Disusun oleh :
Kelompok 4
OcthiChosmalianti
260112140502
Ririn Pangaribuan
260112140526
Rani Rubiyanti
260112140578
260112140596
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Dispensing obat adalah proses yang mencakup berbagai kegiatan, yang
dilakukan oleh seorang apoteker, mulai dari penerimaan resep atau permintaan
obat bebas dengan memastikan penyerahan obat yang tepat pada penderita
tersebut serta kemampuannya mengonsumsi sendiri dengan baik. Berbagai
kegiatan dalam proses dispensing mencakup, menerima dan memvalidasi resep
dokter, mengerti dan menginterpretasi maksud dokter dalam resep obat,
memberikan solusi jika terdapat masalah dalam resep bersama dokter penulis
resep, mengisi P3, menyediakan atau meracik dengan teliti, memberi wadah dan
etiket yang benar, merekam semua tindakan, mendistribusikan obat kepada
penderita rawat tinggal atau penderita rawat jalan, disertai dengan nasehat atau
informasi yang diperlukan penderita dan perawat (Siregar, 2003).
Dispensing adalah salah satu unsur vital dari penggunaan obat secara
rasional. Di dalam program penggunaan obat secara rasional, upaya sering kali
dikonsentrasikan pada pemastian kebiasaan penulisan secara rasional, dan sering
melupakan dispensing dan penggunaan obat yang sebenarnya dari penderita
(Siregar, 2003). Umumnya dispensing dianggap sebagai proses rutin dan
sederhana yang tidak boleh salah. Dispensing tidak akan berarti apa-apa jika tidak
mebuat suatu obat menjadi lebih efektif, kemasan yang sesuai dengan dosis yang
benar dan nasehat yang sesuai bagi penderita. Sehingga, praktik dispensing yang
baik (PDB) harus diterapkan (Siregar, 2003).
Praktik dispensing yang baik adalah suatu proses praktik yang memastikan
bahwa suatu obat dengan bentuk yang paling efektif diberikan kepada pasien yang
tepat, dalam dosis dan jumlah yang tertulis, dengan instruksi yang jelas, dan
dalam suatu kemasan yang dapat menjaga khasiat. Dispensing termasuk semua
kegiatan yang terjadi antara waktu resep diterima dan obat atau suplai lain yang
ditulis disampaikan kepada penderita (Siregar, 2003).
lingkungan
atau
sistem
yang
melibatkan prescribing,
BAB II
STUDI KASUS
2.1. KASUS
Craig, seorang anak berusia 14 tahun, mengalami hepatitis akibat overdosis
parasetamol yang diberikan secara tidak sengaja. Craig baru menjalani operasi di
klinik kolorektal pribadi untuk mengobati fisura anus kronik, setelah selesai
operasi mendapat resep berisi tablet ibuprofen dan parasetamol. Resep diambil
dan disediakan oleh apotek masyarakat.
Sehari setelah operasi, Craig mulai muntah dan kejadian ini berkelanjutan,
oleh karena itu ibunya menelpon klinik kolorektal tersebut. Petugas klinik
menyarankan agar Craig segera dibawa ke klinik. Setelah menelpon, ibu Craig
menyadari bahwa telah terjadi kesalahan obat yaitu adanya dosis ganda dari
parasetamol,
dimana
telah
terjadi
ketidaksengajaan
memasukkan
tablet
Orang tua Craig mengajukan klaim kepada ACC, suatu lembaga penjamin
hak konsumen, atas kesalahan pengobatan yang diajukan untuk apoteker yang
telah menyebabkan hepatitis sekunder akibat toksisitas parasetamol. Klaim
tersebut diterima dan ACC bersedia untuk bertanggung jawab membiayai
pengobatan Craig. Selain itu ACC juga membuat laporan mengenai kesalahan
yang dilakukan apoteker terhadap Craig yang dianggap membahayakan kepada
Kementerian Kesehatan dan Keamanan. Kementerian menindaklanjuti apotek
yang bertanggung jawab atas kesalahan pemberian obat tersebut.
Berdasarkan hasil investigasi, apotek tersebut dinyatakan telah melakukan
kesalahan dalam pemberian obat dengan tidak melakukan pemeriksaan ulang oleh
petugas (apoteker) sebelum obat tersebut diberikan kepada pasien. Apotek
tersebut akhirnya meninjau ulang standar prosedur pelayanan apotek yang berlaku
di apotek tersebut dan menerapkan standar prosedur yang baru, serta mengajukan
permintaan maaf terhadap keluarga Craig secara tertulis. Keluarga Craig
menerima permintaan maaf tertulis dari apoteker tersebut atas kesalahan
pengobatan yang diberikan.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Gambaran Klinis Penyakit
Fisura anus merupakan suatu robekan atau luka dengan nanah pada daerah
anus dekat daerah yang perbatasan dengan kulit, luka sering terjadi pada bagian
belakang walau terkadang juga dapat ditemukan pada bagian depan atau pada
bagian samping. Secara klinis ada jenis fisura anus:
Akut Baru terjadi pertama kali atau belum lama berselang, belum terjadi
penebalan dan penggantian menjadi jaringan ikat (fibrosis). Umumnya sembuh
: Cedera karena buang air besar yang keras dan besar. Fisura
menyebabkan otot melingkar (sfingter) dari anus mengalami
kejang sehingga menyulitkan penyembuhan. Otot polos yang
melingkari dubur berfungsi sebagai katup penutup sehingga
Gejala
Terapi
Pengobatan
Langkah
Pencegahan
a) Parasetamol (Asetaminofen)
Farmakologi
berefek
menghambat
sintesa
pusing,
Penelanan
berakibat
fatal,
mudah
terangsang,
dan
15g
asetaminofen
dapat
kematian
disebabkan
oleh
b) Ibuprofen
Farmakologi
Efek samping
fungsi
platelet
secara
reversibel
dan
memperpanjang pendarahan.
: Gastric distress, perdarahan, diare, muntah, pusing,
ruam kulit kadang terjadi. GI ulserasi (semua NSAIDs
beresiko tinggi terjadi dengan dosis tinggi) dan retensi
cairan
juga
telah
dilaporkan.
Ibuprofen
kadang
Dosis
Biaya perawatan
Kompensasi
mingguan
untuk
pendapatan
yang
hilang
(jika
ada
terhambatnya
pengeluaran
empedu.
Rifampisin
dapat
pula
SGOT dan SGPT biasanya sangat meninggi sedang kadar fosfatase alkali
sedikit meningkat. Jenis sitotoksik ini berbahaya karena cenderung
menimbulkan hepatitis fulminan dengan angka kematian 10-50%.
b. Kronik, terjadi karena obat dapat dibedakan dalam dua golongan yaitu
hepatitis aktif kronik dan nekrosis hati subakut. Hepatitis aktif kronik dapat
disebabkan oleh alfa metildopa, sulfonamid, isoniazid dan nitrofurantoin.
Gejala klinik yang
splenomegali, spider angioma dan asites. Nilai SGOT dan SGPT umumnya
sedikit meningkat. Hepatitis kronik aktif terjadi bila setelah timbul kelainan
hati, pengobatan masih diteruskan dalam jangka waktu lama. Bila pengobatan
dihentikan maka gejala akan mereda dengan cepat. Hepatitis aktif kronik yang
disebabkan oleh virus mempunyai prognosa yang lebih buruk. Nekrosis hati
subakut dapat timbul akibat pengobatan dengan sinkofen, isoniazid, metildopa
dan propiltiourasil. Penyakit biasanya berjalan progresif, disertai ikterus berat
dan tanda tanda sirosis. Kelainan berlangsung lebih cepat dari hepatitis aktif
kronik tetapi tidak secepat nekrosis hati akut.
Pengobatan kelainan hati karena obat pada prinsipnya sama dengan
pengobatan penyakit hati yang ditimbulkan oleh penyebab lain. Obat yang
dicurigai sebagai penyebab harus dihentikan. Penderita diberi diet 2500-3000
kalori, 70-100 g protein dan 400-500 g karbohidrat sehari. Bila ada tanda akan
terjadi koma hepatikum, protein tidak diberikan dan juga diberikan neomisin per
oral. Bila penderita mengalami koma, diberikan infus glukosa. Keseimbangan
asam-basa dan kebutuhan cairan harus diperhatikan dengan baik. Untuk ikterus
yang disebabkan kolestasis hepatokanalikuler, diberikan terapi suportif. Jenis ini
umumnya tidak terlalu berbahaya. Bila ikterus semakin parah dan timbul rasa
gatal, dapat diberikan kortikosteroid atau kolestiramin. Namun kortikosteroid
tidak mempercepat sembuhnya penyakit.
Dispensing error merupakan bagian dari medication error yang dapat terjadi
pada setiap tahap proses penggunaan obat, baik itu dalam tahap peresepan,
pemberian (dispensing), administrasi, dan monitoring. Beberapa langkah yang
dapat ditempuh untuk menghindari terjadinya dispensing error, diantaranya
adalah dengan meningkatkan kualitas
Persyaratan Farmasi
Persyaratan Klinis
Mendapatkan gambaran keadaan saat ini atas pola penggunaan obat pada
BAB IV
KESIMPULAN
Dispensing error merupakan bagian dari medication error yang dapat terjadi
pada setiap tahap proses penggunaan obat, baik itu dalam tahap peresepan,
pemberian
(dispensing),
administrasi,
dan
pemantauan.
Sehingga
perlu
dapat
pula
menjadi
jalan
keluar
untuk
mendapatkan
DAFTAR PUSTAKA