LEWITA YULITA
10-2010-222
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara no.6 Jakarta Barat 11470
Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731
Email:lewitayulita@yahoo.com
Pendahuluan
Tingkat partisipasi perempuan dalam dunia kerja, semakin meningkat. Dari data dan
informasi ketenagaan kerja yang diterbitkan oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
RI bahwa tahun 2005, terlihat dari 94.948.118 penduduk yang bekerja, 34.209.531 orang
(36,03% dari total penduduk bekerja) adalah perempuan. Dari jumlah tersebut, 15.391.373
orang (44,99% dari perempuan yang bekerja) sektor pertanian, disusul 8.219.881 orang
(24,03%) bekerja di sektor penjualan, dan 5.132.599 oarng (15,0%) bekerja di sektor
industri. Sebagian besar mereka melakukan pekerjaan bertujuan untuk menambah pendapatan
keluarga. Seperti yang diungkapkan oleh Setia (2003) bahwa keterlibatan perempuan
Indonesia dalam bekerja adalah bagian dari usaha untuk mengatasi masalah keuangan
keluarga. Dahulu, definisi sedikit sempit yaitu asma yang dipicu oleh sensitasi terhadap agen
yang terhirup waktu bekerja. Definisi yang lebih baru adalah suatu penyakit dengan ciri
keterbatasan aliran udara yang bervariasi dan atau saluran udara yang hiperesponsif akibat
penyebab dan keadaan yang dapat dihubungkan dengan lingkungan pekerjaan tertentu dan
tidak dengan rangsangan yang berasal dari luar tempat kerja.
I.
DIAGNOSIS KLINIS
A. Anamnesis
Identitas
Nama
: Ny. A
Alamat
: Cipinang
Usia
: 25 tahun
Status
: Menikah
Agama
: Islam
Pendidikan
Pekerjaan
: SD
: Pedagang sayuran keliling
Keluhan Utama
Sesak napas memberat 3 hari lalu sebelum masuk Rumah Sakit
Keluhan Tambahan
batuk dan rasa tidak nyaman di dada
Riwayat Penyakit Sekarang
Ny. A sesak napas sejak 7 hari lalu, disertai mengi pada pagi hari dan berkurang
saat istirahat, batuk berdahak berwarna putih, batuk pada malam hari (-).
Bertambah berat sejak 3 hari lalu, memiliki riwayat asma yang sering kambuh 2x
dalam sebulan. Berjaualan sayur keliling dari subuh hingga siang hari selama 4
tahun, menggunakan gerobak dorong. Mengkonsumsi OAT (-), kebiasaan
merokok (-)
Riwayat Penyakit Dahulu
Memiliki riwayat sesak napas sejak 8 tahun
Riwayat Penyakit Keluarga
Hipertensi (-), DM (-)
B. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum: Kompos mentis, tampak sakit berat
Tanda-tanda vital
TD
: 120/70 mmHg
Nadi
Pernapasan: 20 x/menit
Suhu
: 36,50 C
Status Gizi
TB
: 165 cm
BB
: 50 kg
IMT
: 18,3 kg/m
Lpe
: 52 cm
Palpasi
Perkusi
: sonor
C. Pemeriksaan Penunjang
Uji fungsi paru dengan spirometri atau peak flow meter. Diagnosis asma dapat
ditegakkan bila didapatkan: Variasi pada PFR (peak flow meter=arus puncak
ekspirasi) atau FEV1 (forced expiratory volume 1 second= volume ekspirasi paksa
pada detik pertama) 15%, Kenaikan 15% pada PFR atau FEV1 setelah pemberian
inhalasi bronkodilator, Penurunan 20% pada PFR atau FEV1 setelah provokasi
bronkus.
Gas darah arteri diindikasikan pada serangan berat dan bila saturasi oskigen turun
sampai <91%
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan
menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah
dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun. Foto rontgen dada,
hanya diindikasikan bila ada kecurigaan pneumothoraks, pneumonia atau komplikasi
lain
Sputum: dapat menemukan eosinofilia serta dapat mengkaji adanya bukti infeksi
bakteri
II.
Pajanan Fisik
Kondisi suhu panas dapt berakibatnya mulai dari yang ringan seperti
ketidaknyamanan dalam bekerja, sampai dengan kemungkinan gangguan kesadaran
berupa heat stroke. Gangguan yang paling sering adalah berupa gangguan kulit. Dapat
berupa miliaria yaitu kelainan kulit dengan gejala berbintik dan kemerahan di daerah
muka terutama kening, yang dikenal juga sebagai biang keringet. Gangguan lain
dapat berupa gejala kelelahan, kejang otot, dan juga kolik perut. Minum yang banyak
dan disertai tambahan garam sebagai pengganti cairan dan garam tubuh yang keluar
melalui keringat merupakan salah satu cara untuk mencegah gangguan kesehatan
yang timbul akibat panas.3
Pada kasus Ny. A pajanan fisik yang terjadi dapat merupakan kondisi panas
saat pasien berdagang. Suhu yang panas dapat mempengaruhi timbulnya sesak nafas
yang diakibatkan karna kelelahan.
Pajanan Ergonomi
Pekerjaan mengangkat dan membawa beban berat tidak hanya di kerjakan oleh
pekerja laki-laki, tetapi kegiatan ini juga umum dilakukan oleh perempuan dalam
kesehariannya. Gangguan kesehatan yang umum dijumpai pada perempuan akibat
faktor ergonomi ini adalah nyeri punggung dan nyeri pinggang. Masalah kesehatan
ini dapat terasa segera dan sembuh segera. Tetapi tidak jarang berlangsung sampai
berbulan-bulan atau menahun. Gangguan nyeri punggung dan pinggang yang berat
dapat menyebabkan nyeri hebat akibat penjepitan pada syaraf yang ada di tulang
belakangnya. Bahkan keadaan ini dapat menyebabkan kelumpuhan.
Beban berat juga dapat menyebabkan terjadinya keguguran pada perempuan
usia muda. Keluhan turun rahim (prolapsus uteri) dapat terjadi akibat mengangkat
beban berat. Sering terjadi pada perempuan setengah baya atau sudah sering
melahirkan. Gangguan kesehatan tersebut dapat dicegah dengan cara mengangakat
dan membawa beban secara benar. 3
Pada kasus Ny. A pajanan ergonomi dapat terjadi karena pekerjaannya ialah
mendorong gerobak sayurnya, posisi yang tidak tepat saat melakukan aktivitas dapat
menimbulkan keluhan kesehatan pada pasien.
Faktor Biologis
Tergolong pada faktor resiko biologis adalah bahaya potensial kesehatan yang
berasal dari bakteri, virus, jamur, dan parasit termasuk cacing. Pada perempuan yang
berkerja di perkebunan dan pertanian, terkena faktor resiko biologis ini lebih besar.
Jenis virus aflatoksin yang terdapat pada biji-bijian dan kacang-kacangan merupakan
penyebab gangguan hati yang dapat terlanjut menjadi kanker hati.
Bekerja tanpa alat pelindung seperti sepatu dan sarung tangan di bidang
pertanian dan perkebunan, memperbesar resiko terkena parasit cacing. Kontak dapat
terjadi melalui kulit maupun penyebaran telurnya yang tertelan. Jamur banyak
menyebabkan gangguan kulit. Iklim panas dan lembab di Indonesia, sangat
menunjang penyebaran penyakit jamur kulit. Terlebih lagi pada mereka dengan
kebersihan diri yang tidak terjaga dengan baik. 3
Pada kasus Ny. A pajanan biologis yang mungkin bisa terjadi ialah penyakit
jamur dikulit akibat lembabnya kulit yang terpajanan dengan suhu panas dan disertai
kurangnya tingkat kebersihan pasien.
Pajanan Psikologis.
Faktor resiko psikologis di tempat kerja terkait dengan beban kerja baik secara
kualitatif maupun kuantitatif. Selain itu sumber stress dapat juga terkait dengan tidak
jelasnya peran dan tanggung jawab, serta pengembangan karir. Berdasarkan hubungan
dengan orang disekitar kerja, sumber stress dapat juga terkait dengan hubungan atasan
dengan bawahan, ataupun sesama teman sekerja. Stress yang berkepanjangan dan
tidak dapat di atasi akan berkembang menjadi distress dan menimbulkan gangguan
kesehatan mental. Gejala gangguan mental inki dapat di awali dengan adanya
perubahan perilaku, seperti merokok, dan minum alkoholyang semula tidak
dilakukan. Dapat juga terlihat seperti mudah tersinggung, sedih, dan mungkin agresif
seperti pemarah. Terjadinya gangguan kesehatan ini sangat tergantung dengan ketidak
mampuan koping dan penyesuaian terhadap masalah yang dihadapi. Inipun
dipengaruhi oleh faktor individual lainnya seperti faktor genetik, usia, pendidikan,
agama, dan tipe kepribadian. 3
Pada kasus Ny. A pajanan psikologis yang mungkin bisa terjadi ialah stress
akibat tingginya tingkat kebutuhan yang harus tercukupi, sehingga pasien turut
bekerja untuk membantu mencukupi kebutuhan tersebut.
8
III.
IV.
kasur, pasar
tradisional,
mikron
hinggap
dipermukaan
alveoli/selaput
lendir
sehingga
menyebabkanvibrosis paru
0,1-0,5 mikron melayang dipermukaan alveoli. Menurut WHO 1996 ukuran debu
partikel yang membahayakan adalah berukuran 0,1 5 atau 10 mikron. Depkes
mengisaratkan bahwa ukuran debu yang membahayakan berkisar 0,1 sampai 10
mikron.
Posisi ergonomis untuk mengangkat beban
Jenis kelamin seseorang juga dapat mempengaruhi kegiatan mengangkat dan
mengangkut. Cara mengangkat dan mengangkut yang baik harus memenuhi 2 prinsip
kinetis, yaitu :
Beban diusahakan menekan pada otot tungkai yang kuat dan sebanyak mungkin otot
tulang yang lemah dibebaskan dari pembebanan.
Momentum gerak badan dimanfaatkan untuk mengawali gerakan.
Untuk menerapkan kedua prinsip kinetis itu setiap kegiatan mengangkat dan mengangkut
harus dilakukan sebagai berikut :
1. Pegangan harus tepat. Memegang diusahakan dengan tangan penuh dan memegang
dengan hanya beberapa jari yang dapat menyebabkan ketegangan statis lokal pada jari
tersebut harus dihindarkan.
2.Lengan harus sedekat-dekatnya pada badan dan dalam posisi lurus. Fleksi pada
lengan untuk mengangkut dan mengangkat menyebabkan ketegangan otot statis
yang melelahkan.
3.Punggung harus diluruskan.
4.Dagu ditarik segera setelah kepala bisa ditegakkan lagi seperti pada permulaan
gerakan.
5.Dengan posisi kepala dan dagu yang tepat, seluruh tulang belakang diluruskan.
6. Posisi kaki dibuat sedemikian rupa sehingga mampu untuk mengimbangi
momentum yang terjadi dalam posisi mengangkat. Satu kaki ditempatkan ke arah
jurusan gerakan yang dituju, kaki kedua ditempatkan sedemikian rupa sehingga
membantu mendorong tubuh pada gerakan pertama.
10
7. Berat badan dimanfaatkan untuk menarik dan mendorong, serta gaya untuk gerakan
dan perimbangan.
8. Beban diusahakan berada sedekat mungkin terhadap garis vertikal yang melalui
pusat gravitasi tubuh.
Suhu
Manusia selalu berusaha mempertahankan keadaan normal tubuh dengan
sistem tubuh yang sangat sempurna sehingga dapat menyesuaikan dengan perubahan
yang
terjadi
diluar
tubuhnya.
Tubuh
manusia
menyesuaikan
diri
karena
V.
VI.
VII.
Keluhan yang terjadi pada pasien termasuk dalam penyakit asma yang diperberat
pajanan ditempat kerja.
PENATALAKSANAAN
Terapi Medika Mentosa
Target pengobatan asma meliputi beberapa hal, di antaranya adalah menjaga saturasi oksigen
arteri tetap adekuat dengan oksigenasi, membebaskan obstruksi saluran pernapasan dengan
pemberian bronkodilatator inhlasi kerja cepat (2-agonis dan anti kolinergik) dan mengurangi
inflamasi saluran pernapasan serta mencegah kekambuhan dengan pemberian kortikosteroid
sistemik yang lebih awal.
Oksigen
Karena kondisi hipoksemia dihasilkan oleh ketidakseimbangan V/Q, hal ini biasanya dapat
terkoreksi dengan pemberian oksigen 1-3 L/menit dengan kanul nasal atau masker. Meskipun
demikian,
penggunaan
oksigen
dengan
aliran
cepat
tidak
membahayakan
dan
direkomendasikan pada semua pasien dengan asma akut. Target pemberian oksigen ini adalah
dapat mempertahankan SpO2 pada kisaran lebih dari 92%.
2 agonis
Inhalasi 2 agonis kerja pendek merupakan obat pilihan untuk pengobatan asma akut. Onset
aksi obat tadi cepat dan efek sampingnya bisa ditoleransi. Salbutamol merupakan obat yang
banyak dipakai di instalasi gawat darurat (IGD). Onset aksi obat ini sekitar 5 menit dengan
lama aksi sekitar 6 jam. Obat lain yang juga sering digunakan adalah metaproterenol,
terbutalin dan fenoterol. Obat dengan aksi kerja panjang tidak direkomendasikan, untuk
pengobatan kegawatdaruratan. Levalbuterol mempunyai efiksasi yang lebih baik dan lebih
toksik yang minimal dibandingkan dengan albuterol racemik.
Pemberian ephineprin sub kutan jarang dilakukan oleh karena memicu timbulnya efek
samping pada jantung. Obat ini hanya berfungsi sebagai cadangan saat pasien tidak
mendapatkan keuntungan dengan pemakaian obat secara inhalasi.
Antikolinergik
asma akut. Kombinasi pemberian IB dan 2 agonis diindikasikan sebagai terapi pertama
pada pasien dewasa dengan eksaserbasi asma berat. Dosis 4x semprot (80mg) tiap 10 menit
dengan MDI atau 500 mg setiap 20 menit dengan nebulizer akan lebih efektif.
Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid secara sistemik harus diberikan pada penatalaksanaan kecuali kalau
derajat eksaserbasinya ringan. Agen ini tidak bersifat bronkodilatator tetapi secara ekstrem
sangat efektif menurunkan inflamasi pada saluran napas. Pemberian hidrokortison 800mg
atau 160 mg metilprednisolon dalam 4 dosis terbagi setiap harinya, umumnya sudah
memberikan efek yang adekuat pada kebanyakan pasien.
Teofilin
Penggunaan teofilin sebagai obat monoterapi, efektivitasnya tidak sebaik obat golongan 2
agonis. Pemberian aminophilin dikombinasi dengan 2 agonis per inhalasi, tidak
memberikan manfaat yang bermakna. Pemberian obat ini malah akan meningkatkan efek
samping seperti tremor, mual, cemas dan taki aritmia. Berdasarkan beberapa hasil penelitian
akhirnya dibuat kesepakatan dan keputusan untuk tidak merekomendasikan pemberian
teofilin secara rutin untuk pengobatan asma akut. Obat ini boleh digunakan hanya jika pasien
tidak respon dengan terapi standar. Pada kasus ini pemberian loading doses 6mg/ kg dan
diberikan dalam waktu >30 menit dilanjutkan secara per infus dengan dosis 0,5 mg/kg BB/
jam. Kadar teofilin dalam darah yang direkomendasikan berkisar antara 8-12 mg/ml.
Magnesium sulfat
Penggunaan obat ini untuk asma akut pertama kali dilaporkan oleh dokter negara Uruguay
pada tahun 1936. Mekanisme obat ini kemungkinan melalui hambatan kontraksi otot polos
akibat kanal kalsium terblokir oleh magnesium. Obat ini murah dan aman. Dosis yang biasa
diberikan 1,2 2g intravena, diberikan dalam waktu > 20menit. Dari hasil penelitian secara
meta analisis, pemberian obat ini pada pasien asma akut tidak dianjurkan untuk diberikan
secara rutin. Pemberian obat ini secara per inhalasi tidak memberikan efek yang bermakna.
Penelitian akhir melaporkan bahwa pemberian magnesium sulfat secara intravena hanya akan
memperbaiki fungsi paru jika diberikan sebagai obat tambahan pada obat yang telah
ditentukan sebagai standar terapi (nebulizer 2 agonis dan kortikosteroid intravena) pada
pasien dengan FEV < 20% prediksi.
Antagonis Leukotrin
Ada beberapa penelitian yang dilakukan untuk menguji efektivitas penggunaan obat ini. Pada
suatu penelitian, pemberian dua macam obat zafirlukast secara oral (20 mg dan 160 mg) pada
13
pasien asma akut yang datang ke IGD, memperlihatkan adanya perbaikan fungsi paru dan
skor sesak napasnya menjadi berkurang. Pada pasien asma akut refrakter yang sudah
mendapatkan terapi 2 agonis, pemberian montelukast intra vena akan meningkatkan FEV
secara cepat meskipun perubahannya hanya sedikit bila dibandingkan dengan placebo.4
Terapi Non Medika Mentosa
Apabila pekerja bekerja di suhu yang panas maka perlu dilakukan pengaturan dan
pengawasan suhu udara di lingkungan kerja serta aklimatisasi sebelum bekerja. Lalu perlu
juga dilakukan penyuluhan sebelum bekerja serta beban kerja yang seimbang. Alat pelindung
diri juga dapat digunakan serta kebersihan lingkungan harus dijaga. Pekerja perlu juga
menghindari faktor pencetus dan diusahakan untuk tidak merokok. 5
Terapi okupasi
Saat diagnosis kasus telah ditegakkan, pasien harus dipindahkan secara permanen dari
tempat pajanan terhadap bahan penyebab spesifik tersebut. Ia harus diberitahu penyebab
asma yang dideritanya dan hal yang harus dihindari selanjutnya, termasuk tempat pekerjaan
lain yang dapat memberikan pajanan terhadap bahan yang sama. Asma yang dideritanya
harus diobati secara medis sesuai dengan protokol yang ada dan ia harus diberitahu bahwa
gejala asma tersebut bisa bertahan untuk sementara waktu walaupun sesudah ia dipindahkan.
Kira-kira 50% kasus gejala masih terus bertahan walaupun sudah berhenti terpajan.
Penegakkan diagnosis secara dini dan pemindahan pasien dari pajanan lebih lanjut penting
untuk dilakukan.
PENCEGAHAN
Penerapan konsep lima tingkatan pencegahan pernyakit pada penyakit akibat kerja :
Peningkatan
kesehatan
(health
promotion).
Misalnya:
pendidikan
kesehatan,
meningkatkan gizi yang baik, pengembangan kepribadian, perusahaan yang sehat dan
memadai, rekreasi lingkungan kerja yang memadai, penyuluhan perkawinan dan
pendidikan seksual, konsultasi tentang keturunan dan pemeriksaan kesehatan periodik.
14
Diagnosis (deteksi) dini dan pengobatan tepat (early diagnosis and promt treatment).
Misalnya: diagnosis dinisetiap keluhan dan pengobatan segera serta pembatasan titiktitik lemah untuk mencegah terjadinya komplikasi.
Mencegah Sensititasi
Cara-cara mencegah asma berupa pencegahan sensitisasi alergi (terjadinya atopi, diduga
paling relevan pada masa prenatal dan perinatal) atau pencegahan terjadinya asma pada
individu yang disensitisasi. Selain menghindari pajanan dan asap rokok, baik in utero
atau setelah lahir, tidak ada bukti intervensi yang dapat mencegah perkembangan asma.
Hipotesis higiene untuk mengarahkan sistem imun bayi kearah Th1. Respon non alergi
atau modulasi sel T regulator masih merupakan hipotesis.5
Mencegah Eksaserbasi
Eksaserbasi asma dapat ditimbulkan berbagai faktor (trigger) seperti alergen (indoor
seperti tungau debu rumah hewan berbulu, kecoa, dan jamur, alergen outdoor seperti
polen, jamur, infeksi virus, polutan dan obat. Mengurangi pajanan penderita dengan
beberapa faktor seperti menghentikan merokok, menghindari asap rokok, lingkungan
kerja, makanan, aditif, obat yang menimbulkan gejala dapat memperbaiki kontrol asma
serta keperluan obat. Tetapi biasanya penderita bereaksi terhadap banyak faktor
15
lingkungan sehingga usaha menghindari alergen sulit untuk dilakukan. Hal-hal lain
yang harus pula dihindari adalah polutan indoor dan outdoor, makanan dan aditif,
obesitas, emosi-stres dan berbagai faktor lainnya.5
Prognosis
Asma harus di tangani dengan baik karena dengan penanganan yang baik, asma
bronkial ini dapat dikendalikan. Tetapi jika penanganannya buruk, maka akan
menghasilkan prognosis yang buruk.
Kesimpulan
Dari hasil pembahasan gejala yang dialami oleh Ny.A berupa Sesak napas, Batuk, dan adanya
mengi saat bekerja merupakan penyakit asma yang diperberat akibat kerja.
Daftar Pustaka
1. Jeyaratnam J. Buku ajar praktik kedokteran kerja. Jakarta: EGC; 2009. h.77-92
2. Djojodibroto RD. Respiratologi. Jakarta: EGC; 2009.h. 200-1
3. Mansyur M. Risiko kesehatan perempuan di tempat kerja, dalam buku: bunga rampai
masalah kesehatan dari dalam kandungan sampai lanjut usia. Jakarta: balai penerbit
fakultas kedokteran universitas Indonesia. 2007.h. 109-119, 133-135.
4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S. Pusat penerbitan
departemen ilmu penyakit dalam. Jilid II. Jakarta: fakultas kedokteran universitas
Indonesia; 2009. h. 2495-506
5. Effendy N. Dasar-dasar keperawatan kesehatan masyarakat. Edisi 2. Jakarta: EGC;
1998. h.122-132
16