Anda di halaman 1dari 76

FAKTOR RISIKO ANEMIA PADA REMAJA PUTRI PESERTA

PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN


ANEMIA GIZI BESI (PPAGB) DI KOTA BEKASI

ERMITA ARUMSARI

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008

Sebanyak 99.3 persen contoh tidak memiliki riwayat penyakit yang


berhubungan dengan anemia seperti malaria, tuberculosis, dan kecacingan
(dalam jangka waktu sebulan yang lalu). Sebagian besar contoh memiliki
kebiasaan mencuci tangan sebelum makan. Sebanyak 52.0 persen contoh
memiliki aktivitas fisik olahraga ringan. Persentase contoh anemia yang
melakukan aktivitas olahraga sedang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan
contoh tidak anemia.
Hampir separuh contoh jarang mengkonsumsi ikan segar (47.3%) dan
daging ayam (48.5%). Telur ayam paling sering dikonsumsi oleh contoh setiap
hari (10.3%). Semakin jarang telur ayam dan telur bebek dikonsumsi maka
kecenderungan anemia akan semakin kecil (p<0.1). Frekuensi lauk nabati
berkisar 0-6 kali seminggu. Lauk nabati dikonsumsi kurang dari 20 persen contoh
dengan frekuensi setiap hari. Kurang dari 5 persen contoh mengkonsumsi
sayuran setiap hari. Sayuran hijau seperti bayam lebih jarang dikonsumsi oleh
contoh yang anemia (43.2%). Semakin jarang waluh dan sawi dikonsumsi maka
kecenderungan anemia akan semakin kecil (p<0.1). Kurang dari 12 persen
contoh mengkonsumsi buah-buahan setiap hari. Semakin jarang pepaya
dikonsumsi maka kecenderungan anemia akan semakin kecil. Lebih dari separuh
contoh tidak pernah mengkonsumsi makanan jajanan (bakso, mie, dan
gorengan). Contoh anemia lebih sering mengkonsumsi teh dan kopi. Hampir
separuh contoh (44.8%) tidak pernah mengkonsumsi susu. Contoh anemia lebih
sering mengkonsumsi suplemen
Hasil korelasi Spearman menunjukkan bahwa faktor risiko yang secara
signifikan mempengaruhi status anemia adalah usia, status menstruasi, frekuensi
konsumsi telur ayam, telur bebek, waluh, dan sawi. Hasil regresi logistik
menunjukkan remaja putri yang berada pada kisaran usia 13-15 tahun memiliki
kecenderungan untuk mengalami anemia 2.73 kali lebih besar dibandingkan
remaja putri yang berusia 10-12 tahun (p=0.001). Remaja putri yang berstatus
gizi kurus cenderung untuk mengalami anemia 8.32 kali lebih besar dibandingkan
remaja putri yang berstatus gizi gemuk (p=0.006). Remaja putri yang berstatus
gizi normal memiliki kecenderungan 6.73 kali lebih besar untuk mengalami
anemia dibandingkan remaja putri yang berstatus gizi gemuk (p=0.013).

RINGKASAN
ERMITA ARUMSARI. Faktor Risiko Anemia pada Remaja Putri Peserta Program
Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) di Kota Bekasi. Di
bawah bimbingan Dodik Briawan
Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui faktor risiko anemia
remaja putri peserta program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi
Besi (PPAGB) di Kota Bekasi. Tujuan khusus dari penelitian adalah : (1)
mengkaji kadar hemoglobin dan status anemia remaja putri, (2) mengkaji usia
dan status gizi antropometri remaja putri, (3) mengkaji pola menstruasi remaja
putri, (4) mengkaji riwayat penyakit remaja putri, (5) mengkaji perilaku hidup
bersih dan sehat remaja putri, (6) mengkaji aktivitas fisik remaja putri, (7)
mengkaji frekuensi konsumsi pangan sumber zat besi remaja putri, (8)
menganalisis faktor risiko anemia remaja putri.
Desain penelitian adalah cross-sectional study yaitu data baseline dari
Dinas Kesehatan Kota Bekasi untuk pelaksanaan Program Pencegahan dan
Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB). Lokasi penelitian dilaksanakan di
SMP VII dan SMK Teratai Putih Global 2. Pemilihan didasarkan kesediaan
sekolah mengikuti program serta keaktifan puskesmas yang dekat dengan lokasi
sekolah untuk mengumpulkan data pengukuran hemoglobin. Waktu pengambilan
data dilakukan pada November 2007-Februari 2008. Contoh sejumlah 400 orang
terdiri dari 200 orang siswi SMP VII dan 200 orang siswi SMK Teratai Putih
Global 2. Usia contoh berkisar 10-18 tahun. Pengambilan contoh dilakukan
secara sengaja dengan pertimbangan kesediaan siswi mengikuti program dan
adanya izin dari orangtua.
Data yang dikumpulkan berupa data sekunder dari Dinas Kesehatan Kota
Bekasi. Data dikumpulkan melalui tiga cara (wawancara, pengukuran langsung,
pemeriksaan laboratorium). Wawancara langsung saat pengumpulan data
menggunakan kuisioner yang berisi data usia, aktivitas fisik, pola menstruasi,
riwayat penyakit, perilaku hidup bersih dan sehat, dan frekuensi konsumsi
pangan. Data antropometri dan status gizi diketahui melalui pengukuran berat
dan tinggi badan. Penentuan kadar hemoglobin dilakukan dengan pengambilan
sampel darah dan dianalisis dengan metode Cyanmethemoglobin. Analisis
korelasi Spearman dilakukan untuk melihat besar hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen. Regresi Logistik dilakukan untuk
mengetahui faktor risiko yang paling berkaitan dengan status anemia.
Rata-rata kadar hemoglobin adalah 12.4 g/dl (7.2-16.0 g/dl). Lebih dari
separuh contoh (61.7%) tidak mengalami anemia. Terdapat 6.0 persen contoh
mengalami anemia sedang. Secara keseluruhan 38.3 persen contoh mengalami
anemia.
Rata-rata usia adalah 13.7 tahun (10-18 tahun). Proporsi terbesar contoh
berusia 10-12 tahun dan hampir separuh contoh tidak anemia berada pada
kisaran usia tersebut. Lebih dari separuh contoh anemia berusia 13-15 tahun dan
baru mengalami menstruasi sehingga kecenderungan anemia lebih besar akibat
kehilangan darah yang dialami. Rata-rata IMT adalah 19.3 kg/m2 (11.9 kg/m2-7.5
kg/m2). Proporsi terbesar contoh (48.0%) berada pada status gizi kurus.
Sebagian besar contoh (75.5%) sudah menstruasi dan memiliki frekuensi
menstruasi teratur. Frekuensi menstruasi tidak teratur lebih sering dialami contoh
anemia. Lebih dari separuh contoh anemia mengganti pembalut 3-4 kali setiap
hari dan 49.1 persen contoh tidak anemia mengganti pembalut 1-2 kali. Sebagian
besar contoh memiliki lama menstruasi yang normal.

Sebanyak 99.3 persen contoh tidak memiliki riwayat penyakit yang


berhubungan dengan anemia seperti malaria, tuberculosis, dan kecacingan
(dalam jangka waktu sebulan yang lalu). Sebagian besar contoh memiliki
kebiasaan mencuci tangan sebelum makan. Sebanyak 52.0 persen contoh
memiliki aktivitas fisik olahraga ringan. Persentase contoh anemia yang
melakukan aktivitas olahraga sedang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan
contoh tidak anemia.
Hampir separuh contoh jarang mengkonsumsi ikan segar (47.3%) dan
daging ayam (48.5%). Telur ayam paling sering dikonsumsi oleh contoh setiap
hari (10.3%). Semakin jarang telur ayam dan telur bebek dikonsumsi maka
kecenderungan anemia akan semakin kecil (p<0.1). Frekuensi lauk nabati
berkisar 0-6 kali seminggu. Lauk nabati dikonsumsi kurang dari 20 persen contoh
dengan frekuensi setiap hari. Kurang dari 5 persen contoh mengkonsumsi
sayuran setiap hari. Sayuran hijau seperti bayam lebih jarang dikonsumsi oleh
contoh yang anemia (43.2%). Semakin jarang waluh dan sawi dikonsumsi maka
kecenderungan anemia akan semakin kecil (p<0.1). Kurang dari 12 persen
contoh mengkonsumsi buah-buahan setiap hari. Semakin jarang pepaya
dikonsumsi maka kecenderungan anemia akan semakin kecil. Lebih dari separuh
contoh tidak pernah mengkonsumsi makanan jajanan (bakso, mie, dan
gorengan). Contoh anemia lebih sering mengkonsumsi teh dan kopi. Hampir
separuh contoh (44.8%) tidak pernah mengkonsumsi susu. Contoh anemia lebih
sering mengkonsumsi suplemen
Hasil korelasi Spearman menunjukkan bahwa faktor risiko yang secara
signifikan mempengaruhi status anemia adalah usia, status menstruasi, frekuensi
konsumsi telur ayam, telur bebek, waluh, dan sawi. Hasil regresi logistik
menunjukkan remaja putri yang berada pada kisaran usia 13-15 tahun memiliki
kecenderungan untuk mengalami anemia 2.73 kali lebih besar dibandingkan
remaja putri yang berusia 10-12 tahun (p=0.001). Remaja putri yang berstatus
gizi kurus cenderung untuk mengalami anemia 8.32 kali lebih besar dibandingkan
remaja putri yang berstatus gizi gemuk (p=0.006). Remaja putri yang berstatus
gizi normal memiliki kecenderungan 6.73 kali lebih besar untuk mengalami
anemia dibandingkan remaja putri yang berstatus gizi gemuk (p=0.013).

FAKTOR RISIKO ANEMIA PADA REMAJA PUTRI PESERTA


PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN
ANEMIA GIZI BESI (PPAGB) DI KOTA BEKASI

ERMITA ARUMSARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008

Judul Skripsi

Faktor Risiko Anemia pada Remaja Putri Peserta

Program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi


Besi (PPAGB) di Kota Bekasi
Nama

Ermita Arumsari

NRP

A54104076

Program Studi

Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

Disetujui,
Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN


NIP. 131 879 330

Diketahui,
Dekan Fakultas Pertanian IPB

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr


NIP. 131 124 019

Tanggal Lulus

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kotabaru, Kalimantan Selatan pada tanggal 3
November 1986. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari
pasangan Pramudyanto dan Erina Hasniah.
Penulis menempuh pendidikan di SDN Semayap 2 Kotabaru Kalimantan
Selatan pada tahun 1992-1996 dilanjutkan di SDN Klegen 5 Madiun dan lulus
tahun 1998. Pendidikan dilanjutkan di SLTP Negeri 1 Madiun tahun 1998-2001.
Tahun 2001, penulis diterima di SMU Negeri 2 Madiun dilanjutkan di SMU Negeri
1 Jember dan lulus tahun 2004. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai
mahasiswa Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan
Mahasiswa Baru).
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di beberapa kepanitiaan
kampus dan organisasi kemahasiswaan. Organisasi yang pernah diikuti yaitu
Sopran 1 Paduan Suara Mahasiswa Agriaswara tahun 2004-2006 dan Himpunan
Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia tahun 2005-2006.

PRAKATA
Puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya, penulis dapat menyusun skripsi yang berjudul Faktor Risiko
Anemia pada Remaja Putri Peserta Program Pencegahan dan Penanggulangan
Anemia Gizi Besi (PPAGB) di Kota Bekasi. Skripsi ini disusun sebagai salah
satu persyaratan untuk dapat memperoleh gelar sarjana pada Program Studi Gizi
Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Institut Pertanian Bogor. Penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan
penuh kesabaran telah meluangkan waktu dan pikiran, memberikan arahan,
masukan, kritikan, semangat, dan dorongan untuk menyelesaikan tugas akhir
ini
2. Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, M.Kes selaku dosen penguji, yang telah berkenan
memberikan saran dan kritik demi kesempurnaan skripsi ini
3. Dr. Ir. Budi Setiawan, MS selaku dosen pemandu seminar atas saran yang
diberikan
4. Dr. Ir. Yayuk F. Baliwati, MS selaku dosen pembimbing akademik serta
seluruh dosen GMSK atas ilmu dan nasehat yang telah diberikan
5. Ibu, bapak, kakak Niken, dan seluruh keluarga besar atas segala kasih
sayang, doa, nasehat, dan semangat yang diberikan selama ini
6. Pihak Dinas Kesehatan Kota Bekasi, dr. Pusporini, Pak Agus, Bu Nining, dan
Bu Titik atas kesempatan dan bantuan yang diberikan kepada penulis saat
pengambilan data
7. Para pembahas seminar (Friska Amelia, Ahmawati Prapti, dan Eka Septiani)
atas saran dan masukan yang diberikan
8. Sahabatku Yesa, Dewi Mei, Henny, Friska, Lola, Ari, Ima, Dewi K, Rizka, dan
Marissa serta teman-teman GMSK 41 NRP 01-92, terimakasih atas segala
bantuan, dukungan, serta kebersamaan dan cerita indah selama empat tahun
9. Teman-teman 345ers, Yustika Muharastri, Indah Primadianti, dan Nidia
Roosita, terimakasih atas kenangan indah setahun awal bersama di IPB.
Semoga persahabatan ini tidak akan pernah putus
10. Teman-teman KKP Cisalak Subang, Cindy Chairunisa, Khotimah Husniati,
Cenra Intan Hartuti Tuharea, Ratu Dewi Hilna A, dan M. Ari Haryono, atas
dua bulan kebersamaan yang menyenangkan

11. Teman-teman di PNS dan ACC, Nadia, Astiari, Cindy, Chanti, Pujik, Mira,
Ellyta, Lia, Teztiana, Dila, Ita, dan Dini yang selalu mewarnai hari-hari yang
takkan terlupakan
12. Teman-teman di Lautan Indonesia, Abel, Mer, Ale, Mizz-min-u, dan
semuanya atas semangat, dukungan, dan keceriaan yang diberikan selama
penyusunan skripsi
13. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis selama kuliah
hingga penyelesaian skripsi

Bogor, Juli 2008

Penulis

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ............................................................................................... i
DAFTAR GAMBAR.................................................................................. iii
DAFTAR TABEL ...................................................................................... iv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ v
PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
Latar Belakang............................................................................... 1
Tujuan ........................................................................................... 4
Hipotesis ........................................................................................ 4
Kegunaan ...................................................................................... 4
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 5
Remaja Putri ................................................................................. 5
Anemia dan Faktor Penyebabnya ................................................. 6
Faktor Risiko Anemia..................................................................... 8
Menstruasi ............................................................................... 8
Status Gizi ............................................................................... 9
Riwayat Penyakit ................................................................... 10
Aktivitas Fisik ......................................................................... 11
Konsumsi Pangan.................................................................. 12
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat ........................................... 14
Faktor Risiko Anemia Lainnya ..................................................... 15
Program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi
(PPAGB) pada Remaja Putri ....................................................... 16
KERANGKA PEMIKIRAN....................................................................... 18
METODE PENELITIAN ........................................................................... 21
Desain, Tempat, dan Waktu ........................................................ 21
Penarikan Contoh ........................................................................ 21
Jenis dan Cara Pengumpulan Data ............................................. 21
Pengolahan dan Analisis Data..................................................... 22
Definisi Operasional..................................................................... 24
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 26
Status Anemia ............................................................................. 26
Usia dan Status Gizi Antropometri............................................... 27
Usia......................................................................................... 27
Status Gizi Antropometri ......................................................... 28
Menstruasi ................................................................................... 29
Status Menstruasi .................................................................... 30
Frekuensi Menstruasi .............................................................. 31
Banyaknya Menstruasi ............................................................ 32
Lama Menstruasi ..................................................................... 33
Riwayat Penyakit ......................................................................... 34
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat ................................................. 35
Aktivitas Fisik ............................................................................... 36
Frekuensi Konsumsi Pangan ....................................................... 37

Frekuensi Konsumsi Lauk Hewani ......................................... 38


Frekuensi Konsumsi Lauk Nabati ........................................... 40
Frekuensi Konsumsi Sayuran ................................................. 41
Frekuensi Konsumsi Buah-buahan......................................... 43
Frekuensi Konsumsi Makanan Jajanan .................................. 45
Frekuensi Konsumsi Minuman dan Suplemen ....................... 46
Analisis Faktor Risiko Anemia ..................................................... 48
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 51
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 53
LAMPIRAN ............................................................................................. 57

DAFTAR GAMBAR
Nomor

Halaman

1.

Kerangka pemikiran faktor risiko anemia remaja putri peserta


program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi
(PPAGB) di Kota Bekasi ................................................................. 20

2.

Sebaran contoh berdasarkan kadar hemoglobin............................. 26

DAFTAR TABEL
Nomor

Halaman

1.

Penggolongan anemia menurut kadar hemoglobin ............................ 7

2.

Rata-rata BB dan TB wanita berdasarkan usia .................................. 9

3.

Sebaran contoh berdasarkan usia dan status anemia ..................... 27

4.

Sebaran contoh berdasarkan status gizi dan status anemia ............ 29

5.

Sebaran contoh berdasarkan status menstruasi dan status


anemia .............................................................................................. 30

6.

Sebaran contoh berdasarkan frekuensi menstruasi dan status


anemia .............................................................................................. 31

7.

Sebaran contoh berdasarkan banyaknya menstruasi dan status


anemia .............................................................................................. 32

8.

Sebaran contoh berdasarkan lamanya menstruasi dan status


anemia ............................................................................................. 33

9.
10.

Sebaran contoh berdasarkan riwayat penyakit dan status anemia .. 34


Sebaran contoh berdasarkan perilaku hidup bersih dan sehat
dan status anemia ............................................................................ 35

11.

Sebaran contoh berdasarkan aktivitas fisik dan status anemia........ 36

12.

Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi lauk hewani


dan status anemia ............................................................................ 38

13.

Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi lauk nabati dan


status anemia ................................................................................... 41

14.

Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi sayuran


dan status anemia ............................................................................ 42

15.

Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi buah-buahan


dan status anemia ............................................................................ 44

16.

Sebaran contoh berdasarkan frekuensi makanan jajanan


dan status anemia ............................................................................ 45

17.

Sebaran contoh berdasarkan frekuensi minuman dan suplemen


dan status anemia ............................................................................ 47

18.

Hasil regresi logistik faktor risiko anemia ......................................... 49

DAFTAR LAMPIRAN
Nomor

Halaman

1.

Kuisioner Penelitian ............................................................................. 58

2.

Frekuensi Konsumsi Pangan ............................................................... 60

3.

Hasil Uji Korelasi Spearman Faktor Risiko dengan Status Anemia..... 61

4.

Hasil Analisis Regresi Logistik ............................................................. 62

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kualitas sumber daya manusia (SDM) ditentukan oleh banyak faktor yang
saling berhubungan, berkaitan, dan saling bergantung, diantaranya adalah faktor
pendidikan dan kesehatan. Kesehatan merupakan prasyarat yang diperlukan
agar upaya pendidikan berhasil, selanjutnya pendidikan yang diperoleh akan
sangat mendukung tercapainya peningkatan status kesehatan seseorang. Untuk
membentuk kualitas manusia yang mempunyai kemampuan kerja fisik yang baik,
tentunya harus didukung oleh tingkat keadaan gizi yang baik pula. Keadaan gizi
yang baik akan meningkatkan kualitas hidup seseorang; kualitas hidup yang
tinggi akan mendukung hasil kerja yang efisien dan optimal. Sebaliknya keadaan
gizi yang tidak baik akan menurunkan daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi
serta produktivitas kerja yang rendah (Depkes 2006). Keadaan gizi yang tidak
baik seperti kekurangan zat gizi mikro masih merupakan masalah di negara
berkembang (Ruel 2001).
Defisiensi zat besi merupakan defisiensi zat gizi mikro yang paling umum
terjadi di dunia dan merupakan masalah gizi kurang yang banyak diderita oleh
remaja (Ruel 2001). Defisiensi zat besi merupakan hasil jangka panjang dari
keseimbangan negatif zat besi dan tingkatan yang paling parah dari defisiensi zat
besi disebut dengan anemia (WHO 2001). Menurut Soekirman (2000), saat ini
diperkirakan lebih kurang 2.1 milyar orang di dunia menderita anemia gizi besi
termasuk pada tingkat berat dan pada negara berkembang terdapat prevalensi
anemia pada remaja putri sebesar 17-89 persen (Ruel 2001). Hasil SKRT 2001
menunjukkan bahwa 30 persen remaja wanita (10-19 tahun) menderita anemia
(konsentrasi hemoglobin<120 g/l). Hasil tersebut tidak jauh berbeda dari hasil
studi lainnya, yang mengindikasikan anemia merupakan masalah kesehatan di
Indonesia (Permaesih dan Herman 2005).
Prevalensi anemia yang cukup besar pada remaja putri ini karena pada
masa remaja terjadi pertumbuhan yang cepat (growth spurt). Selama periode
remaja, massa tulang meningkat dan terjadi remodeling tulang; jaringan lunak,
organ-organ, dan bahkan massa sel darah merah meningkat dalam hal ukuran
(DiMeglio 2000). Pertumbuhan tersebut menyebabkan kebutuhan zat besi
meningkat secara dramatis dan pada saat remaja inilah kebutuhan zat gizi
mencapai titik tertinggi. Menurut FAO/WHO (2001), kebutuhan zat besi yang
diperlukan remaja putri untuk pertumbuhan berbeda antara early adolescence

dan middle adolescence. Kebutuhan zat besi yang lebih besar diperlukan oleh
early adolescence karena pada usia tersebut growth spurt lebih intens terjadi
dibandingkan middle adolescence, sehingga apabila terjadi kekurangan zat gizi
makro dan mikro pada usia remaja baik early adolescence maupun middle
adolescence dapat mengganggu pertumbuhan dan menghambat pematangan
seksual (Beard 2000).
Pertumbuhan yang cepat pada remaja memberikan konsekuensi
terjadinya peningkatan kebutuhan zat gizi sebagai upaya mengimbangi
pertumbuhan tersebut. Namun data menunjukkan bahwa asupan makanan para
remaja putri tidak dapat menyediakan cukup zat gizi untuk memenuhi kebutuhan
mereka dan lebih dari lima puluh persen kasus anemia yang tersebar di seluruh
dunia secara langsung disebabkan oleh kurangnya masukan (intake) zat besi
(Dillon 2005). Tidak semua zat besi yang berada dalam makanan dapat diserap
tubuh karena bioavailabilitasnya yang rendah atau kurangnya asupan pangan
hewani. Zat besi yang berasal dari hewani, penyerapannya tidak banyak
dipengaruhi oleh jenis kandungan makanan lain dan lebih mudah diabsorpsi
dibandingkan zat besi yang berasal dari nabati. Makanan nabati misalnya
sayuran hijau tua, walaupun kaya akan zat besi namun hanya sedikit yang bisa
diserap dengan baik oleh usus (Wirakusumah 1998). Namun pangan sumber zat
besi terutama zat besi heme, yang bioavailabilitasnya tinggi, sangat jarang
dikonsumsi oleh masyarakat di negara berkembang. Kebanyakan masyarakat
memenuhi kebutuhan besi mereka dari produk nabati (Backstrand et al 2002).
Kebutuhan zat besi juga akan meningkat pada remaja putri sehubungan
dengan terjadinya menstruasi. Remaja terutama yang telah mengalami
menstruasi, dibandingkan dengan yang belum menstruasi, lebih rentan terhadap
anemia, sehubungan dengan kehilangan darah yang dialami sewaktu menstruasi
(Dillon 2005). Apabila darah yang keluar saat menstruasi cukup banyak, berarti
jumlah zat besi yang hilang dari tubuh juga cukup besar dan kehilangan tersebut
dapat memicu timbulnya anemia (Wirakusumah 1998). Wanita pada umumnya
cenderung mempunyai simpanan zat besi yang lebih rendah dibandingkan pria
dan hal itu membuat wanita lebih rentan mengalami defisiensi zat besi saat
intake zat besi kurang atau kebutuhan meningkat seperti saat menstruasi
(Gleason & Scrimshaw 2007).
Penyebab anemia lainnya adalah terjadinya kehilangan zat besi karena
penyakit infeksi seperti malaria dan cacing. Kehilangan darah akibat infestasi

cacing dan malaria karena hemolisis dapat menyebabkan defisiensi zat besi dan
anemia. Trauma dapat pula menyebabkan defisiensi zat besi. Infeksi cacing
tambang menyebabkan pendarahan pada dinding usus, walaupun sedikit tetapi
terjadi terus menerus dan hal itu dapat mengakibatkan hilangnya darah atau zat
besi. Kehilangan darah tersebut mengakibatkan defisiensi zat besi (WHO 2001)
Defisiensi zat besi dapat terjadi pada tingkatan umur manapun terutama
pada wanita usia reproduktif dan anak-anak. Defisiensi zat besi dapat
mengganggu status imunitas dan fungsi kognitif pada berbagai tingkatan umur.
Pada anak usia sekolah dapat mempengaruhi prestasi belajar; pada usia dewasa
dapat menimbulkan kelelahan dan mengurangi kapasitas kerja, dan pada ibu
hamil dapat menyebabkan bayi lahir prematur (Ruel 2001). Menurut Soekirman
(2000), anemia gizi besi pada kelompok remaja dapat menimbulkan berbagai
dampak antara lain menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah terkena
penyakit dan menurunkan aktivitas yang berkaitan dengan kemampuan kerja fisik
dan prestasi belajar. Disamping itu remaja yang menderita anemia mengalami
penurunan kebugaran sehingga akan menghambat prestasi olahraga dan
produktivitas. Kekurangan zat gizi mikro pada masa remaja dapat berdampak
negatif pada proses pertumbuhan dan kematangan organ-organ reproduksi
(Dillon 2005).
Hasil studi faktor risiko lainnya menunjukkan bahwa terdapat faktor-faktor
lain yang berpengaruh terhadap kejadian anemia antara lain pendidikan, jenis
kelamin, wilayah, kebiasaan sarapan, status kesehatan, dan keadaan Indeks
Massa Tubuh (IMT) dalam kategori kurus (Permaesih dan Herman 2005).
Sedangkan menurut hasil penelitian Maharani (2003), faktor risiko yang secara
signifikan mempengaruhi kecenderungan status anemia mahasiswa baru yaitu
faktor jenis kelamin, umur, pendapatan orangtua, dan status proteinuria. Adanya
faktor risiko tersebut dapat mempengaruhi kecenderungan status anemia
seseorang terutama pada remaja yang berada dalam masa pertumbuhan.
Mengingat dampak yang terjadi akibat anemia sangat merugikan kualitas kerja
dan mutu sumber daya manusia di masa mendatang, maka peneliti tertarik untuk
mengetahui faktor risiko anemia pada remaja, khususnya pada remaja putri
peserta program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB)
di Kota Bekasi.

Tujuan
Tujuan Umum :
Mengetahui

faktor

risiko

anemia

remaja

putri

peserta

program

Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) di Kota Bekasi

Tujuan Khusus :
1. Mengkaji status besi (kadar hemoglobin dan status anemia) remaja putri
peserta program PPAGB
2. Mengkaji usia dan status gizi antropometri remaja putri peserta program
PPAGB
3. Mengkaji menstruasi remaja putri peserta program PPAGB
4. Mengkaji riwayat penyakit remaja putri peserta program PPAGB
5. Mengkaji perilaku hidup bersih dan sehat remaja putri peserta program
PPAGB
6. Mengkaji aktivitas fisik remaja putri peserta program PPAGB
7. Mengkaji frekuensi konsumsi pangan sumber zat besi remaja putri
peserta program PPAGB
8. Menganalisis faktor risiko anemia remaja putri peserta program PPAGB

Hipotesis
Usia, status gizi antropometri, menstruasi, riwayat penyakit, perilaku
hidup bersih dan sehat, aktivitas fisik, dan frekuensi konsumsi pangan tidak
mempengaruhi status anemia remaja putri peserta program Pencegahan dan
Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) di Kota Bekasi

Kegunaan
Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi remaja dan keluarga serta
pihak yang terkait sebagai usaha pencegahan anemia sedini mungkin dengan
meningkatkan kesadaran tentang faktor risiko anemia pada remaja. Selain itu
diharapkan dapat memberikan informasi yang tepat kepada petugas kesehatan
dalam upaya penanggulangan anemia gizi.

TINJAUAN PUSTAKA
Remaja Putri
WHO mendefinisikan remaja sebagai bagian dari siklus hidup antara usia
10-19 tahun. Remaja berada diantara dua masa hidup, dengan beberapa
masalah gizi yang sering terjadi pada anak-anak dan dewasa (WHO 2006).
Remaja memiliki pertumbuhan yang cepat (growth spurt) dan merupakan waktu
pertumbuhan yang intens setelah masa bayi serta satu-satunya periode dalam
hidup individu terjadi peningkatan velositas pertumbuhan. Selama masa remaja,
seseorang dapat mencapai 15 persen dari tinggi badan dan 50 persen dari berat
badan saat dewasa. Pertumbuhan yang cepat ini sejalan dengan peningkatan
kebutuhan zat gizi, yang secara signifikan dipengaruhi oleh infeksi dan
pengeluaran energi (UNS-SCN 2006). Massa tulang meningkat sebesar 45
persen dan remodeling tulang terjadi; jaringan lunak, organ-organ, dan bahkan
massa sel darah merah meningkat dalam hal ukuran, akibatnya kebutuhan zat
gizi mencapai titik tertinggi saat remaja. Adanya kekurangan zat gizi makro dan
mikro dapat mengganggu pertumbuhan dan menghambat pematangan seksual.
Kebutuhan untuk individual tidak mungkin diestimasikan karena adanya
pertimbangan variasi dalam tingkat dan jumlah pertumbuhan (DiMeglio 2000).
Pada remaja wanita, puncak pertumbuhan terjadi sekitar 12-18 bulan
sebelum mengalami menstruasi pertama atau sekitar usia 10-14 tahun
(ADB/SCN 2001 diacu dalam Briawan 2008). Selama periode remaja, kebutuhan
zat besi meningkat secara dramatis sebagai hasil dari ekspansi total volume
darah, peningkatan massa lemak tubuh, dan terjadinya menstruasi pada remaja
putri (Beard 2000). Pada wanita, kebutuhan yang tinggi akan besi terutama
disebabkan kehilangan zat besi selama menstruasi (Wiseman 2002). Secara
keseluruhan, kebutuhan zat besi meningkat dari kebutuhan saat sebelum remaja
sebesar 0.7-0.9 mg Fe/hari menjadi 2.2 mg Fe/hari atau mungkin lebih saat
menstruasi berat. Peningkatan kebutuhan ini berhubungan dengan waktu dan
ukuran growth spurt sama seperti kematangan seksual dan terjadinya
menstruasi. Hal ini mengakibatkan wanita lebih rawan terhadap anemia besi
dibandingkan pria (Beard 2000).
Wanita cenderung mempunyai simpanan zat besi yang lebih rendah
dibandingkan pria, membuat wanita lebih rentan mengalami defisiensi zat besi
saat asupan zat besi kurang atau kebutuhan meningkat. Jika zat besi yang
dikonsumsi terlalu sedikit atau bioavailabilitasnya rendah atau makanan

berinteraksi dengan membatasi absorpsi yang dibutuhkan tubuh untuk memenuhi


kebutuhan zat besi, cadangan zat besi dalam tubuh akan digunakan dan hal
tersebut dalam menimbulkan defisiensi zat besi (Gleason & Scrimshaw 2007).
Pada masa remaja, seseorang akan mengalami perubahan baik kognitif,
sosial-emosional, dan gaya hidup yang dapat menciptakan dampak yang sangat
besar dalam kebiasaan makan remaja. Survei yang dilakukan Hurlock (1997)
menunjukkan bahwa remaja suka sekali jajan makanan ringan. Jenis makanan
ringan yang dikonsumsi adalah kue-kue yang manis dan golongan pastry serta
permen sedangkan golongan sayur-sayuran dan buah-buahan jarang dikonsumsi
sehingga dalam diet mereka rendah akan zat besi, vitamin, dan lain-lain. Selain
itu hasil survei menunjukkan bahwa remaja menyukai minuman ringan, teh, dan
kopi yang frekuensinya lebih sering dibandingkan konsumsi susu.

Anemia dan Faktor Penyebabnya


Status zat besi tiap individu bermacam-macam mulai dari excess zat besi
sampai anemia defisiensi zat besi. Walaupun kebutuhan zat besi bervariasi pada
tiap grup yang tergantung pada faktor-faktor seperti pertumbuhan (bayi, remaja,
kehamilan) dan perbedaan kehilangan normal zat besi (menstruasi dan
kelahiran), terjadi proses yang diatur tubuh dalam meningkatkan absorpsi zat
besi sejalan dengan penggunaan zat besi dan menurunkan absorpsi zat besi
yang disimpan di dalam tubuh sejalan dengan adanya asupan makanan
(Gleason & Scrimshaw 2007).
Anemia terjadi apabila kepekatan hemoglobin dalam darah di bawah
batas normal. Hemoglobin ialah sejenis pigmen yang terdapat dalam sel darah
merah, bertugas membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh. Zat besi
mempunyai peranan penting dalam tubuh, selain membantu hemoglobin
mengangkut oksigen dan mioglobin menyimpan oksigen, zat besi juga membantu
berbagai macam enzim dalam mengikat oksigen untuk proses pembakaran
(Brody 1994). Anemia gizi adalah suatu keadaan kekurangan kadar hemoglobin
dalam darah yang disebabkan karena kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk
pembentukan hemoglobin (Depkes 1998).
Menurut WHO (2001), batas ambang anemia untuk wanita usia 11 tahun
keatas adalah apabila konsentrasi atau kadar hemoglobin dalah darah kurang
dari 12 g/dl. Penggolongan jenis anemia menjadi ringan, sedang, dan berat
belum ada keseragaman mengenai batasannya, namun untuk mempermudah

pelaksanaan pengobatan dan mensukseskan program lapangan, menurut


ACC/SCN (1991), anemia dapat digolongkan menjadi tiga :
Tabel 1 Penggolongan anemia menurut kadar Hb
Anemia
Ringan
Sedang
Berat
Sumber : ACC/SCN (1991)

Hb (g/dl)
10.0 11.9
7.0 9.9
< 7.0

Sebelum terjadi anemia biasanya terjadi kekurangan zat besi secara


perlahan-lahan. Pada tahap awal, simpanan zat besi yang berbentuk ferritin dan
hemosiderin menurun dan absorpsi besi meningkat. Daya ikat besi (iron binding
capacity) meningkat seiring dengan menurunnya simpanan zat besi dalam
sumsum tulang dan hati. Ini menandakan berkurangnya zat besi dalam plasma.
Selanjutnya zat besi yang tersedia untuk pembentukan sel-sel darah merah
(sistem eritropoesis) di dalam sumsum tulang berkurang dan terjadi penurunan
jumlah sel darah merah dalam jaringan. Pada tahap akhir, hemoglobin menurun
(hypocromic) dan eritrosit mengecil (microcytic) dan terjadi anemia gizi besi
(Wirakusumah 1998).
Anemia dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut Depkes (1998),
anemia terjadi karena : (1) kandungan zat besi makanan yang dikonsumsi tidak
mencukupi kebutuhan, (2) meningkatnya kebutuhan tubuh akan zat besi, dan (3)
meningkatnya pengeluaran zat besi dari tubuh. Penyebab utama anemia yang
paling umum diketahui adalah : (1) kurangnya kandungan zat besi dalam
makanan, (2) penyerapan zat besi dari makanan yang sangat rendah, (3) adanya
zat-zat yang menghambat penyerapan zat besi, dan (4) adanya parasit di dalam
tubuh seperti cacing tambang atau cacing pita, atau kehilangan banyak darah
akibat kecelakaan atau operasi (Biesalski dan Erhardt 2007).
Defisiensi zat besi dari makanan biasanya menjadi faktor utama. Jika zat
besi yang dikonsumsi terlalu sedikit atau bioavailabilitasnya rendah atau
makanan berinteraksi dengan membatasi absorpsi yang dibutuhkan tubuh untuk
memenuhi kebutuhan zat besi, cadangan zat besi dalam tubuh akan digunakan
dan hal tersebut dalam menimbulkan defisiensi zat besi (Gleason & Scrimshaw
2007). Defisiensi zat gizi seperti asupan asam folat dan vitamin A, B12, dan C
yang rendah dan penyakit infeksi seperti malaria dan kecacingan dapat pula
menimbulkan anemia (WHO 2001).

Faktor Risiko Anemia


Menstruasi
Anemia pada remaja putri disebabkan masa remaja adalah masa
pertumbuhan yang membutuhkan zat gizi lebih tinggi termasuk zat besi. Selain
itu pada masa remaja, seseorang akan mengalami menstruasi. Menstruasi ialah
perdarahan

secara

periodik

dan

siklik

dari

uterus

disertai

pelepasan

endometrium. Lama menstruasi biasanya antara 3-5 hari dan ada yang 1-2 hari.
Beberapa faktor yang mengganggu kelancaran siklus menstruasi yaitu faktor
stres, perubahan berat badan, olahraga yang berlebihan, dan keluhan
menstruasi. Panjang daur dapat bervariasi pada satu wanita selama saat-saat
yang berbeda dalam hidupnya (Affandi 1990).
Menstruasi adalah suatu proses fisiologis yang dipengaruhi oleh banyak
faktor antara lain lingkungan, musim, dan tingginya tempat tinggal dari
permukaan laut. Faktor lain yang penting adalah faktor sosial misalnya status
perkawinan dan lamanya menstruasi ibu. Usia dan ovulasi mempengaruhi
lamanya menstruasi. Rata-rata lama perdarahan pada kebanyakan wanita setiap
periode kurang lebih tetap (Affandi 1990).
Saat menstruasi terjadi pengeluaran darah dari dalam tubuh. Hal ini
menyebabkan zat besi yang terkandung dalam hemoglobin, salah satu
komponen sel darah merah, juga ikut terbuang. Semakin lama menstruasi
berlangsung, maka semakin banyak pengeluaran dari tubuh. Hal tersebut
mengakibatkan pengeluaran besi meningkat dan keseimbangan zat besi dalam
tubuh terganggu (Depkes 1998). Menstruasi menyebabkan wanita kehilangan
besi hingga dua kali jumlah kehilangan besi laki-laki (Brody 1994). Apabila darah
yang keluar saat menstruasi cukup banyak, berarti jumlah zat besi yang hilang
dari tubuh juga cukup besar. Setiap orang mengalami kehilangan darah dalam
jumlah yang berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor seperti
keturunan, keadaan kelahiran, dan besar tubuh (Affandi 1990).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa jumlah darah yang hilang
selama satu periode menstruasi berkisar antara 20-25 cc dan dianggap abnormal
jika kehilangan darah menstruasi lebih dari 80 ml (Affandi 1990). Jumlah 20-25
cc menyiratkan kehilangan zat besi sebesar 12.5-15 mg/bulan atau kira-kira
sama dengan 0.4-0.5 mg sehari. Jika jumlah tersebut ditambah dengan
kehilangan basal maka jumlah total zat besi yang hilang sebesar 1.25 mg per
hari (Arisman 2002). Wanita usia muda relatif lebih sedikit kehilangan darah

menstruasi dibandingkan dengan wanita usia lanjut yang masih mendapat


menstruasi. Kebanyakan wanita dengan tingkat menstruasi yang berat sangat
mungkin terkena anemia ringan (Wiseman 2002).

Status Gizi
Status gizi adalah keadaan seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi,
penyerapan, dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang
lama. Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian
yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik (Supariasa et al 2001).
Pengukuran antropometri terdiri dari dua dimensi yaitu pengukuran pertumbuhan
dan komposisi tubuh (pengukuran komponen lemak dan komponen bukan
lemak).
Menurut Riyadi (2001), indikator antropometri yang dipakai di lapangan
adalah berat badan untuk mengetahui massa tubuh dan panjang atau tinggi
badan untuk mengetahui dimensi berat linear dan indikator tersebut sangat
tergantung pada umur. Antropometri sangat penting pada masa remaja karena
antropometri dapat memonitor dan mengevaluasi perubahan pertumbuhan dan
kematangan yang dipengaruhi oleh faktor hormonal. Pengukuran paling reliabel
untuk ras spesifik dan popular untuk menentukan status gizi pada masa remaja
saat ini adalah Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT merupakan indeks berat badan
seseorang dalam hubungannya dengan tinggi badan, yang ditentukan dengan
membagi BB dalam satuan kg dengan kuadrat TB dalam satuan meter. Berikut
adalah rata-rata berat badan dan tinggi badan wanita berdasarkan usia menurut
WNPG 2004.
Tabel 2 Rata-rata BB dan TB wanita berdasarkan usia
Berat Badan (kg)
Rata-rata
SD
10-12 tahun
38.4
9.2
13-15 tahun
44.6
6.7
16-18 tahun
46.3
4.6
Sumber : Jahari & Jusat (2004) dalam WNPG (2004)
Usia

Tinggi Badan (cm)


Rata-rata
SD
145.4
8.8
152.3
4.6
149.1
4.9

Pada periode remaja, 20 persen tinggi badan dan 50 persen berat badan
saat dewasa telah dicapai. Oleh karena itu kebutuhan zat gizi mencapai titik
tertinggi saat remaja dan adanya kekurangan zat gizi makro dan mikro dapat
mengganggu pertumbuhan dan menghambat pematangan seksual. Wanita yang
berstatus gizi baik akan lebih cepat mengalami pertumbuhan badan dan akan
lebih cepat mengalami menstruasi. Sebaliknya wanita yang berstatus gizi buruk
pertumbuhannya akan pelan dan lama serta menstruasinya akan lebih lambat

(ABD/SCN 2001 diacu dalam Briawan 2008). IMT mempunyai korelasi positif
dengan konsentrasi hemoglobin (Thompson 2007). Hal tersebut sejalan dengan
penelitian Permaesih dan Herman (2005) yang menunjukkan bahwa remaja yang
mempunyai IMT kurang atau tubuh kurus mempunyai risiko 1.5 kali untuk
menjadi anemia.

Riwayat penyakit
Anemia dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah terkena
infeksi (Permaesih dan Herman 2005). Telah diketahui secara luas bahwa infeksi
merupakan faktor yang penting dalam menimbulkan kejadian anemia, dan
anemia merupakan konsekuensi dari peradangan dan asupan makanan yang
tidak memenuhi kebutuhan zat besi (Thurnham & Northrop-Clewes 2007).
Kehilangan darah akibat schistosomiasis, infestasi cacing, dan trauma dapat
menyebabkan defisiensi zat besi dan anemia. Angka kesakitan akibat penyakit
infeksi meningkat pada populasi defisiensi besi akibat efek yang merugikan
terhadap sistem imun. Malaria karena hemolisis dan beberapa infeksi parasit
seperti cacing, trichuriasis, amoebiasis, dan schistosomiasis menyebabkan
kehilangan

darah

secara

langsung

dan

kehilangan

darah

tersebut

mengakibatkan defisiensi besi (WHO 2001).


Adanya infeksi cacing tambang menyebabkan pendarahan pada dinding
usus,

meskipun

sedikit

tetapi

terjadi

terus

menerus

sehingga

dapat

mengakibatkan hilangnya darah atau zat besi. Infeksi cacing merupakan


kontributor utama terjadinya anemia dan defisiensi besi. Cacing tambang dapat
menyebabkan pendarahan usus yang memicu kehilangan darah akibat beban
cacing dalam usus. Intensitas infeksi cacing tambang yang menyebabkan
anemia defisiensi zat besi bervariasi menurut spesies dan status zat besi
populasi. Cacing tambang yang menyebabkan kehilangan darah terbesar adalah
A. duodenale (Dreyfuss et al 2000).
Peningkatan kejadian akibat malaria pada penderita anemia gizi besi
dapat memperberat keadaan anemia. Malaria adalah infeksi parasit yang
ditimbulkan oleh satu dari empat spesies dari genus Plasmodium yaitu P. vivax,
P. falciparum, P. ovale, dan P. malariae. Pada malaria P. falciparum, anemia
sering ditemukan dan menggambarkan anemia berat (Shulman et al 1994).
Menurut hasil penelitian Wijianto (2002), penyakit infeksi seperti malaria dapat
menyebabkan rendahnya kadar Hb yang terjadi akibat hemolisis intravaskuler.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada wanita hamil di Nepal, terdapat bukti
bahwa malaria berhubungan dengan defisiensi besi. Konsentrasi serum ferritin
pada wanita yang terjangkit P. vivax lebih rendah dan proporsi wanita dengan
serum ferritin rendah cenderung meningkat (Dreyfuss et al 2000).
Peradangan dan pemanfaatan hemoglobin oleh parasit memegang
peranan penting dalam etiologi anemia pada malaria. Peradangan tersebut
terlihat dalam studi pada anak-anak India (2-11 tahun) yang menderita malaria
parah, sedang, asimtomatik, dan tidak malaria. Hasil penelitian menunjukkan
malaria asimtomatik memiliki konsentrasi hemoglobin yang lebih rendah
dibandingkan dengan yang tidak menderita malaria. Walaupun persentase sel
darah merah yang terinfeksi malaria biasanya lebih sedikit, anemia dapat timbul
akibat blokade penempatan sel darah merah oleh faktor penghambat seperti
hematopoiesis (Thurnham & Northrop-Clewes 2007).

Aktivitas Fisik
Anemia dapat mempengaruhi tingkat kesegaran jasmani seseorang.
Penelitian Permaesih menemukan 25 persen remaja di Bandung mempunyai
kesegaran jasmani kurang dari normal (Permaesih dan Herman 2005). Aktivitas
fisik erat kaitannya dengan kesehatan tubuh secara keseluruhan. Tubuh yang
sehat mampu melakukan aktivitas fisik secara optimal, sebaliknya aktivitas fisik
yang dilakukan secara rutin dalam porsi yang cukup mempunyai dampak positif
bagi kesehatan badan.
Pola aktivitas remaja didefinisikan sebagai kegiatan yang biasa dilakukan
oleh remaja sehari-hari sehingga akan membentuk pola. Aktivitas remaja dapat
dilihat dari bagaimana cara remaja mengalokasikan waktunya selama 24 jam
dalam kehidupan sehari-hari untuk melakukan suatu jenis kegiatan secara rutin
dan berulang-ulang (Kartono 1992 diacu dalam Ratnayani 2005). Menurut
Framingham Study diacu dalam Ratnayani (2005), aktivitas fisik selama 24 jam
dibagi menjadi lima yaitu aktivitas tidur, aktivitas berat (olah raga seperti jogging,
sepak bola, atletik, dan sebagainya), aktivitas sedang (belajar, naik tangga,
mencuci, mengepel, menyetrika, menyapu, dan sebagainya), aktivitas ringan
(kegiatan sambil berdiri), dan aktivitas rileks (duduk, berbaring, dan sebagainya).
Aktivitas fisik penting untuk mengetahui apakah aktivitas tersebut dapat
mengubah status zat besi. Performa aktivitas akan menurun sehubungan dengan
terjadinya penurunan konsentrasi hemoglobin dan jaringan yang mengandung

zat besi. Zat besi dalam hemoglobin, ketika jumlahnya berkurang, secara ekstrim
dapat mengubah aktivitas kerja dengan menurunkan transpor oksigen (Beard
dan Tobin 2000).
Menstruasi pada wanita dapat meningkatkan risiko terjadinya defisiensi
zat besi terkait aktivitas fisiknya tanpa memperhatikan kehilangan darah yang
dialami setiap bulan. Pengeluaran zat besi dapat melalui keringat, feses dan
urine, atau hemolisis intravaskular. Studi yang dilakukan pada atlet wanita
menunjukkan bahwa kehilangan zat besi melalui keringat menurun sejalan
dengan waktu. Konsentrasi zat besi terbesar dalam keringat terjadi selama 30
menit pertama olahraga dan konsentrasi zat besi tersebut lebih rendah pada
lingkungan yang panas dibandingkan lingkungan bersuhu ruang. Pada berbagai
kasus zat gizi mikro, wanita cenderung mempunyai asupan pangan yang kurang,
dan defisiensi memberikan dampak yang merugikan pada aktivitas fisik (Akabas
dan Dolins 2005).

Konsumsi Pangan
Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan
yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu.
Definisi ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis
pangan yang dikonsumsi dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Dalam
menghitung jumlah zat gizi yang dikonsumsi, kedua informasi ini (jenis dan
jumlah pangan) merupakan hal yang penting. Batasan ini menunjukkan bahwa
konsumsi pangan dapat ditinjau berdasarkan aspek jenis pangan dan jumlah
pangan yang dikonsumsi. Pangan sebagai sumber berbagai zat gizi merupakan
kebutuhan yang harus dipenuhi setiap hari (Kusharto dan Sadiyyah 2006).
Pangan sumber zat besi terutama zat besi heme, yang bioavailabilitasnya
tinggi, sangat jarang dikonsumsi oleh masyarakat di negara berkembang, yang
kebanyakan memenuhi kebutuhan besi mereka dari produk nabati (Backstrand et
al 2002). Di Indonesia, ketidakcukupan jumlah Fe dalam makanan terjadi karena
pola konsumsi makan masyarakat Indonesia masih didominasi sayuran sebagai
sumber zat besi yang sulit diserap. Sementara itu, daging dan bahan pangan
hewani sebagai sumber zat besi yang baik (heme iron) jarang dikonsumsi
terutama oleh masyarakat pedesaan (Depkes 1998).
Menurut Almatsier (2001) diperkirakan hanya 5-15 persen besi makanan
diabsorpsi oleh seseorang yang berada dalam status besi baik dan jika dalam

keadaan defisiensi besi, absorpsi dapat mencapai 50 persen. Faktor bentuk besi
berpengaruh terhadap absorpsi besi. Besi heme yang terdapat dalam pangan
hewani dapat diserap dua kali lipat daripada besi nonheme.
Besi dalam makanan terdapat dalam bentuk besi heme (dalam
hemoglobin dan mioglobin makanan hewani) dan besi nonheme (dalam makanan
nabati). Sumber besi nonheme yang baik diantaranya adalah kacang-kacangan.
Asam fitat yang terkandung dalam kedelai dan hasil olahannya dapat
menghambat penyerapan besi. Namun karena zat besi yang terkandung dalam
kedelai dan hasil olahannya cukup tinggi, hasil akhir terhadap penyerapan
besipun biasanya akan positif. Sayuran daun berwarna hijau memiliki kandungan
zat besi yang tinggi sehingga jika sering dikonsumsi maka akan meningkatkan
cadangan zat besi di dalam tubuh. Beberapa jenis sayuran hijau juga
mengandung asam oksalat yang dapat menghambat penyerapan besi, namun
efek menghambatnya relatif lebih kecil dibandingkan asam fitat dalam serealia
dan tanin yang terdapat dalam teh dan kopi (Almatsier 2001).
Bioavailabilitas zat besi dalam makanan sangat dipengaruhi oleh faktor
pendorong dan penghambat. Absorpsi zat besi dapat bervariasi dari 1-40 persen
tergantung pada faktor pendorong dan penghambat dalam makanan (WHO
2001). Menurut FAO/WHO (2001), faktor pendorong penyerapan zat besi
diantaranya :
-

Besi heme, terdapat dalam daging, unggas, ikan, dan seafood

Asam askorbat atau vitamin C, terdapat dalam buah-buahan

Makanan fermentasi seperti asinan dan kecap

Sedangkan faktor penghambat penyerapan zat besi :


-

Fitat, terdapat dalam sekam dan butir serealia, tepung, kacang-kacangan

Makanan dengan kandungan inositol tinggi

Protein di dalam kedelai

Besi yang terikat phenolic (tannin); teh, kopi, coklat, beberapa bumbu
(seperti oregano)

Kalsium, terutama dari susu dan produk susu


Sumber baik zat besi berasal dari pangan hewani seperti daging, unggas,

dan ikan karena mempunyai ketersediaan biologik yang tinggi (Almatsier 2001).
Pangan hewani seperti daging sapi, daging unggas, dan ikan memiliki Meat,
Fish, Poultry Factor (MFP Factor) yang dapat meningkatkan penyerapan besi.
Hasil pencernaan ketiga pangan tersebut menghasilkan asam amino cysteine

dalam jumlah besar. Selanjutnya asam amino tersebut mengikat besi dan
membantu penyerapannya (Groff & Gropper 2000 diacu dalam Puri 2007).
Konsumsi pangan yang rendah kandungan zat besi dapat menyebabkan
ketidakseimbangan besi di dalam tubuh. Selain itu, tingginya konsumsi pangan
yang dapat menghambat penyerapan besi dan rendahnya konsumsi pangan
yang dapat membantu penyerapan besi di dalam tubuh juga dapat menyebabkan
ketidakseimbangan besi di dalam tubuh. Jika hal tersebut berlangsung dalam
jangka waktu yang lama, maka dapat menyebabkan defisiensi besi (Almatsier
2001).
Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengetahui konsumsi
pangan adalah metode frekuensi pangan yang dalam pelaksanaannya dilakukan
pencatatan frekuensi atau banyak kali penggunaan pangan yang biasanya
dikonsumsi untuk suatu periode waktu tertentu. Metode ini bertujuan untuk
memperoleh data konsumsi pangan secara kualitatif dan informasi deskriptif
tentang pola konsumsi. Dengan metode ini dapat dilakukan penilaian frekuensi
penggunaan pangan atau kelompok pangan tertentu (sumber lemak, sumber
protein, sumber zat besi, dan lain sebagainya) selama kurun waktu yang spesifik
(per hari, minggu, bulan, tahun) dan sekaligus mengestimasi konsumsi zat
gizinya. Kuisioner biasanya mempunyai dua komponen utama yaitu daftar
pangan dan frekuensi penggunaan pangan (Kusharto dan Sadiyyah 2006).

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat


Menurut Depkes (2004), perilaku hidup sehat adalah perilaku proaktif
untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah risiko terjadinya
penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit serta berperan aktif dalam
gerakan kesehatan masyarakat. Perilaku hidup sehat sangat erat kaitannya
dengan higiene perorangan (personal hygiene). Yang termasuk dalam higiene
perorangan adalah mencuci tangan sebelum dan sesudah makan dengan sabun
dan air bersih mampu mencegah risiko terkena diare (Anonim 2003 diacu dalam
Nurwulan 2003). Selain itu kebersihan pribadi mencakup : kebersihan kulit,
rambut, mata, kuku, hidung, telinga, mulut dan gigi, tangan dan kaki, pakaian,
serta kebersihan sesudah buang air besar dan kecil (Depkes 2004).
Cuci tangan sebelum makan merupakan salah satu faktor determinan
status anemia. Sebagaimana diketahui bahwa cuci tangan sebelum makan
merupakan salah satu perilaku hidup sehat. Melalui membiasakan mencuci

tangan sebelum makan diharapkan kuman-kuman tersebut tidak turut masuk ke


dalam mulut, selanjutnya akan menyebabkan kecacingan sebab cacing di perut
sebagai pemicu terjadinya anemia. Anak yang rutin mencuci tangan ternyata
mempunyai risiko yang lebih kecil untuk terkena anemia (Irawati et al 2000).

Faktor Risiko Anemia Lainnya


Secara umum, status anemia dipengaruhi oleh empat variabel utama
yaitu infeksi, konsumsi pangan, keadaan fisiologi, dan pengeluaran zat besi oleh
tubuh. Selain itu, terdapat faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap kejadian
anemia antara lain pendidikan, jenis kelamin, wilayah, kebiasaan sarapan, status
kesehatan, dan keadaan IMT (Indeks Massa Tubuh) dalam kategori kurus
(Permaesih dan Herman 2005). Hasil penelitian Maharani (2003) menunjukkan
bahwa faktor risiko yang secara signifikan mempengaruhi kecenderungan status
anemia mahasiswa baru yaitu faktor jenis kelamin, umur, pendapatan orangtua,
dan status proteinuria.
Faktor pendidikan dapat mempengaruhi status anemia seseorang
sehubungan dengan pemilihan makanan yang dikonsumsi. Tingkat pendidikan
yang lebih tinggi akan mempengaruhi pengetahuan dan informasi tentang gizi
yang lebih baik dibandingkan seseorang yang berpendidikan lebih rendah.
Pilihan konsumsi makanan seseorang selain dipengaruhi oleh pengetahuan gizi,
juga dipengaruhi oleh wilayah seseorang tinggal dalam hal ketersediaan pangan
(Permaesih dan Herman 2005).
Keadaan Indeks Massa Tubuh (IMT) dalam kategori kurus mempunyai
kecenderungan untuk terkena anemia (Permaesih dan Herman 2005). Menurut
Thompson,

pertumbuhan

yang

terganggu

berhubungan

dengan

anemia

defisiensi besi dan Indeks Massa Tubuh (IMT) secara positif berhubungan
dengan konsentrasi hemoglobin seseorang. Namun hasil tersebut berbeda
dengan kelompok wanita usia subur di Lebanon, yang menunjukkan bahwa tidak
adanya hubungan IMT dengan status anemia (Khatib et al 2006 diacu dalam
Briawan 2008).
Hasil penelitian Maharani menunjukkan bahwa pendapatan orang tua
yang rendah memiliki kecenderungan menderita anemia. Hasil tersebut sesuai
dengan penyataan WHO (2001) bahwa anemia sering terjadi diantara
masyarakat yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah. Penelitian di
Indonesia yang dilakukan oleh Survival for Women and Children (SWACH)

Foundation menemukan bahwa bahwa status sosial ekonomi juga menjadi faktor
yang mempengaruhi timbulnya kejadian anemia pada remaja (Bartley et al 2005).
Faktor penentu anemia defisiensi besi lainnya termasuk pendapatan yang rendah
dan kemiskinan yang berakibat pada asupan makanan yang rendah dan pola
makan yang rendah zat gizi mikro. Keadaan tersebut juga dipengaruhi oleh
kurangnya pemahaman tentang pola makan beragam dan pentingnya pangan
sumber zat gizi mikro yang dapat mendorong atau menghambat penyerapan zat
besi oleh tubuh (Thompson 2007). Hal ini menggambarkan asupan pangan
sumber zat besi yang rendah terutama pangan hewani (Bartley et al 2005).

Program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB)


pada Remaja Putri
Menurut Dinkes Kota Bekasi (2007), anemia sangat berkaitan dengan
tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia yaitu setiap 100.000 kelahiran
hidup terdapat 307 orang ibu yang meninggal. AKI adalah indikator Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) yang kini sedang gencar dibangun oleh Jawa
Barat. Data tahun 2003 menunjukkan prevalensi anemia ibu hamil di Jawa Barat
sebesar 51.7 persen dan prevalensi pada remaja putri sebesar 39 persen. Di
Kota Bekasi pada tahun 2006 terdapat 24 kasus kematian ibu dan 40 persen
penyebabnya adalah perdarahan karena anemia.
Program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB)
pada remaja putri merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh Dinas
Kesehatan Propinsi Jawa Barat untuk menurunkan prevalensi anemia yang
masih tinggi pada remaja putri yang pada akhirnya diharapkan dapat
menurunkan prevalensi anemia pada ibu hamil. Kegiatan ini berupa pemberian
tablet tambah darah selama 4 bulan kepada remaja putri. Beberapa kabupaten
dan kota di Jawa Barat seperti Cirebon, Subang, Cianjur, dan Bandung telah
melaksanakan program tersebut pada tahun 2006 dan secara signifikan
menunjukkan adanya penurunan prevalensi anemia pada remaja putri baik pada
siswa SMP maupun SMA yang diberikan tablet tambah darah tersebut.
Kegiatan ini dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan seksi Kesehatan Keluarga
dan Gizi bekerja sama dengan seksi Promosi Kesehatan (Program UKS),
Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) Kota Bekasi dan Puskesmas
Perumnas II serta Guru UKS di sekolah sasaran. Program pencegahan dan
penanggulangan anemia gizi besi pada remaja putri ini dilakukan dengan

pemberian tablet tambah darah selama 4 bulan. Program Pencegahan dan


Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) pada remaja putri ini berlangsung
dalam beberapa tahap diantaranya pemeriksaan kadar Hb darah dan recall pola
makan remaja putri yang dilakukan sebelum dan setelah pemberian tablet
tambah darah, pemberian tablet tambah darah kepada remaja putri dan kegiatan
konseling gizi yang bertujuan untuk memantapkan kemauan dan kemampuan
remaja putri melaksanakan perilaku gizi yang baik dan benar agar tidak terjadi
anemia, pemantauan kepatuhan minum tablet tambah darah, dan evaluasi
kegiatan. Tablet tambah darah yang diberikan mengandung 250 mg Fe
elemental dan 0.25 mg asam folat ditambah vitamin dan mineral. Tablet tambah
darah diberikan 1 tablet setiap minggu dan 10 tablet pada waktu menstruasi
sehingga total tablet yang diminum selama 4 bulan kegiatan adalah 52 tablet.
Sekolah untuk pelaksanaan kegiatan dipilih dengan latar belakang
tingginya prevalensi anemia ibu hamil di daerah tersebut, adanya petugas
Puskesmas dengan latar belakang pendidikan gizi, kinerja puskesmas yang
cukup baik, tersedianya laboratorium dan tenaga lab untuk fasilitas pengambilan
dan pemeriksaan darah dengan metode Cyanmethemoglobin, dan dukungan
puskesmas terhadap pelaksanaan kegiatan, serta adanya koordinasi dengan
Dinas Pendidikan dan dinas terkait untuk memberikan dukungan terhadap
kegiatan dan dapat menindaklanjuti pemberian tablet tambah darah secara
mandiri pasca kegiatan.

KERANGKA PEMIKIRAN
Defisiensi zat besi dapat mempengaruhi kapasitas kerja fisik remaja.
Selain itu, defisiensi zat besi dapat mengganggu status imunitas dan fungsi
kognitif pada berbagai tingkatan umur. Defisiensi zat besi menurunkan kekuatan
fisik yang berakibat pada penurunan kapasitas fisik dan kerja. Anemia
mempunyai dampak negatif yang serius pada pertumbuhan dan perkembangan
selama remaja. Sebuah studi yang dilakukan pada remaja putri menunjukkan
bahwa

anemia

berhubungan

dengan

menurunnya

ketahanan fisik

dan

kemampuan berkonsentrasi (Thompson 2007). Selama masa remaja, tubuh


mengalami perkembangan dan persiapan untuk proses kehamilan di masa
mendatang. Rendahnya simpanan zat besi dalam tubuh remaja dan wanita usia
reproduktif membuat mereka mudah terkena anemia defisiensi zat besi karena
intake zat besi dari makanan saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan zat
besi selama masa kehamilan (Beard 2000).
Penelitian ini merupakan bagian dari kegiatan Pencegahan dan
Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) pada remaja putri di Kota Bekasi
yang merupakan program suplementasi zat besi Dinas Kesehatan Kota Bekasi.
Tujuan jangka panjang dari program tersebut adalah menurunkan prevalensi
anemia gizi besi pada remaja putri. Salah satu usaha yang dapat membantu hal
tersebut adalah dengan mengetahui faktor risiko anemia. Pada penelitian kali ini
digunakan beberapa variabel yang berkemungkinan menjadi faktor risiko anemia,
seperti usia, status gizi, aktivitas fisik, pola menstruasi, riwayat penyakit, perilaku
hidup bersih dan sehat, dan frekuensi konsumsi pangan.
Secara garis besar, status anemia dipengaruhi oleh empat variabel utama
yaitu infeksi, konsumsi pangan, keadaan fisiologi, dan pengeluaran zat besi oleh
tubuh. Variabel infeksi dipengaruhi oleh riwayat penyakit individu dan kebiasaan
hidup sehat yang diterapkan. Riwayat penyakit seperti pernah tidaknya menderita
penyakit tuberculosis, malaria, dan cacing dapat menyebabkan anemia akibat
terjadinya kehilangan darah. Kebiasaan hidup sehat yang diterapkan seperti
kebiasaan mencuci tangan berhubungan dengan kebiasaan menjaga personal
hygiene. Kebiasaan mencuci tangan dapat menurunkan risiko terkena anemia
karena dengan mencuci tangan, diharapkan kuman penyebab kecacingan dapat
dihindarkan.
Variabel konsumsi pangan seperti konsumsi pangan sumber heme yang
tinggi atau rendah dapat menjadi faktor risiko status anemia remaja putri. Zat

besi yang terdapat dalam bahan makanan dapat berasal dari hewan maupun
tumbuhan. Zat besi yang berasal dari tumbuh-tumbuhan memiliki daya serap
yang lebih rendah dibanding zat besi yang berasal dari hewan. Bentuk zat besi
yang terdapat di dalam makanan juga mempengaruhi penyerapan besi oleh
tubuh. Zat besi hem yang berasal dari hewan lebih mudah diabsorpsi
dibandingkan zat besi nonhem.
Keadaan fisiologi seseorang seperti usia dan status gizi juga dapat
menjadi faktor risiko anemia. Menurut FAO/WHO (2001), kebutuhan zat besi
yang diperlukan remaja putri untuk pertumbuhan berbeda antara early
adolescence dan middle adolescence. Kebutuhan zat besi yang lebih besar
diperlukan oleh early adolescence karena pada usia tersebut growth spurt lebih
intens terjadi dibandingkan middle adolescence (Beard 2000). Keadaan status
gizi atau IMT yang kurang dapat berpotensi menimbulkan kejadian anemia
(Permaesih dan Herman 2005).
Variabel terakhir yang berkemungkinan menjadi faktor risiko anemia
adalah pengeluaran zat besi oleh tubuh melalui menstruasi dan aktivitas fisik.
Remaja terutama yang telah mengalami menstruasi, dibandingkan dengan yang
belum menstruasi, lebih rentan terhadap anemia, sehubungan dengan
kehilangan darah yang dialami sewaktu menstruasi (Dillon 2005). Kehilangan zat
besi dari tubuh juga dapat melalui keringat saat melakukan aktivitas fisik.
Semakin berat aktivitas fisik, pengeluaran zat besi melalui keringat kemungkinan
akan semakin besar.

Konsumsi Pangan
sumber Fe

Faktor
penghambat
penyerapan Fe :
- Teh
- Kopi
- Sayuran

Riwayat
Penyakit

Faktor pemicu
penyerapan Fe :
- Pangan
hewani
- Buah-buahan

Status Gizi

Status
Anemia

Perilaku hidup
bersih dan sehat

Usia

Menstruasi

Aktivitas Fisik

Gambar 1. Kerangka pemikiran faktor risiko anemia pada remaja putri peserta program
Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) di Kota
Bekasi
Keterangan :
= Variabel yang diteliti

METODE PENELITIAN
Desain, Tempat, dan Waktu
Desain penelitian adalah cross-sectional study yaitu baseline data dari
Dinas Kesehatan Kota Bekasi untuk pelaksanaan program Pencegahan dan
Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) pada remaja putri di Kota Bekasi.
Lokasi penelitian dilaksanakan di dua sekolah yaitu SMP VII Kota Bekasi dan
SMK Teratai Putih Global 2 Kota Bekasi. Pemilihan SMP dan SMK tersebut
didasarkan pada kesediaan pihak sekolah untuk mengikuti program Dinas
Kesehatan Kota Bekasi serta keaktifan puskesmas yang dekat dengan lokasi
SMP dan SMK untuk mengumpulkan data pengukuran hemoglobin peserta
program. Waktu pengambilan data dilakukan pada bulan November 2007 sampai
Februari 2008.
Penarikan Contoh
Contoh dalam penelitian ini terdiri dari 200 orang siswi SMP VII Kota
Bekasi dan 200 orang SMK Teratai Putih Global 2 Kota Bekasi kelas 1 dan kelas
2 sehingga diperoleh jumlah total contoh sejumlah 400 orang. Usia contoh
berkisar antara 10-18 tahun. Tujuan dari program PPAGB adalah untuk
menurunkan prevalensi anemia pada remaja putri sehingga dipilih siswi SMP dan
SMK yang sebagian besar berada pada kisaran usia remaja putri (10-19 tahun
menurut WHO 2006). Pengambilan contoh dilakukan secara sengaja dengan
pertimbangan kesediaan para siswi mengikuti program dan adanya izin dari
orangtua siswi.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan berupa baseline data yang didapat dari Dinas
Kesehatan Kota Bekasi yang merupakan bagian dari program Pencegahan dan
Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) pada remaja putri di Kota Bekasi.
Kegiatan awal yang dilakukan adalah sosialisasi program berupa penyuluhan
kepada para siswi di SMP dan SMK kemudian dilanjutkan pendataan siswi yang
bersedia mengikuti program tersebut. Data dikumpulkan melalui tiga cara yaitu
dengan

wawancara

langsung,

pengukuran

langsung,

dan

pemeriksaan

laboratorium yang dilakukan oleh seorang petugas Puskesmas dan tim Dinas
Kesehatan Bekasi sejumlah tiga orang.

Wawancara langsung dengan siswi dilakukan pada saat pengumpulan


data menggunakan kuisioner yang berisi data usia, aktivitas fisik, pola
menstruasi, riwayat penyakit, Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), perilaku
makan, dan frekuensi konsumsi pangan. Data frekuensi konsumsi pangan
diperoleh dengan metode Food Frequency Questionnaires (FFQ) selama satu
minggu terhadap pangan sumber heme dan pangan sumber non heme.
Data antropometri dan status gizi diketahui melalui pengukuran langsung
berat badan dan tinggi badan dengan alat ukur timbangan dan microtoise.
Selanjutnya hasil berat badan dan tinggi badan digunakan untuk mengetahui
status gizi antropometri siswi.
Penentuan kadar hemoglobin dilakukan dengan pengambilan sampel
darah yang dilakukan oleh petugas Puskesmas dan selanjutnya diukur dengan
metode Cyanmethemoglobin. Metode Cyanmethemoglobin untuk menentukan
konsentrasi hemoglobin adalah metode laboratorium terbaik dalam penentuan
kuantitatif hemoglobin. Sampel darah yang dikumpulkan dibawa ke puskesmas
untuk selanjutnya dilakukan analisis.
Pengolahan dan Analisis Data
Proses pengolahan data meliputi editing, coding, entry, dan analisis data.
Data yang telah dikumpulkan kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan
dianalisis secara deskriptif dan statistika menggunakan program Microsoft Excel
2003 dan SPSS 11.5 for Windows.
Anemia terjadi apabila kepekatan hemoglobin dalam darah di bawah
batas normal. Status anemia contoh ditentukan berdasarkan kadar hemoglobin
yaitu menjadi anemia (kadar Hb < 12 g/dl) dan tidak anemia (kadar Hb 12 g/dl).
Dari data kadar hemoglobin tersebut dapat ditentukan penggolongan jenis
anemia contoh menjadi ringan (10-11.9 g/dl), sedang (7-9.9 g/dl), dan berat
(kadar Hb < 7 g/dl).
WHO mendefinisikan remaja sebagai bagian dari siklus hidup antara usia
10-19 tahun (WHO 2006). Remaja memiliki pertumbuhan yang cepat (growth
spurt) dan satu-satunya periode dalam hidup individu terjadi peningkatan
velositas pertumbuhan (UNS-SCN 2006). Contoh penelitian ini berusia antara 1018 tahun dan dikategorikan menjadi tiga yaitu siswi yang berusia 10-12 tahun,
13-15 tahun, dan 16-18 tahun (Jahari dan Jusat 2004).
Status gizi adalah keadaan seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi,
penyerapan, dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang

lama. Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian
yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik (Supariasa et al 2001). Data
status gizi contoh diperoleh menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT) yang
dihitung berdasarkan data antropometri yaitu berat badan dan tinggi badan siswi
dengan rumus:
Berat Badan (kg)
IMT =

Tinggi Badan (m2)

Status gizi kemudian dikategorikan menjadi kurus (IMT < 18.5), normal (IMT
18.5-24.9), risiko untuk gemuk (IMT 25.0-26.9), dan gemuk (IMT > 26.9).
Menstruasi didefinisikan sebagai suatu proses fisiologis contoh yang
ditandai dengan perdarahan secara periodik dan siklik. Status menstruasi
merupakan sudah atau belumnya contoh mengalami menstruasi. Contoh yang
sudah mengalami menstruasi diberi skor 1 dan 0 jika belum menstruasi.
Frekuensi menstruasi dikategorikan menjadi menjadi rendah (2-3 bulan sekali),
normal (sebulan sekali), dan tinggi (dua kali sebulan). Banyaknya menstruasi
dikategorikan berdasarkan banyaknya pembalut yang digunakan setiap hari yaitu
ganti 1-2 kali, 3-4 kali, 5-6 kali, dan lebih dari enam kali. Lama menstruasi
dikategorikan menjadi rendah (kurang dari tiga hari), normal (3-7 hari), dan tinggi
(lebih dari tujuh hari).
Riwayat penyakit dikategorikan sebagai ada tidaknya penyakit yang
pernah diderita selama sebulan terakhir yang berhubungan dengan anemia yaitu
penyakit tuberculosis, malaria, dan kecacingan. Skor yang diberikan adalah 1 jika
memiliki riwayat penyakit dan 0 jika tidak memiliki riwayat penyakit.
Aktivitas fisik merupakan kegiatan sehari-hari contoh selain belajar.
Aktivitas fisik dikategorikan menjadi tiga yaitu : (1) Olahraga ringan seperti jalan
santai, lempar cakram, tolak peluru, senam pernapasan, (2) Olahraga sedang
seperti basket, voli, lari, senam aerobik, jalan cepat, dan (3) Olahraga berat
seperti sepakbola, lari cepat >10 km, senam aerobik high impact.
Data frekuensi pangan yang dikonsumsi selama seminggu dibagi menjadi
lauk hewani, lauk nabati, sayuran, buah-buahan, makanan jajanan, minuman,
dan suplemen. Bahan pangan tersebut kemudian dikategorikan menurut
frekuensi konsumsinya selama seminggu yaitu tidak pernah, jarang (kurang dari
3 kali), kadang-kadang (3-6 kali), dan setiap hari.

Analisis data dilakukan dalam tiga tahap yaitu univariat, bivariat, dan
multivariat. Analisis univariat dilakukan untuk mendeskripsikan seluruh variabel
yang dianalisis menggunakan crosstab. Melalui uji deksriptif dapat diketahui nilai
minimum, nilai maksimum, dan nilai rata-rata dari setiap variabel, serta frekuensi.
Analisis bivariat dengan teknik analisis korelasi Spearman dilakukan untuk
melihat besar hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen,
dalam hal ini variabel dependen adalah status anemia. Analisis multivariat
dengan teknik analisis regresi logistik dilakukan untuk mengetahui faktor risiko
yang paling berkaitan dengan status anemia. Pada analisis multivariat
dimasukkan seluruh variabel yang pada analisis bivariat berhubungan secara
signifikan dengan status anemia, ini bertujuan untuk mengetahui interaksi seluruh
variabel yang diduga menjadi faktor risiko anemia. Keeratan hubungan dipelajari
pada taraf nyata 10 persen.

Definisi Operasional
Remaja Putri adalah siswi SMP dan SMK berusia antara 10-18 tahun
yang merupakan peserta program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia
Gizi Besi pada Remaja Putri di Kota Bekasi
Status gizi antropometri adalah keadaan remaja putri yang diakibatkan
konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi dari makanan yang diukur
berdasarkan Indeks Massa Tubuh dan dikategorikan menjadi kurus (IMT < 18.5),
normal (IMT 18.5-24.9), risiko untuk gemuk (IMT 25.0-26.9), dan gemuk (IMT >
26.9)
Status anemia adalah jumlah hemoglobin dalam darah yang dinyatakan
dalam satuan g/dl dan dikatakan anemia apabila konsentrasi atau kadar
hemoglobin dalah darah kurang dari 12 g/dl.
Menstruasi adalah suatu proses fisiologis remaja putri yang ditandai
dengan perdarahan secara periodik dan siklik yang digambarkan oleh status
menstruasi (sudah atau belumnya contoh mengalami menstruasi), frekuensi
menstruasi, banyaknya menstruasi, dan lama menstruasi
Frekuensi menstruasi adalah keteraturan menstruasi remaja putri yang
dinyatakan rendah apabila menstruasi 2-3 kali sebulan, normal apabila
menstruasi satu kali setiap bulan, dan tinggi apabila menstruasi dua kali sebulan

Banyaknya menstruasi adalah gambaran darah yang dikeluarkan


remaja putri yang digambarkan dengan banyaknya pembalut yang digunakan
setiap hari
Lama menstruasi adalah lamanya menstruasi remaja putri yang
berlangsung setiap periode menstruasi dan dinyatakan rendah apabila kurang
dari tiga hari, normal apabila antara 3-7 hari, dan tinggi apabila lebih dari delapan
hari
Aktivitas Fisik adalah kegiatan yang biasa dilakukan oleh remaja putri
yang dikategorikan menjadi tiga yaitu olahraga ringan, olahraga sedang, dan
olahraga berat
Riwayat Penyakit adalah penyakit yang pernah diderita remaja putri
yang berhubungan dengan kejadian anemia yaitu penyakit tuberculosis, malaria,
dan kecacingan dalam jangka waktu sebulan terakhir
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat adalah perilaku proaktif remaja putri
dalam memelihara kesehatan dan mencegah risiko penyakit yaitu berupa
kebiasaan mencuci tangan sebelum makan dengan atau tanpa sabun dan air
bersih
Konsumsi Pangan adalah gambaran pola konsumsi bahan makanan remaja
putri yang diukur secara kualitatif yaitu bahan pangan sumber heme dan sumber
non heme yang dikonsumsi selama seminggu

HASIL DAN PEMBAHASAN


Status Anemia
Status zat besi tiap individu bermacam-macam mulai dari excess zat besi
sampai anemia defisiensi zat besi (Gleason & Scrimshaw 2007). Anemia terjadi
apabila kepekatan hemoglobin dalam darah di bawah batas normal. Pada
penelitian ini, status anemia ditentukan menggunakan indikator hemoglobin.
Penggunaan konsentrasi hemoglobin dalam darah merupakan pengukuran
anemia defisiensi besi yang paling luas. Penentuan kadar hemoglobin dilakukan
dengan pengambilan sampel darah dan dianalisis menggunakan metode
Cyanmethemoglobin. Sebaran contoh berdasarkan kadar hemoglobin disajikan
pada Gambar 2.

6.0% 0%
Normal 12.0 g/dl

32.3%

Ringan 10.0-11.9 g/dl


Sedang 7.0- 9.9 g/dl
61.7%

Berat < 7.0 g/dl

Gambar 2. Sebaran contoh berdasarkan kadar hemoglobin


Konsentrasi hemoglobin contoh berkisar antara 7.2 hingga 16.0 g/dl
dengan rata-rata kadar hemoglobin 12.4 1.5 g/dl. Pada penelitian ini lebih dari
separuh contoh (61.7%) tidak mengalami anemia. Terdapat 32.3 persen contoh
yang mengalami anemia ringan dan 6.0 persen contoh yang mengalami anemia
sedang (kadar Hb antara 7.0-9.9 g/dl).
Adanya contoh yang berada pada kondisi anemia sedang ini akan
berdampak pada status imunitas dan fungsi kognitifnya (Ruel 2001). Menurut
Soekirman (2000), anemia pada kelompok remaja dapat menimbulkan berbagai
dampak antara lain menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah terkena
penyakit dan menurunkan aktivitas yang berkaitan dengan kemampuan kerja fisik
dan prestasi belajar. Selain itu remaja yang menderita anemia mengalami
penurunan kebugaran sehingga akan menghambat prestasi olahraga dan
produktivitasnya.

Secara keseluruhan terdapat 38.3 persen contoh yang mengalami


anemia yaitu keadaan kadar hemoglobin kurang dari 12.0 g/dl. Prevalensi ini
lebih tinggi dari hasil penelitian Permaesih dan Herman (2005) yaitu sebesar 30
persen pada remaja wanita, namun termasuk rendah bila dibandingkan dengan
prevalensi anemia di SD dan SMU di Jawa Tengah (57.4%) dan Jawa Timur
(80.2%) (Depkes 2003 diacu dalam Briawan 2008). Berdasarkan klasifikasi
masalah kesehatan masyarakat menurut WHO (2001), prevalensi anemia pada
hasil penelitian ini termasuk kategori sedang (20-39%).

Usia dan Status Gizi Antropometri


Usia
WHO mendefinisikan remaja sebagai bagian dari siklus hidup antara usia
10-19 tahun dan dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu 10-12 tahun, 13-15 tahun
dan 16-18 tahun (Jahari & Jusat 2004). Remaja memiliki pertumbuhan yang
cepat (growth spurt) dan merupakan waktu pertumbuhan yang intens setelah
masa bayi serta satu-satunya periode dalam hidup individu terjadi peningkatan
velositas pertumbuhan (UNS-SCN 2006). Adanya kekurangan zat gizi makro dan
mikro dapat mengganggu pertumbuhan dan menghambat pematangan seksual
(DiMeglio 2000). Berikut adalah sebaran contoh berdasarkan usia dan status
anemia.
Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan usia dan status anemia
Usia
10 12 tahun
13 15 tahun
16 18 tahun
Total

Anemia
n
43
77
33
153

Status Anemia
Tidak Anemia
%
n
%
28.1
115
46.6
79
31.9
50.3
21.6
53
21.5
100
247
100

Total
n
158
156
86
400

%
39.5
39.0
21.5
100

Rata-rata usia contoh adalah 13.7 1.9 tahun dengan kisaran usia antara
10-18 tahun. Rata-rata usia baik contoh yang anemia maupun tidak anemia
hampir sama yaitu berturut-turut 13.9 1.7 tahun dan 13.5 1.9 tahun. Pada
Tabel 3 dapat dilihat bahwa secara umum proporsi terbesar contoh (39.5%)
berusia antara 10-12 tahun dan hampir separuh contoh yang tidak anemia
(46.6%) berada pada kisaran usia tersebut.
Tabel 3 menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh anemia (50.3%)
berada pada kisaran usia 13-15 tahun. Hal tersebut memperlihatkan adanya
kecenderungan siswi yang berusia antara 13-15 tahun untuk mengalami anemia

dibandingkan siswi yang berada diluar kisaran usia tersebut. Ini diduga karena
pada kisaran usia 13-15 tahun, seseorang baru mengalami menstruasi sehingga
kecenderungan anemia lebih besar akibat kehilangan darah yang dialami.
Menurut Hanafiah (1999) diacu dalam Khaerunnisa (2005), rata-rata usia wanita
pertama kali mendapat menstruasi (menarche) yaitu 12.5 tahun sedangkan
menurut hasil penelitian Dillon (2005) terhadap remaja putri di Tangerang, ratarata usia menarche adalah 12 tahun.
Hasil analisis Korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara usia dengan status anemia (r = 0.131, p = 0.009). Hal ini
memperlihatkan bahwa usia antara 13-15 tahun memiliki kecenderungan yang
lebih besar untuk mengalami anemia. Hasil penelitian Hulu (2004) pada siswi
SMK menunjukkan kecenderungan anemia berada pada kelompok siswi yang
berusia lebih tua. Ini diduga berkaitan dengan terjadinya menstruasi pada siswi
yang berusia lebih tua. Pada penelitian ini, hampir separuh siswi SMP yang
berusia antara 10-12 tahun belum mengalami menstruasi. Dillon (2005)
menyatakan bahwa remaja terutama yang telah mengalami menstruasi,
dibandingkan dengan yang belum menstruasi, lebih rentan terhadap anemia.
Persentase anemia terkecil terdapat pada kisaran usia 16-18 tahun. Hal
ini sesuai dengan hasil penelitian Maharani (2001) yang menunjukkan bahwa
usia 18 tahun ke atas memiliki kecenderungan lebih kecil untuk menderita
anemia daripada usia kurang dari 18 tahun. Hal ini pun diperkuat dengan
pernyataan Beard (2000) yang menunjukkan bahwa kebutuhan zat besi yang
lebih besar diperlukan oleh early adolescence karena pada usia tersebut growth
spurt lebih intens terjadi dibandingkan middle adolescence sehingga apabila
intake zat besi kurang akan memicu terjadinya anemia. Hal ini juga diduga
karena menurut FAO/WHO (2001), kebutuhan zat besi wanita usia 16-18 tahun
lebih rendah.

Status Gizi Antropometri


Menurut Riyadi (2001), status gizi adalah keadaan seseorang yang
diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi dari makanan
dalam jangka waktu yang lama. Pengukuran antropometri banyak digunakan
dalam penilaian status gizi dan pengukuran yang paling reliabel untuk
menentukan status gizi pada masa remaja saat ini adalah Indeks Massa Tubuh
(IMT) yang ditentukan dengan membagi berat badan dalam satuan kg dengan

kuadrat tinggi badan dalam satuan meter. Status gizi kemudian dikategorikan
menjadi kurus (IMT<18.5), normal (IMT 18.5-24.9), risiko gemuk (IMT 25.0-26.9),
dan gemuk (IMT>26.9). Berikut adalah sebaran contoh berdasarkan status gizi
dan status anemia.
Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan status gizi dan status anemia
Status Gizi
Kurus
Normal
Risiko gemuk
Gemuk
Total

Status Anemia
Anemia
Tidak Anemia
n
%
n
%
75
49.1
117
47.4
76
113
45.7
49.7
1
0.6
9
3.6
1
0.6
8
3.3
153
100
247
100

Total
n
192
189
10
9
400

%
48.0
47.3
2.5
2.2
100

Rata-rata berat badan contoh adalah 43.49.5 kg dengan kisaran nilai


antara 19.9-95.9 kg. Rata-rata berat badan contoh yang anemia maupun tidak
anemia hampir sama yaitu berturut-turut 43.67.6 kg dan 43.310.5 kg. Contoh
memiliki rata-rata tinggi badan sebesar 1.50.1 m dengan kisaran nilai antara
1.3-1.7 m. Rata-rata tinggi badan contoh yang anemia maupun tidak anemia
hampir sama yaitu berturut-turut 1.50.6 m dan 1.50.1 m. Rata-rata berat badan
dan tinggi badan contoh termasuk normal bila dibandingkan dengan usia (Jahari
& Jusat 2004).
Rata-rata IMT contoh adalah 19.33.3 kg/m2 dengan kisaran IMT sebesar
11.9 kg/m2 hingga 37.5 kg/m2. Secara keseluruhan, status gizi contoh berada
pada kategori kurus yaitu sebesar 48.0 persen. Proporsi terbesar contoh yang
tidak anemia berada pada kategori kurus yaitu sebesar 47.4 persen sedangkan
status gizi contoh yang anemia berada pada kategori normal (49.7%), walaupun
proporsi tersebut tidak jauh berbeda dengan contoh anemia yang kurus (49.1%).
Hal ini menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki status gizi kurus memiliki
kecenderungan untuk mengalami anemia.
Hasil penelitian Permaesih dan Herman (2005) menunjukkan bahwa
remaja yang mempunyai Indeks Massa Tubuh (IMT) kurang atau tubuh kurus
mempunyai risiko 1.5 kali untuk menjadi anemia. Thompson (2007) menyatakan
bahwa IMT mempunyai korelasi positif dengan konsentrasi hemoglobin yang
artinya jika seseorang memiliki IMT kurang maka akan berisiko menderita
anemia. Meski demikian, hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa
tidak terdapat hubungan yang signifikan antara IMT dengan status anemia
contoh (p>0.1).

Menstruasi
Anemia pada remaja putri disebabkan masa remaja adalah masa
pertumbuhan yang membutuhkan zat gizi lebih tinggi termasuk zat besi. Selain
itu pada masa remaja, seseorang akan mengalami menstruasi. Menstruasi ialah
perdarahan

secara

periodik

dan

siklik

dari

uterus

disertai

pelepasan

endometrium. Kebutuhan zat besi akan meningkat pada remaja putri


sehubungan dengan terjadinya menstruasi. Menstruasi contoh digambarkan oleh
belum atau sudah mengalami menstruasi, frekuensi, banyak, dan lama
menstruasi setiap periodenya.

Status Menstruasi
Status menstruasi adalah keadaan sudah atau belumnya seorang wanita
mengalami menstruasi. Saat menstruasi terjadi pengeluaran darah dari dalam
tubuh. Hal ini menyebabkan zat besi yang terkandung dalam hemoglobin, salah
satu komponen sel darah merah, juga ikut terbuang. Hal tersebut mengakibatkan
pengeluaran besi meningkat dan keseimbangan zat besi dalam tubuh terganggu
(Depkes 1998).
Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan status menstruasi dan status anemia
Status
Menstruasi
Sudah
Belum
Total

Status Anemia
Anemia
Tidak Anemia
n
%
n
%
125
177
81.7
71.7
28
18.3
70
28.3
153
100
247
100

Total
n
302
98
400

%
75.5
24.5
100

Berdasarkan hasil pada Tabel 5, sebagian besar contoh (75.5%) sudah


mengalami menstruasi dan sisanya (24.5%) belum mengalami menstruasi. Pada
penelitian ini, proporsi terbesar contoh berusia antara 10-12 tahun dan hampir
separuh contoh yang tidak anemia berada pada kisaran usia tersebut. Menurut
Hanafiah (1999) diacu dalam Khaerunnisa (2005), rata-rata usia wanita pertama
kali mendapat menstruasi (menarche) yaitu 12.5 tahun sedangkan menurut hasil
penelitian Dillon (2005) terhadap remaja putri di Tangerang, rata-rata usia
menarche adalah 12 tahun.
Tabel 5 menunjukkan bahwa pada contoh yang sudah mengalami
menstruasi, persentase yang lebih besar terdapat pada contoh yang anemia
(81.7%) bila dibandingkan dengan persentase contoh yang tidak anemia
(71.7%). Hal ini memperlihatkan kecenderungan terjadinya anemia pada

seseorang yang sudah mengalami menstruasi. Hasil analisis korelasi Spearman


menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara status menstruasi
dengan status anemia contoh (r = 0.113, p = 0.023).
Hasil tersebut menunjukkan bahwa seseorang yang telah menstruasi
memiliki kecenderungan untuk mengalami anemia dibandingkan yang belum
menstruasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Dillon (2005) yang menyatakan
bahwa remaja terutama yang telah mengalami menstruasi, dibandingkan dengan
yang belum menstruasi, lebih rentan terhadap anemia. Wanita pada umumnya
cenderung mempunyai simpanan zat besi yang lebih rendah dibandingkan pria
dan hal inilah yang membuat wanita lebih rentan mengalami anemia saat asupan
zat besi kurang atau kebutuhan meningkat seperti saat menstruasi (Gleason &
Scrimshaw 2007).

Frekuensi Menstruasi
Frekuensi menstruasi menggambarkan keteraturan menstruasi seorang
wanita setiap bulannya. Frekuensi menstruasi dibedakan menjadi rendah (2-3
bulan sekali), normal (sebulan sekali), dan tinggi (sebulan dua kali). Berikut
adalah sebaran contoh berdasarkan frekuensi menstruasi dan status anemia
yang disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi menstruasi dan status anemia
Frekuensi
Menstruasi
Rendah
Normal
Tinggi
Total

Status Anemia
Anemia
Tidak Anemia
n
%
n
%
8
6.4
7
3.9
111
167
88.8
94.4
6
4.8
3
1.7
125
100
177
100

Total
n
15
278
9
302

%
5.0
92.0
3.0
100

Tabel 6 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh memiliki frekuensi


menstruasi yang normal yaitu sebulan sekali (92.0%). Hasil yang serupa juga
terlihat baik pada contoh anemia (88.8%) maupun tidak anemia (94.4%).
Terdapat sekitar 3.0 persen contoh memiliki frekuensi menstruasi yang tinggi
(sebulan dua kali). Frekuensi menstruasi yang tinggi lebih sering dialami oleh
contoh yang anemia (4.8%). Hal ini menunjukkan bahwa contoh yang anemia
cenderung mengalami frekuensi menstruasi yang lebih tinggi dibandingkan
contoh yang tidak anemia.
Saat menstruasi terjadi pengeluaran darah dari dalam tubuh. Semakin
sering menstruasi berlangsung, maka semakin banyak pengeluaran dari tubuh.

Hal tersebut mengakibatkan pengeluaran besi meningkat dan keseimbangan zat


besi dalam tubuh terganggu (Depkes 1998). Adanya frekuensi menstruasi contoh
yang tidak normal seperti rendah dan tinggi tersebut dipengaruhi oleh beberapa
faktor yang mengganggu kelancaran siklus menstruasi diantaranya yaitu faktor
stres, perubahan berat badan, olah raga yang berlebihan, dan keluhan
menstruasi (Affandi 1990). Meski demikian, hasil analisis korelasi Spearman
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara frekuensi
menstruasi dengan status anemia contoh (p>0.1).

Banyaknya Menstruasi
Banyaknya menstruasi digambarkan dengan banyaknya pembalut yang
digunakan contoh setiap hari. Menurut Affandi (1990), salah satu cara yang
dapat dilakukan untuk mengetahui jumlah darah menstruasi adalah dengan
menanyakan volume berdasarkan jumlah pembalut yang digunakan.
Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan banyaknya menstruasi dan status anemia
Banyaknya
Menstruasi
Ganti 1-2 kali/hari
Ganti 3-4 kali/hari
Ganti 5-6 kali/hari
Ganti > 6 kali/hari
Total

Status Anemia
Anemia
Tidak Anemia
n
%
n
%
54
43.2
87
49.1
69
83
46.9
55.2
2
1.6
6
3.4
0
0
1
0.6
125
100
177
100

Total
n
141
152
8
1
302

%
46.7
50.3
2.7
0.3
100

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa jumlah darah yang hilang


selama satu periode menstruasi berkisar antara 20-25 cc dan dianggap abnormal
jika kehilangan darah menstruasi lebih dari 80 ml. Tabel 7 menunjukkan bahwa
secara umum lebih dari separuh contoh (50.3%) mengganti pembalut 3-4 kali
setiap hari. Lebih dari separuh contoh yang anemia (55.2%) mengganti pembalut
3-4 kali setiap hari sedangkan hampir separuh contoh yang tidak anemia (49.1%)
mengganti pembalut 1-2 kali setiap harinya. Hal ini menunjukkan bahwa contoh
yang anemia cenderung mengalami kehilangan darah yang lebih tinggi
dibandingkan dengan yang contoh tidak anemia dilihat dari jumlah pembalut
yang diganti setiap hari. Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa
tidak terdapat hubungan yang signifikan antara banyaknya menstruasi dengan
status anemia contoh (p>0.1).
Hasil tersebut memperlihatkan bahwa perbedaan banyaknya menstruasi
tidak mempengaruhi kecenderungan seseorang untuk menderita anemia. Namun

menurut pernyataan Affandi (1990), apabila darah yang keluar saat menstruasi
cukup banyak berarti jumlah zat besi yang hilang dari tubuh juga cukup besar.
Banyaknya darah yang keluar dapat berbeda-beda pada setiap orang dan
bahkan pada seorang remaja wanita dapat berbeda setiap bulannya. Tidak
adanya hubungan antara banyaknya menstruasi dengan status anemia diduga
karena pengukuran banyaknya menstruasi menggunakan banyaknya pembalut
masih dipengaruhi faktor subyektif sesuai dengan kebutuhan pembalut masingmasing individu.

Lama Menstruasi
Lama menstruasi biasanya antara 3-5 hari dan dianggap tidak normal jika
lebih dari delapan atau sembilan hari. Saat menstruasi terjadi pengeluaran darah
dari dalam tubuh. Hal itu menyebabkan zat besi yang terkandung dalam
hemoglobin juga ikut terbuang. Lama menstruasi yang tinggi dapat menyebabkan
darah yang dikeluarkan tubuh semakin banyak, sehingga kemungkinan
kehilangan zat besi juga semakin tinggi (Affandi 1990). Sebaran contoh
berdasarkan lama menstruasi dan status anemia disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan lama menstruasi dan status anemia
Lama Menstruasi
Rendah
Normal
Tinggi
Total

Status Anemia
Anemia
Tidak Anemia
n
%
n
%
1
0.8
1
0.6
108
157
86.4
88.7
16
12.8
19
10.7
125
100
177
100

Total
n
2
265
35
302

%
0.7
87.7
11.6
100

Lama menstruasi dikatakan rendah jika kurang dari tiga hari dan normal
apabila berada diantara 3-7 hari serta dikatakan tinggi jika lebih dari delapan hari.
Tabel 8 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh (87.7%) memiliki lama
menstruasi yang tergolong normal (3-7 hari). Hal ini terlihat dari sebagian besar
contoh anemia (86.4%) dan tidak anemia (88.7%) yang juga memiliki lama
menstruasi yang tergolong normal. Hanya sekitar 12.3 persen contoh yang
memiliki lama menstruasi yang tergolong tidak normal yaitu lama menstruasi
yang rendah (0.7%) dan tinggi (11.6%). Lama menstruasi yang tinggi lebih
banyak dialami oleh contoh anemia.
Menurut Affandi (1990), beberapa penelitian menunjukkan bahwa jumlah
darah yang hilang selama satu periode menstruasi normal berkisar antara 20-25
cc dan dianggap abnormal jika kehilangan darah menstruasi lebih dari 80 ml.

Jumlah 20-25 cc menyiratkan kehilangan zat besi sebesar 12.5-15 mg/bulan atau
kira-kira sama dengan 0.4-0.5 mg/hari. Jika jumlah tersebut ditambah dengan
kehilangan basal maka jumlah total zat besi yang hilang sebesar 1.25 mg/hari
(Arisman 2002).
Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara lama menstruasi dengan status anemia contoh
(p>0.1). Hasil tersebut memperlihatkan bahwa perbedaan lama menstruasi tidak
mempengaruhi kecenderungan seseorang untuk menderita anemia. Tidak
adanya hubungan signifikan tersebut diduga karena rata-rata lama perdarahan
setiap periode tiap wanita kurang lebih tetap. Banyaknya darah yang keluar
dapat berbeda-beda pada setiap orang, bahkan pada seorang remaja wanita
dapat berbeda-beda dari bulan ke bulan. Perbedaan lama menstruasi seseorang
dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain lingkungan, lamanya menstruasi, usia,
dan ovulasi (Affandi 1990).

Riwayat Penyakit
Anemia dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah terkena
infeksi (Permaesih dan Herman 2005). Infeksi merupakan faktor yang penting
dalam menimbulkan kejadian anemia dan anemia merupakan konsekuensi dari
peradangan dan asupan makanan yang tidak memenuhi kebutuhan zat besi
(Thurnham & Northrop-Clewes 2007). Berdasarkan Tabel 9 dapat dilihat bahwa
sebagian besar contoh (99.3%) tidak memiliki riwayat penyakit.
Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan riwayat penyakit dan status anemia
Riwayat Penyakit
Ya
Tidak
Total

Anemia
n
1
152
153

Status Anemia
Tidak Anemia
%
n
%
0.7
2
0.8
245
99.3
99.2
100
247
100

Total
n
3
397
400

%
0.8
99.3
100

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar contoh anemia


maupun tidak anemia tidak memiliki riwayat penyakit yang berhubungan dengan
anemia seperti malaria, tuberculosis, dan kecacingan. Pada Tabel 9 dapat dilihat
bahwa hanya terdapat sekitar 0.8 persen contoh yang memiliki riwayat penyakit
yang berhubungan dengan anemia. Penyakit yang pernah diderita oleh contoh
tersebut adalah malaria dan kecacingan.

Penyakit infeksi terutama malaria, kecacingan, dan infeksi lainnya seperti


tuberculosis merupakan faktor penting yang memberikan kontribusi terhadap
tingginya prevalensi anemia di banyak populasi (WHO 2004). Menurut Dreyfuss
et al (2000), adanya infeksi cacing tambang menyebabkan pendarahan pada
dinding usus, meskipun sedikit tetapi terjadi terus menerus sehingga dapat
mengakibatkan hilangnya darah atau zat besi. Malaria menyebabkan kehilangan
darah secara langsung dan kehilangan darah tersebut mengakibatkan defisiensi
besi (WHO 2001).
Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara riwayat penyakit dengan status anemia contoh
(p>0.1). Hasil penelitian Permaesih dan Herman (2005) memperlihatkan bahwa
sakit yang diderita baik pada satu tahun atau satu bulan sebelumnya
berhubungan secara bermakna dengan status anemia. Sakit yang diderita,
terutama penyakit infeksi mempengaruhi metabolisme dan utilisasi zat besi yang
diperlukan dalam pembentukan hemoglobin dalam darah. Tidak adanya
hubungan signifikan tersebut diduga karena jarangnya contoh menderita penyakit
yang berhubungan dengan anemia seperti malaria, tuberculosis, dan kecacingan.
Selain itu hal ini diduga karena pengukuran data yang kurang mendalam karena
hanya mengukur riwayat penyakit yang pernah diderita contoh, dan bukan
riwayat penyakit pada kurun waktu tertentu.

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat


Menurut Depkes (2004), perilaku hidup sehat adalah perilaku proaktif
untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah risiko terjadinya
penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit serta berperan aktif dalam
gerakan kesehatan masyarakat. Perilaku hidup sehat sangat erat kaitannya
dengan higiene perorangan (personal hygiene). Salah satu indikator Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kebiasaan mencuci tangan sebelum dan sesudah makan dengan air bersih
(Anonim 2003 diacu dalam Nurwulan 2003).
Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan perilaku hidup bersih dan sehat
PHBS
Mencuci tangan
Tidak mencuci tangan
Total

Status Anemia
Anemia
Tidak Anemia
n
%
N
%
139
226
90.8
91.5
14
9.2
21
8.5
153
100
247
100

Total
n
365
35
400

%
91.3
8.7
100

Tabel 10 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh memiliki kebiasaan


mencuci tangan baik dengan atau tanpa sabun sebelum makan (91.3%). Hasil
yang serupa juga terlihat baik pada contoh anemia (90.8%) maupun tidak anemia
(91.5%). Terdapat sekitar 8.7 persen contoh yang memiliki kebiasaan tidak
mencuci tangan sebelum makan.
Mencuci tangan sebelum makan merupakan salah satu faktor determinan
status anemia. Penelitian yang dilakukan pada siswa SD menunjukkan bahwa
seseorang yang rutin mencuci tangan ternyata mempunyai risiko yang lebih kecil
untuk terkena anemia. Mencuci tangan sebelum makan merupakan salah satu
faktor determinan status anemia dan melalui membiasakan mencuci tangan
sebelum makan diharapkan kuman-kuman tidak ikut masuk ke dalam mulut,
yang selanjutnya akan menyebabkan kecacingan sebab cacing di perut sebagai
pemicu terjadinya anemia (Irawati et al 2000).
Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara perilaku hidup bersih dan sehat dengan status
anemia contoh (p>0.1). Hasil tersebut memperlihatkan bahwa perbedaan
kebiasaan mencuci tangan sebelum makan tidak mempengaruhi kecenderungan
seseorang untuk menderita anemia. Hal ini diduga karena contoh remaja putri
memiliki kebiasaan mencuci tangan yang cenderung sama sedangkan pada hasil
penelitian Irawati et al (2000) contoh yang digunakan adalah siswa SD yang
memiliki

kebiasaan

mencuci

tangan

yang

berbeda-beda

sehingga

kecenderungan anemia juga akan berbeda.

Aktivitas Fisik
Pola aktivitas remaja didefinisikan sebagai kegiatan yang biasa dilakukan
oleh remaja sehari-hari sehingga akan membentuk pola. Aktivitas fisik erat
kaitannya dengan kesehatan tubuh secara keseluruhan (Kartono 1992 diacu
dalam Ratnayani 2005). Aktivitas fisik dikategorikan menjadi olahraga ringan.
olahraga sedang, dan olahraga berat.
Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan aktivitas fisik dan status anemia
Aktivitas Fisik
Olahraga ringan
Olahraga sedang
Olahraga berat
Total

Status Anemia
Anemia
Tidak Anemia
n
%
N
%
77
131
50.3
53.0
75
49.0
113
45.8
1
0.7
3
1.2
153
100
247
100

Total
n
208
188
4
400

%
52.0
47.0
1.0
100

Tabel 11 menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh (52.0%) memiliki


aktivitas fisik olahraga ringan (jalan santai, lempar cakram, tolak peluru, senam
pernapasan). Hasil yang serupa juga terlihat baik pada contoh anemia (50.3%)
maupun tidak anemia (53.0%). Terdapat hanya sekitar satu persen contoh yang
melakukan olahraga berat (sepakbola, lari cepat >10 km, senam aerobik).
Persentase contoh anemia yang melakukan aktivitas olahraga sedang
seperti basket, voli, lari, senam aerobik, dan jalan cepat (49.0%) sedikit lebih
tinggi dibandingkan dengan contoh yang tidak anemia (45.8%). Hal ini
memperlihatkan bahwa contoh yang anemia cenderung lebih banyak kehilangan
zat besi selama olahraga melalui keringat dibandingkan contoh yang tidak
anemia.
Anemia dapat mempengaruhi tingkat kesegaran jasmani seseorang.
Penelitian Permaesih (2002) diacu dalam Permaesih dan Herman (2005)
menemukan 25 persen remaja di Bandung mempunyai kesegaran jasmani
kurang dari normal. Keadaan ini dapat mempengaruhi produktivitas kerja remaja.
Remaja yang memiliki aktivitas fisik yang tinggi mempunyai risiko defisiensi zat
besi yang lebih besar. Olahraga berat dapat meningkatkan kebutuhan zat besi
hingga 1-2 mg/hari. Hal ini dapat disebabkan oleh kombinasi beberapa faktor
seperti kehilangan zat besi melalui keringat, kehilangan darah dari sistem
gastrointestinal, dan hemolisis (Zhu & Haas 1997). Menurut Akabas dan Dollins
(2005), pengeluaran zat besi dapat melalui keringat, feses dan urine, atau
hemolisis intravaskular. Hasil studi yang dilakukan pada atlet wanita yang
menunjukkan bahwa kehilangan zat besi terjadi melalui keringat dan konsentrasi
zat besi terbesar dalam keringat terjadi selama 30 menit pertama olahraga.
Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara aktivitas fisik dengan status anemia contoh
(p>0.1). Tidak adanya hubungan yang signifikan tersebut diduga karena
intensitas aktivitas fisik yang dilakukan oleh contoh tidak sebesar intensitas
aktivitas fisik secara teori yang dapat menyebabkan anemia seperti yang terjadi
pada atlet wanita. Aktivitas olahraga contoh berupa olahraga ringan yang
dilakukan saat pelajaran olahraga dengan intensitas yang lebih rendah.

Frekuensi Konsumsi Pangan


Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan
yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu.

Batasan ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau berdasarkan


aspek jenis pangan dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Pengukuran yang
dapat digunakan untuk mengetahui konsumsi pangan adalah metode frekuensi
pangan yang dalam pelaksanaannya dilakukan pencatatan frekuensi atau
banyaknya penggunaan pangan yang biasanya dikonsumsi untuk suatu periode
waktu tertentu (Kusharto dan Sadiyyah 2006). Pencatatan frekuensi pangan
sumber zat besi dibagi menjadi lauk hewani, lauk nabati, sayuran, buah-buahan,
makanan jajanan, minuman, dan suplemen. Ketujuh jenis pangan ini kemudian
dikategorikan menurut frekuensi konsumsi selama seminggu yaitu tidak pernah,
jarang (kurang dari 3 kali), kadang-kadang (3-6 kali), dan setiap hari.

Frekuensi Konsumsi Lauk Hewani


Menurut Almatsier (2001) diperkirakan hanya 5-15 persen besi makanan
diabsorpsi seseorang yang berstatus besi baik. Jika dalam keadaan defisiensi
besi, absorpsi dapat mencapai 50 persen. Faktor bentuk besi berpengaruh
terhadap absorpsi besi. Besi heme yang terdapat dalam pangan hewani dapat
diserap dua kali lipat daripada besi nonheme. Oleh karena itu kurangnya
konsumsi pangan sumber heme dapat mempengaruhi penyerapan zat besi.
Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi lauk hewani dan status anemia
Lauk Hewani

Ikan Segar

Ikan Asin

Daging Sapi

Daging Ayam

Frekuensi
konsumsi
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total

Status Anemia
Anemia
Tidak Anemia
n
%
N
%
32
20.9
53
21.5
76
113
49.7
45.7
34
22.2
70
28.3
11
7.2
11
4.5
153
100
247
100
111
169
72.5
68.4
26
17.0
62
25.1
15
9.8
16
6.5
1
0.7
0
0
153
100
247
100
109
160
71.2
64.8
32
21.0
67
27.1
12
7.8
18
7.3
0
0
2
0.8
153
100
247
100
24
15.7
37
15.0
80
114
52.3
46.1
47
30.7
86
34.8
2
1.3
10
4.1
153
100
247
100

Total
n
85
189
104
22
400
280
88
31
1
400
269
99
30
2
400
61
194
133
12
400

%
21.2
47.3
26.0
5.5
100
70.0
22.0
7.7
0.3
100
67.3
24.7
7.5
0.5
100
15.2
48.5
33.3
3.0
100

Lauk Hewani

Hati Sapi

Hati Ayam

Telur Ayam

Telur Bebek

Telur Puyuh

Frekuensi
konsumsi
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total

Status Anemia
Anemia
Tidak Anemia
n
%
N
%
140
228
91.5
92.3
8
5.2
15
6.1
4
2.6
2
0.8
1
0.7
2
0.8
153
100
247
100
109
171
71.3
69.2
36
23.5
61
24.7
8
5.2
14
5.7
0
0
1
0.4
153
100
247
100
15
9.8
39
15.8
49
32.0
86
34.8
71
99
46.4
40.1
18
11.8
23
9.3
153
100
247
100
144
235
94.1
95.1
3
1.9
10
4.1
5
3.3
2
0.8
1
0.7
0
0
153
100
247
100
130
203
84.9
82.2
18
11.8
33
13.4
4
2.6
10
4.0
1
0.7
1
0.4
153
100
247
100

Total
n
368
23
6
3
400
280
97
22
1
400
54
135
170
41
400
379
13
7
1
400
333
51
14
2
400

%
92.0
5.7
1.5
0.8
100
70.0
24.2
5.5
0.3
100
13.5
33.7
42.5
10.3
100
94.7
3.3
1.7
0.3
100
83.3
12.7
3.5
0.5
100

Tabel 12 menunjukkan bahwa dari sembilan lauk hewani atau sumber


heme, enam jenis pangan diantaranya tidak pernah dikonsumsi lebih dari
separuh contoh baik pada contoh yang anemia maupun tidak anemia (67.3%94.7%) seperti ikan asin, daging sapi, hati sapi, hati ayam, telur bebek, dan telur
puyuh.
Hampir separuh contoh jarang mengkonsumsi ikan segar (47.3%) dan
daging ayam (48.5%). Jika dilihat dari frekuensinya, persentase contoh anemia
yang jarang mengkonsumsi ikan segar dan daging ayam sedikit lebih tinggi
dibandingkan dengan contoh yang tidak anemia. Ini berarti contoh anemia lebih
jarang mengkonsumsi kedua bahan pangan tersebut dibandingkan contoh tidak
anemia.
Pangan sumber zat besi yang berasal dari pangan hewani seperti daging,
unggas, dan ikan mempunyai ketersediaan biologik yang tinggi (Almatsier 2001).
Pangan hewani seperti daging sapi, daging unggas, dan ikan memiliki Meat,
Fish, Poultry Factor (MFP Factor) yang dapat meningkatkan penyerapan besi.
Hasil pencernaan ketiga pangan tersebut menghasilkan asam amino cysteine

dalam jumlah besar. Selanjutnya asam amino tersebut mengikat besi dan
membantu penyerapannya (Groff & Gropper 2000 diacu dalam Puri 2007).
Persentase frekuensi setiap hari lauk hewani sedikit lebih tinggi pada
contoh anemia. Ini memperlihatkan bahwa contoh anemia lebih sering
mengkonsumsi lauk hewani dibandingkan contoh tidak anemia dilihat dari
frekuensi konsumsi setiap hari. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Hulu
(2004) yang menunjukkan bahwa contoh yang tidak anemia lebih jarang
mengkonsumsi pangan sumber protein hewani dibandingkan contoh anemia.
Namun walaupun contoh anemia lebih sering mengkonsumsi lauk hewani
dibandingkan contoh tidak anemia, dugaan adanya faktor tingginya konsumsi
pangan yang dapat menghambat penyerapan besi dan rendahnya konsumsi
pangan yang dapat membantu penyerapan besi di dalam tubuh dapat
menyebabkan ketidakseimbangan besi didalam tubuh. Jika hal tersebut
berlangsung dalam jangka waktu yang lama, maka dapat menyebabkan
defisiensi besi (Almatsier 2001).
Telur ayam dikonsumsi contoh dalam frekuensi kadang-kadang (42.5%)
dan merupakan lauk hewani yang memiliki persentase terbesar yang dikonsumsi
oleh contoh setiap hari (10.3%). Telur termasuk sumber zat besi yang baik
walaupun tidak mengandung faktor yang dapat meningkatkan penyerapan besi.
Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara frekuensi konsumsi telur ayam dan telur bebek dengan
status anemia contoh dengan nilai korelasi yang negatif (p<0.1). Hal ini
memperlihatkan bahwa semakin jarang telur ayam dan telur bebek dikonsumsi
maka kecenderungan menderita anemia akan semakin kecil. Hal ini diduga
karena telur dikonsumsi bersamaan dengan bahan pangan lain yang dapat
menghambat penyerapan besi seperti asam oksalat atau phosvitin dalam kuning
telur. Zat-zat gizi tersebut dengan zat besi membentuk senyawa yang tidak larut
dalam air sehingga sulit untuk di absorpsi.

Frekuensi Konsumsi Lauk Nabati


Besi dalam makanan terdapat dalam bentuk besi heme (dalam makanan
hewani) dan besi nonheme (dalam makanan nabati). Sumber besi nonheme
yang baik diantaranya adalah kacang-kacangan. Lauk nabati dalam penelitian ini
meliputi tempe, tahu, dan kacang-kacangan (kacang tanah dan kacang hijau).

Berikut adalah sebaran contoh berdasarkan frekuensi lauk nabati dan status
anemia.
Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi lauk nabati dan status anemia
Lauk Nabati

Tempe

Tahu

Kacangkacangan

Frekuensi
konsumsi
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total

Status Anemia
Anemia
Tidak Anemia
n
%
n
%
16
10.5
31
12.6
52
34.0
80
32.4
56
91
36.6
36.8
29
18.9
45
18.2
153
100
247
100
35
22.9
68
27.5
47
73
30.7
29.6
45
29.4
70
28.3
26
17.0
36
14.6
153
100
247
100
92
147
60.1
59.5
42
27.5
76
30.8
14
9.1
22
8.9
5
3.3
2
0.8
153
100
247
100

Total
n
47
132
147
74
400
103
120
115
62
400
239
118
36
7
400

%
11.8
33.0
36.8
18.5
100
25.7
30.0
28.8
15.5
100
59.7
29.5
9.0
1.8
100

Berdasarkan Tabel 13, frekuensi lauk nabati contoh berkisar antara 0-6
kali seminggu. Persentase frekuensi konsumsi lauk nabati contoh anemia tidak
jauh berbeda dengan contoh tidak anemia. Tempe dikonsumsi dalam frekuensi
kadang-kadang (36.8%) baik oleh contoh anemia maupun tidak anemia
sedangkan tahu dikonsumsi dalam frekuensi jarang (30.0%). Lebih dari separuh
contoh (59.7%) tidak pernah mengkonsumsi lauk nabati seperti kacangkacangan. Lauk nabati dikonsumsi kurang dari 20 persen contoh dengan
frekuensi setiap hari.
Asam fitat yang terkandung dalam kedelai dan hasil olahannya dapat
menghambat penyerapan besi. Namun karena zat besi yang terkandung dalam
kedelai dan hasil olahannya cukup tinggi, hasil akhir terhadap penyerapan
besipun biasanya akan positif (Almatsier 2001). Walaupun demikian, hasil
analisis Korelasi Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan signifikan
antara frekuensi konsumsi pangan nabati dengan status anemia contoh (p>0.1).

Frekuensi Konsumsi Sayuran


Sayuran merupakan pangan sumber vitamin dan mineral, termasuk zat
besi. Namun sayuran juga mengandung asam oksalat dan serat yang dapat
menghambat penyerapan zat besi di dalam tubuh. Jenis sayuran dalam
penelitian ini meliputi waluh, kembang kol, kol, wortel, kentang, sawi, dan

sayuran hijau (brokoli, daun singkong, bayam, kangkung, daun pepaya). Berikut
adalah sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi sayuran dan status
anemia.
Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi sayuran dan status
anemia
Sayuran

Waluh

Kembang Kol

Kol

Brokoli

Wortel

Kentang

Daun
Singkong

Bayam

Kangkung

Frekuensi
konsumsi
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total

Status Anemia
Anemia
Tidak Anemia
n
%
n
%
127
214
83
86.6
18
11.8
29
11.7
7
4.5
4
1.7
1
0.7
0
0
153
100
247
100
106
182
69.3
73.7
35
22.9
49
19.8
12
7.8
16
6.5
0
0
0
0
153
100
247
100
73
112
47.7
45.3
60
39.2
100
40.5
17
11.1
34
13.8
3
1.9
1
0.4
153
100
247
100
129
209
84.3
84.6
14
9.1
30
12.2
9
5.9
8
3.2
1
0.7
0
0
153
100
247
100
39
25.5
51
20.6
69
121
45.1
49.0
36
23.5
65
26.3
9
5.9
10
4.1
153
100
247
100
57
37.3
87
35.2
68
104
44.4
42.1
26
17.0
49
19.9
2
1.3
7
2.8
153
100
247
100
120
187
78.4
75.7
29
19.0
52
21.1
4
2.6
8
3.2
0
0
0
0
153
100
247
100
60
39.2
101
40.9
66
99
40.1
43.2
24
15.7
42
17.0
3
1.9
5
2.0
153
100
247
100
73
99
40.1
47.7
55
36.0
117
47.4
23
15.0
29
11.7
2
1.3
2
0.8
153
100
247
100

Total
n
341
47
11
1
400
288
84
28
0
400
185
160
51
4
400
338
44
17
1
400
90
190
101
19
400
144
172
75
9
400
307
81
12
0
400
161
165
66
8
400
172
172
52
4
400

%
85.3
11.7
2.7
0.3
100
72.0
21.0
7.0
0
100
46.3
40.0
12.7
1
100
84.5
11.0
4.2
0.3
100
22.5
47.5
25.3
4.7
100
36.0
43.0
18.7
2.3
100
76.7
20.3
3.0
0
100
40.3
41.2
16.5
2.0
100
43.0
43.0
13.0
1.0
100

Sayuran

Sawi

Daun Pepaya

Frekuensi
konsumsi
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total

Status Anemia
Anemia
Tidak Anemia
n
%
n
%
64
132
41.8
53.4
60
39.2
84
34.0
23
15.0
28
11.3
6
4.0
3
1.3
153
100
247
100
145
239
94.7
96.8
7
4.6
7
2.8
1
0.7
1
0.4
0
0
0
0
153
100
247
100

Total
n
196
144
51
9
400
384
14
2
0
400

%
49.0
36.0
12.7
2.3
100
96.0
3.5
0.5
0
100

Tabel 14 menunjukkan bahwa dari 11 jenis sayuran, tujuh jenis


diantaranya tidak pernah dikonsumsi contoh baik pada contoh yang anemia
maupun tidak anemia (46.3%-96.0%) diantaranya waluh, kembang kol, kol,
brokoli, daun singkong, sawi, dan daun pepaya. Hampir separuh contoh baik
anemia maupun tidak anemia jarang mengkonsumsi wortel (47.5%) dan kentang
(43.0%).
Kurang dari lima persen contoh mengkonsumsi sayuran setiap hari.
Persentase frekuensi setiap hari konsumsi sayuran sedikit lebih tinggi pada
contoh anemia. Hal ini memperlihatkan bahwa contoh anemia lebih sering
mengkonsumsi sayuran dibandingkan contoh tidak anemia dilihat dari frekuensi
konsumsi setiap hari. Berbeda dengan hasil penelitian Hulu (2004) yang
menunjukkan bahwa contoh yang tidak anemia lebih sering mengkonsumsi
sayuran dibandingkan contoh anemia.
Sayuran hijau seperti bayam lebih jarang dikonsumsi oleh contoh yang
anemia (43.2%) dibandingkan contoh tidak anemia (40.1%). Sayuran hijau
lainnya seperti kangkung lebih jarang dikonsumsi oleh contoh yang tidak anemia
(47.4%) bila dibandingkan dengan contoh anemia (36.0%) dan berada pada
kategori jarang. Sayuran daun berwarna hijau memiliki kandungan zat besi yang
tinggi sehingga jika sering dikonsumsi maka akan meningkatkan cadangan zat
besi di dalam tubuh. Beberapa jenis sayuran hijau juga mengandung asam
oksalat yang dapat menghambat penyerapan besi, namun efek menghambatnya
relatif lebih kecil dibandingkan asam fitat dalam serealia dan tanin yang terdapat
dalam teh dan kopi (Almatsier 2001).
Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara frekuensi konsumsi sayuran waluh dan sawi dengan status
anemia contoh dengan nilai korelasi yang negatif (p<0.1). Hal ini memperlihatkan

bahwa semakin jarang waluh dan sawi dikonsumsi maka kecenderungan


menderita anemia akan semakin kecil. Hal ini diduga karena waluh dan sawi
menghambat penyerapan besi akibat asam oksalat yang terkandung didalamnya.
Asam oksalat akan mengikat besi sehingga apabila dikonsumsi dalam jumlah
banyak akan mempersulit penyerapan besi oleh tubuh.

Frekuensi Konsumsi Buah-buahan


Buah-buahan merupakan pangan sumber vitamin dan mineral. Vitamin
yang banyak terkandung dalam buah-buahan diantaranya adalah vitamin C yang
sangat membantu penyerapan zat besi terutama nonheme.
Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi buah dan status anemia
Buahbuahan

Jeruk

Pepaya

Tomat

Jambu Biji

Mangga

Nenas

Pisang

Frekuensi
konsumsi
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total

Status Anemia
Anemia
Tidak Anemia
n
%
n
%
26
17.0
38
15.4
71
100
46.4
40.5
42
27.5
78
31.6
14
9.1
31
12.5
153
100
247
100
106
167
69.3
67.6
25
16.3
63
25.5
15
9.8
13
5.3
7
4.6
4
1.6
153
100
247
100
111
172
72.5
69.7
22
14.4
47
19.0
15
9.8
22
8.9
5
3.3
6
2.4
153
100
247
100
118
177
77.1
71.6
30
19.6
56
22.7
5
3.3
13
5.3
0
0
1
0.4
153
100
247
100
107
152
69.9
61.5
35
22.9
82
33.2
9
5.9
12
4.9
2
1.3
1
0.4
153
100
247
100
131
215
85.6
87.0
20
13.1
28
11.4
2
1.3
4
1.6
0
0
0
0
153
100
247
100
92
122
60.1
49.4
43
28.1
84
34.0
14
9.2
36
14.6
4
2.6
5
2.0
153
100
247
100

Total
n
64
171
120
45
400
273
88
28
11
400
283
69
37
11
400
295
86
18
1
400
259
117
21
3
400
346
48
6
0
400
214
127
50
9
400

%
16.0
42.70
30.0
11.3
100
68.3
22.0
7.0
2.7
100
70.7
17.3
9.3
2.7
100
73.7
21.5
4.5
0.3
100
64.7
29.3
5.3
0.7
100
86.5
12.0
1.5
0
100
53.5
31.7
12.5
2.3
100

Berdasarkan Tabel 15, terlihat bahwa dari tujuh jenis buah-buahan, enam
jenis diantaranya tidak pernah dikonsumsi lebih dari separuh contoh baik pada
contoh yang anemia maupun tidak anemia (53.5%-86.5%) yaitu pepaya, tomat,
jambu biji, mangga, nenas, dan pisang. Hampir separuh dari contoh (42.7%)
mengkonsumsi jeruk dalam frekuensi jarang (kurang dari tiga kali seminggu) dan
kurang dari 12 persen contoh mengkonsumsi buah-buahan setiap hari.
Buah-buahan sumber vitamin C seperti jeruk, pepaya, tomat, jambu biji,
dan mangga dapat membantu penyerapan zat besi. Asam organik seperti vitamin
C dapat membantu penyerapan zat besi nonheme dengan cara mengubah besi
bentuk feri menjadi bentuk fero yang lebih mudah diserap. Persentase frekuensi
buah-buahan tersebut sedikit lebih tinggi dikonsumsi oleh contoh yang anemia.
Ini memperlihatkan bahwa contoh anemia lebih sering mengkonsumsi buahbuahan dibandingkan contoh tidak anemia. Sejalan dengan hasil penelitian Hulu
(2004)

yang

menunjukkan

bahwa

contoh

yang

tidak

anemia

jarang

mengkonsumsi buah-buahan dibandingkan contoh anemia.


Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara frekuensi konsumsi buah-buahan dengan status anemia
contoh (p<0.1) yaitu pada konsumsi pepaya. Hal ini memperlihatkan bahwa
semakin jarang pepaya dikonsumsi maka kecenderungan menderita anemia
akan semakin kecil. Hal ini diduga karena walaupun pepaya kaya akan vitamin C
yang dapat membantu penyerapan zat besi, namun apabila pepaya dikonsumsi
bersamaan dengan bahan pangan lain yang dapat menghambat penyerapan
besi seperti asam oksalat atau tanin maka pengaruh akhirnya dapat negatif.

Frekuensi Konsumsi Makanan Jajanan


Hasil pada Tabel 16 menggambarkan frekuensi konsumsi makanan
jajanan contoh berdasarkan status anemia. Makanan jajanan dalam penelitian ini
meliputi bakso, mie, dan gorengan.
Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi makanan jajanan dan status
anemia
Makanan
Jajanan

Bakso

Frekuensi
konsumsi
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total

Status Anemia
Anemia
Tidak Anemia
n
%
n
%
92
158
60.1
64.0
37
24.2
57
23.1
22
14.4
27
10.9
2
1.3
5
2.0
153
100
247
100

Total
n
250
94
49
7
400

%
62.5
23.5
12.3
1.7
100

Makanan
Jajanan

Mie

Gorengan

Frekuensi
konsumsi
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total

Status Anemia
Anemia
Tidak Anemia
n
%
n
%
128
207
83.7
83.8
18
11.7
20
8.1
6
3.9
16
6.5
1
0.7
4
1.6
153
100
247
100
116
200
75.8
81.0
23
15.0
24
9.7
9
5.9
20
8.1
5
3.3
3
1.2
153
100
247
100

Total
n
335
38
22
5
400
316
47
29
8
400

%
83.7
9.5
5.5
1.3
100
79.0
11.7
7.3
2.0
100

Survei yang dilakukan Hurlock (1997) menunjukkan bahwa remaja suka


sekali jajan makanan ringan. Jenis makanan ringan yang dikonsumsi adalah kuekue yang manis dan golongan pastry serta permen. Namun, pada penelitian ini
makanan jajanan yang dikonsumsi contoh berbeda. Makanan jajanan dalam
penelitian ini meliputi bakso, mie, dan gorengan. Tabel 16 menunjukkan bahwa
lebih dari separuh contoh (61.5%-83.7%) tidak pernah mengkonsumsi makanan
jajanan seperti bakso, mie, dan gorengan. Hanya sekitar lima persen contoh
yang mengkonsumsi makanan jajanan setiap hari.
Persentase contoh yang anemia sedikit lebih rendah dibandingkan contoh
yang tidak anemia jika dilihat dari frekuensi konsumsi makanan jajanan setiap
hari. Hal ini menunjukkan bahwa contoh yang anemia jarang mengkonsumsi
makanan jajanan. Makanan jajanan juga memberikan kontribusi pada cadangan
zat besi tubuh karena terdapat zat besi yang terkandung didalamnya walaupun
sedikit. Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara frekuensi jajanan dengan status anemia contoh
(p>0.1). Hal ini diduga karena jarangnya contoh mengkonsumsi makanan jajanan
di sekolah.

Frekuensi Konsumsi Minuman dan Suplemen


Minuman dalam penelitian ini meliputi teh, kopi, dan susu serta konsumsi
suplemen. Bioavailabilitas zat besi dalam makanan sangat dipengaruhi oleh
faktor

pendorong

dan

penghambat.

Menurut

FAO/WHO

(2001),

faktor

penghambat penyerapan zat besi diantaranya adalah the dan kopi. Tabel 17
menggambarkan

frekuensi

berdasarkan status anemia.

konsumsi

minuman

dan

suplemen

contoh

Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi minuman dan suplemen dan


status anemia
Minuman

Teh

Kopi

Susu

Suplemen

Frekuensi
konsumsi
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total

Status Anemia
Anemia
Tidak Anemia
n
%
n
%
31
20.3
48
19.4
40
26.1
76
30.8
30
19.6
46
18.6
52
77
34.0
31.2
153
100
247
100
135
223
88.2
90.3
13
8.5
20
8.1
3
2.0
4
1.6
2
1.3
0
0
153
100
247
100
74
105
48.4
42.5
31
20.3
48
19.4
23
15.0
45
18.2
25
16.3
49
19.8
153
100
247
100
114
188
74.5
76.1
18
11.8
28
11.3
8
5.2
13
5.3
13
8.5
18
7.3
153
100
247
100

Total
n
79
116
76
129
400
358
33
7
2
400
179
79
68
74
400
302
46
21
31
400

%
19.7
29.0
19.0
32.3
100
89.5
8.3
1.7
0.5
100
44.8
19.7
17.0
18.5
100
75.5
11.5
5.3
7.7
100

Berdasarkan Tabel 17, terlihat bahwa proporsi terbesar contoh (32.3%)


mengkonsumsi teh setiap hari dan persentase contoh yang anemia (34%) sedikit
lebih tinggi dibandingkan contoh yang tidak anemia (31.2%). Hampir sebagian
besar contoh baik contoh anemia maupun tidak anemia tidak pernah
mengkonsumsi kopi. Terdapat sekitar 1.3 persen contoh anemia yang
mengkonsumsi kopi setiap hari.
Survei yang dilakukan Hurlock (1997) menunjukkan bahwa remaja
menyukai minuman ringan, teh, dan kopi yang frekuensinya lebih sering
dibandingkan konsumsi susu. Teh dan kopi mengandung tanin yang dapat
menghambat absorpsi besi dengan cara mengikatnya (Almatsier 2001). Menurut
Groff & Gropper (2000) diacu dalam Puri (2007), senyawa fenol dalam teh yang
dikonsumsi bersama dengan pangan sumber zat besi dapat menurunkan
absorpsi besi hingga 60 persen, sedangkan konsumsi kopi setelah makan dapat
menurunkan absorpsi besi hingga 40 persen. Menurunnya jumlah besi yang
diabsorpsi akan menurunkan cadangan besi di dalam tubuh.
Susu merupakan pangan sumber protein yang baik yang memiliki
bioavailabilitas yang tinggi. Protein yang terkandung didalamnya berperan dalam
distribusi zat gizi termasuk distribusi zat besi. Namun susu juga mengandung

kalsium yang tinggi yang dapat menghambat penyerapan zat besi. Tabel 17
menunjukkan

bahwa

hampir

separuh

contoh

(44.8%)

tidak

pernah

mengkonsumsi susu. Hanya sekitar 18.5 persen contoh yang mengkonsumsi


susu setiap hari dan persentase terbesar konsumsi susu terdapat pada contoh
yang tidak anemia (19.8%). Terdapat sekitar 20.3 persen contoh yang anemia
yang jarang mengkonsumsi susu. Hal ini memperlihatkan kecenderungan bahwa
frekuensi konsumsi susu pada contoh yang tidak anemia relatif lebih sering
dibandingkan dengan contoh yang anemia.
Produk suplemen pada penelitian ini meliputi suplemen vitamin C, minyak
ikan, dan tambah darah. Suplemen makanan adalah produk yang digunakan
untuk melengkapi makanan. Pada dasarnya fungsi suplemen adalah sebagai zat
tambahan untuk memperbaiki dan meningkatkan daya tahan tubuh (Sudarisman
1997 diacu dalam Habibi 2003). Berdasarkan Tabel 17, terlihat bahwa sebagian
besar contoh (75.5%) tidak pernah mengkonsumsi suplemen. Terdapat sekitar
7.7 persen contoh yang mengkonsumsi suplemen setiap hari dan persentase
terbesar konsumsi suplemen terdapat pada contoh yang anemia (8.5%). Hal ini
memperlihatkan bahwa contoh anemia lebih sering mengkonsumsi suplemen
dibandingkan contoh tidak anemia diduga terkait dengan anemia yang
dialaminya. Secara keseluruhan hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan
bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara frekuensi konsumsi
minuman dan suplemen dengan status anemia contoh (p>0.1).

Analisis Faktor Risiko Anemia


Analisis multivariat menggunakan regresi logistik dilakukan untuk
mengetahui faktor risiko yang paling berkaitan dengan status anemia. Analisis
dilakukan menggunakan seluruh variabel yang berdasarkan analisis bivariat
berhubungan secara signifikan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui seberapa
besar interaksi semua variabel yang diduga menjadi faktor risiko terhadap status
anemia. Pada penelitian ini terdapat tujuh variabel yang diduga menjadi faktor
risiko anemia yaitu usia, status gizi antropometri, menstruasi, riwayat penyakit,
perilaku hidup bersih dan sehat, aktivitas fisik, dan frekuensi konsumsi pangan.
Setelah dilakukan analisis bivariat terdapat variabel yang secara signifikan
mempengaruhi status anemia yaitu usia, status menstruasi, dan frekuensi
konsumsi pangan.

Tabel 18 menunjukkan hasil analisis regresi logistik yang memperoleh


hasil, faktor risiko yang secara signifikan mempengaruhi kecenderungan status
anemia remaja putri yaitu usia dan status gizi antropometri (kurus dan normal)
(Lampiran 4). Pada penelitian ini, lauk hewani yang signifikan mempengaruhi
status anemia adalah telur ayam dan telur bebek yang dikonsumsi dalam
frekuensi sering, baik oleh contoh yang berstatus kurus maupun normal. Analisis
bivariat menunjukkan bahwa dengan semakin sering telur ayam dan telur bebek
dikonsumsi maka kecenderungan anemia akan semakin besar, diduga terkait
dengan adanya pangan penghambat penyerapan zat besi. Ini memperlihatkan
bahwa dengan semakin tingginya konsumsi lauk hewani terutama telur maka
akan mempengaruhi kecenderungan anemia, baik pada remaja putri yang
berstatus gizi kurus maupun normal.
Tabel 18 Hasil regresi logistik faktor risiko anemia
Usia
Status Gizi

Faktor Risiko
13-15 tahun (13-15thn=1, 10-12thn=0)
Kurus (IMT < 18.5 = 1, IMT > 25 = 0)
Normal (18.5 < IMT < 25 = 1, IMT > 25 = 0)

Konstanta
* Signifikan pada taraf kepercayaan 0.1

OR
2.727
8.323
6.733
0.048

Sig.
0.001*
0.006*
0.013*
0.000

Hasil regresi logistik menunjukkan faktor risiko usia 13-15 tahun memiliki
nilai koefisien positif dan OR sebesar 2.73. Hal ini menunjukkan bahwa remaja
putri yang berada pada kisaran usia 13-15 tahun memiliki kecenderungan untuk
mengalami anemia 2.73 kali lebih besar dibandingkan remaja putri yang berusia
10-12 tahun. Ini diduga karena pada kisaran usia 13-15 tahun, seseorang baru
mengalami

menstruasi

sehingga

kecenderungan

anemia

lebih

besar

dibandingkan usia dibawahnya.


Pada penelitian ini, proporsi terbesar contoh berusia antara 10-12 tahun
dan hampir separuh contoh yang tidak anemia berada pada kisaran usia
tersebut. Hasil penelitian Dillon (2005) terhadap remaja putri di Tangerang
menunjukkan bahwa rata-rata usia menarche adalah 12 tahun. Remaja terutama
yang telah mengalami menstruasi, dibandingkan dengan yang belum menstruasi,
lebih rentan terhadap anemia. Saat menstruasi terjadi pengeluaran darah dari
dalam tubuh. Hal ini menyebabkan zat besi yang terkandung dalam hemoglobin,
salah satu komponen sel darah merah, juga ikut terbuang. Kehilangan zat besi
melalui menstruasi akan meningkatkan kebutuhan zat besi pada remaja wanita
(Depkes 1998). Wanita pada umumnya cenderung mempunyai simpanan zat

besi yang lebih rendah dibandingkan pria dan hal inilah yang membuat wanita
lebih rentan mengalami anemia saat asupan zat besi kurang atau kebutuhan
meningkat seperti saat menstruasi (Gleason & Scrimshaw 2007). Hal inilah yang
menyebabkan remaja putri yang berada pada kisaran usia 13-15 tahun memiliki
kecenderungan mengalami anemia dibandingkan remaja putri yang berusia 1012 tahun yang belum mengalami menstruasi.
Nilai koefisien yang positif dan OR yang lebih dari 1 pada faktor risiko
status gizi kurus menunjukkan bahwa dengan semakin rendah IMT atau semakin
kurus siswi maka kecenderungan remaja putri untuk mengalami anemia makin
meningkat sebesar nilai OR. Hasil regresi logistik menunjukkan faktor risiko
status gizi kurus memiliki OR sebesar 8.32. Hal ini memperlihatkan bahwa
remaja putri yang berstatus gizi kurus cenderung untuk mengalami anemia 8.32
kali lebih besar dibandingkan remaja putri yang berstatus gizi gemuk.
Faktor risiko status gizi normal juga menunjukkan peranan yang signifikan
dalam mempengaruhi kecenderungan remaja putri mengalami anemia. Remaja
putri yang memiliki status gizi normal memiliki OR sebesar 6.73. Hal ini
menunjukkan bahwa remaja putri yang berstatus gizi normal memiliki
kecenderungan 6.73 kali lebih besar untuk mengalami anemia dibandingkan
remaja putri yang berstatus gizi gemuk.
Penelitian Permaesih dan Herman (2005) menunjukkan bahwa remaja
yang mempunyai IMT kurang atau tubuh kurus mempunyai risiko 1.5 kali untuk
menjadi anemia. Selain itu, menurut ADB/SCN (2006), Selama masa remaja,
seseorang dapat mencapai 15 persen dari tinggi badan saat dewasa dan 50
persen dari berat badan. Oleh karena itu, kebutuhan zat gizi mencapai titik
tertinggi saat remaja dan adanya kekurangan zat gizi makro dan mikro dapat
mengganggu pertumbuhan dan menghambat pematangan seksual.
Menurut ABD/SCN (2001) diacu dalam Briawan (2008), wanita yang
berstatus gizi baik akan lebih cepat mengalami pertumbuhan badan dan akan
lebih cepat mengalami menstruasi, sebaliknya wanita yang berstatus gizi buruk
pertumbuhannya akan pelan dan lama serta menstruasinya akan lebih lambat.
Thompson (2007) menyatakan bahwa IMT mempunyai korelasi positif dengan
konsentrasi hemoglobin yang artinya jika seseorang memiliki IMT kurang maka
akan berisiko menderita anemia.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
1. Rata-rata kadar hemoglobin contoh adalah 12.4 1.5 g/dl dengan rata-rata
kadar hemoglobin 12.4 1.5 g/dl. Terdapat prevalensi anemia sebesar 38.3
persen. Lebih dari separuh contoh (61.7%) tidak mengalami anemia dan 6.0
persen contoh mengalami anemia sedang (kadar Hb < 8.0 g/dl).
2. Rata-rata usia contoh adalah 13.7 1.9 tahun dengan kisaran usia antara 1018 tahun. Terdapat kecenderungan siswi yang berusia 13-15 tahun untuk
mengalami anemia. Rata-rata IMT contoh adalah 19.3 3.3 kg/m2 dengan
kisaran IMT sebesar 11.9 kg/m2 hingga 37.5 kg/m2. Proporsi terbesar contoh
(48.0%) berada pada status gizi kurus.
3. Sebagian besar contoh (75.5%) sudah mengalami menstruasi dan memiliki
frekuensi menstruasi yang teratur. Frekuensi menstruasi yang tidak teratur
lebih sering dialami oleh contoh yang anemia. Contoh yang anemia
cenderung mengalami kehilangan darah yang lebih tinggi dibandingkan
dengan yang contoh tidak anemia dilihat dari jumlah pembalut yang diganti
setiap hari. Sebagian besar (87.7%) memiliki lama menstruasi yang tergolong
normal.
4. Sebagian besar contoh (99.3%) tidak memiliki riwayat penyakit yang
berhubungan dengan anemia seperti malaria, tuberculosis, dan kecacingan.
5. Sebagian besar contoh (91.3%) memiliki kebiasaan mencuci tangan baik
dengan atau tanpa sabun sebelum makan dan terdapat 8.7 persen contoh
yang memiliki kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan.
6. Lebih dari separuh contoh (52.0%) memiliki aktivitas fisik olahraga ringan.
Contoh yang anemia cenderung lebih banyak kehilangan zat besi selama
olahraga dibandingkan contoh yang tidak anemia dilihat dari intensitas
olahraga.
7. Hampir separuh contoh jarang mengkonsumsi ikan segar (47.3%) dan daging
ayam (48.5%). Telur ayam paling sering dikonsumsi oleh contoh setiap hari
(10.3%). Semakin jarang telur ayam dan telur bebek dikonsumsi maka
kecenderungan anemia akan semakin kecil (p<0.1). Lauk nabati dikonsumsi
kurang dari 20 persen contoh dengan frekuensi setiap hari. Kurang dari 5
persen contoh mengkonsumsi sayuran setiap hari. Semakin jarang waluh dan
sawi dikonsumsi maka kecenderungan akan semakin kecil (p<0.1). Kurang
dari 12 persen contoh mengkonsumsi buah-buahan setiap hari. Semakin

jarang pepaya dikonsumsi maka kecenderungan anemia akan semakin kecil.


Lebih dari separuh contoh tidak pernah mengkonsumsi makanan jajanan
(bakso, mie, dan gorengan). Contoh anemia lebih sering mengkonsumsi teh
dan kopi. Hampir separuh contoh (44.8%) tidak pernah mengkonsumsi susu.
8. Remaja putri yang berada pada kisaran usia 13-15 tahun memiliki
kecenderungan untuk mengalami anemia 2.73 kali lebih besar dibandingkan
remaja putri yang berusia 10-12 tahun. Remaja putri yang berstatus gizi
kurus cenderung untuk mengalami anemia 8.32 kali lebih besar dibandingkan
remaja putri yang berstatus gizi gemuk. Remaja putri yang berstatus gizi
normal memiliki kecenderungan 6.73 kali lebih besar untuk mengalami
anemia dibandingkan remaja putri yang berstatus gizi gemuk.

Saran
1. Secara umum tingkat konsumsi pangan sumber Fe contoh masih rendah.
Selain itu, terdapat korelasi yang negatif antara beberapa jenis pangan
sumber heme dengan status anemia sehingga perlu memperhatikan jenis zat
besi yang dikonsumsi karena akan mempengaruhi penyerapan besi oleh
tubuh.
2. Perlunya mengkaji tentang faktor risiko anemia yang diduga dapat
mempengaruhi kecenderungan status anemia terutama pada remaja putri
seperti karakteristik keluarga (besar keluarga, pendapatan dan pendidikan
orang tua) dan kebiasaan makan (frekuensi dan pantangan makan).
3. Mengingat cukup tingginya prevalensi anemia pada remaja putri pada
penelitian ini, untuk itu pemerintah perlu menjadwalkan kegiatan rutin seperti
suplementasi zat besi pada program PPAGB ini sebagai bentuk tindakan
pencegahan anemia pada remaja.

DAFTAR PUSTAKA
ACC/SCN. 1991. Controlling Iron Deficiency. Geneva
Affandi B. 1990. Gangguan Haid pada Remaja dan Dewasa. Jakarta : FKUI
Akabas SR, KR Dolins. 2005. Micronutrient requirements of physically active
women: what can we learn from iron?. The Journal Of
Nutrition;81(suppl):1246S51S [5 April 2008]
Almatsier S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka
Utama
Arisman. 2002. Gizi dalam Daur Kehidupan: Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta : Buku
Kedokteran EGC
Backstrand JR, LH Allen, AK Black, M deMata, GH Pelto. 2002. Diet and iron
status of nonpregnant women in rural Central Mexico. The Journal Of
Nutrition 76:15664 [5 April 2008]
Bartley KA, BA Underwood, RJ Deckelbaum. 2005. A life cycle micronutrient
perspective for womens health. The Journal Of Nutrition;81(suppl):
1188S93S.
Beard JL. 2000. Iron Requirements in Adolescent Females. The Journal Of
Nutrition 130: 440S442S [3 April 2008]
Beard JL, B Tobin. 2000. Iron status and exercise. The Journal Of Nutrition;
72(suppl):594S7S [5 April 2008]
Biesalski HK, JG Erhardt. 2007. Diagnosis of nutritional anemia laboratory
assessment of iron status. Didalam Nutritional Anemia, Edited by Klaus
Kraemer & Michael B. Zimmermann. Switzerland : Sight and Life Press
Briawan D. 2008. Efikasi suplementasi besi-multivitamin terhadap perbaikan
status besi remaja wanita [disertasi]. Bogor : Sekolah Pasca Sarjana,
Institut Pertanian Bogor
Brody T. 1994. Nutrition Biochemistry. London : Academic Press
Depkes [Departemen Kesehatan]. 1998. Pedoman Penanggulangan Anemia Gizi
untuk Remaja Putri dan Wanita Usia Subur. Jakarta : Depkes RI
Depkes [Departemen Kesehatan]. 2004. Kualitas Sumber Daya Manusia
Ditentukan Pendidikan dan Kesehatan. www.depkes.go.id [13 Maret
2008]
Depkes [Departemen Kesehatan]. 2006. Rencana Pembangunan Kesehatan
Menuju Indonesia Sehat 2010. www.depkes.go.id [13 Maret 2008]

Dillon DHS. 2005. Nutritional health of Indonesian adolescent girls: the role of
riboflavin and vitamin A on iron status [thesis]. Netherlands : Wageningen
University
DiMeglio G. 2000. Nutrition in Adolescence. Journal of the American Academy of
Pediatrics [3 April 2008]
Dinkes [Dinas Kesehatan] Kota Bekasi. 2007. Pencegahan dan penanggulangan
anemia gizi pada remaja putri SMP dan SMA di Kota Bekasi tahun 2007.
Makalah disampaikan pada Pertemuan Sosialisasi Surveilan Gizi Rutin
pada Remaja Putri Siswi SMP dan SMA di 4 Kab/Kota di Propinsi Jawa
Barat di Hotel Sabang, 17-18 Juli 2007. Bandung.
Dreyfuss ML, RJ Stoltzfus, JB Shrestha, EK Pradhan, SC LeClerq, SK Khatry,
SR Shrestha, J Katz, M Albonico, KP West, Jr. 2000. Hookworms, Malaria
and Vitamin A Deficiency Contribute to Anemia and Iron Deficiency
among Pregnant Women in the Plains of Nepal. The Journal Of Nutrition
130: 25272536 [8 Maret 2008]
FAO/WHO. 2001. Human Vitamin and Mineral Requirement. Rome : FAO Food &
Nutrition Division
Gleason G, NS Scrimshaw. 2007. An overview of the functional significance of
iron deficiency. Didalam Nutritional Anemia, Edited by Klaus Kraemer &
Michael B. Zimmermann. Switzerland : Sight and Life Press
Habibi YN. 2003. Perilaku konsumsi suplemen pada anak prasekolah [skripsi].
Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Hayatinur E. 2001. Prevalensi anemia dan perilaku makan remaja putri di SMUN
2 Kuningan Kabupaten Kuningan [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor
Hulu DB. 2004. Faktor-faktor yang mempengaruhi status anemia dan kaitannya
dengan prestasi belajar pada siswi SMKN 1 Bogor [skripsi]. Bogor:
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Hurlock EB. 1997. Psikologi Perkembangan Edisi ke-5. Jakarta : Penerbit
Erlangga
Irawati A, et al. 2000. Faktor Determinan Status Gizi dan Anemia Murid SD di
Desa IDT Penerima PMT-AS di Indonesia. Laporan Penelitian Rutin
1999/2000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi. Jakarta : Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Depkes RI
Jahari AB, I Jusat. 2004. Review Data Berat Badan dan Tinggi Badan Penduduk
Indonesia. Didalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta.
Khaerunnisa. 2005. Hubungan kadar hemoglobin dengan skor keluhan
menstruasi pada mahasiswa putri TPB IPB tahun 2003/2004 [skripsi].
Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Kusharto CM, NY Sadiyyah. 2006. Diktat Penilaian Konsumsi Pangan. Bogor:


IPB Press
Maharani II. 2003. Faktor risiko yang mempengaruhi status anemia mahasiswa
USMI IPB 2002-2003 [skripsi]. Bogor : Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor
McLean E, M Cogswell, I Egli, D Wojdyla, B deBenoist. 2007. Worldwide
prevalence of anemia in preschool aged children, pregnant women and
non-pregnant women of reproductive age. Didalam Nutritional Anemia,
Edited by Klaus Kraemer & Michael B. Zimmermann. Switzerland : Sight
and Life Press
Nurwulan I. 2003. Hubungan karakteristik lingkungan fisik rumah, perilaku hidup
sehat, serta akses terhadap pelayanan kesehatan dengan status
kesehatan anak usia 3-5 tahun pada keluarga miskin di kecamatan Bogor
Selatan [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oppenheimer SJ. 2001. Iron and Its Relation to Immunity and Infectious Disease.
The Journal Of Nutrition 131: 616S635S [3 April 2008]
Permaesih D, S Herman. 2005. Faktor-faktor yang mempengaruhi anemia pada
remaja. Buletin Penelitian Kesehatan 33(4):162-171
Puri DK. 2007. Faktor-faktor yang berhubungan dengan status anemia
mahasiswi peserta program pemberian makanan tambahan di IPB, Bogor
[skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Ratnayani. 2005. Identifikasi karakteristik mahasiswa putra TPB IPB dengan
status gizi kurang [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor
Riyadi H. 2001. Metode Penilaian Status Gizi Secara Antropometri. Bogor :
Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Institut Pertanian
Bogor
Ruel MT. 2001. Can Food-Based Strategies Help Reduce Vitamin A and Iron
Deficiencies? A Review of Recent Evidence. Washington DC :
International Food Policy Research Institute
Shulman ST, JP Phair, HM Sommers. 1994. The Biologic & Clinical Basis of
Infectious Diseases, Fourth Edition, penerjemah Samik Wahab.
Jogjakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada
Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya. Jakarta : DirJen PTDPN
Supariasa IDN, I Fajar, B Bakri. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta : Buku
Kedokteran EGC
Thompson B. 2007. Food-based approaches for combating iron deficiency.
Didalam Nutritional Anemia, Edited by Klaus Kraemer & Michael B.
Zimmermann. Switzerland : Sight and Life Press

Thurnham DI, CA Northrop-Clewes. 2007. Infection and the etiology of anemia.


Didalam Nutritional Anemia, Edited by Klaus Kraemer & Michael B.
Zimmermann. Switzerland : Sight and Life Press
UNS SCN [United Nation System Standing Committee on Nutrition]. 2006.
Adolescence. Geneva
WHO [World Health Organization]. 2001. Iron Deficiency Anaemia, Assessment,
Prevention, and Control : A guide for programme managers. Geneva :
World Health Organization
WHO [World Health Organization]. 2004. Focusing on anaemia : Towards an
integrated approach for effective anaemia control. Geneva : World Health
Organization
WHO [World Health Organization]. 2006. Adolescent Nutrition: A Review of the
Situation in Selected South-East Asian Countries. New Delhi : WHO
Region Office for South-East Asia
Wijianto. 2002. Dampak suplementasi tablet tambah darah (TTD) dan faktorfaktor yang berpengaruh terhadap anemia gizi ibu hamil di kabupaten
Banggai propinsi Sulawesi Tengah [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor
Wirakusumah ES. 1998. Perencanaan Menu Anemia Gizi Besi. Jakarta : Trubus
Agriwidya
Wiseman G. 2002. Nutrition & Health. London : Taylor & Francis Inc.
Zhu YI, JD Haas. 1997. Iron depletion without anemia and physical performance
in young women. The Journal of Nutrition :66:334-41 [23 Juni 2008]

LAMPIRAN

Lampiran 1. Kuisioner penelitian


KUISIONER
KEGIATAN PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN ANEMIA GIZI BESI
PADA REMAJA PUTRI SISWI SMP DAN SMU
NAMA SEKOLAH

: ....................................................................

PUSKESMAS/KECAMATAN : ....................................................................
A.

Identitas Responden
1. Nama siswi

: ....................................................................

2. Tanggal Lahir/Umur : ....................................................................

B.

3. Nama Orang Tua

: ....................................................................

4. Kelas

: ....................................................................

Pernyataan Kesediaan Diambil darah


1. Apakah bersedia diambil darah?
1. Ya

2. Tidak

2. Hasil pemeriksaan darah, Hb : ......... g%


1. Anemia (Hb < 12 g%)
C.

2. Normal (Hb 12 g%)

Data Antropometri dan Status Gizi


1. Berat Badan

: ................., ................. kg

2. Tinggi Badan

: ................., ................. m

3. Indeks Massa Tubuh (IMT) : ................., .................


4. Status Gizi :

D.

1. Kurus

: IMT < 18.5

2. Normal

: IMT 18.5 24.9

3. Risiko untuk Gemuk

: IMT 25.0 26.9

4. Gemuk

: IMT 26.9

Aktivitas Fisik

Kegiatan sehari-hari selain belajar (jawaban boleh lebih dari satu)


1. Olahraga ringan (jalan santai, lempar cakram, tolak peluru, senam
pernapasan, dll)
2. Olahraga sedang (basket, voli, lari, senam aerobik, jalan cepat, dll)
3. Olahraga berat (sepakbola, lari cepat >10 km, senam aerobik high
impact, dll)

E.

Pola Menstruasi
1. Frekuensi Menstruasi
1. Sebulan sekali

3. 2-3 bulan sekali

2. Sebulan dua kali

4. Lain-lain, sebutkan .................

2. Banyaknya Menstruasi
1. Sehari ganti 1-2 kali

3. Sehari ganti 5-6 kali

2. Sehari ganti 3-4 kali

4. Sehari ganti > 6 kali

3. Lama menstruasi

F.

1. < 3 hari

3. 5 7 hari

2. 3 5 hari

4. > 7 hari

Riwayat Penyakit
1. Apakah pernah menderita sakit TB (sering batuk-batuk riak berdarah,
keluar keringat malam)?
1. Ya

2. Tidak

2. Apakah pernah menderita sakit malaria (Sering demam disertai


menggigil)?
1. Ya

2. Tidak

3. Apakah dalam satu bulan terakhir ini pernah keluar cacing?


1. Ya
G.

2. Tidak

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat


Apakah mencuci tangan sebelum makan?
1. Mencuci tangan pakai sabun
2. Mencuci tangan tidak pakai sabun
3. Tidak mencuci tangan

H.

Perilaku Makan
1. Berapa kali frekuensi makan dalam sehari?
1. > 3 kali

3. 2 kali

2. 3 kali

4. 1 kali, alasannya .................

2. Apakah ada pantangan makanan tertentu yang dianjurkan?


1. Ada, sebutkan alasannya ...................................................
2. Tidak ada
3. Apakah ada makanan tertentu yang dianjurkan?
1. Ada, sebutkan alasannya ..................................................
2. Tidak ada

Lampiran 2. Frekuensi Konsumsi Pangan


FORMULIR RECALL KONSUMSI MAKANAN SUMBER ZAT BESI DAN VITAMIN C
KEGIATAN PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN ANEMIA GIZI BESI
PADA REMAJA PUTRI SISWI SMP DAN SMU
NAMA SISWI

: .

TANGGAL LAHIR/UMUR

: /..tahun

NAMA SEKOLAH/KELAS

: .

PUSKESMAS/KECAMATAN

: .

KABUPATEN/KOTA

: .

No
1.

2.

3.

4.

5.
6.

7.

Bahan Makanan
SUMBER HEME
Lauk Hewani
- Ikan segar
- Ikan asin
- Daging sapi
- Daging ayam
- Hati sapi
- Hati ayam
- Telur ayam
- Telur bebek
- Telur puyuh
..........................
SUMBER NON HEME
Lauk Nabati
- Tempe
- Tahu
- Kacang-kacangan
..........................
Sayuran
- Waluh
- Kembang kol
- Kol
- Brokoli
- Wortel
- Kentang
- Daun singkong
- Bayam
- Kangkung
- Sawi
- Daun pepaya
.
Buah-buahan
- Jeruk
- Pepaya
- Tomat
- Jambu biji
- Mangga
- Nenas
- Pisang
..........................
Makanan Jajanan
..........................
Minuman
- Teh
- Kopi
Suplemen

Tidak

Frekuensi Makan dalam Seminggu


Setiap Hari
3 6 Kali
< 3 Kali

Lampiran 3. Hasil Uji Korelasi Spearman Faktor Risiko dengan Status Anemia
Faktor Risiko
Usia
Status Gizi Antropometri
Status Menstruasi
Frekuensi Menstruasi
Banyak Menstruasi
Lama Menstruasi
Riwayat Penyakit
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
Aktivitas Fisik
Lauk Hewani
Ikan Segar
Ikan Asin
Daging Sapi
Daging Ayam
Hati Sapi
Hati Ayam
Telur Ayam
Telur Bebek
Telur Puyuh
Lauk Nabati
Tempe
Tahu
Kacang-kacangan
Sayuran
Waluh
Kembang Kol
Kol
Brokoli
Wortel
Kentang
Daun Singkong
Bayam
Kangkung
Sawi
Daun Pepaya
Buah-buahan
Jeruk
Pepaya
Tomat
Jambu Biji
Mangga
Nenas
Pisang
Makanan Jajanan
Bakso
Mie
Gorengan
Minuman
Teh
Kopi
Susu
Suplemen
* Signifikan pada taraf kepercayaan < 0.1

Koefisien Korelasi
0.131
- 0.043
0.113
0.011
0.044
0.028
- 0.009
0.011
0.023

Sig.
0.009*
0.396
0.023*
0.855
0.448
0.632
0.861
0.824
0.641

0.035
- 0.071
0.005
0.069
- 0.054
0.018
- 0.085
- 0.108
0.029

0.480
0.155
0.928
0.167
0.281
0.725
0.088*
0.031*
0.558

- 0.005
- 0.034
- 0.042

0.923
0.496
0.398

- 0.103
- 0.026
0.015
- 0.077
0.010
0.052
0.018
0.017
- 0.053
- 0.087
- 0.017

0.040*
0.604
0.757
0.123
0.840
0.298
0.723
0.730
0.290
0.082*
0.733

0.074
- 0.123
- 0.026
0.055
- 0.039
0.012
0.066

0.138
0.014
0.605
0.274
0.432
0.803
0.186

- 0.038
0.069
0.003

0.446
0.170
0.957

- 0.037
- 0.054
0.068
- 0.017

0.462
0.281
0.175
0.735

Lampiran 4 Hasil Analisis Regresi Logistik


Usia
Status Gizi
Menstruasi
Riwayat Penyakit
Aktivitas Fisik
Konsumsi Pangan

Faktor Risiko
13-15 thn (13-15thn=1, 10-12thn=0)
16-18 thn (16-18thn=1, 10-12thn=0)
Kurus (IMT < 18.5 = 1, IMT > 25 = 0)
Normal (18.5<IMT<25=1, IMT>25= 0)
Sudah = 1, Belum = 0
Ya = 1, Tidak = 0
OR Sedang (Sedang = 1, Ringan = 0)
OR Berat (Berat = 1, Ringan = 0)
Telur ayam (Jarang = 1, Sering = 0)
Telur bebek (Jarang = 1, Sering = 0)

Konstanta
* Signifikan pada taraf kepercayaan 0.1

OR
2.727
1.689
8.323
6.733
1.220
0.714
0.369
0.956
0.901
0.782
0.052

90% C.I OR
1.673 - 4.539
0.979 - 3.066
2.270 - 29.152
1.794 - 22.531
0.689 - 2.066
0.089 - 4.445
0.667 - 1.392
0.049 - 2.465
0.173 - 1.734
0.551 - 2.573

Anda mungkin juga menyukai