Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perdarahan intrakranial ialah perdarahan dalam rongga kranium dan isinya, pada bayi
sejak lahir sampai umur 4 minggu. Perdarahan intrakranial neonatus (PIN) sering dijumpai
dan mempunyai arti penting karena dapat berpengaruh terhadap tumbuh kembang, dapat
menyebabkan cacat jasmani dan mental bahkan kematian.

Holt menyebutkan pada otopsi bayi-bayi lahir mati dan yang meninggal dalam 2 minggu
pertama 30% disebabkan oleh perdarahan intrakranial sedangkan menurut Saxena 13,1%
kematian perinatal disebabkan oleh perdarahan intrakranial (PI). Angka kematian PI pada
bayi prematur lima kali lebih tinggi daripada bayi cukup bulan.

Perdarahan Intrakranial dapat disebabkan oleh trauma atau asfiksia dan jarang
diakibatkan oleh gangguan perdarahan primer atau anomali vaskular kongenital. Perdarahan
epidural, subdural atau subarachnoid traumatik terutama bisa terjadi apabila ukuran kepala
janin lebih besar dibandingkan jalan keluar pelvis ibu; atau bisa disebabkan oleh partus kala
2 memanjang, atau karena persalinan presentasi bokong dan karena akibat dari intervensi
mekanik yang tidak bijaksana pada saat persalinan.

Perdarahan subdural massif ini jarang terjadi, namun ditemukan lebih sering pada bayi
cukup bulan daripada bayi yang prematur. Gangguan perdarahan primer dan malformasi
vascular jarang terjadi dan biasanya menimbulkan perdarahan subarachnoid atau
intraserebrral. Perdarahan intracranial dapat disertai dengan koagulopati intravascular
diseminata, trombositopenia isoimun dan defisiensi vitamin K (terutama pada bayi yang
dilahirkan dari ibu yang mendapat fenobarbital atau fenitoin).

Penatalaksanaan dan penanggulangan perdarahan intrakranial neonatus masih kurang


memuaskan. Untuk menurunkan angka kejadian perdarahan intrakranial neonatus, usaha
yang lebih penting ialah profilaksis seperti perawatan prenatal, pertolongan persalinan dan
perawatan postnatal yang sebaik-baiknya.

(Saxena HMK, Mithilesh C, Santos KB and Gosh S. Intracranial Haemorrhage, A Cause


of Perinatal Mortality. Indian Ped. 1978; 15: 403.)

(Behrman RE and Driscoll JM. Neonatology. St Louis: CV Mosby Co. 1973; pp 527-9.)

Richard E Behrmen, Robert M Kliegman, Ann Marvin. Buku kesehatan anak nelson. Vol 1.
Edisi 15. Jakarta: EGC, 1999.)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi

Isi dari tulang tengkorak merupakan bagian dari intrakranial yang terdiri dari otak dan
selaput otak (meninges), pembuluh darah dan cairan serebrospinal.

2.1.3 Selaput Otak (meningen)


Jaringan pelindung di sistem saraf pusat (otak dan sumsum tulang belakang) adalah
meninges (bentuk tunggal: moninx). Meninges terdiri dari lapisan, yaitu:

a. Duramater (berasal dari kata dura=hard=keras dan mater=mother=ibu) merupakan


lapisan paling luar yang tebal, keras dan fleksibel tetapi tidak dapat direnggangkan
(unstretchable).
Duramater atau pacymeninx dibentuk dari jaringan ikat fibrosa. Secara
konvensional duramater ini terdiri dari dua lapis, yaitu lapisan endosteal dan lapisan
meningeal. Kedua lapisan ini melekat dengan rapat, kecuali sepanjang tempat-tempat
tertentu, terpisah dan membentuk sinus-sinus venosus. Lapisan endosteal sebenarnya
merupakan lapisan periosteum yang menutupi permukaan dalam tulang kranium.
Lapisan meningeal merupakan lapisan duramater yang sebenarnya, sering disebut
dengan kranial duramater. Terdiri dari jaringan fibrosa yang padat dan kuat yang
membungkus otak dan melanjutkan diri menjadi duramater spinalis setelah melewati
foramen magnum yang berakhir sampai segmen kedua dari os sacrum. Lapisan
meningeal membentuk empat septum ke dalam, membagi rongga kranium menjadi
ruang-ruang yang saling berhubungan dengan bebas dan menampung bagian-bagian
otak. Fungsi septum ini adalah untuk menahan pergeseran otak.
Falx cerebri adalah lipatan duramater berbentuk bulan sabit yang terletak pada garis
tengah diantara kedua hemisfer cerebri. Ujung bagian anterior melekat pada crista
galli. Bagian posterior melebar, menyatu dengan permukaan atas tentorium cerebelli.
Tentorium cerebelli adalah lipatan duramater berbentuk bulan sabit yang menutupi
fossa cranii posterior. Septum ini menutupi permukaan atas cerebellum dan
menopang lobus occipitalis cerebri
Falx cerebelli adalah lipatan duramater kecil yang melekat pada protuberantia
occipitalis interna Diaphragma sellae adalah lipatan sirkuler kecil dari duramater ,
yang menutupi sella turcica dan fossa pituitary pada os sphenoidais. Diapragma ini
memisahkan pituitary gland dari hypothalamus dan chiasma opticum. Pada
pemisahan dua lapisan duramater ini, diantaranya terdapat sinus duramatris yang
berisi darah vena. Sinus venosus/duramatris ini menerima darah dari drainase vena
pada otak dan mengalir menuju vena jugularis interna. Dinding dari sinus-sinus ini
dibatasi oleh endothelium. Sinus pada calvaria yaitu sinus sagitalis superior. Sinus
sagitalis inferior, sinus transverses dan sinus sigmoidea. Sinus pada basis cranii antara
lain : sinus occipitalis, sinus sphenoparietal, sinus cavernosus, sinus petrosus bagian
tengah terdapat lubang yang dilalui oleh tangkai hypophyse.

Pada lapisan duramater ini terdapat banyak cabang-cabang pembuluh darah yang
berasal dari arteri carotis interna, a. maxillaris, a. pharyngeus ascendens, a, occipitalis
dan a. vertebralis. Dari sudut klinis, yang terpenting adalah a.meningea media
(cabang dari a.maxillaris ) karena arteri ini umumnya sering pecah pada keadaan
trauma capitis.
Pada duramater terdapat banyak ujung- ujung saraf sensorik, dan peka terhadap
regangan sehingga jika terjadi stimulasi pada ujung-saraf ini dapat menimbulkan sakit
kepala yang hebat.

b. Arachnoid membrane (berasal dari kata arakhe=spider), merupakan jaringan bagian


tengah yang bentuknya seperti jaring laba-laba. Sifatnya lembut, berongga-rongga
dan terletak di bawah lapisan duramater. Membran ini dipisahkan dari duramater oleh
ruang potensial yaitu spatium subdural, dan dari piamater oleh cavum subarachnoid
yang berisi cerebrospinal fluid. Cavum subarachnoid (subarachnoid space)
merupakan suatu rongga/ ruangan yang dibatasi oleh arachnoid di bagian luar dan
piamater pada bagian dalam. Dinding subarachnoid space ini ditutupi oleh
mesothelial cell yang pipih. Pada daerah tertentu arachnoid menonjol kedalam sinus
venosus membentuk villi arachnoidales. Agregasi villi arachnoid disebut sebagai
granulations arachnoidales. Villi arachnoidales ini berfungsi sebagai tempat
perembesan cerebrospinal fluid kedalam aliran darah. Arachnoid berhubungan dengan
piamater melalui untaian jaringan fibrosa halus yang melintasi cairan dalam cavum
subarachnoid. Struktur yang berjalan dari dan keotak menuju cranium atau
foraminanya harus melalui cavum subarachnoid.

c. Pia mater (berasal dari kata pious=small=kecil dan mater=mother=ibu), merupakan


jaringan pelindung yang terletak pada lapisan paling bawah( paling dekat dengan
otak, sumsum tulang belakang, dan melindungi jaringan-jaringan saraf yang lain).
Lapisan ini mengandung pembuluh datah yang mengalir di otak dan sumsum tulang
belakang. Antara pia mater dan membran arachnoid terdapat bagian yang disebut
subarachnoid space yang dipenuhi oleh cairan cerebrospinal fluid (CSF).
2.1.4 Sistem ventrikel
Sistem ventrikel terdiri dari 2 buah ventrikel lateral, ventrikel III dan ventrikel IV.
Ventrikel lateral terdapat di bagian dalam serebrum, masing - masing ventrikel terdiri dari 5
bagian yaitu kornu anterior, kornu posterior, kornu inferior, badan dan atrium. Ventrikel III
adalah suatu rongga sempit di garis tengah yang berbentuk corong unilokuler, letaknya di tengah
kepala,ditengah korpus kalosum dan bagian korpus unilokuler ventrikel lateral, diatas sela
tursika, kelenjar hipofisa dan otak tengah dan diantara hemisfer serebri, thalamus dan dinding.

2.1.5 Cairan Serebrospinalis


2.1.5.1 Definisi
Cairan serebrospinal adalah cairan yang mengisi sistem ventrikel dan ruang subarachnoid
yang bertujuan melindungi otak dari benturan, bakteri dan juga berperan sebagai pembersih
lingkungan otak.
2.1.5.2 Sirkulasi Cerebrospinal Fluid
Setelah disekresi oleh plexus choroidalis pada ventrikel lateral, CSF mengalir melalui
interventricular foramina dan masuk ke ventrikel ke tiga. Selanjutnya CSF mengalir melewati
aquaductus Sylvii dan menuju ventrikel keempat dan kemudian memasuki subarachnoid space
dan cisterna melalui foramen Magendie pada bagian medial aperture ventrikel empat dan
foramen Luscka pada bagian lateral aperture ventrikel empat. Dari cisterna ini sebagian besar
CSF mengalir kebagian medial dan lateral permukaan hemisfer cerebri dan menuju sinus
sagitalis superior pada atap cranium. Pada sub arachnoid space, cerebrospinal fluid merembes
melalui saluran saluran pada granulasi arachnoid untuk bersatu dengan darah vena didalam sinus
sagitalis posterior. Sebagian kecil CSF mengalir kebawah menuju subarachnoid space medulla
spinalis.
2.1.5.3 Absorbsi Cerebrospinal Fluid
Vili arachnoidalis merupakan tempat absorbsi CSF ke dalam darah vena pada sinus
duramatris. Villi ini terdapat pada subarachnoid space. Antara subarachnoid space dan pembuluh
vena dipisahkan oleh lapisan sel yang tipis yang dibentuk dari epitel arachnoid dan endothel
sinus.

2.1.5.4 Komposisi
Volume cairan cerebrospinal ini pada orang dewasa normal rata-rata 135 ml. Dari jumlah
ini diperkirakan 80 ml berada dalam ventrikel dan 55 ml didalam rongga subarachnoid.
Komposisi cairan ini terdiri dari air, sejumlah kecil protein, gas dalam larutan (O2 dan CO2), ion
natrium, kalium, kalsium, khlorida dan sedikit sel darah putih (limfosit dan monosit ) dan bahan-
bahan organik lainnya.

2.1.5.5 Pemeriksaan Cairan Serebrospinal


Lumbal pungsi dapat menilai gambaran cairan serebrospinal yang kemudian digunakan
untuk menilai kadar glukosa, kadar protein, sel radang dan tandatanda infeksi intra kranial
lainnya. Pemeriksaan lain yang juga dapat dilakukan dari hasil pungsi lumbal adalah kultur
penyebab infeksi. Hal ini sangat mendasar karena ketepatan pengobatan akan menentukan
prognostik gangguan saraf pusat pada anak.
Hasil pemeriksaan cairan serebrospinal dapat memberikan informasi sudah terjadi infeksi
intra kranial atau belum. Informasi ini penting dikarenakan keterlambatan penanganan
membedakan prognosis dan perkembangan mental selanjutnya.
Evaluasi yang ketat melalui penyaringan anamnesis sangat dibutuhkan, sebab klinisi
dapat salah mendiagnosis dikarenakan tidak melakukan anamnesis apakah pasien telah
menggunakan obat tertentu yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan cairan serebrospinal
seperti antibiotik. Penggunaan antibiotik sebelum dilakukan pemeriksaan pungsi lumbal dapat
merancukan hasil pemeriksaan berupa jumlah sel radang yang minimal dan hasil kultur yang
negatif palsu.

2.1.5.6 Nilai Rujukan Hasil Pemeriksaan Cairan Serebrospinal (CSS)


Seperti juga dalam pemeriksaan laboratorium darah, urin, ataupun yang lainya,
pemeriksaan cairan serebrospinal juga memiliki nilai normal. Nilai ini dapat dijadikan patokan
untuk menentukan apakah terjadi infeksi intracranial atau tidak.

Suharsono S, Putranti AH. Gambaran hasil Pemeriksaan cairan serebrospinal pada anak kejang
disertai demam menurut usia (Doctoral dissertation, Faculty of Medicine Diponegoro University)

2.1.6 Peredaran Darah di Otak


Darah mengangkut zat asam, makanan dan substansi lainnya yang diperlukan bagi fungsi
jaringan hidup yang baik. Kebutuhan otak sangat mendesak dan vital, sehingga aliran darah
yang konstan harus terus dipertahankan. Suplai darah arteri ke otak merupakan suatu jalinan
pembuluh-pembuluh darah yang bercabang-cabang, berhubungan erat satu dengan yang lain
sehingga dapat menjamin suplai darah yang adekuat untuk sel.
2.1.6.1 Peredaran Darah Arteri
Suplai darah ini dijamin oleh dua pasang arteri, yaitu arteri vertebralis dan arteri karotis
interna, yang bercabang dan beranastosmosis membentuk circulus willisi. Arteri karotis interna
dan eksterna bercabang dari arteri karotis komunis yang berakhir pada arteri serebri anterior dan
arteri serebri medial. Di dekat akhir arteri karotis interna, dari pembuluh darah ini keluar arteri
communicans posterior yang bersatu kearah kaudal dengan arteri serebri posterior. Arteri serebri
anterior saling berhubungan melalui arteri communicans anterior. Arteri vertebralis kiri dan
kanan berasal dari arteria subklavia sisi yang sama. Arteri subklavia kanan merupakan cabang
dari arteria inominata, sedangkan arteri subklavia kiri merupakan cabang langsung dari aorta.
Arteri vertebralis memasuki tengkorak melalui foramen magnum, setinggi perbatasan pons dan
medula oblongata. Kedua arteri ini bersatu membentuk arteri basilaris.

2.1.6.2 Peredaran Darah Vena


Aliran darah vena dari otak terutama ke dalam sinus-sinus duramater, suatu saluran
pembuluh darah yang terdapat di dalam struktur duramater. Sinus-sinus duramater tidak
mempunyai katup dan sebagian besar berbentuk triangular. Sebagian besar vena cortex
superfisial mengalir ke dalam sinus longitudinalis superior yang berada di medial. Dua buah
vena cortex yang utama adalah vena anastomotica magna yang mengalir ke dalam sinus
longitudinalis superior dan vena anastomotica parva yang mengalir ke dalam sinus transversus.
Vena-vena serebri profunda memperoleh aliran darah dari basal ganglia.
Snell Richard. Neuroanatomi Klinik untuk mahasiswa kedokteran. Edisi 5. Jakarta:EGC, 2006.

2.2 Definisi Perdarahan Intrakranial

Perdarahan intrakranial mengacu pada perdarahan yang terjadi didalam kepala atau
tengkorak namun belum tentu di dalam otak (intraserebral

Perdarahan intrakranial neonatus atau PIN ialah perdarahan patologis dalam rongga
kranium dan isinya pada bayi sejak lahir sampai umur 4 minggu. Sering Perdarahan
Intrakranial tak dikenal/dipikirkan karena gejala-gejalanya tidak khas.

( Garfunkel, C Lynn, et al. 2002. Mosby`s pediatric clinical advisor: instant diagnosis and
treatment. Elsevier Helath Sciences.)

(Snell R. Neuroanatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. 5th ed. Jakarta: EGC;
2005. p.397)
2.3 Etiologi
Menurut etiologi dapat dibedakan PIN yang traumatik/trauma kelahiran dan
nontraumatik.
2.3.1 Traumatik
Partus presipitatus, dimana terdapat kompresi yang tiba-tiba terhadap kepala bayi.
Persalinan sulit atau persalinan lama dimana terjadi molase yang begitu kuat pada
kepala.
Persalinan dengan alat
Cedera serius bisa terjadi jika penempatan forceps tidak sesuai sehingga cranium
mengalami deformasi secara berlebihan sehingga menyebabkan robekan duramater
dan sinus sehingga terjadi perdarahjan melalui telinga dan dapat mengakibatkan
kematian. Keadaan ini biasanya disertai dengan memar dan subgaleal hematom.
(Japardi Iskandar. Cedera kepala: Memahami aspek-aspek penting dalam pengelolaan
penderita cedera kepala. Jakarta:Bhuana Ilmu Populer, 2004. P. 121.)
Terdapat disproporsi cephalopelvik (CPD)
Perdarahan epidural, subdural atau subarachnoid traumatik terutama bisa terjadi
apabila ukuran kepala janin lebih besar dibandingkan jalan keluar pelvis ibu.
Perdarahan intracranial dapat timbul karena tekanan yang menetap oleh tuberositas
ischium terhadap tulang tengkorak bayi yang kemudian melekuk kearah dalam karena
tulang tengkorak masih elastis.
(Japardi Iskandar. Cedera kepala: Memahami aspek-aspek penting dalam pengelolaan
penderita cedera kepala. Jakarta:Bhuana Ilmu Populer, 2004. P. 121.)

2.3.2 Non Traumatik


Prematuritas
Perdarahan terjadi dengan melibatkan matriks germinal, suatu jalinan kapiler
imatur yang berada di kaput nucleus kaudatus. Perdarahan dapat terbatas pada matriks
germinal atau bahkan dapat meluas ke dalam ventrikel, atau melibatkan parenkim.
Lesi parenkimal hemoragik dipikirkan merupakan infark vena utama akibat aliran
vena terganggu. Perdarahan biasanya terjadi dalam 72 jam kelahiran. Matrix germinal
menghilang pada usia gestasi sekitar 32 minggu, sehingga perdarahan tidak umum
terjadi di atas usia gestasi ini.
Faktor-faktor atau kejadian-kejadian yang merupakan predisposisi pada PIN
adalah prematuritas, sindrom kegawatan pernapasan, jejas hipoksik iskemik atau
hipotensi, reperfusi pembuluh darah yang cedera, bertambahnya atau berkurangnya
integritas vaskuler, bertambahnya tekanan vena, pneumathorax, hipervolemia dan
hipertensi. Faktor-faktor ini mengakibatkan robeknya matriks germinal pembuluh
darah. Faktor-faktor jejas yang serupa (hipoksik-iskemik-hipotensif) dapat
menghasilkan ekogenitas intraparenkim korteks (EJP) akibat infark perdarahan dan
kemudian berkembang menjadi leukomalasia periventrikular (LPV). LPV dengan atau
tanpa PIN yang berat adalah akibat dari nekrosis substansia putih (alba) periventrikular
dan cedera pada serabut-serabut kortikospinal pada kapsula interna.
Richard E Behrmen, Robert M Kliegman, Ann M Arvin. Buku kesehatan anak nelson.
Vol 1. Edisi 15. Jakarta: EGC, 1999.)
Gambar A. germinal matriks pada bayi prematur dengan jaringan lunak dan gelatin,
dengan dinding yang tipis dan tidak cukup kuat untuk menampung aliran darah.
Gambar B. pembuluh darah pada aterm dengan dinding yang tebal.

Perdarahan intracranial pada bayi akibat defisiensi kompleks protrombin


Perdarahan intrakranial pada bayi akibat defisiensi kompleks protrombin
merupakan salah satu manifestasi dari sindrom Hemorrhagic Disease of the Newborn
(HDN)/ penyakit gangguan perdarahan pada bayi. Perdarahan intrakranial yang terjadi
dapat berupa hematoma subdural, perdarahan intraserebral, intraventrikular maupun
sub arachnoid.
Kompleks protrombin merupakan sebutan bagi faktor II, VII ,IX, X dalam sistem
pembekuan darah (koagulasi). Vitamin K berperan pada metabolisme kompleks
protrombin ini dan proses tersebut terjadi di dalam hati. Defisiensi kompleks
protrombin dapat terjadi akibat defisiensi vitamin K.
Patofisiologi :
Secara alami terdapat 2 jenis vitamin K, yaitu vitamin K1 (Phyloquine yang
berasal dari tumbuhan, larut dalam lemak) vitamin K2 (menaquinone yang berasal dari
flora saluran cerna, larut dalam air) Vitamin K2 lebih lama disimpan di dalam hati
daripada vitamin K1.
Orang dewasa mendapat setengah kebutuhan vitamin K dari diet dan setengah
lagi dari flora saluran cerna. Untuk bayi yang baru lahir vitamin K didapatkan dari ibu
dalam jumlah yang kecil. Selanjutnya sumber utama vitamin K pada bayi berasal dari
makanan (susu) dan hanya sedikit dari flora saluran cerna. Kadar kompleks
protrombin dalam tubuh bayi akan menurun pada usia 1-2 minggu dan menjadi normal
pada usia 6 minggu sampai 6 bulan. Pada bayi yang menerima diet hanya dari ASI dan
tiak mendapatkan suntikan vitamin K post natal rentan untuk mengalami perdarahan
akibat defisiensi kompleks protrombin.

Sadewo Wismaji. Sinopsis ilmu bedah saraf. Departemen Bedah Saraf FKUI-RSCM:
Sagung Seto: Jakarta, 2002. p 196-7

Lisseuer Tom, Fanaroff Avroy. At a Glance: neonatology. Jakarta: Erlangga, 2008.


Roberton NRC and Howart P. Hypernatremia as a Cause of Intracranial
Haemorrhage. Arch Dis Child. 1975; 50: 938-41
Banerjee CK, Narang A and Bhakov ON. Cerebral Intraventricular Haemorrhage and
Autopsy. Indian Ped. 1977; 14: 115-6.
Volpe JJ. Neonatal Periventricular Haemorrhage: Past, Present and Future. J Paed.
1978; 92: 693-5.
2.4 Epidemiologi
Holt menemukan pada otopsi bayi-bayi lahir mati dan yang meninggal dalam 2
minggu pertama, 30% merupakan perdarahan intrak ranial. Sedangkan, menurut Saxena,
13,1% kematian perinatal disebabkan oleh perdarahan intrakranial. Angka kematian akibat
perdarahan intrakranial pada bayi prematur 5 kali lebih tinggi daripada bayi cukup bulan
(BCB). Perbandingan insidensi antara laki-laki dan perempuan yaitu 5 : 2,7 (menurut
Saxena) 1,9 : 1 (Banerjee)

Insidensi PIN bertambah dengan menurunnya berat badan lahir 60-70% pada bayi
500-750 g dan 10-20% pada bayi 1.000-1500 g. PIN jarang dijumpai pada saat lahir,
namun 80-90% kasus terjadi antara saat lahir dan 3 hari pertama. Dua puluh sampai empat
puluh persen kasus memburuk selama umur 1 minggu pertama. Perdarahan lambat dapat
terjadi pada 10-15% penderita sesudah umur 1 minggu. PIN yang baru mulai sesudah umur
satu bulan jarang terjadi, tanpa memandang berat badan bayi. Richard E Behrmen, Robert
M Kliegman, Ann M Arvin. Buku kesehatan anak nelson. Vol 1. Edisi 15. Jakarta: EGC,
1999.)

Perdarahan otak umumnya terjadi pada bayi dalam rentang umur 2 minggu sampai 6
bulan, dengan akibat angka kecacatan 30-50% dengan Angka kematian 10-50%. sedangkan
data dari bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM (tahun 1990-2000) menunjukkan
terdapatnya 21 kasus perdarahan intrakranial, diantaranya 17 (81%) mengalami komplikasi
perdarahan intrakranial (catatan medik IKA RSCM 2000).

Saxena HMK, Mithilesh C, Santos KB and Gosh S. Intracranial Haemorrhage, A Cause of Per
inatal Mortality. Indian Ped. 1978; 15: 403
Behrman RE and Driscoll JM. Neonatology. St Louis: CV Mosby Co. 1973; pp 527-9.
Sadewo Wismaji. Sinopsis ilmu bedah saraf. Departemen Bedah Saraf FKUI-RSCM: Sagung
Seto: Jakarta, 2002. p 196-7

2.5 Klasifikasi
Terdapat empat tipe perdarahan intrakranial yang dapat dialami oleh bayi, diantaranya;
perdarahan perdarahan subdural, perdarahan subarachnoid, perdarahan intraserebral dan
perdarahan periventrikuler-intraventikuler (PVH-IVH). PVH-IVH adalah perdarahan
intrakranial yang paling sering terjadi.
2.5.1 Perdarahan Subdural
Perdarahan ini umumnya terjadi akibat robekan tentorium di dekat falks serebri.
Keadaan ini karena molase kepala yang berlebihan pada letak vertex, letak muka dan
partus lama. Darah terkumpul di fosa posterior dan dapat menekan batang otak.
Manifestasi klinis hampir sama dengan enselopati hipoksik iskemik ringan sampai
sedang. Bila terjadi penekanan pada batang otak terdapat pernapasan yang tidak teratur,
kesadaran menurun, tangis melengking, ubun-ubun besar membonjol dan kejang.
Pendarahan pada parenkim otak kadang-kadang dapat menyertai perdarahan subdural.
Deteksi kelainan ini dengan pemeriksaan USG atau CT scan. Perdarahan yang kecil tidak
membutuhkan pengobatan, tetapi pada perdarahan yang besar dan menekan batang otak
perlu dilakukan tindakan bedah untuk mengeluarkan darah. Mortalitas tinggi dan pada
bayi hidup biasanya terdapat gejala sisa neurologis.
Kosim M Soleh, Yunanto Ari, Dewi Rizalya, dkk. Buku ajar neonatologi. Edisi 1. Jakarta:
IDAI, 2008)
Perdarahan subdural mungkin sekali selalu disebabkan oleh trauma kapitis
walaupun mungkin traumanya tak berarti. Yang sering berdarah ialah bridging veins,
karena tarikan ketika terjadi pergeseran rotatorik pada otak. Perdarahan subdural paling
sering terjadi pada permukaan lateral dan atas hemisferium dan sebagian di daerah
temporal sesuai dengan bridging veins. Karena perdarahan subdural sering oleh
perdarahan vena, maka darah yang terkumpul berjumlah hanya 100 sampai 200 cc saja.
Gejala-gejala tersebut berupa kesadaran yang menurun, organic brain syndrome,
hemiparesis ringan, hemihipestesia, adakalanya epilepsi fokal dengan adanya tanda-
tanda papil edema.
Sadewo Wismaji. Sinopsis ilmu bedah saraf. Departemen Bedah Saraf FKUI-RSCM:
Sagung Seto: Jakarta, 2002. p 196-7
Perdarahan subdural

2.5.2 Perdarahan subarachnoid


Perdarahan yang sering dijumpai pada bayi baru lahir, kemungkinan karena robekan
vena superfisial akibat partus lama. Pada mulanya bayi tampak baik, tiba-tiba dapat
terjadi kejang pada hari pertama atau kedua. Pungsi lumbal harus dikerjakan untuk
mengetahui apakah terdapat darah di dalam cairan serebrospinal. Darah biasanya terdapat
di fisura interhemisfer dan resesus supra dan infra tentorial. Kemudian bayi tampak
seperti ubun-ubun besar tegang dan membonjol, muntah, muntah, tangis yang
melengking dan kejang-kejang. Pemeriksaan CT-scan sangat berguna untuk menentukan
letak dan luasnya perdarahan. Pemeriksaan pembekuan darah pada dikerjakan untuk
menyingkirkan kemungkinan koagulopati.

Kosim M Soleh, Yunanto Ari, Dewi Rizalya, dkk. Buku ajar neonatologi. Edisi 1. Jakarta: IDAI,
2008)
2.5.3 Perdarahan intraserebral
Perdarahan intraserebral adalah perdarahan yang terjadi di bagian lateral ventrikel
ke tiga dan keempat. Terjadi perdarahan plexus koroid dan pemanjangan dari matriks
subependimal atau thalamus. Intraparekimal hemorrhage adalah perdarahan yang terjadi
diantara jarinngan parenkim otak. Biasanya terjadi edeme vasogenik dalam jumlah yang
besar.
Perdarahan intraserebral akibat trauma kapitis yang berupa hematom hanya
berupa perdarahan kecil-kecil saja. Perdarahan semacam itu sering terdapat di lobus
frontalis dan temporalis.
Jika penderita dengan perdarahan intraserebral luput dari kematian, perdarahannya
akan direorganisasi dengan pembentukan gliosis dan kavitasi. Keadaan ini bisa
menimbulkan manifestasi neurologic sesuai dengan fungsi bagian otak yang terkena.
Bayi preterm GMH-IVH sering juga mengalami infark karena perdarahan vena
yang kemudian berperan sebagai fokus kejang. Kejang pada bayi aterm dengan apgar
skor normal yang tetap sadar diantara kejang seringkali disebabkan oleh lesi infark fokal
arteri serebral media. Kondisi ini sering membutuhkan identifikasi dengan MRI.
Kosim M Soleh, Yunanto Ari, Dewi Rizalya, dkk. Buku ajar neonatologi. Edisi 1.
Jakarta: IDAI, 2008)
2.5.4 Perdarahan periventrikuler-intraventrikuler
Perdarahan periventrikuler-intraventikuler umum terjadi pada bayi-bayi kurang
bulan. karena matriks germinal (daerah dengan vaskularisasi tinggi berbatasan dengan
daerah vebtrikel otak) ada sampai kehamilan 35 minggu. Pada saat perdarahan keluar
melalu matriks germinal dan masuk ke system ventrikulear, disebut perdarahan
intraventikuler (IVH).
IVH ringan jika tidak ada pelebaran ventrikel.
IVH sedang jika ventrikel melebar.
IVH berat jika perdarahan meluas ke parenkim otak.
Perdarahan sedang dan berat disertai dengan peningkatan insidesn kesakitan dan
kematian. Banyak yang akan mengalami hidrosefalus pasca perdarahan dalam waktu
2-3 minggu sejak perdarahan semula. Beberapa kasus hidrosefalus akan sembuh
spontan, sedangkan yang lain memerlukan tindakan drainase. Penundaan perkembangan
atau deficit neurologis atau keduanya akan terjadi pada dua pertiga bayi dengan IVH
sedang dan berat.
Gambaran klinis perdarahan intraventrikuler tergantung kepada beratnya penyakit
dan saat terjadinya perdarahan. Pada bayi yang mengalami trauma adiksi biasanya
kelainan timbul pada hari pertama atau kedua setelah lahir.
Pada bayi kurang bulan dapat mengalami perdarahan hebat, gejala timbul dalam
waktu beberapa menit sampai beberapa jam berupa gangguan nafas kejang tonik umum,
pupil terfiksasi, kuadrapiresis flaksid, deserebrasi dan stupor atau koma yang dalam.
Pada perdarahan sedikit, gejala timbul dalam beberapa jam sampai beberapa hari
sampai penurunan kesadaran, kurang aktif, hipotonia, kelainan posisi dan pergerakan
bola mata seperti deviasi, fiksasi vertical dan horisontal disertai dengan gangguan
respirasi. Bila keadaan memburuk akan timbul kejang. Bayi cukup bulan biasanya
disertai cepat terutama natrium bikarbonat dan asfiksia. Manifestasi klinis yang timbul
bervariasi mulai dari asimtomatik sampai gejala yang hebat. Gejala neurologis yang
paling umum dijumpai adalah kejang yang dapat bersifat fokal, multifocal atau umum.
Disamping itu terdapat manifestasi lain berupa apnea, sianosis, letargi, jitterness,
muntah, ubun-ubun besar membonjol, tangis melengking dan perubahan tonus otot.
Untuk menegakkan diagnosis perdarahan intravenrikular yang pasti dilakukan pungsi
lumbal, pemeriksaan darah misalnya HB, Ht, dan trombosit, pemeriksaan EEG dan
USG. Pemeriksaan USG mempunyai nilai diagnostik yang tidak invasif, aman bayi dan
relatif murah. USG digunakan untuk menentukan saat timbulnya perdarahan, memantau
perubahan yang terjadi dan meramalkan akibat perdarahan pada masa akut. Kosim M
Soleh, Yunanto Ari, Dewi Rizalya, dkk. Buku ajar neonatologi. Edisi 1. Jakarta: IDAI,
2008)
2.6 Patogenesis
Pada trauma kelahiran, perdarahan terjadi oleh kerusakan/robekan pembuluh
pembuluh darah intrakranial secara langsung. Pada perdarahan yang bukan karena trauma
kelahiran, faktor dasar ialah prematuritas; pada bayi-bayi tersebut, pembuluh darah otak
masih embrional dengan dinding tipis, jaringan penunjang sangat kurang dan pada
beberapa tempat tertentu jalannya berkelok kelok, kadang kadang membentuk huruf U
sehingga mudah sekali terjadi kerusakan bila ada faktor faktor pencetus
(hipoksia/iskemia). Keadaan ini terutama terjadi pada perdarahan intraventrikuler/
periventrikuler.
Perdarahan epidural/ ekstradural terjadi oleh robekan arteri atau vena meningia media
antara tulang tengkorak dan duramater. Keadaan ini jarang ditemukan pada neonatus.
Tetapi perdarahan subdural merupakan jenis PIN yang banyak dijumpai pada BCB (bayi
cukup bulan). Di sini perdarahan terjadi akibat pecahnya vena-vena kortikal yang
menghubungkan rongga subdural dengan sinus-sinus pada duramater. Perdarahan subdural
lebih sering pada BCB (bayi cukup bulan) daripada BKB (bayi kurang bulan) sebab pada
BKB vena-vena superfisial belum berkembang baik dan mulase tulang tengkorak sangat
jarang terjadi. Perdarahan dapat berlangsung perlahan-lahan dan membentuk hematoma
subdural. Pada robekan tentorium serebeli atau vena galena dapat terjadi hematoma
retroserebeler. Gejala-gejala dapat timbul segera dapat sampai berminggu-minggu,
memberikan gejala gejala kenaikan tekanan intrakranial. Dengan kemajuan dalam bidang
obstetri, insidensi perdarahan subdural sudah sangat menurun.
Pada perdarahan subaraknoid, perdarahan terjadi di rongga subaraknoid yang biasanya
ditemukan pada persalinan sulit. Adanya perdarahan subaraknoid dapat dibuktikan dengan
fungsi likuor. Pada perdarahan intraserebral/intraserebeler, perdarahan terjadi dalam
parenkim otak, jarang pada neonatus karena hanya terdapat pada trauma kepala yang
sangat hebat (kecelakaan Perdarahan intraventrikuler dalam kepustakaan ada yang
gabungkan bersama perdarahan intraserebral yang disebut perdarahan periventrikuler.(
Dari semua jenis PIN, perdarahan periventrikuler meme gang peranan penting, karena
frekuensi dan mortalitasnya tinggi pada bayi prematur. Sekitar 7590% perdarahan peri
ventrikuler berasal dari jaringan subependimal germinal matriks/jaringan embrional di
sekitar ventrikel lateral.
Pada perdarahan intraventrikuler, yang berperanan penting ialah hipoksia yang
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah otak dan kongesti vena. Bertambahnya aliran
darah ini, meninggikan tekanan pembuluh darah otak yang diteruskan ke daerah anyaman
kapiler sehingga mudah ruptur. Selain hipoksia, hiperosmolaritas pula dapat menyebabkan
perdarahan intraventrikuler. Hiperosmolaritas antara lain terjadi karena hipernatremia
akibat pemberian natrium bikarbonat yang berlebihan/plasma ekspander. Keadaan ini dapat
meninggikan tekanan darah otak yang diteruskan ke kapiler sehingga dapat pecah.
(Behrman RE and Driscoll JM. Neonatology. St Louis: CV Mosby Co. 1973; pp 527-9).
Cermin Dunia Kedokteran No. 41, 1986 43
Leksmono PR, Hafid A dan Sajid DM. Cedera Otak dan Dasar-dasar Pengelolaannya.
Cermin Dunia Kedokteran. 1984; 34: 32-4).
Volpe JJ. Neonatal Periventricular Haemorrhage: Past, Present and Future. J Paed. 1978;
92: 693-5).
Roberton NRC and Howart P. Hypernatremia as a Cause of Intracranial Haemorrhage.
Arch Dis Child. 1975; 50: 938-41

2.7 Diagnosis
2.7.1 Anamnesis
a. Riwayat Kehamilan
Hipertensi dalam kehamilan,
Pre-eklampsia,
Eklampsia,
Pertumbuhan janin terhambat
Diabetes mellitus gestasional
b. Riwayat persalinan
Prematuritas
Kelahiran dengan alat (vakum atau forsep)
Sectio caesarea/spontan
CPD
b. Riwayat dahulu:
Riwayat di ayun-ayun
Riwayat jatuh
c. Riwayat sekarang:
Kejang,
Muntah,
Penurunan kesadaran

2.7.2 Pemeriksaan Fisik


Berkurangnya atau tidak adanya refleks moro, tonus otot jelek, letargi, dan
mengantuk
Periode apnea, pucat sianosis, gagal menghisap dengan baik, tanda-tanda kelainan
mata, menangis melengking bernada tinggi, kedutan otot, konvulsi, dan
menurunnya tonus otot, paralisis dan asidosis metabolic, syok dan menurunnya
hematokrit atau hematokrit tidak meningkat post tranfusi menunjukkan indikasi
pertama. Fontanela dapat tegang dan cembung, deperesi neurologis yang berat
memburuk menjadi koma sesudah terjadinya perdarahan intraventrikuler yang
lebih berat dan perdarahannya terkait korteks serebri dan dilatasi ventricular.
Richard E Behrmen, Robert M Kliegman, Ann M Arvin. Buku kesehatan anak
nelson. Vol 1. Edisi 15. Jakarta: EGC, 1999.)
Iritasi korteks serebri berupa kejang-kejang, irritable, twitching, opistotonus.
Gejala-gejala ini baru timbul beberapa jam setelah lahir dan menunjukkan adanya
perdarahan subdural , kadang-kadang juga perdarahan subaraknoid oleh robekan
tentorium yang luas.
Mata terbuka dan hanya memandang ke satu arah tanpa reaksi. Pupil melebar,
refleks cahaya lambat sampai negatif. Kadang-kadang ada perdarahan retina,
nistagmus dan eksoftalmus.
Apnea: berat dan lamanya apnea bergantung pada derajat perdarahan dan
kerusakan susunan saraf pusat. Apnea dapat berupa serangan diselingi pernapasan
normal/takipnea dan sianosis intermiten.
Cephalic cry (menangis merintih).
Gejala gerakan lidah yang menjulur ke luar di sekitar bibir seperti lidah ular
(snake like flicking of the tongue) menunjukkan perdarahan yang luas dengan
kerusakan pada korteks
Tonus otot lemah atau spastis umum. Hipotonia dapat berakhir dengan kematian
bila perdarahan hebat dan luas. Jika perdarahan dan asfiksia tidak berlangsung
lama, tonus otot akan segera pulih kembali. Tetapi bila perdarahan berlangsung
lebih lama, flaksiditas akan berubah menjadi spastis yang menetap. Kelumpuhan
lokal dapat terjadi misalnya kelumpuhan otot-otot pergerakan mata, otot-otot
muka/anggota gerak (monoplegi/hemiplegi) menunjukkan perdarahan subdural/
parenkim.
Gejala-gejala lain yang dapat ditemukan:
1. Gangguan kesadaran (apati, somnolen, sopor atau koma),

2. Tidak mau minum,

3. Menangis lemah,

4. Nadi lambat/cepat.

5. Kadang-kadang ada hipotermi yang menetap.

Apabila gejala-gejala tersebut di atas ditemukan pada bayi prematur yang 2448
jam sebelumnya menderita asfiksia, maka pencegahan infeksi dapat dipikirkan.
Berdasarkan perjalanan klinik, Perdarahan Intrrakranial Neonatus dapat dibedakan 2
sindrom :
1. Saltatory Syndrome
Gejala klinik dapat berlangsung berjam-jam/berhari-hari yang kemudian
berangsur-angsur menjadi baik. Dapat serabuh sempurna tetapi biasanya dengan gejala
sisa.
2. Catastrophic Syndrome.
Gejala klinik makin lama makin berat, berlangsung beberapa menit sampai
berjam-jam dan akhirnya meninggal.
( Volpe JJ. Neonatal Periventricular Haemorrhage: Past, Present and Future. J
Paed. 1978; 92: 693-5.)
Cedera Otak dan Dasar-dasar Pengelolaannya. Cermin Dunia Kedokteran. 1984;
34: 32-4.)
Schaffer and Avery. Intracranial Haemorrhage, Disease of New- born. 3rd ed.
Philadelphia-London-Toronto: WB Saunders Co. 1971; pp 601-5.
Richard E Behrmen, Robert M Kliegman, Ann M Arvin. Buku kesehatan anak
nelson. Vol 1. Edisi 15. Jakarta: EGC, 1999.)
2.7.3 Pemeriksaan Penunjang
2.7.3.1 Pemeriksaan Laboratorium
Pungsi lumbal
Tujuan pungsi lumbal pada PIN untuk diagnostik, sebagai pengobatan (mengurangi
tekanan intrakranial) dan untuk mencegah komplikasi hidrosefalus (fungsi lumbal
berulang-ulang). Pada pemeriksaan likuor dapat dijumpai tekanan yang meninggi, warna
merah/santokrom, kadar protein meninggi, kadar glukosa menurun. Bila cairan likuor
berdarah, dianjurkan CT Scan untuk mengetahui lokalisasi dan luasnya perdarahan.
Pungsi lumbal merupakan indikasi bila ada tanda-tanda kenaikan tekanan
intrakranial atau penjelekan keadaan klinis untuk mengidentifikasi perdarahan
subarachnoid tersamar atau untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis bakteri, cairan
serebrospinal biasanya mempunyai kadar protein yang meningkat dengan banyak sel
darah merah. Tidak jarang dijumpai hipoglikorakia dan limfositosis ringan. Karena pada
perjalanan persalinan normal dan bahkan persalinan sesaria sering terjadi sejumlah kecil
perdarahan yang masuk ke dalam cairan serebrospinal, maka adanya sejumlah kecil sel
darah merah atau santokromia ringan pada cairan subaracnoid tidak perlu menandakan
suatu perdarahan intrakranial yang berarti. Sebaliknya cairan subarachnoid bisa tampak
sangat jernih pada perdarahan subdural atau perdarahan intraserebral yang berat bila tidak
ada hubungan dengan ruang subaraknoid.
Richard E Behrmen, Robert M Kliegman, Ann M Arvin. Buku kesehatan anak nelson.
Vol 1. Edisi 15. Jakarta: EGC, 1999.)
Pemeriksaan Darah
Pada pemeriksaan darah dapat ditemukan:
- Tanda-tanda anemia posthemoragik
- Analisa gas darah (O2 dan CO2 )
- Gangguan pembekuan darah terutama pada PIN yang non traumatik. Mc Donald
dkk mendapat kadar rendah fibrinogen, trombosit, antitrombin III faktor VIII .
(Mc Donald MM, Johnson ML, Rumack CM, Koops BL, Guggen- heim MA and
Hathaway WE. Role of Coagulopathy in Newborn Intracranial Haemorrhage.
Pediatrics. 1984;74: 26-7.)

2.7.3.2 Pemeriksaan Radiologi


a. Foto Polos Kepala

Foto kepala tidak dapat menunjukkan adanya perdarahan, hanya fraktur yang sukar
dibedakan dengan sutura, lipatan- lipatan kulit kepala dan mulase.

b. USG
Banyak tanda PIN yang tidak spesifik atau tidak terlihat. Oleh karenanya dianjurkan pada
bayi prematur harus dievaluasi dengan ultrasonografi serebral real time melalui fontanela
anterior untuk deteksi PIN. Bayi dengan berat badan dibawah 1.000 g memiliki resiko tinggi
untuk mengalami PIN dan harus diperiksa dalam 3-5 hari pertama dan periksa lagi pada
minggu berikutnya. Pemeriksaan ultrasonografi juga akan mendeteksi lesi LPV simetris
prakistik dan kistik, dan lesi ekogenik intraparenkim asimetris dari infark perdarahan korteks.
Lebih jauh, perkembangan yang lambat dari atrofi korteks atau prosensefali dan keparahan
progresivitas atau regresi hidrosefalus pasca perdarahan dapat ditentukan dengan
ultrasonografi.
Empat tingkat bertambahnya keparahan PIV ditentukan dengan ultrasonografi untuk bayi
BBLR. Tingkat I adalah perdarahan yang terbatas pada matriks germinal daerah subependim
atau pada kurang dari 10% ventrikel, tingkat II adalah perdarahan intraventrikuler dengan
pengisian ventrikel 10 -50%; tingkat III keterlibatanya lebih dari 50% disertai dengan dilatasi
ventrikel; tingkat IV meliputi tingkat III dengan lesi intraparenkim kortikoventrikular yang
tidak perlu adanya perluasan langsung PIV. Tujuh puluh lima persen bayi dengan PIV adalah
tingkat I-II. PIV berat tidak bergantung pada imaturitas dan sindrom kegawatan pernapasan
(RDS). Bayi imatur tanpa RDS mempunyai resiko PIV sedangkan bayi dengan RDS berat
mempunyai resiko lebih besar daripada bayi yang menderita RDS ringan atau tanpa RDS
umur kehamilan yang sama.
Berdasarkan USG, Burstein dkk menentukan derajat perdarahan intraventrikuler
sebagai berikut:
1. Derajat 0 : tidak ada perdarahan intrakranial.
2. Derajat I : perdarahan hanya terbatas pada daerah subependimal.

3. Derajat II : perdarahan intraventrikuler.

4. Derajat III : perdarahan intraventrikuler + dilatasi ventrikel.

5. Derajat IV: perdarahan intraventrikuler + dilatasi ventrikel


dengan perluasan ke parenkim otak.
Derajat I, II umumnya ringan, pada pemeriksaan ulangan 34 minggu kemudian
biasanya tidak ditemukan kelainan lagi. Derajat III ,IV umumnya berprognosis
buruk, bila tidak meninggal akan disertai komplikasi berat seperti hidrosefalus.

c. CT scan
CT scan diindikasikan pada bayi cukup bulan bila terdapat diagnosis yang dicurigai,
karena ultrasonografi tidak dapat menunjukkan perdarahan atau infark intraparenkim.
Richard E Behrmen, Robert M Kliegman, Ann M Arvin. Buku kesehatan anak nelson.
Vol 1. Edisi 15. Jakarta: EGC, 1999.)
1. Perdarahan subdural

Gambaran hiperdens yang berupa bulan sabit


2. Perdarahan sub arachnoid

Gambaran hiperdens pada ruang basal subarachnoid or sepanjang sulkus serebralis

3. Perdarahan Intraserebral

Gambaran daerah hiperdens pada area serebral

4. Perdarahan intraventrikular
Gambaran perdarahan intraventrikular dengan adanya daerah hiperdens pada area
ventrikel
Barkovich AJ. Pediatric neuroimaging, Edisi kedua. New York: Raven Pres, 1995. h. 619-
53

2.8 Diagnosis Banding


Diagnosis PIN sangat sukar, terutama bila tidak ada hubungan dengan trauma
kelahiran karena gejala-gejalanya tidak khas. Khusus pada neonatus/BKB, sekitar 20%
kasus dengan gejala- gejala yang diduga PIN, ternyata bukan. Oleh karena itu, PIN harus
didiagnosis banding dengan beberapa penyakit pada neonatus yang memberikan gejala
gejala yang hampir sama, misalnya:
Infeksi pada bayi baru lahir/neonatus yang dapat memberikan gejala gejala
kesukaran bernapas (apnea, takipnea, sianosis), lemah (letargi), kejang kejang,
muntah dan lain-lain. Untuk membedakan dengan PIN yaitu riwayat persalinan
seperti ketuban pecah dini, infeksi perinatal pada ibu, ketuban keruh/berbau. Yang
agak khas pada infeksi ialah hepatosplenomegali, ikterus, pneumoni Selain itu
leukositosis.
Tetanus neonatorum dengan kejang kejang, dibedakan dengan PIN karena partus
tetanus neonatorum umumnya oleh dukun. Tetanus neonatorum hampir selalu
terjadi pada akhir minggu pertama,bayi mula-mula minum baik dan tiba-tiba sukar
minum karena trismus dan gejala lain.
Penyakit metabolisme (hipoglikemi) yang dapat memberikan kejang letargi.
Ibunya penderita DM dan perlu pemeriksaan kadar glukosa darah bayi.
Kecanduan obat dari ibu, antara lain bayi kejang kejang akibat ketergantungan
vitamin B6 karena ibunya sebelumnya mendapat pengobatan vitamin B6 dosis
tinggi. Dibedakan dengan PIN berdasarkan anamnesis dan pengobatan
exjuvantibus pada bayi.
Kelainan kongetinal saraf pusat memberikan gejala kejang dan letargi. Biasanya
disertai kelainan kongenital lain, fungsi lumbal pada PIN kadang-kadang ada
perdarahan.
Respiratory distress of the newborn dengan apnea, sianosis, retraksi sternum dan
kosta, merintih (expiratory grunting), bradikardi, hipotermi, kejang kejang,
hipotoni. Dibedakan dengan PIN yaitu gejala gangguan pernapasan dan riwayat
persalinan (ibu toksemia, seksio sesar, perdarahan antepartum dan lain-lain).
Purnomo Suryantoro, Moch Bachtiar dan Achmad Suryono. Penanganan Infeksi Pada Bayi
Baru Lahir. Kumpulan Naskah Ilmiah Simposium dan Seminar Neonatologi, Jakarta
1977.).
2.9 Penatalaksanaan
2.9.1 Perawatan
Bayi dirawat dalam inkubator yang memudahkan observasi kontinu dan
pemberian O2.
Perlu diobservasi secara cermat: suhu tubuh, derajat kesadaran, besarnya dan
reaksi pupil, aktivitas motorik, frekuensi pernapasan, frekuensi jantung
(bradikardi/takikardi), denyut nadi dan diuresis. Diuresis kurang dari 1
ml/kgBB/jam berarti perfusi ke ginjal berkurang, diuresis lebih dari 1
ml/kgBB/jam menunjukkan fungsi ginjal baik.
Menjaga jalan napas tetap bebas, apalagi kalau penderita dalam koma diberikan
02. Bayi dalam posisi miring untuk mencegah aspirasi serta penyumbatan larings
oleh lidah dan kepala agak ditinggikan untuk mengurangi tekanan vena serebral.
Pemberian vitamin K serta transfusi darah dapat dipertimbangkan
Infus untuk pemberian elektrolit dan nutrisi yang adekuat berupa larutan glukosa
(5--10%) dan NaCl 0,9% 4:1 atau glukosa 5-10%dan Nabik 1,5% 4:1.
Arhan Arief. Renjatan Pada Neonatus. BIKA I KUI. 1983; hal 36-40
2.9.2 Medikamentosa
Valium/luminal bila ada kejang-kejang.Dosis valium 0,30,5 mg/kgBB, tunggu 15
menit, kalau belum berhenti diulangi dosis yang sama; kalau berhenti diberikan
luminal 10 mg/kgBB (neonatus 30 mg), 4 jam kemudian luminal per os 8
mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis selama 2 hari, selanjutnya 4 mg/kgBB dibagi
dalam 2 dosis sambil perhatikan keadaan umum seterusnya.

Kortikosteroid berupa deksametason 0,51 mg/kgBB/24 jam yang mempunyai


efek baik terhadap hipoksia dan edema otak.

Antibiotika dapat diberikan untuk mencegah infeksi sekunder, terutama bila ada
manipulasi yang berlebihan.

Pemberian cairan hipertonis Salin 3% denga dosis antar 0,1-1,0 cc/kgBB perjam

Dari penelitian double blind crossover membandingkan penggunaan saline 3%


dan 0,9% pada anak dengan cedera otak berat menyebutkan cairan hipertonis salin
3% dapat menurunkan TIK dan mengurangi intervensi yang lain (thiopental dan
hiperventilasi). Khana et al, juga menyebutkan terjadi penurunan yang signifikan
pada TIK dan peningkatan CPP selama pemberian saline 3%. Sedangakan dalam
penelitian Peterson dkk, menyebutkan cairan hipertonis salin 3% efektif dalam
menurunkan TIK.

Pemberian manitol efektif dalam dosis bolus antara 0,25g/kgBB hingga 1g/kgBB.

Manitol merupakan pilihan dalam managemen peningkatan TIK dan cedera otak.
Manitol dapat menurunkan tekanan intrakranial melalui dua mekanisme: manitol
secara cepat menurunkan TIK dengan menaikkan viskositas darah dengan
mengurangi resultante diameter pembuluh darah disertai refleks vasokonstriksi.
Manitol menimbulkan efek yang cepat pada viskositas darah namun bersifat
sementara (<75 menit). Penggunaan manitol juga dapat menurunkan TIK melalui
efek osmotic, yang mana berkembang secara perlahan (lebih dari 15-30 menit) ,
mengikuti pergerakan air secara gradual dari parenkim ke sirkulasi.
2.9.3 Nonmedikamentosa
Fungsi lumbal untuk menurunkan tekanan intrakranial, mengeluarkan darah,
mencegah terjadinya obstruksi aliran likuor dan mengurangi efek iritasi pada permukaan
korteks.
2.9.4 Tindakan bedah darurat

Bila perdarahan/hematoma epidural walaupun jarang dilakukan explorative


Burrhole dan bila positif dilanjutkan dengan kraniotomi, evakuasi hematoma
dan hemostasis yang cermat .

Pada perdarahan/hematoma subdural, tindakan explorative burrhole


dilanjutkan dengan kraniotomi, pembukaan duramater, evakuasi hematoma
dengan irigasi menggunakan cairan garam fisiologik. Pada perdarahan
intraventrikuler karena sering terdapat obstruksi aliran likuor, dilakukan shunt
antara ventrikel lateral dan atrium kanan.

2.10 Prognosis

Karena kemajuan obstetri, Perdarahan Intrakranial Neonatus oleh trauma kelahiran sudah
sangat berkurang. Mortalitas Perdarahan Intrakranial Neonatus non traumatik 5070%.
Prognosis Perdarahan Intrakranial Neonatus bergantung pada lokasi dan luasnya perdarahan,
umur kehamilan, cepatnya didiagnosis dan pertolongan. Pada perdarahan epidural terjadi
penekanan pada jaringan otak ke arah sisi yang berlawanan, dapat terjadi herniasi unkus dan
kerusakan batang otak. Keadaan ini dapat fatal bila tidak mendapat pertolongan segera.

Pada penderita yang tidak meninggal, dapat disertai spastisitas, gangguan bicara atau
strabismus. Kalau ada gangguan serebelum dapat terjadi ataksi serebeler. Perdarahan yang
meliputi batang otak pada bagian formasi retikuler, memberikan sindrom hiperaktivitet. Pada
perdarahan subdural akibat trauma, menurut Rabe dkk, hanya 40% dapat sembuh sempurna
setelah dilakukan fungsi subdural berulang-ulang atau tindakan bedah.

Mealy J. Infantile Subdural Hematomas. The Ped Clinics North


Perdarahan subdural dengan hilangnya kesadaran yang lama, nadi cepat, pernapasan
tidak teratur dan demam tinggi, mempunyai prognosis jelek.

Pada perdarahan intraventrikuler, mortalitas bergantung pada derajat perdarahan.

Pada derajat 12 (ringan-sedang), angka kematian 1025%, sebagian besar sembuh


sempurna, sebagian kecil dengan sekuele ringan.

Pada derajat 34 (sedang-berat), mortalitas 5070% dan sekitar 30% sembuh dengan
sekuele berat. Sekuele dapat berupa cerebral palsy, gangguan bicara, epilepsi,
retardasi mental dan hidrosefalus. Hidrosefalus merupakan komplikasi paling sering
(44%) dari perdarahan periventrikuler

Volpe JJ. Neonatal Periventricular Haemorrhage: Past, Present and Future. J Paed. 1978; 92:
693-5.

Penderita dengan perdarahan massif akibat robekan tentorium atau falks serebri,
keadaannya cepat memburuk dan dapat mati sesudah lahir. Perdarahan dalam uterus akibat
trombositopenia idiopatik ibu atau lebih sering, trombositopenia alloimun janin dapat
menimbulkan perdarahan serebral berat atau suatu kista pronsefalus sesudah penyembuhan
perdarahan korteks janin.
Kebanyakan bayi dengan PIV akan distensi ventricular yang akut tidak berkembang
menjadi hidrosefalus pasca perdarahan. Sepuluh sampai lima belas persen neonatus BBLR
dengan PIV menderita hidrosefalus yang pada mulanya dapat munncul tanpa tannda-tanda
klinis seperti pembesaran lingkaran kepala, apnea, bradikardia, letargi, fontanela cembung,
atau sutura yang melebar. Pada bayi yang menderita hidrosefalus, tanda-tanda klinis dapat
terlambat 2-4 minggu walaupun distensi ventrkular progresf dan kompresi (penipisan)
korteks Serebral. Hidrosefalus pasca perdarahan berhenti atau menyusut pada 65% bayi yang
terkena.
Hidrosefalus progresif memerlukan shunt ventrikuler peritoneum, umur kehamilan
kurang dari 30 minggu peritoneum, umur kehamilan kurang dari 30 minggu, ventilasi
mekanik ynag lama (> 28 hari) perdarahan intra perenkim menggambarkan jejas hipoksik
iskemik, perdarahan ini tidak tergantung faktor resiko untuk menderita diplegia dan defisit
motorik lainnya. PIV (perdarahan intraventrikuler) dengan ekodensitas intraparenkim yang
lebih besar dari 1 cm dihubungkan dengan mortalitas yang tinggi. PIV tingkat I dan II dpat
disebabkan oleh faktor-faktor lain selain hipoksia-iskemia berat, dan pada kasus demikian
PIV ini mempunyai resiko Sekuele neurologis jangka panjang yang lebih rendah jika tidak
berkaitan dengan LPV atau perdarahan intraparenkim.
Richard E Behrmen, Robert M Kliegman, Ann M Arvin. Buku kesehatan anak nelson. Vol 1.
Edisi 15. Jakarta: EGC, 1999.)

2.11 Pencegahan
Insiden perdarahan traumatik dapat dikurangi dengan managemen yang bijaksana pada
disproporsi kepala panggul dan persalinan operatif (forsep , seksio sesaria) . Perdarahan janin
atau neonatus karena purpura trombositopenia idiopatik (ITP), atau trombositopenia alloimun
dapat dicegah dengan mengobati ibu dengan steroid. Imunoglobulin intravena, atau transfusi
trombosit pada janin. Insidensi PIV mungkin dapat diturunkan dengan pemberian
indometasin doss rendah dan vitamin E pada neonatus. Fluktuasi tekanan darah yang lebar
harus dihindari. Vitamin K harus diberikan sebelum persalinan pada wanita yang mendapat
fenobarbital atau fenitoin selama hamil. (Richard E Behrmen, Robert M Kliegman, Ann M
Arvin. Buku kesehatan anak nelson. Vol 1. Edisi 15. Jakarta: EGC, 1999.)

BAB III
KESIMPULAN

Perdarahan intrakranial neonatus atau PIN ialah perdarahan patologis dalam rongga kranium
dan isinya pada bayi sejak lahir sampai umur 4 minggu. Sering Perdarahan Intrakranial tak
dikenal/dipikirkan karena gejala-gejalanya tidak khas.
Terdapat empat tipe perdarahan intrakranial yang dapat dialami oleh bayi.
Perdarahan yang terjadi di dalam otak disebut perdarahan intraserebral

Perdarahan diantara otak dan rongga subaraknoid disebut perdarahan subaraknoid

Perdarahan diantara lapisan selaput otak (meningen) disebut perdarahan subdural


Perdarahan diantara tulang tengkorak dan selaput otak disebut perdarahan epidural.

Menurut etiologi dapat dibedakan PIN yang traumatik/trauma kelahiran dan non-traumatik.
Perdarahan intrakranial didagnosis atas dasar riwayat, manifestasi klinis, ultrasonografi atau
tomografi terkomputasi (CT) transfontanela cranium.

Karena kemajuan obstetri, Perdarahan Intrakranial Neonatus oleh trauma kelahiran sudah
sangat berkurang. Mortalitas Perdarahan Intrakranial Neonatus non traumatik 5070%.
Prognosis Perdarahan Intrakranial Neonatus bergantung pada lokasi dan luasnya perdarahan,
umur kehamilan, cepatnya didiagnosis dan pertolongan.
Insiden perdarahan traumatik dapat dikurangi dengan managemen yang bijaksana pada
disproporsi kepala panggul dan persalinan operatif (forsep , seksio sesaria) . Perdarahan janin
atau neonatus karena purpura trombositopenia idiopatik (ITP), atau trombositopenia alloimun
dapat dicegah dengan mengobati ibu dengan steroid. Imunoglobulin intravena, atau transfusi
trombosit pada janin.

Anda mungkin juga menyukai