Pendahuluan
Setiap manusia membutuhkan pekerjaan untuk mendapatkan pendapatan, yang nantinya
digunakan dalam pemenuhan kebutuhan mereka.Pekerjaan yang dilakukan dengan cara yang
kurang benar dan di lingkungan yang tidak terkendali akan menyebabkan banyaknya pajanan
yang diterima oleh seorang pekerja. Pajanan, atau yang juga dikenal dengan hazards, dengan
masa pajanan yang panjang akan menimbulkan jumlah total pajanan yang diterima pekerja
menjadi besar, dapat menimbulkan gangguan kesehatan.
Penyakit Akibat Kerja (PAK) adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan, alat
kerja, bahan, proses maupun lingkungan kerja ( faktor fisik, faktor kimia, faktor biologis,
faktor fisiologis atau ergonomi, faktor psikologis ), oleh karena itu penyakit akibat kerja
merupakan penyakit artefisial atau sering disebut manmade diseases. Upaya dalam mencegah
timbul PAK yang disebabkan oleh pekerjaan maka perlu adanya penerapan keselamatan dan
kesehatan kerja atau biasa disebut K3 agar para pekerja merasa nyaman saat sedang bekerja
dan dapat terhindar dari PAK.
Penyakita paru yang disebabkan oleh pajanan hazard di tempat kerja telah membawa
dampak yang besar terhadap kesehatan pekerja. Sistem pernapasan merupakan jalur masuk
toksikan yang utama, karena permukaannya yang tinggi dan epitel alveol yang sangat tipis.
Pekerja terpajan melalui inhalasi udara di tempat kerja, maka bila faktor risiko ini tidak
dikendalikan, PAK Paru dapat timbul dengan gejala yang bervariasi yaitu ringan hanya dari
batuk-batuk sampai sesak tidak dapat bernafas dengan segala konsekuensinya; pekerja
mungkin jatuh sakit, cacat, bahkan sampai meninggal dunia dan mengakibatkan perusahaan
merugi akibat produktivitas pekerja menurun bahkan kehilangan pekerja yang handal.
Diagnosa Okupasi
Untuk dapat mendiagnosis Penyakit Akibat Kerja pada individu perlu dilakukan suatu
pendekatan sistematis untuk mendapatkan informasi yang diperlukan dan
menginterpretasinya secara tepat. Pendekatan tersebut dapat disusun menjadi 7 langkah yang
dapat digunakan sebagai pedoman:
1. Tentukan diagnosis klinisnya
Diagnosis klinis harus dapat ditegakkan terlebih dahulu dengan memanfaatkan fasilitas-
fasilitas penunjang yang ada, seperti umumnya dilakukan untuk mendiagnosis suatu penyakit.
Setelah diagnosis klinik ditegakkan kemudian dipikirkan lebih lanjut apakah penyakit
tersebut berhubungan dengan pekerjaan atau tidak.
2. Tentukan pajanan yang dialami oleh tenaga kerja selama ini
Pengetahuan mengenai pajanan yang dialami oleh seorang tenaga kerja adalah esensial untuk
dapat menghubungkan suatu penyakit dengan pekerjaannya. Untuk ini perlu dilakukan
anamnesis mengenai riwayat pekerjaannya secara cermat dan teliti, yang mencakup:
a. Penjelasan mengenai semua pekerjaan yang telah dilakukan oleh penderita secara
kronologis
e. Jumlah pajanannya
h. Informasi mengenai tenaga kerja lain (apakah ada yang mengalami gejala serupa)
i. Informasi tertulis yang ada mengenai bahan-bahan yang digunakan (MSDS, label, dan
sebagainya)
Patogenesis
Faktor utama yang berperan pada patogenesis pneumokoniosis adalah partikel debu
dan respons tubuh khususnya saluran napas terhadap partikel debu tersebut. Komposisi
kimia, sifat fisis, dosis dan lama pajanan menentukan dapat atau mudah tidaknya terjadi
pneumokoniosis. Patogenesis pneumokoniosis dimulai dari respons makrofag alveolar
terhadap debu yang masuk ke unit respirasi paru. Terjadi fagositosis debu oleh makrofag dan
proses selanjutnya sangat tergantung pada sifat toksisitas partikel debu.
Reaksi jaringan terhadap debu bervariasi menurut aktivitas biologi debu. Jika pajanan
terhadap debu anorganik cukup lama maka timbul reaksi inflamasi awal. Gambaran utama
inflamasi ini adalah pengumpulan sel di saluran napas bawah. Alveolitis dapat melibatkan
bronkiolus bahkan saluran napas besar karena dapat menimbulkan luka dan fibrosis pada unit
alveolar yang secara klinis tidak diketahui. Sebagian debu seperti debu batubara tampak
relatif inert dan menumpuk dalam jumlah relatif banyak di paru dengan reaksi jaringan yang
minimal. Debu inert akan tetap berada di makrofag sampai terjadi kematian oleh makrofag
karena umurnya, selanjutnya debu akan keluar dan difagositosis lagi oleh makrofag lainnya,
makrofag dengan debu di dalamnya dapat bermigrasi ke jaringan limfoid atau ke bronkiolus
dan dikeluarkan melalui saluran napas. Pada debu yang bersifat sitoktoksik, partikel debu
yang difagositosis makrofag akan menyebabkan kehancuran makrofag tersebut yang diikuti
dengan fibrositosis.
Partikel debu akan merangsang makrofag alveolar untuk mengeluarkan produk yang
merupakan mediator suatu respons peradangan dan memulai proses proliferasi fibroblast dan
deposisi kolagen. Mediator yang paling banyak berperan pada patogenesis pneumokoniosis
adalah Tumor Necrosis Factor (TNF)-α, Interleukin (IL)-6, IL-8, platelet derived growth
factor dan transforming growth factor (TGF)-β. Sebagian besar mediator tersebut sangat
penting untuk proses fibrogenesis. Mediator makrofag penting yang bertanggung jawab
terhadap kerusakan jaringan.
Sitokin yang dihasilkan oleh makrofag alveolar dalam merespon partikel debu yang
masuk ke paru yang selanjutnya menyebabkan fibrosis pada jaringan interstitial paru. Sitokin
ini terdiri atas faktor fibrogenesis seperti TNF-α, PDGF, IGF-1 dan fibronektin serta faktor
proinflamasi seperti LBT4, IL-8, IL-6, MIP1a. Disamping proses fagositosis debu oleh
makrofag alveolar, yang lebih penting adalah interstisialisasi partikel debu tersebut. Bila
partikel debu telah difagositosis oleh makrofag dan ditransfer ke sistem mukosilier maka
proses pembersihan debu yang masuk dalam saluran napas dikategorikan berhasil. Hilangnya
integritas epitel akibat mediator inflamasi yang dilepaskan makrofag alveolar merupakan
kejadian awal proses fibrogenesis di interstitial paru. Bila partikel debu telah masuk dalam
interstitial maka nasibnya ditentukan oleh makrofag interstitial, difagositosis untuk kemudian
di transfer ke kelenjar getah bening mediastinum atau terjadi sekresi me diator inflamasi
kronik pada interstitial. Sitokin yang dilepaskan di interstitial seperti PDGF, TGF, TNF, IL-1
menyebabkan proliferasi fibroblas dan terjadilah pneumokoniosis.
Silikosis
Silikosis adalah penyakit yang paling penting dari golongan penyakit paru akibat
kerja. Penyebabnya adalah silika bebas (SiO2) yang terdapat dalam debu yang dihirup waktu
bernafas dan ditimbun dalam paru paru dengan masa inkubasi 2-4 tahun. Debu silika bebas
ini banyak terdapat di pabrik besi dan baja, keramik, pengecoran beton, bengkel yang
mengerjakan besi (mengikir, menggerinda, dll). Selain dari itu, debu silika juka banyak
terdapat di tempat di tempat penampang bijih besi, timah putih dan tambang batubara.
Pemakaian batubara sebagai bahan bakar juga banyak menghasilkan debu silika bebas SiO2.
Pada saat dibakar, debu silika akan keluar dan terdispersi ke udara bersama –sama dengan
partikel lainnya, seperti debu alumina, oksida besi dan karbon dalam bentuk abu.
Debu silika yang masuk ke dalam paru-paru akan mengalami masa inkubasi sekitar 2
sampai 4 tahun. Masa inkubasi ini akan lebih pendek, atau gejala penyakit silicosis akan
segera tampak, apabila konsentrasi silika di udara cukup tinggi dan terhisap ke paru-paru
dalam jumlah banyak. Penyakit silicosis ditandai dengan sesak nafas yang disertai batuk-
batuk. Batuk ini seringkali tidak disertai dengan dahak. Bila penyakit silicosis sudah berat
maka sesak nafas akan semakin parah dan kemudian diikuti dengan hipertropi jantung
sebelah kanan yang akan mengakibatkan kegagalan kerja jantung. Tempat kerja yang
potensial untuk tercemari oleh debu silika perlu mendapatkan pengawasan keselamatan dan
kesehatan kerja dan lingkungan yang ketat sebab penyakit silicosis ini belum ada obatnya
yang tepat. Tindakan preventif lebih penting dan berarti dibandingkan dengan tindakan
pengobatannya. Penyakit silicosis akan lebih buruk kalau penderita sebelumnya juga sudah
menderita penyakit TBC paru-paru, bronchitis, astma bronchiale dan penyakit saluran
pernapasan lainnya.
1. Silikosis kronis simplek, terjadi akibat pemaparan sejumlah kecil debu silika dalam
jangka panjang (lebih dari 20 tahun).
Nodul-nodul peradangan kronis dan jaringan parut akibat silika terbentuk di paru-paru
dan kelenjar getah bening dada.
2. Silikosis akselerata, terjadi setelah terpapar oleh sejumlah silika yang lebih banyak
selama waktu yang lebih pendek (4-8 tahun).
Peradangan, pembentukan jaringan parut dan gejala-gejalanya terjadi lebih cepat.
3. Silikosis akut, terjadi akibat pemaparan silikosis dalam jumlah yang sangat besar,
dalam waktu yang lebih pendek.
Paru-paru sangat meradang dan terisi oleh cairan, sehingga timbul sesak nafas yang
hebat dan kadar oksigen darah yang rendah.
Komplikasi
Penyakit silikosis jika tidak ditangani dengan baik dapat menimbulkan komplikasi
yaitu Infeksi mikobakteria = siliko tuberkulosis
Komplikasi ginjal
Pnemotoraks
Pengobatan
Tidak ada pengobatan khusus untuk silikosis. Untuk mencegah semakin memburuknya
penyakit, sangat penting untuk menghilangkan sumber pemaparan. Terapi suportif terdiri dari
obat penekan batuk, bronkodilator dan oksigen. Jika terjadi infeksi, bisa diberikan antibiotik.
Penderita silikosis memiliki resiko tinggi menderita Tuberkulosis (TBC), sehingga dianjurkan
untuk menjalani tes kulit secara rutin setiap tahun. Silika diduga mempengaruhi sistem
kekebalan tubuh terhadap bakteri penyebab TBC. Jika hasilnya positif, diberikan obat anti
TBC.
Pencegahan
Pencegahan merupakan tindakan yang paling penting. Regulasi dalam pekerjaan dan kontrol
pajanan debu telah dilakukan sejak lama terutama di negara industri dan terus dilakukan
dengan perbaikan-perbaikan. Pada bentuk pneumokoniosis sub akut dengan manfaat yang
didapat untuk efek jangka panjangnya terutama jika bahan penyebab masih ada di paru.
Pencegahan dapat dilakukan dengan:
Penggunaan air
Mengontrol kadar debu (<NAB)
Ventilasi yang baik
Penggunaan masker
Tuberculosis
Hasil pemeriksaan dinyatakan positif bila sekurang-kurang 2 dari 3 spesimen dahak SPS
hasilnya positif. Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut
yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang. Bila hasil rontgen mendukung
TBC, maka penderita didiagnosis menderita TBC BTA positif, namun bila hasil rontgen tidak
mendukung TBC, maka pemeriksaan dahak SPS diulangi. Apabila fasilitas memungkinkan,
maka dapat dilakukan pemeriksaan biakan/kultur. Pemeriksaan biakan/kultur memerlukan
waktu yang cukup lama serta tidak semua unit pelaksana memilikinya, sehingga jarang
dilakukan.
Pengobatan
Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi
kuman terhadap OAT. Mikobakteri merupakan kuman tahan asam yang sifatnya berbeda
dengan kuman lain karena tumbuhnya sangat lambat dan cepat sekali timbul resistensi bila
terpajan dengan satu obat.
Umumnya antibiotika bekerja lebih aktif terhadap kuman yang cepat membelah
dibandingkan dengan kuman yang lambat membelah. Sifat lambat membelahyang dimiliki
mikobakteri merupakan salah satu faktor yang menyebabkan perkembangan penemuan obat
antimikobakteri baru jauh lebih sulit dan lambat dibandingkan antibakteri lain.
Pengobatan Tb paru pada orang dewasa di bagi dalam beberapa kategori yaitu:
Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3
Selama 2 bulan minum obat INH, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol
setiap hari (tahap intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum obat INH dan
rifampisin tiga kali dalam seminggu (tahap lanjutan). Diberikan kepada:
a. Penderita baru TBC paru BTA positif.
b. Penderita TBC ekstra paru (TBC di luar paru-paru) berat.
Kategori 2 : HRZE/5H3R3E3
Diberikan kepada :
a. Penderita kambuh.
b. Penderita gagal terapi.
c. Penderita dengan pengobatan setelah lalai minum obat.
3. Kategori 3 : 2HRZ/4H3R3
Diberikan kepada penderita BTA (+) dan rontgen paru mendukung
aktif
4. Kategori 4: RHZES
Diber ikan pada kasus Tb kronik .
Epidemiologi
Indonesia pada tahun 2013 tuberculosis mencapai 272 per 100.000 penduduk dan
angka insiden sebesar 153 per 100.000 penduduk dengan jumlah kematian akibat tuberkulosis
sebesar 25 per 100.000 penduduk.
Jumlah penderita TB Paru Klinis (Suspek ditemukan) di Provinsi DKI Jakarta pada
tahun 2015s ebanyak 26,499 penderita. Dari jumlah tersebut 5.574 diantaranya merupakan
pasien baru TB positif. Jakarta Timur merupakan wilayah dengan jumlah TB Paru BTA+
terbesar di Provinsi DKI Jakarta yaitu sebanyak 2.058 penderita di wilayah Jakarta Barat.
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di
saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari
bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya.
Bronkitis kronik adalah kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak
minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut, tidak
disebabkan penyakit lainnya. Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa
bronkus, metaplasia sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat
fibrosis.
Suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus
terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga
udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Secara anatomik
dibedakan tiga jenis emfisema:
Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke perifer,
terutama mengenaibagian atas paru sering akibat kebiasaan merokok lama.
Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara merata dan
terbanyak pada parubagian bawah.
Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran napas distal,
duktus dan sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat pleura.
Kebanyakan pasien PPOK adalah laki-laki. Hal ini disebabkan lebih banyak ditemukan
perokok pada laki-laki dibandingkan pada wanita. Hasil Susenas (Survei Sosial Ekonomi
Nasional) tahun 2001 menunjukkan bahwa sebanyak 62,2% penduduk laki-laki merupakan
perokok dan hanya 1,3% perempuan yang merokok. Sebanyak 92,0% dari perokok
menyatakan kebiasaannya merokok di dalam rumah, ketika bersama anggota rumah tangga
lainnya, dengan demikian sebagian besar anggota rumah tangga merupakan perokok pasif.
Kanker Paru
Kanker paru adalah tumor ganas paru primer yang berasal dari saluran napas atau
epitel bronkus. Terjadinya kanker ditandai dengan pertumbuhan sel yang tidak normal, tidak
terbatas, dan merusak sel-sel jaringan yang normal. Proses keganasan pada epitel bronkus
didahului oleh masa pra kanker. Perubahan pertama yang terjadi pada masa prakanker disebut
metaplasia skuamosa yang ditandai dengan perubahan bentuk epitel dan menghilangnya silia.
Pada fase awal kebanyakan kanker paru tidak menunjukkan gejala-gejala klinis. Bila sudah
menampakkan gejala berarti pasien dalam stadium lanjut. Gejala-gejala dapat bersifat :
• Lokal (tumor tumbuh setempat) :
• Batuk baru atau batuk lebih hebat pada batuk kronis
• Hemoptisis
• Mengi (wheezing, stridor) karena ada obstruksi saluran nafas
• Kadang terdapat kavitas seperti abses paru
• Ateletaksis
• Invasi lokal : • Nyeri dada
• Dispnea karena efusi pleura
• Invasi ke perikardium terjadi tamponade atau aritmia
• Sindrom vena cava superior
• Sindrom Horner (facial anhidrosis, ptosis, miosis)
• Suara serak, karena penekanan pada nervus laryngeal recurrent
• Sindrom Pancoast, karena invasi pada pleksus brakhialis dan saraf simpatis servikalis
Kesimpulan
Penyakit Akibat Kerja (PAK) adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan, alat
kerja, bahan, proses maupun lingkungan kerja ( faktor fisik, faktor kimia, faktor biologis,
faktor fisiologis atau ergonomi, faktor psikologis ), oleh karena itu penyakit akibat kerja
merupakan penyakit artefisial atau sering disebut manmade diseases. Pneumokoniosis
merupakan penyakit paru yang disebabkan oleh debu yang masuk ke dalam saluran
pernafasan (inhalasi). Pneumokoniosis membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk timbul
setelah paparan terjadi.
Salah satu jenis pneumokoniosis adalah silikosis. Silikosis adalah penyakit yang
paling penting dari golongan penyakit paru akibat kerja. Penyebabnya adalah silika bebas
(SiO2) yang terdapat dalam debu yang dihirup waktu bernafas dan ditimbun dalam paru paru
dengan masa inkubasi 2-4 tahun. Jika silikosis tidak dapat di tangani dengan baik akan
menimbulkan komplikasi berupa silikotuberkulosis. Silikotuberkulosis akibat dari silikosis
kronis yang mengakibatkan turunnya faktor imun dari orang yang terpajan silika dioksida
secara terus menerus
Daftar Pustaka
1. Referensi di ambil dari http://digilib.unimus.ac.id/download.php?id=16432 pada
tanggal 29 Oktober 2017
2. Referensi di ambil dari https://media.neliti.com/media/publications/71507-ID-
penyakit-sistem-respirasi-akibat-kerja.pdf pada tanggal 29 Oktober 2017
3. Referensi di ambil dari:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/40165/Chapter%20II.pdf?
sequence=4 p pada tanggal 29 Oktober 2017
4. Referensi diambil dari: http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/131/jtptunimus-gdl-
nurhayatij-6516-3-babii.pdf 24 Juli 2017 pada tanggal 29 Oktober 2017
5. Referensi di ambil dari http://klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/ppok.pdf pada
tanggal 29 Oktober 2017
6. Referensi diambil dari: http://kanker.kemkes.go.id/guidelines/PNPKParu.pdf pada
tanggal 29 Oktober 2017