubungan dengan asap rokok
adalah penyakit-penyakit yang berhubungan dengan sistem pernafasan, sistem
sirkulasi darah, luka lambung, kanker pada bibir, lidah dan kandung kemih.

Kualitas Mikrobiologi
Keberadaan mikroorganisme dalam ruangan umumnya tidak berbahaya bagi
kesehatan manusia, namun bakteri, virus dan parasit kadang-kadang dapat
menimbulkan penyakit. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi potensi
mikroorganisme menimbulkan sakit yaitu tempat masuknya mikroorganisme,
jumlahnya cukup banyak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, dan
kemampuan berpindah kepada host yang baru. Potensi masih tergantung pula dari
patogenitas mikroba dan daya tahan tubuh host.
Mikroba seperti bakteri, fungi dan protozoa masuk melalui sistem ventilasi,
berkembang didalam gedung di karpet yang lembab, furniture, dan genangan air
pada sistem ventilasi. Bakteri dalam gedung datang dari sumber luar serta dapat
memberi pengaruh bagi manusia seperti saat bernafas, batuk, bersin. Selain itu,
bakteri juga didapati pada sistem cooling towers ( seperti Legionella ), bahan
bangunan dan furniture, wallpaper, dan karpet lantai. Kondisi demikan memicu
penurunan

kondisi

kesehatan

yang

dikenal

sebagai

humidifier

fever,

hipersensitivity pneumonitis, allergic rhinitis dan conjunctivitis terutama pada


orang-orang yang rentan.
2. Pajanan yang dialami
Insidens SBS masih tidak diketahui. Gejala tersebut sering menjadi masalah di gedung
seperti kantor, sekolah dan universitas. Ada beberapa faktor dikatakan merupakan
penyumbang kepada terjadinya perkembangan sindroma ini. Antaranya adalah:
Faktor fisik
Faktor kimiawi
Faktor biologis
Faktor fisiologis/ergonomic
Faktor psikologis
3. Hubungan pajanan dengan penyakit
Pajanan-pajanan fisik,kimia dan biologis seperti yang dijelaskan di nomor 2 yang ada di
dalam bangunan mengakibatkan timbulnya gejala Sick Building Syndrome. Pada kasus,
gejalanya kambuh walaupun sudah mendapat antibiotika dan beberapa orang di tempat
kerja mengalami hal yang serupa. Ini menunjukkan bahwa ada masalah di gedung tempat A
bekerja.
Pada kasus, A,waktu kerjanya melebihi jam kerja biasa dan ini mempengaruhi psikologis
pekerja, juga merupakan salah satu faktor penyebab SBS

Gambar 1 : Pajanan di dalam bangunan yang menimbulkan penyakit


4. Pajanan yang dialami cukup besar
A. Patofisiologi
Terdapat 3 hipotesis untuk menjelaskan gejala SBS antara lain hipotesis kimia, bahwa
volatile organic ( VOCs ) yang berasal dari perabot, karpet, cat serta debu, karbon
monoksida atau formaldehid yang terkandung dalam pewangi ruangan dapat
menginduksi respons reseptor iritasi terutama pada mata dan hidung. Iritasi saluran
napas menyebabkan asma dan rhinitis melalui interaksi radikal bebas sehingga terjadi
pengeluaran histamine, degradasi sel mast dan pengeluaran mediator inflamasi
menyebabkan bronkokonstriksi. Pergerakan silia menjadi lambat sehingga tidak dapat
membersihkan saluran napas, peningkatan produksi lendir akibat iritasi oleh bahan
pencemar, rusaknya sel pembunuh bakteri di saluran napas, membengkaknya saluran
napas dan merangsang pertumbuhan sel. Akibatnya terjadi kesulitan bernapas, sehingga
bakteri atau mikroorganisme lain tidak dapat dikeluarkan dan memudahkan terjadinya
infeksi saluran napas.
Hipotesis kedua adalah hipotesis bio-aerosol; penelitian cross sectional menunjukkan
bahwa individu yang mempunyai riwayat atopi akan memberikan reaksi terhadap VOCs
konsentrasi rendah dibandingkan individu tanpa atopi. Hipotesis ketiga adalah faktor
penjamu, yaitu kerentanan individu akan mempengaruhi timbulnya gejala. Stres karena
pekerjaan dan faktor psikososial juga mempengaruhi timbulnya gejala SBS.

Gambar 2 : Sumber polusi udara


B. Epidemiologi
National Institute of Occupational Safety and Health ( NIOSH ) tahun 1997
menyebutkan 52% penyakit pernapasan terkait dengan SBS akibat buruknya ventilasi
gedung dan kinerja air conditioner ( AC ) akibat jarang dibersihkan. Penelitian terhadap
350 karyawan dari 18 kantor di Jakarta selama 6 bulan ( Juli-Desember 2008 )
menunjukkan penurunan kesehatan pekerja dalam ruangan akibat udara ruangan
tercemar radikal bebas ( bahan kimia ), berasal dari dalam maupun luar ruangan dan
50% orang yang bekerja dalam gedung perkantoran cenderung mengalami SBS.
Penelitian Occupational Safety and Healthy Act ( OSHA ) mendapatkan dari 446
gedung, penyebab polusi udara dalam gedung karena bentilasi tidak adekuat ( 52% ),
alat/bahan dalam gedung ( 7% ), polusi luar gedung ( 11% ), mikroba ( 5% ), bahan
bangunan/alat kantor ( 3% ), dan tidak diketahui ( 12% ). Gejala yang tidak spesifik,
berupa nyeri kepala, iritasi membran mukosa, mata serta nasofaring, batuk, sesak,
rhinitis dan gejala lain tetapi bukan merupakan penyakit spesifik dan penyebabnya tidak
diketahui dengan jelas.
C. Etiologi
Lingkungan kerja perkantoran meliputi semua ruangan, halaman dan area sekelilingnya
yang merupakan bagian atau yang berhubungan dengan tempat kerja untuk kegiatan
perkantoran. Lingkungan kerja perkantoran biasanya disebut secara berbeda dari pabrik.
Fenomena SBS berkaitan dengan kondisi gedung, terutama rendahnya kualitas udara

ruangan. Berbagai bahan pencemar (kontaminan) dapat mengganggu lingkungan udara


dalam gedung (indoor air environment) melalui empat mekanisme utama, yaitu:
gangguan sistem kekebalan tubuh (imunologik )
terjadinya infeksi
bahan pencemar yang bersifat racun (toksik)
bahan pencemar yang mengiritasi dan menimbulkan gangguan kesehatan.
Gangguan sistem kekebalan tubuh dipengaruhi oleh konsumsi zat gizi. Konsumsi zat
gizi yang baik akan memperbaiki status gizi, sehingga meningkatkan ketahanan fisik
dan meningkatkan produktivitas kerja, di samping membantu mengurangi infeksi.
Sedangkan bahan kimia yang bersifat racun (toksik) lebih banyak diserap oleh orang
usia muda dan tua dibanding pada orang dewasa. Biasanya sulit untuk menemukan
suatu penyebab tunggal dari SBS. Menurut London Hazards Centre, penyebab utama
SBS adalah bahan kimia yang digunakan manusia, jamur pada sirkulasi udara serta
faktor fisik seperti kelembaban, suhu dan aliran udara dalam ruangan, sehingga semakin
lama orang tinggal dalam sebuah gedung yang sakit akan mudah menderita SBS.
Ventilasi yang tidak adekuat meliputi kurangnya udara segar yang masuk kedalam
ruangan gedung, distribusi udara yang tidak merata dan buruknya perawatan sarana
ventilasi.
Sedangkan menurut EPA, penyebab SBS sebagai berikut.
Ventilasi tidak cukup standar
Ventilasi pada sebuah gedung yaitu kira-kira 15 kaki berbentuk kubus sehingga
udara luar dapat masuk dan menyegarkan penghuni di dalamnya, terutama tidak
semata-mata untuk melemahkan dan memindahkan bau. Dengan ventilasi yang
tidak

cukup

standar,

maka

proses

pengaturan

suhu

tidak

secara

efektif mendistribusikan udara pada penghuni ruangan sehingga menjadi faktor

pemicutimbulnya SBS.
Zat pencemar kimia bersumber dari dalam ruangan polusi udara dalam ruangan
Bersumber dari dalam ruangan itu sendiri, seperti bahan pembersih karpet, mesin

fotokopi, tembakau dan termasuk formaldehid.


Zat pencemar kimia bersumber dari luar gedung
Udara luar yang masuk pada suatu bangunan bisa merupakan suatu sumber polusi
udara dalam gedung, seperti pengotor dari kendaraan bermotor, pipa ledeng
lubang angin dan semua bentuk partikel baik padat maupun cair yang dapat
masuk melalui lubang angin atau jendela dekat sumber polutan. Bahan-bahan

polutan yang mungkin ada dalam ruangan dapat berupa gas karbon monoksida,
nitrogendioksida dan berbagai bahan organik.
D. Gejala Klinis
Pada umumnya gejala dan gangguan SBS berupa penyakit yang tidak spesifik, tetapi
menunjukan pada standar tertentu, misal berapa kali seseorang dalam jangka waktu
tertentu menderita gangguan saluran pernafasan. Keluhan itu hanya dirasakan pada saat
bekerja digedung dan menghilang secara wajar pada akhir minggu atau hari libur,
keluhan tersebut lebih sering dan lebih bermasalah pada individu yang mengalami
perasaan stress, kurang diperhatikan dan kurang mampu dalam mengubah situasi
pekerjaannya.
Keluhan SBS antara lain sakit kepala, iritasi mata, iritasi hidung, iritasitenggorokan,
batuk kering, kulit kering atau iritasi kulit, kepala pusing, sukar berkonsentrasi, cepat
lelah atau letih dan sensitif terhadap bau dengan gejala yang tidak dikenali dan
kebanyakkan keluhan akan hilang setelah meninggalkan gedung. Tjandra Yoga
Aditama, membagi keluhan atau gejala dalam tujuh kategori sebagi berikut:
iritasi selaput lendir, seperti iritasi mata, pedih, merah dan berair
iritasi hidung, seperti iritasi tenggorokan, sakit menelan, gatal, bersin,

batuk kering
gangguan neurotoksik (gangguan saraf/gangguan kesehatan secara umum),seperti

sakit kepala, lemah, capai, mudah tersinggung, sulit berkonsentrasi


gangguan paru dan pernafasan, seperti batuk, nafas bunyi, sesak nafas, rasaberat

di dada
gangguan kulit, seperti kulit kering, kulit gatal
gangguan saluran cerna, seperti diare
gangguan lain-lain, seperti gangguan perilaku, gangguan saluran kencing, dll.
Orang dinyatakan menderita SBS apabila memiliki keluhan sejumlah kurang lebih 2/3
dari sekumpulan gejala seperti lesu, hidung tersumbat, kerongkongan kering, sakit
kepala, mata gatal-gatal, mata pedih, mata kering, pilek-pilek, mata tegang, pegal-pegal,
sakit leher atau punggung, dalam kurun waktu bersamaan. Untuk menegakkan adanya
SBS maka berbagai keluhan tersebut harus dirasakan oleh sekitar 20%-50% pengguna
suatu gedung, dan keluhan-keluhan tersebut biasanya menetap setidaknya dua minggu.
E. Diagnosa banding
Legionella pneumophila pertama kali ditemukan pada tahun 1976 dan selanjutnya
diidentifikasi sebagai penyebab dari beberapa wabah pneumonia terdahulu (penyakit
Legionnaire) dan penyakit serupa influenza (demam Pontiac). Lebih dari 30 spesies

Legionella lainnya telah diidentifikasi, 16 diantaranya dapat menyebabkan penyakit


pernafasan serupa yang disebut legionellosis. Legionella pneumophila sulit dibedakan
dengan penyebab lain pneumonia yang didapat dikomunitas. Beberapa hal berikut
menunjang penyakit Legionnaire:
Gejala berat menyerupai influenza (80%) dengan demam, kaku otot, mialgia, dan

nyeri kepala.
Adanya gejala ekstrapulmonal yang menonjol (35%), seperti diare, nyeri abdomen,

hematuria, dan konfusi.


Berkembangnya gejala dada seperti batuk kering dan dispnea. Hemoptisis, nyeri

dada, dan batuk produktif dapat terjadi kemudian.


Pada pemeriksaan fisik didapatkan toksisitas sistemik, bradikardia relatif, takipnea, dan
krepitasi pada auskultasi.
5. Peranan faktor individu
Faktor individu dari karywawan sendiri bisa mengakibatkan SBS. Misalnya status
kesehatan fisik seperti riwayat alergi, riwayat penyakit keluarga dan kebiasaan berolahraga
yang tidak baik berfungsi penting dalam perkembangan SBS. Di samping itu, keadaan
higienis dan status kesehatan mental yang rendah memburukkan lagi gejala SBS.
6. Faktor lain di luar pekerjaan
Faktor-faktor yang dimaksudkan adalah kebiasaan merokok, hobi, pajanan di rumah dan
pekerjaan sambilan. Kesemua hal tersebut mempunyai peranan masing-masing dalam
menentukan SBS ini.
Antaranya adalah kebiasaan merokok. Perokok pasif yang bekerja dengan karyawan yang
merokok mempunyai resiko yang tinggi untuk mendapat gejala SBS berbanding yang
bekerja dalam suasana tidak merokok. Puncak utama pendedahan kepada asap tembakau
adalah di tempat kerja. Menurut suatu kajian yang dilakukan, terdapat pengurangan dalam
kasus SBS apabila merokok dilarangan di tempat kerja.
7. Diagnosis Okupasi
Sick Building Syndrome(SBS) merupakan kumpulan gejala yang berbeda dari building
related illness. Gejala tersebut sering terjadi pada pasien asma. Secara keseluruhannya,
SBS merupakan suatu Penyakit Akibat Kerja(PAK) karena sumbernya dari tempat kerja.
Faktor-faktor seperti sistem ventilasi,faktor komponen kimiawi, biologis, fisiologis,
organisasi dan psikologis merupakan penyebab secara langsung atau tidak langsung
terjadinya SBS. Kesemua faktor tersebut saling berkaitan erat dalam kasus ini.
Health Risk Assesement

A. 5 Pajanan
1. Pajanan Fisik
Masalah yang paling umum di seluruh gedung adalah sistem ventilasi sentral yang
menjadi proporsi udara yang disirkulasi ulang di gedung tersebut. Ada teori yang
menyatakan bahwa sistem ventilasi yang di bawah standar normal menyebabkan
terbentuknya akumulasi segala kontaminan seperti komponen organik volatil, aldehida,
asap rokok, debu, kontaminan microbial.
Sistem ventilasi yang dipertingkatkan standarnya boleh mendilusi polutan. Simptom
dari sindroma tersebut meningkat jika kadar ventilasi rendah di mana kurang dari 10
liter/detik/orang. Kebanyakan polutan adalah dari tumbuhan. Eksperimen Chamber
menunjukkan bahwa gejala seperti tenggorokan yang kering dan kesulitan berfikir
berkurang insidensya dengan meningkatnya sistem ventilasi.
Selain itu, faktor suhu juga berperan pada kasus tersebut. Gejalanya bertambah buruk
dengan tingginya suhu di atas 23C dan ini diketahui dari hasil penelitian Eropa Utara.
Gejalanya merupakan kelelahan, sakit kepala dan kesulitan berfikir.
Diketahui bahwa kelembapan udara di sesuatu gedung menyumbangkan faktor kepada
masalah ini. Kelembapan yang tinggi boleh menyediakan tempat pertumbuhan untuk
mikroba. Kebanyakan mikroba tersebut bersifat iritan atau allergen misalnya
isothiozolinone, glutaraldehida, chloramine, chlorhexidine, benzalkonium chloride dan
chlorin. Keterlarutan zat tersebut dalam kelembapan udara di gedung boleh
mengakibatkan segala gejala SBS. Selain itu, pembuang kelembapan udara dan chillers
di bangunan bersistem AC juga mengumpulkan air dan tempat tersebut menjadi
reservoir bakteria.
2. Pajanan Kimiawi
Penggunaan pewangi ruangan merupakan salah satu penyebab polusi dalam ruang
karena pewangi ruangan tersebut akan memaparkan bermacam bahan yang serba
kimiawi. Ada yang bisa menyebabkan alergi, pusing, hingga mual. Dilaporkan bahwa
95% bahan kimia dalam pewangi adalah senyawa sintesis yang berasal dari petrokimia,
termasuk turunan benzene, aldehida dan banyak toksin serta agen pembuat peka lain.
Pajanan yang berulang-ulang akan memicu peningkatan sensitivitas dan reaksi yang

semakin kuat. Sensitivitas ke beragam bahan lain. Bahan-bahan ini dapat menimbulkan
berbagai masalah kesehatan, termasuk reaksi alergi, masalah pernapasan dan
sensitivitas. Pada pajanan berulang, bahan-bahan tersebut dapat menyebabkan keadaan
yang lebih serius, misalnya cacat lahir, gangguan saraf pusat, dan kanker. Selain itu,
juga penyemprot nyamuk, rokok, mesin fotokopi yang mengeluarkan ozon, penggunaan
berbagai desinfektan, hingga tanaman hidup yang tidak pernah dikeluarkan dari
ruangan. Tanaman yang jarang dikeluarkan dari ruangan juga kurang baik karena pada
malam hari tanaman mengeluarkan koarbondioksida dan mengkonsumsi oksigen.
Terlebih jika tanaman tersebut berada di dalam ruangan kantor yang jarang dibuka
ventilasi udara segarnya.
3. Pajanan Biologis
Pajanan biologis dapat disebabkan oleh kutu debu, jamur, bakter, serbuk sari tanaman,
dan organism lain. Terutama, perkantoran modern yang biasanya menggunakan
pendingin tanpa ventilasi alami. Pekerja dapat berisiko mengidap penyakit, diantaranya:
Humidifer fever, yaitu suatu penyakit yang disebabkan oleh organisme yang
menyebabkan sakit pada saluran pernapasan dan alergi. Organism ini biasanya

terdapat dan hidup pada air yang terdapat di sistem pendingin.


Legionnaire disease, penyakit ini juga berhubungan dengan sistem pendingin
dalam ruang namun disebabkan oleh spesifik bakteri terutama bakteri Legionella
pneumophilla. Penyakit ini terutama akan lebih berbahaya pada pekerja dengan
usia lanjut. Reaksi legionella memang sering tidak disertai gejala mencolok
bahkan seperti flu biasa. Paling-paling hanya demam, menggigil, pusing, batuk

berdahak, badan lemas, tulang ngilu dan hilangnya selera makan.


4. Pajanan Fisiologis/Ergonomis
Ventilasi udara merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan. Ventilasi udara yang
buruk dapat menyebabkan kurangnya udara segar yang masuk dan buruknya distribusi
udara yang ada. Ventilasi yang bersifat mekanik dengan proses pembersihan filter dan
penggantian yang jarang dilakukan juga dapat menjadi salah satu penyebab timbulnya
gejala iritasi. Peningkatan kecepatan ventilasi memang dapat melarutkan polutan yang
dikeluarkan dari pabrik, kantor, dan pekerjanya, tetapi efek buruknya juga dapat
menyebabkan peningkatan pajanan polutan. Terdapat penelitian yang menunjukkan
hubungan antara kecepatan ventilasi dengan peningkatan gejala SBS, meskipun studi
lainnya juga tidak berhasil membuktikannya. Efek buruk kecepatan ventilasi berupa

gejala-gejala pada kulit dan hidung dapat ditunjukkan pada gedung berventilasi mekanis
tanpa AC. Pemberian kontrol ventilasi individu dapat mengurangi gejala SBS pada
jangka waktu yang lama, kecuali jika terdapat debu udara dan spora fungi atau variasi
temperatur yang tidak nyaman.
5. Pajanan Psikologis atau Stress
Faktor psikososial atau stress juga ikut mempengaruhi terjadinya SBS pada seorang
pekerja. Menurut survey EPA dan Library of Congress, ditemukan bahwa faktor
psikologis seperti beban kerja yang tinggi dan ketidakpuasaan dapat meningkatkan ratarata gejala SBS.
B. Lingkungan Kantor
Konsep lingkungan kantor terbagi 2 yaitu lingkungan fisis yang terdiri dari faktor-faktor
fisis, kimia dan lingkungan sosial yang terdiri dari faktor organisasi, aturan dan norma;
keduanya berpengaruh pada kesehatan manusia. Lingkungan kantor merupakan kombinasi
antara penerangang, suhu, kelembaban, kualitas udara dan tata ruang. Hubungan antara
pekerja dengan lingkungan kantor dapat menimbulkan keluhan fisik ( objektif ) dan mental
( subjektif ). Sick building syndrome disebabkan multifaktorial termasuk faktor fisik,
kimia, biologis dan fisiologis. Jika faktor tersebut terpelihara dengan maka lingkungan
kantor menjadi tempat yang nyaman dan sehat untuk bekerja. Di beberapa kantor
pekerjanya dapat mengalami gangguan kesehatan karena ketidakimbangan lingkungan
kantor. Sistim pendingin merupakan penyebab terbanyak SBS karena tidak terjadi
pertukaran udara optimal dan menjadi sumber infeksi mikroorganisme serta menambah
kontaminasi tempat kerja. Melius ( 1984 ), Collet dan Sterling ( 1988 ) mendapatkan SBS
50-68% berhubungan dengan kondisi ventilasi buruk dan polusi udara.
Penatalaksanaan
Penatalaksaan terbaik adalah pencegahan dan atau menghilangkan sumber kontaminasi penyebab
SBS. Pasien dianjurkan menghindari gedung yang dapat menimbulkan keluhan meskipun tidak
selalu dapat terlaksana karena dapat menyebabkan kehilangan pekerjaan. Menghilangkan sumber
polutan, memperbaiki laju ventilasi dan distribusi udara, membuka jendela sebelum
menggunakan pendingin, menjaga kebersihan udara dalam gedung, pendidikan dan komunikasi
merupakan beberapa cara mengatasi SBS.
Penatalaksanaan untuk SBS ini dapat dibagikan kepada penatalaksanaan medikamentosa dan
nonmedikamentosa.

Medikamentosa: penatalaksanaan ditujukan untuk menghilangkan gejala serta bersifat


simptomatis.
NSAID: Aspirin, Asetaminofen
o Sebagai analgesic dan antipiretik
o Dosis dewasa: 300mg-1g/kali, maximum 4g/hari, Parasetamol tersedia sebagai
oabt tunggal dalam bentuk tablet 500mg.
Dekongestan:
o Dekongestan Sistemik, seperti pseudoefedrin, efedrin, dan fenilpropanolamin.
o diberikan secara oral.
Antitusif: untuk batuk yang non-produktif dan iritatif yang sehingga dapat mengganggu
tidur dan istirahat.
o Kodein
o dekstrometorfan HBr
o noskapin
o difenhidramin HCl
Anti-histamin
Pencegahan
Keluhan yang timbul pada penderita SBS biasanya dapat ditangani secara simtomatis asal diikuti
dengan upaya agar suasana lingkungan udara digedung tempat kerja menjadi lebih sehat. Yang
perlu mendapat perhatian utama tentu bagaimana pencegahan yang dapat dilakukan untuk
menghindari suatu gedung menjadi penyebab SBS. Ternyata upaya pencegahannya cukup luas,
menyangkut bagaimana gedung itu dibangun, bagaimana desain ruangan, bahan-bahan yang
digunakan di dalam gedung, perawatan alat-alat dan lain-lain.
Upaya pencegahan yang dapat dilakukan meliputi:
1. Umunnya penderita SBS akan sembuh apabila keluar dari dalam gedung tersebut,
gejala-gejala penyakitnya dapat disembuhkan dengan obat-obat simtomatis.
2. Upaya agar udara luar yang segar dapat masuk ke dalam gedung secara baik dan
terdistribusi secara merata ke semua bagian di dalam suatu gedung. Dalam hal ini perlu
diperhatikan agar lubang tempat masuknya udara luar tidak berdekatan dengan sumbersumber pencemar di luar gedung agar bahan pencemar tidak terhisap masuk ke dalam
gedung. Ventilasi dan sirkulasinya udara dalam gedung diatur sedemikian rupa agar
semua orang yang bekerja merasa segar, nyaman dan sehat, jumlah supply udara segar
sesuai dengan kebutuhan jumlah orang di dalam ruangan, demikian pula harus

diperhatikan jumlah supply udara segar yang cukup apabila ada penambahanpenambahan karyawan baru dalam jumlah signifikan.
3. Perlu pula diperhatikan pemilihan bahan-bahan bangunan dan bahan pembersih ruangan
yang tidak akan mencemari lingkungan udara di dalam gedung dan lebih ramah
lingkungan (green washing, non toxic, ecological friendly).
4. Penambahan batas-batas ruangan dan penambahan jumlah orang yang bekerja dalam
satu ruangan hendaknya dilakukan setelah memperhitungkan agar setiap bagian ruangan
dan individu mendapat ventilasi udara yang memadai.
5. Jangan hanya membuat sekat ruangan saja, dan jangan terus-menerus menambah jumlah
orang untuk bekerja dalam satu ruangan sehingga menjadi penuh sesak.
6. Alat-alat kantor yang mengakibatkan pencemaran udara, seperti mesin fotokopi,
diletakkan dalam ruangan terpisah.
7. Renovasi kantor dengan menggunakan bahan-bahan bangunan baru, cat baru, lem baru,
agar dipasang exhaust fan yang memadai agar pencemaran dari volatile organic
compounds (VOCs), terutama uap benzene dan formaldehyde yang berasal dari bahanbahan bangunan baru dapat segera dibuang.
Prognosis
Sick Building Syndrome memiliki prognosis yang baik, tergantung dari penanganan yang
dilakukan oleh individu, pihak perusahan dan tenaga medis.

Kesimpulan
1. Sick Building Syndrome merupakan kumpulan gejala yang akut pada pekerja di gedung
perkantoran dapat berupa nyeri kepala, batuk, sesak, iritasi kulit, membrane mukosa dan
gejala lain tetapi bukan merupakan penyakit spesifik dan penyebabnya tidak dapat
diidentifikasi dengan jelas.
2. Sick building syndrome terjadi karena buruknya kualitas udara dalam ruangan ( IAQ ).
3. Pengenalan SBS mencakup penilaian terhadap faktor individu dan lingkungan.
4. Pencegahan dan penatalaksanaan SBS bersifat komprehensif, melibatkan pekerja, manager
dan organisasi.
Saran
1. Kantor atau perusahaan harus mengupayakan agar udara dalam gedung tempat karyawan
bekerja ventilasi dan sirkulasi udaranya harus diatur sedemikian rupa agar semua orang

yang bekerja merasa segar, nyaman dan sehat, jumlah supply udara segar sesuai dengan
kebutuhan jumlah orang yang berada di dalam ruangan.
2. Meletakkan alat-alat kantor yang dapat mengakibatkan pencemaran udara dalam ruangan
terpisah, misalnya mesin fotocopy.
3. Pemeliharaan lingkungan kerja dengan baik, jangan menyalakan AC terus menerus,
sesekali AC dimatikan.
4. Saat pagi hari, matikan AC hingga pukul 10 pagi, biarkan udara dan sinar matahari pagi
masuk melalui jendela dan pintu. Untuk melancarkan sirkulasi udara dan membunuh
kuman di dalam ruangan.
5. Pastikan AC selalu dibersihkan secara rutin agar udara yang keluar dari AC benar-benar
bersih.
6. Minimalkan penggunaan pengharum ruangan atau pencuci karpet yang berbau tajma.
7. Optimalkan kebersihan ruangan dan meja kerja, selalu bersihkan jendela, lantai, meja
kerja, serta buang sampah pada tempatnya.
8. Letakkan tanaman hias dalam ruangan. Tanaman hias mampu mengurangi udara yang
tercemar dalam ruangan. Tanaman yang bisa dipilih yaitu bonsai beringin, palem-paleman
atau kaktus kecil.
9. Meningkatkan kadar oksidan pada karyawan agar kebal terhadap radikal bebas. Seperti
minum vitamin C, E, dan supleman lainnya secara rutin.

Daftar Pustaka
1. Jeyaratnam. J. Koh. D. Buku ajar praktik kedokteran kerja. Jakarta: EGC; 2010.h. 5-9
2. Handayani. Occupational Health and Safety. Pekanbaru: Universitas Riau, 2008.
3.

Anda mungkin juga menyukai