Contoh Program Dinkes FAKTOR - RISIKO - ANEMIA - PADA - REMAJA - PUTRI - P PDF
Contoh Program Dinkes FAKTOR - RISIKO - ANEMIA - PADA - REMAJA - PUTRI - P PDF
ERMITA ARUMSARI
RINGKASAN
ERMITA ARUMSARI. Faktor Risiko Anemia pada Remaja Putri Peserta Program
Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) di Kota Bekasi. Di
bawah bimbingan Dodik Briawan
Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui faktor risiko anemia
remaja putri peserta program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi
Besi (PPAGB) di Kota Bekasi. Tujuan khusus dari penelitian adalah : (1)
mengkaji kadar hemoglobin dan status anemia remaja putri, (2) mengkaji usia
dan status gizi antropometri remaja putri, (3) mengkaji pola menstruasi remaja
putri, (4) mengkaji riwayat penyakit remaja putri, (5) mengkaji perilaku hidup
bersih dan sehat remaja putri, (6) mengkaji aktivitas fisik remaja putri, (7)
mengkaji frekuensi konsumsi pangan sumber zat besi remaja putri, (8)
menganalisis faktor risiko anemia remaja putri.
Desain penelitian adalah cross-sectional study yaitu data baseline dari
Dinas Kesehatan Kota Bekasi untuk pelaksanaan Program Pencegahan dan
Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB). Lokasi penelitian dilaksanakan di
SMP VII dan SMK Teratai Putih Global 2. Pemilihan didasarkan kesediaan
sekolah mengikuti program serta keaktifan puskesmas yang dekat dengan lokasi
sekolah untuk mengumpulkan data pengukuran hemoglobin. Waktu pengambilan
data dilakukan pada November 2007-Februari 2008. Contoh sejumlah 400 orang
terdiri dari 200 orang siswi SMP VII dan 200 orang siswi SMK Teratai Putih
Global 2. Usia contoh berkisar 10-18 tahun. Pengambilan contoh dilakukan
secara sengaja dengan pertimbangan kesediaan siswi mengikuti program dan
adanya izin dari orangtua.
Data yang dikumpulkan berupa data sekunder dari Dinas Kesehatan Kota
Bekasi. Data dikumpulkan melalui tiga cara (wawancara, pengukuran langsung,
pemeriksaan laboratorium). Wawancara langsung saat pengumpulan data
menggunakan kuisioner yang berisi data usia, aktivitas fisik, pola menstruasi,
riwayat penyakit, perilaku hidup bersih dan sehat, dan frekuensi konsumsi
pangan. Data antropometri dan status gizi diketahui melalui pengukuran berat
dan tinggi badan. Penentuan kadar hemoglobin dilakukan dengan pengambilan
sampel darah dan dianalisis dengan metode Cyanmethemoglobin. Analisis
korelasi Spearman dilakukan untuk melihat besar hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen. Regresi Logistik dilakukan untuk
mengetahui faktor risiko yang paling berkaitan dengan status anemia.
Rata-rata kadar hemoglobin adalah 12.4 g/dl (7.2-16.0 g/dl). Lebih dari
separuh contoh (61.7%) tidak mengalami anemia. Terdapat 6.0 persen contoh
mengalami anemia sedang. Secara keseluruhan 38.3 persen contoh mengalami
anemia.
Rata-rata usia adalah 13.7 tahun (10-18 tahun). Proporsi terbesar contoh
berusia 10-12 tahun dan hampir separuh contoh tidak anemia berada pada
kisaran usia tersebut. Lebih dari separuh contoh anemia berusia 13-15 tahun dan
baru mengalami menstruasi sehingga kecenderungan anemia lebih besar akibat
kehilangan darah yang dialami. Rata-rata IMT adalah 19.3 kg/m2 (11.9 kg/m2-7.5
kg/m2). Proporsi terbesar contoh (48.0%) berada pada status gizi kurus.
Sebagian besar contoh (75.5%) sudah menstruasi dan memiliki frekuensi
menstruasi teratur. Frekuensi menstruasi tidak teratur lebih sering dialami contoh
anemia. Lebih dari separuh contoh anemia mengganti pembalut 3-4 kali setiap
hari dan 49.1 persen contoh tidak anemia mengganti pembalut 1-2 kali. Sebagian
besar contoh memiliki lama menstruasi yang normal.
ERMITA ARUMSARI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga
Judul Skripsi
Ermita Arumsari
NRP
A54104076
Program Studi
Disetujui,
Dosen Pembimbing
Diketahui,
Dekan Fakultas Pertanian IPB
Tanggal Lulus
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kotabaru, Kalimantan Selatan pada tanggal 3
November 1986. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari
pasangan Pramudyanto dan Erina Hasniah.
Penulis menempuh pendidikan di SDN Semayap 2 Kotabaru Kalimantan
Selatan pada tahun 1992-1996 dilanjutkan di SDN Klegen 5 Madiun dan lulus
tahun 1998. Pendidikan dilanjutkan di SLTP Negeri 1 Madiun tahun 1998-2001.
Tahun 2001, penulis diterima di SMU Negeri 2 Madiun dilanjutkan di SMU Negeri
1 Jember dan lulus tahun 2004. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai
mahasiswa Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan
Mahasiswa Baru).
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di beberapa kepanitiaan
kampus dan organisasi kemahasiswaan. Organisasi yang pernah diikuti yaitu
Sopran 1 Paduan Suara Mahasiswa Agriaswara tahun 2004-2006 dan Himpunan
Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia tahun 2005-2006.
PRAKATA
Puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya, penulis dapat menyusun skripsi yang berjudul Faktor Risiko
Anemia pada Remaja Putri Peserta Program Pencegahan dan Penanggulangan
Anemia Gizi Besi (PPAGB) di Kota Bekasi. Skripsi ini disusun sebagai salah
satu persyaratan untuk dapat memperoleh gelar sarjana pada Program Studi Gizi
Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Institut Pertanian Bogor. Penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan
penuh kesabaran telah meluangkan waktu dan pikiran, memberikan arahan,
masukan, kritikan, semangat, dan dorongan untuk menyelesaikan tugas akhir
ini
2. Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, M.Kes selaku dosen penguji, yang telah berkenan
memberikan saran dan kritik demi kesempurnaan skripsi ini
3. Dr. Ir. Budi Setiawan, MS selaku dosen pemandu seminar atas saran yang
diberikan
4. Dr. Ir. Yayuk F. Baliwati, MS selaku dosen pembimbing akademik serta
seluruh dosen GMSK atas ilmu dan nasehat yang telah diberikan
5. Ibu, bapak, kakak Niken, dan seluruh keluarga besar atas segala kasih
sayang, doa, nasehat, dan semangat yang diberikan selama ini
6. Pihak Dinas Kesehatan Kota Bekasi, dr. Pusporini, Pak Agus, Bu Nining, dan
Bu Titik atas kesempatan dan bantuan yang diberikan kepada penulis saat
pengambilan data
7. Para pembahas seminar (Friska Amelia, Ahmawati Prapti, dan Eka Septiani)
atas saran dan masukan yang diberikan
8. Sahabatku Yesa, Dewi Mei, Henny, Friska, Lola, Ari, Ima, Dewi K, Rizka, dan
Marissa serta teman-teman GMSK 41 NRP 01-92, terimakasih atas segala
bantuan, dukungan, serta kebersamaan dan cerita indah selama empat tahun
9. Teman-teman 345ers, Yustika Muharastri, Indah Primadianti, dan Nidia
Roosita, terimakasih atas kenangan indah setahun awal bersama di IPB.
Semoga persahabatan ini tidak akan pernah putus
10. Teman-teman KKP Cisalak Subang, Cindy Chairunisa, Khotimah Husniati,
Cenra Intan Hartuti Tuharea, Ratu Dewi Hilna A, dan M. Ari Haryono, atas
dua bulan kebersamaan yang menyenangkan
11. Teman-teman di PNS dan ACC, Nadia, Astiari, Cindy, Chanti, Pujik, Mira,
Ellyta, Lia, Teztiana, Dila, Ita, dan Dini yang selalu mewarnai hari-hari yang
takkan terlupakan
12. Teman-teman di Lautan Indonesia, Abel, Mer, Ale, Mizz-min-u, dan
semuanya atas semangat, dukungan, dan keceriaan yang diberikan selama
penyusunan skripsi
13. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis selama kuliah
hingga penyelesaian skripsi
Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ............................................................................................... i
DAFTAR GAMBAR.................................................................................. iii
DAFTAR TABEL ...................................................................................... iv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ v
PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
Latar Belakang............................................................................... 1
Tujuan ........................................................................................... 4
Hipotesis ........................................................................................ 4
Kegunaan ...................................................................................... 4
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 5
Remaja Putri ................................................................................. 5
Anemia dan Faktor Penyebabnya ................................................. 6
Faktor Risiko Anemia..................................................................... 8
Menstruasi ............................................................................... 8
Status Gizi ............................................................................... 9
Riwayat Penyakit ................................................................... 10
Aktivitas Fisik ......................................................................... 11
Konsumsi Pangan.................................................................. 12
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat ........................................... 14
Faktor Risiko Anemia Lainnya ..................................................... 15
Program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi
(PPAGB) pada Remaja Putri ....................................................... 16
KERANGKA PEMIKIRAN....................................................................... 18
METODE PENELITIAN ........................................................................... 21
Desain, Tempat, dan Waktu ........................................................ 21
Penarikan Contoh ........................................................................ 21
Jenis dan Cara Pengumpulan Data ............................................. 21
Pengolahan dan Analisis Data..................................................... 22
Definisi Operasional..................................................................... 24
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 26
Status Anemia ............................................................................. 26
Usia dan Status Gizi Antropometri............................................... 27
Usia......................................................................................... 27
Status Gizi Antropometri ......................................................... 28
Menstruasi ................................................................................... 29
Status Menstruasi .................................................................... 30
Frekuensi Menstruasi .............................................................. 31
Banyaknya Menstruasi ............................................................ 32
Lama Menstruasi ..................................................................... 33
Riwayat Penyakit ......................................................................... 34
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat ................................................. 35
Aktivitas Fisik ............................................................................... 36
Frekuensi Konsumsi Pangan ....................................................... 37
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.
2.
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
2.
3.
4.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kualitas sumber daya manusia (SDM) ditentukan oleh banyak faktor yang
saling berhubungan, berkaitan, dan saling bergantung, diantaranya adalah faktor
pendidikan dan kesehatan. Kesehatan merupakan prasyarat yang diperlukan
agar upaya pendidikan berhasil, selanjutnya pendidikan yang diperoleh akan
sangat mendukung tercapainya peningkatan status kesehatan seseorang. Untuk
membentuk kualitas manusia yang mempunyai kemampuan kerja fisik yang baik,
tentunya harus didukung oleh tingkat keadaan gizi yang baik pula. Keadaan gizi
yang baik akan meningkatkan kualitas hidup seseorang; kualitas hidup yang
tinggi akan mendukung hasil kerja yang efisien dan optimal. Sebaliknya keadaan
gizi yang tidak baik akan menurunkan daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi
serta produktivitas kerja yang rendah (Depkes 2006). Keadaan gizi yang tidak
baik seperti kekurangan zat gizi mikro masih merupakan masalah di negara
berkembang (Ruel 2001).
Defisiensi zat besi merupakan defisiensi zat gizi mikro yang paling umum
terjadi di dunia dan merupakan masalah gizi kurang yang banyak diderita oleh
remaja (Ruel 2001). Defisiensi zat besi merupakan hasil jangka panjang dari
keseimbangan negatif zat besi dan tingkatan yang paling parah dari defisiensi zat
besi disebut dengan anemia (WHO 2001). Menurut Soekirman (2000), saat ini
diperkirakan lebih kurang 2.1 milyar orang di dunia menderita anemia gizi besi
termasuk pada tingkat berat dan pada negara berkembang terdapat prevalensi
anemia pada remaja putri sebesar 17-89 persen (Ruel 2001). Hasil SKRT 2001
menunjukkan bahwa 30 persen remaja wanita (10-19 tahun) menderita anemia
(konsentrasi hemoglobin<120 g/l). Hasil tersebut tidak jauh berbeda dari hasil
studi lainnya, yang mengindikasikan anemia merupakan masalah kesehatan di
Indonesia (Permaesih dan Herman 2005).
Prevalensi anemia yang cukup besar pada remaja putri ini karena pada
masa remaja terjadi pertumbuhan yang cepat (growth spurt). Selama periode
remaja, massa tulang meningkat dan terjadi remodeling tulang; jaringan lunak,
organ-organ, dan bahkan massa sel darah merah meningkat dalam hal ukuran
(DiMeglio 2000). Pertumbuhan tersebut menyebabkan kebutuhan zat besi
meningkat secara dramatis dan pada saat remaja inilah kebutuhan zat gizi
mencapai titik tertinggi. Menurut FAO/WHO (2001), kebutuhan zat besi yang
diperlukan remaja putri untuk pertumbuhan berbeda antara early adolescence
dan middle adolescence. Kebutuhan zat besi yang lebih besar diperlukan oleh
early adolescence karena pada usia tersebut growth spurt lebih intens terjadi
dibandingkan middle adolescence, sehingga apabila terjadi kekurangan zat gizi
makro dan mikro pada usia remaja baik early adolescence maupun middle
adolescence dapat mengganggu pertumbuhan dan menghambat pematangan
seksual (Beard 2000).
Pertumbuhan yang cepat pada remaja memberikan konsekuensi
terjadinya peningkatan kebutuhan zat gizi sebagai upaya mengimbangi
pertumbuhan tersebut. Namun data menunjukkan bahwa asupan makanan para
remaja putri tidak dapat menyediakan cukup zat gizi untuk memenuhi kebutuhan
mereka dan lebih dari lima puluh persen kasus anemia yang tersebar di seluruh
dunia secara langsung disebabkan oleh kurangnya masukan (intake) zat besi
(Dillon 2005). Tidak semua zat besi yang berada dalam makanan dapat diserap
tubuh karena bioavailabilitasnya yang rendah atau kurangnya asupan pangan
hewani. Zat besi yang berasal dari hewani, penyerapannya tidak banyak
dipengaruhi oleh jenis kandungan makanan lain dan lebih mudah diabsorpsi
dibandingkan zat besi yang berasal dari nabati. Makanan nabati misalnya
sayuran hijau tua, walaupun kaya akan zat besi namun hanya sedikit yang bisa
diserap dengan baik oleh usus (Wirakusumah 1998). Namun pangan sumber zat
besi terutama zat besi heme, yang bioavailabilitasnya tinggi, sangat jarang
dikonsumsi oleh masyarakat di negara berkembang. Kebanyakan masyarakat
memenuhi kebutuhan besi mereka dari produk nabati (Backstrand et al 2002).
Kebutuhan zat besi juga akan meningkat pada remaja putri sehubungan
dengan terjadinya menstruasi. Remaja terutama yang telah mengalami
menstruasi, dibandingkan dengan yang belum menstruasi, lebih rentan terhadap
anemia, sehubungan dengan kehilangan darah yang dialami sewaktu menstruasi
(Dillon 2005). Apabila darah yang keluar saat menstruasi cukup banyak, berarti
jumlah zat besi yang hilang dari tubuh juga cukup besar dan kehilangan tersebut
dapat memicu timbulnya anemia (Wirakusumah 1998). Wanita pada umumnya
cenderung mempunyai simpanan zat besi yang lebih rendah dibandingkan pria
dan hal itu membuat wanita lebih rentan mengalami defisiensi zat besi saat
intake zat besi kurang atau kebutuhan meningkat seperti saat menstruasi
(Gleason & Scrimshaw 2007).
Penyebab anemia lainnya adalah terjadinya kehilangan zat besi karena
penyakit infeksi seperti malaria dan cacing. Kehilangan darah akibat infestasi
cacing dan malaria karena hemolisis dapat menyebabkan defisiensi zat besi dan
anemia. Trauma dapat pula menyebabkan defisiensi zat besi. Infeksi cacing
tambang menyebabkan pendarahan pada dinding usus, walaupun sedikit tetapi
terjadi terus menerus dan hal itu dapat mengakibatkan hilangnya darah atau zat
besi. Kehilangan darah tersebut mengakibatkan defisiensi zat besi (WHO 2001)
Defisiensi zat besi dapat terjadi pada tingkatan umur manapun terutama
pada wanita usia reproduktif dan anak-anak. Defisiensi zat besi dapat
mengganggu status imunitas dan fungsi kognitif pada berbagai tingkatan umur.
Pada anak usia sekolah dapat mempengaruhi prestasi belajar; pada usia dewasa
dapat menimbulkan kelelahan dan mengurangi kapasitas kerja, dan pada ibu
hamil dapat menyebabkan bayi lahir prematur (Ruel 2001). Menurut Soekirman
(2000), anemia gizi besi pada kelompok remaja dapat menimbulkan berbagai
dampak antara lain menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah terkena
penyakit dan menurunkan aktivitas yang berkaitan dengan kemampuan kerja fisik
dan prestasi belajar. Disamping itu remaja yang menderita anemia mengalami
penurunan kebugaran sehingga akan menghambat prestasi olahraga dan
produktivitas. Kekurangan zat gizi mikro pada masa remaja dapat berdampak
negatif pada proses pertumbuhan dan kematangan organ-organ reproduksi
(Dillon 2005).
Hasil studi faktor risiko lainnya menunjukkan bahwa terdapat faktor-faktor
lain yang berpengaruh terhadap kejadian anemia antara lain pendidikan, jenis
kelamin, wilayah, kebiasaan sarapan, status kesehatan, dan keadaan Indeks
Massa Tubuh (IMT) dalam kategori kurus (Permaesih dan Herman 2005).
Sedangkan menurut hasil penelitian Maharani (2003), faktor risiko yang secara
signifikan mempengaruhi kecenderungan status anemia mahasiswa baru yaitu
faktor jenis kelamin, umur, pendapatan orangtua, dan status proteinuria. Adanya
faktor risiko tersebut dapat mempengaruhi kecenderungan status anemia
seseorang terutama pada remaja yang berada dalam masa pertumbuhan.
Mengingat dampak yang terjadi akibat anemia sangat merugikan kualitas kerja
dan mutu sumber daya manusia di masa mendatang, maka peneliti tertarik untuk
mengetahui faktor risiko anemia pada remaja, khususnya pada remaja putri
peserta program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB)
di Kota Bekasi.
Tujuan
Tujuan Umum :
Mengetahui
faktor
risiko
anemia
remaja
putri
peserta
program
Tujuan Khusus :
1. Mengkaji status besi (kadar hemoglobin dan status anemia) remaja putri
peserta program PPAGB
2. Mengkaji usia dan status gizi antropometri remaja putri peserta program
PPAGB
3. Mengkaji menstruasi remaja putri peserta program PPAGB
4. Mengkaji riwayat penyakit remaja putri peserta program PPAGB
5. Mengkaji perilaku hidup bersih dan sehat remaja putri peserta program
PPAGB
6. Mengkaji aktivitas fisik remaja putri peserta program PPAGB
7. Mengkaji frekuensi konsumsi pangan sumber zat besi remaja putri
peserta program PPAGB
8. Menganalisis faktor risiko anemia remaja putri peserta program PPAGB
Hipotesis
Usia, status gizi antropometri, menstruasi, riwayat penyakit, perilaku
hidup bersih dan sehat, aktivitas fisik, dan frekuensi konsumsi pangan tidak
mempengaruhi status anemia remaja putri peserta program Pencegahan dan
Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) di Kota Bekasi
Kegunaan
Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi remaja dan keluarga serta
pihak yang terkait sebagai usaha pencegahan anemia sedini mungkin dengan
meningkatkan kesadaran tentang faktor risiko anemia pada remaja. Selain itu
diharapkan dapat memberikan informasi yang tepat kepada petugas kesehatan
dalam upaya penanggulangan anemia gizi.
TINJAUAN PUSTAKA
Remaja Putri
WHO mendefinisikan remaja sebagai bagian dari siklus hidup antara usia
10-19 tahun. Remaja berada diantara dua masa hidup, dengan beberapa
masalah gizi yang sering terjadi pada anak-anak dan dewasa (WHO 2006).
Remaja memiliki pertumbuhan yang cepat (growth spurt) dan merupakan waktu
pertumbuhan yang intens setelah masa bayi serta satu-satunya periode dalam
hidup individu terjadi peningkatan velositas pertumbuhan. Selama masa remaja,
seseorang dapat mencapai 15 persen dari tinggi badan dan 50 persen dari berat
badan saat dewasa. Pertumbuhan yang cepat ini sejalan dengan peningkatan
kebutuhan zat gizi, yang secara signifikan dipengaruhi oleh infeksi dan
pengeluaran energi (UNS-SCN 2006). Massa tulang meningkat sebesar 45
persen dan remodeling tulang terjadi; jaringan lunak, organ-organ, dan bahkan
massa sel darah merah meningkat dalam hal ukuran, akibatnya kebutuhan zat
gizi mencapai titik tertinggi saat remaja. Adanya kekurangan zat gizi makro dan
mikro dapat mengganggu pertumbuhan dan menghambat pematangan seksual.
Kebutuhan untuk individual tidak mungkin diestimasikan karena adanya
pertimbangan variasi dalam tingkat dan jumlah pertumbuhan (DiMeglio 2000).
Pada remaja wanita, puncak pertumbuhan terjadi sekitar 12-18 bulan
sebelum mengalami menstruasi pertama atau sekitar usia 10-14 tahun
(ADB/SCN 2001 diacu dalam Briawan 2008). Selama periode remaja, kebutuhan
zat besi meningkat secara dramatis sebagai hasil dari ekspansi total volume
darah, peningkatan massa lemak tubuh, dan terjadinya menstruasi pada remaja
putri (Beard 2000). Pada wanita, kebutuhan yang tinggi akan besi terutama
disebabkan kehilangan zat besi selama menstruasi (Wiseman 2002). Secara
keseluruhan, kebutuhan zat besi meningkat dari kebutuhan saat sebelum remaja
sebesar 0.7-0.9 mg Fe/hari menjadi 2.2 mg Fe/hari atau mungkin lebih saat
menstruasi berat. Peningkatan kebutuhan ini berhubungan dengan waktu dan
ukuran growth spurt sama seperti kematangan seksual dan terjadinya
menstruasi. Hal ini mengakibatkan wanita lebih rawan terhadap anemia besi
dibandingkan pria (Beard 2000).
Wanita cenderung mempunyai simpanan zat besi yang lebih rendah
dibandingkan pria, membuat wanita lebih rentan mengalami defisiensi zat besi
saat asupan zat besi kurang atau kebutuhan meningkat. Jika zat besi yang
dikonsumsi terlalu sedikit atau bioavailabilitasnya rendah atau makanan
Hb (g/dl)
10.0 11.9
7.0 9.9
< 7.0
secara
periodik
dan
siklik
dari
uterus
disertai
pelepasan
endometrium. Lama menstruasi biasanya antara 3-5 hari dan ada yang 1-2 hari.
Beberapa faktor yang mengganggu kelancaran siklus menstruasi yaitu faktor
stres, perubahan berat badan, olahraga yang berlebihan, dan keluhan
menstruasi. Panjang daur dapat bervariasi pada satu wanita selama saat-saat
yang berbeda dalam hidupnya (Affandi 1990).
Menstruasi adalah suatu proses fisiologis yang dipengaruhi oleh banyak
faktor antara lain lingkungan, musim, dan tingginya tempat tinggal dari
permukaan laut. Faktor lain yang penting adalah faktor sosial misalnya status
perkawinan dan lamanya menstruasi ibu. Usia dan ovulasi mempengaruhi
lamanya menstruasi. Rata-rata lama perdarahan pada kebanyakan wanita setiap
periode kurang lebih tetap (Affandi 1990).
Saat menstruasi terjadi pengeluaran darah dari dalam tubuh. Hal ini
menyebabkan zat besi yang terkandung dalam hemoglobin, salah satu
komponen sel darah merah, juga ikut terbuang. Semakin lama menstruasi
berlangsung, maka semakin banyak pengeluaran dari tubuh. Hal tersebut
mengakibatkan pengeluaran besi meningkat dan keseimbangan zat besi dalam
tubuh terganggu (Depkes 1998). Menstruasi menyebabkan wanita kehilangan
besi hingga dua kali jumlah kehilangan besi laki-laki (Brody 1994). Apabila darah
yang keluar saat menstruasi cukup banyak, berarti jumlah zat besi yang hilang
dari tubuh juga cukup besar. Setiap orang mengalami kehilangan darah dalam
jumlah yang berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor seperti
keturunan, keadaan kelahiran, dan besar tubuh (Affandi 1990).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa jumlah darah yang hilang
selama satu periode menstruasi berkisar antara 20-25 cc dan dianggap abnormal
jika kehilangan darah menstruasi lebih dari 80 ml (Affandi 1990). Jumlah 20-25
cc menyiratkan kehilangan zat besi sebesar 12.5-15 mg/bulan atau kira-kira
sama dengan 0.4-0.5 mg sehari. Jika jumlah tersebut ditambah dengan
kehilangan basal maka jumlah total zat besi yang hilang sebesar 1.25 mg per
hari (Arisman 2002). Wanita usia muda relatif lebih sedikit kehilangan darah
Status Gizi
Status gizi adalah keadaan seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi,
penyerapan, dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang
lama. Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian
yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik (Supariasa et al 2001).
Pengukuran antropometri terdiri dari dua dimensi yaitu pengukuran pertumbuhan
dan komposisi tubuh (pengukuran komponen lemak dan komponen bukan
lemak).
Menurut Riyadi (2001), indikator antropometri yang dipakai di lapangan
adalah berat badan untuk mengetahui massa tubuh dan panjang atau tinggi
badan untuk mengetahui dimensi berat linear dan indikator tersebut sangat
tergantung pada umur. Antropometri sangat penting pada masa remaja karena
antropometri dapat memonitor dan mengevaluasi perubahan pertumbuhan dan
kematangan yang dipengaruhi oleh faktor hormonal. Pengukuran paling reliabel
untuk ras spesifik dan popular untuk menentukan status gizi pada masa remaja
saat ini adalah Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT merupakan indeks berat badan
seseorang dalam hubungannya dengan tinggi badan, yang ditentukan dengan
membagi BB dalam satuan kg dengan kuadrat TB dalam satuan meter. Berikut
adalah rata-rata berat badan dan tinggi badan wanita berdasarkan usia menurut
WNPG 2004.
Tabel 2 Rata-rata BB dan TB wanita berdasarkan usia
Berat Badan (kg)
Rata-rata
SD
10-12 tahun
38.4
9.2
13-15 tahun
44.6
6.7
16-18 tahun
46.3
4.6
Sumber : Jahari & Jusat (2004) dalam WNPG (2004)
Usia
Pada periode remaja, 20 persen tinggi badan dan 50 persen berat badan
saat dewasa telah dicapai. Oleh karena itu kebutuhan zat gizi mencapai titik
tertinggi saat remaja dan adanya kekurangan zat gizi makro dan mikro dapat
mengganggu pertumbuhan dan menghambat pematangan seksual. Wanita yang
berstatus gizi baik akan lebih cepat mengalami pertumbuhan badan dan akan
lebih cepat mengalami menstruasi. Sebaliknya wanita yang berstatus gizi buruk
pertumbuhannya akan pelan dan lama serta menstruasinya akan lebih lambat
(ABD/SCN 2001 diacu dalam Briawan 2008). IMT mempunyai korelasi positif
dengan konsentrasi hemoglobin (Thompson 2007). Hal tersebut sejalan dengan
penelitian Permaesih dan Herman (2005) yang menunjukkan bahwa remaja yang
mempunyai IMT kurang atau tubuh kurus mempunyai risiko 1.5 kali untuk
menjadi anemia.
Riwayat penyakit
Anemia dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah terkena
infeksi (Permaesih dan Herman 2005). Telah diketahui secara luas bahwa infeksi
merupakan faktor yang penting dalam menimbulkan kejadian anemia, dan
anemia merupakan konsekuensi dari peradangan dan asupan makanan yang
tidak memenuhi kebutuhan zat besi (Thurnham & Northrop-Clewes 2007).
Kehilangan darah akibat schistosomiasis, infestasi cacing, dan trauma dapat
menyebabkan defisiensi zat besi dan anemia. Angka kesakitan akibat penyakit
infeksi meningkat pada populasi defisiensi besi akibat efek yang merugikan
terhadap sistem imun. Malaria karena hemolisis dan beberapa infeksi parasit
seperti cacing, trichuriasis, amoebiasis, dan schistosomiasis menyebabkan
kehilangan
darah
secara
langsung
dan
kehilangan
darah
tersebut
meskipun
sedikit
tetapi
terjadi
terus
menerus
sehingga
dapat
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada wanita hamil di Nepal, terdapat bukti
bahwa malaria berhubungan dengan defisiensi besi. Konsentrasi serum ferritin
pada wanita yang terjangkit P. vivax lebih rendah dan proporsi wanita dengan
serum ferritin rendah cenderung meningkat (Dreyfuss et al 2000).
Peradangan dan pemanfaatan hemoglobin oleh parasit memegang
peranan penting dalam etiologi anemia pada malaria. Peradangan tersebut
terlihat dalam studi pada anak-anak India (2-11 tahun) yang menderita malaria
parah, sedang, asimtomatik, dan tidak malaria. Hasil penelitian menunjukkan
malaria asimtomatik memiliki konsentrasi hemoglobin yang lebih rendah
dibandingkan dengan yang tidak menderita malaria. Walaupun persentase sel
darah merah yang terinfeksi malaria biasanya lebih sedikit, anemia dapat timbul
akibat blokade penempatan sel darah merah oleh faktor penghambat seperti
hematopoiesis (Thurnham & Northrop-Clewes 2007).
Aktivitas Fisik
Anemia dapat mempengaruhi tingkat kesegaran jasmani seseorang.
Penelitian Permaesih menemukan 25 persen remaja di Bandung mempunyai
kesegaran jasmani kurang dari normal (Permaesih dan Herman 2005). Aktivitas
fisik erat kaitannya dengan kesehatan tubuh secara keseluruhan. Tubuh yang
sehat mampu melakukan aktivitas fisik secara optimal, sebaliknya aktivitas fisik
yang dilakukan secara rutin dalam porsi yang cukup mempunyai dampak positif
bagi kesehatan badan.
Pola aktivitas remaja didefinisikan sebagai kegiatan yang biasa dilakukan
oleh remaja sehari-hari sehingga akan membentuk pola. Aktivitas remaja dapat
dilihat dari bagaimana cara remaja mengalokasikan waktunya selama 24 jam
dalam kehidupan sehari-hari untuk melakukan suatu jenis kegiatan secara rutin
dan berulang-ulang (Kartono 1992 diacu dalam Ratnayani 2005). Menurut
Framingham Study diacu dalam Ratnayani (2005), aktivitas fisik selama 24 jam
dibagi menjadi lima yaitu aktivitas tidur, aktivitas berat (olah raga seperti jogging,
sepak bola, atletik, dan sebagainya), aktivitas sedang (belajar, naik tangga,
mencuci, mengepel, menyetrika, menyapu, dan sebagainya), aktivitas ringan
(kegiatan sambil berdiri), dan aktivitas rileks (duduk, berbaring, dan sebagainya).
Aktivitas fisik penting untuk mengetahui apakah aktivitas tersebut dapat
mengubah status zat besi. Performa aktivitas akan menurun sehubungan dengan
terjadinya penurunan konsentrasi hemoglobin dan jaringan yang mengandung
zat besi. Zat besi dalam hemoglobin, ketika jumlahnya berkurang, secara ekstrim
dapat mengubah aktivitas kerja dengan menurunkan transpor oksigen (Beard
dan Tobin 2000).
Menstruasi pada wanita dapat meningkatkan risiko terjadinya defisiensi
zat besi terkait aktivitas fisiknya tanpa memperhatikan kehilangan darah yang
dialami setiap bulan. Pengeluaran zat besi dapat melalui keringat, feses dan
urine, atau hemolisis intravaskular. Studi yang dilakukan pada atlet wanita
menunjukkan bahwa kehilangan zat besi melalui keringat menurun sejalan
dengan waktu. Konsentrasi zat besi terbesar dalam keringat terjadi selama 30
menit pertama olahraga dan konsentrasi zat besi tersebut lebih rendah pada
lingkungan yang panas dibandingkan lingkungan bersuhu ruang. Pada berbagai
kasus zat gizi mikro, wanita cenderung mempunyai asupan pangan yang kurang,
dan defisiensi memberikan dampak yang merugikan pada aktivitas fisik (Akabas
dan Dolins 2005).
Konsumsi Pangan
Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan
yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu.
Definisi ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis
pangan yang dikonsumsi dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Dalam
menghitung jumlah zat gizi yang dikonsumsi, kedua informasi ini (jenis dan
jumlah pangan) merupakan hal yang penting. Batasan ini menunjukkan bahwa
konsumsi pangan dapat ditinjau berdasarkan aspek jenis pangan dan jumlah
pangan yang dikonsumsi. Pangan sebagai sumber berbagai zat gizi merupakan
kebutuhan yang harus dipenuhi setiap hari (Kusharto dan Sadiyyah 2006).
Pangan sumber zat besi terutama zat besi heme, yang bioavailabilitasnya
tinggi, sangat jarang dikonsumsi oleh masyarakat di negara berkembang, yang
kebanyakan memenuhi kebutuhan besi mereka dari produk nabati (Backstrand et
al 2002). Di Indonesia, ketidakcukupan jumlah Fe dalam makanan terjadi karena
pola konsumsi makan masyarakat Indonesia masih didominasi sayuran sebagai
sumber zat besi yang sulit diserap. Sementara itu, daging dan bahan pangan
hewani sebagai sumber zat besi yang baik (heme iron) jarang dikonsumsi
terutama oleh masyarakat pedesaan (Depkes 1998).
Menurut Almatsier (2001) diperkirakan hanya 5-15 persen besi makanan
diabsorpsi oleh seseorang yang berada dalam status besi baik dan jika dalam
keadaan defisiensi besi, absorpsi dapat mencapai 50 persen. Faktor bentuk besi
berpengaruh terhadap absorpsi besi. Besi heme yang terdapat dalam pangan
hewani dapat diserap dua kali lipat daripada besi nonheme.
Besi dalam makanan terdapat dalam bentuk besi heme (dalam
hemoglobin dan mioglobin makanan hewani) dan besi nonheme (dalam makanan
nabati). Sumber besi nonheme yang baik diantaranya adalah kacang-kacangan.
Asam fitat yang terkandung dalam kedelai dan hasil olahannya dapat
menghambat penyerapan besi. Namun karena zat besi yang terkandung dalam
kedelai dan hasil olahannya cukup tinggi, hasil akhir terhadap penyerapan
besipun biasanya akan positif. Sayuran daun berwarna hijau memiliki kandungan
zat besi yang tinggi sehingga jika sering dikonsumsi maka akan meningkatkan
cadangan zat besi di dalam tubuh. Beberapa jenis sayuran hijau juga
mengandung asam oksalat yang dapat menghambat penyerapan besi, namun
efek menghambatnya relatif lebih kecil dibandingkan asam fitat dalam serealia
dan tanin yang terdapat dalam teh dan kopi (Almatsier 2001).
Bioavailabilitas zat besi dalam makanan sangat dipengaruhi oleh faktor
pendorong dan penghambat. Absorpsi zat besi dapat bervariasi dari 1-40 persen
tergantung pada faktor pendorong dan penghambat dalam makanan (WHO
2001). Menurut FAO/WHO (2001), faktor pendorong penyerapan zat besi
diantaranya :
-
Besi yang terikat phenolic (tannin); teh, kopi, coklat, beberapa bumbu
(seperti oregano)
dan ikan karena mempunyai ketersediaan biologik yang tinggi (Almatsier 2001).
Pangan hewani seperti daging sapi, daging unggas, dan ikan memiliki Meat,
Fish, Poultry Factor (MFP Factor) yang dapat meningkatkan penyerapan besi.
Hasil pencernaan ketiga pangan tersebut menghasilkan asam amino cysteine
dalam jumlah besar. Selanjutnya asam amino tersebut mengikat besi dan
membantu penyerapannya (Groff & Gropper 2000 diacu dalam Puri 2007).
Konsumsi pangan yang rendah kandungan zat besi dapat menyebabkan
ketidakseimbangan besi di dalam tubuh. Selain itu, tingginya konsumsi pangan
yang dapat menghambat penyerapan besi dan rendahnya konsumsi pangan
yang dapat membantu penyerapan besi di dalam tubuh juga dapat menyebabkan
ketidakseimbangan besi di dalam tubuh. Jika hal tersebut berlangsung dalam
jangka waktu yang lama, maka dapat menyebabkan defisiensi besi (Almatsier
2001).
Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengetahui konsumsi
pangan adalah metode frekuensi pangan yang dalam pelaksanaannya dilakukan
pencatatan frekuensi atau banyak kali penggunaan pangan yang biasanya
dikonsumsi untuk suatu periode waktu tertentu. Metode ini bertujuan untuk
memperoleh data konsumsi pangan secara kualitatif dan informasi deskriptif
tentang pola konsumsi. Dengan metode ini dapat dilakukan penilaian frekuensi
penggunaan pangan atau kelompok pangan tertentu (sumber lemak, sumber
protein, sumber zat besi, dan lain sebagainya) selama kurun waktu yang spesifik
(per hari, minggu, bulan, tahun) dan sekaligus mengestimasi konsumsi zat
gizinya. Kuisioner biasanya mempunyai dua komponen utama yaitu daftar
pangan dan frekuensi penggunaan pangan (Kusharto dan Sadiyyah 2006).
pertumbuhan
yang
terganggu
berhubungan
dengan
anemia
defisiensi besi dan Indeks Massa Tubuh (IMT) secara positif berhubungan
dengan konsentrasi hemoglobin seseorang. Namun hasil tersebut berbeda
dengan kelompok wanita usia subur di Lebanon, yang menunjukkan bahwa tidak
adanya hubungan IMT dengan status anemia (Khatib et al 2006 diacu dalam
Briawan 2008).
Hasil penelitian Maharani menunjukkan bahwa pendapatan orang tua
yang rendah memiliki kecenderungan menderita anemia. Hasil tersebut sesuai
dengan penyataan WHO (2001) bahwa anemia sering terjadi diantara
masyarakat yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah. Penelitian di
Indonesia yang dilakukan oleh Survival for Women and Children (SWACH)
Foundation menemukan bahwa bahwa status sosial ekonomi juga menjadi faktor
yang mempengaruhi timbulnya kejadian anemia pada remaja (Bartley et al 2005).
Faktor penentu anemia defisiensi besi lainnya termasuk pendapatan yang rendah
dan kemiskinan yang berakibat pada asupan makanan yang rendah dan pola
makan yang rendah zat gizi mikro. Keadaan tersebut juga dipengaruhi oleh
kurangnya pemahaman tentang pola makan beragam dan pentingnya pangan
sumber zat gizi mikro yang dapat mendorong atau menghambat penyerapan zat
besi oleh tubuh (Thompson 2007). Hal ini menggambarkan asupan pangan
sumber zat besi yang rendah terutama pangan hewani (Bartley et al 2005).
KERANGKA PEMIKIRAN
Defisiensi zat besi dapat mempengaruhi kapasitas kerja fisik remaja.
Selain itu, defisiensi zat besi dapat mengganggu status imunitas dan fungsi
kognitif pada berbagai tingkatan umur. Defisiensi zat besi menurunkan kekuatan
fisik yang berakibat pada penurunan kapasitas fisik dan kerja. Anemia
mempunyai dampak negatif yang serius pada pertumbuhan dan perkembangan
selama remaja. Sebuah studi yang dilakukan pada remaja putri menunjukkan
bahwa
anemia
berhubungan
dengan
menurunnya
ketahanan fisik
dan
besi yang terdapat dalam bahan makanan dapat berasal dari hewan maupun
tumbuhan. Zat besi yang berasal dari tumbuh-tumbuhan memiliki daya serap
yang lebih rendah dibanding zat besi yang berasal dari hewan. Bentuk zat besi
yang terdapat di dalam makanan juga mempengaruhi penyerapan besi oleh
tubuh. Zat besi hem yang berasal dari hewan lebih mudah diabsorpsi
dibandingkan zat besi nonhem.
Keadaan fisiologi seseorang seperti usia dan status gizi juga dapat
menjadi faktor risiko anemia. Menurut FAO/WHO (2001), kebutuhan zat besi
yang diperlukan remaja putri untuk pertumbuhan berbeda antara early
adolescence dan middle adolescence. Kebutuhan zat besi yang lebih besar
diperlukan oleh early adolescence karena pada usia tersebut growth spurt lebih
intens terjadi dibandingkan middle adolescence (Beard 2000). Keadaan status
gizi atau IMT yang kurang dapat berpotensi menimbulkan kejadian anemia
(Permaesih dan Herman 2005).
Variabel terakhir yang berkemungkinan menjadi faktor risiko anemia
adalah pengeluaran zat besi oleh tubuh melalui menstruasi dan aktivitas fisik.
Remaja terutama yang telah mengalami menstruasi, dibandingkan dengan yang
belum menstruasi, lebih rentan terhadap anemia, sehubungan dengan
kehilangan darah yang dialami sewaktu menstruasi (Dillon 2005). Kehilangan zat
besi dari tubuh juga dapat melalui keringat saat melakukan aktivitas fisik.
Semakin berat aktivitas fisik, pengeluaran zat besi melalui keringat kemungkinan
akan semakin besar.
Konsumsi Pangan
sumber Fe
Faktor
penghambat
penyerapan Fe :
- Teh
- Kopi
- Sayuran
Riwayat
Penyakit
Faktor pemicu
penyerapan Fe :
- Pangan
hewani
- Buah-buahan
Status Gizi
Status
Anemia
Perilaku hidup
bersih dan sehat
Usia
Menstruasi
Aktivitas Fisik
Gambar 1. Kerangka pemikiran faktor risiko anemia pada remaja putri peserta program
Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) di Kota
Bekasi
Keterangan :
= Variabel yang diteliti
METODE PENELITIAN
Desain, Tempat, dan Waktu
Desain penelitian adalah cross-sectional study yaitu baseline data dari
Dinas Kesehatan Kota Bekasi untuk pelaksanaan program Pencegahan dan
Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) pada remaja putri di Kota Bekasi.
Lokasi penelitian dilaksanakan di dua sekolah yaitu SMP VII Kota Bekasi dan
SMK Teratai Putih Global 2 Kota Bekasi. Pemilihan SMP dan SMK tersebut
didasarkan pada kesediaan pihak sekolah untuk mengikuti program Dinas
Kesehatan Kota Bekasi serta keaktifan puskesmas yang dekat dengan lokasi
SMP dan SMK untuk mengumpulkan data pengukuran hemoglobin peserta
program. Waktu pengambilan data dilakukan pada bulan November 2007 sampai
Februari 2008.
Penarikan Contoh
Contoh dalam penelitian ini terdiri dari 200 orang siswi SMP VII Kota
Bekasi dan 200 orang SMK Teratai Putih Global 2 Kota Bekasi kelas 1 dan kelas
2 sehingga diperoleh jumlah total contoh sejumlah 400 orang. Usia contoh
berkisar antara 10-18 tahun. Tujuan dari program PPAGB adalah untuk
menurunkan prevalensi anemia pada remaja putri sehingga dipilih siswi SMP dan
SMK yang sebagian besar berada pada kisaran usia remaja putri (10-19 tahun
menurut WHO 2006). Pengambilan contoh dilakukan secara sengaja dengan
pertimbangan kesediaan para siswi mengikuti program dan adanya izin dari
orangtua siswi.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan berupa baseline data yang didapat dari Dinas
Kesehatan Kota Bekasi yang merupakan bagian dari program Pencegahan dan
Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) pada remaja putri di Kota Bekasi.
Kegiatan awal yang dilakukan adalah sosialisasi program berupa penyuluhan
kepada para siswi di SMP dan SMK kemudian dilanjutkan pendataan siswi yang
bersedia mengikuti program tersebut. Data dikumpulkan melalui tiga cara yaitu
dengan
wawancara
langsung,
pengukuran
langsung,
dan
pemeriksaan
laboratorium yang dilakukan oleh seorang petugas Puskesmas dan tim Dinas
Kesehatan Bekasi sejumlah tiga orang.
lama. Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian
yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik (Supariasa et al 2001). Data
status gizi contoh diperoleh menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT) yang
dihitung berdasarkan data antropometri yaitu berat badan dan tinggi badan siswi
dengan rumus:
Berat Badan (kg)
IMT =
Status gizi kemudian dikategorikan menjadi kurus (IMT < 18.5), normal (IMT
18.5-24.9), risiko untuk gemuk (IMT 25.0-26.9), dan gemuk (IMT > 26.9).
Menstruasi didefinisikan sebagai suatu proses fisiologis contoh yang
ditandai dengan perdarahan secara periodik dan siklik. Status menstruasi
merupakan sudah atau belumnya contoh mengalami menstruasi. Contoh yang
sudah mengalami menstruasi diberi skor 1 dan 0 jika belum menstruasi.
Frekuensi menstruasi dikategorikan menjadi menjadi rendah (2-3 bulan sekali),
normal (sebulan sekali), dan tinggi (dua kali sebulan). Banyaknya menstruasi
dikategorikan berdasarkan banyaknya pembalut yang digunakan setiap hari yaitu
ganti 1-2 kali, 3-4 kali, 5-6 kali, dan lebih dari enam kali. Lama menstruasi
dikategorikan menjadi rendah (kurang dari tiga hari), normal (3-7 hari), dan tinggi
(lebih dari tujuh hari).
Riwayat penyakit dikategorikan sebagai ada tidaknya penyakit yang
pernah diderita selama sebulan terakhir yang berhubungan dengan anemia yaitu
penyakit tuberculosis, malaria, dan kecacingan. Skor yang diberikan adalah 1 jika
memiliki riwayat penyakit dan 0 jika tidak memiliki riwayat penyakit.
Aktivitas fisik merupakan kegiatan sehari-hari contoh selain belajar.
Aktivitas fisik dikategorikan menjadi tiga yaitu : (1) Olahraga ringan seperti jalan
santai, lempar cakram, tolak peluru, senam pernapasan, (2) Olahraga sedang
seperti basket, voli, lari, senam aerobik, jalan cepat, dan (3) Olahraga berat
seperti sepakbola, lari cepat >10 km, senam aerobik high impact.
Data frekuensi pangan yang dikonsumsi selama seminggu dibagi menjadi
lauk hewani, lauk nabati, sayuran, buah-buahan, makanan jajanan, minuman,
dan suplemen. Bahan pangan tersebut kemudian dikategorikan menurut
frekuensi konsumsinya selama seminggu yaitu tidak pernah, jarang (kurang dari
3 kali), kadang-kadang (3-6 kali), dan setiap hari.
Analisis data dilakukan dalam tiga tahap yaitu univariat, bivariat, dan
multivariat. Analisis univariat dilakukan untuk mendeskripsikan seluruh variabel
yang dianalisis menggunakan crosstab. Melalui uji deksriptif dapat diketahui nilai
minimum, nilai maksimum, dan nilai rata-rata dari setiap variabel, serta frekuensi.
Analisis bivariat dengan teknik analisis korelasi Spearman dilakukan untuk
melihat besar hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen,
dalam hal ini variabel dependen adalah status anemia. Analisis multivariat
dengan teknik analisis regresi logistik dilakukan untuk mengetahui faktor risiko
yang paling berkaitan dengan status anemia. Pada analisis multivariat
dimasukkan seluruh variabel yang pada analisis bivariat berhubungan secara
signifikan dengan status anemia, ini bertujuan untuk mengetahui interaksi seluruh
variabel yang diduga menjadi faktor risiko anemia. Keeratan hubungan dipelajari
pada taraf nyata 10 persen.
Definisi Operasional
Remaja Putri adalah siswi SMP dan SMK berusia antara 10-18 tahun
yang merupakan peserta program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia
Gizi Besi pada Remaja Putri di Kota Bekasi
Status gizi antropometri adalah keadaan remaja putri yang diakibatkan
konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi dari makanan yang diukur
berdasarkan Indeks Massa Tubuh dan dikategorikan menjadi kurus (IMT < 18.5),
normal (IMT 18.5-24.9), risiko untuk gemuk (IMT 25.0-26.9), dan gemuk (IMT >
26.9)
Status anemia adalah jumlah hemoglobin dalam darah yang dinyatakan
dalam satuan g/dl dan dikatakan anemia apabila konsentrasi atau kadar
hemoglobin dalah darah kurang dari 12 g/dl.
Menstruasi adalah suatu proses fisiologis remaja putri yang ditandai
dengan perdarahan secara periodik dan siklik yang digambarkan oleh status
menstruasi (sudah atau belumnya contoh mengalami menstruasi), frekuensi
menstruasi, banyaknya menstruasi, dan lama menstruasi
Frekuensi menstruasi adalah keteraturan menstruasi remaja putri yang
dinyatakan rendah apabila menstruasi 2-3 kali sebulan, normal apabila
menstruasi satu kali setiap bulan, dan tinggi apabila menstruasi dua kali sebulan
6.0% 0%
Normal 12.0 g/dl
32.3%
Anemia
n
43
77
33
153
Status Anemia
Tidak Anemia
%
n
%
28.1
115
46.6
79
31.9
50.3
21.6
53
21.5
100
247
100
Total
n
158
156
86
400
%
39.5
39.0
21.5
100
Rata-rata usia contoh adalah 13.7 1.9 tahun dengan kisaran usia antara
10-18 tahun. Rata-rata usia baik contoh yang anemia maupun tidak anemia
hampir sama yaitu berturut-turut 13.9 1.7 tahun dan 13.5 1.9 tahun. Pada
Tabel 3 dapat dilihat bahwa secara umum proporsi terbesar contoh (39.5%)
berusia antara 10-12 tahun dan hampir separuh contoh yang tidak anemia
(46.6%) berada pada kisaran usia tersebut.
Tabel 3 menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh anemia (50.3%)
berada pada kisaran usia 13-15 tahun. Hal tersebut memperlihatkan adanya
kecenderungan siswi yang berusia antara 13-15 tahun untuk mengalami anemia
dibandingkan siswi yang berada diluar kisaran usia tersebut. Ini diduga karena
pada kisaran usia 13-15 tahun, seseorang baru mengalami menstruasi sehingga
kecenderungan anemia lebih besar akibat kehilangan darah yang dialami.
Menurut Hanafiah (1999) diacu dalam Khaerunnisa (2005), rata-rata usia wanita
pertama kali mendapat menstruasi (menarche) yaitu 12.5 tahun sedangkan
menurut hasil penelitian Dillon (2005) terhadap remaja putri di Tangerang, ratarata usia menarche adalah 12 tahun.
Hasil analisis Korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara usia dengan status anemia (r = 0.131, p = 0.009). Hal ini
memperlihatkan bahwa usia antara 13-15 tahun memiliki kecenderungan yang
lebih besar untuk mengalami anemia. Hasil penelitian Hulu (2004) pada siswi
SMK menunjukkan kecenderungan anemia berada pada kelompok siswi yang
berusia lebih tua. Ini diduga berkaitan dengan terjadinya menstruasi pada siswi
yang berusia lebih tua. Pada penelitian ini, hampir separuh siswi SMP yang
berusia antara 10-12 tahun belum mengalami menstruasi. Dillon (2005)
menyatakan bahwa remaja terutama yang telah mengalami menstruasi,
dibandingkan dengan yang belum menstruasi, lebih rentan terhadap anemia.
Persentase anemia terkecil terdapat pada kisaran usia 16-18 tahun. Hal
ini sesuai dengan hasil penelitian Maharani (2001) yang menunjukkan bahwa
usia 18 tahun ke atas memiliki kecenderungan lebih kecil untuk menderita
anemia daripada usia kurang dari 18 tahun. Hal ini pun diperkuat dengan
pernyataan Beard (2000) yang menunjukkan bahwa kebutuhan zat besi yang
lebih besar diperlukan oleh early adolescence karena pada usia tersebut growth
spurt lebih intens terjadi dibandingkan middle adolescence sehingga apabila
intake zat besi kurang akan memicu terjadinya anemia. Hal ini juga diduga
karena menurut FAO/WHO (2001), kebutuhan zat besi wanita usia 16-18 tahun
lebih rendah.
kuadrat tinggi badan dalam satuan meter. Status gizi kemudian dikategorikan
menjadi kurus (IMT<18.5), normal (IMT 18.5-24.9), risiko gemuk (IMT 25.0-26.9),
dan gemuk (IMT>26.9). Berikut adalah sebaran contoh berdasarkan status gizi
dan status anemia.
Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan status gizi dan status anemia
Status Gizi
Kurus
Normal
Risiko gemuk
Gemuk
Total
Status Anemia
Anemia
Tidak Anemia
n
%
n
%
75
49.1
117
47.4
76
113
45.7
49.7
1
0.6
9
3.6
1
0.6
8
3.3
153
100
247
100
Total
n
192
189
10
9
400
%
48.0
47.3
2.5
2.2
100
Menstruasi
Anemia pada remaja putri disebabkan masa remaja adalah masa
pertumbuhan yang membutuhkan zat gizi lebih tinggi termasuk zat besi. Selain
itu pada masa remaja, seseorang akan mengalami menstruasi. Menstruasi ialah
perdarahan
secara
periodik
dan
siklik
dari
uterus
disertai
pelepasan
Status Menstruasi
Status menstruasi adalah keadaan sudah atau belumnya seorang wanita
mengalami menstruasi. Saat menstruasi terjadi pengeluaran darah dari dalam
tubuh. Hal ini menyebabkan zat besi yang terkandung dalam hemoglobin, salah
satu komponen sel darah merah, juga ikut terbuang. Hal tersebut mengakibatkan
pengeluaran besi meningkat dan keseimbangan zat besi dalam tubuh terganggu
(Depkes 1998).
Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan status menstruasi dan status anemia
Status
Menstruasi
Sudah
Belum
Total
Status Anemia
Anemia
Tidak Anemia
n
%
n
%
125
177
81.7
71.7
28
18.3
70
28.3
153
100
247
100
Total
n
302
98
400
%
75.5
24.5
100
Frekuensi Menstruasi
Frekuensi menstruasi menggambarkan keteraturan menstruasi seorang
wanita setiap bulannya. Frekuensi menstruasi dibedakan menjadi rendah (2-3
bulan sekali), normal (sebulan sekali), dan tinggi (sebulan dua kali). Berikut
adalah sebaran contoh berdasarkan frekuensi menstruasi dan status anemia
yang disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi menstruasi dan status anemia
Frekuensi
Menstruasi
Rendah
Normal
Tinggi
Total
Status Anemia
Anemia
Tidak Anemia
n
%
n
%
8
6.4
7
3.9
111
167
88.8
94.4
6
4.8
3
1.7
125
100
177
100
Total
n
15
278
9
302
%
5.0
92.0
3.0
100
Banyaknya Menstruasi
Banyaknya menstruasi digambarkan dengan banyaknya pembalut yang
digunakan contoh setiap hari. Menurut Affandi (1990), salah satu cara yang
dapat dilakukan untuk mengetahui jumlah darah menstruasi adalah dengan
menanyakan volume berdasarkan jumlah pembalut yang digunakan.
Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan banyaknya menstruasi dan status anemia
Banyaknya
Menstruasi
Ganti 1-2 kali/hari
Ganti 3-4 kali/hari
Ganti 5-6 kali/hari
Ganti > 6 kali/hari
Total
Status Anemia
Anemia
Tidak Anemia
n
%
n
%
54
43.2
87
49.1
69
83
46.9
55.2
2
1.6
6
3.4
0
0
1
0.6
125
100
177
100
Total
n
141
152
8
1
302
%
46.7
50.3
2.7
0.3
100
menurut pernyataan Affandi (1990), apabila darah yang keluar saat menstruasi
cukup banyak berarti jumlah zat besi yang hilang dari tubuh juga cukup besar.
Banyaknya darah yang keluar dapat berbeda-beda pada setiap orang dan
bahkan pada seorang remaja wanita dapat berbeda setiap bulannya. Tidak
adanya hubungan antara banyaknya menstruasi dengan status anemia diduga
karena pengukuran banyaknya menstruasi menggunakan banyaknya pembalut
masih dipengaruhi faktor subyektif sesuai dengan kebutuhan pembalut masingmasing individu.
Lama Menstruasi
Lama menstruasi biasanya antara 3-5 hari dan dianggap tidak normal jika
lebih dari delapan atau sembilan hari. Saat menstruasi terjadi pengeluaran darah
dari dalam tubuh. Hal itu menyebabkan zat besi yang terkandung dalam
hemoglobin juga ikut terbuang. Lama menstruasi yang tinggi dapat menyebabkan
darah yang dikeluarkan tubuh semakin banyak, sehingga kemungkinan
kehilangan zat besi juga semakin tinggi (Affandi 1990). Sebaran contoh
berdasarkan lama menstruasi dan status anemia disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan lama menstruasi dan status anemia
Lama Menstruasi
Rendah
Normal
Tinggi
Total
Status Anemia
Anemia
Tidak Anemia
n
%
n
%
1
0.8
1
0.6
108
157
86.4
88.7
16
12.8
19
10.7
125
100
177
100
Total
n
2
265
35
302
%
0.7
87.7
11.6
100
Lama menstruasi dikatakan rendah jika kurang dari tiga hari dan normal
apabila berada diantara 3-7 hari serta dikatakan tinggi jika lebih dari delapan hari.
Tabel 8 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh (87.7%) memiliki lama
menstruasi yang tergolong normal (3-7 hari). Hal ini terlihat dari sebagian besar
contoh anemia (86.4%) dan tidak anemia (88.7%) yang juga memiliki lama
menstruasi yang tergolong normal. Hanya sekitar 12.3 persen contoh yang
memiliki lama menstruasi yang tergolong tidak normal yaitu lama menstruasi
yang rendah (0.7%) dan tinggi (11.6%). Lama menstruasi yang tinggi lebih
banyak dialami oleh contoh anemia.
Menurut Affandi (1990), beberapa penelitian menunjukkan bahwa jumlah
darah yang hilang selama satu periode menstruasi normal berkisar antara 20-25
cc dan dianggap abnormal jika kehilangan darah menstruasi lebih dari 80 ml.
Jumlah 20-25 cc menyiratkan kehilangan zat besi sebesar 12.5-15 mg/bulan atau
kira-kira sama dengan 0.4-0.5 mg/hari. Jika jumlah tersebut ditambah dengan
kehilangan basal maka jumlah total zat besi yang hilang sebesar 1.25 mg/hari
(Arisman 2002).
Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara lama menstruasi dengan status anemia contoh
(p>0.1). Hasil tersebut memperlihatkan bahwa perbedaan lama menstruasi tidak
mempengaruhi kecenderungan seseorang untuk menderita anemia. Tidak
adanya hubungan signifikan tersebut diduga karena rata-rata lama perdarahan
setiap periode tiap wanita kurang lebih tetap. Banyaknya darah yang keluar
dapat berbeda-beda pada setiap orang, bahkan pada seorang remaja wanita
dapat berbeda-beda dari bulan ke bulan. Perbedaan lama menstruasi seseorang
dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain lingkungan, lamanya menstruasi, usia,
dan ovulasi (Affandi 1990).
Riwayat Penyakit
Anemia dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah terkena
infeksi (Permaesih dan Herman 2005). Infeksi merupakan faktor yang penting
dalam menimbulkan kejadian anemia dan anemia merupakan konsekuensi dari
peradangan dan asupan makanan yang tidak memenuhi kebutuhan zat besi
(Thurnham & Northrop-Clewes 2007). Berdasarkan Tabel 9 dapat dilihat bahwa
sebagian besar contoh (99.3%) tidak memiliki riwayat penyakit.
Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan riwayat penyakit dan status anemia
Riwayat Penyakit
Ya
Tidak
Total
Anemia
n
1
152
153
Status Anemia
Tidak Anemia
%
n
%
0.7
2
0.8
245
99.3
99.2
100
247
100
Total
n
3
397
400
%
0.8
99.3
100
Status Anemia
Anemia
Tidak Anemia
n
%
N
%
139
226
90.8
91.5
14
9.2
21
8.5
153
100
247
100
Total
n
365
35
400
%
91.3
8.7
100
kebiasaan
mencuci
tangan
yang
berbeda-beda
sehingga
Aktivitas Fisik
Pola aktivitas remaja didefinisikan sebagai kegiatan yang biasa dilakukan
oleh remaja sehari-hari sehingga akan membentuk pola. Aktivitas fisik erat
kaitannya dengan kesehatan tubuh secara keseluruhan (Kartono 1992 diacu
dalam Ratnayani 2005). Aktivitas fisik dikategorikan menjadi olahraga ringan.
olahraga sedang, dan olahraga berat.
Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan aktivitas fisik dan status anemia
Aktivitas Fisik
Olahraga ringan
Olahraga sedang
Olahraga berat
Total
Status Anemia
Anemia
Tidak Anemia
n
%
N
%
77
131
50.3
53.0
75
49.0
113
45.8
1
0.7
3
1.2
153
100
247
100
Total
n
208
188
4
400
%
52.0
47.0
1.0
100
Ikan Segar
Ikan Asin
Daging Sapi
Daging Ayam
Frekuensi
konsumsi
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Status Anemia
Anemia
Tidak Anemia
n
%
N
%
32
20.9
53
21.5
76
113
49.7
45.7
34
22.2
70
28.3
11
7.2
11
4.5
153
100
247
100
111
169
72.5
68.4
26
17.0
62
25.1
15
9.8
16
6.5
1
0.7
0
0
153
100
247
100
109
160
71.2
64.8
32
21.0
67
27.1
12
7.8
18
7.3
0
0
2
0.8
153
100
247
100
24
15.7
37
15.0
80
114
52.3
46.1
47
30.7
86
34.8
2
1.3
10
4.1
153
100
247
100
Total
n
85
189
104
22
400
280
88
31
1
400
269
99
30
2
400
61
194
133
12
400
%
21.2
47.3
26.0
5.5
100
70.0
22.0
7.7
0.3
100
67.3
24.7
7.5
0.5
100
15.2
48.5
33.3
3.0
100
Lauk Hewani
Hati Sapi
Hati Ayam
Telur Ayam
Telur Bebek
Telur Puyuh
Frekuensi
konsumsi
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Status Anemia
Anemia
Tidak Anemia
n
%
N
%
140
228
91.5
92.3
8
5.2
15
6.1
4
2.6
2
0.8
1
0.7
2
0.8
153
100
247
100
109
171
71.3
69.2
36
23.5
61
24.7
8
5.2
14
5.7
0
0
1
0.4
153
100
247
100
15
9.8
39
15.8
49
32.0
86
34.8
71
99
46.4
40.1
18
11.8
23
9.3
153
100
247
100
144
235
94.1
95.1
3
1.9
10
4.1
5
3.3
2
0.8
1
0.7
0
0
153
100
247
100
130
203
84.9
82.2
18
11.8
33
13.4
4
2.6
10
4.0
1
0.7
1
0.4
153
100
247
100
Total
n
368
23
6
3
400
280
97
22
1
400
54
135
170
41
400
379
13
7
1
400
333
51
14
2
400
%
92.0
5.7
1.5
0.8
100
70.0
24.2
5.5
0.3
100
13.5
33.7
42.5
10.3
100
94.7
3.3
1.7
0.3
100
83.3
12.7
3.5
0.5
100
dalam jumlah besar. Selanjutnya asam amino tersebut mengikat besi dan
membantu penyerapannya (Groff & Gropper 2000 diacu dalam Puri 2007).
Persentase frekuensi setiap hari lauk hewani sedikit lebih tinggi pada
contoh anemia. Ini memperlihatkan bahwa contoh anemia lebih sering
mengkonsumsi lauk hewani dibandingkan contoh tidak anemia dilihat dari
frekuensi konsumsi setiap hari. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Hulu
(2004) yang menunjukkan bahwa contoh yang tidak anemia lebih jarang
mengkonsumsi pangan sumber protein hewani dibandingkan contoh anemia.
Namun walaupun contoh anemia lebih sering mengkonsumsi lauk hewani
dibandingkan contoh tidak anemia, dugaan adanya faktor tingginya konsumsi
pangan yang dapat menghambat penyerapan besi dan rendahnya konsumsi
pangan yang dapat membantu penyerapan besi di dalam tubuh dapat
menyebabkan ketidakseimbangan besi didalam tubuh. Jika hal tersebut
berlangsung dalam jangka waktu yang lama, maka dapat menyebabkan
defisiensi besi (Almatsier 2001).
Telur ayam dikonsumsi contoh dalam frekuensi kadang-kadang (42.5%)
dan merupakan lauk hewani yang memiliki persentase terbesar yang dikonsumsi
oleh contoh setiap hari (10.3%). Telur termasuk sumber zat besi yang baik
walaupun tidak mengandung faktor yang dapat meningkatkan penyerapan besi.
Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara frekuensi konsumsi telur ayam dan telur bebek dengan
status anemia contoh dengan nilai korelasi yang negatif (p<0.1). Hal ini
memperlihatkan bahwa semakin jarang telur ayam dan telur bebek dikonsumsi
maka kecenderungan menderita anemia akan semakin kecil. Hal ini diduga
karena telur dikonsumsi bersamaan dengan bahan pangan lain yang dapat
menghambat penyerapan besi seperti asam oksalat atau phosvitin dalam kuning
telur. Zat-zat gizi tersebut dengan zat besi membentuk senyawa yang tidak larut
dalam air sehingga sulit untuk di absorpsi.
Berikut adalah sebaran contoh berdasarkan frekuensi lauk nabati dan status
anemia.
Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi lauk nabati dan status anemia
Lauk Nabati
Tempe
Tahu
Kacangkacangan
Frekuensi
konsumsi
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Status Anemia
Anemia
Tidak Anemia
n
%
n
%
16
10.5
31
12.6
52
34.0
80
32.4
56
91
36.6
36.8
29
18.9
45
18.2
153
100
247
100
35
22.9
68
27.5
47
73
30.7
29.6
45
29.4
70
28.3
26
17.0
36
14.6
153
100
247
100
92
147
60.1
59.5
42
27.5
76
30.8
14
9.1
22
8.9
5
3.3
2
0.8
153
100
247
100
Total
n
47
132
147
74
400
103
120
115
62
400
239
118
36
7
400
%
11.8
33.0
36.8
18.5
100
25.7
30.0
28.8
15.5
100
59.7
29.5
9.0
1.8
100
Berdasarkan Tabel 13, frekuensi lauk nabati contoh berkisar antara 0-6
kali seminggu. Persentase frekuensi konsumsi lauk nabati contoh anemia tidak
jauh berbeda dengan contoh tidak anemia. Tempe dikonsumsi dalam frekuensi
kadang-kadang (36.8%) baik oleh contoh anemia maupun tidak anemia
sedangkan tahu dikonsumsi dalam frekuensi jarang (30.0%). Lebih dari separuh
contoh (59.7%) tidak pernah mengkonsumsi lauk nabati seperti kacangkacangan. Lauk nabati dikonsumsi kurang dari 20 persen contoh dengan
frekuensi setiap hari.
Asam fitat yang terkandung dalam kedelai dan hasil olahannya dapat
menghambat penyerapan besi. Namun karena zat besi yang terkandung dalam
kedelai dan hasil olahannya cukup tinggi, hasil akhir terhadap penyerapan
besipun biasanya akan positif (Almatsier 2001). Walaupun demikian, hasil
analisis Korelasi Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan signifikan
antara frekuensi konsumsi pangan nabati dengan status anemia contoh (p>0.1).
sayuran hijau (brokoli, daun singkong, bayam, kangkung, daun pepaya). Berikut
adalah sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi sayuran dan status
anemia.
Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi sayuran dan status
anemia
Sayuran
Waluh
Kembang Kol
Kol
Brokoli
Wortel
Kentang
Daun
Singkong
Bayam
Kangkung
Frekuensi
konsumsi
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Status Anemia
Anemia
Tidak Anemia
n
%
n
%
127
214
83
86.6
18
11.8
29
11.7
7
4.5
4
1.7
1
0.7
0
0
153
100
247
100
106
182
69.3
73.7
35
22.9
49
19.8
12
7.8
16
6.5
0
0
0
0
153
100
247
100
73
112
47.7
45.3
60
39.2
100
40.5
17
11.1
34
13.8
3
1.9
1
0.4
153
100
247
100
129
209
84.3
84.6
14
9.1
30
12.2
9
5.9
8
3.2
1
0.7
0
0
153
100
247
100
39
25.5
51
20.6
69
121
45.1
49.0
36
23.5
65
26.3
9
5.9
10
4.1
153
100
247
100
57
37.3
87
35.2
68
104
44.4
42.1
26
17.0
49
19.9
2
1.3
7
2.8
153
100
247
100
120
187
78.4
75.7
29
19.0
52
21.1
4
2.6
8
3.2
0
0
0
0
153
100
247
100
60
39.2
101
40.9
66
99
40.1
43.2
24
15.7
42
17.0
3
1.9
5
2.0
153
100
247
100
73
99
40.1
47.7
55
36.0
117
47.4
23
15.0
29
11.7
2
1.3
2
0.8
153
100
247
100
Total
n
341
47
11
1
400
288
84
28
0
400
185
160
51
4
400
338
44
17
1
400
90
190
101
19
400
144
172
75
9
400
307
81
12
0
400
161
165
66
8
400
172
172
52
4
400
%
85.3
11.7
2.7
0.3
100
72.0
21.0
7.0
0
100
46.3
40.0
12.7
1
100
84.5
11.0
4.2
0.3
100
22.5
47.5
25.3
4.7
100
36.0
43.0
18.7
2.3
100
76.7
20.3
3.0
0
100
40.3
41.2
16.5
2.0
100
43.0
43.0
13.0
1.0
100
Sayuran
Sawi
Daun Pepaya
Frekuensi
konsumsi
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Status Anemia
Anemia
Tidak Anemia
n
%
n
%
64
132
41.8
53.4
60
39.2
84
34.0
23
15.0
28
11.3
6
4.0
3
1.3
153
100
247
100
145
239
94.7
96.8
7
4.6
7
2.8
1
0.7
1
0.4
0
0
0
0
153
100
247
100
Total
n
196
144
51
9
400
384
14
2
0
400
%
49.0
36.0
12.7
2.3
100
96.0
3.5
0.5
0
100
Jeruk
Pepaya
Tomat
Jambu Biji
Mangga
Nenas
Pisang
Frekuensi
konsumsi
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Status Anemia
Anemia
Tidak Anemia
n
%
n
%
26
17.0
38
15.4
71
100
46.4
40.5
42
27.5
78
31.6
14
9.1
31
12.5
153
100
247
100
106
167
69.3
67.6
25
16.3
63
25.5
15
9.8
13
5.3
7
4.6
4
1.6
153
100
247
100
111
172
72.5
69.7
22
14.4
47
19.0
15
9.8
22
8.9
5
3.3
6
2.4
153
100
247
100
118
177
77.1
71.6
30
19.6
56
22.7
5
3.3
13
5.3
0
0
1
0.4
153
100
247
100
107
152
69.9
61.5
35
22.9
82
33.2
9
5.9
12
4.9
2
1.3
1
0.4
153
100
247
100
131
215
85.6
87.0
20
13.1
28
11.4
2
1.3
4
1.6
0
0
0
0
153
100
247
100
92
122
60.1
49.4
43
28.1
84
34.0
14
9.2
36
14.6
4
2.6
5
2.0
153
100
247
100
Total
n
64
171
120
45
400
273
88
28
11
400
283
69
37
11
400
295
86
18
1
400
259
117
21
3
400
346
48
6
0
400
214
127
50
9
400
%
16.0
42.70
30.0
11.3
100
68.3
22.0
7.0
2.7
100
70.7
17.3
9.3
2.7
100
73.7
21.5
4.5
0.3
100
64.7
29.3
5.3
0.7
100
86.5
12.0
1.5
0
100
53.5
31.7
12.5
2.3
100
Berdasarkan Tabel 15, terlihat bahwa dari tujuh jenis buah-buahan, enam
jenis diantaranya tidak pernah dikonsumsi lebih dari separuh contoh baik pada
contoh yang anemia maupun tidak anemia (53.5%-86.5%) yaitu pepaya, tomat,
jambu biji, mangga, nenas, dan pisang. Hampir separuh dari contoh (42.7%)
mengkonsumsi jeruk dalam frekuensi jarang (kurang dari tiga kali seminggu) dan
kurang dari 12 persen contoh mengkonsumsi buah-buahan setiap hari.
Buah-buahan sumber vitamin C seperti jeruk, pepaya, tomat, jambu biji,
dan mangga dapat membantu penyerapan zat besi. Asam organik seperti vitamin
C dapat membantu penyerapan zat besi nonheme dengan cara mengubah besi
bentuk feri menjadi bentuk fero yang lebih mudah diserap. Persentase frekuensi
buah-buahan tersebut sedikit lebih tinggi dikonsumsi oleh contoh yang anemia.
Ini memperlihatkan bahwa contoh anemia lebih sering mengkonsumsi buahbuahan dibandingkan contoh tidak anemia. Sejalan dengan hasil penelitian Hulu
(2004)
yang
menunjukkan
bahwa
contoh
yang
tidak
anemia
jarang
Bakso
Frekuensi
konsumsi
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Status Anemia
Anemia
Tidak Anemia
n
%
n
%
92
158
60.1
64.0
37
24.2
57
23.1
22
14.4
27
10.9
2
1.3
5
2.0
153
100
247
100
Total
n
250
94
49
7
400
%
62.5
23.5
12.3
1.7
100
Makanan
Jajanan
Mie
Gorengan
Frekuensi
konsumsi
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Status Anemia
Anemia
Tidak Anemia
n
%
n
%
128
207
83.7
83.8
18
11.7
20
8.1
6
3.9
16
6.5
1
0.7
4
1.6
153
100
247
100
116
200
75.8
81.0
23
15.0
24
9.7
9
5.9
20
8.1
5
3.3
3
1.2
153
100
247
100
Total
n
335
38
22
5
400
316
47
29
8
400
%
83.7
9.5
5.5
1.3
100
79.0
11.7
7.3
2.0
100
pendorong
dan
penghambat.
Menurut
FAO/WHO
(2001),
faktor
penghambat penyerapan zat besi diantaranya adalah the dan kopi. Tabel 17
menggambarkan
frekuensi
konsumsi
minuman
dan
suplemen
contoh
Teh
Kopi
Susu
Suplemen
Frekuensi
konsumsi
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Tidak Pernah
Jarang
Kadang-kadang
Setiap Hari
Total
Status Anemia
Anemia
Tidak Anemia
n
%
n
%
31
20.3
48
19.4
40
26.1
76
30.8
30
19.6
46
18.6
52
77
34.0
31.2
153
100
247
100
135
223
88.2
90.3
13
8.5
20
8.1
3
2.0
4
1.6
2
1.3
0
0
153
100
247
100
74
105
48.4
42.5
31
20.3
48
19.4
23
15.0
45
18.2
25
16.3
49
19.8
153
100
247
100
114
188
74.5
76.1
18
11.8
28
11.3
8
5.2
13
5.3
13
8.5
18
7.3
153
100
247
100
Total
n
79
116
76
129
400
358
33
7
2
400
179
79
68
74
400
302
46
21
31
400
%
19.7
29.0
19.0
32.3
100
89.5
8.3
1.7
0.5
100
44.8
19.7
17.0
18.5
100
75.5
11.5
5.3
7.7
100
kalsium yang tinggi yang dapat menghambat penyerapan zat besi. Tabel 17
menunjukkan
bahwa
hampir
separuh
contoh
(44.8%)
tidak
pernah
Faktor Risiko
13-15 tahun (13-15thn=1, 10-12thn=0)
Kurus (IMT < 18.5 = 1, IMT > 25 = 0)
Normal (18.5 < IMT < 25 = 1, IMT > 25 = 0)
Konstanta
* Signifikan pada taraf kepercayaan 0.1
OR
2.727
8.323
6.733
0.048
Sig.
0.001*
0.006*
0.013*
0.000
Hasil regresi logistik menunjukkan faktor risiko usia 13-15 tahun memiliki
nilai koefisien positif dan OR sebesar 2.73. Hal ini menunjukkan bahwa remaja
putri yang berada pada kisaran usia 13-15 tahun memiliki kecenderungan untuk
mengalami anemia 2.73 kali lebih besar dibandingkan remaja putri yang berusia
10-12 tahun. Ini diduga karena pada kisaran usia 13-15 tahun, seseorang baru
mengalami
menstruasi
sehingga
kecenderungan
anemia
lebih
besar
besi yang lebih rendah dibandingkan pria dan hal inilah yang membuat wanita
lebih rentan mengalami anemia saat asupan zat besi kurang atau kebutuhan
meningkat seperti saat menstruasi (Gleason & Scrimshaw 2007). Hal inilah yang
menyebabkan remaja putri yang berada pada kisaran usia 13-15 tahun memiliki
kecenderungan mengalami anemia dibandingkan remaja putri yang berusia 1012 tahun yang belum mengalami menstruasi.
Nilai koefisien yang positif dan OR yang lebih dari 1 pada faktor risiko
status gizi kurus menunjukkan bahwa dengan semakin rendah IMT atau semakin
kurus siswi maka kecenderungan remaja putri untuk mengalami anemia makin
meningkat sebesar nilai OR. Hasil regresi logistik menunjukkan faktor risiko
status gizi kurus memiliki OR sebesar 8.32. Hal ini memperlihatkan bahwa
remaja putri yang berstatus gizi kurus cenderung untuk mengalami anemia 8.32
kali lebih besar dibandingkan remaja putri yang berstatus gizi gemuk.
Faktor risiko status gizi normal juga menunjukkan peranan yang signifikan
dalam mempengaruhi kecenderungan remaja putri mengalami anemia. Remaja
putri yang memiliki status gizi normal memiliki OR sebesar 6.73. Hal ini
menunjukkan bahwa remaja putri yang berstatus gizi normal memiliki
kecenderungan 6.73 kali lebih besar untuk mengalami anemia dibandingkan
remaja putri yang berstatus gizi gemuk.
Penelitian Permaesih dan Herman (2005) menunjukkan bahwa remaja
yang mempunyai IMT kurang atau tubuh kurus mempunyai risiko 1.5 kali untuk
menjadi anemia. Selain itu, menurut ADB/SCN (2006), Selama masa remaja,
seseorang dapat mencapai 15 persen dari tinggi badan saat dewasa dan 50
persen dari berat badan. Oleh karena itu, kebutuhan zat gizi mencapai titik
tertinggi saat remaja dan adanya kekurangan zat gizi makro dan mikro dapat
mengganggu pertumbuhan dan menghambat pematangan seksual.
Menurut ABD/SCN (2001) diacu dalam Briawan (2008), wanita yang
berstatus gizi baik akan lebih cepat mengalami pertumbuhan badan dan akan
lebih cepat mengalami menstruasi, sebaliknya wanita yang berstatus gizi buruk
pertumbuhannya akan pelan dan lama serta menstruasinya akan lebih lambat.
Thompson (2007) menyatakan bahwa IMT mempunyai korelasi positif dengan
konsentrasi hemoglobin yang artinya jika seseorang memiliki IMT kurang maka
akan berisiko menderita anemia.
Saran
1. Secara umum tingkat konsumsi pangan sumber Fe contoh masih rendah.
Selain itu, terdapat korelasi yang negatif antara beberapa jenis pangan
sumber heme dengan status anemia sehingga perlu memperhatikan jenis zat
besi yang dikonsumsi karena akan mempengaruhi penyerapan besi oleh
tubuh.
2. Perlunya mengkaji tentang faktor risiko anemia yang diduga dapat
mempengaruhi kecenderungan status anemia terutama pada remaja putri
seperti karakteristik keluarga (besar keluarga, pendapatan dan pendidikan
orang tua) dan kebiasaan makan (frekuensi dan pantangan makan).
3. Mengingat cukup tingginya prevalensi anemia pada remaja putri pada
penelitian ini, untuk itu pemerintah perlu menjadwalkan kegiatan rutin seperti
suplementasi zat besi pada program PPAGB ini sebagai bentuk tindakan
pencegahan anemia pada remaja.
DAFTAR PUSTAKA
ACC/SCN. 1991. Controlling Iron Deficiency. Geneva
Affandi B. 1990. Gangguan Haid pada Remaja dan Dewasa. Jakarta : FKUI
Akabas SR, KR Dolins. 2005. Micronutrient requirements of physically active
women: what can we learn from iron?. The Journal Of
Nutrition;81(suppl):1246S51S [5 April 2008]
Almatsier S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka
Utama
Arisman. 2002. Gizi dalam Daur Kehidupan: Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta : Buku
Kedokteran EGC
Backstrand JR, LH Allen, AK Black, M deMata, GH Pelto. 2002. Diet and iron
status of nonpregnant women in rural Central Mexico. The Journal Of
Nutrition 76:15664 [5 April 2008]
Bartley KA, BA Underwood, RJ Deckelbaum. 2005. A life cycle micronutrient
perspective for womens health. The Journal Of Nutrition;81(suppl):
1188S93S.
Beard JL. 2000. Iron Requirements in Adolescent Females. The Journal Of
Nutrition 130: 440S442S [3 April 2008]
Beard JL, B Tobin. 2000. Iron status and exercise. The Journal Of Nutrition;
72(suppl):594S7S [5 April 2008]
Biesalski HK, JG Erhardt. 2007. Diagnosis of nutritional anemia laboratory
assessment of iron status. Didalam Nutritional Anemia, Edited by Klaus
Kraemer & Michael B. Zimmermann. Switzerland : Sight and Life Press
Briawan D. 2008. Efikasi suplementasi besi-multivitamin terhadap perbaikan
status besi remaja wanita [disertasi]. Bogor : Sekolah Pasca Sarjana,
Institut Pertanian Bogor
Brody T. 1994. Nutrition Biochemistry. London : Academic Press
Depkes [Departemen Kesehatan]. 1998. Pedoman Penanggulangan Anemia Gizi
untuk Remaja Putri dan Wanita Usia Subur. Jakarta : Depkes RI
Depkes [Departemen Kesehatan]. 2004. Kualitas Sumber Daya Manusia
Ditentukan Pendidikan dan Kesehatan. www.depkes.go.id [13 Maret
2008]
Depkes [Departemen Kesehatan]. 2006. Rencana Pembangunan Kesehatan
Menuju Indonesia Sehat 2010. www.depkes.go.id [13 Maret 2008]
Dillon DHS. 2005. Nutritional health of Indonesian adolescent girls: the role of
riboflavin and vitamin A on iron status [thesis]. Netherlands : Wageningen
University
DiMeglio G. 2000. Nutrition in Adolescence. Journal of the American Academy of
Pediatrics [3 April 2008]
Dinkes [Dinas Kesehatan] Kota Bekasi. 2007. Pencegahan dan penanggulangan
anemia gizi pada remaja putri SMP dan SMA di Kota Bekasi tahun 2007.
Makalah disampaikan pada Pertemuan Sosialisasi Surveilan Gizi Rutin
pada Remaja Putri Siswi SMP dan SMA di 4 Kab/Kota di Propinsi Jawa
Barat di Hotel Sabang, 17-18 Juli 2007. Bandung.
Dreyfuss ML, RJ Stoltzfus, JB Shrestha, EK Pradhan, SC LeClerq, SK Khatry,
SR Shrestha, J Katz, M Albonico, KP West, Jr. 2000. Hookworms, Malaria
and Vitamin A Deficiency Contribute to Anemia and Iron Deficiency
among Pregnant Women in the Plains of Nepal. The Journal Of Nutrition
130: 25272536 [8 Maret 2008]
FAO/WHO. 2001. Human Vitamin and Mineral Requirement. Rome : FAO Food &
Nutrition Division
Gleason G, NS Scrimshaw. 2007. An overview of the functional significance of
iron deficiency. Didalam Nutritional Anemia, Edited by Klaus Kraemer &
Michael B. Zimmermann. Switzerland : Sight and Life Press
Habibi YN. 2003. Perilaku konsumsi suplemen pada anak prasekolah [skripsi].
Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Hayatinur E. 2001. Prevalensi anemia dan perilaku makan remaja putri di SMUN
2 Kuningan Kabupaten Kuningan [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor
Hulu DB. 2004. Faktor-faktor yang mempengaruhi status anemia dan kaitannya
dengan prestasi belajar pada siswi SMKN 1 Bogor [skripsi]. Bogor:
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Hurlock EB. 1997. Psikologi Perkembangan Edisi ke-5. Jakarta : Penerbit
Erlangga
Irawati A, et al. 2000. Faktor Determinan Status Gizi dan Anemia Murid SD di
Desa IDT Penerima PMT-AS di Indonesia. Laporan Penelitian Rutin
1999/2000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi. Jakarta : Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Depkes RI
Jahari AB, I Jusat. 2004. Review Data Berat Badan dan Tinggi Badan Penduduk
Indonesia. Didalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta.
Khaerunnisa. 2005. Hubungan kadar hemoglobin dengan skor keluhan
menstruasi pada mahasiswa putri TPB IPB tahun 2003/2004 [skripsi].
Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
LAMPIRAN
: ....................................................................
PUSKESMAS/KECAMATAN : ....................................................................
A.
Identitas Responden
1. Nama siswi
: ....................................................................
B.
: ....................................................................
4. Kelas
: ....................................................................
2. Tidak
: ................., ................. kg
2. Tinggi Badan
: ................., ................. m
D.
1. Kurus
2. Normal
4. Gemuk
: IMT 26.9
Aktivitas Fisik
E.
Pola Menstruasi
1. Frekuensi Menstruasi
1. Sebulan sekali
2. Banyaknya Menstruasi
1. Sehari ganti 1-2 kali
3. Lama menstruasi
F.
1. < 3 hari
3. 5 7 hari
2. 3 5 hari
4. > 7 hari
Riwayat Penyakit
1. Apakah pernah menderita sakit TB (sering batuk-batuk riak berdarah,
keluar keringat malam)?
1. Ya
2. Tidak
2. Tidak
2. Tidak
H.
Perilaku Makan
1. Berapa kali frekuensi makan dalam sehari?
1. > 3 kali
3. 2 kali
2. 3 kali
: .
TANGGAL LAHIR/UMUR
: /..tahun
NAMA SEKOLAH/KELAS
: .
PUSKESMAS/KECAMATAN
: .
KABUPATEN/KOTA
: .
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Bahan Makanan
SUMBER HEME
Lauk Hewani
- Ikan segar
- Ikan asin
- Daging sapi
- Daging ayam
- Hati sapi
- Hati ayam
- Telur ayam
- Telur bebek
- Telur puyuh
..........................
SUMBER NON HEME
Lauk Nabati
- Tempe
- Tahu
- Kacang-kacangan
..........................
Sayuran
- Waluh
- Kembang kol
- Kol
- Brokoli
- Wortel
- Kentang
- Daun singkong
- Bayam
- Kangkung
- Sawi
- Daun pepaya
.
Buah-buahan
- Jeruk
- Pepaya
- Tomat
- Jambu biji
- Mangga
- Nenas
- Pisang
..........................
Makanan Jajanan
..........................
Minuman
- Teh
- Kopi
Suplemen
Tidak
Lampiran 3. Hasil Uji Korelasi Spearman Faktor Risiko dengan Status Anemia
Faktor Risiko
Usia
Status Gizi Antropometri
Status Menstruasi
Frekuensi Menstruasi
Banyak Menstruasi
Lama Menstruasi
Riwayat Penyakit
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
Aktivitas Fisik
Lauk Hewani
Ikan Segar
Ikan Asin
Daging Sapi
Daging Ayam
Hati Sapi
Hati Ayam
Telur Ayam
Telur Bebek
Telur Puyuh
Lauk Nabati
Tempe
Tahu
Kacang-kacangan
Sayuran
Waluh
Kembang Kol
Kol
Brokoli
Wortel
Kentang
Daun Singkong
Bayam
Kangkung
Sawi
Daun Pepaya
Buah-buahan
Jeruk
Pepaya
Tomat
Jambu Biji
Mangga
Nenas
Pisang
Makanan Jajanan
Bakso
Mie
Gorengan
Minuman
Teh
Kopi
Susu
Suplemen
* Signifikan pada taraf kepercayaan < 0.1
Koefisien Korelasi
0.131
- 0.043
0.113
0.011
0.044
0.028
- 0.009
0.011
0.023
Sig.
0.009*
0.396
0.023*
0.855
0.448
0.632
0.861
0.824
0.641
0.035
- 0.071
0.005
0.069
- 0.054
0.018
- 0.085
- 0.108
0.029
0.480
0.155
0.928
0.167
0.281
0.725
0.088*
0.031*
0.558
- 0.005
- 0.034
- 0.042
0.923
0.496
0.398
- 0.103
- 0.026
0.015
- 0.077
0.010
0.052
0.018
0.017
- 0.053
- 0.087
- 0.017
0.040*
0.604
0.757
0.123
0.840
0.298
0.723
0.730
0.290
0.082*
0.733
0.074
- 0.123
- 0.026
0.055
- 0.039
0.012
0.066
0.138
0.014
0.605
0.274
0.432
0.803
0.186
- 0.038
0.069
0.003
0.446
0.170
0.957
- 0.037
- 0.054
0.068
- 0.017
0.462
0.281
0.175
0.735
Faktor Risiko
13-15 thn (13-15thn=1, 10-12thn=0)
16-18 thn (16-18thn=1, 10-12thn=0)
Kurus (IMT < 18.5 = 1, IMT > 25 = 0)
Normal (18.5<IMT<25=1, IMT>25= 0)
Sudah = 1, Belum = 0
Ya = 1, Tidak = 0
OR Sedang (Sedang = 1, Ringan = 0)
OR Berat (Berat = 1, Ringan = 0)
Telur ayam (Jarang = 1, Sering = 0)
Telur bebek (Jarang = 1, Sering = 0)
Konstanta
* Signifikan pada taraf kepercayaan 0.1
OR
2.727
1.689
8.323
6.733
1.220
0.714
0.369
0.956
0.901
0.782
0.052
90% C.I OR
1.673 - 4.539
0.979 - 3.066
2.270 - 29.152
1.794 - 22.531
0.689 - 2.066
0.089 - 4.445
0.667 - 1.392
0.049 - 2.465
0.173 - 1.734
0.551 - 2.573