PENDAHULUAN
DEFINISI
Berbagai sumber akan mendefinisikan Kesehatan Jiwa dan
Jiwa yang sehat dari berbagai aspek menurut kepentingannya
masing-masing sesuai dengan tujuan yang akan dicapainya.
WHO tahun 1948 mendefinisikan Kesehatan Jiwa sebagai suatu
kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan
emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu
selaras dengan jalannya perkembangan individu lain (Ibrahim
Nuhriawangsa, 1980).
Di lain fihak WHO tahun 1951 menyebutkan bahwa
Kesehatan Jiwa adalah suatu keadaan yang bergantung pada
perubahan-perubahan yang disebabkan oleh faktor biologis dan
sosial yang memungkinkan seorang individu mencapai suatu
perpaduan yang memuaskan dari kemungkinan konflik dengan
nalurinya; membentuk dan mempertahankan hubungan yang
harmonis dengan orang lain dan ikut serta dalam penyusunan
perubahan tatanan sosial dari lingkungan fisiknya (Sainsbury,
1980).
UU tentang Kesehatan Jiwa Bab I pasal 1 menyebutkan
bahwa Kesehatan Jiwa adalah keadaan jiwa yang sehat menurut
Ilmu Kedokteran sebagai unsur dari pada Kesehatan yang
dimaksudkan dalam pasal 2 UU pokok-pokok Kesehatan
(DirKesWa, 1985)[1].
Marie Jahoda (Ibrahim N, 1980) mendefinisikan Kesehatan Jiwa
sebagai :
- tidak adanya penyakit dan atau gangguan jiwa
- tingkah laku yang normal
- penyesuaian diri yang baik terhadap lingkungan
- tanggapan yang benar terhadap realita
- keutuhan kepribadian
Mengenai difinisi Jiwa yang sehat, Soddy (1950)
menyebutkan bahwa seorang yang jiwanya sehat akan
menunjukkan ciri-ciri :
- bereaksi terhadap kehidupan tanpa ketegangan
- ambisinya masih dalam batas-batas yang praktis dan realistik
- menyadari kekuatan dan kelemahannya
- bisa memberi dan menerima pertolongan
- sabar dalam menghadapi kegagalan, berkepala dingin dalam
menghadapi sukses
- dapat membentuk persahabatan dan bisa agresif bila
diperlukan
- perilakunya konsisten (ajeg) sehaingga tak seorangpun merasa
bahwa tuntutan hidupnya berlebihan dan penuh kepercayaan diri
- kepercayan dirinya dan harga dirinya merupakan sumber
kekuatan bagi dirinya pula (Ibrahim N. 1980).
Goldberg (1980) menunjukkan kriteria jiwa yang sehat dengan ciri-
ciri :
- kondisi kesehatannya cukup baik
- selama 3 bulan terakhir tidak pergi berobat kepada dokter
- selama 3 bulan terakhir tidak mangkir
- tidak menggunakan obat penenang
- keadaan kesehatannya tidak mengganggu pekerjaan
- tidak mempunyai problem psikologik.
Di lain fihak disebutkan bahwa kondisi mental yang sehat, yaitu
suatu kondisi mental di mana seseorang mampu menjalankan
fungsinya secara memuaskan di dalam suatu masyarakat, dan ia
merasa puas dengan kekhususan serta apa yang dicapainya
secara pribadi (Freedman et al., 1973).
Definisi lain dari Jiwa yang sehat yaitu dinyatakan dengan :
- tidak adanya gejala dan tanda psikiatrik yang mencolok
- tidak adanya pola tingkah laku yang tidak mantap sebagai
akibat dari tekanan-tekanan yang lazim terdapat
- adanya kemampuan untuk berurusan dengan suatu
ketegangan
- adanya derajat fleksibilitas dan adaptibilitas
- tidak adanya kecenderungan untuk bersaksi secara berlebihan
terhadap suatu tekanan
- adanya suatu derajat kemantapan seperti yang terdapat pada
kepribadian yang matang dan utuh (Sainsbury, 1980).
Jika seorang individu tidak menunjukkan keadaan-keadaan di atas
maka bisa disebutkan bahwa individu tersebut terganggu jiwanya.
Gangguan jiwa sendiri didefinisikan sebagai suatu ketidak
mampuan untuk menyesuaikan tingkah laku yang diharapkan oleh
budaya di mana dia berada atau ketidak mampuan menyesuaikan
tingkah laku yang diharapkan dan ditentukannya sendiri atau
kedua-duanya; apakah ketidak mampuan itu berasal dari sebab
organik, psikogenik atau sebab lain atau oleh kombinasi dari
sebab-sebab tersebut (Solomon & Patch, 1974).
Sainsbury (1980) mengatakan bahwa gangguan jiwa
merupakan manifestasi tingkah laku yang menyimpang dari
konsep kenormalan yang bisa diterima dan keadaan ini tidak
diinginkan.
Definisi lain dari gangguan jiwa adalah tingkah laku, kumpulan
gejala atau pola psikologis yang terjadi pada individu yang khusus
berhubungan dengan gejala kecemasan atau mengganggu salah
satu atau beberapa fungsi penting (Goldman, 1984).
Melihat kepada ketentuan-ketentuan di atas, sebenarnya
tidak sulit untuk menentukan gejala atau tanda dari gangguan
(kesehatan) jiwa yang nyata; sama halnya seperti kita menentukan
bahwa orang itu tidak terganggu jiwanya karena tidak menyatakan
gejala / tanda kearah tersebut.
Tetapi sering kita berhadapan dengan keadaan di mana
seseorang menunjukkan tingkah laku tertentu umpamanya
agresivitas; dalam keadaan seperti ini kita tidak bisa secara
langsung menilai bahwa seseorang menderita gangguan jiwa
tanpa penilaian lebih lanjut. Bila ternyata setelah ditelusuri terbukti
bahwa tingkah laku tersebut sebagai usaha individu untuk
menyesuaikan diri terhadap situasi tertentu yang menyebabkan
dia agresif, hal tersebut bukan merupakan gangguan jiwa. Selama
tingkah laku itu masih merupakan reaksi terhadap aksi dari
lingkungan di mana dia berada belum merupakan gangguan
jiwa. Oleh sebab itu sering faktor waktu sangat penting dalam
menentukan seseorang terganggu jiwanya atau tidak.
Sebaliknya seseorang yang tidak menunjukkan gejala
gangguan jiwa atau tanda-tanda gangguan jiwa, belum tentu orang
itu sehat jiwanya. Keadaan ini bisa terlihat pada pasien-pasien
yang mondok di Rumah Sakit Jiwa di mana suasana dan segala
sesuatunya sangat menunjang bagi kehidupan pasien.
Mereka sering bisa bekerja dengan baik, tampak tenang
tanpa menunjukkan gejala-gejala gangguna jiwa. Tetapi ternyata
setelah keadaan lingkungannya dirubah atau pasien dipulangkan
ke keluarganya yang suasana dan keadaannya tidak menunjang,
maka gejala-gejala yang tadinya sudah tidak akan terlihat kembali.
Dari kedua keadaan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
adanya gejala atau tidak adanya gejala gangguan jiwa yang tidak
menetap atau dalam jangka waktu tertentu sebagai reaksi
adaptasi terhadap lingkungannya, maka kita bisa menentukan
apakah seseorang gangguan jiwa atau tidak.
PENYEBAB
Faktor-faktor penyebab sebagai pencetus gangguan
(kesehatan) jiwa seseorang, sering tidak bisa ditetapkan secara
pasti karena banyaknya faktor yang berpengaruh terhadap
terjadinya gangguan jiwa. Oleh sebab itu sering penyebab
gangguan jiwa disebutkan multi faktorial yang berarti banyak
faktor penyebab. Meskipun demikian faktor yang banyak itu bisa
disederhanakan menjadi tiga faktor penyebab yaitu :
1. faktor organo-biologik
2. faktor psiko-edukatif
3. faktor sosio-budaya
1. Faktor organo-biologik
Dari sekian banyak faktor organo-biologik (organik, fisiogenik)
dapat disebutkan disini beberapa di antaranya adalah :
- infeksi berbagai organ tubuh terutama yang secara langsung
mengenai otak atau akibatnya akan mengganggu fungsi otak
- rudapaksa fisik yang mengenai organ-oragan terutama otak
- gizi yang kurang, tidak memenuhi syarat atau malnutrisi
- kelelahan yang sangat oleh berbagai sebab
- kekacauan fungsi biologik yang terjadi secara terus menerus,
oleh berbagai sebab.
Hal-hal yang tersebut di atas tadi sering berhubungan dengan
keadaan :
- saraf pusat anatomis, fisiologis maupun kimiawi
- tingkat kematangan dan perkembangan organik individu
- faktor-faktor prenatal, perinatal atau postnatal.
2. Faktor psiko-edukatif (psikologis, psikogenik)
Penyebab ini bisa berasal dari dalam maupun luar individu
yang akhirnya akan berpengaruh secara luas terhadap
kepribadian (berfikir, berperasaan dan bertindak) individu sebagai
reaksi terhadap rangsang yang berasal dari dalam maupun dari
luar dirinya. Penyebab-penyebab itu diantaranya :
- berbagai konflik dan frustrasi yang berhubungan dengan
kehidupan modern maupun tradisional
- berbagai kondisi kehilangan status dan perasaan
diri cacat atau habis riwayatnya
- berbagai kondisi kekurangan, yang dihayati sebagai cacat
yang sangat menentukan kehidupan saat itu maupun selanjutnya,
umpamanya : penampilan diri, hendaya dll.
- Berbagai kondisi perasaan bersalah atau berdosa.
Keadaan-keadaan tersebut biasanya bersumber dari :
- interaksi antara orang tua dan anak
- peranan ayah atau ibu
- persaingan antara saudara sekandung
- keadaan inteligensi dan intelek individu
- hubungan dalam keluarga, pekerjaan, permainan, sekolah dan
masyarakat
- kehilangan sesuatu / seseorang, yang mengakibatkan
kecemasan, depresi, rasa malu atau rasa bersalah
- konsep diri, dalam arti pengertian dari identitas diri sendiri
dengan peranan yang tidak menentu, termasuk identitas jenis
kelamin
- ketrampilan, bakat dan kreativitas individu
- pola adaptasi dan pola pembelaan diri, sebagai reaksi terhadap
bahaya yang mengancam
- tingkat perkembangan emosi individu.
3. Faktor sosio-budaya (sosiologis, sosiokultural)
Penyebab di sini adalah segala keadaan atau perubahan
yang terjadi di masyarakat dalam jangka waktu lama maupun
secara mendadak ataupun bersifat menetap, umpanya :
- berbagai fluktuasi ekonomi dengan berbagai akibatnya
- kebahagiaan maupun kesengsaraan kehidupan keluarga
- kepuasan dalam pekerjaan
- persaingan yang tajam, keras atau tidak sehat
- diskriminasi dalam berbagai bentuk
- perubahan sosial yang terlalu cepat.
Keadaan di atas biasanya erat hubungannya dengan :
- tingkat ekonomi keluarga atau individu
- kestabilan keluarga
- pola pengasuhan anak
- perumahan, tempat kerja maupun sekolah di desa atau di kota
- pengaruh rasial dan keagamaan
- masalah kelompok minoritas / subkultur yang meliputi
prasangka dalam hal fasilitas pendidikan, kesehatan dan
kesejahteraan yang tidak memadai
- nilai / norma yang ada di masyarakat di mana individu itu
berada.
Prevensi Primer
Prevensi primer bertujuan untuk mengurangi angka
kejadian dan jumlah pasien gangguan jiwa yang ada di
masyarakat dengan cara langsung terhadap penyebab gangguan
jiwa yang melanda sekelompok manusia atau dengan merubah
faktor lingkungan yang diperkirakan ada hubungannya dengan
satu atau beberapa gangguan jiwa.
Contoh :
1. pencegahan terhadap masalah prenatal dan kelahiran yang
memungkinkan sebagai sebab kenaikan jumlah anak yang
mengalami kelainan.
2. pendidikan kesehatan jiwa untuk orang tua, dengan harapan
dapat mengatasi hal-hal yang berhubungan dengan peningkatan
cara-cara pemeliharaan anak ke arah yang lebih memuaskan.
3. rencana yang terjadwal untuk mengubah kondisi masyarakat
yang diperkirakan ada hubungannya dengan kenaikan jumlah
gangguan jiwa umpamanya pengangguran, kemiskinan dan
perumahan yang tidak layak.
Tehniknya adalah :
I. Pendidikan :
A. Isi : a) informasi-informasi mengenai Kesehatan Jiwa.
b) usaha menghilangkan sikap-sikap negatif terhadap pelayanan-
pelayanan psikiatri atau pelayanan lain yang ada hubungannya
dengan psikiatri.
c) data-data yang ada hubungannya dengan pelayanan psikiatrik.
B. Pendidikan langsung terhadap :
a) masyarakat umum.
b) Kelompok-kelompok kecil yang dipilih berdasarkan atas
tingginya jumlah gangguan jiwa pada kelompok tersebut.
c) Orang-orang tertentu yang sangat dihormati dan berpengaruh
terhadap masyarakat secara umum sekelompok masyarakat.
d) Profesi tertentu dari berbagai macam tingkatan, yang dianggap
menjadi sumber untuk meminta pertolongan bila mereka
mendapat kesulitan; profesi itu umpamanya : dokter umum,
pamong, guru, pekerja sosial dll.
II. Konsultasi :
Ahli-ahli kesehatan jiwa yang menyediakan pertolongan
kepada perorangan atau suatu badan yang ada hubungannya
dengan persoalan-persoalan Kesehatan Jiwa.
III. Intervensi langsung :
A. Staf ahli kedokteran jiwa secara langsung melakukan
tindakan, dalam usaha pencegahan serangan gangguan jiwa.
B. Menggunakan cara-cara apapun dari pengobatan yang
sudah diterima, bekerja sendiri atau bekerja sama dengan orang
lain.
C. 1. Intervensi langsung ini sangat membutuhkan cara-cara untuk
menetapkan suasana yang disebut persoalan kesehatan jiwa yang
menanti untuk berkembang contoh :
* Orang-orang yang diduga rentan terhadap kesukaran :
a) anak dilahirkan dengan persoalan fisik atau perkembangannya
sesudah dilahirkan.
b) Anak yang terbukti mempunyai kesulitan di sekolah.
c) Persoalan keluarga, karena ternyata kira-kira 6 % dari keluarga
yang membutuhkan pelayanan kesehatan, 50 % menunjukkan
problema keluarga.
Ibrahim Nuhriawangsa (1984) dalam studinya mengenai Peranan
perpisahan dengan orang tua pada berbagai gangguan jiwa telah
mendapatkan hasil :
1. Perpisahan dengan orang tua oleh berbagai sebab, menunjukkan
frekuensi tertinggi sebagai penyebab dibanding dengan yang tidak
mengalami perpisahan dengan orang tua.
2. Frekuensi terbanyak dari perpisahan dengan orang tua yang
diduga sebagai salah satu faktor penyebab, terjadi pada umur 0
7 tahun.
3. Perpisahan dengan kedua orang tua pada berbagai gangguan
jiwa ini frekuensinya lebih tinggi dibanding dengan perpisahan
dengan salah satu orang.
4. Penyebab terbanyak dari perpisahan ini adalah oleh karena
kematian orang tua dibanding dengan perpisahan oleh sebab lain
(perceraian, poligami, tugas yang cukup lama dan hal lain yang
menyebabkan terjadinya perpisahan yang cukup lama antara anak
dan orang tua).
C. 2. Meneliti dan menetapkan adanya periode kritik dari individu
yang sebelumnya pernah menderita problem emosional akibat
stres sebelumnya; contohnya : perpindahan dari SD ke SLTP,
keluar dari sekolah, perubahan pekerjaan, pindah tempat tinggal,
kehilangan kekasih/orang yang sangat dicintai, dan lain-lain.
Prevensi sekunder
Prevensi tersier