PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2
Tulang di daerah laring terdiri dari sembilan kartilago (terdapat tiga pasang
ditambah tiga lainnya),yang secara bersama-sama tulang rawan ini membentuk
rumah bagi plika vokalis, yang terbentang dari anterior sampai poterior
(kartilago thiroid sampai kartilago arytenoid). Kartilago thyroid yang berbentuk
seperti tameng, bertindak sebagai pelindung di bagian anterior bagi pita suara.
Otot-otot laring terdiri dari dua grup otot yaitu otot ekstrinsik yang bertugas
menggerakkan laring, dan otot intrinsik yang tugasnya berhubungan dengan otot-
otot pada kartilago laring. Laring dipersarafi secara bilateral oleh dua cabang
saraf dari nervus vagus: nervur laringeus superior dan nervus laringeus rekuren.
Oleh karena nervus laringeus rekuren mempersarafi otot intrinsik laring (kecuali
kartilago krikothiroid), adanya trauma pada saraf ini dapat menyebabkan
kerusakan pita suara. Sebagai akibat dari trauma saraf unilateral, fungsi jalan
napas masih baik, tetapi kemampuan laring mencegah terjadinya aspirasi menjadi
menurun.3
Membran krikothiroid memberikan perlindungan di ruang krikotiroid.
Membran ini, berukuran 9mm x 3mm, terdiri dari jaringan kekuningan yang
elastis yang terletak tepat di bawah jaringan subkutan kulit dan di daerah wajah.
Membran ini terletak di daerah anterior leher, yang berbatasan dengan kartilago
thyroid di superior dan kartilago krikoid di inferior. Membran ini dapat dirasakan
1-1,5 jari di bawah tonjolan laringeal (thyroid notch, atau Adams apple). Dua
pertiga atas dari membran ini dilalui oleh anastomosis dari arteri krikothiroid
superior kiri dan kanan yang berjalan secara horisontal. Di tengah membran
terdapat suatu tonjolah yang disebut conus elasticus, dan dua tonjolan besar
lainnya yang terletak di daerah lateral, yang lebih tipis dan melekat di mukosa
laring. Akibat adanya variasi anatomis terhadap jalannya pembuluh vena dan
arteri serta letaknya yang berdekatan dengan plika vokalis (yaitu 0,9cm di atas
ligamen teratas), maka disarankan bahwa segala bentuk insisi dan pungsi terhadap
membran ini, dapat dilakukan pada sepertiga bawah dan diarahkan ke posterior. 3
Pada bagian dasar dari laring, terdapat karilago krikoid yang berbentuk
cincin, dan kartilago ini menggantung dari bagian bawah membran krikotiroid.
Kartilago krikoid berukuran 1cm di anterior dan 2cm di daerah posterior. Trakhea
3
dihubungkan dengan kartilago krikoid oleh ligamen krikotrakheal. Trakhea
memiliki panjang ~15cm pada orang dewasa dan terdiri dari 17-18 buah kartilago
yang berbentuk C dan di daerah posterior terdapat membran yang berbatasan
dengan esofagus. 3
Cincin trakhea yang pertama , sejajar dengan tulang servikal keenam (C6).
Tulang-tulang rawan trakhea saling dihubungkan dengan jaringan fiborelastik,
yang memudah peregangan dari trakhea baik panjang dan diameternya pada saat
proses inhalasi/ekspirasi dan pada saat fleksi/ekstensi leher. Trakhea berakhir di
karina, yaitu pada vertebra thorakalis kelima (Th5), dan bercabang menjadi dua
cabang bronki. Bronkus kanan memiliki diameter yang lebih besar bila
dibandingkan dengan yang kiri dan membentuk sudut yang lebih besar dengan
trakhea. Karena bronkus ini merupakan cabang langsung dari trakhea, maka
bahan-bahan yang teraspirasi, atau bahkan tube, cenderung lebih mudah masuk ke
bronkus kanan. Cincin tulang rawan akan melindungi bronki sampai tujuh
percabangan terakhir.1,3
4
ventilation, laringoskopi maupun LMA dikarenakan adanya suatu massa di leher
yang baru ditemukan pada saat itu. 4
Secara umum, intubasi sulit dilakukan akibat kondisi berikut ini : (1)
timbulnya masalah atau kondisi yang tidak memungkinkan untuk intubasi (misal
perut penuh, open globe), (2) anatomi saluran napas yang abnormal, (3) keadaan
gawat darurat, (4) trauma langsung pada laryng dan atau trakhea. Pemeriksaan
fisik harus lebih terfokus pada keadaan gigi geligi, adanya janggut, ukuran mulut,
kemampuan peregangan jaringan lunak di daerah submandibula, ekstensi
atlantooksipital, identifikasi membran krikothiroid dan adanya kelainan patologis
di faring.5
Meskipun penemuan anatomi yang abnormal kemungkinan tidak
sepenuhnya menyebabkan kesulitan dalam bernapas, tetapi kita tetap perlu
berhati-hati. Beberapa peneliti telah menemukan bentuk anatomis yang tidak
menguntungkan apabila dilakukan tindakan laringoskop direk; sendi yang tidak
proporsional, adanya distorsi, terbatasnya gerak sendi, dan tergigit. Dalam usaha-
usaha pertama untuk menjelaskan keadaan anatomi yang berhubungan dengan
intubasi yang sulit, Cass et al menekankan pada keadaan leher pendek dengan
jumlah gigi lengkap, letak mandibula yang lebih ke posterior dengan sudut
mandibula yang lebar, gigi insisifus di maksila yang menonjol, gerakan terbatas
dari sendi temporomandibula, palatum yang tinggi dan bersudut, dan
meningkatnya jarak alveolar-mental.3,4
Studi radiografik pertama, menunjukkan kedalaman di daerah posterior
mandibula (suatu jarak antara alveolar yang bertulang yang terletak di belakang
gigi molar ketiga dan batas bawah mandibula) adalah faktor penting yang
menentukan sulit tidaknya laringoskopi. Lalu, terdapat jarak thiro-mental, suatu
jarak yang berawal dari ujung mentum sampai dengan tonjolan thiroid, yang
dikatakan sebagai suatu pengukuran yang sangat penting dan perlu dievaluasi.
Bila hasil pengukuran kurang dari 6 cm, maka kesulitan dalam tindakan
laringoskopi sudah pasti timbul. Konsep ini diperluas oleh Savva, seorang yang
mengukur jarak sternomental dengan kepala dalam keadaan ekstensi maksimal.
Pada perhitungan ini ditambahkan keadaan sendi atlanto-oksipital ke dalam
5
penilaian. Bila hasil pengukuran kurang dari 12 cm akan memberikan hasil yang
positif.4,5
Bila perhatian kita fokuskan pada keadaan rongga mulut, Mallampati
menyarankan bila basis lidah memiliki ukuran besar dan tidak proporsional, maka
kemungkinan besar sulit dilakukan laringoskopi dan intubasi; penyulit timbul
selain karena keadaan anatomis teteapi juga karena sudut antara basis lidah dan
laring yang sempit. Keadaan anatomis ini juga menyebabkan glotis sukar dilihat.
Kebalikannya, secara logika, tentu saja lidah yang proporsional tidak akan
menghalangi jalan atau saluran menuju laryng, sudut tidak sempit atau terbatasnya
gerakan persendian. Lidah yang sangat besar tidak hanya menghalangi laryng,
tetapi juga menutupi ruangan faringeal dan struktur lainnya, termasuk palatum,
uvula dan pilar fausial. Untuk melihat tanda klinis ini, pasien diminta duduk
dengan kepala dalam posisi netral, membuka mulut selebar-lebarnya dan
menjulurkan lidahnya semaksimal mungkin. Klasifikasi Mallampati berdasarkan
pada seberapa jauh basis lidah mampu menutupi struktur daerah faring.2,3
Samson dan Young memodifikasi klasifikasi Mallampati dengan
menambah kelas keempat, yang menggambarkan suatu keadaan yang ekstrim dari
Mallampati kelas III, di mana palatum mole tertutup seluruhnya oleh lidah(tabel
23.3). Dalam kelas IV ini, hanya palatum durum saja yang masih tampak.
Hubungan yang signifikan ditemukan antara kelas dan derajat jalan napas dari
sulit tidaknya penampakan glotis melalui laringoskopi direk. Penilaian yang
praktis dari metode ini dilihat dari mudahnya aplikasi. Sayangnya, indeks ini,
sama dengan sebagian lainnya, tidak terbukti cukup sensitif maupun spesifik
dalam menentukan sulit tidaknya mengintubasi pasien. Dalam percobaan dari 675
pasien, indeks ini ditemukan hanya 5 dari 12 kesulitan tatalaksana jalan napas dan
memberikan hasil 139 positif salah.4
Perlu dicatat bahwa pemeriksaan tradisonal dari jalan napas, termasuk
klasifikasi Mallampati/Samson dan Young, jarak thiromental dan jarak
sternomental lebih menunjukkan ke arah kemampuan klinisi untuk melakukan
laringoskopi direk, tetapi hanya sebagian kecil yang mampu menggunakan
peralatan ventilator supraglotis (contohnya LMA, Cuffed Orophrayngeal
6
Airway[COPA], Tracheal Esophageal Combitube) atau alat penunjuk visual
indirek (contohnya bronkoskopi fiberoptik, Bullard laryngoscope).4,5
Tabel 1. Klasifikasi Mallampati/Samsoon-Young berdasarkan penampakan dari
orofaring.4
Klasifikasi Klinis
Kelas I Tampak uvula, pilar fausial dan palatum mole
Tabel 2. Sindrom yang berperan sebagai penyulit dalam tatalaksana jalan napas.4
Keadaan Patologis Keadaan Klinis yang Mempengaruhi Jalan Napas
Kongenital Micrognasia, makroglossia, glossoptosis, cleft soft
Sindroma Pierre Robin palate
Defek telinga dan mata, hipoplasi malar dan
Sindroma Treacher Collins mandibula, mikrostomia, atresia choane
(dysostosis mandibulofacial) Defek telinga dan matal; hipoplasia malar dan
Sindroma Goldenhars mandibula; oksipitalisasi tulang atlas
(okulo-aurikula-vertebral) Jembatan hidung tidak terbentuk dengan baik;
Sindroma Down makroglosia;mikrosefalus;kelainan tulang servikal
Penyatuan tulang servikal, terbatasnya gerakan leher
Sindrom Klippel-Feil Hipoplasia maksila; cleft soft palate; kelainan tulang
Sindrom Alpert rawan di tracheobronchial
Makroglossia
Sindrom Beckwith (infantile Lesi menyerupi tumor di mandibula dan maksila di
gigantisme) rongga mulut
Cherubism Hilangnya jaringan thiroid; makroglossia; goiter;
penekanan pada trakhea, deviasi laryng atau trakhea
Cretinismus Abnormalitas kromosom 5P; mikrosepal;
mikrognathia; laryngomalacia, stridor
Mikorsepalus, mikrognasia, celah pada epiglotis
7
Sindrom Cri du Chat Meningkatnya kejadian pheochromocytoma; tumor
dapat muncul di laryng dan
Sindrom Meckel Kaku sendi, obstruksi saluran napas atas akibat
Von Recklinghausen disease infiltrasi jaringan limfoid; abnormalitas kartilago
trakeobronkial; ISPA berulang
Sindrom Hurler
Sama dengan sindrom Hurler, tetapi lebih berat;
pneumonia
Sindrom Hunter
Deposit otot, makroglossia
Sindrom Pompe
DIDAPAT
Infeksi Edema laryng
Supraglotis Edema laryng
Croup Distorsi dan stenosis jalan napas dan trismus
Abses (intraoral,
retrofaringeal) Infeksi virus kronis yang membentuk papiloma
Papilomatosis yang obstruktif, terutam di suprlagotis. Perlu
pembedahan. Dapat berpindah ke subglotis setelah
trakeostomi.
Distorsi dan stenosis jalan napas dan trismus
Ludwigs Angina
8
Tumor Jinak
Kistik higroma,lipoma, Stenosis atau distorsi jalan napas
adenoma, goiter
Tumor Ganas
Karsinoma lidah, laryng, Stenosis atau distorsi jalan napas; laryng terfiksasi
thiroid oleh jaringan fibrosis akibat radiasi
Trauma
Trauma kepala, wajah, tulang Rhinorrhea, edema saluran napas, perdarahan,
servikal fraktur maksila dan mandibula, kerusakan laryng,
dislokasi vertebra servikal
Lain-lain
Obesitas Leher pendek dan tebal, lidah yang besar
Akromegali Makroglossia, prognatismus
Combustio Edema saluran napas
9
Tindakan berupa:
a. Tanpa Alat
1) Membuka jalan nafas dengan metode :
- Head Tilt (dorong kepala ke belakang)
- Chin Lift Manuver (perasat angkat dahu)
- Jaw Thrust Manuver (perasat tolak rahang)
Pada pasien yang diduga mengalami cedera leher dan kepala hanya
dilakukan Jaw Thrust dengan hati-hati dan mencegah gerakan leher.
10
Dilakukan bila jalan napas tersumbat karena adanya benda asing dalam
rongga mulut belakang atau hipofaring (gumpalan darah, muntahan, benda asing
lainnya) dan hembusan napas hilang.
11
- Back Blow (Tepukan Pada Punggung)
b. Dengan Alat
1) Pemasangan Pipa (Tube)
Dipasang jalan napas buatan (pipa orofaring, pipa nasofaring). Pipa
orofaring digunakan untuk mempertahankan jalan nafas dan menahan pangkal
lidah agar tidak jatuh ke belakang yang dapat menutup jalan napas terutama pada
pasien-pasien tidak sadar.
Bila dengan pemasangan jalan napas tersebut pernapasan belum juga baik,
dilakukan pemasangan pipa endotrakhea (ETT/endotracheal tube). Pemasangan
pipa endotrakhea akan menjamin jalan napas tetap terbuka, menghindari aspirasi
dan memudahkan tindakan bantuan pernapasan.
12
Gambar 8. Pemasangan ETT
13
3) Membuka Jalan Nafas Dengan Krikotirotomi
14
DAFTAR PUSTAKA
15