PENDAHULUAN
Tulang mempunyai banyak fungsi yaitu sebagai penunjang jaringan tubuh, pelindung
organ tubuh, memungkinkan gerakan dan berfungsi sebagai tempat penyimpanan garam
mineral, namun fungsi tersebut bisa saja hilang dengan terjatuh, benturan atau kecelakaan
yang mengakibatkan fraktur. Fraktur atau patang tulang adalah suatu peristiwa terputusnya
kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh
rudapaksa. Trauma yang menyebabkan fraktur dapat berupa trauma langsung maupun
trauma tidak langsung.
Klasifikasi fraktur ada dua jenis yaitu fraktur tertutup dan fraktur terbuka. Fraktur
tertutup yaitu bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.
Sedangkan fraktur terbuka yaitu bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar karena adanya perlukaan di kulit. Bentuk-bentuk perpatahan antara lain
transfersal, oblique, spiral, kompresi atau crush, comminuted dan greenstick.
Fraktur lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan umur dibawah
45 tahun dan sering berhubungan dengan olah raga, pekerjaan atau luka yang disebabkan
oleh kendaraan bermotor. Mobilisasi yang lebih banyak dilakukan oleh laki-laki menjadi
penyebab tingginya resiko fraktur. Sedangkan pada orang tua, perempuan lebih sering
mengalami fraktur daripada laki-laki yang berhubungan dengan meningkatnya insiden
osteoporosis yang terkait dengan hormon pada menopause. Fraktur intertrochanter femur
merupakan salah satu dari 3 tipe fraktur panggul. Fraktur intertrochanter terjadi diantara 2
trochanter dimana trochanter mayor terdapat musculus gluteus medius dan minimus
(ekstensi dan abduksi panggul) dan trochanter minor dimana terdapat musculus iliopsoas
(fleksi panggul).
Tujuan rehabilitasi adalah untuk mengembalikan pasien pada tingkat fungsi yang
sama dengan sebelum terjadi cedera. Kesuksesan tujuan terapi dari luka atau jejas pada
ekstremitas bawah adalah mengembalikan Lingkup Gerak Sendi dari semua sendi,
rehabilitasi semua unit otot dan tendon, dan unrestricted weight bearing.
BAB II
STATUS PASIEN
Nama : Tn. A
Usia : 64 tahun
Agama : Katolik
Bangsa : Indonesia
Pekerjaan : Wirausaha
Pendidikan : SMA
No. RM : 01015980
Menjamin : BPJS
Ruang : 909
2.2 ANAMNESIS
Dilakukan autoanamnesis dan alloanamnesis pada tanggal 20 Januari 2014 pukul 12.00
A. Keluhan Utama
Os datang berobat ke IGD RSUD Budhi Asih dengan keluhan nyeri di paha kanan 8 jam
sebelum masuk rumah sakit, os mengaku sebelumnya terjatuh di lantai kamar pada tanggal 10
Januari 2015 pukul 16.00 WIB saat os ingin buang air kecil selepas bangun tidur. Os terjatuh
dengan posisi pinggul kanan membentur lantai terlebih dahulu, dan tangan kanan membantu
menumpu badan saat terjatuh. Sesaat setelah os terjatuh, os mengaku tidak dapat berdiri dan
menggerakkan kaki kanannya, kemudian os dibantu anaknya untuk berdiri dan dipapah ke atas
tempat tidur. Paha kanan os terasa nyeri, dan bertambah nyeri jika digerakkan. Os lalu dibawa
keluarganya pergi ke tukang urut, dan sempat di urut namun tidak ada perbaikan. Tukang urut
kemudian menganjurkan os untuk dibawa ke rumah sakit, kemudian os pulang karena dirasakan
tidak ada perbaikan. Karena nyeri yang terasa terus menerus, keluarga os lalu membawa os ke
IGD RSUD Budhi Asih pada pukul 22.00 di hari yang sama. Di IGD pasien diberikan infus
asering per 12 jam, dan diminta untuk melakukan foto rontgen genu, hip joint, dan thorax. Os
mengaku tidak mengkonsumsi obat obatan atau jamu sebelumnya, dan hanya dilakukan
pengurutan saja. Os menyangkal adanya penurunan kesadaran, dan menyangkal adanya benturan
pada kepala. Muntah, BAB dan BAK spontan juga disangkal. Os juga menyangkal adanya
cedera di bagian tubuh lain, dan menyangkal adanya lemas pada satu sisi tubuh sebelumnya.
E. Riwayat Kebiasaan
A. STATUS GENERALIS
Tanda vital
Nadi : 110x/menit
Pernafasan : 20x/menit
Suhu : 37,30 C
Antropometri
BB : 55
TB : 162
Leher : Trakea lurus di tengah, KGB dan tiroid tidak teraba membesar
Abdomen :
Inspeksi : Datar
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), defans muskular (-)
Perkusi : timpani
Auskultasi : Bising usus (+)
Ekstremitas
Superior Inferior
Capp Refill < 2 / <2 < 2 / <2
Akral dingin -/- -/-
Sianosis - /- -/-
Edema - -
B. STATUS LOKALIS
Pulsasi
a. Poplitea +
b. Dorsalis pedis +
Move Aktif
Adduksi -
Abduksi
-
Adduksi -
Abduksi
-
Laboratorium
Hematologi
SGOT 25 <33
SGPT 20 <50
GDS 154 <110
Ureum 19 17 49
Kreatinin 0,53 <1,2
Natrium 136 135 155
Kalium 3,8 3,6 5.5
Klorida 104 98 109
2.5 RESUME
Os datang dengan keluhan nyeri di paha kanan 8 jam sebelum masuk rumah sakit, karena
terjatuh di lantai kamar saat os ingin buang air kecil selepas bangun tidur. Terjatuh dengan posisi
pinggul kanan membentur lantai terlebih dahulu, dan kaki kanan os langsung tidak dapat
digerakkan setelah kejadian. Penanganan pertama yang dilakukan os dibawa ke tukang urut, dan
sempat di urut namun tidak ada perbaikan. Setelah itu, pada hari yang sama os datang ke IGD
RSUD Budhi Asih dan di diagnosa suspek fraktur femur dextra, lalu dikonsulkan ke spesialis
orthopedi RSUD Budhi Asih dan direncakan penjadwalan operasi.
2.6 DIAGNOSA
2.8 PENATALAKSANAAN
Non medikamentosa :
Medikamentosa :
1. Analgesik : ketorolak 3 x 1
Tindakan operatif ;
1. Hemoarthroplasty bipolar
2. 9 PROGNOSIS
Klasifikasi : Elektif
Uraian pembedahan :
7. Kontrol perdarahan dan tutup luka operasi dengan meninggalkan vacuum drain
8. operasi selesai
Awasi KU dan VS
IUFD Asering 15 tetes/menit
Inj. Fosmicin 2x2gr
Inj. Ketorolak 3x30gr
Inj. Pantoprazol 2x40gr
Cek lab darah rutin dan faal hemostasis post operasi, bila Hb < 10gr/dl tranfusi PRC
500cc s/d HB > 10gr/dl
Rontgen kontrol pelvis AP, Hip dextra AP
Pertahankan tungkai kanan posisi abduksi + eskternal rotasi
Tirah baring 24 jam
Post op di HCV : lain-lain sesuai
Lain lain lapor.
Tanggal S O A P
13/1/2016 nyeri yang Skin traksi (+) Fraktur Pre-op
dirasa TD : 130/80 intertrokhanter arthroplasty
berkurang N : 80x/menit proximal femur hip
RR : 20x/menit Tramadol
dextra
S : 36,6oC
dalam
asering/12jam
Ranitidin
2x50mg
ANALISA KASUS
ANAMNESIS
Jatuh terduduk membentur lantai kamar dengan posisi pinggul kanan jatuh terlebih dahulu
paha kanan jatuh dengan posisi menumpu berat badan saat jatuh
PEMERIKSAAN FISIK
Status generalis
Gerakan dan penumpuan berat badan tidak dapat dilakukan pada paha kanan karena adanya
fraktur pada os. Femur dextra.
Status lokalis
DIAGNOSIS
Diagnosa dapat ditegakkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
dengan bantuan foto rontgen yang menunjukkan gambaran diskontinutas pada bagian
intertrokhanter femur dextra.
DIAGNOSIS BANDING
Dislokasi juga dapat menimbulkan gejala yang sama pada pasien tetapi dapat disingkirkan
dengan data dari hasil foto rontgen yang menunjukkan gambaran fraktur.
Tindakan operatif
Hemoarthroplasty bipolar
PROGNOSIS
Fraktur intertrokhanter kurang mengancam nyawa jika tidak terjadi komplikasi lebih lanjut,
terlebih lagi jika dilakukan tatalaksana dengan baik. Pasien ini lebih mengarah pada gangguan
fungsi.
Meskipun tulang dan sendi sudah digantikan dengan protease, namun protease dapat membantu
memperbaiki fungsi setelah terjadinya fraktur, dan dapat membantu fungsi kehidupan sehari
hari.
Kekambuhan sangat jarang terjadi karena pada kasus ini fraktur ini terjadi disebabkan oleh
kecelakaan.
BAB IV
TINJAUAN PUSAKA
ANATOMI FEMUR
Femur merupakan tulang terpanjang dan terkeras yang ada pada tubuh dan
dikelompokkan ke dalam ekstremitas bagian bawah. Di sebelah atas, femur bersendi dengan
acetabulum untuk membentuk articulatio coxae dan di bawah dengan tibia dan patella untuk
membentuk articulatio genus. Ujung atas femur memiliki caput, collum, trochanter major, dan
trochanter minor.
Caput membentuk dua pertiga dari bulatan dan bersendi dengan acetabulum os coxae.
Pada pusat caput terdapat lekukan kecil yang disebut fovea capitis, yang berguna sebagai tempat
melekatnya ligamentun capitis femoris. Sebagian suplai darah untuk caput femoris dari arteri
obturatoria dihantarkan melalui ligamentum ini dan memasuki tulang melalui fovea capitis.
Collum yang menghubungkan caput dengan corpus berjalan ke bawah, belakang, dan
lateral serta membentuk sudut 125 dan lebuh kecil pada perempuan dengan sumbu panjang
corpus femoris. Besarnya sudut ini dapat berubah karena adanya penyakit.
Trochanter mayor dan minor merupakan tonjolan yang besar pada taut antara collum dan
corpus. Linea intertrocanterica menghubungkan kedua trocanter ini di bagian anterior, tempat
melekatnya ligamentum iliofemorale dan di bagian posterior oleh crista intertrochanterica yang
Corpus femoris permukaan anteriornya lebih licin dan bulat, sedangkan permukaan
posterior mempunyai rigi yang disebut linea asoera. Pada linea ini melekat otot-otot dan septa
intermuskularis. Garis tepi linea melebar ke atas dan ke bawah. Tepi medial berlanjut ke distal
sebagai crista supracondylaris medialis yang menuju ke tuberculum adductorum pada condylus
medial. Tepi lateral melanjutkan diri ke distal sebagai crista supracondylaris lateralis. Pada
permukaan posterior corpus, tepatnya dibawah trochanter major terdapat tuberositas glutea
sebagai tempat melekatnya musculus gluteus maximus. Corpus melebar kearah ujung distalnya
dan membentuk daerah segitiga datar pada permukaan posteriornya yang disebut facies poplitea.
Ujung bawah femur memiliki condyli medialis dan lateralis yang bagian posteriornya
dipisahkan oleh insisura intercondylaris. Permukaan anterior condylus ikut serta dalam
pembentukan articulatio genus. Diatas condyli terdapat epicondylus lateralis dan medialis.
Ruang fascia anterior tungkai atas diisi oleh musculus sartorius, muskulus iliacus,
musculus psoas, musculus pectineus dan musculus quadriceps femoris. Dipersarafi oleh nervus
femoralis ruang anterior fascia tungkai atas dialiri pembuluh darah arteri femoralis. Ruang fascia
medial tungkai atas diisi oleh musculus gracilis, musculus adductor longus, musculus adductor
magnus, musculus obturatorius externus dengan dipersarafi oleh nervus obturatorius ruang
fascial medial diperdarahi oleh arteri profunda femoris dan arteri obturatoria. Ruang fascia
posterior tungkai atas diisi oleh musculus biceps femoris, musculus semitendinosus, musculus
dipersarafi oleh nervus ischiadicus ruang fascia posterior tungkai atas diperdarahi oleh cabang-
Tulang adalah jaringan yang terstruktur dengan baik dan mempunyailima fungsi utama, yaitu :
Membentuk rangka badan.
Sebagai pengumpil dan tempat melekat otot.
Sebagai bagian dari tubuh untuk melindungi dan mempertahankan alat-alatdalam, seperti
otak, sumsum tulang belakang, jantung, dan paru-paru.
Sebagai tempat deposit kalsium, fosfor, magnesium, dan garam.
Sebagai organ yang berfungsi sebagai jaringan hemapoetik untukmemproduksi sel-sel
darah merah , sel-sel darah putih, dan trombosit.
FRAKTUR
Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas dari tulang, sering diikuti oleh kerusakan jaringan lunak
dengan berbagai macam derajat, mengenai pembuluh darah, otot dan persarafan.
Definisi fraktur intertrochanter femur sendiri adalah terputusnya kontinuitas tulang pada area di
antara
trochanter mayor dan trochanter minor yang bersifat ekstrakapsula.
Fraktur intertrokhanter
Pada fraktur ini, garis fraktur melintang dari trochanter mayor ke trochanter minor. Tidak
seperti fraktur intrakapsular, salah satu tipe fraktur extrakapsular ini dapat menyatu dengan lebih
baik. Resiko untuk terjadinya komplikasi non-union dan nekrosis avaskular sangat kecil jika
dibandingkan dengan resiko pada fraktur intrakapsular. Fraktur dapat terjadi akibat trauma
langsung pada trochanter mayor atau akibat trauma tidak langsung yang menyebabkan twisting
pada daerah tersebut.
Berdasarkan klasifikasi Kyle (1994), fraktur intertrokhanter dapat dibagi menjadi 4 tipe
menurut kestabilan fragmen-fragmen tulangnya. Fraktur dikatakan tidak stabil jika:
Transverse : jika terjadi patahan tulang secara horizontal, biasanya terjadi jika
menerima mekanisme energi yang sedang sampai besar secara terus menerus melebihi
toleransi jaringan tulang.
Oblique : fraktur yang membentuk sudut melewati korteks tulang biasanya terjadi
jika tulang menerima energy secara langsung atau tidak langsung dengan angulasi atau
tekanan tertentu.
Kominutif : fraktur dengan lebih dari dua bagian karena adanya trauma jaringan
lunak.
Segmental : fraktur dengan dua atau lebih segmental tulang disebabkan karena tulang
menerima energi langsung maupun tidak langsung yang sedang sampai dengan berat.
Avulsi : terjadi ketika tulang dan jaringan lunak lainnya tidak berada ditempat
yang semestinya akibat kekuatan energy yang diterima secara langsung oleh tulang.
Impaksi : fraktur pada ujung tulang menuju bagian yang bersebrangan atau bagian
dalam dari fragmen tulang diakibatkan oleh tekanan axial dari energy langsung pada area
fragmen tulang bagian distal.
Torus : fraktur pada salah satu korteks atau shaft tulang misalnya pada bagian
radius ulna.
Greenstick : terjadi jika hanya pada satu korteks tulang akibat energi yang kecil baik
langsung maupun tidak langsung.
Derajat 0 : fraktur sederhana tanpa atau disertai dengan sedikit kerusakan jaringan lunak
Derajat 1 : fraktur disertai dengan abrasi superficial atau luka memar pada kulit dan
jaringan subkutan
Derajat 2 : fraktur yang lebih berat disbanding derajat 1 yang disertai dengan kontusio dan
pembengkakan jaringan lunak
Derajat 3 : fraktur berat yang disertai dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan
terdapat ancaman terjadinya sindroma kompartemen
Penyembuhan Fraktur
Proses penyembuhan suatu fraktur dimulai sejak terjadi fraktur sebagai usaha tubuh untuk
memperbaiki kerusakan kerusakan yang dialaminya. Penyembuhan dari fraktur dipengaruhi
oleh beberapa faktor lokal dan faktor sistemik, adapun faktor lokal:
1. Lokasi fraktur
2. Jenis tulang yang mengalami fraktur
3. Reposisi anatomis dan immobilasi yang stabil
4. Adanya kontak antar fragmen
5. Ada tidaknya infeksi
6. Tingkatan dari fraktur
Dalam istilah-istilah histologi klasik, penyembuhan fraktur telah dibagi atas penyembuhan
fraktur primer dan fraktur sekunder.
1. Proses penyembuhan fraktur primer
Penyembuhan cara ini terjadi internal remodelling yang meliputi upaya langsung oleh
korteks untuk membangun kembali dirinya ketika kontinuitas terganggu. Agar fraktur
menjadi menyatu, tulang pada salah satu sisi korteks harus menyatu dengan tulang pada
sisi lainnya (kontak langsung) untuk membangun kontinuitas mekanis.
Tidak ada hubungan dengan pembentukan kalus. Terjadi internal remodelling dari
haversian system dan penyatuan tepi fragmen fraktur dari tulang yang patah.
2. Proses penyembuhan fraktur sekunder
Penyembuhan sekunder meliputi respon dalam periostium dan jaringan-jaringan lunak
eksternal. Proses penyembuhan fraktur ini secara garis besar dibedakan atas 5 fase,
yakni fase hematom (inflamasi), fase proliferasi, fase kalus, osifikasi dan remodelling.
a. Fase Inflamasi
Tahap inflamasi berlangsung beberapa hari dan hilang dengan berkurangnya
pembengkakan dan nyeri.
b. Fase proliferasi
Kira-kira 5 hari hematom akan mengalami organisasi, terbentuk benang-benang
fibrin dalam jendalan darah, membentuk jaringan untuk revaskularisasi, dan invasi
fibroblast dan osteoblast.
Etiologi
Trauma
Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan otot yang tiba-tiba dan berlebihan, yang
dapat berupa pemukulan, penghancuran, penekukan, pemuntiran, atau penarikan. Bila
terkena kekuatan langsung, tulang dapat patah pada tempat yang terkena; jaringan lunak
juga pasti rusak. Bila terkena kekuatan tak langsung, tulang dapat mengalami fraktur
pada tempat yang jauh dari tempat yang terkena kekuatan itu; kerusakan jaringan lunak di
tempat fraktur mungkin tidak ada.
Kompresi
Retak dapat terjadi pada tulang, sama halnya seperti pada logam dan benda lain, akibat
tekanan berulang-ulang. Keadaan ini paling sering ditemukan pada tibia atau fibula atau
metatarsal, terutama pada atlet, penari, dan calon tentara yang jalan berbaris dalam jarak
jauh.
Patologik
Fraktur dapat terjadi karena tekanan yang normal apabila tulang itu lemah (misalnya oleh
tumor) atau apabila tulang itu sangat rapuh (misalnya pada penyakit paget).
Diagnosa
Manifestasi klinis:
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan
ekstrimitas, krepitus, pembengkakan local, dan perubahan warna.
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di imobilisasi, spasme
otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang di rancang untuk
meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak tidak
alamiah bukan seperti normalnya, pergeseran fraktur menyebabkan deformitas, ekstrimitas
yang bias di ketahui dengan membandingkan dengan ekstrimitas yang normal. Ekstrimitas
tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas
tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot
yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
4. Saat ekstrimitas di periksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang dinamakan
krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang lainya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai akibat dari trauma
dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasanya baru terjadi setelah beberapa jam
atau hari setelah cedera.
Pemeriksaan Fisik
Pada awal pemeriksaan, perlu diperhatikan adanya:
1. Syok, anemia, atau perdarahan, dan tanda tanda sepsis pada fraktur terbuka.
2. Kerusakan organ organ lain, misalnya otak, sumsum tulang belakang, atau organ
organ dalam rongga thorak, panggul, abdomen.
3. Faktor predisposisi, misalnya fraktur patologis.
Gerakan (movement)
Krepitus dan abnormal dapat ditemukan, tetapi lebih oenting untuk menanyakan apakah
pasien dapat menggerakkan sendi-sendi di bagian distal cedera.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologi pada panggul meliputi foto polos pelvis secara anteroposterior
(AP) dan area yang terkena cedera, dan dapat pula foto panggul secara lateral view. Pada
beberapa kasus, CT scan mungkin diperlukan.
Pemeriksaan radiologi dilakukan dengan prinsip rule of 2 yaitu, dua posisi, 2 sendi pada
anggota gerak dan tungkai harus difoto, dibawah dan diatas sendi yang mengalami
fraktur, 2 anggota gerak, 2 trauma, 2 kali foto dilakukan.
Tatatlaksana
Konsep dasar yang harus dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur yaitu :
rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi.
1. Rekognisi (Pengenalan )
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan diagnosa dan
tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan terasa nyeri sekali dan bengkak.
Kelainan bentuk yang nyata dapat menentukan diskontinuitas integritas rangka.
2. Reduksi (manipulasi/ reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen - fragmen tulang yang
patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak asalnya. Upaya untuk memanipulasi fragmen
tulang sehingga kembali seperti semula secara optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan
reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk
mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan
perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah
mulai mengalami penyembuhan.
3. Retensi (Immobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti semula
secara optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau di pertahankan
dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan
dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai,
traksi kontinu, pin, dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat di gunakan untuk
fiksasi intrerna yang brperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur. Fiksasi
eksterna adalah alat yang diletakkan diluar kulit untuk menstabilisasikan fragmen tulang dengan
memasukkan dua atau tiga pin metal perkutaneus menembus tulang pada bagian proksimal dan
distal dari tempat fraktur dan pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan menggunakan
eksternal bars. Teknik ini terutama atau kebanyakan digunakan untuk fraktur pada tulang tibia,
tetapi juga dapat dilakukan pada tulang femur, humerus dan pelvis. Prinsip dasar dari teknik ini
adalah dengan menggunakan pin yang diletakkan pada bagian proksimal dan distal terhadap
daerah atau zona trauma, kemudian pin-pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan rangka
luar atau eksternal frame atau rigid bars yang berfungsi untuk menstabilisasikan fraktur. Alat ini
dapat digunakan sebagai temporary treatment untuk trauma muskuloskeletal atau sebagai
definitive treatment berdasarkan lokasi dan tipe trauma yang terjadi pada tulang dan jaringan
lunak.
4. Rehabilitasi
Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk menghindari atropi atau
kontraktur. Bila keadaan memungkinkan, harus segera dimulai melakukan latihan-latihan untuk
mempertahankan kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi.
Medikamentosa :
Ketorolak
Ceftriaxon
Cefixim
Operatif :
ORIF
Komplikasi
2. Komplikasi dalam waktu lama atau lanjut fraktur antara lain: mal union, delayed union,
dan non union.
Malunion
Malunion dalam suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh dalam posisi
yang tidak seharusnya. Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan
meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan
dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
Delayed Union
Delayed union adalah proses penyembuhan yang terus berjalan dengan kecepatan yang
lebih lambat dari keadaan normal. Delayed union merupakankegagalan fraktur
berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini
disebabkan karena penurunan suplai darah ke tulang.
Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi sambungan
yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion di tandai dengan adanya
pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau
pseuardoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Apley, A.G.,L. Solomon. 1995. Buku Ajar Ortopedi Fraktur Sistem Apley. Edisi 7.
Jakarta: Widya Medika.
2. Brotzman S, 1996. Clinical Orthopaedic Rehabilitation. Missouri : Mosby
3. Evans, P.J., B.J McGrory. 2001. Fracture of The Proximal Femur. ME: Orthopaedic
Associates of Portland.
4. Goodman, M.S. 2011. Intertrochanteric Hip Fracture Treatment and Management.
Diakses at www.medscape.com
5. Hoppenfeld, S., 1999. Treatment and Rehabilitation of Fractures. New York: Lippincott
Williams & Wilkins
6. Mansjoer, Arif,. 2000. Kapita Selekta Kedokteran jilid 2 edisi 3. Media Aesculapius :
FKUI.
7. Mardhiya, W.R. 2009. Fraktur Femur. Pekanbaru : Universitas Riau.
8. Moore, K.L., A.M.R. Agur. 2002. Essensial Clinical Anatomy. Jakarta: Hipokrates.
9. Pratt, E. et al. 2001. Open Reduction and Internal Fixation. In Rehabilitation for The Post
Surgical Orthopedic Patient. Missouri: Mosby Elsevier. Pp 309-13
10. Sjamsuhidajat, R., de Jong, Wim. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC