Anda di halaman 1dari 24

Portofolio

SUSPEK KOLEALITIASIS

Disusun Oleh :
dr. Armansyah

Pendamping :
dr. Eva Trijaniarti

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BAYUNG LENCIR


SUMATERA SELATAN
PROGRAM DOKTER INTERNSIP KEMENTRIAN KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
2016
PORTOFOLIO

Kasus 1
Topik: Suspek peritonsiler
Tanggal (Kasus) : 20 mei 2016 Presenter : dr. Armansyah
Tanggal Presentasi : 05 oktober 2016 Pendamping : dr. Eva Trijaniarti
Tempat Presentasi : Ruang Pertemuan RSUD Bayung Lencir
Objektif Presentasi :
Keilmuan Keterampilan Penyegaran
Tinjauan Pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah
Istimewa
Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia
Neonatus Bumil
Deskripsi : Laki-laki 43 tahun, suspek kolealitiasis
Tujuan : diagnosis suspek kolealitiasis serta tatalaksananya
Bahan Bahasan : Tinjauan Riset Kasus Audit
Pustaka
Cara membahas Diskusi Presentasi dan Email Pos
diskusi

Data Nama : Tn. P Umur : 43 tahun Pekerjaan : supir No. Reg : 03-
Alamat : Mengsang, Agama : Islam Bangsa :
Pasien: 89-24
Indonesia
Nama RS: RSUD Telp : Terdaftar sejak :
BayungLencir
Data utama untuk bahan diskusi:
1. Diagnosis / Gambaran Klinis: suspek peritonsiler / Keadaan Umum Sakit
sedang.
2. Riwayat Pengobatan : + os pernah berobat ke bidan dan diberikan obat antasid
dan ranitidin.
3. Riwayat Kesehatan / Penyakit :
Pasien datang ke poli umum dengan keluhan keluhan nyeri perut yang hilang
timbul sebelah kanan, nyeri dirasakan 1 bulan yang lalu, nyeri seperti
diperas/melilit. Nyeri dirasakan di perut kanan kemudian menjalar ke ulu hati dan
terasa sampai pinggang kanan. Nyeri tidak hilang walaupun os beristirahat. Os
menceritakan 1 bulan yang lalu pernah muntah sebanyak 7 kali, muntah berupa

2
makanan. Os menyangkal ada demam. Os juga menyangkal pernah BAK berpasir
atau terdapat batu dan keluhan saat BAK. Gangguan saat BAB disangkal oleh Os.

4. Riwayat Keluarga : Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama disangkal.


5. Riwayat Pekerjaan : Pasien bekerja sebagai tani
6. Lain-lain : pernah berobat ke bidan tapi keluhan tidak berkurang
8. Riwayat kebiasaan
Penderita suka makan gorengan
Penderita merokok 1 bungkus perhari.
Penderita sering minum kopi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Beckingham, IJ. Gallstone disease. 2001. In: ABC of Liver, Pancreas and
GallBladder. London: BMJ Books.
2. K e s h a v. S . T h e G a s t r o i n t e s t i n a l S ys t e m a t a G l a n c e . L o n d o n : B l a
c k w e l l Science; 2004.
3. Kumar, Ramzi S. Cotran & Stanley L.Robbins. Buku Ajar Patologi Edisi 7.
Penerbit EGC. Jakarta. 2007
4. P r i c e , S yl v i a A n d e r s o n , W i l s o n , L o r r a i n e M c C a r t y . P a t o f i s i o l o g
i K o n s e p Klinis Proses-Proses Penyakit. Jilid 1. Jakarta : Penerbit Buku
KedokteranEGC. 2006
5. Schwartz S, Shires G, Spencer F. Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles
of Surgery). Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000. 459-464.
6. Sekijima J.H, Lee, Sum P. Gallstones and Cholecystitis. In: Humes D, DuponL,
editors. Kelleys Textbook of Internal Medicine.
7. S j a m s u h i d a j a t R , d e J o n g W. B u k u A j a r I l m u B e d a h . E d i s i 2 .
J a k a r t a : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2005.hal: 570-57912.
8. Snell, Richard S.. Anatomi klinik, edisi 3, bag. 1, hal 265 266.
PenerbitEGC, Jakarta. 2002

3
Hasil Pembelajaran
1. Diagnosis Banding suspek kolealitisis
2. Pemeriksaan penunjang pada suspek kolealitiasis

Pemeriksaan Fisik :
Status Generalikus
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 86 x/menit
Pernafasan : 21 x/menit
Suhu : 36,7C
Tinggi Badan : 172 cm
Berat badan : 79 Kg
Status Gizi : Overweight (IMT 23,1 kg/m2)
Keadaan Spesifik
Kepala:
Simetris, alopecia (-)
Mata:
Konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
3mm/3mm, refleks cahaya (+/+)
Telinga
CAE lapang, sekret (-/-), mukosa hiperemis (-), nyeri tekan tragus (-),
nyeri tarik aurikular (-)
Hidung
Sekret (-/-), deformitas (-), mukosa hiperemis (-)
Mulut
Sianosis (-), uvula di tengah, tonsil T1-T1, faring hiperemis (-)
Leher:
JVP (5-2) cmH2O, pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran
thyroid (-)
Kelenjar Getah Bening:
Tidak ada pembesaran KGB supraklavikular, axilaris, inguinalis
Thorax:
Simetris, statis dinamis kanan sama dengan kiri
Paru :
Vesikuler (+)normal, ronkhi (-), wheezing (-)

4
Jantung :
HR 86x/menit, BJ I dan II normal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, scar (-)
Palpasi : Lemas, Nyeri tekan (+) kuadran kanan atas, murphy sign (-),
hepar tidak teraba, Lien tidak teraba, ballotement (-/-), massa (-), defans
muskular (-)
Perkusi : Timpani, nyeri ketok CVA (-/-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Genitalia Eksterna:
Tidak ada kelainan
Ekstremitas :
Edema pretibial (-/-), CRT < 2 detik
1.1. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Hematologi
Hemoglobin : 13,8g/dl (13,2-17,3 g/dL)
Leukosit : 9.600/mm3 (4.500 - 11.000/ mm3)
Hematokrit : 42% (43-49%)
Kimia Klinik
Ureum : 32 mg/dL (16,6-48,5 mg/dL)
Kreatinin : 0,93 mg/dL (0,7-1,2 mg/dL)

1. Assessment :
Pasien datang ke poli umum dengan keluhan keluhan nyeri perut yang
hilang timbul sebelah kanan, nyeri dirasakan 1 bulan yang lalu, nyeri
seperti diperas/melilit. Nyeri dirasakan di perut kanan kemudian menjalar
ke ulu hati dan terasa sampai pinggang kanan. Nyeri tidak hilang walaupun
os beristirahat. Os menceritakan 1 bulan yang lalu pernah muntah
sebanyak 7 kali, muntah berupa makanan. Os menyangkal ada demam. Os
juga menyangkal pernah BAK berpasir atau terdapat batu dan keluhan saat
BAK. Gangguan saat BAB disangkal oleh Os
Pada pemeriksaan fisik nyeri tekan (+) kuadran kanan atas.

2. Plan :

5
Diagnosis banding : 1. Suspek kolealitiasis
2. Suspek koleadukolitiasis
- Saran rujuk ke RS

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Dan Fisiologi Tonsil

Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori.
Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran
di faring yang terdiri dari tonsil palatina, tonsil faringeal (adenoid), tonsil
lingual, dan tonsil tubal.
A) Tonsil Palatina
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang
terletak di dalam fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi

6
oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot
palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm,
masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam
jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris,
daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar.
Tonsil terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh:
Lateral muskulus konstriktor faring superior
Anterior muskulus palatoglosus
Posterior muskulus palatofaringeus
Superior palatum mole
Inferior tonsil lingual
Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang
juga melapisi invaginasi atau kripti tonsila. Banyak limfanodulus
terletak di bawah jaringan ikat dan tersebar sepanjang kriptus.
Limfonoduli terbenam di dalam stroma jaringan ikat retikular dan
jaringan limfatik difus. Limfonoduli merupakan bagian penting
mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di seluruh tubuh sepanjang
jalur pembuluh limfatik. Noduli sering saling menyatu dan umumnya
memperlihatkan pusat germinal.
Fosa Tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah
otot palatoglosus, batas posterior adalah otot palatofaringeus dan batas
lateral atau dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior.
Berlawanan dengan dinding otot yang tipis ini, pada bagian luar
dinding faring terdapat nervus ke IX yaitu nervus glosofaringeal.
Vaskularisasi
Tonsil mendapat vaskularisasi dari cabang-cabang arteri karotis
eksterna, yaitu :
1. Arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya
arteri tonsilaris dan arteri palatina asenden;

7
2. Arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina
desenden;
3. Arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal;
4. Arteri faringeal asenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior
diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan bagian posterior
oleh arteri palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut
diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi
oleh arteri faringeal asenden dan arteri palatina desenden.
Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan
pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul
tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal.
Aliran getah bening
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah
bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah
muskulus sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan
akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh
getah bening eferan sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak
ada.
Persarafan
Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX
(nervus glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine
nerves.
Imunologi Tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit.
Limfosit B membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar.
Sedangkan limfosit T pada tonsil adalah 40% dan 3% lagi adalah sel
plasma yang matang. Limfosit B berproliferasi di pusat germinal.
Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD), komponen komplemen,
interferon, lisozim dan sitokin berakumulasi di jaringan tonsilar. Sel
limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4 area yaitu

8
epitel sel retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel
limfoid dan pusat germinal pada folikel limfoid.
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk
diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil
mempunyai 2 fungsi utama yaitu :
Menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif;
Sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel
limfosit T dengan antigen spesifik.
B) Tonsil Faringeal (Adenoid)
Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari
jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus
atau segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah
dari sebuah ceruk dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini
tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian tengah,
dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus.
Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan adenoid di
nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior,
walaupun dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba
eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada
umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7
tahun kemudian akan mengalami regresi.
C) Tonsil Lingual
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh
ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa
ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk
oleh papilla sirkumvalata.
2.2 Abses Peritonsiler
2.2.1 Definisi
Abses peritonsil, yang sering disebut sebagai Quinsy,
adalah suatu rongga yang berisi nanah didalam jaringan peritonsil
yang terbentuk sebagai hasil dari tonsillitis supuratif.

9
2.2.2

Epidemiologi
Abses peritonsiler dapat terjadi pada umur 10-60 tahun,
namun paling sering terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-
anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun sistem
immunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas
yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang
sama antara laki-laki dan perempuan. Bukti menunjukkan bahwa
tonsilitis kronik atau percobaan multipel penggunaan antibiotik
oral untuk tonsilitis akut merupakan predisposisi pada orang untuk
berkembangnya abses peritonsiler. Di Amerika insiden tersebut
kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun,
dipertimbangkan hampir 45.000 kasus setiap tahun.
2.2.3 Etiologi
Infeksi tonsil berlanjut menjadi selulitis difusa dari daerah
tonsil meluas sampai palatum molle. Kelanjutan proses ini
menyebabkan abses peritonsil. Kelainan ini dapat terjadi cepat,
dengan onset awal dari tonsillitis atau akhir dari perjalanan
penyakit tonsilitis akut. Biasanya unilateral dan kuman penyebab
sama dengan tonsillitis, dapat ditemukan kuman aerob dan
anaerob6. Kemungkinan abses peritonsil disebabkan oleh infeksi
pada kripta difusa supra tonsil, dimana ukurannya besar,

10
merupakan suatu kavitas seperti celah dengan tepi tak teratur dan
berhubungan erat dengan bagian posterior dan bagian luar tonsil 11.
Abses peritonsil juga terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis
akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mukus Weber di
kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebabnya sama dengan
kuman penyebab tonsilitis. Biasanya unilateral dan lebih sering
pada anak-anak yang lebih tua dan dewasa muda.
Abses peritonsiler disebabkan oleh organisme yang bersifat
aerob maupun yang bersifat anaerob. Organisme aerob yang paling
sering menyebabkan abses peritonsiler adalah Streptococcus
pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus
aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme
anaerob yang berperan adalah Fusobacterium. Prevotella,
Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococcus spp.
Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan karena
kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobik. Sedangkan
virus yang dapat menyebabkan abses peritonsil antara lain eipsten-
barr, adenovirus, influenza A dan B, herpes simplex, dan
parainfluenza.
2.2.4 Patofisiologi
Patofisiologi abses peritonsiler belum diketahui sepenuhnya.
Namun, teori yang paling banyak diterima adalah kelanjutan
episode tonsillitis eksudatif menjadi peritonsillitis dan diikuti
pembentukan abses. Berikut ini adalah tiga teori patogenesa
terjadinya abses peritonsiler.
Teori Parkinson (1970)
Penyebaran abses ke ruang peritonsil oleh karena di dalam
ruang peritonsil terdapat kelompok kelenjar yang terletak di
permukaan superior dari kapsul tonsil di pool atas.
Kelompok kelenjar ini mudah mendapatkan infeksi dari

11
tonsil. Bila kelompok ini terinfeksi mudah terjadi abses di
dalam ruangan yang terisi jaringan ikat longgar.
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan
jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke
ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini,
sehingga tampak palatum mole membengkak. Abses
peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun
jarang.
Teori Ballenger (1977)
Perluasan infeksi ke ruang peritonsil, berasal dari kripte
yang besar di pole atas yang merupakan celah yang
berhubungan erat dengan bagian luar tonsil, sehingga
infeksi yang terjadi pada kripte mudah menjalar ke atas
belakang (superior posterior) dari ruangan peritonsil.
Teori Paparella (1980)
Terjadinya abses oleh karena infeksi yang berasal dari
proses akut tonsil dan menembus kapsul, sampai ke
ruangan peritonsil tetapi masih dalam batas otot konstriktor
faring.
Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), selain
pembengkakan tampak juga permukaan yang hiperemis. Bila
proses berlanjut, daerah tersebut lebih lunak dan berwarna
kekuning-kuningan. Tonsil terdorong ke tengah, depan, dan bawah,
uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontra lateral. Bila proses
terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan
menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul
trismus. Abses dapat pecah spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi
ke paru. Selain itu, abses peritonsiler terbukti dapat timbul de novo
tanpa ada riwayat tonsillitis kronis atau berulang sebelumnya.
Abses peritonsiler dapat juga merupakan suatu gambaran dari
infeksi virus Epstein-Barr.

12
Abses peritonsil yang timbul sebagai kelanjutan tonsilitis akut
biasanya timbul pada hari ke 3 dan ke 4 dari tonsillitis akut.
Sumber infeksi berasal dari salah satu kripta yang mengalami
peradangan, biasanya kripta fossa supratonsil, dimana ukurannya
besar, merupakan kavitas seperti celah dengan tepi tidak teratur,
dan berhubungan erat dengan bagian posterior dan bagian luar
tonsil. Muara dari kripta yang mengalami infeksi tersebut tertutup
sehingga abses yang terbentuk di dalam saluran kripta akan pecah
melalui kapsul tonsil dan berkumpul pada tonsil bed. Pus yang
berkumpul pada fosa supratonsil tersebut akan menimbulkan
penonjolan, pembengkakan dan edema dari palatum molle
sehingga tonsil akan terdorong kearah medial bawah. Walaupun
sangat jarang abses peritonsil dapat terbentuk di inferior.
Abses peritonsiler juga bisa sebagai kelanjutan dari infeksi
yang bersumber dari kelenjar mukus weber. Kelenjar ini
berhubungan dengan permukaan atas tonsil lewat duktus dan
kelenjar ini membersihkan area tonsil dari debris dan sisa makanan
yang terperangkap di kripta tonsil. Inflamasi pada kelenjar weber
dapat menyebabkan selulitis. Infeksi ini menyebabkan duktus
sampai permukaan tonsil menjadi lebih terobstruksi akibat
inflamasi sekitarnya. Hasilnya adalah nekrosis jaringan dan
pembentukan pus yang menghasilkan tanda dan gejala abses
peritonsil.
2.2.5 Gambaran Klinis
Abses peritonsil akan menggeser kutub superior tonsil ke arah
garis tengah dan dapat diketahui derajat pembengkakan yang
ditimbulkan di palatum molle. Terdapat riwayat faringitis akut,
tonsillitis, dan rasa tidak nyaman pada tenggorokan atau faring
unilateral yang semakin memburuk. Keparahan dan
progresivitasnya ditunjukkan dari trismus. Kebanyakan pasien
menderita nyeri hebat.

13
Gejala yang dikeluhkan pasien antara lain panas sub febris,
disfagia dan odinofagia yang menyolok dan spontan, hot potato
voice, mengunyah terasa sakit karena m. masseter menekan tonsil
yang meradang, nyeri telinga (otalgia) ipsilateral, foetor ex orae,
perubahan suara karena hipersalivasi dan banyak ludah yang
menumpuk di faring, rinolalia aperta karena udem palatum molle
(udem dapat terjadi karena infeksi menjalar ke radix lingua dan
epiglotis = udem perifokalis), trismus (terbatasnya kemampuan
untuk membuka rongga mulut) yang bervariasi, tergantung derajat
keparahan dan progresivitas penyakit, trismus menandakan adanya
inflamasi dinding lateral faring dan m. Pterigoid interna, sehingga
menimbulkan spasme muskulus tersebut. Akibat limfadenopati dan
inflamasi otot, pasien sering mengeluhkan nyeri leher dan
terbatasnya gerakan leher (torticolis).
2.2.6 Diagnosis banding
Abses peritonsil harus dibedakan infiltrat peritonsil. Untuk
membedakannya, pada stadium infiltrasi belum terdapat trismus,
dan kejadiaanya baru berlangsung 1-3 hari. Untuk membedakannya
dilakukan punksi percobaan dan hasil pungsi tidak didapatkan pus.
Karsinoma tonsil dicurigai bila permukaan tonsil tidak rata atau
permukaan bunga kubis dan ada jaringan nekrotik atau ulkus.
Diagnosis banding adalah abses leher dalam lainnya yaitu abses
retrofaring dan, abses parafaring.
Gambaran infeksi ruang submaksila juga bisa seperti abses
peritonsil. Infeksi ini biasanya terjadi akibat karies atau infeksi
pada gigi molar. Pus dapat mendorong otot-otot dalam ke arah
konstriktor superior sehingga tonsil terdorong ke medial, seperti
pada quinsy.
2.2.7 Diagnosis
Diagnosis abses peritonsiler akan dibicarakan sendiri di bab
berikutnya.

14
2.2.8 Penatalaksanaan
Penanganan abses peritonsiler meliputi hidrasi, menghilangkan
nyeri, dan antibiotik yang efektif mengatasi Staphylococcus aureus
dan bakteri anaerob. Aspirasi needle merupakan penanganan yang
efektif pada 75 % abses peritonsiler pada anak-anak dan dianjurkan
sebagai terapi utama kecuali terdapat riwayat tonsilitis rekuren atau
abses peritonsiler sebelumnya maka indikasinya adalah
tonsilektomi dengan segera.
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi, dan
obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat
dan compres dingin pada leher. Pemilihan antibiotik yang tepat
tergantung dari hasil kultur mikroorganisme pada aspirasi jarum.
Penisilin merupakan drug of chioce pada abses peritonsilar dan
efektif pada 98% kasus jika yang dikombinasilakn dengan
metronidazole. Dosis untuk penisilin pada dewasa adalah 600mg
IV tiap 6 jam selama 12-24 jam, dan anak 12.500-25.000 U/Kg tiap
6 jam. Metronidazole dosis awal untuk dewasa 15mg/kg dan dosis
penjagaan 6 jam setelah dosis awal dengan infus 7,5mg/kg selama
1 jam diberikan selama 6-8 jam dan tidak boleh lebih dari 4 gr/hari.
Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses,
kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah
di daerah yang paling menonjol dan lunak, atau pada pertengahan
garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas
terakhir. Intraoral incision dan drainase dilakukan dengan mengiris
mukosa overlying abses, biasanya diletakkan di lipatan
supratonsillar. Drainase atau aspirate yang sukses menyebabkan
perbaikan segera gejala-gejala pasien.
Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi nyeri, diberikan
analgesia lokal di ganglion sfenopalatum. Kemudian pasien
dinjurkan untuk operasi tonsilektomi a chaud. Bila tonsilektomi
dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut tonsilektomi a

15
tiede, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses
disebut tonsilektomi a froid. Pada umumnya tonsilektomi
dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah
drainase abses.
Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang
menderita abses peritonsilaris berulang atau abses yang meluas
pada ruang jaringan sekitarnya. Abses peritonsil mempunyai
kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai saat ini belum
ada kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada abses
peritonsil. Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 68
minggu kemudian mengingat kemungkinan terjadi perdarahan atau
sepsis, sedangkan sebagian lagi menganjurkan tonsilektomi segera.
Penggunaan steroids masih kontroversial. Penelitian terbaru
yang dilakukan Ozbek mengungkapkan bahwa penambahan dosis
tunggal intravenous dexamethasone pada antibiotik parenteral telah
terbukti secara signifikan mengurangi waktu opname di rumah
sakit, nyeri tenggorokan, demam, dan trismus dibandingkan
dengan kelompok yang hanya diberi antibiotik parenteral.
2.2.9 Komplikasi
Komplikasi abses peritonsil dapat berupa edema laring akibat
tertutupnya rima glotis atau edema glotis akibat proses perluasan
radang ke bawah. Keadaan ini membahayakan karena bisa
menyebabkan obstruksi jalan napas. Abses yang pecah secara
spontan terutama waktu tidur dapat mengakibatkan aspirasi
pneumonia dan piemia. Abses yang ruptur spontan biasanya pecah
dari pilar anterior. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah
parafaring, sehingga dapat terjadi abses parafaring. Kemudian
dapat terjadi penjalaran ke mediastinum menimbulkan
mediastinitis. Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat
mengakibatkan trombus sinus kavernosus, meningitis, dan abses
otak. Sekuele poststreptokokus (glomerulonefritis, demam

16
reumatik) apabila bakteri penyebab infeksi adalah streptococcus
Grup A. Kematian, walaupun jarang dapat terjadi akibat
perdarahan atau nekrosis septik ke selubung karotis (carotid
sheath). Dapat juga terjadi peritonsilitis kronis dengan aliran pus
yang berjeda. Komplikasi juga terjadi akibat tindakan insisi pada
abses akibat perdarahan yang terjadi pada arteri supratonsilar.
Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat terjadi jika diagnosis
PTA diabaikan. Beratnya komplikasi tergantung dari progresivitas
penyakit. Untuk itulah diperlukan penanganan dan intervensi sejak
dini.
2.2.10 Prognosis
Abses peritonsoler hampir selalu berulang bila tidak diikuti
dengan tonsilektomi. Tonsilektomi ditunda sampai 6 minggu
setelah dilakukan insisi.

17
BAB III
DIAGNOSIS PADA ABSES PERITONSILER

1. Anamnesis
Informasi dari pasien (anamnesis) sangat diperlukan untuk
menegakkan diagnosis abses peritonsiler. Adanya riwayat pasien mengalami
nyeri pada tenggorokan adalah salah satu yang mendukung terjadinya abses
peritonsilar. Riwayat adanya faringitis akut yang disertai tonsilitis dan rasa
kurang nyaman pada pharingeal unilateral.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan tonsilitis akut dengan asimetri
faring sampai dehidrasi dan sepsis. Didapatkan pembesaran dan nyeri tekan
pada kelenjar regional. Pada pemeriksaan kavum oral terdapat eritema,
asimetri palatum mole, eksudasi tonsil, dan pergeseran uvula kontralateral.
Dan pada palpasi palatum molle teraba fluktuasi. Nasofaringoskopi dan
laringoskopi fleksibel direkomendasikan pada pasien yang mengalami
kesulitan bernapas, untuk melihat ada tidaknya epiglotitis dan supraglotis.
Mukosa di lipatan supratonsillar tampak pucat dan bahkan seperti
bintil bintil kecil. Nasofaringoskopi dan laringoskopi fleksibel
direkomendasikan untuk penderita yang mengalami gangguan pernafasan.

18
3.

Pemeriksaan Laboratorium
Yang merupakan gold standar untuk mendiagnosa abses peritonsiler
adalah dengan mengumpulkan pus dari abses menggunakan aspirasi jarum.
Pus kemudian dikultur dan dengan kultur ini dapat ditentukan organisme
penyebab abses peritonsiler serta antibiotika yang tepat untuk
penatalaksanaannya.
Selain itu kultur, dapat juga dilakukan pemeriksaan hitung darah lengkap.
Pada pasien dengan abses peritonsiler akan didapatkan leukositosis.
Aspirasi Jarum (Needle Aspiration)
Aspirasi abses dapat dilakukan sebelum melakukan prosedur
drainase. Tujuannya adalah untuk mengkonfirmasi apakah yang terbentuk
adalah abses ataukah penyebab lainnya, misalnya keganasan.
Lokasi yang akan diaspirasi dianestesi dahulu dengan
menggunakan lidocaine dengan epinephrine dan jarum besar (berukuran
1618 gauge) yang biasa menempel pada syringe berukuran 10 cc. Jarum
disuntikkan pada mukosa yang telah dianestesi sebelumnya.
Aspirasi material yang bernanah (purulent) merupakan tanda khas,
dan material dapat dikirim untuk dibiakkan.

19
4. Pemeriksaan
Penunjang
Lainnya
a.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan yaitu pemeriksaan laboratorium
berupa hitung darah lengkap, pengukuran kadar elektrolit. Karena pasien
dengan abses peritonsil seringkali dalam keadaan sepsis dan menunjukkan
tingkat dehidrasi yang bervariasi akibat tidak tercukupinya asupan
makanan.
b.
Pemeriksaan radiologi dapat membantu pada terapi abses peritonsil yang
tidak mengalami perbaikan setelah dilakukan inspirasi dan drainase atau
terdapat perburukan edema pada selulitis peritonsil yang telah diterapi.
Pada kasus tertentu dimana ternyata absesnya terdapat di tonsil itu sendiri
dan atau sebagian abses tersembunyi pada inferior atau posterior tonsil.
Foto polos dapat berupa pandangan jaringan lunak lateral dari nasofaring
dan orofaring dapat membantu dokter dalam menyingkirkan diagnosis
abses retropharyngeal. Pada posisi AP, terdapat distorsi jaringan lunak, tapi
tidak begitu membantu dalam menentukan lokasi abses.
c.
Pada pasien yang sangat muda, evaluasi radiologi dapat dilakukan dengan
CT-scan pada rongga mulut dan leher menggunakan kontras intravena.
Ditemukan gambaran kumpulan cairan hipodens di apex tonsil yang
terkena, dengan penyengatan pada perifer. Gambaran lainnya termasuk
pembesaran asimetrik tonsil dan fossa sekitarnya. Intraoral

20
ultrasonography merupakan teknik pencitraan yang simpel dan non-
invasif, dapat membedakan selulitis dan abses.

BAB IV
KESIMPULAN
Abses peritonsiler merupakan kumpulan nanah yang terbentuk di dalam
ruang peritonsil. Keadaan ini dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling
sering terjadi pada umur 20-40. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada
mereka yang menurun sistem immunnya.
Patofisiologi abses peritonsiler belum diketahui sepenuhnya. Ada beberapa
teori yang mengemukakan mengenai bagaimana proses pembentukan abses
peritonsil, yaitu teori Parkinson, teori Ballenger, dan teori Paparella. Namun pada
prinsipnya, abses peritonsiler dapat terbentuk karena adanya penyebaran
organisme bakteri dari tonsil atau daerah lain di sekitarnya. Sumber infeksi dapat
berasal dari penjalaran tonsilitis akut yang mengalami supurasi, menembus kapsul
tonsil, maupun penjalaran dari infeksi gigi. Dalam hal ini infeksi telah menembus
bagian kapsul tonsil, tetapi tetap dalam batas otot konstriktor faring.
Manifestasi klinis abses peritonsiler biasanya berupa gejala dan tanda
tonsilitis akut, yaitu demam tinggi, otalgia, nyeri menelan, nyeri tenggorok,
muntah, mulut berbau, hipersalivasi, suara sengau, kadang-kadang sulit membuka
mulut (trismus), serta pembengkakan dan nyeri tekan pada kelenjar submandibula.

21
Abses peritonsil harus dibedakan dengan infiltrat peritonsil, karsinoma
tonsil, infeksi ruang submandibula, dan abses leher dalam lainnya, seperti abses
retrofaring, dan abses parafaring.
Diagnosis abses peritonsiler ditegakkan berdasarkan anamnesa,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang lainnya, seperti pemeriksaan
laboratorium dan pencitraan radiologi. Yang merupakan gold standar untuk
mendiagnosa abses peritonsiler adalah dengan melakukan kultur dari hasil aspirasi
jarum pada lokasi abses.
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk kasus abses peritonsiler
adalah secara konservatif (medikamentosa) dengan antibiotika dosis tinggi dan
terapi bedah (insisi abses, diikuti tonsilektomi).
Komplikasi abses peritonsil dapat berupa obstruksi jalan napas akibat
edema laring, aspirasi pneumonia dan piemia, abses parafaring, mediastinitis,
trombus sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak. Kematian, walaupun jarang
dapat terjadi akibat perdarahan atau nekrosis septik ke selubung karotis (carotid
sheath).
Abses peritonsoler hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan
tonsilektomi. Tonsilektomi ditunda sampai 6 minggu setelah dilakukan insisi.

22
DAFTAR PUSTAKA
1. Adrianto, Petrus. 1986. Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan, 296,
308-309. EGC, Jakarta
2. Anurogo, Dito. 2008. Tips Praktis Mengenali Abses Peritonsil. Accessed:
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=3&dn=20080125161248
3. Bailey, Byron J, MD. Tonsillitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy. In :
Head and Neck Surgey-Otolaryngology 2nd Edition. Lippincott_Raven
Publisher. Philadelphia. P :1224, 1233-34
4. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Applied anatomy and physiology
mouth and pharynx. In: Richard AB (ed). Ear, Nose and Throat Disease, a
pocket reference. 2nd rev.ed. New York: Thieme Flexibook 1994:307 -315
5. Efendi H: Penyakit-Penyakit Nasofaring Dan Orofaring. Dalam: Boies,
Buku Ajar Penyakit THT Edisi VI, EGC, Jakarta, 1997. Hal 333
6. Fachruddin, Darnila. Abses Leher Dalam. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Kesehatan, Telinga-Hidung-Tenggorokan Edisi V, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta, 2006. Hal. 185
7. Gray RF, Hawthrorne M. Anatomy of the mouth and pharynx. In: Synopsis
of Otolaryngology. 5th.ed. Singapore: Butterworth Heinemann 1992: 288
304.

23
8. Hasibuan R, A.H. Sp THT. Pharingologi, Jala Penerbit, Jakarta, 2004. hal.
38, 55-8
9. Hatmansjah.Tonsilektomi. Cermin Dunia Kedokteran Vol. 89, 1993.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, hal : 19-21.
10. Iskandar H.N; Mangunkusumo E.H; Roezin A.H: Penyakit, Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher, Binarupa Aksara, Jakarta, 1994.
Hal 350-52
11. Steyer, T. E. 2002. Peritonsillar Abscess: Diagnosis and Treatment.
accessed:http://www.aafp.org/afp/20020101/93.html
12. Soepardi,E.A, Iskandar, H.N, Abses Peritonsiler, Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung dan Tenggorokan, Jakarta: FKUl, 2000; 185-
89.

24

Anda mungkin juga menyukai