Anda di halaman 1dari 17

Kesehatan Jiwa

KESEHATAN JIWA ( MENTAL HEALTH ) *)


Oleh : Ibrahim Nuhriawangsa **)

PENDAHULUAN

Sudah kita maklumi dan rasakan bersama bahwa pada


saat ini kemajuan teknologi di berbagai bidang maju dengan
pesatnya. Seperti setiap kejadian yang ada akan menghasilkan
dua kutub yang berbeda, yaitu kutub positif dan kutub negatif;
begitu pula halnya dengan perkembangan teknologi.
Salah satu hasil perkembangan teknologi yang kita alami
sekarang adalah pembangunan di berbagai bidang. Selain
pembangunan ini memberikan dampak positif yang berarti
menguntungkan bagi kita semua, terjadi pula dampak negatif yang
kita terima yaitu hal yang merugikan.
Dapat kita lihat kemajuan di bidang transportasi
umpamanya, telah mengakibatkan lalulintas darat, laut maupun
udara yang serba cepat dan praktis.
Dampak negatif yang terjadi adalah timbulnya banyak kecelakaan
oleh berbagai sebab. Mungkin pengendara yang tidak mematuhi
peraturan lalulintas, mungkin jalan yang rusak dan sempit atau
cuaca buruk dan mungkin juga keadaan kendaraan itu sendiri
yang sudah tidak memenuhi persyaratan untuk dioperasikan.
Tidak jarang sebagai akibat dari kecelakaan lalulintas ini
mengakibatkan kematian, kerusakan fisik bahkan gangguan
mental emosional. Cedera kepala akibat lalulintas ini umpamanya
selain dapat menimbulkan gangguan fisik, juga dapat
mengakibatkan gangguan mental baik secara langsung maupun
terjadi sesudah beberapa lama kemudian secara primer atau
sekunder.
Pembuatan bendungan raksasa, pembuatan jalan,
pembangunan perumahan dan lain sebagainya demi kemakmuran
bangsa, sering dimulai dengan pertikaian antara yang empunya
lahan dengan mereka yang akan membangun. Sudah berulang
kali kita baca di surat-surat kabar mengenai perselisihan antara
kedua kelompok ini, yang satu pihak mempertahankan
kepentingan pribadinya dan pihak lain berusaha menghilangkan
kepentingan pribadi tersebut.
Dapat dibayangkan terjadinya frustrasi dan konflik yang
terjadi sebagai akibatnya, yang sumbernya bisa bermacam-
macam. Mungkin pembayaran ganti rugi yang tidak cocok,
mungkin pula cara pendekatan kepada mereka yang tidak serasi
atau sebab lain yang akan membentuk berbagai stresor. Lebih
lebih lagi bila hasil guna yang diharapkan sebagai kemakmuran
rakyat ternyata tidak terpenuhi karena tidak sinkronnya
pelaksanaan pembangunan. Pembangunan waduk raksasa
dengan pembangunan perumahan yang dikerjakan secara
serempak tanpa kerja sama yang baik satu proyek dengan proyek
lainnya. Sebagai hasil akhir dari kedua proyek ini ternyata waduk
yang dimaksudkan sebagai pengairan sawah-sawah tidak bisa
dimanfaatkan karena persawahannya sudah jadi rumah-rumah
mewah yang tidak memerlukan air seperti sawah.
Belum lagi kita melihat meningkatnya persaingan di berbagai
bidang yang juga sebagai akibat dampak negatif dari kemajuan
tehnologi. Bidang perdagangan, pendidikan, pekerjaan dan lain-
lain merupakan ajang persaingan yang ketat karena antara yang
membutuhkan dan tempat yang tersedia sangat timpang. Bagi
yang terkena dampak negatif tentu hanya frustrasi dan konflik
yang didapat dan dengan berbagai
keadaan kepribadian dan lingkungan yang berlainan akan
menghasilkan tingkat Kesehatan Jiwa tertentu yang masih dalam
keadaan sehat jiwanya atau mencapai taraf di mana keadaan jiwa
individu sudah terganggu dari yang ringan sampai yang berat.
Dari sekelumit kejadian di atas dapat kita lihat pentingnya
mengetahui Kesehatan jiwa bagi perseorangan maupun
masyarakat demi tetap terpeliharanya keadaan Jiwa kita yang
sehat untuk melakukan tugas-tugas kita sehari-hari.

DEFINISI
Berbagai sumber akan mendefinisikan Kesehatan Jiwa dan
Jiwa yang sehat dari berbagai aspek menurut kepentingannya
masing-masing sesuai dengan tujuan yang akan dicapainya.
WHO tahun 1948 mendefinisikan Kesehatan Jiwa sebagai suatu
kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan
emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu
selaras dengan jalannya perkembangan individu lain (Ibrahim
Nuhriawangsa, 1980).
Di lain fihak WHO tahun 1951 menyebutkan bahwa
Kesehatan Jiwa adalah suatu keadaan yang bergantung pada
perubahan-perubahan yang disebabkan oleh faktor biologis dan
sosial yang memungkinkan seorang individu mencapai suatu
perpaduan yang memuaskan dari kemungkinan konflik dengan
nalurinya; membentuk dan mempertahankan hubungan yang
harmonis dengan orang lain dan ikut serta dalam penyusunan
perubahan tatanan sosial dari lingkungan fisiknya (Sainsbury,
1980).
UU tentang Kesehatan Jiwa Bab I pasal 1 menyebutkan
bahwa Kesehatan Jiwa adalah keadaan jiwa yang sehat menurut
Ilmu Kedokteran sebagai unsur dari pada Kesehatan yang
dimaksudkan dalam pasal 2 UU pokok-pokok Kesehatan
(DirKesWa, 1985)[1].
Marie Jahoda (Ibrahim N, 1980) mendefinisikan Kesehatan Jiwa
sebagai :
- tidak adanya penyakit dan atau gangguan jiwa
- tingkah laku yang normal
- penyesuaian diri yang baik terhadap lingkungan
- tanggapan yang benar terhadap realita
- keutuhan kepribadian
Mengenai difinisi Jiwa yang sehat, Soddy (1950)
menyebutkan bahwa seorang yang jiwanya sehat akan
menunjukkan ciri-ciri :
- bereaksi terhadap kehidupan tanpa ketegangan
- ambisinya masih dalam batas-batas yang praktis dan realistik
- menyadari kekuatan dan kelemahannya
- bisa memberi dan menerima pertolongan
- sabar dalam menghadapi kegagalan, berkepala dingin dalam
menghadapi sukses
- dapat membentuk persahabatan dan bisa agresif bila
diperlukan
- perilakunya konsisten (ajeg) sehaingga tak seorangpun merasa
bahwa tuntutan hidupnya berlebihan dan penuh kepercayaan diri
- kepercayan dirinya dan harga dirinya merupakan sumber
kekuatan bagi dirinya pula (Ibrahim N. 1980).
Goldberg (1980) menunjukkan kriteria jiwa yang sehat dengan ciri-
ciri :
- kondisi kesehatannya cukup baik
- selama 3 bulan terakhir tidak pergi berobat kepada dokter
- selama 3 bulan terakhir tidak mangkir
- tidak menggunakan obat penenang
- keadaan kesehatannya tidak mengganggu pekerjaan
- tidak mempunyai problem psikologik.
Di lain fihak disebutkan bahwa kondisi mental yang sehat, yaitu
suatu kondisi mental di mana seseorang mampu menjalankan
fungsinya secara memuaskan di dalam suatu masyarakat, dan ia
merasa puas dengan kekhususan serta apa yang dicapainya
secara pribadi (Freedman et al., 1973).
Definisi lain dari Jiwa yang sehat yaitu dinyatakan dengan :
- tidak adanya gejala dan tanda psikiatrik yang mencolok
- tidak adanya pola tingkah laku yang tidak mantap sebagai
akibat dari tekanan-tekanan yang lazim terdapat
- adanya kemampuan untuk berurusan dengan suatu
ketegangan
- adanya derajat fleksibilitas dan adaptibilitas
- tidak adanya kecenderungan untuk bersaksi secara berlebihan
terhadap suatu tekanan
- adanya suatu derajat kemantapan seperti yang terdapat pada
kepribadian yang matang dan utuh (Sainsbury, 1980).
Jika seorang individu tidak menunjukkan keadaan-keadaan di atas
maka bisa disebutkan bahwa individu tersebut terganggu jiwanya.
Gangguan jiwa sendiri didefinisikan sebagai suatu ketidak
mampuan untuk menyesuaikan tingkah laku yang diharapkan oleh
budaya di mana dia berada atau ketidak mampuan menyesuaikan
tingkah laku yang diharapkan dan ditentukannya sendiri atau
kedua-duanya; apakah ketidak mampuan itu berasal dari sebab
organik, psikogenik atau sebab lain atau oleh kombinasi dari
sebab-sebab tersebut (Solomon & Patch, 1974).
Sainsbury (1980) mengatakan bahwa gangguan jiwa
merupakan manifestasi tingkah laku yang menyimpang dari
konsep kenormalan yang bisa diterima dan keadaan ini tidak
diinginkan.
Definisi lain dari gangguan jiwa adalah tingkah laku, kumpulan
gejala atau pola psikologis yang terjadi pada individu yang khusus
berhubungan dengan gejala kecemasan atau mengganggu salah
satu atau beberapa fungsi penting (Goldman, 1984).
Melihat kepada ketentuan-ketentuan di atas, sebenarnya
tidak sulit untuk menentukan gejala atau tanda dari gangguan
(kesehatan) jiwa yang nyata; sama halnya seperti kita menentukan
bahwa orang itu tidak terganggu jiwanya karena tidak menyatakan
gejala / tanda kearah tersebut.
Tetapi sering kita berhadapan dengan keadaan di mana
seseorang menunjukkan tingkah laku tertentu umpamanya
agresivitas; dalam keadaan seperti ini kita tidak bisa secara
langsung menilai bahwa seseorang menderita gangguan jiwa
tanpa penilaian lebih lanjut. Bila ternyata setelah ditelusuri terbukti
bahwa tingkah laku tersebut sebagai usaha individu untuk
menyesuaikan diri terhadap situasi tertentu yang menyebabkan
dia agresif, hal tersebut bukan merupakan gangguan jiwa. Selama
tingkah laku itu masih merupakan reaksi terhadap aksi dari
lingkungan di mana dia berada belum merupakan gangguan
jiwa. Oleh sebab itu sering faktor waktu sangat penting dalam
menentukan seseorang terganggu jiwanya atau tidak.
Sebaliknya seseorang yang tidak menunjukkan gejala
gangguan jiwa atau tanda-tanda gangguan jiwa, belum tentu orang
itu sehat jiwanya. Keadaan ini bisa terlihat pada pasien-pasien
yang mondok di Rumah Sakit Jiwa di mana suasana dan segala
sesuatunya sangat menunjang bagi kehidupan pasien.
Mereka sering bisa bekerja dengan baik, tampak tenang
tanpa menunjukkan gejala-gejala gangguna jiwa. Tetapi ternyata
setelah keadaan lingkungannya dirubah atau pasien dipulangkan
ke keluarganya yang suasana dan keadaannya tidak menunjang,
maka gejala-gejala yang tadinya sudah tidak akan terlihat kembali.
Dari kedua keadaan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
adanya gejala atau tidak adanya gejala gangguan jiwa yang tidak
menetap atau dalam jangka waktu tertentu sebagai reaksi
adaptasi terhadap lingkungannya, maka kita bisa menentukan
apakah seseorang gangguan jiwa atau tidak.

PENYEBAB
Faktor-faktor penyebab sebagai pencetus gangguan
(kesehatan) jiwa seseorang, sering tidak bisa ditetapkan secara
pasti karena banyaknya faktor yang berpengaruh terhadap
terjadinya gangguan jiwa. Oleh sebab itu sering penyebab
gangguan jiwa disebutkan multi faktorial yang berarti banyak
faktor penyebab. Meskipun demikian faktor yang banyak itu bisa
disederhanakan menjadi tiga faktor penyebab yaitu :
1. faktor organo-biologik
2. faktor psiko-edukatif
3. faktor sosio-budaya
1. Faktor organo-biologik
Dari sekian banyak faktor organo-biologik (organik, fisiogenik)
dapat disebutkan disini beberapa di antaranya adalah :
- infeksi berbagai organ tubuh terutama yang secara langsung
mengenai otak atau akibatnya akan mengganggu fungsi otak
- rudapaksa fisik yang mengenai organ-oragan terutama otak
- gizi yang kurang, tidak memenuhi syarat atau malnutrisi
- kelelahan yang sangat oleh berbagai sebab
- kekacauan fungsi biologik yang terjadi secara terus menerus,
oleh berbagai sebab.
Hal-hal yang tersebut di atas tadi sering berhubungan dengan
keadaan :
- saraf pusat anatomis, fisiologis maupun kimiawi
- tingkat kematangan dan perkembangan organik individu
- faktor-faktor prenatal, perinatal atau postnatal.
2. Faktor psiko-edukatif (psikologis, psikogenik)
Penyebab ini bisa berasal dari dalam maupun luar individu
yang akhirnya akan berpengaruh secara luas terhadap
kepribadian (berfikir, berperasaan dan bertindak) individu sebagai
reaksi terhadap rangsang yang berasal dari dalam maupun dari
luar dirinya. Penyebab-penyebab itu diantaranya :
- berbagai konflik dan frustrasi yang berhubungan dengan
kehidupan modern maupun tradisional
- berbagai kondisi kehilangan status dan perasaan
diri cacat atau habis riwayatnya
- berbagai kondisi kekurangan, yang dihayati sebagai cacat
yang sangat menentukan kehidupan saat itu maupun selanjutnya,
umpamanya : penampilan diri, hendaya dll.
- Berbagai kondisi perasaan bersalah atau berdosa.
Keadaan-keadaan tersebut biasanya bersumber dari :
- interaksi antara orang tua dan anak
- peranan ayah atau ibu
- persaingan antara saudara sekandung
- keadaan inteligensi dan intelek individu
- hubungan dalam keluarga, pekerjaan, permainan, sekolah dan
masyarakat
- kehilangan sesuatu / seseorang, yang mengakibatkan
kecemasan, depresi, rasa malu atau rasa bersalah
- konsep diri, dalam arti pengertian dari identitas diri sendiri
dengan peranan yang tidak menentu, termasuk identitas jenis
kelamin
- ketrampilan, bakat dan kreativitas individu
- pola adaptasi dan pola pembelaan diri, sebagai reaksi terhadap
bahaya yang mengancam
- tingkat perkembangan emosi individu.
3. Faktor sosio-budaya (sosiologis, sosiokultural)
Penyebab di sini adalah segala keadaan atau perubahan
yang terjadi di masyarakat dalam jangka waktu lama maupun
secara mendadak ataupun bersifat menetap, umpanya :
- berbagai fluktuasi ekonomi dengan berbagai akibatnya
- kebahagiaan maupun kesengsaraan kehidupan keluarga
- kepuasan dalam pekerjaan
- persaingan yang tajam, keras atau tidak sehat
- diskriminasi dalam berbagai bentuk
- perubahan sosial yang terlalu cepat.
Keadaan di atas biasanya erat hubungannya dengan :
- tingkat ekonomi keluarga atau individu
- kestabilan keluarga
- pola pengasuhan anak
- perumahan, tempat kerja maupun sekolah di desa atau di kota
- pengaruh rasial dan keagamaan
- masalah kelompok minoritas / subkultur yang meliputi
prasangka dalam hal fasilitas pendidikan, kesehatan dan
kesejahteraan yang tidak memadai
- nilai / norma yang ada di masyarakat di mana individu itu
berada.

Semua penyebab ini akan berpengaurh secara mendadak


maupun secara lambat laun. Seperti telah kita maklumi bahwa
setiap individu memiliki kepribadian1 yang berbeda yang akan
memberikan reaksinya secara berbeda pula antara individu yang
satu dengan yang lainnya. Pada keadaan biasa ia dapat berfungsi
secara memadai terhadap kondisi apapun termasuk kondisi yang
membuat seseorang menjadi stres. Tetapi bila suatu ketika stres
itu sedemikian hebatnya atau terlalu lama perlangsungannya,
maka individu akan mengalami apa yang disebutkeruntuhan atau
kekacauan dalam memberikan reaksi terhadap stresor. Beberapa
hal yang menentukan dalam terjadinya titik keruntuhan ini, di
antaranya adalah :
- daya tahan individu terhadap stres
- adanya reaksi dekompensasi (Ibrahim N., 1985).
Karena manusia seutuhnya merupakan kumpulan dari unsur-unsur
organo-biologis, psiko-edukatif dan sosio-budaya (bio-psiko-
sosial), maka dalam bereaksi atau bertindak juga akan terjadi
secara holistik (secara seutuhnya). Jika terjadi gangguan dalam
satu atau lebih unsur-unsur tadi, maka akan terjadi reaksi
penyesuaian (gangguan jiwa yang paling ringan) atau terjadi
reaksi psikotik (gangguan jiwa yang dianggap paling berat).
Melihat keterangan di atas, kita dapat mengetahui bahwa
gangguan jiwa tidak mungkin disebabkan oleh hanya satu
penyebab saja, tetapi ketiga faktor itu akan berpengaruh secara
bersama dengan porsi yang berbeda. Hal ini terbukti dari adanya
keadaan bahwa adanya musibah seperti kematian, kegagalan,
tidak lulus ujian, tidak dapat pekerjaan dll, yang bisa disebut
sebagai trauma psikis (faktor psiko-edukatif) sebagai akibatnya
ada orang yang kemudian terganggu jiwanya dan sebahagian lagi
tidak. Kalau hanya satu sebab itu yang menyebabkan gangguan
jiwa mestinya semua orang yang terkena musibah itu akan
terganggu jiwanya.
Ini membuktikan bahwa faktor lain (organo-biologis dan
sosio-budaya) juga ikut berperan dalam bentuk kondisi fisik dan
kondisi sosial, individu itu sendiri. Begitu juga orang bila
terkenainfeksi umpamanya typhus abdominalis (faktor organo-
biologis), sebagian orang menderita panas tinggi dengan ribut,
banyak bicara, halusinasi dan ilusi dan kegelisahan dan yang
lainnya, meskipun panas tetapi tidak menunjukkan gejala
gangguan jiwa. Ini pun membuktikan bahwa faktor psiko-edukatif
dan faktor sosio-budaya turut berperan dalam kejadian gangguan
jiwa tersebut.
Memang di klinik sering dibedakan, apakah gangguan jiwa
itu oleh penyebab organik, psikologis atau sosial; perbedaan ini
perlu karena sangat penting dalam hal yang berhubungan dengan
perawatan, pengobatan dan tindakan lainnya.
Adanya kelompok gangguan jiwa organik, psikogenik dan
sosiogenik hanyalah didasarkan atas faktor yang mana dari faktor-
faktor tersebut yang paling mencolok dalam kejadian gangguan
jiwa tersebut, bila sebelum terkena penyakit infeksi seseorang
tidak menunjukkan gangguan tetapi kemudian gangguan jiwa
timbul setelah ada infeksi tersebut, maka gangguan jiwa itu
disebut sebagai gangguan jiwa yang organik.
USAHA KESEHATAN JIWA
Landasan hukum bagi usaha-usaha kesehatan jiwa sudah
tertuang dalam UU No. 9 tahun 1960 tentang pokok-pokok
Kesehatan dan UU No. 3 tahun 1966, tentang Kesehatan Jiwa.
Beberapa hal yang penting dari UU tersebut di antaranya :
UU No. 9 tahun 1960 Bab I
Pasal 1 : Tiap-tiap warga negara berhak memperoleh derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya dan perlu diikut sertakan dalam
usaha Pemerintah.
Pasal 3 ayat 1 : Pertumbuhan anak yang sempurna dalam lingkungan
hidup yang sehat adalah penting untuk mencapai generasi yang
sehat dan bangsa yang kuat.
Pasal 3 ayat 2 : Pengertian dan kesadaran rakyat tentang pemeliharaan
dan perlindungan kesehatan adalah sangat penting untuk
mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Pasal 9 ayat 1 : Pemerintah melakukan usaha-usaha agar rakyat memiliki
pengertian dan kesadaran tentang pemeliharaan dan perlindungan
kesehatan.
Pasal 9 ayat 2 : Pemerintah mengadakan usaha-usaha khusus untuk
kesehatan, keturunan dan pertumbuhan anak yang sempurna,
baik dalam lingkungan keluarga maupun dalam lingkungan
sekolah serta lingkungan masyarakat remaja dan keolahragaan.
UU No. 3 tahun 1966 BabII
Pasal 3 : Dalam bidang Kesehatan Jiwa usaha-usaha Pemerintah meliputi
:
a) Memelihara Kesehatan Jiwa dalam pertumbuhan dan
perkembangan anak-anak.
b) Mengusahakan keseimbangan jiwa dengan menyesuaikan
penempatan tenaga selaras dengan bakat dan kemampuannya.
c) Perbaikan tempat kerja dan susunan kerja dalam perusahaan
dan sebagainya sesuai dengan Ilmu Kesehatan Jiwa.
d) Mempertinggi taraf Kesehatan Jiwa seseorang dalam
hubungannya dengan keluarga dan masyarakat.
Melihat keadaan UU di atas, jelaslah bahwa
informasi/pendidikan kesehatan/Kesehatan Jiwa sangat penting
artinya bagi masyarakat agar dapat mempertahankan dan
meneruskannya ke generasi-generasi yang akan datang,
mengenai pentingnya Kesehatan dan Kesehatan Jiwa.
Dalam praktek usaha-usaha Kesehatan Jiwa ini bergerak
dalam bidang-bidang
1. Promosi dan prevensi (peningkatan kesehatan dan
pencegahan).
2. Kuratif (tindakan pengobatan).
3. Rehabilitasi (pengembalian bekas pasien ke masyarakat)
Secara organisatoris usaha-usaha kesehatan jiwa ini terutama
dijalankan melalui Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen
Kesehatan RI. Usaha-usaha kesehatan jiwa ini sangat erat
hubungannya dengan Ilmu Kedokteran Jiwa (Psikiatri), meskipun
bukan berarti monopoli bagi Instansi ini, karena dalam
kenyataannya usaha ini akan melibatkan berbagai disiplin Ilmu lain
yang membutuhkan kerjasama yang baik satu dengan lainnya.
Ilmu Kedokteran Jiwa (Psikiatri)1 sendiri dalam kegiatannya
telah berkembang sedemikian rupa untuk bisa menyesuaikan diri
dengan tuntutan-tuntutan masyarakat yang telah ikut berkembang,
dengan meningkatkan kemajuan tehnologi di berbagai bidang.
Pada waktu yang lampau ilmu ini dalam prakteknya hanya lebih
menitik beratkan dalam usaha-usaha kuratif atau pengobatan
terhadap pasien gangguan jiwa. Namun saat sekarang titik berat
usaha itu tidak hanya kuratif melainkan sudah menyangkut
berbagai bidang yaitu promosi dan prevensi, serta rehabilitasi,
bahkan telah lebih berkembang lagi dengan terbentuknya cabang-
cabang lain dari ilmu itu, di antaranya :

1. Psikiatri Anak & Remaja


2. Psikiatri Dewasa
3. Psikiatri Geriatri
4. Psikiatri Forensik
5. Psikiatri Transkultural
6. Psikiatri Biologik
7. Psikiatri Industri dan Perusahaan
8. Psikiatri Komuniti
9. Para Psikiatri, dll.

Psikiatri Komuniti sangat erat hubungannya dengan usaha-


usaha kesehatan jiwa, meskipun dalam pelaksanaannya tidak
berjalan sendiri tetapi bersama-sama dengan disiplin lain, untuk
mencapai kesehatan jiwa masyarakat yang optimal.
Dalam Psikiatri Komuniti ini usaha kesehatan jiwa terdiri dari :
1. Prevensi primer
2. Prevensi sekunder
3. Prevensi tersier yang oleh Storrow (1969) di istilahkan
sebagai Preventive Psychiatry.

Prevensi Primer
Prevensi primer bertujuan untuk mengurangi angka
kejadian dan jumlah pasien gangguan jiwa yang ada di
masyarakat dengan cara langsung terhadap penyebab gangguan
jiwa yang melanda sekelompok manusia atau dengan merubah
faktor lingkungan yang diperkirakan ada hubungannya dengan
satu atau beberapa gangguan jiwa.
Contoh :
1. pencegahan terhadap masalah prenatal dan kelahiran yang
memungkinkan sebagai sebab kenaikan jumlah anak yang
mengalami kelainan.
2. pendidikan kesehatan jiwa untuk orang tua, dengan harapan
dapat mengatasi hal-hal yang berhubungan dengan peningkatan
cara-cara pemeliharaan anak ke arah yang lebih memuaskan.
3. rencana yang terjadwal untuk mengubah kondisi masyarakat
yang diperkirakan ada hubungannya dengan kenaikan jumlah
gangguan jiwa umpamanya pengangguran, kemiskinan dan
perumahan yang tidak layak.
Tehniknya adalah :
I. Pendidikan :
A. Isi : a) informasi-informasi mengenai Kesehatan Jiwa.
b) usaha menghilangkan sikap-sikap negatif terhadap pelayanan-
pelayanan psikiatri atau pelayanan lain yang ada hubungannya
dengan psikiatri.
c) data-data yang ada hubungannya dengan pelayanan psikiatrik.
B. Pendidikan langsung terhadap :
a) masyarakat umum.
b) Kelompok-kelompok kecil yang dipilih berdasarkan atas
tingginya jumlah gangguan jiwa pada kelompok tersebut.
c) Orang-orang tertentu yang sangat dihormati dan berpengaruh
terhadap masyarakat secara umum sekelompok masyarakat.
d) Profesi tertentu dari berbagai macam tingkatan, yang dianggap
menjadi sumber untuk meminta pertolongan bila mereka
mendapat kesulitan; profesi itu umpamanya : dokter umum,
pamong, guru, pekerja sosial dll.
II. Konsultasi :
Ahli-ahli kesehatan jiwa yang menyediakan pertolongan
kepada perorangan atau suatu badan yang ada hubungannya
dengan persoalan-persoalan Kesehatan Jiwa.
III. Intervensi langsung :
A. Staf ahli kedokteran jiwa secara langsung melakukan
tindakan, dalam usaha pencegahan serangan gangguan jiwa.
B. Menggunakan cara-cara apapun dari pengobatan yang
sudah diterima, bekerja sendiri atau bekerja sama dengan orang
lain.
C. 1. Intervensi langsung ini sangat membutuhkan cara-cara untuk
menetapkan suasana yang disebut persoalan kesehatan jiwa yang
menanti untuk berkembang contoh :
* Orang-orang yang diduga rentan terhadap kesukaran :
a) anak dilahirkan dengan persoalan fisik atau perkembangannya
sesudah dilahirkan.
b) Anak yang terbukti mempunyai kesulitan di sekolah.
c) Persoalan keluarga, karena ternyata kira-kira 6 % dari keluarga
yang membutuhkan pelayanan kesehatan, 50 % menunjukkan
problema keluarga.
Ibrahim Nuhriawangsa (1984) dalam studinya mengenai Peranan
perpisahan dengan orang tua pada berbagai gangguan jiwa telah
mendapatkan hasil :
1. Perpisahan dengan orang tua oleh berbagai sebab, menunjukkan
frekuensi tertinggi sebagai penyebab dibanding dengan yang tidak
mengalami perpisahan dengan orang tua.
2. Frekuensi terbanyak dari perpisahan dengan orang tua yang
diduga sebagai salah satu faktor penyebab, terjadi pada umur 0
7 tahun.
3. Perpisahan dengan kedua orang tua pada berbagai gangguan
jiwa ini frekuensinya lebih tinggi dibanding dengan perpisahan
dengan salah satu orang.
4. Penyebab terbanyak dari perpisahan ini adalah oleh karena
kematian orang tua dibanding dengan perpisahan oleh sebab lain
(perceraian, poligami, tugas yang cukup lama dan hal lain yang
menyebabkan terjadinya perpisahan yang cukup lama antara anak
dan orang tua).
C. 2. Meneliti dan menetapkan adanya periode kritik dari individu
yang sebelumnya pernah menderita problem emosional akibat
stres sebelumnya; contohnya : perpindahan dari SD ke SLTP,
keluar dari sekolah, perubahan pekerjaan, pindah tempat tinggal,
kehilangan kekasih/orang yang sangat dicintai, dan lain-lain.

Prevensi sekunder

Tujuan prevensi ini adalah mencari kasus-kasus


gangguna jiwa yang masih dalam tahap perkembangan dini dan
mencegah terjadinya atau mengurangi hendaya yang khronik,
dengan jalan pengobatan yang cepat dan tepat.
Dengan ini berarti melakukan intervensi awal yang efektif yang
dapat mengurangi jangka waktu lamanya sakit (Kaplan et al.,
1985).
Cara / tehniknya :
I. Penemuan kasus (casefinding).
A. Dalam penemuan kasus diperlukan kewaspadaan bagi
setiap orang yang berurusan dengan masyarakat terhadap tanda
yang menunjukkan bahwa gangguan jiwa mungkin akan
berkembang, contohnya :
1. Gangguan tidur atau gangguan makan (pada anak) yang
berkepanjangan.
2. Anak yang membutuhkan perhatian yang berlebihan dari orang
tuanya atau dari orang lain.
3. Kegagalan dalam perkembangan bicara yang sangat penting
antara kelompok umur 2 sampai 4 tahun.
4. Gangguan belajar.
5. Penampilan pola tingkah laku yang nyata pada remaja atau
dewasa.
B. Penemuan kasus juga membutuhkan adanya
tanda/gejala spesifik dari gangguan jiwa secara dini yang didapat
dari penelitian.
II. Pengobatan
A. Dalam prevensi sekunder diperlukan bahwa pengobatan siap,
mudah didapat untuk semua kasus yang ditemukan.
B. Meskipun tampaknya sederhana, tetapi tindakan pengobatan ini
mengandung risiko yang lebih berat dibanding dengan prevensi
primer.
C. Tindakan pengobatan harus menghasilkan :
1. Lama tinggal di Rumah Sakit makin pendek.
2. Memperkecil kemungkinan kembalinya pasien mondok di RS
sesudah pengobatan di RS selesai.
3. Kemungkinan perawatan di rumah dengan munculnya obat-
obatan yang baru dan berhasiat jangka panjang.

Prevensi tersier

Tujuan dari prevensi tersier adalah untuk


menghilangkan hendaya yang mungkin tersisa meskipun
gangguan jiwa sudah mengalami kesembuhan, umpamanya :
A. kesulitan untuk mencari pekerjaan.
B. Isolasi sosial
C. Ketergantungan yang berlebihan (terhadap orang lain).
Untuk mencapai tujuan ini maka biasanya usaha ini dilakukan
secara bersama antara pasien dalam keadaan akut dan
perawatan lanjutan.
Tehnik pelaksanaan dari prevensi tersier ini adalah :
A. Mencegah kemungkinan terjadinya isolasi pasien, yang dimulai
pada saat pasien masih diobati di RS.
1. mengusahakan agar perawatan pasien di RS secepat mungkin
dengan jalan memberikan pengobatan yang terencana dan
terorganisir.
2. mempersiapkan bagian rawat jalan untuk menerima lebih banyak
pasien yang berobat jalan.
3. bila mungkin pasien lebih baik dirawat di rumah atau dirawat di
RS yang dekat dengan rumah pasien.
4. mengusahakan lingkungan RS agar jangan sampai menimbulkan
kesan bahwa pasien lebih senang di RS hingga terjadi
ketergantungan, malas dll.
B. Menolong pasien agar mampu mandiri setelah keluar dari RS :
1. membuat semacam persatuan di antara bekas pasien untuk
mempelajari kembali kecakapan sosialisasi dalam suatu
perlindungan.
2. membuat tahapan-tahapan yang dilewati oleh pasien sebelum
secara penuh keluar dari RS.
a. selama siang hari pasien di RS dan sesudahnya kembali ke
rumah masing-masing (day hospital).
b. selama siang hari ada di rumah dan pada malam hari tidur di
RS (night hospital).
c. selama waktu-waktu tertentu pasien diberi waktu berlibur
kerumah masing-masing (weekend hospital).
3. membuat rumah asuh (foster home care).
Pasien-pasien yang keluar dari RS untuk sementara ditempatkan
dalam salah satu keluarga. Maksudnya untuk menghilangkan
isolasi pasien yang biasanya dari kamar-kamar yang tertutup di
RS langsung dikeluarkan dari RS yang mungkin membuat pasien
tidak mempunyai persiapan untuk kembali ke masyarakat.
4. tempat sementara sebelum secara penuh kembali ke masyarakat
(halfway house), yang merupakan suatu penampungan pasien
yang di awasi secara menyeluruh oleh supervisi yang terdiri dari
satu atau beberapa orang ahli.
Di sini pasien diharapkan bisa bekerja pada siang hari, merawat
kamarnya sendiri, menolong memasak atau pekerjaan rumah yang
lain. Tempat ini juga merupakan suatu peralihan dari status pasien
yang semula berada dalam status tergantung pada pemeliharaan
di RS ke status mandiri di luar RS. (masyarakat).
5. rehabilitasi pekerjaan (vocational rehabilitation).
Di sini pasien di usahakan kembali ke pekerjaan yang produktif
yang merupakan salah satu dari tujuan prevensi tersier.
Caranya adalah :
a. menguji dan merencanakan kecakapan pasien dalam jenis
pekerjaan.
b. melatih dalam sesuatu pekerjaan.
c. membuat bengkel/tempat kerja terlindung (sheltered workshop).
Di sini para pasien dapat bekerja dengan caranya sendiri tanpa
takut membuat salah dan biasanya jadi satu dengan pekerja
normal.
Umumnya tempat ini hanya menyelesaikan sebahagian dari
pekerjaan yang berasal dari salah satu industri yang telah
mengadakan kontrak, umpamanya mengepak barang,
membungkus barang dll dan mereka dapat penghasilan dari
pekerjaan ini.
Di tempat ini mereka bisa untuk selamanya bekerja atau bisa juga
secara temporer tergantung dari kemampuan pasien.
Seperti halnya setiap usaha akan memerlukan suatu wadah
sebagai pelaksana dari usaha tersebut dalam bentuk badan,
instansi atau wadah lain.
Di Indonesia bentuk-bentuk/badan yang ada sampai sekarang
adalah :
1. Rumah Sakit Jiwa Pemerintah maupun Swasta.
2. Bagian Psikiatri di RSU/RSUP Pemerintah maupun Swasta.
3. Puskesmas integrasi yaitu Puskesmas yang sudah melayani hal-
hal yang berhubungan dengan Kesehatan Jiwa.
4. BPKJM (Badan Pembina Kesehatan Jiwa Masyarakat) yang
merupakan suatu Badan Koordinator di dalam penanganan
Kesehatan Jiwa Masyarakat, yang meliputi segala usaha baik
promosi, prevensi maupun rehabilitasi.
Secara struktural BPKJM melibatkan berbagai Instansi yang terdiri
dari unsur-unsur :
1. psikiater dan dokter umum (puskesmas)
2. perawat
3. pekerja sosial
4. pamong praja dari kelurahan sampai ke provinsi
5. dinas sosial
6. kepolisian
7. pihak swasta
8. psikologi dll.
Badan ini akan menjalankan koordinasi secara horizontal,
meskipun diharapkan dalam perkembangan selanjutnya akan bisa
berjalan sendiri tanpa membutuhkan koordinasi BPKJM,
melainkan akan menjalankan tugas masing-masing secara
sektoral.
Mekanisme yang terjadi dalam BPKJM adalah Informasi
Konsultasi dan Fasilitasi.
Di Daerah Tk. I sebagai penanggung jawab Umum adalah
Gubernur sedangkan di Daerah Tk. II Bupati atau Walikota Madya.
Setiap BPKJM pusat maupun daerah tersusun dari berbagai
badan yaitu :
I. Kesra (Kesehatan, Pendidikan kebudayaan, Agama, Sosial,
Penerangan BKKBN, Tenaga kerja dan Transmigrasi dan sektor
lain yang relevan dengan Kesehatan Jiwa).
II. Disiplin Ilmiah (Kedokteran, Kesehatan Masyarakat,
Sosiologi, Antropologi Budaya/Sosial, Pekerja Sosial, Psikologi,
Planologi perkotaan dan disiplin Ilmiah lain yang relevan.
III. Lembaga/Instansi (Panti Rehabilitasi, Lembaga
Pemasyarakatan, Lembaga Anak-anak nakal dll).
IV. Swasta (semua Yayasan yang bergerak dalam bidang
pelayanan Kemanusiaan).
PENUTUP
Telah dikemukakan secara garis besar mengenai
Kesehatan Jiwa, Jiwa yang sehat dan sebab-sebab gangguan jiwa
serta Usaha Kesehatan Jiwa. Dengan pengetahuan ini minimal
diharapkan bantuan dari masyarakat, adanya pengertian tentang
Kesehatan pada umumnya dan khususnya Kesehatan Jiwa, agar
bisa menghilangkan atau mengurangi sikap-sikap negatif yang
sampai saai ini masih dijumpai di mana-mana. Sikap seperti ini
jelas akan mengganggu lancarnya Usaha Kesehatan Jiwa.
Setidak-tidaknya bisa memberi tanggapan bahwa gangguan
jiwa sama halnya dengan gangguan/penyakit lainnya yang bisa
sembuh sempurna, sembuh dengan hendaya dan berjalan
menjadi makin khronis. Dengan demikian bila suatu ketika
menghadapi individu dengan gangguan jiwa yang ringan maupun
berat tidak lagi berfikir ke mana mereka harus dibawa, sikap apa
yang harus saya berikan kepada mereka, karena sudah ada
badan-badan yang berurusan dengan Usaha Kesehatan Jiwa di
mana-mana.
Akhirnya saya pribadi perlu berterima kasih kepada anda
karena dengan partisipasi anda dengan Kursus ini berarti anda
sudah melakukan Usaha Kesehatan Jiwa setidak-tidaknya bagi diri
anda sendiri.

* Diajukan sebagai bahan Kursus Kesehatan Jiwa Tingkat Dasar


Angkatan ke X, Perkumpulan Kesehatan Jiwa PERWITA SARI
Pusat yogyakarta, tgl 9 September 1987 s/d 11 November 1987.
** Dokter Ahli Penyakit Jiwa dan Saraf UGM
[1] UU tentang pokok-pokok Kesehatan No.9 tahun 1960 Bab I ayat
2; yang dimaksud dengan Kesehatan dalam Undang-undang ini
adalah meliputi Kesehatan badan, rohani (mental) dan sosial dan
bukan hanya keadaan yang bebas dari penyakit, cacat dan
kelemahan.
1 Kepribadian adalah suatu cara khas pada diri seseorang untuk
berfikir, berperasaan dan bertingkah laku dengan pola yang secara
sadar dan merupakan cara hidupnya dalam menyesuaikan diri
dengan lingkungan (A.P.A. 1980).
1 Psikiatri adalah cabang spesialistik dari Ilmu Kedokteran yang
bertujuan memperhatikan dan mempelajari segala aspek mental
(jiwa) manusia baik dalam keadaan sakit maupun dalam keadaan
sehat. Dalam praktek meneliti, proses kejadian (genesisi),
pemastian keadaan sakit (diagnosis), ikhtiar pengobatan, ikhtiar
pencegahan (preventif) dan rehabilitasi.

Anda mungkin juga menyukai