Oleh :
Nama : Maretra Anindya Puspaningrum
NIM : B1J013090
Kelompok : 2
Rombongan : II
Asisten : Rahmat Alfian
LAPORAN PARASITOLOGI
KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2016
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan
Alat yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah object glass, cover glass,
batang pengaduk, tabung reaksi, baki, gelas beaker, saringan, lidi, kertas saring,
plastik, penjepit, mikroskop, pipet tetes, dan tissue.
Bahan yang digunakan adalah feses ayam, bebek, kambing, sapi, balita, NaCl
fisiologis, NaCl jenuh (33%), dan akuades.
B. Metode
1. Pada object glass yang telah bersih ditetesi 1-2 tetes larutan NaCl fisiologis.
2. Sedikit feses diambil dengan lidi dan diletakkan pada object glass tersebut.
3. Feses diratakan dengan lidi, kemudian ditutup dengan cover glass.
4. Ulasan feses diamati di bawah mikroskop.
c. Modifikasi Harada Mori
1. Plastik diisi akuades steril kurang lebih 5 ml.
2. Dengan lidi, feses dioleskan pada kertas saring sampai mengisi sepertiga
bagiannya tengahnya.
3. Kertas saring dimasukkan ke dalam plastik tersebut diatas. Cara memasukkan
kertas saring dilipat membujur dengan ujung kertas menyentuh permukaan
akuades dan feses jangan sampai terkena akuades.
4. Plastik dilipat sedikit bagian atasnya kemudian dijepit.
5. Plastik disimpan dengan cara digantung selama 3-7 hari.
6. Setelah 7 hari, diamati ada tidaknya perkembangan larva.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
B. Pembahasan
Cara mendiagnosa infeksi cacing selain dengan melalui gejala klinis dan
pemeriksaan post mortem dapat juga dilakukan dengan pemeriksaan feses secara
langsung untuk menemukan larva cacing atau telur cacing serta dengan pemeriksaan
feses secara tidak langsung untuk deteksi antigen antibodi. Metode pemeriksaan
feses dibagi berdasarkan hasil yang ingin didapatkan yaitu hasil yang kualitatif
(metode kualitatif) dan hasil yang kuantitatif (metode kuantitatif). Untuk metode
kualitatif dapat dilakukan dengan beberapa cara tergantung dengan keperluannya,
yaitu pemeriksaan dengan metode apung dan pemeriksaan dengan metode
sedimentasi sedangkan untuk metode kuantitatif dikenal dengan dua metode yaitu
metode Stoll dan Metode Kato Katz (Suryastini et al., 2012).
Pemeriksaan feses secara kualitatif, yaitu pemeriksaan yang didasarkan pada
ditemukkan telur pada masing-masing metode pemeriksaan tanpa dihitung
jumlahnya. Pemeriksaan feses secara kuantitatif yaitu pemeriksaan feses yang
didasarkan pada penemuan telur pada tiap gram feces. Jumlah telur yang didapatkan
ini dapat digunakan untuk mengethui tingkat infeksi dan estimasi jumlah cacing yang
menyerang hospes (Gandahusada, 2000).
Identifikasi parasit tergantung dari persiapan bahan yang baik, baik dalam
keadaan hidup maupun sebagai sediaan yang telah dipulas. Hal yang menguntungkan
adalah untuk mengetahui kira-kira ukuran dari bermacam-macam parasit tetapi
perbedaan individual tidak memungkinkan membedakan spesies hanya dengan
melihat besarnya. Sampel feses yang diperoleh untuk acara praktikum kali ini berasal
dari balita, bebek, ayam, kambing dan sapi. Feses sebagai bahan pemeriksa harus
dikumpulkan di dalam suatu tempat yang bersih dan kering bebas dari urine.
Identifikasi terhadap kebanyakan telur cacing dapat dilakukan dalam beberapa hari
setelah feses dikeluarkan (Kurt, 1999). Pemeriksaan feses saat praktikum hanya
dilakukan secara kualitatif saja. Pemeriksaan tersebut meliputi uji apung, natif dan
modifikasi harada mori. Identifikasi cacing yang dilakukan dengan melihat ciri
morfologi dari telur, larva dan cacing yang ditemukan di bawah mikroskop (Setiawan
et al., 2014).
Metode flotasi atau apung digunakan untuk jenis telur cacing parasit yang
dapat mengapung dengan menggunakan larutan gula garam jenuh. Sampel feses
ditimbang sebanyak 30 gram dan dimasukkan dalam tabung. Kemudian tabung
tersebut diisi 200 ml larutan gula garam jenuh, dihomogenkan dan diisi kembali
dengan larutan gula garam jenuh hingga cembung, didiamkan selama 5-10 menit.
Selanjutnya pada mulut tabung ditutup dengan kaca penutup, kaca penutup diangkat
lalu diletakkan di atas objek gelas dan diamati di bawah mikroskop (Tantri et al.,
2013). Garcia (1999) menambahkan, metode ini menggunakan larutan NaCl jenuh
atau larutan gula jenuh yang didasarkan atas berat jenis telur sehingga telur akan
mengapung dan mudah diamati. Metode ini digunakan untuk pemeriksaan feses yang
mengandung sedikit telur. Pemeriksaan ini hanya berhasil untuk telur-telur
Nematoda, Schistostoma, Dibothriosephalus, telur yang berpori-pori dari famili
Taenidae, telur-telur Achantocephala ataupun telur Ascaris yang infertil. Keuntungan
dari metode ini adalah dapat digunakan untuk pemeriksaan infeksi ringan dan berat,
serta telur dapat terlihat jelas terpisah dari kotoran. Di samping itu kekurangannya
antara lain penggunaan feses banyak dan memerlukan waktu yang lama, perlu
ketelitian tinggi agar telur yang terapung di permukaan larutan dapat terambil.
Metode apung merupakan metode yang baik digunakan untuk mendeteksi
infeksi cacing namun pada pemeriksaan jenis cacing seperti Strongyloides sp. yang
harus segera dilakukan pemeriksaan ini menjadi kurang efektif karena telur akan
menetas dalam waktu beberapa jam (Suryastini et al., 2012). Metode flotasi feses
juga dapat dijadikan sebagai teknik antemortem, walaupun sensitivitas dari teknik ini
rendah dalam mendeteksi keberadaan telur dari cacing parasit seperti Echinococcus
multilocularis. Namun dewasa ini, telah dikembangkan metode flotasi feses yang
diikuti dengan teknik spesifik-spesies PCR. Metode ini dapat dijadikan sebagai
pendekatan diagnostik alternatif antemortem didasarkan dari sensitivitas, spesifitas,
dan biayanya (Szell et al., 2014).
Metode natif dipergunakan untuk pemeriksaan secara cepat dan baik untuk
infeksi berat, tetapi untuk infeksi yang ringan sulit ditemukan telur-telur dari cacing
parasit. Cara pemeriksaan ini menggunakan larutan NaCl fisiologis atau eosin 2%
untuk diteteskan pada ulasan feses. Penggunaan eosin dimaksudkan untuk lebih jelas
membedakan telur-telur cacing dengan kotoran disekitarnya. Kekurangan dari
metode natif ini adalah hanya dilakukan untuk infeksi berat, infeksi ringan sulit
terdeteksi (Garcia, 1999). Teknik smear atau ulas langsung memiliki keuntungan
yaitu mudah dan cepat dalam preparasinya dan dalam pemeriksaan telur cacing
semua spesies, lebih murah jika dibandingkan dengan metode lain dan peralatan
yang digunakan sedikit. Tetapi metode ini dapat menghilangkan telur dari cacing
tambang jika konsentrasinya terlalu rendah atau jika terlalu banyak debris yang
muncul (Shahid et al., 2010).
Metode Harada mori digunakan untuk menentukan dan mengidentifikasi
larva cacing Ancylostoma Duodenale, Necator Americanus, Strongyloides stercolaris
dan Trichostrongilus yang didapatkan dari feses yang diperiksa. Teknik ini
memungkinkan telur cacing dapat berkembang menjadi larva infektif pada kertas
saring basah selama kurang lebih 9 hari, kemudian larva ini akan ditemukan di dalam
air yang terdapat pada ujung kantong plastik. Teknik Harada mori menawarkan
banyak keuntungan dibandingkan dengan teknik smear secara langsung untuk
mendeteksi cacing tambang. Jika dilakukan dengan benar, metode ini sensitif, efektif,
sederhana, ekonomis, dan mudah dalam pelaksanaannya untuk mengidentifikasi
larva infektif yang ukurannya lebih besar dari telurnya (Shahid et al., 2010).
Beberapa kekurangan diantaranya adalah hanya untuk mengidentifikasi infeksi
cacing tambang, waktu yang dibutuhkan lama dan memerlukan peralatan yang
banyak.
Teknik sediaan tebal (cellaphane covered thick smear technique) atau disebut
teknik Kato merupakan salah satu teknik diagnosa penyakit parasiter secara
kuantitatif. Pengganti kaca tutup seperti teknik lain digunakan sepotong cellaphane
tape. Pada teknik ini lebih banyak telur cacing dapat diperiksa sebab digunakan
lebih banyak feses. Teknik ini dianjurkan untuk pemeriksaan secara massal karena
lebih sederhana dan murah. Morfologi telur cacing cukup jelas untuk membuat
diagnosa. Diagnosa dilakukan dengan menemukan adanya telur cacing parasit dan
menghitung jumlah telur tersebut untuk mengetahui adanya infeksi cacing parasit
dan untuk mengetahui berat ringannya infeksi cacing parasit usus. Metode ini
menggunakan penambahan melachite green untuk memberi latar belakang hijau.
Estimasi dilakukan berdasarkan bahwa anak-anak mengeluarkan feses kurang lebih
100 gram/hari, dewasa mengeluarkan feses kurang lebih 150 gram/hari. Jadi,
misalnya dalam 1 gram feses mengandung 100 telur maka 150 gram tinja
mengandung 150.000 telur (Sehgal, 2002).
Menurut Dahl (2002) empat kriteria untuk infeksi oleh cacing parasit yaitu:
Infeksi sangat ringan : 1-9 (15-149 butir telur)
DAFTAR REFERENSI
Dahl, C. 2002. The Effect of Concurrent Infections With Pasteurella multocida and
Ascaridia galli on Free Range Chickens. Vet. Microbiol, 86(1), pp. 313-324.
Febriyadi A., Rofiza Y., dan Eti M. B. 2016. Jenis-jenis Cacing Nematoda Usus yang
menginfeksi Siswa Madrasah Ibtidaiyah Darul Ikhsaniah (MI) Muara Musu
Kecamatan Rambah Hilir Kabupaten Rokan Hulu. e-Journal Mahasiswa
Prodi Biologi, 1(1), pp. 1-5.
Gandahusada, S. W. Pribadi dan D. I. Herry. 2000. Parasitologi Kedokteran. Jakarta:
Fakultas Kedokteran UI.
Garcia, L. S. 1999. Practical Guide to Diagnostic Parasitology. USA: Library of
Congress Cataloging-in-publication Data.
Kadarsan S. 2005. Binatang Parasit. Bogor: Lembaga Biologi Nasional-LIPI.
Kurt. 1999. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Levine, D. N. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Noble, R. N. 1961. An Illustrated Laboratory Manual of Parasitology. Minnesota:
Burgess publishing.
Sardjono, T, W., Gatoet I, dan Edi W. 2004. Peran Laboratorium dalam Diagnosis
dan Penatalaksanaan Kasus-kasus Penyakit Tropik dan Infeksi. Jurnal
Kedokteran Brawijaya, 20(1), pp. 19-24.
Sehgal, R. 2002. Practicals and Viva in Medical Parasitology. India: Elseiver.
Setiawan D. K., I Made D., dan Ida Bagus M. O. 2014. Identifikasi Jenis Cacing
Nematoda Pada Saluran Gastrointestinal Kuda Penarik Cidomo di Kecamatan
Selong, Lombok Timur. Indonesia Medicus Veterinus, 3(5), pp. 351-358.
Shahid S. B., Wazib A., Chowdhury A., Shamsuzzaman S. M., and Mamun K. Z.
2010. Identicifation of Hookworm Species in Stool By Harada Mori Culture.
Bangladesh J Med Microbiol, 4(2), pp. 3-4.
Siregar, Charles D. 2006. Pengaruh Infeksi Cacing Usus yang ditularkan Melalui
Tanah pada Pertumbuhan Fisik Anak Usia Sekolah Dasar. Sari Pediatri, 8(2),
pp. 112-117.
Suryastini, Kadek A. D., I Made D., dan I Made D. 2012. Akurasi Metode Rithchie
dalam Mendeteksi Infeksi Cacing Saluran Pencernaan pada Babi. Indonesia
Medicus Veterinus, 1(5), pp. 567-581.
Szell Z., Zsuzsanna S. L., and Tamas S. 2014. Evaluation of Faecal Flotation
Methods followed by Species-Specific PCR for Detection of Echinococcus
multilocularis in the Definitive Hosts. Acta Parasitologica, 59(2), pp. 331-
336.
Tantri N., Tri R. S., dan Siti K. 2013. Prevalensi dan Intensitas Telur Cacing Parasit
pada Feses Sapi (Bos sp.) Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Pontianak
Kalimantan Barat. Protobiont, 2(2), pp. 102-106.
Tiuria, R. 1991. Hubungan Antara Dosis Infeksi, Biologi Ascaridia galli dan
Produktivitas Ayam Petelur. Tesis, Program Pascasarjana. Program Studi
Sains Veteriner. Institut Pertanian Bogor.