Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

Tulang mempunyai banyak fungsi yaitu sebagai penunjang jaringan tubuh, pelindung
organ tubuh, memungkinkan gerakan dan berfungsi sebagai tempat penyimpanan garam
mineral, namun fungsi tersebut bisa saja hilang dengan terjatuh, benturan atau kecelakaan
yang mengakibatkan fraktur. Fraktur atau patang tulang adalah suatu peristiwa terputusnya
kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh
rudapaksa. Trauma yang menyebabkan fraktur dapat berupa trauma langsung maupun
trauma tidak langsung.
Klasifikasi fraktur ada dua jenis yaitu fraktur tertutup dan fraktur terbuka. Fraktur
tertutup yaitu bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.
Sedangkan fraktur terbuka yaitu bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar karena adanya perlukaan di kulit. Bentuk-bentuk perpatahan antara lain
transfersal, oblique, spiral, kompresi atau crush, comminuted dan greenstick.
Fraktur lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan umur dibawah
45 tahun dan sering berhubungan dengan olah raga, pekerjaan atau luka yang disebabkan
oleh kendaraan bermotor. Mobilisasi yang lebih banyak dilakukan oleh laki-laki menjadi
penyebab tingginya resiko fraktur. Sedangkan pada orang tua, perempuan lebih sering
mengalami fraktur daripada laki-laki yang berhubungan dengan meningkatnya insiden
osteoporosis yang terkait dengan hormon pada menopause. Fraktur intertrochanter femur
merupakan salah satu dari 3 tipe fraktur panggul. Fraktur intertrochanter terjadi diantara 2
trochanter dimana trochanter mayor terdapat musculus gluteus medius dan minimus
(ekstensi dan abduksi panggul) dan trochanter minor dimana terdapat musculus iliopsoas
(fleksi panggul).
Tujuan rehabilitasi adalah untuk mengembalikan pasien pada tingkat fungsi yang
sama dengan sebelum terjadi cedera. Kesuksesan tujuan terapi dari luka atau jejas pada
ekstremitas bawah adalah mengembalikan Lingkup Gerak Sendi dari semua sendi,
rehabilitasi semua unit otot dan tendon, dan unrestricted weight bearing.
BAB II

STATUS PASIEN

2.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. A

Usia : 64 tahun

Jenis Kelamin : Laki laki

Status : Sudah menikah ( duda )

Alamat : Jalan Bunga Rampai Raya no. 34a

Agama : Katolik

Bangsa : Indonesia

Pekerjaan : Wirausaha

Pendidikan : SMA

Masuk RS : 11 Januari 2016

No. RM : 01015980

Menjamin : BPJS

Ruang : 909

2.2 ANAMNESIS

Dilakukan autoanamnesis dan alloanamnesis pada tanggal 20 Januari 2014 pukul 12.00
A. Keluhan Utama

Nyeri di paha kanan sejak 8 jam sebelum masuk rumah sakit

B. Riwayat Penyakit Sekarang

Os datang berobat ke IGD RSUD Budhi Asih dengan keluhan nyeri di paha kanan 8 jam
sebelum masuk rumah sakit, os mengaku sebelumnya terjatuh di lantai kamar pada tanggal 10
Januari 2015 pukul 16.00 WIB saat os ingin buang air kecil selepas bangun tidur. Os terjatuh
dengan posisi pinggul kanan membentur lantai terlebih dahulu, dan tangan kanan membantu
menumpu badan saat terjatuh. Sesaat setelah os terjatuh, os mengaku tidak dapat berdiri dan
menggerakkan kaki kanannya, kemudian os dibantu anaknya untuk berdiri dan dipapah ke atas
tempat tidur. Paha kanan os terasa nyeri, dan bertambah nyeri jika digerakkan. Os lalu dibawa
keluarganya pergi ke tukang urut, dan sempat di urut namun tidak ada perbaikan. Tukang urut
kemudian menganjurkan os untuk dibawa ke rumah sakit, kemudian os pulang karena dirasakan
tidak ada perbaikan. Karena nyeri yang terasa terus menerus, keluarga os lalu membawa os ke
IGD RSUD Budhi Asih pada pukul 22.00 di hari yang sama. Di IGD pasien diberikan infus
asering per 12 jam, dan diminta untuk melakukan foto rontgen genu, hip joint, dan thorax. Os
mengaku tidak mengkonsumsi obat obatan atau jamu sebelumnya, dan hanya dilakukan
pengurutan saja. Os menyangkal adanya penurunan kesadaran, dan menyangkal adanya benturan
pada kepala. Muntah, BAB dan BAK spontan juga disangkal. Os juga menyangkal adanya
cedera di bagian tubuh lain, dan menyangkal adanya lemas pada satu sisi tubuh sebelumnya.

C. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat trauma : disangkal


Stroke : sejak 4 tahun yang lalu, bicara pelo sampai sekarang.
Diabetes Melitus : sejak 2 tahun yang lalu, minum obat teratur.
TB : sejak 2 tahun yang lalu, minum obat teratur.
Asma, penyakit jantung, alergi obat-obatan dan makanan disangkal.

D. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit yang sama : disangkal
Hipertensi : disangkal
Diabetes Melitus : disangkal
Keganasan : disangkal

E. Riwayat Kebiasaan

Rokok : sejak SMP


Alkohol : sejak usia muda
Obat-obatan : disangkal
Olahraga : tidak pernah olahraga

2.3 PEMERIKSAAN FISIK

A. STATUS GENERALIS

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

Tanda vital

Tekanan darah : 150/80

Nadi : 110x/menit

Pernafasan : 20x/menit

Suhu : 37,30 C

Antropometri

BB : 55
TB : 162

BMI : Kesan : Gizi baik

Kepala : Normocephali, deformitas (-)

Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Telinga : Normotia, sekret (-)

Hidung : Normosepta, sekret (-)

Leher : Trakea lurus di tengah, KGB dan tiroid tidak teraba membesar

Thorax : Datar, Simetris

Jantung : BJ I dan II regular, murmur (-), gallop (-)


Paru : SNV (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen :

Inspeksi : Datar
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), defans muskular (-)
Perkusi : timpani
Auskultasi : Bising usus (+)

Ekstremitas
Superior Inferior
Capp Refill < 2 / <2 < 2 / <2
Akral dingin -/- -/-
Sianosis - /- -/-
Edema - -
B. STATUS LOKALIS

Regio femur dextra


Penilaian Hasil
Look Warna Seperti kulit sekitar
Pembengkakan +
Deformitas
Angulasi -
Rotasi -
Pemendekan
-
Luka terbuka -
Feel Nyeri tekan +
Fungsi sensorik +
Akral dingin -

Pulsasi
a. Poplitea +
b. Dorsalis pedis +
Move Aktif
Adduksi -
Abduksi
-

Adduksi -
Abduksi
-

Kekuatan Sulit dinilai

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium

Hematologi

Jenis pemeriksaan Hasil Nilai normal


Leukosit 10,4 3,8 10,6
Eritrosit 3,8 4,4 5,9
Hemoglobin 11,5 13,2 17,3
Hematokrit 34 40 52
Trombosit 293 150 440
LED 60 0 30
MCV 88,0 80 100
MCH 30,0 26 34
MCHC 34,0 32 36
RDW 14,7 <14
Basofil 1 0-1
Eosinofil 1 24
Batang 0 35
Segmen 67 50 70
Limfosit 9 25 40
Monosit 22 26
Waktu perdarahan 2,30 16
Waktu pembekuan 13,00 5 15
PT 14,0 12 17
APTT 30,9 20 40
Fibrinogen 651 200 400
D dimer 11,3 <0,3

SGOT 25 <33
SGPT 20 <50
GDS 154 <110
Ureum 19 17 49
Kreatinin 0,53 <1,2
Natrium 136 135 155
Kalium 3,8 3,6 5.5
Klorida 104 98 109

2.5 RESUME

Os datang dengan keluhan nyeri di paha kanan 8 jam sebelum masuk rumah sakit, karena
terjatuh di lantai kamar saat os ingin buang air kecil selepas bangun tidur. Terjatuh dengan posisi
pinggul kanan membentur lantai terlebih dahulu, dan kaki kanan os langsung tidak dapat
digerakkan setelah kejadian. Penanganan pertama yang dilakukan os dibawa ke tukang urut, dan
sempat di urut namun tidak ada perbaikan. Setelah itu, pada hari yang sama os datang ke IGD
RSUD Budhi Asih dan di diagnosa suspek fraktur femur dextra, lalu dikonsulkan ke spesialis
orthopedi RSUD Budhi Asih dan direncakan penjadwalan operasi.

2.6 DIAGNOSA

Fraktir intertrochanter proksimal femur dextra


2.7 DIAGNOSA BANDING

Dislokasi os. Femur dextra

2.8 PENATALAKSANAAN

Non medikamentosa :

1. Observasi tanda vital dan perdarahan

2. Mobilisasi os. Femur

Medikamentosa :

1. Analgesik : ketorolak 3 x 1

Tindakan operatif ;

1. Hemoarthroplasty bipolar

2. 9 PROGNOSIS

Ad vitam : Dubia ad bonam

Ad fungsionam : Dubia ad bonam

Ad sanationam ; Dubia ad bonam


LAPORAN PEMBEDAHAN

Tanggal : 18 Januari 2016

Dokter Ahli Bedah : dr. David Idrial, Sp.OT

Diagnosa pra-bedah : Fraktur intertrochanter proksimal femur dextra

Diagnosa pasca bedah : Fraktur intertrochanter proksimal femur dextra

Jenis operasi : Clear

Klasifikasi : Elektif

Tindakan pembedahan : Hemoarthroplasty bipolar

Uraian pembedahan :

1. Posisi LLD dalam regional anastesi

2. Asepsis dan antisepsis medan operasi, dipersempit dengan duk steril

3. Insisi post lateral hip, diperdalam, ekstraksi kapsul

4. Preoperasi acetabulum, dilanjutkan preoperasi stem femur


5. Dilakukan pemasangan implant hemiarthroplasty bipolar (10kg stem) diameter 11mm +
cromic fermoral head diameter 28mm, medium, +1mm, OD 45mm

6. Cek stabilitas : stabil

7. Kontrol perdarahan dan tutup luka operasi dengan meninggalkan vacuum drain

8. operasi selesai

Instruksi post operasi

Awasi KU dan VS
IUFD Asering 15 tetes/menit
Inj. Fosmicin 2x2gr
Inj. Ketorolak 3x30gr
Inj. Pantoprazol 2x40gr
Cek lab darah rutin dan faal hemostasis post operasi, bila Hb < 10gr/dl tranfusi PRC
500cc s/d HB > 10gr/dl
Rontgen kontrol pelvis AP, Hip dextra AP
Pertahankan tungkai kanan posisi abduksi + eskternal rotasi
Tirah baring 24 jam
Post op di HCV : lain-lain sesuai
Lain lain lapor.

Foto rontgen post-operasi


FOLLOW UP

Tanggal S O A P
13/1/2016 nyeri yang Skin traksi (+) Fraktur Pre-op
dirasa TD : 130/80 intertrokhanter arthroplasty
berkurang N : 80x/menit proximal femur hip
RR : 20x/menit Tramadol
dextra
S : 36,6oC
dalam
asering/12jam
Ranitidin
2x50mg

14/1/2016 Tidak ada Skin traksi (+) Fraktur Pre-op


keluhan GDS : 148 intertrokhanter arthroplasty
TD : 130/80 proximal femur hip
N : 80x/menit dextra Tramadol
RR : 20x/menit dalam
S : 36,5oC
asering/12jam
Ranitidin
2x50mg

15/1/2016 Tidak ada Skin traksi (+) Fraktur Jadwalkan


keluhan TD : 130/90 intertrokhanter operasi
N : 80x/menit proximal femur konsul anastesi
RR : 20x/menit Tramadol
dextra
S : 36,6oC dalam
asering/12jam
Ranitidin
2x50mg

16/1/2016 Tidak ada Skin traksi (+) Fraktur Pre-op


keluhan TD : 130/80 intertrokhanter atrhoplasty hip
N : 78x/menit proximal femur dextra : senin,
RR : 20x/menit
dextra 18/1/2016
S : 36,6oC
Echo
Puasa 6 jam
pre operasi
Persiapkan
PRC 500cc
Antibiotika
Fosmicin 2gr 1
jam pre-op
Tramadol
dalam
Asering/12jam
Ranitidin
2x50mg
19/1/2016 Kaki kanan TD : 120/60 Post-op Diet sesuai gizi
belum HR : 82x/menit hemiarthroplasty klinik
RR : 20x/menit Terapi injeksi
dapat (POD I)
S : 36,6oC
digerakkan lanjut
Status lokalis : Pertahankan
Drain : posisi tungkai
150cc/24jam kanan abduksi
ROM terbatas,
+ externa
terkesan tidak
rotasi
ada Pindah ruang
NVD baik
rawat biasa :
Rontgen pelvis
AP dan hip
dextra AP
Lain lain /
OAT lanjut
(rawat
bersama)

20/1/2016 Tidak ada Post-op Mobilisasi


keluhan TD : 120/60 hemiarthroplasty duduk
HR : 82x/menit (POD II) Venflon saja
RR : 20x/menit Inj. Fosmicin
S : 36,6oC 2x2gr
Status lokalis : Inj. Ketorolak
Drain : 15cc 3x30gr
Inj.
Pantoprazol
2x40gr
Inhalasi
ventolin
3x1hari

21/1/2016 Nyeri TD : 120/70 Post-op Diet sesuai gizi


daerah HR : 80x/menit hemiarthroplasty klinik
operasi RR : 20x/menit (POD III) Terapi injeksi
S : 36,6oC lanjut
berkurang,
Status lokalis ; Fisioterapi dan
nyeri lutut
Drain : 20cc/24jam mobilisasi
kanan.
ROM : nyeri duduk sampai
NVD : baik
dengan berdiri
di tepi bed dan
walking
exercise
dengan walker
Rencana aff
drain dan
rawat luka
Pertahankan
posisi tungkai
kanan abduksi
+ external
rotasi
OAT lanjut
(rawat
bersama)

22/1/2016 Tidak ada TD : 120/60 Post-op Fisioterapi


keluhan HR : 82x/menit hemiarthroplasty Bladder
RR : 20x/menit
(POD IV) training : aff
S : 36,6oC
DC
Status lokalis ; Aff drain + GV
Drain : 30cc/24jam Terapi injeksi
NVD : baik lanjut
OAT lanjut
Inhalasi
ventolin
3x1hari
23/1/2016 Nyeri pada TD : 120/80 Post-op Aff drain + GV
luka bekas HR : 80x/menit hemiarthroplasty Fisioterapi
RR : 20x/menit Obat ganti oral
operasi (POD V)
S : 36,6oC :
Status lokalis : Cefixim

Drain : 10cc/24jam 2x200mg


NVD : baik Meloxicam
2x15mg
BLPL
BAB III

ANALISA KASUS

ANAMNESIS

Riwayat penyakit sekarang

Jatuh terduduk membentur lantai kamar dengan posisi pinggul kanan jatuh terlebih dahulu
paha kanan jatuh dengan posisi menumpu berat badan saat jatuh

PEMERIKSAAN FISIK

Status generalis

Cara berjalan : tidak dapat berjalan dan berdiri sendiri

Gerakan dan penumpuan berat badan tidak dapat dilakukan pada paha kanan karena adanya
fraktur pada os. Femur dextra.

Status lokalis

Regio femur dextra

Look : tampak pembengkakan setempat pada paha kanan


Feel : nyeri tekan (+) pada paha kanan
Move : Gerakan aktif, pasif, dan movement terbatas karena nyeri

DIAGNOSIS

Fraktur intertrokhanter proksimal femur dextra :

Diagnosa dapat ditegakkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
dengan bantuan foto rontgen yang menunjukkan gambaran diskontinutas pada bagian
intertrokhanter femur dextra.
DIAGNOSIS BANDING

Dislokasi os femur dextra :

Dislokasi juga dapat menimbulkan gejala yang sama pada pasien tetapi dapat disingkirkan
dengan data dari hasil foto rontgen yang menunjukkan gambaran fraktur.

Tindakan operatif

Hemoarthroplasty bipolar

PROGNOSIS

Ad vitam : Dubia ad bonam

Fraktur intertrokhanter kurang mengancam nyawa jika tidak terjadi komplikasi lebih lanjut,
terlebih lagi jika dilakukan tatalaksana dengan baik. Pasien ini lebih mengarah pada gangguan
fungsi.

Ad fungtionam : Dubia ad bonam

Meskipun tulang dan sendi sudah digantikan dengan protease, namun protease dapat membantu
memperbaiki fungsi setelah terjadinya fraktur, dan dapat membantu fungsi kehidupan sehari
hari.

Ad sanationam : Dubia ad bonam

Kekambuhan sangat jarang terjadi karena pada kasus ini fraktur ini terjadi disebabkan oleh
kecelakaan.
BAB IV

TINJAUAN PUSAKA

ANATOMI FEMUR

Femur merupakan tulang terpanjang dan terkeras yang ada pada tubuh dan

dikelompokkan ke dalam ekstremitas bagian bawah. Di sebelah atas, femur bersendi dengan

acetabulum untuk membentuk articulatio coxae dan di bawah dengan tibia dan patella untuk

membentuk articulatio genus. Ujung atas femur memiliki caput, collum, trochanter major, dan

trochanter minor.

Caput membentuk dua pertiga dari bulatan dan bersendi dengan acetabulum os coxae.

Pada pusat caput terdapat lekukan kecil yang disebut fovea capitis, yang berguna sebagai tempat

melekatnya ligamentun capitis femoris. Sebagian suplai darah untuk caput femoris dari arteri

obturatoria dihantarkan melalui ligamentum ini dan memasuki tulang melalui fovea capitis.

Collum yang menghubungkan caput dengan corpus berjalan ke bawah, belakang, dan

lateral serta membentuk sudut 125 dan lebuh kecil pada perempuan dengan sumbu panjang

corpus femoris. Besarnya sudut ini dapat berubah karena adanya penyakit.

Trochanter mayor dan minor merupakan tonjolan yang besar pada taut antara collum dan

corpus. Linea intertrocanterica menghubungkan kedua trocanter ini di bagian anterior, tempat

melekatnya ligamentum iliofemorale dan di bagian posterior oleh crista intertrochanterica yang

menonjol, pada crista ini terdapat tuberculum quadratum.

Corpus femoris permukaan anteriornya lebih licin dan bulat, sedangkan permukaan

posterior mempunyai rigi yang disebut linea asoera. Pada linea ini melekat otot-otot dan septa
intermuskularis. Garis tepi linea melebar ke atas dan ke bawah. Tepi medial berlanjut ke distal

sebagai crista supracondylaris medialis yang menuju ke tuberculum adductorum pada condylus

medial. Tepi lateral melanjutkan diri ke distal sebagai crista supracondylaris lateralis. Pada

permukaan posterior corpus, tepatnya dibawah trochanter major terdapat tuberositas glutea

sebagai tempat melekatnya musculus gluteus maximus. Corpus melebar kearah ujung distalnya

dan membentuk daerah segitiga datar pada permukaan posteriornya yang disebut facies poplitea.

Ujung bawah femur memiliki condyli medialis dan lateralis yang bagian posteriornya

dipisahkan oleh insisura intercondylaris. Permukaan anterior condylus ikut serta dalam

pembentukan articulatio genus. Diatas condyli terdapat epicondylus lateralis dan medialis.

Tuberkulum adductorum dilanjytkan oleh epicondylus medialis.

Ruang fascia anterior tungkai atas diisi oleh musculus sartorius, muskulus iliacus,

musculus psoas, musculus pectineus dan musculus quadriceps femoris. Dipersarafi oleh nervus

femoralis ruang anterior fascia tungkai atas dialiri pembuluh darah arteri femoralis. Ruang fascia

medial tungkai atas diisi oleh musculus gracilis, musculus adductor longus, musculus adductor

magnus, musculus obturatorius externus dengan dipersarafi oleh nervus obturatorius ruang

fascial medial diperdarahi oleh arteri profunda femoris dan arteri obturatoria. Ruang fascia

posterior tungkai atas diisi oleh musculus biceps femoris, musculus semitendinosus, musculus

semimembranosus, dan sebagian kecil musculus adductor magnus (otot-otot hamstring)/

dipersarafi oleh nervus ischiadicus ruang fascia posterior tungkai atas diperdarahi oleh cabang-

cabang arteri profunda femoris.


FUNGSI TULANG

Tulang adalah jaringan yang terstruktur dengan baik dan mempunyailima fungsi utama, yaitu :
Membentuk rangka badan.
Sebagai pengumpil dan tempat melekat otot.
Sebagai bagian dari tubuh untuk melindungi dan mempertahankan alat-alatdalam, seperti
otak, sumsum tulang belakang, jantung, dan paru-paru.
Sebagai tempat deposit kalsium, fosfor, magnesium, dan garam.
Sebagai organ yang berfungsi sebagai jaringan hemapoetik untukmemproduksi sel-sel
darah merah , sel-sel darah putih, dan trombosit.

FRAKTUR

Definisi

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas dari tulang, sering diikuti oleh kerusakan jaringan lunak
dengan berbagai macam derajat, mengenai pembuluh darah, otot dan persarafan.
Definisi fraktur intertrochanter femur sendiri adalah terputusnya kontinuitas tulang pada area di
antara
trochanter mayor dan trochanter minor yang bersifat ekstrakapsula.

Klasifikasi fraktur femur

Ada 2 tipe fraktur femur, yaitu :


1. Fraktur intrakapsuler
Terjadi didalam tulang sendi, panggul dan kapsula
Melalui kepala femur
Hanya dibawah kepala femur
Melalui leher dari femur
2. Fraktur ekstrakapsuler
Terjadi diluar sendi dan kapsul, melalui trochanter femur yang lebih besar atau
yang lebih kecil atau pada daerah intertrochanter.
Terjadi dibagian distal menuju leher femur tetapi tidak lebih dari 2 inci dibawah
trochanter kecil.
Sedangkan klasifikasi untuk fraktur intertrochanter adalah berdasarkan stabilitas dari pola
fraktur, yaitu fraktur stabil (pola fraktur oblik standar) dan fraktur tidak stabil (pola fraktur oblik
reverse).

Fraktur intertrokhanter
Pada fraktur ini, garis fraktur melintang dari trochanter mayor ke trochanter minor. Tidak
seperti fraktur intrakapsular, salah satu tipe fraktur extrakapsular ini dapat menyatu dengan lebih
baik. Resiko untuk terjadinya komplikasi non-union dan nekrosis avaskular sangat kecil jika
dibandingkan dengan resiko pada fraktur intrakapsular. Fraktur dapat terjadi akibat trauma
langsung pada trochanter mayor atau akibat trauma tidak langsung yang menyebabkan twisting
pada daerah tersebut.

Berdasarkan klasifikasi Kyle (1994), fraktur intertrokhanter dapat dibagi menjadi 4 tipe
menurut kestabilan fragmen-fragmen tulangnya. Fraktur dikatakan tidak stabil jika:

Hubungan antarfragmen tulang kurang baik.

Terjadi force yang berlangsung terus menerus yang menyebabkan displaced


tulang menjadi semakin parah.

Fracture disertai atau disebabkan oleh adanya osteoporosis.


Gambar klasifikasi Kyle untuk fraktur intertrokhanter

Tipe dan jenis fraktur

Transverse : jika terjadi patahan tulang secara horizontal, biasanya terjadi jika
menerima mekanisme energi yang sedang sampai besar secara terus menerus melebihi
toleransi jaringan tulang.

Oblique : fraktur yang membentuk sudut melewati korteks tulang biasanya terjadi
jika tulang menerima energy secara langsung atau tidak langsung dengan angulasi atau
tekanan tertentu.

Spiral : frsktur yang membentuk kurva mengelilingi korteks sehingga terjadi


dislokasi, biasanya terjadi jika tulang menerima energi langsung maupun tidak langsung
dengan gerakan memutar.

Kominutif : fraktur dengan lebih dari dua bagian karena adanya trauma jaringan
lunak.

Segmental : fraktur dengan dua atau lebih segmental tulang disebabkan karena tulang
menerima energi langsung maupun tidak langsung yang sedang sampai dengan berat.

Avulsi : terjadi ketika tulang dan jaringan lunak lainnya tidak berada ditempat
yang semestinya akibat kekuatan energy yang diterima secara langsung oleh tulang.
Impaksi : fraktur pada ujung tulang menuju bagian yang bersebrangan atau bagian
dalam dari fragmen tulang diakibatkan oleh tekanan axial dari energy langsung pada area
fragmen tulang bagian distal.

Torus : fraktur pada salah satu korteks atau shaft tulang misalnya pada bagian
radius ulna.

Greenstick : terjadi jika hanya pada satu korteks tulang akibat energi yang kecil baik
langsung maupun tidak langsung.

Derajat fraktur tertutup menurut Tscherne

Derajat 0 : fraktur sederhana tanpa atau disertai dengan sedikit kerusakan jaringan lunak

Derajat 1 : fraktur disertai dengan abrasi superficial atau luka memar pada kulit dan
jaringan subkutan

Derajat 2 : fraktur yang lebih berat disbanding derajat 1 yang disertai dengan kontusio dan
pembengkakan jaringan lunak
Derajat 3 : fraktur berat yang disertai dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan
terdapat ancaman terjadinya sindroma kompartemen

Penyembuhan Fraktur

Proses penyembuhan suatu fraktur dimulai sejak terjadi fraktur sebagai usaha tubuh untuk
memperbaiki kerusakan kerusakan yang dialaminya. Penyembuhan dari fraktur dipengaruhi
oleh beberapa faktor lokal dan faktor sistemik, adapun faktor lokal:
1. Lokasi fraktur
2. Jenis tulang yang mengalami fraktur
3. Reposisi anatomis dan immobilasi yang stabil
4. Adanya kontak antar fragmen
5. Ada tidaknya infeksi
6. Tingkatan dari fraktur

Adapun faktor sistemik adalah :


1. Keadaan umum pasien
2. Umur
3. Malnutrisi
4. Penyakit sistemik.

Proses penyembuhan fraktur terdiri dari beberapa fase, sebagai berikut :


1. Fase Reaktif
a. Fase hematom dan inflamasi
b. Pembentukan jaringan granulasi
2. Fase Reparatif
a. Fase pembentukan callus
b. Pembentukan tulang lamellar
3. Fase Remodeling
a. Remodeling ke bentuk tulang semula

Dalam istilah-istilah histologi klasik, penyembuhan fraktur telah dibagi atas penyembuhan
fraktur primer dan fraktur sekunder.
1. Proses penyembuhan fraktur primer
Penyembuhan cara ini terjadi internal remodelling yang meliputi upaya langsung oleh
korteks untuk membangun kembali dirinya ketika kontinuitas terganggu. Agar fraktur
menjadi menyatu, tulang pada salah satu sisi korteks harus menyatu dengan tulang pada
sisi lainnya (kontak langsung) untuk membangun kontinuitas mekanis.
Tidak ada hubungan dengan pembentukan kalus. Terjadi internal remodelling dari
haversian system dan penyatuan tepi fragmen fraktur dari tulang yang patah.
2. Proses penyembuhan fraktur sekunder
Penyembuhan sekunder meliputi respon dalam periostium dan jaringan-jaringan lunak
eksternal. Proses penyembuhan fraktur ini secara garis besar dibedakan atas 5 fase,
yakni fase hematom (inflamasi), fase proliferasi, fase kalus, osifikasi dan remodelling.
a. Fase Inflamasi
Tahap inflamasi berlangsung beberapa hari dan hilang dengan berkurangnya
pembengkakan dan nyeri.

b. Fase proliferasi
Kira-kira 5 hari hematom akan mengalami organisasi, terbentuk benang-benang
fibrin dalam jendalan darah, membentuk jaringan untuk revaskularisasi, dan invasi
fibroblast dan osteoblast.

c. Fase Pembentukan Kalus


Merupakan fase lanjutan dari fase hematom dan proliferasi mulai terbentuk jaringan
tulang yakni jaringan tulang kondrosit yang mulai tumbuh atau umumnya disebut
sebagai jaringan tulang rawan.
d. Stadium Konsolidasi
Dengan aktifitas osteoklast dan osteoblast yang terus menerus, tulang yang
immature (woven bone) diubah menjadi mature (lamellar bone).
e. Stadium Remodeling
Fraktur telah dihubungkan dengan selubung tulang yang kuat dengan bentuk yang
berbeda dengan tulang normal. Dalam waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-
tahun terjadi proses pembentukan dan penyerapan tulang yang terus menerus
lamella yang tebal akan terbentuk pada sisi dengan tekanan yang tinggi.

Etiologi

Trauma
Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan otot yang tiba-tiba dan berlebihan, yang
dapat berupa pemukulan, penghancuran, penekukan, pemuntiran, atau penarikan. Bila
terkena kekuatan langsung, tulang dapat patah pada tempat yang terkena; jaringan lunak
juga pasti rusak. Bila terkena kekuatan tak langsung, tulang dapat mengalami fraktur
pada tempat yang jauh dari tempat yang terkena kekuatan itu; kerusakan jaringan lunak di
tempat fraktur mungkin tidak ada.

Kompresi
Retak dapat terjadi pada tulang, sama halnya seperti pada logam dan benda lain, akibat
tekanan berulang-ulang. Keadaan ini paling sering ditemukan pada tibia atau fibula atau
metatarsal, terutama pada atlet, penari, dan calon tentara yang jalan berbaris dalam jarak
jauh.
Patologik
Fraktur dapat terjadi karena tekanan yang normal apabila tulang itu lemah (misalnya oleh
tumor) atau apabila tulang itu sangat rapuh (misalnya pada penyakit paget).

Diagnosa

Untuk mendiagnosis fraktur, diperlukan adanya anamnesis, pemeriksaan fisik, serta


pemeriksaan penunjang, sebagai berikut:
Anamnesis
Biasanya terdapat riwayat cedera (bagaimana proses cederanya), diikuti dengan
ketidakmampuan menggunakan tungkai yang mengalami cedera. Setelah jatuh tidak
dapat berdiri, kaki lebih pendek dan lebih berotasi keluar dibandingkan pada fraktur
collum (karena fraktur bersifat ekstrakapsular) dan pasien tidak dapat mengangkat
kakinya.

Manifestasi klinis:
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan
ekstrimitas, krepitus, pembengkakan local, dan perubahan warna.
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di imobilisasi, spasme
otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang di rancang untuk
meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak tidak
alamiah bukan seperti normalnya, pergeseran fraktur menyebabkan deformitas, ekstrimitas
yang bias di ketahui dengan membandingkan dengan ekstrimitas yang normal. Ekstrimitas
tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas
tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot
yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
4. Saat ekstrimitas di periksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang dinamakan
krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang lainya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai akibat dari trauma
dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasanya baru terjadi setelah beberapa jam
atau hari setelah cedera.

Pemeriksaan Fisik
Pada awal pemeriksaan, perlu diperhatikan adanya:
1. Syok, anemia, atau perdarahan, dan tanda tanda sepsis pada fraktur terbuka.
2. Kerusakan organ organ lain, misalnya otak, sumsum tulang belakang, atau organ
organ dalam rongga thorak, panggul, abdomen.
3. Faktor predisposisi, misalnya fraktur patologis.

Menurut pedoman ATLS mengikuti akronim AMPLE, yaitu:


A : Alergi
M : Medikasi yang dikonsumsi sebelum kecelakaan
P : Past illness atau riwayat penyakit yang relevan
L : Last meal atau makanan yang dikonsumsi sebelum kecelakaan
E : Kejadian yang terkait dengan kecelakaan termasuk keadaan alam, keadaan saat
terjadinya kecelakaan.
Sedangkan tanda-tanda lokal pada fraktur akan didapatkan, antara lain:
Penampilan (look)
Pembengkakan, memar, deformitas mungkin terlihat jelas, tetapi hal yang penting adalah
apakah kulit itu terlihat utuh atau tidak.
Rasa (feel)
Terdapat nyeri tekan setempat, tetapi perlu juga memeriksa bagian distal dari fraktur
untuk merasakan nadi dan menguji sensasi.

Gerakan (movement)
Krepitus dan abnormal dapat ditemukan, tetapi lebih oenting untuk menanyakan apakah
pasien dapat menggerakkan sendi-sendi di bagian distal cedera.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologi pada panggul meliputi foto polos pelvis secara anteroposterior
(AP) dan area yang terkena cedera, dan dapat pula foto panggul secara lateral view. Pada
beberapa kasus, CT scan mungkin diperlukan.
Pemeriksaan radiologi dilakukan dengan prinsip rule of 2 yaitu, dua posisi, 2 sendi pada
anggota gerak dan tungkai harus difoto, dibawah dan diatas sendi yang mengalami
fraktur, 2 anggota gerak, 2 trauma, 2 kali foto dilakukan.

Tatatlaksana
Konsep dasar yang harus dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur yaitu :
rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi.
1. Rekognisi (Pengenalan )
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan diagnosa dan
tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan terasa nyeri sekali dan bengkak.
Kelainan bentuk yang nyata dapat menentukan diskontinuitas integritas rangka.
2. Reduksi (manipulasi/ reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen - fragmen tulang yang
patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak asalnya. Upaya untuk memanipulasi fragmen
tulang sehingga kembali seperti semula secara optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan
reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk
mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan
perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah
mulai mengalami penyembuhan.
3. Retensi (Immobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti semula
secara optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau di pertahankan
dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan
dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai,
traksi kontinu, pin, dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat di gunakan untuk
fiksasi intrerna yang brperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur. Fiksasi
eksterna adalah alat yang diletakkan diluar kulit untuk menstabilisasikan fragmen tulang dengan
memasukkan dua atau tiga pin metal perkutaneus menembus tulang pada bagian proksimal dan
distal dari tempat fraktur dan pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan menggunakan
eksternal bars. Teknik ini terutama atau kebanyakan digunakan untuk fraktur pada tulang tibia,
tetapi juga dapat dilakukan pada tulang femur, humerus dan pelvis. Prinsip dasar dari teknik ini
adalah dengan menggunakan pin yang diletakkan pada bagian proksimal dan distal terhadap
daerah atau zona trauma, kemudian pin-pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan rangka
luar atau eksternal frame atau rigid bars yang berfungsi untuk menstabilisasikan fraktur. Alat ini
dapat digunakan sebagai temporary treatment untuk trauma muskuloskeletal atau sebagai
definitive treatment berdasarkan lokasi dan tipe trauma yang terjadi pada tulang dan jaringan
lunak.
4. Rehabilitasi
Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk menghindari atropi atau
kontraktur. Bila keadaan memungkinkan, harus segera dimulai melakukan latihan-latihan untuk
mempertahankan kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi.

Medikamentosa :
Ketorolak
Ceftriaxon
Cefixim

Operatif :
ORIF

Komplikasi

Komplikasi fraktur antara lain:


1. Komplikasi awal fraktur: syok, sindrom emboli lemak, sindrom kompartement, kerusakan
arteri, infeksi, avaskuler nekrosis.
Syok
Syok hipovolemik atau traumatic, akibat perdarahan (banyak kehilangan darah eksternal
maupun yang tidak kelihatan yang bias menyebabkan penurunan oksigenasi) dan
kehilangan cairan ekstra sel ke jaringan yang rusak, dapat terjadi pada fraktur ekstrimitas,
thoraks, pelvis dan vertebra.
Sindrom emboli lemak
Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk kedalam pembuluh darah karena
tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena katekolamin yang di
lepaskan oleh reaksi stress pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan
terjasinya globula lemak pada aliran darah.
Sindroma Kompartement
Merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang
dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisa disebabkan karena penurunan ukuran
kompartement otot karena fasia yang membungkus otot terlalu ketat, penggunaan gibs
atau balutan yang menjerat ataupun peningkatan isi kompatement otot karena edema atau
perdarahan sehubungan dengan berbagai masalah (misalnya : iskemi,dan cidera remuk).
Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak ada nadi, CRT menurun,
syanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disbabkan
oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi,
dan pembedahan.
Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic
infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada
kasus fraktur terbuka, tapi bias juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan
seperti pin dan plat.
Avaskuler nekrosis
Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang
bias menyebabkan nekrosis tulang dan di awali dengan adanya Volkmans Ischemia.

2. Komplikasi dalam waktu lama atau lanjut fraktur antara lain: mal union, delayed union,
dan non union.
Malunion
Malunion dalam suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh dalam posisi
yang tidak seharusnya. Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan
meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan
dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
Delayed Union
Delayed union adalah proses penyembuhan yang terus berjalan dengan kecepatan yang
lebih lambat dari keadaan normal. Delayed union merupakankegagalan fraktur
berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini
disebabkan karena penurunan suplai darah ke tulang.
Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi sambungan
yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion di tandai dengan adanya
pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau
pseuardoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.

DAFTAR PUSTAKA
1. Apley, A.G.,L. Solomon. 1995. Buku Ajar Ortopedi Fraktur Sistem Apley. Edisi 7.
Jakarta: Widya Medika.
2. Brotzman S, 1996. Clinical Orthopaedic Rehabilitation. Missouri : Mosby
3. Evans, P.J., B.J McGrory. 2001. Fracture of The Proximal Femur. ME: Orthopaedic
Associates of Portland.
4. Goodman, M.S. 2011. Intertrochanteric Hip Fracture Treatment and Management.
Diakses at www.medscape.com
5. Hoppenfeld, S., 1999. Treatment and Rehabilitation of Fractures. New York: Lippincott
Williams & Wilkins
6. Mansjoer, Arif,. 2000. Kapita Selekta Kedokteran jilid 2 edisi 3. Media Aesculapius :
FKUI.
7. Mardhiya, W.R. 2009. Fraktur Femur. Pekanbaru : Universitas Riau.
8. Moore, K.L., A.M.R. Agur. 2002. Essensial Clinical Anatomy. Jakarta: Hipokrates.
9. Pratt, E. et al. 2001. Open Reduction and Internal Fixation. In Rehabilitation for The Post
Surgical Orthopedic Patient. Missouri: Mosby Elsevier. Pp 309-13
10. Sjamsuhidajat, R., de Jong, Wim. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai